Anda di halaman 1dari 65

A.

Resiko Perilaku Kekerasan


1. Definisi Resiko Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan adalah
salah satu respon marah yang diekpsresikan dengan melakukan ancaman,
mencederai orang lain dan atau merusak lingkungan. Respon tersebut
biasanya muncul akibat adanya stressor. Perilaku kekerasan dapat dilakukan
secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku
kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung
perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan (Keliat, 2011, p.180).
Resiko perilaku kekerasan didefinisikan dengan individu rentan
melakukan perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain
secara fisik, emosional dan/seksual (Herdman, 2015, p.436).

2. Etiologi Resiko Perilaku Kekerasan


Faktor resiko yang mempengaruhi timbulnya resiko perilaku kekerasan
berupa:
a. Faktor resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri, yaitu:
1) Bahasa tubuh negatif (mis, postur tubuh kaku, mengepalkan
jari/mengunci rahang, hiperaktifitas, terburu-buru, cara berdiri
mengancam).
2) Gangguan fungsi kognitif, neurologis (mis., trauma kepala, gangguan
kejang), dan gangguan psikosis.
3) Impulsif dan intoksikasi patologis
4) Ketersediaan senjata
5) Komplikasi perinatal dan komplikasi prenatal
6) Perilaku bunuh diri dan pola ancaman kekerasan (mis., ancaman
verbal terhadap orang/masyarakat, ancaman sosial, sumpah serapah,
membuat catatan/ancaman, dan ancaman seksual)

1
7) Pola perilaku kekerasan antisosial (mis., mencuri, meminjam dengan
paksaan, memaksa meminta hak istimewa, memaksa menggangu,
menolak untuk makan/minum obat)
8) Pola perilaku kekerasan terhadap orang lain (mis,
memukul/menendang/meludahi/mencakar orang lain, melempar
objek/menggigit orang, percobaan perkosaan, pelecehan seksual,
mengencing/membuang kotoran pada orang lain)
9) Riwayat melakukan kekerasan tak langsung, riwayat menyaksikan
perilaku kekerasan dalam keluarga, riwayat penganiayaan pada masa
kanak-kanak dan riwayat penyalahgunaan zat (Herdman, 2015,
p.436).
b. Faktor resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri, yaitu:
1) Ganguan psikologis, ide bunuh diri dan isolasi sosial
2) Isyarat perilaku (mis, menunjukkan pesan kemarahan pada orang
terdekat yang telah menolak dirinya).
3) Konflik hubungan interpersonal dan konflik orientasi sosial
4) Kurang sumber personal (mis., pencapaian, wawasan, afek buruk dan
tidak terkendali)
5) Masalah kesehatan fisik, mental (mis., depresi, psikosis, gangguan
kepribadian, penyalahgunaan zat).
6) Masalah pekerjaan (mis., menganggur, kehilangan/kegagalan
pekerjaan yang sekarang)
7) Menjalani tindakan seksual autoerotik
8) Pekerjaan (mis., eksekutif, administrator/pemilik bisnis, profesional,
pekerjaan semi terampil)
9) Petunjuk verbal (mis., bicara tentang kematian, “lebih baik bila tanpa
saya”, mengajukan pertanyaan tentang dosis obat mematikan)
10) Pola kesulitan dalam keluarga, rencana bunuh diri, dan riwayat upaya
bunuh diri berulang.

2
11) Status pernikahan (mis., janda, lajang, cerai), usia lebih dari 45 tahun
dan usia antara 15-19 tahun (Herdman, 2015, p.438).

3. Tanda dan Gejala Resiko Perilaku Kekerasan


Menurut Keliat (2011, p.181), data perilaku kekerasan dapat diperoleh
melalui observasi atau wawancara, yaitu:
a. Muka merah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengantupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar-mandir
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Mengancam secara verbal atau fisik
i. Melempar atau memukul benda/orang lain
j. Merusak barang atau benda
k. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah/mengontrol perilaku
kekerasan (Keliat, 2011, p.181).

4. Pohon Masalah

Resiko mencederai diri sendiri, orang Efek


lain dan lingkungan

Perilaku Kekerasan Core Problem

Ketidakefektifan Harga diri


koping individu: Halusinasi Rendah Etiologi
respon maladaptif

3
5. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan ditetapkan sesuai dengan data yang didapat,
dan saat ini tidak melakukan perilaku kekerasan tapi pernah melakukan
perilaku kekerasan dan belum mempunyai kemampuan untuk
mencegah/mengontrol perilaku kekerasan tersebut. Diagnosis yang berlaku
pada gangguan ini adalah resiko perilaku kekerasan (Keliat, 2011, p.181).

6. Tindakan Keperawatan
Tujuan tindakan keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan antara lain Keliat (2011, p.181):
a. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
b. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
d. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
e. Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasannya
f. Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.

Adapun tindakan keperawatannya:


a. Bina hubungan saling percaya dengan cara: mengucapkan salam
terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi, membuat
kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan yang
lalu.

4
c. Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan,
dengan cara: diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik,
psikologis, sosial, spiritual dan intelektual.
d. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada
saat marah, yaitu secara verbal terhadap: diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
e. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
f. Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasa dengan
cara: fisik (pukul kasur dan bantal, tarik nafas dalam), obat, sosial/verbal
(menyatakan secara asertif rasa marahnya), dan spiritual (kegiatan ibadah
sesuai dengan keyakinannya).
g. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik:
1) Latihan nafas dalam dan pukul kasur bantal
2) Susun jadwal latihan nafas dalam dan pukul kasur bantal
h. Latih mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat.
1) Latih pasien minum obat dengan teratur dengan prinsip lima benar
(benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar
waktu minum obat, dan benar dosis obat) disertai penjelasan guna obat
dan akibat berhenti minum obat.
2) Susun jadwal minum obat secara teratur.
i. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara sosial atau verbal
1) Latih mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak dengan baik,
meminta dengan baik, dan mengungkapkan perasaan dengan baik.
2) Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal.
j. Latih mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
1) Diskusikan kegiatan ibadah yang pernah dilakukan pasien
2) Latih mengontrol marah dengan melakukan kegiatan ibadah yang
biasa dilakukan pasien.
3) Buat jadwal kegiatan ibadah

5
k. Ikutsertakan pasien dalam kegiatan terapi aktifitas kelompok stimulasi
persepsi mengontrol perilaku kekerasan (Keliat, 2011, p.182).

7. Strategi Pelaksanaan
a. SP 1 pasien: Bina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab
perasaan marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang
dilakukan, akibatnya serta cara mengontrol secara fisik.
Orientasi:
“Assalamualaikum Pak, perkenalkan nama saya A K, panggil saya A,
saya perawat yang dinas di ruangan Asoka ini. Saya yang akan merawat
Bapak selama Bapak di rumah sakit ini. Nama Bapak siapa, senangnya
dipanggil apa?”
“Bagaimana perasaan Bapak saat ini?, Masih ada perasaan kesal
atau marah?” “Baiklah kita akan berbincang-bincang sekarang tentang
perasaan marah Bapak ”
“Berapa lama Bapak mau kita berbincang-bincang?” Bagaimana
kalau 20 menit? “Dimana enaknya kita duduk untuk berbincang-bincang,
Pak? Bagaimana kalau di ruang tamu?”
Kerja:
“Apa yang menyebabkan Bapak marah? Apakah sebelumnya Bapak
pernah marah? Terus, penyebabnya apa? Samakah dengan yang
sekarang? O..iya, jadi ada 2 penyebab marah Bapak ”
“Pada saat penyebab marah itu ada, seperti Bapak pulang kerumah
dan istri belum menyediakan makanan (misalnya ini penyebab marah
pasien), apa yang Bapak rasakan?” (tunggu respons pasien)
“Apakah Bapak merasakan kesal kemudian dada Bapak berdebar-
debar, mata melotot, rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?”
“Setelah itu apa yang Bapak lakukan? O..iya, jadi Bapak memukul
istri Bapak dan memecahkan piring, apakah dengan cara ini makanan

6
terhidang? Iya, tentu tidak. Apa kerugian cara yang Bapak lakukan?
Betul, istri jadi sakit dan takut, piring-piring pecah. Menurut Bapak
adakah cara lain yang lebih baik? Maukah Bapak belajar cara
mengungkapkan kemarahan dengan baik tanpa menimbulkan kerugian?”
“Ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan, Pak. Salah
satunya adalah dengan cara fisik. Jadi melalui kegiatan fisik disalurkan
rasa marah.” “Ada beberapa cara, bagaimana kalau kita belajar satu
cara dulu?”
”Begini pak, kalau tanda-tanda marah tadi sudah Bapak rasakan
maka Bapak berdiri, lalu tarik napas dari hidung, tahan sebentar, lalu
keluarkan/tiup perlahan-lahan melalui mulut seperti mengeluarkan
kemarahan. Ayo coba lagi, tarik dari hidung, bagus.., tahan, dan tiup
melalui mulut. Nah, lakukan 5 kali. Bagus sekali, Bapak sudah bisa
melakukannya”.
Bagaimana perasaannya setelah melakukan latihan tarik nafas
dalam?” “Baiklah, selanjutnya kita akan melakukan latihan satu lagi
yaitu cara fisik 2, pukul kasur bantal”.
“Sekarang mari kita latihan memukul kasur dan bantal. Mana kamar
Bapak? Jadi kalau nanti Bapak kesal dan ingin marah, langsung ke
kamar dan lampiaskan kemarahan tersebut dengan memukul kasur dan
bantal. Nah, coba Bapak lakukan, pukul kasur dan bantal. Ya, bagus
sekali Bapak melakukannya. Nah cara ini pun dapat dilakukan secara
rutin jika ada perasaan marah. Kemudian jangan lupa merapikan tempat
tidurnya.”
Terminasi:
“Bagaimana perasaan Bapak setelah berbincang-bincang tentang
kemarahan Bapak ?”

7
“Iya jadi ada 2 penyebab Bapak marah ........ (sebutkan) dan yang
Bapak rasakan ........ (sebutkan) dan yang Bapak lakukan ....... (sebutkan)
serta akibatnya ........”. (sebutkan).
“Coba selama saya tidak ada, ingat-ingat lagi penyebab marah
Bapak yang lalu, apa yang Bapak lakukan kalau marah yang belum kita
bahas dan jangan lupa latihan napas dalam dan pukul kasur bantal ya
pak. ‘Sekarang kita buat jadwal latihannya ya pak, berapa kali sehari
Bapak mau latihan napas dalam dan pukul kasur bantal? Jam berapa saja
pak?”
”Baik, bagaimana kalau 2 jam lagi saya datang dan kita latihan cara
yang lain untuk mencegah/mengontrol marah. Tempatnya disini saja ya
pak. Assalamualaikum” (Keliat, 2011, p.183).

b. SP 2 pasien: Latihan mengontrol marah untuk mencegah perilaku


kekerasan dengan cara minum obat.
Orientasi:
“Assalamualaikum pak, sesuai dengan janji saya kemarin hari ini kita
ketemu lagi”. Bagaimana pak, sudah dilakukan latihan tarik napas dalam,
pukul kasur bantal? apa yang dirasakan setelah melakukan latihan secara
teratur?. Coba kita lihat cek kegiatannya”.
“Bagaimana kalau sekarang kita bicara dan latihan tentang cara
minum obat yang benar untuk mengontrol rasa marah?”. Di mana
enaknya kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau di tempat
kemarin?”. Berapa lama Bapak mau kita berbincang-bincang?
Bagaimana kalau 15 menit?”.
Kerja (perawat membawa obat pasien)
“ Bapak sudah dapat obat dari dokter?” Berapa macam obat yang
Bapak minum? Warnanya apa saja? Bagus! Jam berapa Bapak minum?
Bagus!”

8
“Obatnya ada tiga macam pak, yang warnanya oranye namanya CPZ
gunanya agar pikiran tenang, yang putih ini namanya THP agar rileks
dan tegang, dan yang merah jambu ini namanya HLP agar pikiran
teratur dan rasa marah berkurang. Semuanya ini harus Bapak minum 3
kali sehari jam 7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam”.
“Bila terasa mata berkunang-kunang, Bapak sebaiknya istirahat dan
jangan beraktivitas dulu.” Nanti di rumah sebelum minum obat ini Bapak
lihat dulu label di kotak obat apakah benar nama Bapak tertulis disitu,
berapa dosis yang harus diminum, jam berapa saja harus diminum. Baca
juga apakah nama obatnya sudah benar? Di sini minta obatnya pada
perawat kemudian cek lagi apakah benar obatnya !”
“Jangan pernah menghentikan minum obat sebelum berkonsultasi
dengan dokter ya pak, karena dapat terjadi kekambuhan.” “Sekarang kita
masukkan waktu minum obatnya kedalam jadwal ya pak.”
Terminasi:
“Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap tentang
cara minum obat yang benar?”
“Coba Bapak sebutkan lagi jenis obat yang Bapak minum!
Bagaimana cara minum obat yang benar?”
“Nah, sudah berapa cara mengontrol perasaan marah yang kita
pelajari?. Sekarang kita tambahkan jadwal kegiatannya dengan minum
obat. Jangan lupa laksanakan semua dengan teratur ya”.
“Baik, Besok kita ketemu kembali untuk belajar menolak, meminta,
dan mengungkapkan perasaan dengan baik. Tempatnya di sini ya Pak.
Sampai jumpa. Assalamualaikum” (Keliat, 2011, p.189).

9
c. SP 3 Pasien: Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal
Orientasi:
“Assalamualaikum pak, sesuai dengan janji saya kemarin sekarang
kita ketemu lagi”. Bagaimana Pak, sudah dilakukan latihan mengontrol
marah dengan minum obat?, apa yang dirasakan setelah melakukan
latihan secara teratur? Coba saya lihat jadwal kegiatan hariannya.”
“Bagus. Nah kalau minum obatnya dilakukan sendiri tulis M, artinya
mandiri; kalau diingatkan perawat baru dilakukan tulis B, artinya
dibantu atau diingatkan. Nah kalau tidak dilakukan tulis T, artinya belum
bisa melakukannya.”
“Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara bicara untuk mencegah
marah?”. Dimana enaknya kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau di
tempat yang sama?” Berapa lama Bapak mau kita berbincang-bincang?
Bagaimana kalau 15 menit?”
Kerja:
“Sekarang kita latihan cara bicara yang baik untuk mencegah marah.
Kalau marah sudah dusalurkan melalui tarik nafas dalam atau pukul
kasur dan bantal,minum obat, dan sudah lega, maka kita perlu bicara
dengan orang yang membuat kita marah. Ada tiga caranya pak: Meminta
dengan baik tanpa marah dengan nada suara yang rendah serta tidak
menggunakan kata-kata kasar. Kemarin Bapak bilang penyebab
marahnya karena minta uang sama isteri tidak diberi. Coba Bapak minta
uang dengan baik: ”Bu, saya perlu uang untuk membeli rokok.” Nanti
bisa dicoba di sini untuk meminta baju, minta obat dan lain-lain. Coba
Bapak praktekkan. Bagus pak.”
“Menolak dengan baik, jika ada yang menyuruh dan Bapak tidak
ingin melakukannya, katakan: ‘Maaf saya tidak bisa melakukannya
karena sedang ada kerjaan’. Coba Bapak praktekkan. Bagus pak”

10
“Mengungkapkan perasaan kesal, jika ada perlakuan orang lain yang
membuat kesal Bapak dapat mengatakan:’ Saya jadi ingin marah karena
perkataanmu itu’. Coba praktekkan. Bagus”
Terminasi:
“Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap tentang
cara mengontrol marah dengan bicara yang baik? Coba Bapak sebutkan
lagi cara bicara yang baik yang telah kita pelajari”
“Bagus sekali, sekarang mari kita masukkan dalam jadwal. Berapa
kali sehari Bapak mau latihan bicara yang baik? Bisa kita buat
jadwalnya?” Coba masukkan dalam jadwal latihan sehari-hari, misalnya
meminta obat, uang, dll. Bagus nanti dicoba ya Pak !”
“Bagaimana kalau dua jam lagi kita ketemu lagi?” Nanti kita akan
membicarakan cara lain untuk mengatasi rasa marah Bapak yaitu dengan
cara ibadah, Bapak setuju? Mau di mana Pak? Di sini lagi? Baik sampai
nanti ya. Wassalamualaikum.” (Keliat, 2011, p.186).

d. SP 4 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual


Orientasi:
“Assalamualaikum pak, sesuai dengan janji saya dua jam yang lalu
sekarang saya datang lagi” Baik, yang mana yang mau dicoba?”
“Bagaimana pak, latihan apa yang sudah dilakukan? Apa yang
dirasakan setelah melakukan latihan secara teratur? Bagus sekali,
bagaimana rasa marahnya”
“Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara lain untuk mencegah
rasa marah yaitu dengan ibadah?”. Dimana enaknya kita berbincang-
bincang? Bagaimana kalau di tempat tadi?”. Berapa lama Bapak mau
kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15 menit?”
Kerja:

11
“Coba ceritakan kegiatan ibadah yang biasa Bapak lakukan! Bagus.
Baik, yang mana mau dicoba? Nah, kalau Bapak sedang marah coba
Bapak langsung duduk dan tarik napas dalam. Jika tidak reda juga
marahnya rebahkan badan agar rileks. Jika tidak reda juga, ambil air
wudhu kemudian sholat”.
“Bapak bisa melakukan sholat secara teratur untuk meredakan
kemarahan.“Coba Bpk sebutkan sholat 5 waktu? Bagus. Mau coba yang
mana? Coba sebutkan caranya (untuk yang muslim).”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap tentang
cara yang ketiga ini?” Jadi sudah berapa cara mengontrol marah yang
kita pelajari? Bagus”.
“Mari kita masukkan kegiatan ibadah pada jadwal kegiatan Bapak .
Mau berapa kali Bapak sholat. Baik kita masukkan sholat ....... dan ........
(sesuai kesepakatan pasien). “Coba Bapak sebutkan lagi cara ibadah
yang dapat Bapak lakukan bila Bapak merasa marah.” Setelah ini coba
Bapak lakukan jadwal sholat sesuai jadwal yang telah kita buat tadi”.
“Baik, Besok kita ketemu kembali untuk melihat sejauh mana Bapak
melaksanakan kegiatan dan sejauh mana dapat mencegah rasa marah.
Mau jam berapa pak? Seperti sekarang saja, jam 10 ya?” Sampai
jumpa!” (Keliat, 2011, p.188).

B. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi


1. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus nyata
(Keliat, 2011, p. 147). Halusinasi didefinisikan dengan persepsi sensori yang

12
salah atau pengalaman persepsi yang tidak terjadi dalam realitas. Halusinasi
dapat mengancam dan menakutkan bagi klien walaupun klien lebih jarang
melaporkan halusinasi sebagai pengalaman yang menyenangkan. Mula-mula
klin merasakan halusinasi sebagai pengalaman yang nyata, tetapi kemudian
dalam proses penyakit tersebut, ia dapat mengakuinya sebagai halusinasi
(Videbeck, 2008, p.362).
Halusinasi berbeda dengan ilusi (persepsi salah tentang stimulus
lingkungan aktual), misalnya: ketika berjalan melewati hutan, seseorang
berpikir bahwa ia melihat seekor ular di sisi jalan, tetapi ketika diamati lebih
dekat, ternyata hanya tongkat berlekuk. Hal ini adalah suatu ilusi yang
dikoreksi oleh realitas atau informasi faktual (Videbeck, 2008, p.362). Ilusi
adalah interpretasi yang salah atau menyimpang tentang penyerapan
(persepsi) yang sebenarnya sungguh-sungguh terjadi karena adanya rangsang
pada pancaindra. Secara singkat ilusi adalah persepsi atau pengamatan yang
menyimpang (Sunaryo, 2004, p.96). Adapun halusinasi tidak memiliki dasar
realitas (Videbeck, 2008, p.362).
Isi halusinasi adalah tema halusinasi dan interpretasi pasien tentang
halusinasinya, seperti mengancam, menyalahkan, keagamaan, menghinakan,
kebesaran, seksual, membesarkan hati, membujuk atau hal-hal yang baik
(Maramis, 1990 dalam Sudaryo, 2004, p.94).

2. Jenis Halusinasi
Beberapa jenis halusinasi (Cancro dan Lehman, 2000 dalam Videbeck,
2008, p.362):
a. Halusinasi Pendengaran
Meliputi mendengar suara-suara, paling sering adalah suara orang,
berbicara kepada klien atau membicarakan klien. Mungkin ada satu atau
banyak suara dapat berupa suara orang yang dikenal atau tidak dikenal.
Halusinasi perintah merupakan bentuk halusinasi dengar yang berupa

13
suara-suara yang menyuruh klien untuk mengambil tindakan, sering kali
membahayakan diri sendiri atau orang lain dan dianggap berbahaya
(Videbeck, 2008, p.362).
b. Halusinasi Penglihatan
Melihat bayangan yang sebenarnya tidak ada sama sekali, misalnya
cahaya atau ornag yang telah meninggal atau mungkin sesuatu yang
bentuknya rusak, misalnya melihat monster yang menakutkan padahal
yang dilihat adalah perawat. Halusinasi ini adalah jenis halusinasi kedua
yang paling sering terjadi (Videbeck, 2008, p.364).
c. Halusinasi Penciuman
Mencium aroma atau bau padahal tidak ada. Bau tersebut dapat
berupa bau tertentu seperti urine atau feses, atau bau yang sifatnya lebih
umum, misalnya bau busuk atau bau yang tidak sedap. Jenis halusinasi ini
sering kali ditemukan pada klien demensia, kejang, atau stroke (Videbeck,
2008, p.364).
d. Halusinasi Taktil (perabaan)
Sensasi seperti aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuh atau
binatang kecil yang merayap di kulit. Halusinasi taktil paling sering
ditemukan pada klien yang mengalami putus alkohol (Videbeck, 2008,
p.364).
e. Halusinasi Pengecapan
Rasa yang tetap ada di dalam mulut, atau perasaan bahwa makanan
terasa seperti sesuatu yang lain. Rasa tersebut dapat berupa rasa logam
atau pahit atau mungkin seperti rasa tertentu (Videbeck, 2008, p.364).
f. Halusinasi Kinestetik
Terjadi ketika klien tidak bergerak tetapi melaporkan sensasi gerakan
tubuh. Gerakan tubuh kadang kala yang tidak lazim, misalnya melayang di
atas tanah (Videbeck, 2008, p.364).

14
3. Etiologi Halusinasi
Halusinasi dapat diakibatkan oleh skizofrenia, psikosis fungsional,
sindrom otak organik (SOO), epilepsi, neurosis histerik, intoksikasi atropin
atau kecubung, dan halusinogenik (Sunaryo, 2004, p.96). Pada dasarnya,
halusinasi dapat selalu berarti penyakit kejiwaan. Sebagai contoh, halusinasi
singkat cukup umum terjadi setelah peristiwa kematian (orang yang
mengalami halusinasi seolah melihat atau mendengar orang yang meninggal,
dll). Beberapa halusinasi juga dapat dipicu, misalnya seorang remaja laki-laki
yang mendengar seorang polisi berbicara tentang dirinya saat ia
mendengarkan musik (Brooker, 2008, p.168).

4. Tanda dan Gejala Halusinasi

Menurut (Keliat, 2011, p.148) :


No Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
1) Halusinasi - Bicara atau tertawa sendiri - Mendengar suara-suara
dengar/suara tanpa lawan bicara atau kegaduhan
- Marah-marah tanpa sebab - Mendengar suara yang
- Mencondongkan telinga mengajak bercakap-
ke arah tertentu cakap
- Menutup telinga - Mendengar suara
menyuruh melakukan
sesuatu yang berbahaya
2) Halusinasi - Menunjuk-nunjuk ke arah - Melihat bayangan, sinar,
Penglihatan tertentu bentuk geometris, bentuk
- Ketakutan pada objek kartun, melihat hantu
yang tidak jelas atau monster
3) Halusinasi - Menghidu seperti - Membaui bau-bauan

15
Penghidu membaui bau-bauan seperti bau darah, urin,
tertentu feses, dan kadang-
- Menutup hidung kadang bau itu
menyenangkan
4) Halusinasi - Sering meludah - Merasakan rasa seperti
Pengecapan - muntah sarah, urine, atau feses
5) Halusinasi - Menggaruk-garuk - Mengatakan ada
Perabaan permukaan kulit serangga di permukaan
kulit
- Merasa seperti tersengat
listrik

5. Pohon Masalah

Resiko mencederai diri,


orang lain dan lingkungan
(Efek)

Perubahan Persepsi Sensori Halusinasi


(penglihatan, pendengaran, pengecapan, perabaan
dan penciuman)
(Core Problem)

Isolasi sosial : menarik diri


(Etiologi)

Harga diri rendah

16
6. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan ditetapkan berdasarkan data subjektif dan
objektif yang ditemukan pada pasien. Diagnosis keperawatan pada gangguan
ini adalah gangguan sensori persepsi: Halusinasi (Keliat, 2011, p.148).

7. Tindakan Keperawatan Pasien Halusinasi


Tindakan keperawatan pada pasien halusinasi bertujuan agar pasien
mengenali halusinasi yang dialaminya, dapat mengontrol halusinasinya dan
pasien mengikuti program pengobatan secara optimal. Tindakan
keperawatan yang dilakukan adalah: (Keliat, 2011, p.149).
a. Membantu pasien mengenali halusinasi
Tindakan yang dilakukan adalah berdiskusi dengan pasien
tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat), waktu terjadi
halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
halusinasi muncul dan respon pasien saat halusinasi muncul.
b. Melatih pasien mengontrol halusinasi
Terdapat empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan
halusinasi, yaitu:
1) Menghardik halusinasi
Merupakan upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi yang
muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi
yang muncul atau tidak memperdulikannya. Bila ini dapat
dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak
mengikuti halusinasi yang muncul. Tahapan yang dilakukan
meliputi: menjelaskan cara menghardik halusinasi, memperagakan
cara menghardik, meminta pasien memperagakan ulang, memantau
penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien.

17
2) Menggunakan obat secara teratur
Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih
untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program.
Tindakan keperawatan agar pasien patuh menggunakan obat berupa:
Jelaskan kegunaan obat, akibat bila putus obat, cara mendapatkan
obat/berobat, dan cara menggunakan obat dengan prinsip lima benar.
3) Bercakap-cakap dengan orang lain
Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-
cakap dengan orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan
orang lain maka terjadi distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih
dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain
tersebut.
4) Melakukan aktifitas terjadwal
Untuk mengurangi resiko munculnya kembali halusinasi
adalah dengan menyibukkan diri dengan aktifitas yang teratur.
Dengan aktifitas yang terjadwal, pasien tidak akan mengalami
banyak waktu luang sendiri yang seringkali mencetuskan halusinasi.
Untuk itu pasien yang mengalami halusinasi dapat dibantu untuk
mengatasi halusinasinya dengan cara beraktifitas secara teratur dari
bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu. Setiap
kegiatan yang dilatih dimasukkan dalam jadwal kegiatan pasien
sampai tidak ditemukan waktu luang.

Tahapan intervensinya berupa (Keliat, 2011, p.149):


1) Menjelaskan pentingnya aktifitas yang teratur untuk mengatasi
halusinasi.
2) Mendiskusikan aktifitas yang biasa dilakukan oleh pasien.
3) Melatih pasien melakukan aktifitas.

18
4) Menyusun jadwal aktifitas sehari-hari sesuai dengan aktifitas yang
telah dilatih.
5) Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan dan memberikan penguatan
terhadap perilaku pasien yang positif.

8. Strategi Pelaksanaan (SP) Halusinasi


a. SP 1 Pasien: Bantu pasien mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol
halusinasi, ajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama
yaitu menghardik halusinasi.
Orientasi:
“ Assalamualaikum D, saya perawat SS yang akan merawat D. Saya
senang dipanggil S. Nama D siapa? Senang dipanggil apa” Bagaimana
perasaan D hari ini? Apa keluhan D saat ini? “ Baiklah bagaimana
kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang selama ini D dengar tetapi
tak nampak wujudnya? Dimana kita duduk? Di ruang taman? berapa
lama? Bagaimana kalau 30 menit”

Kerja:
“Apakah D mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang
dikatakan suara itu?” “Apakah terus-menerus terdengar atau sewaktu-
waktu? kapan yang paling serung D dengar suara? Berapa kali sehari D
alami? pada keadaan apa suara itu terdengar ? Apakah pada waktu
sendiri?”
“Apa yang D rasakan pada saat mendegar suara itu? Apa yang
lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara itu suara-suara
itu hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah
suara-suara itu muncul?”
“D ada empat cara untu mencegah suara-suara itu muncul. Pertama
dengan menghardik suara tersebut. Kedua dengan cara minum obat.

19
Ketiga, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Keempat,
melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang keempat minum obat
dengan teratur”.
“Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan
menghardik”. Caranya sebagai berikut: saat suara-suara itu muncul,
langsung D bilang, pergi saya tidak mau dengar,… saya tidak mau
dengar,,,Pergi jangan ganggu saya. Stop jangan ganggu saya. Begitu
diulang-ulang sampai suara itu tak terdengar lagi. Coba D peragakan!
Nah begitu, .. Bagus! Coba Lagi! Ya bagus, D sudah dapat melakukannya
dengan sangat baik!”.

Terminasi:
“Bagaimana perasaan D setelah peragakan latihan tadi? Kalau
suara-suara itu muncul lagi, Silahkan coba cara tersebut!, Bagaimana
kalau kita buat jadwal latihannya? Mau pukul berapa aja latihannya?
(Anda masukkan kegiatan latihan menghardik halusinasi ke dalam jadwal
kegiatan harian pasien). Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar
dan latihan mengendalikan suara-suara dengan cara kedua? Jam berapa
D? Bagaimana kalau dua jam lagi? Berapa lama kita akan berlatih? Di
mana tempatnya?” Baiklah, sampai jumpa.” Wasslamualaikum”. (Keliat,
2011, p.151).

b. SP 2 Pasien: Latih pasien menggunakan obat secara teratur


Orientasi:
“Assamualaikum D, bagaimana perasaan D hari ini? Apakah suara-
suaranya masih muncul? Apakah suara-suara itu masih muncul? Apakah
sudah dipakai dipakai cara yang telah kita latih?’ berkurangkah suara-
suara nya? bagus sesuai janji kita tadi, saya akan latih cara kedua untuk
mengontrol halusinasi dengan minum obat. “D, apakah pagi ini sudah

20
minum obat?, Baik. Kita akan mendiskusikan tentang obat-obatan yang D
minum. Kita akan latihan selama 20 menit. Mau dimana? disini saja?”

Kerja:
“D adakah bedanya setelah minum obat secara teratur? apakah
suara-suara berkurang atau hilang? Minum obat sangat penting supaya
suara-sara yang D dengar dan mengganggu selama ini tidak muncul lagi.
Berapa macam obat yang D minum? (perawat menyiapkan obat pasien).
Ini yang warna orange (CPZ) tiga kali sehari jam 7 pagi, pukul 1 siang,
dan pukul 7 malam, gunanya untuk membuat pikiran tenang. Ini yang
putih (THP) tiga kali sehari pukul yang sama gunanya untuk rileks dan
tidak kaku. Sedangkan yang merah jambu (HP), 3 kali sehari waktunya
sama, gunanya untuk menghilangkan suara-suara. Kalau suara-suara
sudah hilang obatnya tidak boleh diberhentikan. Nanti konsultasikan
dengan dokter, Sebab kalau putus obat, D akan kambuh dan sulit untuk
mengembalikan ke keadaan semula. Kalau obat D habis, D juga haruis
teliti saat menggunakan obat-obatan ini. Pastikan obatnya benar, jangan
keliru dengan milik orang lain. baca nama kemasannya, Pastikan obat
diminum sesudah makan dan tepat waktunya. dengan cara yang benar. D
juga haru perhatikan berapa jumlah obat sekali minum, dan harus cukup
10 gelas per hari”

Terminasi:
“ Bagaimana perasaan D setelah kita bercakap-cakap tentang obat?
Sudah berapa cara yang kita latih untuk mencegah suara-suara? Coba
sebutkan! Bagus! (jika jawaban benar). Mari kita masukkan jadwal
minum obatnya pada jadwal kegiatan D. Jangan lupa pada waktunya
minta obat pada perawat atau pada keluarga kalau di rumah. Nah
makanan sudah datang. Besok kita ketemu lagi untuk belajar cara ketiga

21
mencegah suara yang telah kita bicarakan. Mau jam berapa? Bagaimana
kalau jam 10.00. sampai jumpa. Wassalammu’alaikum.” (Keliat, 2011,
p.154).

c. SP 3 Pasien: Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga:


bercakap-cakap dengan orang lain
Orientasi:
“Assalammu’alaikum D. Bagaimana perasaan D hari ini? Apakah
suara-suaranya masih muncul ? Apakah sudah dipakai cara yang telah
kita latih? Berkurangkah suara-suaranya Bagus ! Sesuai janji kita tadi
saya akan latih cara ketiga untuk mengontrol halusinasi dengan
bercakap-cakap dengan orang lain. Kita akan latihan selama 20 menit.
Mau di mana? Di sini saja?”

Kerja:
“Cara ketiga untuk mencegah/mengontrol halusinasi yang lain adalah
dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Jadi kalau D mulai
mendengar suara-suara, langsung saja cari teman untuk diajak ngobrol.
Minta teman untuk ngobrol dengan D. Contohnya begini; … tolong, saya
mulai dengar suara-suara. Ayo ngobrol dengan saya! Atau kalau ada
orang dirumah misalnya Kakak D katakan: Kak, ayo ngobrol dengan D.
D sedang dengar suara-suara. Begitu D. Coba D lakukan seperti saya
tadi lakukan. Ya, begitu. Bagus! Coba sekali lagi! Bagus! Nah, latih terus
ya D!”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan D setelah latihan ini? Jadi sudah ada berapa
cara yang D pelajari untuk mencegah suara-suara itu? Bagus, cobalah
ketiga cara ini kalau D mengalami halusinasi lagi. Bagaimana kalau kita

22
masukkan dalam jadwal kegiatan harian D. Mau jam berapa latihan
bercakap-cakap? Nah nanti lakukan secara teratur serta sewaktu-waktu
suara itu muncul! Besok pagi saya akan ke mari lagi. Bagaimana kalau
kita latih cara yang keempat yaitu melakukan aktivitas terjadwal? Mau
jam berapa? Bagaimana kalau jam 10.00? Mau di mana/ Di sini lagi?
Sampai besok ya. Assalamualaikum” (Keliat, 2011, p.152).

d. Sp 4 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara keempat:


melaksanakan aktivitas terjadwal.
Orientasi:
“Assalamu’alaikum D. Bagaimana perasaan D hari ini? Apakah
suara-suaranya masih muncul ? Apakah sudah dipakai ketiga cara yang
telah kita latih ? Bagaimana hasilnya ? Bagus ! Sesuai janji kita, hari ini
kita akan belajar cara yang keempat untuk mencegah halusinasi yaitu
melakukan kegiatan terjadwal. Mau di mana kita bicara? Baik kita duduk
di ruang tamu. Berapa lama kita bicara? Bagaimana kalau 30 menit?
Baiklah.”

Kerja:
“Apa saja yang biasa D lakukan? Pagi-pagi apa kegiatannya, terus
jam berikutnya (terus ajak sampai didapatkan kegiatannya sampai
malam). Wah banyak sekali kegiatannya. Mari kita latih dua kegiatan
hari ini (latih kegiatan tersebut). Bagus sekali D bisa lakukan. Kegiatan
ini dapat D lakukan untuk mencegah suara tersebut muncul. Kegiatan
yang lain akan kita latih lagi agar dari pagi sampai malam ada kegiatan.

Terminasi:
“Bagaimana perasaan D setelah kita bercakap-cakap cara yang
ketiga untuk mencegah suara-suara? Bagus sekali! Coba sebutkan 3 cara

23
yang telah kita latih untuk mencegah suara-suara. Bagus sekali. Mari
kita masukkan dalam jadwal kegiatan harian D. Coba lakukan sesuai
jadwal ya! (Saudara dapat melatih aktivitas yang lain pada pertemuan
berikut sampai terpenuhi seluruh aktivitas dari pagi sampai malam)
Bagaimana kalau menjelang makan siang nanti, kita membahas sejauh
mana D sudah melatih keempat cara untuk mencegah suara yang pernah
kita bicarakan? Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 12.00 pagi? Di
ruang makan ya! Sampai jumpa. Wassalammualaikum (Keliat, 2011,
p.153).

C. Gangguan Proses pikir: Waham


1. Definisi Waham
Waham adalah keyakinan yang salah dan dipertahankan yang tidak
memiliki dasar dalam realitas. Tema atau isi waham dapat bervariasi sesuai
dengan jenis waham. Keyakinan waham ini tak tergoyahkan oleh informasi
atau fakta dari luar dan yang bertentangan (Videbeck, 2008, p.362). Waham
adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat/terus
menerus namun tidak sesuai dengan kenyataan (Keliat, 2011, p.165).

2. Jenis Waham
Menurut Keliat (2011, p.165):
a. Waham Kebesaran
Meyakini bahwa seseorang memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus, diucapkan berulang kali tapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh: “Saya ini pejabat di departemen kesehatan”. “Saya punya
tambang emas”.
b. Waham Curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya, diucapkan berangkali tetapi tidak sesuai

24
kenyataan. Contoh: “Saya tahu, anda ingin menghancurkan hidup saya
karena iri dengan kesuksesan saya”.
c. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agam secara berlebihan,
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh: “Kalau
saya mau masuk surga saya harus menggunakan pakaian putih setiap
hari”
d. Waham Somatik
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang
penyakit, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh:
“saya sakit kangker, namun pasien terus mengatakan bahwa ia terserang
kangker”.
e. Waham nihilistic
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal,
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh: “ini kan
alam kubur ya, semua yang ada disini roh-roh” (Keliat, 2011, p.165).

3. Tanda dan Gejala Waham


Tanda dan gejala umum waham berupa klien memegang suatu
kayakinan dengan kepastian total, langsung, dan segera. Akibat klien percaya
pada ide waham, ia akan bertindak sesuai dengan ide tersebut (Videbeck,
2008, p.362).

4. Pohon Masalah

Resiko tinggi perilaku kekerasan


Efek
Gangguan persepsi sensori: Halusinasi
Defisit
Core Gangguang proses pikir: waham perawatan diri
Problem (Efek)
m
Kerusakan memori (Etiologi)
25
5. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ditetapkan pada pasien dengan gangguan
ini adalah gangguan proses pikir: waham (Keliat, 2011, p.166).

6. Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan pada pasien gangguan proses pikir: waham
bertujuan agar pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap,
mampu menggunakan obat dengan teratur, dapat memenuhi kebutuhan
dasar, serta mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan serta
pasien (Keliat, 2011, p.167). Berikut ini tindakan keperawatan yang
dilakukan:
a. Bina hubungan saling percaya. Sebelum memulai mengakaji pasien
dengan waham, anda harus membina hubungan saling percaya terlebih
dahulu agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan
anda. Upaya membina hubungan saling percaya adalah dengan
mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan
interaksi, dan membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali
bertemu pasien.
b. Bantu orientasi realita, dengan cara: tidak mendukung atau membantah
waham pasien, yakinkan pasien berada dalam keadaan aman, observasi
pengaruh waham terhadap aktifitas sehari-hari, jika pasien terus
membicarakan wahamnya dengarkan tanpa memberikan dukungan atau
menyangkal sampai pasien berhenti membicarakannya, fokuskan
pembicaraan pada realitas serta menjelaskan hal yang sesuai realitas,
berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan
realita.
c. Berdiskusi tentang obat yang diminum dan melatih minum obat yang
benar

26
d. Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi
sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah.
e. Tingkatkan aktifitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan
emosional pasien
f. Berdiskusi tentang obat yang diminum, serta
g. Bantu melakukan kebutuhan yang dimiliki (Keliat, 2011, p.167).

7. Strategi Pelaksanaan Waham


a. SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya; mengidentifikasi
kebutuhan yang tidak terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan dan
latihan orientasi realita.
Orientasi:
“Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Ani, saya perawat yang
dinas pagi ini di ruang Melati. Saya dinas dari pukul 07-14.00 nanti,
saya yang akan merawat abang hari ini. Nama abang siapa, senangnya
dipanggil apa?” Bisa kita berbincang-bincang tentang apa yang bang B
rasakan sekarang?” Berapa lama bang B mau kita berbincang-
bincang? Bagaimana kalau 15 menit?” Dimana enaknya kita
berbincang-bincang, bang?”.

Kerja:
“Saya mengerti bang B merasa bahwa bang B adalah seorang
nabi, tapi sulit bagi saya untuk mempercayainya karena setahu saya
semua nabi sudah tidak adalagi, bisa kita lanjutkan pembicaraan yang
tadi terputus bang?”. Tampaknya bang B gelisah sekali, bisa abang
ceritakan apa yang bang B rasakan?”
“O... jadi bang B merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain
dan tidak punya hak untuk mengatur diri abang sendiri?” Siapa
menurut bang B yang sering mengatur-atur diri abang?” Jadi ibu yang

27
terlalu mengatur-ngatur ya bang, juga kakak dan adik abang yang
lain?”
“Kalau abang sendiri inginnya seperti apa?”. O... bagus abang
sudah punya rencana dan jadwal untuk diri sendiri”. Coba kita tuliskan
rencana dan jadwal tersebut bang”.
“Wah..bagus sekali, jadi setiap harinya abang ingin ada kegiatan
diluar rumah karena bosan kalau di rumah terus ya”.

Terminasi:
“Bagaimana perasaan B setelah berbincang-bincang dengan
saya?” ”Apa saja tadi yang telah kita bicarakan? Bagus”.
“Bagaimana kalau jadwal ini abang coba lakukan, setuju bang?”.
“Bagaimana kalau saya datang kembali dua jam lagi?” Kita bercakap-
cakap tentang kemampuan yang pernah Abang miliki? Mau di mana
kita bercakap-cakap? Bagaimana kalau di sini lagi?” Sampai jumpa!”.
(Keliat, 2011, p.168).

b. SP 2 Pasien: Mengajarkan dan melatih cara minum obat yang benar


Orientasi:
“Assalamualaikum bang B.” Bagaimana kabarnya hari ini? Bagus
sekali”. Sesuai dengan janji kita dua hari yang lalu bagaimana kalau
sekarang kita membicarakan tentang obat yang bang B minum?”
Dimana kita mau berbicara? Di kamar makan?”. Berapa lama bang B
mau kita berbicara? 20 atau 30 menit?”

Kerja:
“Bang B berapa macam obat yang diminum/ Jam berapa saja obat
diminum?”. Bang B perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang,
tidurnya juga tenang”

28
“Obatnya ada tiga macam bang, yang warnanya oranye namanya
CPZ gunanya agar tenang, yang putih ini namanya THP gunanya agar
rileks, dan yang merah jambu ini namanya HLP gunanya agar pikiran
jadi teratur. Semuanya ini diminum 3 kali sehari jam 7 pagi, jam 1
siang, dan jam 7 malam”.
“Bila nanti setelah minum obat mulut bang B terasa kering, untuk
membantu mengatasinya abang bisa banyak minum dan mengisap-isap
es batu”. Sebelum minum obat ini bang B dan ibu mengecek dulu label
di kotak obat apakah benar nama B tertulis disitu, berapa dosis atau
butir yang harus diminum, jam berapa saja harus diminum. Baca juga
apakah nama obatnya sudah benar” .
“Obat-obat ini harus diminum secara teratur dan kemungkinan
besar harus diminum dalam waktu yang lama. Agar tidak kambuh lagi
sebaiknya bang B tidak menghentikan sendiri obat yang harus diminum
sebelum berkonsultasi dengan dokter”.

Terminasi:
“Bagaimana perasaan bang B setelah kita bercakap-cakap tentang
obat yang bang B minum?. Apa saja nama obatnya? Jam berapa minum
obat?”
“Mari kita masukkan pada jadual kegiatan abang. Jangan lupa
minum obatnya dan nanti saat makan minta sendiri obatnya pada
perawat.” “Jadwal yang telah kita buat kemarin dilanjutkan ya Bang!”
Bang, besok kita ketemu lagi untuk melihat jadwal kegiatan yang telah
dilaksanakan. Bagaimana kalau seperti biasa, jam 10 dan di tempat
sama?” “Sampai besok.” (Keliat, 2011, p.170).
c. SP 3 Pasien: Menjelaskan dan melatih cara memenuhi kebutuhan dasar
Orientasi:

29
“Assalamualaikum bang B, bagaimana perasaannya saat ini?
Bagus!” Bagaimana kalau kita bicarakan tentang kebutuhan B saat
ini?” “Dimana enaknya kita berbincang-bincang?”
“Berapa lama bang B mau kita berbincang-bincang? Bagaimana
kalau 20 menit tentang hal tersebut?”

Kerja:
“Apa saja kegiatan Bang B saat ini?” Wah.., rupanya bang B banyak
juga kegiatannya ya?”. Bisa bang B ceritakan kegiatan Bang B dari
bangun tidur hingga malam?”. Wah..bagus sekali apa yang sudah B
lakukan.”
“Nah, Bang B sepertinya belum mandi ya? Rambutnya juga masih
kusut. Bagaimana kalau saya ajarkan B untuk mandi dan menyikat
rambut.”. “Ya seperti itu B.”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan bang B setelah kita bercakap-cakap dan
berlatih mandi dan merapikan diri.” Setelah ini coba bang B lakukan
lagi ya dan bagaimana kalau kita masukkan dalam jadwal harian.”
“Besok kita ketemu lagi ya bang?” Besok kita akan membahas
tentang hobi B, baik B mau kita berbincang di sini saja ya?” Baik B
kalau begitiu saya permisi dulu.”

30
d. SP 4 Pasien: mengidentifikasi kemampuan positif pasien dan membantu
mempraktekkannya
Orientasi:
“Assalamualaikum bang B, bagaimana perasaannya saat ini?
Bagus!”
“Apakah bang B sudah mengingat-ingat apa saja hobi atau
kegemaran abang?” Bagaimana kalau kita bicarakan hobi tersebut
sekarang?” Dimana enaknya kita berbincang-bincang tentang hobi
bang B tersebut?” Berapa lama bang B mau kita berbincang-bincang?
Bagaimana kalau 20 menit tentang hal tersebut?”

Kerja:
“Apa saja hobby abang? Saya catat ya Bang, terus apa lagi?”
Wah.., rupanya bang B pandai main volley ya, tidak semua orang bisa
bermain volley seperti itu lho B”(atau yang lain sesuai yaxxng
diucapkan pasien).
“Bisa bang B ceritakan kepada saya kapan pertama kali belajar
main volley, siapa yang dulu mengajarkannya kepada bang B,
dimana?”
“Bisa bang B peragakan kepada saya bagaimana bermain volley yang
baik itu?” Wah..baik sekali permainannya”
“Coba kita buat jadwal untuk kemampuan bang B ini ya, berapa
kali sehari/seminggu bang B mau bermain volley?” Apa yang bang B
harapkan dari kemampuan bermain volley ini?” Ada tidak hobi atau
kemampuan bang B yang lain selain bermain volley?”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan bang B setelah kita bercakap-cakap
tentang hobi dan kemampuan abang?”. “Setelah ini coba bang B

31
lakukan latihan volley sesuai dengan jadwal yang telah kita buat ya?”
(Keliat, 2011, p.169).

D. Resiko Bunuh Diri


1. Definisi
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien
untuk mengakhiri kehidupannya (Keliat, 2011, p.202). Adapun rsiko bunuh
diri didefinisikan dengan perilaku rentan terhadap menyakiti diri sendiri dan
cedera yang mengancam jiwa (Herdman, 2015, p.443).
Berdasarkan besarnya kemungkinan pasien melakukan bunuh diri,
terdapat tiga macam perilaku bunuh diri, yaitu isyarat bunuh diri, ancaman
bunuh diri, dan percobaan bunuh diri. Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan
berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan
mengatakan “tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh!” atau
“segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi ini pasien
mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, namun tidak
disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Adapun pada ancaman
bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, berisi keinginan untuk mati
disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat
untuk melaksanakan rencana tersebut. Pada percobaan bunuh diri, tindakan
pasien sudah berusaha mencederai atau melukai diri untuk mengakhiri
kehidupannya (Keliat, 2011, p. 202).

2. Etiologi
Timbulnya resiko bunuh diri dipengaruhi oleh berapa faktor resiko
berikut ini:
a. Perilaku, berupa: impulsif, membeli obat dalam jumlah banyak,
membeli senjata, membeli harta milik/kepemilikan, membuat surat
warisan, mengubah surat warisan, pemulihan euforik yang tiba-tiba dari

32
depresi mayor, perubahan performa/kinerja di sekolah yang nyata,
perubahan sikap dan perilaku nyata, serta adanya riwayat upaya bunuh
diri.
b. Demografik, berupa: janda/duda, jenis kelamin pria, ras (misalnya orang
kulit putih, suku asli Amerika), status perceraian dan usia (misalnya
lansia, pria dewasa muda, remaja).
c. Fisik, berupa: nyeri kronis, penyakit fisik, dan penyakit terminal
d. Psikologi, berupa: gangguan psikiatrik, penyalahgunaan zat, rasa
bersalah, remaja homoseksual, riwayat bunuh diri dalam keluarga, dan
riwayat penganiayaan masa kanak-kanak (misalnya fisik, psikologis,
dan seksual) (Herdman, 2015, p.443).

3. Tanda dan Gejala Resiko Bunuh diri


Manifestasi klinis pada resiko bunuh diri disesuaikan dengan tiga jenis
perilaku bunuh diri, antara lain (Keliat, 2011, p. 202).:
a. Isyarat bunuh diri: pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti
rasa bersalah/ sedih/ marah/ putus asa/ tidak berdaya. Pasien juga
mengungkapkan hal-hal negative tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah.
b. Ancaman bunuh diri: secara aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh
diri, namun tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.
c. Percobaan bunuh diri: pada kondisi ini, pasien aktif mencoba bunuh diri
dengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau
menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi.

33
4. Pohon Masalah
Mencederai diri sendiri effect

Resiko tinggi bunuh diri Problem

Gangguan Alam Perasaan,


Depresi

i
Isolasi Sosial Etiologi

Gangguan Harga diri

Berduka Disfungsional

5. Diagnosis Keperawatan
Jika ditemukan data bahwa pasien menunjukkan isyarat bunuh diri,
masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah harga diri rendah. Maka
tatalaksana tindakan keperawatan yang paling utama adalah meningkatkan
harga diri pasien. Akan tetapi, bila ditemukan data bahwa pasien
memberikan ancaman atau mencoba bunuh diri, maka masalah keperawatan
yang mungkin muncul adalah resiko bunuh diri (Keliat, 2011, p.203).

6. Tindakan Keperawatan Pada Pasien Dengan Isyarat Bunuh diri


Tindakan keperawatan untuk pasien ini bertujuan agar pasien
mendapat pelindungan dari lingkungannya, dapat mengungkapkan
perasaannya, dapat meningkatkan harga dirinya dan dapat menggunakan
cara penyelesaian masalah yang baik. Tindakan yang dilakukan berupa
(Keliat, 2011, p.206):
a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu
dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman.

34
b. Meningkatkan harga diri pasien
Dengan cara memberi kesempatan pada pasien untuk
mengungkapkan perasaannya, memberi pujian bila pasien dapat
mengatakan perasaan yang positif, meyakinkan pasien bahwa dirinya
penting, membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh
pasien, dan merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan.
c. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah
Dengan cara mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan
masalahnya, mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing
cara penyelesaian masalah dan mendiskusikan dengan pasien cara
menyelesaikan masalah yang lebih baik (Keliat, 2011, p.207).

7. Tindakan Keperawatan pada pasien dengan percobaan bunuh diri


Tindakan keperawatan untuk pasien ini bertujuan agar pasien tetap
aman dan selamat dengan cara melindungi pasien yaitu:
a. Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ketempat
yang aman.
b. Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika
pasien mendapatkan obat.
c. Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas,
tali pinggang).
d. Dengan lembut menjelaskan pada pasien bahwa saudara akan
melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri (Keliat, 2011,
p.204).

35
8. Strategi Pelaksanaan Pasien dengan Isyarat Bunuh Diri
a. SP 1 Pasien: Percakapan melindungi pasien dari isyarat bunuh diri
Orientasi:
”Assalamu’alaikum B!, masih ingat dengan saya kan? Bagaimana
perasaan B hari ini? O... jadi B merasa tidak perlu lagi hidup di dunia
ini. Apakah B ada perasaan ingin bunuh diri? Baiklah kalau begitu, hari
ini kita akan membahas tentang bagaimana cara mengatasi keinginan
bunuh diri. Mau berapa lama? Dimana?”Disini saja yah!”

Kerja
“Baiklah, tampaknya B membutuhkan pertolongan segera karena ada
keinginan untuk mengakhiri hidup”. ”Saya perlu memeriksa seluruh isi
kamar B ini untuk memastikan tidak ada benda-benda yang
membahayakan B.”
”Nah B, karena B tampaknya masih memiliki keinginan yang kuat
untuk mengakhiri hidup B, maka saya tidak akan membiarkan B sendiri.”
”Apa yang B lakukan kalau keinginan bunuh diri muncul? Kalau
keinginan itu muncul, maka untuk mengatasinya B harus langsung minta
bantuan kepada perawat atau keluarga dan teman yang sedang besuk. Jadi
usahakan B jangan pernah sendirian ya..”.

Terminasi:
“Bagaimana perasaan B setelah bercakap-cakap? dapat sebutkan
kembali apa yang telah kita bicarakan tadi? Bagus B. Bagaimana masih
ada dorongan untuk bunuh diri? kalau masih ada perasaan/dorongan
bunuh diri, tolong segera panggil saya atau perawat yang lain. kalau
sudah tidak ada keinginan bunuh diri saya akan bertemu B lagi besok jam
10.00 wib, untuk membicarakan cara meningkatkan harga diri, disini saja
ya. . sampai jumpa”. (Keliat, 2011, p.208).

36
b. SP 2 Pasien: Percakapan untuk meningkatkan harga diri pasien isyarat
bunuh diri.
Orientasi:

“Assalamu’alaikum B! Bagaimana perasaan B saat ini? Masih


adakah dorongan mengakhiri kehidupan? Baik, sesuai janji kita dua jam
yang lalu sekarang kita akan membahas tentang rasa syukur atas
pemberian Tuhan yang masih B miliki. Mau berapa lama? Dimana?”

Kerja:
“Apa saja dalam hidup B yang perlu disyukuri, siapa saja kira-kira
yang sedih dan rugi kalau B meninggal. Coba B ceritakan hal-hal yang
baik dalam kehidupan B. Keadaan yang bagaimana yang membuat B
merasa puas? Bagus. Ternyata kehidupan B masih ada yang baik yang
patut B syukuri. Coba B sebutkan kegiatan apa yang masih dapat B
lakukan selama ini”.Bagaimana kalau B mencoba melakukan kegiatan
tersebut, Mari kita latih.”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan B setelah kita bercakap-cakap? Bisa sebutkan
kembali apa-apa saja yang B patut syukuri dalam hidup B? Ingat dan
ucapkan hal-hal yang baik dalam kehidupan B jika terjadi dorongan
mengakhiri kehidupan (afirmasi). Bagus B. Coba B ingat-ingat lagi hal-hal
lain yang masih B miliki dan perlu disyukuri! Nanti pukul 12 kita bahas
tentang cara mengatasi masalah dengan baik. Tempatnya dimana?
Baiklah. Tetapi kalau ada perasaan-perasaan yang tidak terkendali segera
hubungi saya ya!” (Keliat, 2011, p.209).

37
c. SP 3 Pasien: percakapan untuk meningkatkan kemampuan dalam
menyelesaikan masalah pada pasien isyarat bunuh diri
Orientasi:
”Assalamu’alaikum, B. Bagaimana perasaannyai? Masihkah ada
keinginan bunuh diri? Apalagi hal-hal positif yang perlu disyukuri? Bagus!
Sekarang kita akan berdiskusi tentang bagaimana cara mengatasi masalah
yang selama ini timbul. Mau berapa lama? Di sini saja yah ?”

Kerja:
“Coba ceritakan situasi yang membuat B ingin bunuh diri. Selain
bunuh diri, apalagi kira-kira jalan keluarnya. Wow banyak juga yah. Nah
coba kita diskusikan keuntungan dan kerugian masing-masing cara
tersebut. Mari kita pilih cara mengatasi masalah yang paling
menguntungkan! Menurut B cara yang mana? Ya, saya setuju. B bisa
dicoba!”Mari kita buat rencana kegiatan untuk masa depan.”

Terminasi
“Bagaimana perasaan B, setelah kita bercakap-cakap? Apa cara
mengatasi masalah yang B akan gunakan? Coba dalam satu hari ini, B
menyelesaikan masalah dengan cara yang dipilih B tadi. Besok di jam
yang sama kita akan bertemu lagi disini untuk membahas pengalaman B
menggunakan cara yang dipilih”. (Keliat, 2011, p,209).

d. SP 4 Pasien: Melatih pasien cara mencapai harapan masa depan yang


realistis
Orientasi:
”Assalamu’alaikum, B. Bagaimana perasaannyai? Masihkah ada
keinginan bunuh diri? Apakah B sudah melatih cara yang saya ajarkan

38
kemarin? Bagus! Sekarang kita akan berdiskusi tentang bagaimana cara
mencapai harapan dimasa depan. Mau berapa lama? Di sini saja yah ?”

Kerja:
“Coba ceritakan apa B mempunyai keinginan untuk masa depan B.
bagus sekali B. menurut B apa saja kegiatan yang dapat B lakukan untuk
masa depan B. “bagus sekali, cara yang mana? Ya, saya setuju.. B bisa
dicoba!”Mari kita buat rencana kegiatan untuk masa depan.”

Terminasi
“Bagaimana perasaan B, setelah kita bercakap-cakap? Apa cara
mengatasi masalah yang B akan gunakan? Coba dalam satu hari ini, B
menyelesaikan masalah dengan cara yang dipilih B tadi. Besok di jam
yang sama kita akan bertemu lagi disini untuk membahas pengalaman B
menggunakan cara yang dipilih”. (Keliat, 2011, p,209).

E. Defisit Perawatan Diri


1. Definisi Defisit Perawatan Diri
Defisit perawatan diri menggambarkan suatu keadaan seseorang yang
mengalami hambatan kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri,
seperti mandi, berganti pakaian, makan, dan eliminasi. Jika seseorang tidak
dapat melakukan semua perawatan diri, situasi ini digambarkan sebagai
Defisit perawatan diri total. Namun, diagnosis tersebut dapat diklasifikasikan
dalam masalah yang lebih spesifik, dengan batasan karakteristiknya masing-
masing; masalah-masalah ini dapat berdiri sendiri atau dalam berbagai
kombinasi, seperti defisit perawatan diri makan dan defisit perawatan diri
mandi/hygiene dan makan (Wilkinson, 2011, p.642).

39
2. Jenis Defisit Perawatan Diri
Defisit perawatan diri terbagi atas (Herdman (2015):
a. Defisit perawatan diri: mandi
Berupa hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktifitas mandi secara mandiri .
b. Defisit perawatan diri: berpakaian
Berupa hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktifitas berpakaian secara mandiri.

c. Defisit perawatan diri: makan,


Berupa hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktifitas makan secara mandiri.
d. Defisit perawatan diri: eliminasi
Berupa hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktifitas eliminasi mandiri.

3. Etiologi Defisit Perawatan Diri


Defisit perawatan diri disebabkan oleh ansietas, gangguan fungsi
kognitif, gangguan neuromuskular, gangguan persepsi, kelemahan, kendala
lingkungan, ketidakmampuan merasakan bagian tubuh, ketidakmampuan
merasakan bagian tubuh spasial, nyeri, penurunan motivasi, dan hambatan
kemampuan berpindah (Herdman, 2015, p.258). Kurangnya perawatan diri
pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses
pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri menurun
(Keliat, 2011, p.365).

4. Tanda dan Gejala Defisit Perawatan Diri


Defisit perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat
kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri secara mandiri, dan

40
eliminasi/toileting (buang air besar/buang air kecil) secara mandiri. Tanda dan
gejalanya berupa (Keliat, 2011, p.220):
a. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, kuku panjang, dan kotor.
b. Ketidakmampuan berhias/berdandan, ditandai dengan rambut acak-
acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien
laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
c. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan
makan tidak pada tempatnya.
d. Ketidakmampuan defekasi/berkemih, ditandai dengan defekasi atau
berkemih tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik
setelah defekasi/berkemih (Keliat, 2011, p.221).

5. Pohon Masalah

Effect Personal Higiene kurang

Defisit perawatan Diri (kebersihan


Core Problem
diri, makan, berdandan,
defekasi/berkemih)
Malas beraktifitas dam menurunnya
motivasi perawatan diri

Etiologi Isolasi Sosial

6. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ditetapkan adalah defisit perawatan diri:
(kebersihan diri, makan, berdandan, defekasi/berkemih (Keliat, 2011,

41
p.221),). Diagnosa defisit perawatan diri terdiri atas: Defisit perawatan diri;
mandi, makan, berpakaian, dan eliminasi (Herdman, 2015, p.258).

7. Tindakan Keperawatan
Tujuan tindakan keperawatan pada pasien defisit perawatan diri, antara
lain: pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri, pasien
mampu melakukan berhias/berdandan secara baik, pasien mampu melakukan
makan dengan baik dan pasien mampu melakukan defekasi/berkemih secara
mandiri (Keliat, 2011, p.221).
Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah (Keliat, 2011, p.221):
a. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri.
Dilakukan dengan cara menjelasan pentingnya menjaga kebersihan
diri, menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri, menjelaskan
cara-cara melakukan kebersihan diri dan melatih pasien mempraktekkan
cara menjaga kebersihan diri.
b. Melatih pasien berdandan/berhias.
Dilakukan dengan cara melatih pasien berdandan. Untuk pasien laki-
laki latihan meliputi:berpakaian, menyisir rambut dan bercukur. Adapun
untuk pasien wanita, latihannya meliputi: berpakaian, menyisir rambut dan
berhias.
c. Melatih pasien makan secara mandiri.
Dilakukan dengan cara menjelaskan cara mempersiapkan makan,
menjelaskan cara makan yang tertib, menjelaskan cara merapihkan
peralatan makan setelah makan dan praktek makan sesuai dengan tahapan
makan yang baik.
d. Mengajarkan pasien melakukan defekasi/berkemih secara mandiri .
Dilakukan dengan cara menjelaskan tempat defekasi/berkemih yang
sesuai, menjelaskan cara membersihkan diri setelah defekasi/berkemih
dan menjelaskan cara membersihkan tempat defekasi/berkemih

42
8. Strategi Pelaksanaan
a. SP 1 Pasien: Mendiskusikan pentingnya kebersihan diri, cara-cara
merawat diri dan melatih pasien tentang cara perawatan kebersihan diri;
mandi
Orientasi:
“Selamat pagi, kenalkan saya perawat R”, Namanya siapa, senang
dipanggil siapa?” Saya dinas pagi di ruangan ini pk. 07.00-14.00.
Selama di rumah sakit ini saya yang akan merawat T?”
“Dari tadi saya lihat T menggaruk-garuk badannya, gatal ya?”
Bagaimana kalau kita bicara tentang kebersihan diri ?” Berapa lama
kita berbicara ?. 20 menit ya...?. Mau dimana...?. disini aja ya.”

Kerja:
“Berapa kali T mandi dalam sehari? Apakah T sudah mandi hari ini?
Menurut T apa kegunaannya mandi ?Apa alasan T sehingga tidak bisa
merawat diri? Menurut T apa manfaatnya kalau kita menjaga kebersihan
diri? Kira-kira tanda-tanda orang yang tidak merawat diri dengan baik
seperti apa ya...?, badan gatal, mulut bau, apa lagi...? Kalau kita tidak
teratur menjaga kebersihan diri masalah apa menurut T yang bisa
muncul ?” Betul ada kudis, kutu...dsb.”
“Apa yang T lakukan untuk merawat rambut dan muka? Kapan saja T
menyisir rambut? Bagaimana dengan bedakan? Apa maksud atau tujuan
sisiran dan berdandan?”
(Contoh untuk pasien laki-laki)
“Berapa kali T cukuran dalam seminggu? Kapan T cukuran terakhir?
Apa gunanya cukuran? Apa alat-alatyang diperlukan?”. Iya... sebaiknya
cukuran 2x perminggu, dan ada alat cukurnya?”. Nanti bisa minta ke
perawat ya.”

43
“Berapa kali T makan sehari? ”Apa pula yang dilakukan setelah
makan?” Betul, kita harus sikat gigi setelah makan.”
“Di mana biasanya T berak/kencing? Bagaimana
membersihkannya?”. Iya... kita kencing dan berak harus di WC, Nach...
itu WC di ruangan ini, lalu jangan lupa membersihkan pakai air dan
sabun”.
“Menurut T kalau mandi itu kita harus bagaimana ? Sebelum mandi
apa yang perlu kita persiapkan? Benar sekali..T perlu menyiapkan
pakaian ganti, handuk, sikat gigi, shampo dan sabun serta sisir”.
“Bagaimana kalau sekarang kita ke kamar mandi, suster akan
membimbing T melakukannya. Sekarang T siram seluruh tubuh T
termasuk rambut lalu ambil shampo gosokkan pada kepala T sampai
berbusa lalu bilas sampai bersih.. bagus sekali.. Selanjutnya ambil sabun,
gosokkan di seluruh tubuh secara merata lalu siram dengan air sampai
bersih, jangan lupa sikat gigi pakai odol.. giginya disikat mulai dari
arah atas ke bawah. Gosok seluruh gigi T mulai dari depan sampai
belakang. Bagus, lalu kumur-kumur sampai bersih. Terakhir siram lagi
seluruh tubuh T sampai bersih lalu keringkan dengan handuk. T bagus
sekali melakukannya. Selanjutnya T pakai baju dan sisir rambutnya
dengan baik.”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan T setelah mandi dan mengganti pakaian ?
Coba T sebutkan lagi apa saja cara-cara mandi yang baik yang sudah T
lakukan tadi ?”.
”Bagaimana perasaan T setelah kita mendiskusikan tentang
pentingnya

44
kebersihan diri tadi ? Sekarang coba T ulangi lagi tanda-tanda bersih
dan rapi” ”Bagus sekali mau berapa kali T mandi dan sikat gigi...?dua
kali pagi dan sore,”
“Mari...kita masukkan dalam jadual aktivitas harian. Nach... lakukan
ya T..., dan beri tanda kalau sudah dilakukan Spt M (mandiri) kalau
dilakukan tanpa disuruh, B (bantuan) kalau diingatkan baru dilakukan
dan T (tidak) tidak melakukani? Baik besok lagi kita latihan berdandan.
Oke?” Pagi-pagi sehabis makan”. (Keliat, 2011, p.222).

b. SP 2 Pasien : Percakapan saat melatih pasien laki-laki berdandan


Orientasi:
“Selamat pagi Pak T?” Bagaimana perasaan Bapak hari ini,
bagaimana mandinya? sudah dilakukan? Sudah ditandai jadwal
hariannya?”
“Hari ini kita akan latihan berdandan, bagaimana kalau di ruang
tamu? Waktunya sekitar 2 jam?”

Kerja:
“Apa yang T lakukan setelah selesai mandi? Apa T sudah ganti
baju?” Untuk berpakaian, pakaian yang bersih dan kering. Berganti
pakaian yang bersih 2x/hari. Sekarang coba Bapak ganti baju..Ya, bagus
seperti itu.“
“Apakah T menyisir rambut ? Bagaimana cara bersisir ?”Coba kita
praktekkan, lihat ke cermin, bagus…sekali!”
“Apakah T suka bercukur ?Berapa hari sekali bercukur ?” betul 2 kali
perminggu. Tampaknya T suka bercukur? Berapa hari sekali bercukur?”
Betul seklai 2 kali perminggu. Tampaknya kumis dan Bapak sudah
panjang. Mari Pak dirapikan ! Ya, Bagus !” (catatan: Janggut dirapikan
bila pasien tidak memelihara janggut).

45
Terminasi:
“Bagaimana perasaan Bapak setelah berdandan.” Coba Pak,
sebutkan cara berdandan yang baik sekali lagi.” Selanjutnya Bapak
setiap setelah mandi berdandan dan pakai baju seperti tadi ya!”
“Mari kita masukkan jadwal kegiatan kegiatan harian, pagi jam
berapa, lalu sore jam berapa?” Nanti siang kita latihan makan yang
baik. Di ruang makan bersama dengan pasien yang lain.”. (Keliat, 2011,
p.223)

SP 2 Pasien: Percakapan melatih berdandan untuk pasien wanita


Orientasi:
“Selamat pagi, bagaimana perasaaan T hari ini ?Bagaimana
mandinya?”Sudah ditandai di jadwal harian?” Hari ini kita akan latihan
berdandan supaya T tampak rapi dan cantik. Mari T kita dekat cermin
dan bawa alat-alatnya (sisir, bedak, lipstik).”

Kerja:
“Sudah diganti tadi pakaianya sehabis mandi ? Bagus….!
Nah…sekarang disisir rambutnya yang rapi, bagus…! Apakah T biasa
pakai bedak?” coba dibedakin mukanya T, yang rata dan tipis. Bagus
sekali.” “ T, punya lipstik mari dioles tipis. Nach…coba lihat di kaca.”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan T belajar berdandan T jadi tampak segar dan
cantik, mari masukkan dalam jadwalnya. Kegiatan harian, sama jamnya
dengan mandi. Nanti siang kita latihan makan yang baik di ruang makan
bersama pasien yang lain.” (Keliat, 2011, p.225).

46
c. SP 3 Pasien : Percakapan melatih pasien makan secara mandiri
Orientasi:
“Selamat siang T,” Wow...masih rapi deh T”. Siang ini kita akan
latihan bagaimana cara makan yang baik. Kita latihan langsung di ruang
makan ya..!” Mari...itu sudah datang makanan.”

Kerja:
“Bagaimana kebiasaan sebelum, saat, maupun setelah makan?
Dimana T makan?”
“Sebelum makan kita harus cuci tangan memakai sabun. Ya, mari kita
praktekkan! “Bagus! Setelah itu kita duduk dan ambil makanan. Sebelum
disantap kita berdoa dulu. Silakan T yang pimpin! Bagus..
“Mari kita makan.. saat makan kita harus menyuap makanan satu-
satu dengan pelan-pelan. Ya, Ayo...sayurnya dimakanya.”
“Setelah makan kita bereskan piring,dan gelas yang kotor. Ya betul..
dan kita akhiri dengan cuci tangan. Ya bagus!” Itu perawat Ani sedang
bagi obat, coba...T minta sendiri obatnya.”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan T setelah kita makan bersama-sama”. Apa saja
yang harus kita lakukan pada saat makan, ( cuci tangan, duduk yang
baik, ambil makanan, berdoa, makan yang baik, cuci piring dan gelas,
lalu cuci tangan.)”
“Nach... coba T lakukan seperti tadi setiap makan, mau kita masukkan
dalam jadwal?.Besok kita ketemu lagi untuk latihan defekasi/berkemih
yang baik, bagaimana kalau jam 10.00 disini saja ya...!”(Keliat, 2011,
p.226).

47
d. SP 4: Percakapan mengajarkan pasien melakukan defekasi/berkemih
secara mandiri.
Orientasi:
“Selamat pagi T ? Bagaimana perasaan T hari ini ?” Baik..! sudah
dijalankan jadwal kegiatannya..?” Kita akan membicarakan tentang cara
berak dan kencing yang baik?” Kira-kira 20 menit ya T, dan dimana kita
duduk? baik disana dech..!”

Kerja:
(Untuk pasien pria)
“Dimana biasanya T berak dan kencing?” Benar T, berak atau
kencing yang baik itu di WC/kakus, kamar mandi atau tempat lain yang
tertutup dan ada saluran pembuangan kotorannya. Jadi kita tidak
berak/kencing di sembarang tempat ya.....”
“Sekarang, coba T jelaskan kepada saya bagaimana cara T cebok
Sudah bagus ya T, yang perlu diingat saat T cebok adalah T
membersihkan anus atau kemaluan dengan air yang bersih dan pastikan
tidak ada tinja/air kencing yang masih tersisa di tubuh T” “Setelah T
selesai cebok, jangan lupa tinja/air kencing yang ada di kakus/WC
dibersihkan. Caranya siram tinja/air kencing tersebut dengan air
secukupnya sampai tinja/air kencing itu tidak tersisa di kakus/ WC. Jika
T membersihkan tinja/air kencing seperti ini, berarti T ikut mencegah
menyebarnya kuman yang berbahaya yang ada pada kotoran/air
kencing”
“Setelah selesai membersihan tinja/air kencing, T perlu merapihkan
kembali pakaian sebelum keluar dari WC/kakus/kamar mandi. Pastikan
resleting celana telah tertutup rapi , lalu cuci tangan dengan
menggunakan sabun
(Untuk pasien wanita)

48
“Cara cebok yang bersih setelah T berak yaitu dengan menyiramkan
air dari arah depan ke belakang. Jangan terbalik ya… Cara seperti ini
berguna untuk mencegah masuknya kotoran/tinja yang ada di anus ke
bagian kemaluan kita.”
Setelah T selesai cebok, jangan lupa tinja/air kencing yang ada di
kakus/WC dibersihkan. Caranya siram tinja/air kencing tersebut dengan
air secukupnya sampai tinja/air kencing itu tidak tersisa di kakus/ WC.
Jika T membersihkan tinja/air kencing seperti ini, berarti T ikut
mencegah menyebarnya kuman yang berbahaya yang ada pada kotoran/
air kencing.” Jangan lupa merapikan kembali pakaian sebelum keluar
dari WC/kakus, lalu cuci tangan dengan menggunakan sabun.

Terminasi:
“Bagaimana perasaan T setelah kita membicarakan tentang cara
berak/kencing yang baik?” Coba T jelaskan ulang tentang cara
defekasi/berkemih yang baik.” Bagus...!
“Untuk selanjutnya T bisa melakukan cara-cara yang telah
dijelaskan tadi.” Nah...besok kita ketemu lagi, untuk melihat sudah
sejauhmana T bisa melakukan jadwal kegiatannya. Sampai besok pagi
ya”. (Keliat, 2011, p.227).

F. Isolasi Sosial
1. Definisi Isolasi Sosial
Isolasi sosial didefinisikan dengan kesendirian yang dialami oleh
individu dan dianggap timbul karena orang lain dan sebagai suatu pernyataan
negatif atau mengancam (Herdman, 2015, p.476). Isolasi sosial adalah
keadaan seorang individu yang mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien

49
mungkin tidak merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011, p. 132).

2. Etiologi Isolasi Sosial


Isolasi sosial terjadi akibat tanda-tanda positif penyakit skizofrenia
yaitu waham, halusinasi dan kehilangan batas ego. Klien juga mengalami
masalah dalam hal kepercayaan dan keintiman, yang mengganggu
kemampuannya untuk membina hubungan yang memuaskan (Videbeck, 2008,
p. 364). Beberapa faktor akibat isolasi sosial yaitu faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan personal yang memuaskan (keterlambatan
perkembangan), gangguan kesehatan, ketidakmampuan menjalin hubungan
yang memuaskan, minat tidak sesuai dengan perkembangan, nilai-nilai tidak
sesuai dengan norma budaya, perilaku sosial tidak sesuai norma, perubahan
penampilan fisik, perubahan status mental, sumber personal yang tidak
adekuat (misalnya pencapaian buruk, kesadaran diri buruk, tidak ada afek dan
pengendalian diri buruk) (Herdman, 2015, p.476).

3. Tanda dan Gejala Isolasi Sosial


Tanda dan gejala isolasi sosial dapat ditemukan baik saat wawancara
maupun dari hasil observasi. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan saat
wawancara berupa (Keliat, 2011, p.132):
a. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak orang lain
b. Pasien merasa tidak aman dengan orang lain
c. Pasien menyatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
d. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
f. Pasien merasa tidak berguna
g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

50
Adapun tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat diobservasi berupa:
tidak memiliki teman dekat, menarik diri, tidak komunikatif, tindakan
berulang dan tidak bermakna, asik dengan pikirannya sendiri, tidak ada
kontak mata, tampak sedih, dan afek tumpul (Keliat, 2011, p.132).

4. Pohon Masalah

Resiko tinggi mencederai diri, orang lain,


dan lingkungan (Efek)

Defisit Perawatan Diri Perubahan persepsi sensori: Halusinasi


(Efek)

Malas Beraktifitas Isolasi Sosial (Core Problem)


Kronik
Harga Diri Rendah Kronik

Inefektif Koping Individu Inefektif Koping Keluarga

Etiologi

5. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang diterapkan pada pasien dengan isolasi sosial
adalah: isolasi social ( Keliat, 2011, p.132).

6. Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan pada pasien isolasi sosial bertujuan untuk
membina hubungan saling percaya, menyadari penyebab isolasi sosial, dan
pasien dapat berinteraksi dengan orang lain (Keliat, 2011, p.133). Berikut
tindakan keperawatan yang diberikan, antara lain:
a. Membina hubungan saling percaya, dengan cara:
1) Mengucapkan salam tiap kali berinteraksi dengan pasien

51
2) Berkenalan dengan pasien: perkenalkan nama dan nama panggilan
yang anda sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien
3) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini
4) Buat kontrak asuhan: apa yang akan anda lakukan dengan pasien,
berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya dimana.
5) Jelaskan bahwa anda akan merahasiakan informasi yang diperoleh
untuk kepentingan terapi
6) Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien
7) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
b. Membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial. Langkah yang
dilukakan sebagai berikut:
1) Menanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan
orang lain.
2) Menanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain.
c. Membantu pasien mengenali keuntungan dari membina hubungan
dengan orang lain. Lakukan dengan cara mendiskusikan keuntungan bila
pasien memiliki banyak teman dan bergaul akrab dengan mereka.
d. Membantu pasien mengenal kerugian dan tidak mengenal hubungan,
dengan cara: mendiskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri
dan tidak bergaul dengan orang lain, serta menjelaskan pengaruh isolasi
sosial terhadap kesehatan fisik pasien.
e. Membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.
Kegiatan yang dilakukan antara lain:
1) Beri kesempatan pasien mempraktikkan cara berinteraksi dengan
orang lain yang dilakukan dihadapan anda.
2) Mulailah bantu pasien menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah
interaksi dengan dua, tiga, empat orang dan seterusnya.

52
3) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan
oleh pasien.
4) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi
dengan orang lain. Mungkin pasien akan mengungkapkan
keberhasilan atau kegagalannya. Beri dorongan terus menerus agar
pasien tetap semangat meningkatkan interaksinya.

7. Strategi Pelaksanaan Isolasi Sosial


a. SP. I pasien: Bina hubungan saling percaya, bantu pasien mengenal
penyebab isolasi sosial, bantu pasien mengenal keuntungan dari
berhubungan dan kerugian dari tidak berhubungan dengan orang lain, dan
ajarkan pasien untuk berkenalan dengan orang lain.
Orientasi:
“Asslamualaikum!”, Saya H, saya senang dipanggil Ibu Her…, Saya
perawat di puskesmas yang akan merawat Ibu”. “Siapa nama Ibu?
Senang dipanggil siapa?”. Apa keluhan S hari ini?” Bagaimana kalau
kita bercakap-cakap tentang keluarga dan teman-teman S? Mau dimana
kita bercakap-cakap? Bagaimana kalau di ruang tamu? Mau berapa
lama S? Bagaimana kalau 15 menit?”.

Kerja:
“Siapa saja yang tinggal serumah? siapa yang paling dekat dengan
S? Siapa yang jarang bercakap-cakap dengan S? Apa yang membuat S
jarang bercakap-cakap dengannya?”
“Apa saja kegiatan yang biasa S lakukan dengan teman yang S
kenal?” Apa yang menghambat S dalam berteman atau bercakap-cakap
dengan pasien lain?”
“Menurut S apa aja keuntungannya kalau kita mempunyai teman?
Wah benar, ada teman bercakap-cakap. Apa lagi? (sampai pasien dapat

53
menyebutkan beberapa) Nah kalau kerugian tidak mempunyai teman apa
ya S? Ya, apa lagi? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa). Jadi
banyak juga ruginya kalau tidak punya teman ya. Kalau begitu inginkah
S belajar bergaul dengan orang lain?” Bagus, bagaimana kalau
sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain?”
“Begini lho S, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu
nama kita dan nama panggilan yang kita suka asal kita dan hobi. Contoh
nama saya S, senang dipanggil Si, Asal saya dari Bireun, hobi
memasak,”. Selanjutnya S menanyakan nama orang yang diajak
berkenalan. Contohnya begini: Nama Bapak siapa? Senang dipanggil
apa? Asalnya dari mana? Hobinya apa?”
“Ayo S dicoba! Mis., Saya belum kenal dengan S. Coba berkenalan
dengan saya!” Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali”
“Setelah S berkenalan dengan orang tersebut S dapat melanjutkan
percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan untuk S bicarakan. Mis.,
tentang cuaca, tentang hobi, tentang keluarga, pekerjaan dan
sebagainya”.

Terminasi:
“Bagaimana perasaan S setelah kita latihan berkenalan? S tadi sudah
mempraktikkan cara berkenalan dengan baik sekali” Selanjutnya S dapat
mengingat-ingat apa yang sudah kita pelajari tadi sejak saya tidak ada.
Sehingga S lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain. S mau
praktikkan ke pasien lain? Mau pukul berapa mencobanya? Mari kita
masukkan pada jadwal kegiatan harian S”.
“Besok pagi pukul 10 saya akan datang kesini untuk mengajak S
berkenalan dengan teman saya, perawat N, Bagaimana, S mau kan?”
“Baiklah, sampai jumpa”. (Keliat, 2011, p.134).

54
b. SP 2 pasien: Percakapan untuk menjelaskan dan melatih cara berkenalan
dengan 2-3 orang atau lebih
Orientasi:
“Assamualaikum, S!” Bagaimana perasaan S hari ini? “
“Sudah diingat-ingat lagi pelajaran kita tentang berkenalan? Coba
sebutkan lagi sambil bersalaman dengan perawat!” Bagus sekali, S
masih ingat. Nah seperti janji saya, saya akan mengajak S mencoba
berkenalan dengan Perawat N. Tidak lama kok, sekitar 10 menit”. “Ayo
kita temui perawat N disana”

Kerja:
(Bersama-sama S anda mendekati perawat N)
“Assalamualaikum Ibu N, ini S ingin berkenalan dengan ibu.”
“Baiklah S, S dapat berkenalan dengan Ibu perawat N seperti yang
kita praktikkan kemarin”.
(Pasien mendemonstrasikan cara berkenalan dengan perawat N:
memberi salam, menyebutkan nama, menanyakan nama perawat, dan
seterusnya).

Terminasi:
“Bagaimana perasaan S setelah kita belajar dan berlatih cara
berkenalan perawat N?”, Nah bagaimana kalau besok pagi kita belajar
cara berbicara dengan teman sambil melakukan pekerjaan.. Oh S ingin
ditempat yang sama ya? Baiklah. Sampai jumpa.” (Keliat, 2011, p.136).

55
c. SP 3 pasien: Percakapan menjelaskan dan melatih pasien berbicara saat
melakukan kegiatan sehari-hari
Orientasi:
“Assalamualaikum. Apa kabar S?”. Bagaimana perasaan S hari ini?
Tampaknya lebih cerah ya? Apakah sudah mencoba berkenalan lagi
dengan orang lain? Berapa kali Ibu melakukannya? Wah bagus sekali..”
“Nah sesuai janji kita kemarin hari ini kita akan belajar dan melatih
cara bercakap-cakap saat sedang melakukan kegiatan sehari-hari. Mau
berapa lama kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 30 menit? Mau
di mana? Bagaimana kalau di ?”

Kerja:
“Selain 2 cara terdahulu yang telah S coba lakukan ada cara lain
supaya S tidak merasa sendiri, namanya adalah bercakap-cakap saat
sedang melakukan aktivitas sehari-hari. Nah, jika S sedang melakukan
suatu pekerjaan bersama teman misalnya S sedang menyapu halaman
bersama teman, S dapat mengajak teman S berbicang-bincang.”
“Ayo, coba dengan saya S. Oh S ingin melipat kain? Baik ayo kita
bercakap-cakap sambil kita melipat kain.” (Biarkan pasien berbicara)

Terminasi:
“Bagaimana perasaan S setelah latihan ini ? “Ya, bisa S ulang ulangi
apa yang telah kita pelajari? Ya bagus sekali..”
“Bagaimana kalau kita masukkan dalam jadwal S, oh baik. Baik
bagaimana kalau nanti siang kita ketemu lagi untu berlatih cara yang
keempat. Oh S setuju. S ingin disini saja? Baik sampai jumpa S. (Keliat,
2011, p.137).

56
d. SP 4 pasien: menjelaskan dan melatih berbicara sosial; meminta sesuatu,
berbelanja, dan sebagainya.
Orientasi:
“Assalamualaikum. Sekarang Saya datang lagi.”
“Tampaknya S senang sekali siang ini? Oh benar, S sering
berbincang-bincang dengan teman ya?” Wah senang sekali. Sambil
menunggu makan siang bagaimana kalau kita bercakap-cakap dam
melatih cara yang keempat sesuai janji saya tadi pagi. Oh S mau 30
menit saja?” S mau kita berbincang di teras?”.

Kerja:
“Ya, S senang punya teman bercerita ya. Nah S senang tidak jika
teman S bisa membantu S? “
“Nah kalau S sudah punya teman, S dapat meminta tolong padanya
atau pun meminjam sesuatu seperti buku, sisir, alas kaki, dan lain-lain.”
Misal seperti ini, S saya ingin pergi ke ruang Melati boleh saya pinjam
sendalnya?” Sekarang coba S lakukan pada saya?” (Tunggu pasien
melakukan). “Wah, bagus sekali S sudah bisa.”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan S setelah kita berbincang-bincang dan
melakukan latihan ini?” Bisa S sebutkan dan coba kembali? Wah bagus
S masih ingat. “Nah, bagaimana kalau besok kita berjumpa lagi untuk
melihat sejauh mana S sudah berlatih keempat cara ini? Oh ya S setuju?
S ingin kita berbincang di sini. Baik sampai jumpa”.

57
G. Harga Diri Rendah
1. Definisi Harga Diri Rendah
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
diri yang berkepanjangan (Keliat, 2011, p.118). Harga diri rendah merupakan
salah satu tanda negatif skizofrenia yang lebih lanjut menyulitkan kemampuan
klien untuk berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan (Videbeck, 2008,
p.364).

2. Etiologi Harga Diri Rendah


Penyebab harga diri rendah dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe harga
diri rendah yaitu harga diri rendah situasional (munculnya persepsi negatif
tentang makna diri sebagai respon terhadap situasi saat ini) dan harga diri
rendah kronik (perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama)
(Herdman, 2015, p.289). Harga diri rendah terjadi akibat evaluasi negatif
terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (Keliat, 2011, p.118).
Harga diri rendah situasional dapat terjadi akibat gangguan citra tubuh,
gangguan fungsi, gangguan peran sosial, ketidakadekuatan pemahaman,
perilaku tidak konsisten dengan nilai, pola kegagalan, riwayat kehilangan.
riwayat penolakan dan transisi perkembangan. Adapun pada harga diri rendah
kronik, dapat disebabkan oleh gangguan psikiatrik, kegagalan berulang,
ketidaksesuaian budaya, ketidaksesuaian spiritual, koping terhadap kehilangan
tidak efektif, kurang kasih sayang, kurang keanggotaan dalam kelompok,
kurang respek dari orang lain, merasa afek tidak sesuai, merasa persetujuan
orang lain tidak cukup, penguatan negatif berulang, dan akibat terpapar
peristiwa traumatik (Herdman (2015, p.289).

3. Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah


Tanda dan gejala umum klien dengan harga diri rendah berupa klien
tidak percaya diri, merasa asing atau berbeda dengan orang lain, dan tidak

58
percaya bahwa mereka adalah individu yang berharga. Akibatnya klien
menghindari orang lain. Klien mungkin sangat frustasi dalam upaya
memenuhi perannya dalam keluarga dan masyarakat. Prestasi di sekolah atau
tempat kerja dapat sangat terganggu karena klien mengalami kesulitan
berpikir dengan jernih, mengingat, memusatkan perhatian dan berkonsentrasi
serta kurang motivasi. Klien yang menderita skizofrenia pada usia muda
mengalami lebih banyak kesulitan karena mereka tidak memiliki kesempatan
untuk berhasil dalam area-area ini sebelum penyakit timbul. Sulit bagi klien
untuk memenuhi peran dalam keluarga, seperti sebagai seorang anak laki-laki
atau perempuan atau sebagai saudara kandung. Klien juga dapat merasa
bahwa ia telah mengecewakan keluarganya karena ia tidak dapat mandiri atau
berhasil dalam hidup (Videbeck, 2008, p.364).
Beberapa tanda dan gejala harga diri rendah, antara lain: mengkritik diri
sendiri, perasaan tidak mampu, pandangan hidup yang pesimis, penurunan
produktivitas, dan penolakan terhadap kemampuan diri. Selain kriteria
tersebut, seorang dengan harga diri rendah juga terlihat kurang
memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera makan kurang,
tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk, bicara lambat
dengan nada suara lemah (Keliat, 2011, p.118).

4. Pohon Masalah

Resiko Perilaku Kekerasan

Effect Gangguang persepsi sensori: Halusinasi

Isolasi Sosial

Core Problem
Harga Diri Rendah Kronis

Etiologi Koping Individu tidak Efektif

59
5. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan harga diri
rendah berupa harga diri rendah kronik dan harga diri rendah situasional
(Herdman, 2015, p.289). Diagnosa keperawatan yang ditegakkan pada klien
dengan harga diri rendah berupa gangguan konsep diri: harga diri rendah
(Keliat, 2011, p.118).

6. Tindakan Keperawatan
Menurut Keliat (2011, p.118), beberapa tindakan keperawatan untuk
mengatasi masalah harga diri rendah, antara lain:
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki
pasien. Hal ini bertujuan untuk membantu pasien agar dapat
mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang masih dimilikinya,
karena itu perawat dapat:
1) Mendiskusikan sejumlah kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
pasien seperti kegiatan pasien dirumah, dalam keluarga dan
lingkungan keluarga serta lingkungan terdekat pasien.
2) Memberi pujian yang realistik/nyata dan hindarkan penilaian yang
negatif setiap kali bertemu dengan pasien.
b. Membantu pasien menilai kemampuan yang dapat digunakan. Untuk
tindakan tersebut, perawat dapat:
1) Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat
dilakukan saat ini berdasarkan kemampuan yang telah diidentifikasi,
2) Membantu pasien menyebutkan dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan pasien.
3) Memperlihatkan respon yang kondusif dan menjadi pendengar yang
aktif.
c. Membantu pasien memilih/ menetapkan kemampuan yang akan dilatih.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah:

60
1) Mendiskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan dan memilih
kemampuan yang akan dilatih,
2) Memberikan dukungan dalam memilih kemampuan yang paling
mudah dilakukannya,
3) Membantu pasien memilih kemampuan sesuai dengan kondisi pasien
saat ini.
d. Melatih kemampuan yang dipilih pasien. Tindakan keperawatan yang
dapat dilakukan berupa:
1) Memotivasi pasien untuk melatih kemampuan yang dipilih,
2) Mendiskusikan cara melaksanakan kemampuan yang dipilih,
3) Memberi contoh cara melaksanakan kemampuan yang dipilih,
4) Membantu pasien melakukan sendiri kemampuan yang dipilih,
5) Memberikan dukungan dan pujian pada setiap kegiatan yang dapat
dilakukan pasien.
e. Membantu menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang dilatih.
Tindakan keperawatan yang dilakukan berupa:
1) Memberi kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan secara mandiri,
2) Membantu pasien memasukkan kemampuan yang telah dilatih dalam
jadwal kegiatan sehari-hari pasien
3) Memberi kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
setelah pelaksanaan kegiatan (Keliat, 2011, p.118).

7. Strategi Pelaksanaan (SP) Harga Diri Rendah


a. SP I pasien: Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
pasien, bantu pasien menilai kemampuan yang masih dapat digunakan,
bantu pasien memilih/menetapkan kemampuan yang akan dilatih, latih
kemampuan yang sudah dipilih dan susun jadwal pelaksanaan

61
kemampuan yang telah dilatih dalam rencana harian (Keliat, 2011,
p.120).
Orientasi:
“Assalamualaikum, bagaimana keadaan T hari ini? T terlihat segar”.
Perkenalkan saya perawat D. Bagaimana, kalau kita bercakap-cakap
tentang kemampuan dan kegiatan yang T pernah lakukan? Setelah itu
kita akan nilai kegiatan mana yang masih dapat T dilakukan. Setelah kita
nilai, kita akan pilih satu kegiatan untuk kita latih. Dimana kita duduk?,
Bagaimana kalau di ruang tamu? Berapa lama? Bagaimana kalau 20
menit.”

Kerja:
“T, apa saja kemampuan yang T miliki? Bagus, apa lagi? Saya buat
daftarnya ya! Apa pula kegiatan rumah tangga yang biasa T lakukan?
Bagaimana dengan merapikan kamar? Menyapu? Mencuci piring… dst.
Wah, bagus sekali ada lima kemampuan yang T miliki,”.
“T, dari lima kegiatan/kemampuan ini, mana yang masih dapat
dikerjakan? Coba kita lihat, yang pertama dapatkah, yang kedua…
sampai 5 (mis., ada 3 yang masih dapat dilakukan). Bagus sekali ada 3
kegiatan yang masih dapat dikerjakan.”
Sekarang, Coba T pilih satu kegiatan yang masih dapat dikerjakan”.
“O yang nomer satu, merapikan tempat tidur? kalau begitu, bagaimana
kalau sekarang kita latihan merapikan tempat tidur T”. Mari kita lihat
tempat tidur T. Coba lihat, sudah rapikah tempat tidurnya?”
“Nah kalau kita mau merapikan tempat tidur, mari kita pindahkan
dulu bantal dan selimutnya. Bagus! Sekarang kita angkat spreinya, dan
kasurnya kita balik. Nah, sekarang kita pasang lagi spreinya, kita mulai
dari arah atas, ya bagus! Sekarang sebelah kaki, tarik dan masukkan,
lalu sebelah pinggir masukkan. Sekarang ambil bantal, rapikan dan

62
letakkan disebelah atas/kepala. Mari kita lipat selimut, nah letakkan
sebelah bawah/kaki, Bagus!”.
“T sudah dapat merapikan tempat tidur dengan baik sekali. Coba
perhatikan bedakah dengan sebelum dirapikan? Bagus”. “Sekarang coba
T lakukan itu setiap hari dan jangan lupa beri tanda di jadwal harian
dengan huruf M (mandiri) kalau T lakukan tanpa disuruh, tulis B
(bantuan) jika T diingatkan dapat melakukan dan tulis T (tidak) jika T
tidak melakukan.”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan T setelah kita bercakap-cakap dan latihan
merapikan tempat tidur? Yah, T ternyata banyak memiliki kemampuan
yang dapat dilakukan di rumah sakit ini. Salah satunya merapikan tempat
tidur, yang sudah T praktikkan dengan baik sekali”. “Sekarang mari kita
masukkan pada jadwal harian. T, mau berapa kali sehari merapikan
tempat tidur? Bagus, dua kali yaitu pagi-pagi pukul berapa? lalu sehabis
istirahat, pukul 4 sore”
“Besok pagi kita latihan lagi kemampuan yang kedua. T masih ingat
kegiatan apa lagi yang mampu dilakukan dirumah selain merapikan
tempat tidur? Ya bagus, cuci piring, … kalau begitu kita akan latihan
mencuci piring besok pukul 8 pagi di dapur ruangan ini sehabis makan
pagi. Sampai jumpa besok ya.. Wassalamualaikum”. (Keliat, 2011,
p.120).

b. SP 2 Pasien: Latih pasien melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan


kemampuan pasien
Orientasi:
“Assalamualaikum, bagaimana perasaan T pagi ini? Wah , tampak
cerah.” Bagaimana T, sudah dicoba merapikan tempat tidur sore

63
kemarin/tadi pagi? Bagus (kalau sudah dilakukan, kalau belum bantu
lagi), sekarang kita akan latihan kemampuan yang kedua. Masih ingat
apa kegiatan itu T?”. “Ya benar, kita akan latihan mencuci piring di
dapur”. “ Waktunya sekitar 15 menit. Mari kita ke dapur!”.

Kerja:
“T, sebelum kita mencuci piring kita perlu siapkan perlengkapannya.
yaitu sabut/tapes untuk membersihkan piring, sabun khusus untuk
mencuci piring, dan air untuk membilas, T dapat menggunakan air dari
keran ini. Oh ya, jangan lupa sediakan tempat sampah untuk membuang
sisa makanan”. “Sekarang saya perlihatkan dulu caranya”.
“Setelah semua perlengkapan tersedia, T ambil satu piring kotor, lalu
buang dulu sisa kotoran yang ada di piring tersebut ke tempat sampah.
Kemudian T bersihkan piring tersebut piring tersebut dengan
menggunakan sabut/tapes yang sudah diberikan sabun pencuci piring.
Setelah selesai disabuni, bilas dengan air bersih sampai tidak ada busa
sabun sedikit pun di piring tersebut. Setelah itu dapat mengeringkan
piring yang sudah bersih tadi di rak yang sudah tersedia di dapur. Nah
selesai… Nah, sekarang coba T melakukannya…”. “Bagus sekali, T
dapat mempraktikkan cuci piring dengan baik. Sekarang dilap
ditangannya.”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan T setelah latihan cuci piring?” . Bagaimana
jika kegiatan mencuci piring ini dimasukkan menjadi kegiatan sehari-
hari. T mau berapa kali T mencuci piring? Bagus sekali T mencuci piring
tiga kali sehari setelah makan”. “Besok kita akan latihan untuk
kemampuan ketiga, setelah merapikan tempat tidur dan cuci piring.
Masih ingat kegiatan apakah itu? Ya benar kita akan latihan mengepel”.

64
“Mau pukul berapa? Sama dengan sekarang? Baik, sampai jumpa
besok, Wassalamualaikum” (Keliat, 2011, p.121).

65

Anda mungkin juga menyukai