Anda di halaman 1dari 67

EFEKTIVITAS GELATIN DARI TULANG IKAN

BANDENG (Chanos chanos Forskal) SEBAGAI


CO-EMULGATOR DALAM FORMULASI SEDIAAN
EMULSI

FITRAH ZULFIKAR MANSYUR


N111 07 060

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
EFEKTIVITAS GELATIN DARI TULANG IKAN BANDENG (Chanos
chanos Forskal) SEBAGAI CO-EMULGATOR DALAM FORMULASI
SEDIAAN EMULSI

SKRIPSI
Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi
syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana

FITRAH ZULFIKAR MANSYUR


N111 07 060

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
EFEKTIVITAS GELATIN DARI TULANG IKAN BANDENG (Chanos
chanos Forskal) SEBAGAI CO-EMULGATOR DALAM FORMULASI
SEDIAAN EMULSI

FITRAH ZULFIKAR MANSYUR

N111 07 060

Pembimbing Utama, Pembimbing Pertama,

Dra. Ermina Pakki, M.Si., Apt. Dr. Hj. Asnah Marzuki, M.Si, Apt.
NIP.19610606 198803 2 002 NIP.19491018 198003 2 001

Pada tanggal 2011


PENGESAHAN

EFEKTIVITAS GELATIN DARI TULANG IKAN BANDENG (Chanos


chanos Forskal) SEBAGAI CO-EMULGATOR DALAM FORMULASI
SEDIAAN EMULSI

Oleh :
FITRAH ZULFIKAR MANSYUR
N111 07 060

Dipertahankan Dihadapan Panitia Penguji Skripsi


Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pada tanggal : 2011

Panitia Penguji Skripsi :

1. Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt. : ..........................


(Ketua)
2. Dra. Hj. Aisyah Fatmawaty, M.Si., Apt. : ..........................
(Sekretaris)
3. Usmar, S.Si., M.Si., Apt. : ..........................
(Anggota)
4. Dra.Ermina Pakki, M.Si., Apt. : ..........................
(Ex Officio)
5. Dr. Hj. Asnah Marzuki, M.Si, Apt. : ..........................
(Ex Officio)
Mengetahui :
Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA, Apt.


NIP. 19560114 198601 2 001
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini adalah karya saya
sendiri, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya ini tidak benar,
maka skripsi dan gelar yang diperoleh, batal demi hukum.

Makassar, November 2011

Penyusun

FITRAH ZULFIKAR MANSYUR


UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, tiada kata yang lebih patut diucapkan oleh seorang

hamba yang beriman selain ucapan puji syukur ke hadirat Allah SWT,

Tuhan Yang Maha Mengetahui, Pemilik segala ilmu, karena atas petunjuk-

Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak

rintangan dan hambatan yang dihadapi, namun dengan doa dan bantuan

dari berbagai pihak, skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu,

penulis dengan tulus menghanturkan rasa terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada Ibu Dra. Ermina Pakki, M.Si, Apt. selaku

pembimbing utama, dan Ibu Dr. Hj. Asnah Marzuki, M.Si, Apt. selaku

pembimbing pertama yang dengan ikhlas telah meluangkan waktu dan

pikirannya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan kepada penulis

dalam penyelesaian skripsi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga

penulis sampaikan kepada ; Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA, Apt. selaku

Dekan Fakultas Farmasi, bapak Usmar, S.Si., M.Si., Apt. selaku

penasehat akademik yang telah memberikan bimbingan dan masukan

yang bermakna selama hampir empat tahun ini. Penulis juga

menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh staf Fakultas

Farmasi yang telah banyak memberikan dukungan, petunjuk dan

bimbingannya kepada penulis.


Rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan

kepada ayahanda terhormat Mansyur.K, SP dan ibunda tersayang Umrah

Hafid, S.Pd yang telah banyak memberikan pengorbanan baik moril

maupun materil yang tidak akan mampu penulis balas sampai akhir hayat,

di dalam doa yang senantiasa dipanjatkan sebagai pemacu penulis dalam

menghadapi tantangan maupun rintangan selama ananda menjalani dunia

perkuliahan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kakanda

dan Adinda Nurfahmiawan Mansyur dan Khumairah Mansyur yang selalu

memberikan curahan kasih sayang yang sebesar-besarnya dan tak henti-

henti memberikan semangat. Terkhusus kepada teman seperjuangan

dalam penelitian ini Ardian yang menyempatkan waktu untuk berdiskusi

dan tak henti memberikan semangat.

Kepada teman-teman angkatan 2007, khususnya Andi Syamsul

Bakhri, Sherwin Armanda, Arifin Wongso, Alfian Partang, Rangga

Meidianto, Achmad Himawan, Irsan Jaya, Ld. Sahrul Ramadhan, Sjalri

Achmad Ariendi, Dewita Fatiah, Andi Irna Sari, Kasmawathy, Isma Aziza,

dan Kak. Sumiati, S.Si, Apt., Kak Andi Arjuna, S.Si, Apt., Kak Safarudin,

S.Si., Apt., Kak Firawati, S.Si., Apt., Kak Rahmawati GM, S.Si, Kak Andi

Dian Permana, S.Si., Apt., serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan

satu persatu. Terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya dalam

suka dan duka selama penulis menuntut ilmu serta dalam penyelesaian

skripsi ini.Terima kasih untuk segala sesuatu yang pernah kita lewati

bersama baik suka maupun duka.


Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

banyak kekurangan dan kelemahan. Di dunia tak ada satupun yang

sempurna karena kesempurnaan hanya milik-Nya. Maka dari itu saran dan

kritik membangun sangat penulis harapkan guna tambahan wawasan agar

dalam pengerjaan penelitian selanjutnya dapat lebih baik.

Akhirnya semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang farmasi, amin.

Makassar, 2011

Penulis
ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang efektivitas gelatin dari tulang


ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) sebagai co-emulgator dalam
formulasi sediaan emulsi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
konsentrasi gelatin yang efektif sebagai co-emulgator dalam sediaan
emulsi tipe m/a. Gelatin diperoleh dari hasil ekstraksi tulang ikan bandeng
di atas penangas air yang sebelumnya telah dilakukan perendaman
dengan asam sitrat 9% kemudian dikeringkan melalui proses liofilisasi lalu
diserbukkan. Selanjutnya diformulasi menjadi sediaan emulsi oral tipe m/a
menggunakan co-emulgator gelatin dengan konsentrasi berturut-turut
0,5%; 1%; tanpa co-emulgator, dan tanpa emulgator terhadap bobot total
emulsi. Kemudian dilakukan pengamatan parameter kestabilan fisik emulsi
sebelum dan setelah penyimpanan dipercepat yang meliputi organoleptis,
volume pemisahan, viskositas, pH dan tipe emulsi. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa berdasarkan pengujian volume pemisahan dan
viskositas, formula dengan gelatin 0,5% merupakan formula yang paling
stabil secara fisik tanpa pemisahan fase dan perubahan viskositas yang
kecil.
ABSTRACT

A reasearch on effectiveness of gelatin from milkfish (Chanos


chanos Forskal) bone as co-emulgator in emulsion formulation. This
research aims to obtain an effective concentration of gelatin in o/w
emulsion type. Gelatin which obtained from the extraction of fish bones on
waterbath previously been done by soaking 9% of citrit acid then dried
through lyophilization process and made into powder. Subsequently
formulated into oral dosage emulsion o/w type using co-emulgator gelatin
with consecutive concentration 0,5%; 1%; without co-emulgator and
without emulgator to the total weight of the emulsion. Then made
observations of physical parameters of emulsion stability before and after
accelerated storage which includes organoleptis, viscosity, pH, volume
and type of separation. The result showed that base on separation
volumen and viscosity, formulation with 0,5% gelatin was the best one
since it had not phase separation volumen and little changed viscosity.
DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ............................................ iii

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................... vi

ABSTRAK ....................................................................................... ix

ABSTRACT ..................................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................... xi

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 3

II.1 Klasifikasi Hewan ............................................... 3

II.2 Morfologi Hewan .................................................. 3

II.3 Kandungan Kimia Tulang Ikan ............................ 4

II.4 Gelatin ................................................................ 6

II.5 Pembuatan Gelatin ............................................. 8

II.6 Emulsi ................................................................. 10

II.7 Emulgator ........................................................... 11

II.7.1 Pengertian Emulgator ......................................... 11

II.7.2 Pembagian Emulgator .......................................... 11

II.7.3 Mekanisme Emulgator ......................................... 13

II.7.3 Gelatin Sebagai co-emulgator ............................. 14


II.8 Kondisi Penyimpanan yang Dipercepat ................ 15

II.9 Kestabilan Emulsi ............................................... 16

II.9.1 Viskositas ........................................................... 16

II.9.2 Perubahan Ukuran Tetesan Terdispersi ............... 17

II.9.3 Inversi Fase ......................................................... 17

II.10 Uraian Bahan Tambahan .................................... 19

II.10.1 Emulgator Gom Arab .......................................... 19

II.10.2 Oleum Iecoris Aselli ............................................ 19

II.10.3 Metil Paraben ................................................... 20

II.10.5 Propil Paraben ................................................... 20

II.10.6 Oleum Menthae Piperithae .............................. .... 20

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN ........................................... 21

III.1 Alat dan Bahan ..................................................... 21

III.2 Prosedur penelitian ............................................. 21

III.2.1 Pembuatan larutan asam sitrat 9% ...................... 21

III.2.2 Ekstraksi Gelatin .................................................. 21

III.2.2 Uji penegasan gelatin .......................................... 22

III.2.3 Analisis gugus fungsi menggunakan FTIR ........... 23

III.2.4 Pembuatan Sediaan emulsi .................................. 23

III.2.5 Rancangan Formula ............................................. 24

III.2.6 Evaluasi tipe emulsi ............................................ 25

III.2.6.1 Metode dispersi zat warna ................................... 25

III.2.6.2 Metode hantaran istrik ......................................... 25


III.2.7 Kondisi Penyimpanan Dipercepat......................... 25

III.2.8 Uji Stabilitas Fisik Sediaan Emulsi ....................... 25

III.3 Pengumpulan Data .............................................. 26

III.4 Analisis Data ........................................................ 26

III.5 Pembahasan Hasil ....................................... ........ 26

III.6 Pengambilan Keputusan ..................................... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................. 27

IV.1 Hasil Penelitian .................................................... 27

IV.1.1 Ekstraksi Gelatin .................................................. 27

IV.1.2 Pengamatan Organoleptis ................................... 27

IV.1.3 Uji Penegasan Gelatin ......................................... 28

IV.1.4 Analisa Gugus Fungsi menggunakan FTIR ......... 28

IV.1.5 Pengamatan Organoleptis Sediaan Emulsi ......... 29

IV.1.6 Pengamatan Tipe Emulsi .................................... 29

IV.1.7 Pengukuran pH emulsi ........................................ 30

IV.1.8 Pengukuran Viskositas ........................................ 30

IV.1.9 Pengukuran Volume Pemisahan ......................... 31

IV.2 Pembahasan ....................................................... 31

BAB V PENUTUP .......................................................................... 40

V.1 Kesimpulan .......................................................... 40

V.2 Saran ................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA

Lampiran
DAFTAR SKEMA

Lampiran halaman

1. Skema Kerja ekstraksi sampel .............................................. 43

2. Skema Kerja Pembuatan emulsi ............................................ 44

3. Skema Kerja Pengujian emulsi ............................................... 45


DAFTAR TABEL

TABEL halaman

1. Rancangan Formula ..................................................................... 24

2. Hasil Ektraksi Gelatin ................................................................... 27

3. Hasil Pengamatan Organoleptis Gelatin Tulang Ikan Bandeng .... 27

4. Hasil Uji Penegasan Gelatin ......................................................... 28

5. Hasil Pengamatan Organoleptis emulsi......................................... 28

6. Hasil Analisis gugus fungsi menggunakan FTIR ........................... 28

7. Hasil Pengamatan Tipe Emulsi...................................................... 29

8. Hasil Pengukuran pH Emulsi ......................................................... 30

9. Hasil Pengukuran viskositas (cps) emulsi...................................... 30

10. Hasil Pengukuran Volume Pemisahan ......................................... 31


DAFTAR GAMBAR

GAMBAR halaman

1. Sampel ikan bandeng…………………………………………..... 4

2. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen….……..... 5

3. Struktur kimia gelatin…………………………………………...... 7

4. Skema Pembentukan droplet oleh gelatin……………………... 15

5. Diagram batang emulsi dengan penambahan co-emulgator


sebelum dan setelah penyimpanan dipercepat……………….. 37

6. Diagram batang viskositas emulsi dengan penambahan co-


emulgator sebelum dan setelah penyimpanan dipercepat.….. 38

7. Uji penegasan gelatin tulang ikan bandeng………………..….. 46

8. Evaluasi uji volume pemisahan emulsi dengan penambahan


co-emulgator gelatin tulang ikan bandeng 0,5%, 1%, dan
tanpa co-emulgator gelatin tulang ikan bandeng sebelum dan
setelah penyimpanan dipercepat …………………..…………... 46

9. Evaluasi uji tipe emulsi dengan penambahan co-emulgator


gelatin tulang ikan bandeng 0,5%, 1%, dan tanpa co-
emulgator gelatin tulang ikan bandeng sebelum
penyimpanan dipercepat metode konduktivitas………………. 47

10. Hasil uji tipe emulsi dengan penambahan co-emulgator


gelatin 0,5%, 1%, dan tanpa co-emulgator setelah
penyimpanan dipercepat metode konduktivitas………………. 47

11. Hasil uji tipe emulsi dengan penambahan co-emulgator


gelatin tulang ikan bandeng 0,5%, 1%, dan tanpa co-
emulgator gelatin tulang ikan bandeng sebelum
penyimpanan dipercepat metode dipersi warna………………. 47

12. Hasil uji tipe emulsi dengan penambahan co-emulgator


gelatin tulang ikan bandeng 0,5%, 1%, dan tanpa co-
emulgator gelatin tulang ikan bandeng sebelum dan setelah
penyimpanan dipercepat metode dispersi warna mikroskopik
metilen blue ………………………...…………………………….. 48
13. Hasil uji tipe emulsi dengan penambahan co-emulgator
gelatin tulang ikan bandeng 0,5%, 1%, dan tanpa co-
emulgator gelatin tulang ikan bandeng sebelum dan setelah
penyimpanan dipercepat metode dispersi warna mikroskopik
sudan III .................................................................................. 48

14. Sediaan emulsi IV……………………….................................... 49

15. Gambar Sampel dan gelatin tulang ikan bandeng (Chanos


chanos Forskal)……………………………………………..……. 49

16. Spektra Fourier Transform Infra Red (FTIR) gugus Fungsi


gelatin dari tulang ikan bandeng………………………………... 50

17. Spektra Fourier Transform Infra Red (FTIR) gugus Fungsi


gelatin dari tulang ikan bandeng………………………………... 50
BAB I

PENDAHULUAN

Ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) termasuk jenis ikan yang dapat

hidup di daerah air tawar, air payau, maupun air laut. Ikan bandeng dikenal

sebagai jenis ikan yang mempunyai banyak tulang. Namun, pada pengolahan

ikan bandeng sering kali hanya memanfaatkan daging ikan tanpa memanfaatkan

tulangnya. Tulang ikan merupakan komponen keras yang menyebabkan tulang

ikan tidak mudah diuraikan oleh decomposer. Pada konsentrasi dan kuantitas

tertentu, kehadiran tulang ikan yang tidak termanfaatkan dapat berdampak

negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia sehingga perlu

dilakukan penanganan (1).

Tulang ikan bandeng dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan

gelatin alternatif. Gelatin diperoleh dari hasil hidrolisis parsial kolagen melalui

ekstraksi dalam air panas yang dikombinasikan dengan perlakuan asam atau

basa. Hasil ekstraksi maksimal gelatin dapat diperoleh dengan perlakuan asam

yaitu perendaman menggunakan asam sitrat 9 % selama 48 jam (2).

Pemanfaatan gelatin dalam bidang industri farmasi telah banyak

dikembangkan, di antaranya sebagai emulsifier, colloid stabilizer, dan foaming

agent. Emulsi merupakan sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi

dalam cairan lain dalam bentuk tetesan kecil (globul) yang stabil dengan adanya

penambahan emulgator sehingga tidak terjadi penggabungan fase (3).

Gelatin mempunyai daya emulgator yang lemah. Namun, penambahan

gelatin sebagai bahan pembantu emulgator (co-emulgator) dalam sediaan emulsi

dapat meningkatkan kestabilan sediaan emulsi tersebut. Gelatin mengelilingi


tetesan fase dalam sebagai suatu lapisan tipis atau film yang mencegah

terjadinya kontak atau berkumpulnya kembali globul atau fase terdispersi,

sehingga kestabilan emulsi tetap terjaga. Konsentrasi yang umum digunakan

sebagai emulgator dan stabilizer yaitu 0,5 %-1% (4).

Berdasarkan hal tersebut di atas, gelatin dari tulang ikan bandeng

berpotensi sebagai sumber gelatin alternatif yang dapat digunakan sebagai co-

emulgator pada pembuatan sediaan emulsi tipe M/A.

Permasalahan yang timbul adalah apakah gelatin dari tulang ikan

bandeng mempunyai efektivitas sebagai co-emulgator dalam formulasi sediaan

emulsi yang stabil secara fisik. Berkaitan dengan hal tersebut, maka telah diteliti

efektivitas gelatin dari tulang ikan bandeng sebagai co-emulgator dalam

formulasi sediaan emulsi minyak ikan dengan tujuan untuk menentukan

konsentrasi gelatin dari tulang ikan bandeng yang efektif sebagai co-emulgator

dalam sediaan formulasi emulsi minyak ikan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Klasifikasi Hewan

Kerajaan : Animalia

Divisi : Chordata

Kelas : Toleostei

Sub Kelas : Actinopterygii

Ordo : Gonorynchiformes

Familia : Chanidae

Genus : Chanos

Spesies : Chanos chanos

II.2 Morfologi Hewan

Bandeng dalam bahasa Latin Chanos chanos Forskal merupakan

satu-satunya spesies yang masih ada dalam familia Chanidae. Ikan

bandeng cenderung hidup bergerombol di sekitar pesisir perairan. Bibit

ikan menetas dan hidup di laut selama 2-3 minggu, lalu berpindah ke

rawa-rawa bakau, daerah payau, dan kadangkala di danau-danau.

Ikan muda ini dikumpulkan dari sungai-sungai (disebut nener) dan

diternakkan di ambak-tambak. Ikan bandeng bisa diberi makanan apa saja

dan tumbuh dengan sangat cepat. Ciri-ciri yang dimiliki adalah: bentuk

badan pipih, lonjong (panjang) dengan warna abu-abu keperakan.


Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos-chanos Forskal) (3)

Jenis ikan yang berada di kelas toleostei seperti ikan bandeng,

ikan tuna, dan ikan tongkol memiliki kandungan kolagen berkisar antara

15-17%. Pada tulang ikan rawan (elasmobranch) mengandung kolagen

berkisar 22-24%. Hal ini menjadikan tulang ikan bandeng dapat dipilih

sebagai bahan baku alternatif pembuatan gelatin (5).

II.3 Kandungan KimiaTulang Ikan

Gelatin adalah suatu protein murni yang diperoleh dari hidrolisis

bertingkat kolagen yang terdapat pada tulang ikan. Gelatin mudah dicerna

dan mengandung asam amino yang tergabung dalam ikatan polipeptida

membentuk polimer yang berbentuk ideal (5).

Kolagen merupakan komponen struktural utama dari jaringan ikat

putih (white connetive tissue) yang meliputi hampir 30 persen dari total

protein pada jaringan dan organ tubuh vertebrata dan invertebrata. Pada

mamalia, kolagen terdapat di kulit, tendon, tulang rawan dan jaringan

ikat. Demikian juga pada burung dan ikan, sedangkan pada avertebrata

kolagen terdapat pada dinding sel. Molekul kolagen tersusun dari kira-kira

dua puluh asam amino yang memiliki bentuk agak berbeda bergantung
pada sumber bahan bakunya. Asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin

merupakan asam amino utama kolagen. Asam-asam amino aromatik dan

sulfur terdapat dalam jumlah yang sedikit. Hidroksiprolin merupakan salah

satu asam amino pembatas dalam berbagai protein. Molekul dasar

pembentuk kolagen disebut tropokolagen yang mempunyai struktur

batang dengan BM 300.000, dimana di dalamnya terdapat tiga rantai

polipeptida yang sama panjang, bersama-sama membentuk struktur

heliks. Tiap tiga rantai polipeptida dalam unit tropokolagen membentuk

struktur heliks tersendiri, menahan bersama-sama dengan ikatan

hidrogen antara group NH dari residu glisin pada rantai yang satu

demean group CO pada rantai lainnya. Cincin pirolidin, prolin, dan

hidroksiprolin membantu pembentukan rantai polipeptida dan memperkuat

triple heliks.

Gambar 2. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen (6).

Pada Gambar 2, bagian (a) memperlihatkan tiap molekul

tropokolagen yang memanjang sampai empat garis melintang dengan

selang 64 nm. Kepala molekul tropokolagen tersusun sedemikian rupa


sehingga terdaftar dengan selang 64 nm. Di bawah diagram skema fibril

(b) terlihat gambaran bagian molekul tropokolagen yang memperlihatkan

kerangka tropokolagen heliks ganda tiga. Pembesaran lebih lanjut pada

bagian (c) memperlihatkan bahwa tiap-tiap rantai dari ketiga peptida

tropokolagen merupakan suatu heliks, sudut dan ruang antaranya

ditentukan oleh gugus R yang kaku dari sejumlah residu prolin dan

hidroksiprolin (7).

Tropokolagen akan terdenaturasi oleh pemanasan atau perlakuan

dengan zat seperti asam, basa, urea, dan potassium permanganat. Selain

itu, serabut kolagen dapat mengalami penyusutan jika dipanaskan di atas

suhu penyusutannya (Ts). Suhu penyusutan (Ts) kolagen ikan adalah

45oC. Jika kolagen dipanaskan pada T>Ts (misalnya 65–70oC), serabut

triple heliks yang dipecah menjadi lebih panjang. Pemecahan struktur

tersebut menjadi lilitan acak yang larut dalam air inilah yang disebut

gelatin.

II.4 Gelatin

Gelatin adalah derivat protein dari serat kolagen yang ada pada

kulit, tulang, dan tulang rawan. Susunan asam aminonya hampir mirip

dengan kolagen, dimana glisin sebagai asam amino utama dan

merupakan 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, 1/3 asam

amino yang tersisa diisi oleh prolin dan hidroksiprolin (6).

Asam-asam amino saling terikat melalui ikatan peptida membentuk

gelatin. Pada Gambar 3 dapat dilihat susunan asam amino gelatin berupa
Gly-X-Y dimana X umumnya asam amino prolin dan Y umumnya asam

amino hidroksiprolin. Tidak terdapatnya triptofan pada gelatin

menyebabkan gelatin tidak dapat digolongkan sebagai protein lengkap (7).

Gambar 3. Struktur kimia gelatin (5)

Gelatin terbagi menjadi dua tipe berdasarkan perbedaan proses

pengolahannya, yaitu tipe A dan tipe B. Dalam pembuatan gelatin tipe A,

bahan baku diberi perlakuan perendaman dalam larutan asam sehingga

proses ini dikenal dengan sebutan proses asam. Sedangkan dalam

pembuatan gelatin tipe B, perlakuan yang diaplikasikan adalah perlakuan

basa. Proses ini disebut proses alkali.

Bahan baku yang biasanya digunakan pada proses asam adalah

tulang dan kulit babi, sedangkan bahan baku yang biasa digunakan pada

proses basa adalah tulang dan kulit jangat sapi. Gelatin ikan dikategorikan

sebagai gelatin tipe A. Secara ekonomis, proses asam lebih disukai

dibandingkan proses basa. Hal ini karena perendaman yang dilakukan

dalam proses asam relatif lebih singkat dibandingkan proses basa.

Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti

gliserol, propilen glycol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam
alkohol, aseton, eter dan pelarut organik lainnya. Gelatin mudah larut

pada suhu 71,1oC dan cenderung membentuk gel pada suhu 48,9oC.

Sedangkan pemanasan yang dilakukan untuk melarutkan gelatin

sekurang-kurangnya 49oC atau biasanya pada suhu 60-70oC (8).

Gelatin memiliki sifat dapat berubah secara reversible dari bentuk

sol ke gel, membengkak atau mengembang dalam air dingin, dapat

membentuk film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat

melindungi sistem koloid. Sifat-sifat seperti itulah yang membuat gelatin

lebih disukai dibandingkan bahan-bahan semisal dengannya seperti gum

xantan, keragenan dan pektin.

II.4.1 Pembuatan Gelatin

Pada prinsipnya proses pembuatan gelatin dapat dibagi menjadi

dua macam,yaitu proses asam dan proses basa. Perbedaan kedua proses

ini terletak pada proses perendamannya. Berdasarkan kekuatan ikatan

kovalen silang protein dan jenis bahan yang diekstrak, maka penerapan

jenis asam maupun basa organik dan metode ekstraksi lainnya seperti

lama hidrolisis, pH dan suhu akan berbeda-beda.

Proses produksi utama gelatin dibagi dalam tiga tahap:

1. Tahap persiapan bahan baku antara lain penghilangan komponen non-

kolagen dari bahan baku,

2. Tahap konversi kolagen menjadi gelatin.

3. Tahap pemurnian gelatin demean penyaringan dan pengeringan.


Pada tahap persiapan dilakukan pencucian pada kulit dan tulang.

Kulit atau tulang dibersihkan dari sisa-sisa daging, sisik dan lapisan luar

yang mengandung deposit-deposit lemak yang tinggi. Untuk memudahkan

pembersihan maka sebelumnya dilakukan pemanasan pada air mendidih

selama 1-2 menit. Proses penghilangan lemak dari jaringan tulang yang

biasa disebut degresing, dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan

suhu koagulasi albumin tulang yaitu antara 32-80oC sehingga dihasilkan

kelarutan lemak yang optimum.

Pada tulang, sebelum dilakukan pengembungan terlebih dahulu

dilakukanproses demineralisasi yang bertujuan untuk menghilangkan

garam kalsium dan garam lainnya dalam tulang, sehingga diperoleh tulang

yang sudah lumer disebut ossein. Proses demineralisasi ini sebaiknya

dilakukan dalam wadah tahan asam selama beberpa hari sampai dua

minggu. Pada tahap ini perendaman dapat dilakukan dengan larutan

asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat,

suksinat, tartarat dan asam lainnya.

Tahapan selanjutnya, kulit dan ossein diekstraksi dengan air yang

dipanaskan. Ekstraksi bertujuan untuk mengkonversi kolagen menjadi

gelatin. Suhu minimum dalam proses ekstraksi adalah 40-50oC hingga

suhu 100oC. Ekstraksi kolagen tulang dilakukan dalam suasana asam

pada pH 4-5 karena umumnya pH tersebut merupakan titik isoelektrik dari

komponen-komponen protein nonkolagen, sehingga mudah terkoagulasi

dan dihilangkan. Apabila pH lebih rendah perlu penanganan cepat untuk


mencegah denaturasi lanjutan. Larutan gelatin hasil ekstraksi kemudian

dipekatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengeringan. Pemekatan

dilakukan untuk meningkatkan total solid larutan gelatin sehingga

mempercepat proses pengeringan.Hal ini dapat dilakukan dengan

menggunakan evaporator vakum, selanjutnya dikeringkan dalam oven

pada suhu 40-50oC atau 60-70oC. Pengecilan ukuran dilakukan untuk

lebih memperluas permukaan bahan sehingga proses dapat berlangsung

lebih cepat dan sempurna. Dengan demikian gelatin yang dihasilkan lebih

reaktif dan lebih mudah digunakan (9).

II.5 Emulsi

Emulsi adalah system dua fase dimana salah satu cairan

terdispersi dalam bentuk globul-globul kecil didalam cairan lainnya.Cairan

terdispersi diketahui sebagai fase internal atau fase discontinous, dan

medium pendispersinya diketahui sebagai fase eksternal atau fase

continous.ketika minyak menjadi fase terdispersi dan air adalah fase

continous, maka sestem tersebut disebut emulsi tipe M/A (minyak didalam

air dan dapat diencerkan dengan mudah menggunakan air. Kemudian jika

air adalah fase terdispersi dan minyak adalah fase continousnya, maka

system tersebut dikenal sebagai emulsi A/M, dan dapat diencerkan

dengan minyak (12)


II.6 Emulgator

II.6.1 Pengertian Emulgator

Emulgator adalah surfaktan yang mengurangi tegangan antar muka

antara minyak dan air dan mengelilingi tetesan-tetesan terdispersi dengan

lapisan yang kuat yang mencegah koalisensi dan pemecahan fase

terdispersi (13).

II.6.2 Pembagian Emulgator

1. Emulgator Sintetik

a) Anionik

Aktivitas permukaan bahan pengemulsi ini terletak pada anion yang

bermuatan negatif. Contoh bahannya yaitu kalium, natrium dan garam

ammonium dari asam laurat dan asam oleat yang larut dalam air dan

merupakan bahan pengemulsi M/A yang balk. Bahan ini mempunyai rasa

yang kurang menyenangkan dan mengiritasi saluran cerna sehingga

membatasi penggunaannya hanya untuk penggunaan luar. Contoh

lainnya yaitu garam yang dibentuk dari asam lemak dengan amin organik

seperti trietanolamin yang juga adalah pengemulsi M/A yang dibatasi

untuk sediaan luar.

b) Kationik

Aktifitas permukaan bahan kelompok ini terletak pada kation yang

bermuatan positif. Bahan ini juga memiliki sifat bakterisida yang khas,

sehingga cocok untuk produk emulsi antibakteri seperti lotio dan krim kulit.

pH dari sediaan emulsi dengan pengemulsi kationik yaitu antara 4-8.


Rentang pH ini juga menguntungkan karena termasuk dalam pH normal

kulit. Contohnya yaitu senyawa amonium kuarterner.

c) Nonionik

Surfaktan yang luas penggunaannya sebagai bahan pengemulsi

karena memiliki keseimbangan lipofilik dan hidrofilik dalam molekulnya.

Selain ini tidak seperti tipe anionik dan kationik, emulgator nonionik tidak

dipengaruhi perubahan pH dan penambahan elektrolit. Sifat yang

paling penting adalah efek yang ringan pada tubuh; surfaktan nonionik

jarang mengiritasi dibanding surfaktan anionik. Pada umumnya surfaktan

nonionik tidak bereaksi dengan asam, basa dan garam. Contoh yang

paling banyak digunakan yaitu ester gliseril, ester polioksietilenglikol, ester

asam lemak sorbitan (Span) dan turunan polioksietilennya (Tween).

2. Emulgator Alam

Kebanyakan derivat emulgator ini berasal dari alam (seperti hewan

dan tumbuhan) antara lain akasia, gelatin, lesitin, dan kolesterol.

Kebanyakan bahan alam lainnya cukup aktif digunakan sebagai pembantu

emulgator atau penstabil.

a) Akasia

Adalah gom karbohidrat yang larut dalam air dan membentuk

emulsi M/A. Emulsi yang dibuat dengan emulgator akasia stabil pada

jarak pH yang luas. Karena mengandung karbohidrat, maka perlu

diperhatikan penggunaan pengawet pada emulsi akasia untuk

melawan serangan mikroba dengan memilih pengawet yang sesuai.


b) Gelatin

Sebuah protein yang telah digunakan selama bertahun-tahun

sebagai emulgator. Gelatin memiliki dua titik isoelektrik, tergantung dari

metode preparasinya. Disebut gelatin tipe A, derivat dari prekursor yang

diberi perlakuan asam, yang memiliki titik isoelektrik antara pH 7 dan 9.

Gelatin tipe B, diperoleh dari prekursor yang diberi perlakuan alkali,

memiliki titik isoelektrik kira-kira pada pH 5. Gelatin tipe A bekerja baik

sebagai emulgator pada pH sekitar 3 dimana emulgator ini bermuatan

positif. Sedangkan gelatin tipe B paling baik digunakan pada pH sekitar 8

dimana emulgator ini bermuatan negatif.

c) Lesitin

Emulgator yang berasal dari tanaman (seperti kacang kedelai) dan

hewan (seperti kuning telur) dan mengandung berbagai fosfat. Komponen

utama dari kebanyakn lesitin adalah fosfatidilikolin dan istilah lesitin juga

sering digunakan untuk menggambarkan sampel fosfatidilikolin. Lesitin

dapat menjadi emulgator yang paling baik untuk pembentukan minyak

secara alami seperti kedelai dan jagung. Kestabilan tinggi emulsi M/A

dapat dibentuk dengan minyak ini. Lesitin murni dari kedelai atau kuning

telur secara prinsipil digunakan sebagai emulgator untuk emulsi intravena.

II.6.3 Mekanisme Emulgator (17)

1. Lapisan Monomolekuler

Surfaktan atau ampifil menurunkan tegangan antarmuka karena

teradsorbsi pada antarmuka minyak air membentuk film monomolekuler.


Film ini membungkus tetes terdispersi dengan suatu lapisan tunggal yang

seragam berfungsi mencegah bergabungnya tetesan. Idealnya film ini

harus fleksibel sehingga dapat terbentuk kembali jika pecah atau

terganggu. Tipe emulsi yang dibentuk dapat berupa tipe M/A atau A/M,

tergantung pada sifat emulgator yang digunakan.

2. Lapisan Multimolekuler

Koloid hidrofil terhidrasi dapat dianggap sebagai bahan aktif

permukaan karena terdapat pada antarmuka minyak-air tetapi berbeda

dengan surfaktan sintetik, koloid hidrofilik tidak menyebabkan penurunan

tegangan antarmuka yang nyata tetapi membentuk film multimolekuler.

Aksi sebagai emulgator terutama disebabkan film yang dibentuknya

kuat sehingga mencegah koalesensi. Film multimolekuler ini bersifat

hidrofilik sehingga cenderung membentuk emulsi tipe M/A.

3. Lapisan Partikel Padat

Partikel padat yang terbagi halus yang terbasahi oleh minyak dan

air dapat bertindak sebagai emulgator dengan membentuk suatu film

partikel halus di sekeliling tetes terdispersi pada antarmuka sehingga

mencegah koalesensi. Serbuk yang lebih mudah terbasahi oleh air

membentuk emulsi tipe M/A sedangkan yang lebih terbasahi oleh minyak

membentuk emulsi tipe A/M.

II.6.4 Gelatin sebagai co-emulgator

Telah diketahui bahwa gelatin adalah molekul dengan pemukaan

aktif (surface-active) yang secara umum digunakan untuk menstabilkan


emulsi. Selama emulsifikasi, molekul protein diabsorbsi dengan cepat

diatas permukaan droplet baru yang terbentuk sebagai lapisan pelindung.

Bagian molekul gelatin yang nonpolar larut dalam lapisan luar molekul

minyak sedangkan bagian yang polar terikat dengan air. Akibatnya, gelatin

memfasilitasi dan memperkuat pembentukan tetesan minyak (droplet),

meningkatkan stabilitas emulsi dan menghasilkan sifat fisika-kimia yang

diinginkan pada emulsi minyak dalam air (18).

Gambar 4. Skema pembentukan droplet oleh gelatin (5)

II.7 Kondisi Penyimpanan yang Dipercepat

Pengujian ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang

diinginkan pada waktu sesingkat mungkin dengan cara menyimpan

sampel pada kondisi yang dirancang untuk mempercepat terjadinya

perubahan yang biasanya terjadi pada kondisi normal. Cara khusus ini

berguna untuk mengevaluasi ”shelf life” emulsi dengan siklus antara 2

suhu. Pengujian tersebut dilakukan dengan freez-thaw test yaitu

penggunaan siklus suhu 4°C dan 40°C atau 45°C selama 24 jam

sebanyak 6 siklus.
Efek normal penyimpanan suatu emulsi pada suhu yang lebih tinggi

adalah mempercepat koalesensi atau terjadinya kriming dan hal ini

biasanya diikuti dengan perubahan viskositas. Kebanyakan emulsi

menjadi lebih encer pada suhu tinggi dan menjadi lebih kental bila

dibiarkan mencapai suhu kamar. Pembekuan dapat merusak emulsi

daripada pemanasan, karena kelarutan emulgator baik dalam fase air

maupun fase minyak, lebih sensitif pada pembekuan daripada pada

pemanasan sedang.

II.8 Kestabilan Emulsi (19)

Sebelum penyimpanan, kestabilan emulsi dipengaruhi oleh suhu

dan waktu. Bentuk ketidakstabilan emulsi selama penyimpanan

ditunjukkan dengan terjadinya kriming, perubahan viskositas, perubahan

ukuran tetes terdispersi serta inversi fase.

II.8.1 Viskositas

Viskositas emulsi merupakan kriteria yang penting untuk

mempelajari kestabilan emulsi dan tidak berhubungan dengan viskositas

absolut tetapi dengan perubahan kekentalan pada berbagai periode

waktu.

Tetesan-tetesan pada emulsi yang baru dibuat tergabung dengan

segera dan menunjukkan peningkatan kekentalan. Setelah perubahan ini

kebanyakan emulsi menunjukkan perubahan viskositas yang

berhubungan dengan waktu. Jika viskositas tidak berubah dengan waktu

emulsi dianggap ideal meskipun kebanyakan sistem masih dapat diterima


kestabilannya bila menunjukkan sedikit kenaikan viskositas dalam waktu

antara 0,04 dan 400 hari. Kebanyakan emulsi menjadi encer pada suhu

tinggi dan mengental kembali bila ditempatkan pada suhu kamar.

II.8.2 Perubahan Ukuran Tetes Terdispersi

Perubahan rata-rata ukuran tetes terdispersi atau distribusi ukuran

tetes terdispersi merupakan parameter yang penting untuk mengevaluasi

suatu emulsi. Analisis ukuran tetes terdispersi dapat dilakukan dengan

beberapa metode. Salah satunya adalah pengukuran diameter tetes

terdispersi dengan mikroskop yang memberikan nilai rata-rata tergantung

pada jumlah tetes untuk setiap ukuran.

II.8.3 Inversi Fase

Emulsi dikatakan mengalami inversi ketika perubahan emulsi dari

M/A ke A/M atau sebaliknya.Inversi dapat dilihat ketika emulsi disiapkan

dengan pemanasan dan pencampuran dua fase kemudian

didinginkan.Hal ini terjadi karena adanya daya larut bahan pengemulsi

tergantung pada perubahan temperatur.Telah ditunjukkan bahwa nilai ini

dipengaruhi oleh nilai HLB dari surfaktan. Semakin tinggi nilai HLB,

semakin besar tahanan untuk berubah (inversi).

Perbandingan volume fase dari suatu emulsi mempunyai

pengaruh sekunder terhadap kestabilan produk. Hal ini dikenal dengan

volume relatif dari air dan minyak dalam emulsi. Partikel-partikel

berbentuk bulat yang sama besar dalam suatu susunan yang longgar
mempunyai porositas 48% dari total volume sediaan. Ostwald dan

teman-temannya telah membuktikan bahwa jika seseorang berusaha

untuk menggabungkan lebih dari 74% minyak dalam suatu emulsi M/A,

bola-bola minyak seringkali menggabung dan emulsi tersebut pecah.

Harga ini dikenal sebagai titik kritis yang didefenisikan sebagai

konsentrasi dari fase dimana zat pengemulsi tidak dapat menghasilkan

suatu emulsi yang stabil dari tipe yang diinginkan. Dalam beberapa

emulsi yang stabil harga tersebut mungkin lebih besar dari 74% yang

disebabkan karena bentuk dan ukuran bola yang tidak beraturan. Tetapi

umumnya suatu perbandingan fase volume 50/50 menghasilkan emulsi

yang paling stabil.

Kemungkinan besar faktor yang paling penting dalam

menstabilkan suatu emulsi adalah sifat fisik dari lapisan pengemulsi

pada antarmuka. Agar menjadi efektif, suatu lapisan pengemulsi harus

kuat dan elastis dan harus terbentuk dengan cepat selama proses

pengemulsian. Suatu zat pengemulsi atau kombinasi zat pengemulsi

yang baik mengakibatkan penurunan tegangan antarmuka awal untuk

menghasilkan bola-bola kecil yang sama dan terbentuk dengan cepat

sehingga melindungi bola-bola tersebut untuk tidak berkumpul kembali

selama pembuatan. Lapisan tersebut kemudian perlahan-lahan

meningkat kekuatannya setelah beberapa hari atau beberapa minggu.


II.9 Uraian Bahan Tambahan

II.9.1 Emulgator Alam Gom Arab

Gom Arab atau acasia merupakan kompleks antara gula bebas

agregat dan hemicelluloses dengan berat molekul antara 240.000–

580.000. secara umum acasia digunakan dalam formulasi sediaan oral

maupun topical sebagai suspending agent dan emulsifying agent

(Emulgator), sering kali dikombinasikan dengan tragacant. Juga

digunakan pada pembuatan pastilles dan lozenges serta sebagai bahan

pengikat tablet, meski jika digunakan dengan tidak tepat dapat

menghasilkan tablet dengan waktu disentegrasi diperpanjang. Dalam

formulasi sediaan emulsi, acasia digunakan sebagai emulgator pada

konsentrasi 10-20%. Acasia berupa serpihan tipis, bulat, granul, atau

serbuk, berwarna putih atau putih kekuningan, tidak berbau dan tekstur

lembut. (20)

II.9.2 Oleum Iecoris Aselli

Oleum Iecoris Aselli atau Cod–Liver Oil berupa minyak berwarna

kuning pucat yang agak berbau ikan tetapi tidak berbau tengik. Cod-Liver

Oil merupakan sumber vitamin D dan sumber vitamin A yang baik. Juga

mengandung beberapa asam lemak tidak jenuh yang merupakan factor

esensial pada makanan dan tidak muncul jika vitamin A dan D dalam

konsentrasi tinggi. Salep Cod-Liver Oil menunjang percepatan

penyembuhan luka bakar, ulcer, luka tertekan dan superficial wounds. (20)
II.9.3 Metil Paraben

Metil paraben berupa serbuk hablar halus, putih; hampir tidak

berbau; tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa

tebal. Dapat larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih,

dalam 3,5 bagian etanol (95%) P dan dalam 3 bagian aseton P; mudah

larut dalam eter P dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60

bagian gliserol P panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas,

jika didinginkan larutan tetap jernih. Metil paraben (0,18%)

dikombinasikan dengan propil paraben (0,02%) sebagai pengawet pada

beberapa formulasi.

II.9.4 Propil Paraben

Propil paraben berupa serbuk hablur putih; tidak berbau; tidak

besar. Sangat sukar larut dalam air; larut dalam 3,5 bagian etanol (95%) P

clan dalam 3 bagian aseton P, dalam 140 bagian gliserol P dan dalam

minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Digunakan

sebagai pengawet (20).

II.9.5 Oleum Menthae Piperitae

Oleum Menthae Piperitae atau peppermint oil berupa cairan tidak

berwarna, kuning pucat, kuning kehijauan dengan karekteristik bau

peppermint oil dan rasa aromatik dengin yang tajam. Mengandung

menthol, menthone dan metyl acetat. Merupakan carminatif aromatik dan

Relieve flatulence. Dosis umumnya adalah 0,2 atau 0,4 mL. Peppermint oil

juga digunakan sebagai Flavour (20)


B A B III

PELAKSANAAN PENELITIAN

II.1 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan yaitu alat-alat gelas, homogenizer (Stastir®),

termometer, pH meter (Lutron®), alat FTIR (Shimidzu®), plat tetes,

viscometer (Brookfield®), mikroskop (L-301A®), dan alat frezee-dryer (Karl

Kolb Beta®).

Bahan yang digunakan yaitu tulang ikan bandeng (meliputi tulang

badan), asam sitrat 9%, gom arab, metil paraben, propil paraben, oleum

menthae piperitae, oleum lecoris aselli (minyak ikan), metilen blue dan

sudan III.

II.2. Prosedur penelitian

II.2.1 Pembuatan larutan asam sitrat 9%

Sebanyak 90 g asam sitrat dimasukkan ke dalam labu tentukur 1 liter

lalu dicukupkan volumenya hingga 1 liter dengan aquadestillata.

II.2.2 Ekstraksi gelatin

a. Pembersihan :

Tulang ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) dibersihkan dari

sisa-sisa daging dan lemak yang masih menempel (degreasing) yaitu

merendam di dalam air pada suhu 60oC selama 30 menit sambil diaduk.

Selanjutnya tulang ditiriskan dan dipotong kecil-kecil (3-5 cm).


b. Demineralisasi :

Bahan baku yang telah bersihkan, direndam dengan larutan

asam sitrat 9% dalam gelas piala selama 48 jam sampai terbentuk tulang

yang lunak (ossein). Ossein dicuci dengan menggunakan aquadestillata

sampai pH-nya netral (7).

c. Ekstraksi :

Ossein dimasukkan ke dalam gelas piala dan ditambahkan

aquadestillata (1 : 3). Setelah itu diekstraksi di atas penangas air

selama 4 jam. Kemudian disaring dengan kertas saring. Hasil saringan

dipekatkan dengan memakai evaporator.

d. Pengeringan :

Cairan pekat gelatin yang diperoleh dari penguapan dikeringkan

dengan cara liofilisasi. Setelah kering kemudian digiling dan dianalis.

II.2.2 Uji penegasan gelatin

a. Uji Protein

Uji protein dilakukan dengan menggunakan pereaksi biuret.

Sebanyak 2 mL gelatin 2% b/v ditambahkan dengan 2 mL NaOH 10%.

Tambahkan beberapa tetes CuSO4 0,1%. Diamati perubahan yang terjadi.

b. Uji Asam Amino Prolin

Uji asam amino prolin dilakukan dengan menggunakan pereaksi

ninhidrin. Sebanyak 4 mL gelatin 2% b/v ditambahkan 1 mL larutan

ninhidrin 0,1% ke dalam tabung reaksi dan dihomegenkan. Tabung reaksi


ini dipanaskan dengan menggunakan lampu spritus selama 3 menit.

Diamati perubahan yang terjadi.

c. Uji Asam Amino Sistein

Uji kandungan asam amino sistein dilakukan dengan menggunakan

pereaksi nitroprusida. Sebanyak 2 mL gelatin 2% b/v ditambahkan 1 mL

larutan natrium nitroprusida pada tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1

mL larutan amoniak encer. Diamati perubahan yang terjadi.

d. Uji Asam Amino Triptofan

Uji kandungan asam amino triptofan dilakukan dengan

menggunakan pereaksi hopkins-cole. Sebanyak 2 mL gelatin 2% b/v

ditambahkan dengan 1 mL larutan formaldehida encer pada tabung

reaksi, kemudian ditambahkan 1 mL H2SO4 pekat melalui dinding tabung

sehingga terbentuk dua lapisan. Perubahan yang terjadi diamati.

II.2.3 Analisis gugus fungsi menggunakan Fourier Transform Infra

Red (FTIR)

Sebanyak 2 g serbuk gelatin dicampur dengan 20 mg KBr.

Kemudian diukur secara transmisi difusi reflektansi KBr dengan

menggunakan alat spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR).

II.2.4 Pembuatan Sediaan Emulsi

Di buat campuran dua fase emulsi yaitu fase air dan fase minyak.

Untuk fase air, didispersikan gom arab dengan aquadestillata yang telah

mengandung metil paraben kemudian ditambahkan dengan gelatin. Untuk


fase minyak, dilarutkan propil paraben ke dalam oleum lecoris aselli

ditambahkan oleum menthae piperitae. Kedua fase kemudian dicampur

hingga homogen menggunakan pengaduk elektrik, terakhir ditambahkan

dengan oleum menthae piperitae.

II.2.5 Rancangan Formula

Dibuat 4 formula minyak ikan menggunakan co-emulgator gelatin

dengan variasi konsentrasi 0,5%, 0,1%, tanpa co-emulgator dan tanpa

emulgator. Rancangan formula lengkap dapat dilihat pada table 1.

Tabel 1. Rancangan Formula

Formula Minyak Ikan (%b/v)


Formula I II III IV

Ol. Iecoris Aselli 46,5 46,5 46,5 46,5

Gom Arab 15 15 15 -
Gelatin Tulang Ikan Bandeng 0,5 1 - 1

Ol. Menthae piperitae 0,15 0,15 0,15 0,15


Metil Paraben 0,15 0,15 0,15 0,15

Propil Paraben 0,01 0,01 0,01 0,01

Aquadestillata 37,69 37,19 38,19 52,19

Keterangan :

I : Formula dengan co-emulgator gelatin tulang ikan 0,5 %

II : Formula dengan co-emulgator gelatin tulang ikan 1 %

III : Formula tanpa co-emulgator gelatin tulang ikan

IV : Formula tanpa emulgator


II.2.6 Evaluasi tipe emulsi

II.2.6.1. Metode Dispersi Zat Warna.

Emulsi yang telah dibuat dimasukkan ke dalam vial, kemudian

ditetesi dengan beberapa tetes larutan metilen blue dan sudan III. Diamati

dispersi warna dalam emulsi secara makroskopik dan mikroskopik.

II.2.6.2. Metode Hantaran Listrik.

Emulsi yang telah dibuat dimasukkan sebanyak 25 mL kedalam

gelas piala, kemudian dihubungkan dengan rangkaian arus listrik.

II.2.7 Kondisi Penyimpanan Dipercepat.

Tiap formula diberi kondisi dipercepat dengan penggunaan siklus

suhu 5˚C dan 35˚C selama 12 jam sebanyak 10 siklus.

II.2.8 Uji Stabilitas Fisik Sediaan Emulsi

Stabilitas fisik tiap formula emulsi di uji sebelum dan setelah

dilakukan penyimpanan dipercepat yang meliputi :

a. Pengamatan Organoleptis

Pengamatan organoleptis yang meliputi warna, rasa dan bau.

b. Pengamatan Tetesan emulsi (globul)

Pengamatan tetesan terdispersi (globul) dilakukan dengan

menggunakan mikroskop. Caranya dengan emulsi diteteskan pada objek

gelas, ditutup dengan dek gelas kemudian diamati globul terdispersinya

menggunakan mikroskop dengan pembesaran skala okuler dan objektif

yang sesuai.
c. Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter

Lutron®.

d. Volume pemisahan

Sebanyak 25 mL sediaan dimasukkan kedalam gelas ukur dan

diukur volume pemisahan yang terbentuk setiap selesai satu siklus.

e. Pengukuran Viskositas

Viskositas emulsi diukur menggunakan viscometer Brookfield®

dengan kecepatan 60 rpm dan spindel no.5.

II.3 Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dikumpulkan dari masing-masing hasil

pengujian.

II.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistika.

II.5 Pembahasan Hasil

Pembahasan berupa hasil penelitian dari data yang dianalisis.

II.6 Pengambilan Kesimpulan

Kesimpulan diambil berdasarkan hasil pembahasan.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Penelitian

IV.1.1 Ekstraksi gelatin

Proses ekstraksi gelatin dari tulang ikan bandeng dilakukan dengan

proses asam yaitu menggunakan asam sitrat 9% selama 48 jam.

Tabel 2. Proses ekstraksi gelatin dari tulang ikan bandeng

No Tahap Jumlah

1 Pengumpulan sampel 200 g

2 Sampel setelah dibersihkan 169 g

3 Sampel setelah demineralisasi 98 g

4 Hasil ekstraksi 74,3 g

5 Gelatin tulang ikan bandeng 15,6 g

IV.1.2 Pengamatan organoleptis

Pengamatan terhadap gelatin tulang ikan bandeng secara

organoleptis meliputi bentuk, warna, dan bau.

Tabel 3. Hasil Pengamatan organoleptis sampel gelatin tulang ikan

Pengamatan Hasil

Pemerian Serbuk

Warna Putih kekuningan

Bau Agak berbau


IV.1.3 Uji penegasan gelatin

Uji penegasan terhadap gelatin tulang ikan bandeng dengan

menggunakan beberapa pereaksi spesifik.

Tabel 4. Uji penegasan gelatin dari tulang ikan bandeng

No Jenis Uji Pereaksi Pustaka Warna Hasil

1 Protein Biuret Ungu Ungu +

Asam amino Kuning Kuning


Ninhidrin +
2 prolin kecoklatan kecoklatan

Asam amino
Nitriprusida Merah Kuning -
3 sistein

Asam amino
Hopskin-Cole Cincin ungu Coklat -
4 triptofan

(+) : Warna yang dihasilkan sesuai dengan pustaka


(-) : Warna yang dihasilkan tidak sesuai dengan pustaka

IV.1.4 Pengamatan Organoleptis Sediaan Emulsi

Sediaan emulsi yang telah dibuat, kemudian dilakukan pengamatan

secara organoleptis.

Tabel 6. Hasil Pengamatan Organoleptis Sediaan Emulsi

Kondisi Pengamatan
Sebelum Penyimpanan Setelah Penyimpanan
Dipercepat Dipercepat
Sediaan Warna Tekstur Warna Tekstur
I Kuning Halus Kuning Halus
II Kuning Halus Kuning Halus
III Kuning Halus - -
(-) : Sediaan emulsi mengalami pemisahan fase

IV.1.5 Analisa gugus fungsi menggunakan Fourier Transform Infra

Red (FTIR)
Karakterisasi gugus fungsi gelatin tulang ikan bandeng dengan

menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Tabel 5. Posisi puncak dan dan gugus fungsi spektra FTIR gelatin standar

dan gelatin tulang ikan bandeng

Daerah Puncak Serapan


Serapan
Keterangan Referensi
Standar Tulang ikan

Amida A 3417,86 3429,43 Regangan NH, 21, 22


2935,66 2931,8 Gugus OH,
2879,72 2879,72 Regangan CH2
Amida I 1649,14 1651,07 Regangan C=O, 21,23
NH binding, Regangan
CN, Pasangan gugus
COO- (rantai α-helikss)
Amida II 1541,12 1539,2 Deformasi ikatan N-H 21

Amida III 1201,65 1201,65 Triple helikss kolagen 23


1163,08 1151,5
1120,64 1116,78
975,98 975,98
921,97 920,05

IV.1.6 Pengamatan Tipe Emulsi

Pengamatan tipe emulsi dilakukan sebelum dan setelah

penyimpanan dipercepat.

Tabel 7. Hasil Pengamatan Tipe Emulsi

Tipe Emulsi
Sebelum Penyimpanan Dipercepat Setelah Penyimpanan Dipercepat
Sediaan
Uji Hantaran Uji Uji Dispersi Uji Hantaran Uji Uji Dispersi
Listrik Pengenceran Warna Listrik Pengenceran Warna
I M/A M/A M/A M/A M/A M/A
II M/A M/A M/A M/A M/A M/A
III M/A M/A M/A - - -
(-) : Sediaan emulsi mengalami pemisahan fase
IV.1.7 Pengukuran pH Emulsi

Pengukuran pH terhadap sediaan emulsi dilakukan sebelum dan

setelah penyimpanan dipercepat.

Tabel 8. Hasil Pengukuran pH Emulsi

Kondisi Nilai pH
Sebelum Penyimpanan Setelah Penyimpanan
Dipercepat Dipercepat
Sediaan
I 6,00 6,03
II 6,00 6,16
III 5,96 6,04

IV.1.8 Pengukuran viskositas

Pengukuran viskositas sediaan emulsi dilakukan sebelum dan

setelah pemyimpanan dipercepat

Tabel 9. Hasil Pengukuran viskositas (cps)

Kondisi
Sebelum Penyimpanan Sesudah Penyimpanan
Dipercepat Dipercepat
Sediaan

1600 3900
I 1800 4000
1600 3900
2000 4400
II 1800 4400
2000 4500
600 -
III 600 -
600 -
(-) : Sediaan emulsi mengalami pemisahan fase
IV.1.9 Pengukuran Volume Pemisahan

Pengukuran volume pemisahan sediaan emulsi dilakukan sebelum

dan setelah penyimpanan dipercepat

Tabel 10. Hasil Pengukuran Volume Pemisahan

Kondisi Volume Pemisahan


Sebelum Penyimpanan Setelah Penyimpanan
Sediaan Dipercepat Dipercepat
I - -
II - -
III - 12 mL
(-) : Sediaan emulsi tidak mengalami pemisahan fase

IV.2 Pembahasan

Hidrolisis kolagen dari tulang ikan bandeng untuk mendapatkan

gelatin dapat dilakukan setelah melakukan tahap pembersihan

(degreasing) dan pemotongan tulang menjadi lebih kecil (21). Proses

degreasing pada suhu 600C selama 15 menit dilakukan untuk

menghilangkan daging, kotoran, dan lemak pada tulang ikan (15).

Setelah proses pembersihan, tulang ikan direndam dalam asam

sitrat 9% selama 48 jam. Larutan asam mampu mengubah serat kolagen

triple helikss menjadi rantai tunggal dalam waktu singkat, sehingga pada

waktu yang sama jumlah kolagen yang terhidrolisis lebih banyak. Hasil

yang diperoleh adalah tulang lunak (ossein). Konversi kolagen menjadi

gelatin, dilakukan dengan cara ekstraksi ossein pada suhu 600C dalam

sistem penangas air. Pemanasan dilakukan karena gelatin akan melarut

dalam air hangat (22). Gelatin yang diperoleh kemudian disaring untuk
mendapatkan filtrat yang jernih. Filtrat kemudian dikeringkan dengan

proses liofilisasi. Hasil liofilisasi kemudian digiling untuk mendapatkan

gelatin dalam bentuk serbuk.

Gelatin tulang ikan yang didapatkan kemudian dilakukan uji

penegasan dengan menggunakan pereaksi spesifik. Pada uji protein

dengan menggunakan pereaksi biuret ditandai dengan perubahan warna

larutan ungu violet dalam larutan basa. Reaksi uji protein dengan

menggunakan pereaksi biuret memberikan hasil yang positif terhadap

gelatin tulang ikan bandeng. Hal ini akibat pembentukan senyawa

kompleks Cu2+ gugus CO dan NH dari rantai peptida gelatin dalam

suasana basa. Pereaksi ninhidrin digunakan untuk mengetahui adanya

asam amino prolin. Hasil positif ditunjukkan dengan hasil akhir berupa

warna kuning. Hal ini disebabkan adanya satu gugus karboksil dan asam

amino prolin dan hidroksi prolin bereaksi dengan ninhidrin

(triketohidrindenahidrat ) menghasilkan warna kuning. Uji kandungan

asam amino sistein menggunakan natriumnitroprusida dalam larutan

amoniak akan menghasilkan warna merah dengan protein yang

mempunyai gugus –SH bebas. Hasil negatif didapatkan dari pengujian

terhadap gelatin tulang ikan bandeng. Hal ini menunjukkan bahwa gelatin

tersebut tidak mengandung asam amino sistein. Sedangkan Reaksi

hopskin-cole untuk penentuan gugus indole spesifik untuk asam amino

triptofan. Senyawa-senyawa indolik dengan aldehid tertentu (asam

gliosilik, methanol, para metal amino-benzaldehide) dalam suasana asam


dan dingin memberikan warna violet diperoleh hasil negatif. Hal ini telah

sesuai, dimana merupakan jenis protein spesifik yang tidak mengandung

asam amino triptofan (6).

Analisis FTIR digunakan untuk membuktikan apakah senyawa yang

diperoleh dari penelitian ini adalah benar gelatin. Hasil pengukuran FTIR

yang ditunjukkan pada spektra terbagi menjadi 4 daerah serapan yaitu

amida A, amida I, amida II, dan amida III yang merupakan daerah serapan

gugus fungsi khas gelatin. Daerah serapan amida A ditunjukkan pada

υ=3580-3650 cm-1merupakan daerah serapan gugus OH dan regangan

NH serta regangan CH2 pada sekitar 2930 cm-1. Hasil pengukuran

terhadap gelatin tulang ikan bandeng menunjukkan puncak serapan

2931,8 cm-1 dan 2879,72cm-1 (21). Puncak ini menunjukkan bahwa gugus

NH dalam amida akan cenderung berikatan dengan regangan CH 2 apabila

gugus karboksilat dalam keadaan stabil (22). Dengan demikian gelatin

tulang ikan bandeng yang diuji telah terbukti memiliki gugus OH, regangan

NH, dan regangan CH2.

Gugus khas gelatin berikutnya adalah amida I. Adanya regangan

ikatan ganda gugus karbonil, C=O, bending ikatan NH, dan regangan CN

menyebabkan timbulnya puncak serapan pada frekuensi 1660-1644 cm-1

(21). Hasil pengukuran terhadap gelatin tulang ikan bandeng dengan

puncak serapan 1651,07 cm-1 menunjukkan adanya gulungan acak rantai-

α. Hal ini menunjukkan triple helikss yang telah terkonversi menjadi rantai-

α atau disebut gelatin.


Daerah serapan amida II adalah puncak serapan pada 1560-1335

cm-1 (21). Vibrasi amida II disebabkan oleh adanya deformasi ikatan N-H

dalam protein. Hasil pengukuran terhadap gelatin tulang ikan bandeng

menunjukkan puncak serapan 1539,2 cm-1. Hal ini membuktikan adanya

deformasi ikatan N-H pada gelatin tulang ikan bandeng menghasilkan

rantai-α.

Daerah serapan spesifik dari gelatin yang terakhir adalah amida III.

Puncak serapannnya adalah 1240-670 cm-1 dan berhubungan dengan

struktur triple-helikss (23). Hasil pengukuran terhadap gelatin tulang ikan

bandeng menunjukkan puncak serapan 1201,65 cm-1, 1151,5 cm-1,

1116,78 cm-1, 920,05 cm-1. Hal ini menunjukkan gelatin tulang ikan

bandeng masih mengandung struktur triple helikss (kolagen).

Co-emulgator merupakan bahan yang digunakan dalam sediaan

emulsi untuk membantu emulgator utama dalam meningkatkan kestabilan

fisik sediaan dengan mencegah terjadinya koalesensi atau menyatunya

tetesan-tetesan dari masing-masing fase. Sebagai co-emulgator bagian

molekul gelatin yang nonpolar larut dalam lapisan luar molekul minyak

sedangkan bagian yang polar terikat dengan air. Akibatnya, gelatin

memfasilitasi pembentukan tetesan minyak, meningkatkan stabilitas

emulsi dan menghasilkan sifat fisika-kimia yang diinginkan pada emulsi

minyak dalam air (3).


Penentuan konsentrasi gelatin sebagai co-emulgator berdasarkan

pada penelitian sebelumnya, dimana konsentrasi gelatin yang digunakan

minimal 0,5% dan maksimal 1%.

Pembuatan emulsi diformulasikan dalam tipe minyak dalam air

(M/A), menggunakan variasi konsentrasi co-emulgator 0,5%, 1%, tanpa

co-emulgator dan tanpa emulgator. Setelah diformulasikan, dilakukan

pengujian kestabilan fisik emulsi yang diformulasi menggunakan variasi

konsentrasi co-emulgator, tanpa co-emulgator, dan tanpa emulgator.

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variasi

konsentrasi emulgator gelatin terhadap kestabilan fisik emulsi.

Hasil pengamatan organoleptis terhadap emulsi I dan II yang

diformulasikan dengan penambahan co-emulgator dengan konsentrasi

berturut-turut 0,5% dan 1% tidak menunjukkan perubahan warna dan

tekstur. Hal ini disebabkan karena komposisi emulsi bersifat inert sehingga

tidak terjadi interaksi antara bahan utama dengan co-emulgator yang

memiliki reaksi netral. Untuk pengamatan organoleptis terhadap emulsi

III yang diformulasikan tanpa co-emulgator tidak menunjukkan

perubahan warna dan tekstur, namun mengalami pemisahan fase

setelah kondisi penyimpanan dipercepat. Sedangkan untuk formula IV,

tidak terbentuk sistem emulsi.

Hasil pengujian tipe emulsi dengan co-emulgator sebelum

dan sesudah penyimpanan dipercepat memperlihatkan bahwa semua

emulsi mempunyai tipe emulsi M/A, baik uji dispersi zat warna
menggunakan metilen biru maupun uji daya hantar listrik. Pada emulsi

dengan tanpa co-emulgator hasil uji tipe emulsi sebelum penyimpanan

dipercepat memperlihatkan bahwa semua emulsi mempunyai tipe emulsi

M/A yaitu pada uji warna menggunakan metilen biru dan uji daya hantar

listrik sedangkan sesudah penyimpanan dipercepat tidak dilakukan uji tipe

emulsi karena emulsi telah mengalami pemisahan fase. Uji dispersi warna

memperlihatkan metilen biru dapat terdispersi ke dalam emulsi. Hal ini

disebabkan metilen biru dapat larut pada fase pendispersi (fase air)

sehingga emulsi dikatakan tipe M/A. Uji daya hantar listrik

menunjukkan hasil positif berupa nyala lampu. Uji ini didasarkan

pada prinsip bahwa air menghantarkan arus listrik sedangkan minyak

tidak, sehingga dapat disimpulkan tipe emulsi M/A. Penentuan tipe emulsi

M/A diperkuat dengan adanya pengamatan mikroskopik dengan

menggunakan metilen blue dan sudan III. Pengamatan mikroskopik

dengan menggunkan metilen blue menunjukkan adanya warna biru latar

atau fase luar. Hal ini disebabkan fase terluar dari sediaan emulsi adalah

fase air, dimana metilen blue merupakan pewarna yang suka dengan air.

Sedangkan pengamatan mikroskopik dengan menggunakan pewarnaan

sudan III, menunjukkan adanya pewarnaan pada tetesan minyak atau

fase terdispersi dan fase terluar tidak terwarnai. Hal ini disebabkan karena

sudan III merupakan pewarna yang lebih suka minyak. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa formulasi sediaan minyak ikan adalah emulsi tipe M/A.
Hasil pengukuran pH emulsi menunjukkan adanya perubahan pH

emulsi sebelum dan setelah penyimpanan dipercepat. Sebelum kondisi

penyimpanan dipercepat, pada konsentrasi formula emulsi dengan co-

emulgator 0,5%, 1%, dan tanpa emulgator diperoleh nilai pH berturut-turut

sebesar 6,0; 6,0; 5,96. Sesudah kondisi penyimpanan dipercepat,

mempunyai pH berturut-turut sebesar 6,05; 6,16. Formula tanpa co-

emulgator mengalami pemisahan fase setelah kondisi dipercepat,

sehingga tidak dilakukan pengukuran pH. Pada gambar 4. hasil

pengukuran pH setelah kondisi penyimpanan dipercepat pada emulsi

dengan co-emulgator menunjukkan peningkatan yang tidak signifikan

pada semua formula emulsi. Adanya peningkatan pH pada sediaan

dapat diakibatkan oleh adanya penguapan air selama proses

penyimpanan dipercepat dalam sediaan dalam emulsi minyak ikan.

Pengaruh Kestabilan
6,2
6,15
6,1
6,05
pH

Sebelum penyimpanan
6 dipercepat
5,95 Setelah penyimpanan
5,9 dipercepat

5,85
I II III
Formula

Gambar 4. Diagram batang pH emulsi dengan penambahan co-emulgator

sebelum dan setelah penyimpanan dipercepat.


Viskositas emulsi merupakan kriteria penampilan pokok,

penggunaannya tidak berkenaan dengan nilai viskositas absolut, tetapi

melihat pada perubahan viskositas selama penyimpanan. Semakin kecil

perubahan viskositas maka semakin stabil emulsi tersebut. Pengamatan

viskositas emulsi sebelum dan setelah penyimpanan dipercepat

menunjukkan terjadinya kenaikan viskositas pada semua variasi

konsentrasi. Hal ini merupakan efek normal penyimpanan suatu emulsi

pada suhu yang lebih tinggi adalah mempercepat koalesensi dan hal ini

biasanya diikuti dengan perubahan viskositas. Selain itu, perbedaan

temperatur secara bergantian pada saat proses penyimpanan dipercepat

dapat menyebabkan terjadinya penguapan air dari sediaan sehingga

viskositas emulsi meningkat.

Pengaruh Kestabilan
5000
4500
4000
3500
Viskositas

3000
2500 Sebelum penyimpanan
2000 dipercepat
1500
Setelah penyimpanan
1000
dipercepat
500
0
I II III
Formula

Gambar 5. Diagram batang viskositas emulsi dengan penambahan co-

emulgator sebelum dan setelah penyimpana dipercepat.


Pada gambar 5, menunjukkan adanya perbedaan viskositas

sediaan emulsi sebelum dan sesudah kondisi penyimpanan dipercepat

untuk formula I dan II. Perubahan viskositas yang diperlihatkan cukup

signifikan dengan perubahan paling kecil adalah emulsi dengan

konsentrasi co-emulgator 0,5% sehingga emulsi ini yang paling stabil

secara fisik. Untuk emulsi dengan tanpa co-emulgator memperlihatkan

adanya pemisahan atau breaking sehingga formula emulsi dinyatakan

tidak stabil secara fisik.

Dari pembahasan di atas maka diketahui bahwa ada pengaruh

penggunaan variasi co-emulgator 0,5% dan 1% terhadap kestabilan

fisik emulsi dengan bahan aktif dari emulsi minyak ikan yaitu berpengaruh

terhadap perubahan kekentalan namun tidak berpengaruh terhadap

pemisahan fase atau dapat dinyatakan stabil secara fisik. Untuk

emulsi dengan tanpa co-emulgator dinyatakan tidak stabil secara fisik

karena terjadi pemisahan fase setelah penyimpanan dipercepat. Hal ini

terjadi karena kemampuan emulgator tunggal dari gom arab yang

digunakan lemah sehingga pembentukan emulsinya tidak stabil dan

membutuhkan co-emulgator.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan:

Emulsi minyak ikan (Oleum Iecoris Aselli) yang diformulasi dengan

penambahan co-emulgator gelatin dari tulang ikan bandeng (Chanos

chanos Forskal) dengan konsentrasi 0,5% adalah emulsi yang stabil

secara fisik

V.2 Saran

1. Sebaiknya dilakukan formulasi emulsi tipe M/A dengan menggunakan

kombinasi gelatin dan emulgator yang berbeda.

2. Sebaiknya dilakukan formulasi emulsi tipe M/A dengan menggunakan

gelatin tipe B.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kristinsson H.G., & Rasco, B.A. Fish protein hydrolysates : Production,


biochemical, and functional properties CRC Critical Reviews in Food
Science and Nutrition 40, 2000. pp 43–81. Avaible as PDF File.

2. Fatimah D. Efektivitas Penggunaan Asam Sitrat Dalam Pembuatan Gelatin


Tulang Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal). 2008. Avaible as PDF File.

3. Karem A. A., Bhat, Rajeev. Fish Gelatin: Properties, Challenges, and


Prospects as An Alternative to Mammalian Gelatins. Food Hydrocolloids 23.
Elsevier. 2009. pp : 563-564. Avaible as PDF File.

4. Gennaro A. R. Remingtons Pharmaceutical Sciences, 21th edition, Merck


Publising Company, Ponsylvania.2005 pp :325-330. Avaible as PDF File.

5. Schrieber Reinhard & Herbert Gareis. Gelatine Handbook Theory and


Industrial Practice. 2007. pp 88-110. Avaible as PDF File.

6. Poedjiadi, A. Dasar-dasar Biokimia. UI-Press. Jakarta.1994. Hal : 114.

7. Hawab H. M. Pengantar Biokimia. Bayumedia Publishing. Malang. 2004. Hal


: 54-56.

8. Grosch W, Belitz. Food Chemistry. Spingers-Perlag Heidenberg. New York.


1986. pp : 430.

9. Eastoe, J.E. The Chemical Examination of Gelatin. In : Ward. AG; and


A.Courts, Editors. The Science and Technology of Gelatin. Academic
Press, New York. 1977.

10. Khopkar S.M. Konsep Dasar Kimia Anaitik. UI-Press. Jakarta.2003. Hal :
231.

11. Kamilah H. E. Dasar-dasar Analilis Spektroskopi. KJM UIN. Malang. 2007.


Hal : 35-36.

12. Liebermen H.A. Pharmaceutical Dosage Forms, Disperse System. Vol II.
Marcel Dekker Inc. New york. 2002. pp: 233-234. Avaible as PDF File.

13. Aulton M.E.. Pharmaceutics The science Of Dosage From Design second
Edition. Churchill Livingstone. 2009. pp : 355-356. Avaible as PDF File.

14. Wathoni N dan Soebagio Boesro. Efektifitas Lechitin Sebagai Emulgator


Dalam Sediaan Emulsi Minyak Ikan. Farmaka, 6(2). 2007. Avaible as PDF
File.

15. Hinterwaldner R. Raw Material. In : Ward. AG; and A.Courts, Editors. The
Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New York. 1997. pp :
40-55. Avaible as PDF File.

16. Jones David. Pharmaceutics Dosage Form and Design. Pharmaceutical


Press. London. 2008. pp : 56. Avaible as PDF File.

17. Als S., Sjoblom,J., Encyclopedic Handbook of Emulsion Technology, Marcel


Dekker, USA, 2001. pp : 377-405. Avaible as PDF File.

18. Parrott, E.L., Pharmaceutical Technology. Fundamental Pharmaceutics.


[Third Revition]. Burgess Publishing Company. Minneapolis. 1971. hal. 313.

19. Lachman,L. ,Herbert A. L., dan Joseph L.K. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Ed. 2. Penerbit Universitas Indonsia Press. Jakarta. 1994. Hal.
1029-1044, 1102-1105.

20. Rowe C Raymon, Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th Edition.


Pharmacetical Press. Washington. 2009. pp : 130

21. Muyonga J. H., Cole, C., G., B., Duodu, K., G. “Fourier Transform Infrared
(FTIR) Spectroscopy Study of Acid Soluble Collagen and Gelatin from Skins
and Bones of Young and Adult Nile Perch (Lates Niloticus)”.Food Chemistry
86. 2004. pp : 325-332.

22. Kemp W. Organic Spectroscopy 2nd. Hampshire: Macmillan Education Ltd.


1987. pp : 154

23. Hashim D. M., Che Man, Y., B., Norakasha, R., Shuhaimi, M., Salmah, Y.,
dan Syaharia, Z., A. “Potential Use of Fourier Transform Infrared
Spectroscopy for Differentiation of Bovine and Porcine Gelatins”. Food
Chemistry.118, 2009. pp : 856-860.
(I) (II) (III) (IV)

Gambar 7 :Uji penegasan gelatin tulang ikan bandeng dari tulang ikan bandeng. (I) Uji
biuret (II) Uji Hopskin-Cole (III) Uji Ninhidrin (IV) Uji Nitroprusida

(I) (II) (III)

I I
II
III III
II

Gambar 8 :Evaluasi volume pemisahan sebelum dan setelah kondisi dipercepat. (I)
emulsi dengan co-emulgator gelatin tulang ikan bandeng 0,5%. (II) emulsi dengan co-
emulgator gelatin tulang ikan bandeng 1%. (III) emulsi tanpa co-emulgator gelatin tulang
ikan bandeng.
(I) (II) (III)

Gambar 9 :Evaluasi tipe emulsi metode konduktivitas sebelum kondisi dipercepat(I)


emulsi dengan co-emulgator gelatin tulang ikan bandeng 0,5%. (II) emulsi dengan co-
emulgator gelatin tulang ikan bandeng 1%. (III) emulsi tanpa co-emulgator gelatin tulang
ikan bandeng.

(I) (II) (III)

Gambar 10 :Evaluasi tipe emulsi metode konduktivitas setelah kondisi dipercepat. (I)
emulsi dengan co-emulgator gelatin tulang ikan bandeng 0,5%. (II) emulsi dengan co-
emulgator gelatin tulang ikan bandeng 1%. (III) emulsi tanpa co-emulgator gelatin tulang
ikan bandeng.

I II III

Gambar 11. Hasil uji tipe emulsi M/A metode disperse warna. (I) emulsi dengan co-
emulgator gelatin tulang ikan bandeng 0,5%. (II) emulsi dengan co-emulgator gelatin
tulang ikan bandeng 1%. (III) emulsi tanpa co-emulgator gelatin tulang ikan bandeng.
(I) (II)

Latar yang terwarnai oleh metilen blue

(III)

Gambar 12 :Evaluasi tipe emulsi metode dispersi warna metilen blue mikroskopik
sebelum dan setelah kondisi dipercepat. (I) emulsi dengan co-emulgator gelatin tulang
ikan bandeng 0,5%. (II) emulsi dengan co-emulgator gelatin tulang ikan bandeng 1%.
(III) emulsi tanpa co-emulgator gelatin tulang ikan bandeng.

(I) (II)

Tetesan minyak yang terwarnai oleh sudan III


(III)

Gambar 13 :Evaluasi tipe emulsi metode disperse warna sudan III mikroskopik sebelum
dan setelah kondisi dipercepat. (I) emulsi dengan co-emulgator gelatin tulang ikan
bandeng 0,5%. (II) emulsi dengan co-emulgator gelatin tulang ikan bandeng 1%. (III)
emulsi tanpa co-emulgator gelatin tulang ikan bandeng.

Gambar 14. Sediaan emulsi IV

Gambar 15. Sampel Tulang dan Gelatin tulang ikan bandeng dari tulang ikan bandeng
(Chanos chanos Forskal)
Gambar 16 : Spektra Fourier Transform Infra Red (FTIR) gugus fungsi
gelatin tulang ikan bandeng dari tulang ikan bandeng

Gambar 17 : Spektra Fourier Transform Infra Red (FTIR) gugus fungsi


gelatin tulang ikan bandeng standar
LAMPIRAN

Ekstraksi Gelatin

Tulang ikan

 Dibersihkan
 Dibersihkan (penghilangan
(penghilangan lemak).
lemak)
Direndam
Direndampada
padaair
airdengan
mendidih o
selama
suhu 60 C selama 30
30 menit
menit
Dikecilkan
2
ukuran2 2– –5 5cm
Dikecilkanukuran cm2

Tulang ukuran 2-5 cm2

Demineralisasi
Demineralisasi (perendaman
(perendaman dalam
dalam asam
Asam
sitrat 9% sitrat
48 jam)9%, 48 jam)

Ossein
 Dicuci dengan air mengalir hingga pH netral
 Dicuci dengan air mengalir hingga pH
(6 – 7)
netral (6 – 7)
 Diekstraksi
diekstraksi
dalam penangas air pada suhu
dalam penangas air pada
o
80 C selama
o 6 jam
suhu 90 C selama 7 jam
 Ekstrak disaring
Ekstrak disaring

Ekstrak ossein
 Dipekatkan dengan Evaporator
 Dipekatkan dengan Evaporator
Diliofilisasi
 Diliofilisasi
Gelatin

Uji penegasan
(uji protein, asam amino prolin, asam amino sistein,
Asam amino triptofan)
Analisis gugus fungsi menggunakan FTIR
Pembuatan Formula Emulsi

Fase air Fase minyak


 Gom arab
 Dilarutkan metil paraben kedalam  Oleum Iecoris Aselli
air yang telah dipanaskan,  Propil paraben
kemudian didispersikan gelatin
kedalam campuran tersebut.

Diaduk hingga homogen

 Diaduk hingga homogen


 Ditambahkan Ol. Menthae piperatae

Emulsi
Uji Stabilitas Fisik Sediaan Emulsi

Sedian Emulsi

Uji tipe emulsi Uji Kestabilian fisik

Metode dispersi Metode


warna hantaran listrik

Setelah 10 siklus Setiap 1 siklus

Organoleptis
pH Viskositas Globul (warna, bau, dan Volume Pemisahan
rasa)

Analisis data

Pembahasan

Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai