Anda di halaman 1dari 5

Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Malpraktek Dalam Bidang Kesehatan

(Kajian Putusan MA Nomor 365.K/Pid/2012)


Fakta Hukum dan Kronologis Kejadian Perkara
Dalam perkara dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak
(Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagani (Terdakwa III) merupakan dokter pada Rumah Sakit
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Kejadian ini bermula ketika para dokter di atas melakukan
operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey yaitu pada saat korban Siska
Makatey sudah tidur terlentang di atas meja operasi kemudian dilakukan tindakan asepsi anti
septis pada dinding perut dan sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi
kecuali pada lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total.
Dalam tindakannya, dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) mengiris dinding
perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban kemudian bayi yang berada di dalam
rahim korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban
dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya
dinding perut milik korban dijahit.
Bahwa saat operasi dilakukan, dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai asisten
operator I (satu) dan dr. Hendy Siagani (Terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua)
membantu untuk memperjelas lapangan operasi yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary
Prawani (Terdakwa I) sebagai pelaksana operasi/operator yang memotong, menggunting dan
menjahit agar lapangan operasi bisa terlihat agar mempermudah operator yaitu dr. Dewa Ayu
Sasiary Prawani (Terdakwa I) dalam melakukan operasi.
Pada saat sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para
Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-
kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi
cito secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban dan Para Terdakwa sebagai dokter
yang melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban tidak melakukan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan
penunjang lainnya sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban dianestesi/ dilakukan
pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh
puluh) dan pada waktu kurang lebih pukul 20.10 WITA, hal tersebut telah disampaikan oleh
saksi dr. Hermanus j. Lalenoh, Sp. An. pada bagian Anestesi melalui jawaban konsul kepada
bagian kebidanan bahwa pada prinsipnya disetujui untuk dilaksanakan pembedahan dengan
anestesi resiko tinggi, oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan
yang bisa terjadi, tetapi pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah
pelaksanaan operasi selesai dilakukan kemudian pemeriksaan jantung tersebut dilakukan
setelah dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) melaporkan kepada saksi Najoan Nan
Waraouw sebagai Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan.
Berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 (nol empat satu sembilan enam sembilan)
yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto,SH. Sp. F. bahwa pada saat
korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum
korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat. dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani
(Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy siagian (Terdakwa III)
sebagai dokter dalam melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska
Makatey, lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksaanaan operasi
sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung
yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan
selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung. Berdasarkan kelalaian tersebut
mengakibatkan korban Siska Makatey meninggal dunia berdasarkan Surat Keterangan dari
Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010,
tanggal 26 April 2010.
Bila hal ini dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
maka ketentuan pasal 50 ayat (1) menyebutkan bahwa tenaga kesehatan
menyelenggarakan/melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau
kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Kompetensi dalam bidangnya masing-
masing sangat diperlukan guna memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas.
Sehingga apabila dokter maupun perawat melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam
ke empat (4) poin diatas, maka tindakan dokter tersebut dapat dikatagorikan sebagai
perbuatan Malpraktek dalam bidang medis.
Selain itu, terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan
melakukan tindakan malpraktik medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medis sesuai
dengan di bawah ini, yaitu:
 Standar Profesi Kedokteran: Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada
dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian
umum.
 Standar Prosedur Operasional (SOP): SOP adalah suatu perangkat instruksi/
langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu.
 Informed Consent: Substansi informed consent adalah memberikan informasi
tentang metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang
kesembuhan dan resiko yang akan dialami oleh pasien.

Melihat kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani bersama dua rekannya Dokter Hendry
Simanjuntak dan Dokter Hendy Siagani yang divonis bersalah melalui Putusan MA No:
365.K/Pid/2012, dalam putusan tersebut menyatakan dalam persidangan bahwa para dokter
yang disebutkan di atas tidak memberi pemberitahuan atau kabar kepada keluarga korban
atau pihak yang terkait dengan korban, hal ini tentunya bertentangan dengan 45 UU Nomor
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang menjelaskan sebagai berikut:
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
4. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
5. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
6. alternatif tindakan lain dan risikonya;
7. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
8. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
9. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.
10. Setiap tindakan, kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan,
11. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Tindakan yang dilakukan oleh dr. Ayu beserta rekannya, yang tidak memberikan laporan atau
meminta persetujuan dari pihak keluarga korban merupakan tindakan yang bertentangan
dengan ketentuan pasal di atas. Tujuan utama dalam meminta persetujuan ialah untuk
memberikan informasi dan meminta persetujuan terkait tindakan medis yang dilakukan
terhadap pasien. Mengingat bahwa kondisi korban dalam kasus di atas sangat kritis dan
memiliki resiko tinggi dalam penanganannya, maka hal tersebut sesuai dengan pasal 45 ayat
(5) UU Praktik Kedokteran di atas wajib mendapatkan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan, dalam hal ini bisa pihak keluarga,
bisa pihak yang mengampu pasien atau pihak lain yang berhubungan dan dekat dengan
pasien.
Selain itu, dr. Ayu beserta rekannya dalam melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap
korban Siska Makatey, terbukti lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat
pelaksaanaan operasi sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk ke
dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi
kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung yang
menyebabkan matinya pasien. Kelalaian yang terbukti ini tentunya sesuai dengan Pasal 359
KUHP yang menjelaskan bahwa “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana kurungan paling lama satu tahun.” Walaupun ada upaya pengobatan yang dilakukan
oleh dokter terhadap pasien tetapi tidak sesuai dengan prosedur atau meninggalkan tahapan
prosedur yang seharusnya dilakukan, maka hal tersebut masuk dalam kualifikasi perbuatan
malpraktek.
Dalam persidangan, selain tindakan dr. Ayu beserta rekannya yang tidak memberikan kabar
kepada pihak keluarga dan tidak meminta persetujuan dari pihak keluarga, juga ditemukan
fakta hukum bahwa dr. Ayu beserta rekannya melakukan pemalsuan tanda tangan atas surat
persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi kepada korban. Dalam
persidangan ditemukan bahwa ternyata tanda tangan korban yang berada di dalam surat
persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh
dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk ditandatangani oleh korban tersebut berbeda dengan
tanda tangan korban yang berada di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes,
kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan
berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.
LAB: 509/DTF/2011, yang dilakukan oleh Drs. Samir, S.St. Mk., Ardani adhis, S. Amd dan
Marendra yudi L., SE., menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia
Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan (Spurious Signature).
Tindakan tersebut tentunya dapat masuk dalam kualifikasi unsur pasal 263 KUHP yang
isinya sebagai berikut:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan
sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti
daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut
dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama
enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu
atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.
Mengingat bahwa tindakan kelalaian yang dilakukan oleh para dokter di atas menyebabkan
kematian yang dilakukan dalam menjalankan suatu pekerjaan maka tidak terlepas dari
ketentuan Pasal 361 KUHP yang menjelaskan bahwa “Jika kejahatan yang diterangkan
dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana
ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan
pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan”.
Berdasarkan pemaparan dalam kasus malpraktek di atas, tentunya dalam hal ini, baik dokter,
dokter gigi, perawat atau tenaga medis yang menjalankan pekerjaannya haruslah sesuai
dengan prosedur dan tingkat keilmuan yang dimilikinya. Walaupun dokter manusia biasa
yang tidak bisa secara mutlak membuat seseorang sembuh atau mencegah kematian
seseorang, maka seharusnya dalam melakukan pekerjaannya tidak melakukan tindakan
malpraktek yang dapat mengakibatkan pasiennya mengalami kerugian bahkan kematian.

Analisa Kasus Berdasarkan Permenkes nomor 290 tahun 2008 tentang Persetujuan
tindakan kedokteran.

Kasus Malpraktik yang dilakukan oleh Dr. Ayu tersebut melanggar Peraturan Permenkes
nomor 290 tahun 2008 tentang Persetujuan tindakan kedokteran. Jika dilihat lebih jauh maka,
pada Permenkes nomor 290 tahun 2008 dapat di analisis sebagai berikut:

Pasal 2
(1) Semuat tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasein harus mendapat
perssetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis
maupun lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memeroleh
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Dari penjelasan pasal tersebut diatas tindakan dr. Ayu beserta rekannya yang tidak
memberikan kabar kepada pihak keluarga dan tidak meminta persetujuan dari pihak keluarga,
juga ditemukan fakta hukum bahwa dr. Ayu beserta rekannya melakukan pemalsuan tanda
tangan atas surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi
kepada korban. Yang artinya tindakan operasi sesar yang dilakukan belum mendapat
persetujuan dari pihak keluarga dan pihak keluarga tidak mendapatkan penjelasan yang
diperlukan.

Pasal 7 ayat (1):


Penjelasn tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien
dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
Pasal 7 ayat (3)
Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya mencakup:
a. Diagnossi dan tata cara tindakan kedokteran
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
f. Perkiraan pembiayaan
Pada saat sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para
Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-
kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi
cito secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban dan Para Terdakwa sebagai dokter
yang melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban tidak melakukan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan
penunjang lainnya sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban dianestesi/ dilakukan
pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh
puluh) dan pada waktu kurang lebih pukul 20.10 WITA, hal tersebut telah disampaikan oleh
saksi dr. Hermanus j. Lalenoh, Sp. An. pada bagian Anestesi melalui jawaban konsul kepada
bagian kebidanan bahwa pada prinsipnya disetujui untuk dilaksanakan pembedahan dengan
anestesi resiko tinggi, oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan
yang bisa terjadi. Akan tetapi, Dr. Ayu tidak memberikan penjelasan tentang tindakan dan
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi saat operasi berlangsung kepada keluarga pasien.

Pasal 4
(1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Dari pasal diatas disebutkan bahwa tindakan yang dilakukan Dr. Ayu pada saat itu adalah
tindakan yang bersifat darurat mengingat bahwa kondisi pasien saat memasuki RSU Prof.
R. D. Kandou Manado, keadaan umum pasien adalah lemah dan status penyakit pasien
adalah berat selain itu, kondisi Ayu yang saat itu sedang hamil membuat Dr. Ayu
akhirnya mengambil tindakan operasi cito secsio sesaria.

Dari beberapa pasal yang dijelaskan diatas masih belum dapat menentukan apakah dr.Ayu
bersalah dan melakukan tindakan malpraktik seperti yang dimaksud jika kita melihat pada
pasal 4 Permenkes 290 tahun 2008 tentang perseetujuan tindakan kedokteran. Tetapi, apabila
kita melihat pasal-pasal yang lain dapat dilihat bahwa dr.Ayu dapat dikatakan telah
melakukan pelanggaran pasal 2, 3, dan 7 Permenkes 290 tahun 2008.

Sumber:
http://kanalhukum.id/bedahkasus/hukum-tentang-malpraktek/14

Nama :Putri Himami Hapsawati Amir


NIM:1604000032

Anda mungkin juga menyukai