Anda di halaman 1dari 14

Faktor Risiko di Awal Masa Kanak-kanak untuk Terjadinya Konstipasi dan

Enkopresis pada Usia Sekolah: Sebuah Studi Kohort Observasional


Jon Heron, Mariusz Grzeda, David Tappin, Alexander von Gontard,
Carol Joinson

Abstrak
Tujuan: Konstipasi dan enkopresis umum terjadi selama masa kanak-kanak. Studi ini
akan meneliti komorbiditas antara konstipasi pada masa kanak-kanak dan enkopresis
dengan faktor risiko pada awal masa kanak-kanak untuk masalah-masalah tersebut.
Desain: Sampel terdiri dari 8435 partisipan dari Avon Longitudinal Study of Parents
dan Children dengan laporan pengukuran konstipasi (pada 6 titik waktu antara 4-10
tahun) dan enkopresis (5 titik waktu antara 4-9 tahun) oleh ibu. Kami menggunakan
analisis kelas laten untuk mengekstraksi pola longitudinal dari konstipasi dan
enkopresis. Kami meneliti apakah kelas laten secara diferensial berhubungan dengan
faktor risiko yang dilaporkan ibu pada awal masa kanak-kanak (konsistensi feses, ASI,
latar belakang sosioekonomi, durasi kehamilan, berat lahir, tingkat perkembangan, dan
usia dimulainya latihan toilet) dengan menggunakan model regresi logistik multinomial.
Hasil: Kami mengekstraksi empat kelas laten: ‘normatif’ (74,5%: probabilitas
konstipasi atau enkopresis sangat rendah), ‘konstipasi saja’ (13,2%), ‘enkopresis saja’
(7,5%), dan ‘konstipasi dengan enkopresis’ (4,8%). Feses yang keras pada usia 2½
tahun berhubungan dengan peningkatan peluang terjadinya ‘konstipasi saja’.
Keterlambatan perkembangan pada usia 18 bulan berhubungan dengan ‘enkopresis saja’
dan ‘konstipasi dengan enkopresis’, namun tidak berhubungan dengan ‘konstipasi saja’.
Kami menemukan bukti yang terbatas tentang hubungan dengan latar belakang
sosioekonomi dan tidak ada bukti adanya hubungan yang ditemukan dengan usia
dimulainya latihan toilet, ASI, usia kehamilan, atau berat lahir.
Kesimpulan: Konstipasi saja adalah pola yang paling sering terjadi dalam kohort ini.
Terapi untuk feses keras pada awal masa kanak-kanak dibutuhkan untuk mencegah
konstipasi kronis pada usia sekolah. Konstipasi dengan enkopresis lebih jarang terjadi
daripada enkopresis saja. Penelitian yang lebih jauh dibutuhkan tentang penyebab
enkopresis non retentif.
Pendahuluan
Masalah usus adalah masalah umum yang terjadi pada masa kanak-kanak dan
memiliki dampak yang dianggap cukup besar dalam kualitas hidup seseorang. Diyakini
bahwa delapan puluh persen inkontinensia feses disebabkan karena luapan yang berasal
dari konstipasi kronis, sedangkan 20% tidak memiliki konstipasi (inkontinensia feses
non retentif fungsional). Definisi ROME-IV untuk konstipasi fungsional pada usia
perkembangan ≥ 4 tahun membutuhkan sedikitnya dua dari enam gejala (dua defekasi
atau kurang di toilet tiap minggu; sedikitnya satu episode inkontinensia feses tiap
minggu; riwayat postur menahan/retensi feses; riwayat nyeri saat buang air besar atau
feses yang keras; massa feses di rektum; feses dengan diameter yang besar dandapat
menyumbat toilet) yang terjadi seminggu sekali atau lebih selama minimal 1 bulan.
Kriteria diagnosis Rome-IV tersedia juga untuk konstipasi pada anak-anak di bawah
usia 4 tahun. Kriteria diagnostik untuk inkontinensia feses fungsional non-retentif
adalah defekasi yang tidak tepat; tidak ada kondisi medis untuk gejala dan tidak ada
retensi (kriteria harus terpenuhi minimal selama 1 bulan). Definisi klinis lain kadang-
kadang dapat digunakan. Studi epidemiologi prevalensi konstipasi dan enkopresis
bervariasi mungkin disebabkan karena perbedaan definisi. Sebuah ulasan sistematik
melaporkan median prevalensi dari konstipasi pada anak usia 0-18 tahun adalah 8,9%
dengan prevalensi anak laki-laki dan perempuan yang mirip; namun, penemuan yang
lebih baru menunjukkan adanya proporsi konstipasi yang lebih tinggi pada anak
perempuan. Prevalensi dari enkopresis pada masa kanak-kanak adalah antara 1% hingga
4% dan secara konsisten ditemukan dua hingga empat kali lipat lebih sering pada anak
laki-laki. Sebuah studi potong lintang beberapa waktu terakhir yang mempelajari anak-
anak usia 5-13 tahun melaporkan bahwa 7,8% (9,8% laki-laki, 5,8% perempuan)
mengalami inkontinensia feses. Hanya terdapat satu survei epidemiologi pada anak-
anak usia 10-16tahun di Sri Lanka yang membedakan enkopresis dengan atau tanpa
konstipasi dan melaporkan bahwa 2,0% mengalami inkontinensia feses dan 18% di
antaranya tidak mengalami konstipasi.
Identifikasi anak-anak yang berisiko mengalami konstipasi dan enkopresis
secara dini dapat bermanfaat dengan pemberian intervensi yang tepat untuk mengurangi
dampak samping dalam kualitas hidup dan perkembangan psikososial.Para klinisi
meyakini bahwa nyeri saat feses yang keras lewat pada saat bayi atau awal masa kanak-
kanak merupakan faktor dasar yang berkontribusi untuk terjadinya konstipasi akut, yang
berakhir pada konstipasi kronis yang menyebabkan enkopresis. Feses yang keras akan
mendorong terjadinya kebiasaan menahan untuk buang air besar dan penolakan ke
toilet, menahan massa feses, dan makin meningkatkan kesulitan untuk evakuasi feses.
Bayi yang mendapatkan ASI akan memproduksi feses yang lebih lunak, dan mereka
yang diberi ASI <6 bulan dapat lebih sering mengalami konstipasi. Faktor risiko lain
termasuk tingkat edukasi orang tua yang lebih rendah, status penghasilan dan
sosioekonomi, berat lahir rendah dan prematuritas, serta keterlambatan perkembangan.
Waktu untuk mulai dilatih toilet juga diinvestigasi, namun penemuannya tidak
konsisten. Hanya satu studi yang secara khusus menunjukkan apakah konstipasi terjadi
bersama atau tanpa enkopresis. Faktor risiko untuk enkopresis tanpa konstipasi sangat
sedikit diketahui. Selain itu, studi-studi sebelumnya tentang faktor risiko untuk
konstipasi dan enkopresis adalah studi potong lintang yang membuat waktu dari
kejadian tersebut sulit untuk ditentukan.
Meskipun sebagian besar anak-anak mencapai kontrol usus pada usia 3-5tahun,
ada sebuah bukti terbaru tentang pola perkembangan kontrol usus yang berbeda.
Trajektori perkembangan ini membedakan anak-anak dengan perkembangan yang
normal (89,0%), dengan keterlambatan (4,1%), enkopresis persisten (2,7%), dan
enkopresis relaps (4,1%). Menjelaskan trajektori perkembangan enkopresis itu sendiri
tidak kemudian menentukan apakah enkopresis terjadi dengan atau tanpa konstipasi.
Tujuan penelitian ini ada dua: pertama, kami memperluas studi sebelumnya dengan
menggunakan data kohort kelahiran dari Avon Longitudinal Study of Parents and
Children (ALSPAC) untuk menentukan derajat komorbiditas antara konstipasi dan
enkopresis pada masa kanak-kanak, dan kedua, kami memeriksa adanya hubungan
antara faktor risiko pada awal masa kanak-kanak dan trajektori konstipasi dan
enkopresis pada usia sekolah dasar.

Metode
Partisipan
Sampel terdiri melibatkan partisipan dari ALSPAC. Informasi lebih detail
tersedia di http://www.bristol.ac.uk/alspac, termasuk kamus data yang dapat dicari
secara penuh http://www.bris.ac.uk/alspac/researchers/data-access/data-dictionary.
Residen wanita yang hamil yang sebelumnya merupakan Avon Health Authority di barat
daya Inggris dan memiliki perkiraan tanggal kelahiran antara 1 April 1991 hingga 31
Desember 1992 juga diundang untuk ambil bagian, dan menghasilkan sebuah kohort
yang terdiri dari 14541 kehamilan. Dari 13978 hamil tunggal/kembar hidup dalam 1
tahun, 24 partisipan mengundurkan diri, menyisakan sampel di titik awal sebesar 13954.

Enkopresis dan Konstipasi di Tengah Masa Kanak-kanak


Ketika anak-anak berusia 4½, 5½, 6½, 7½, dan 9½ tahun, orang tua mereka
ditanyai tentang “seberapa sering anak Anda BAB di celana selama siang hari’ dengan
opsi jawaban ‘tidak pernah’, ‘kejadian sesekali namun kurang dari sekali/minggu’,
‘sekitar sekali/minggu’, ‘2-5 kali/minggu’, ‘hampir tiap hari’ dan ‘lebih dari sekali
sehari’. Respon kemudian dipersempit (‘tidak pernah’ dan respon yang lainnya) untuk
mengindikasikan adanya enkopresis pada tiap usia. Orang tua kemudian diberi
pertanyaan tentang konstipasi anak mereka pada rentang usia yang serupa: “Apakah ia
pernah mengalami konstipasi dalam 12 bulan yang lalu?” dengan opsi jawaban: ‘Ya,
dan mengunjungi dokter’; ‘Ya, tidak mengunjungi dokter’, dan ‘Tidak, tidak pernah’.
Respon kemudian dipersempit (Ya dengan/tanpa konsultasi dan tidak) mengindikasikan
keberadaan konstipasi pada tiap usia.

Faktor Risiko di Awal Masa Kanak-kanak


Faktor risiko potensial diidentifikasi dari literatur. Data diperoleh dari kuisioner
yang dilengkapi oleh ibu dan pertanyaan di dalamnya termasuk tentang konsistensi
feses anak pada usia 2½ tahun, ASI selama 6 bulan pertama, status sosioekonomi
keluarga dinilai selama periode antenatal (kelas sosial orang tua, pencapaian edukasi
ibu) atau pada 33 bulan (kesulitan materi, kepemilikan rumah, dan akses kendaraan
(mobil)), lamanya kehamilan dan berat lahir, tingkat perkembangan, dan usia etika
mulai latihan tentang toilet (dinilai ketika anak usia 6, 15, dan 24 bulan).

Model Statistik
Kami sebelumnya menggunakan Longitudinal Latent Class Analysis untuk
memperoleh trajektori perkembangan enkopresis di mana kami menunjukkan pola
enkopresis pada usia 4-9 tahun yang dapat secara adekuat dijelaskan oleh solusi empat
kelas. Namun, model seperti ini mengabaikan adanya komorbiditas dengan konstipasi.
Untuk itu, dalam studi ini kami (i) memperkirakan model kelas laten yang mirip untuk
konstipasi (ii) mengkombinasikannya dengan enkopresis dalam sebuah model yang
paralel untuk mendeskripsikan perubahan dalam kedua masalah (menggunakan Mplus
V.7.11). Detail selanjutnya mengenai perkiraan tersebut dapat ditemukan dalam
Appendiks Suplemen Online. Sebagai tambahan, karena bervariasinya ukuran sampel
yang digunakan untuk langkah analisis yang berbeda-beda, gambar 1 suplementer
online menunjukkan bagan alur yang menjelaskan bagaimana tiap sampel diperoleh.
Ketika model yang optimal telah diperoleh, kami meneliti hubungan antara
risiko (di atas) dan kelas keanggotaan konstipasi/enkopresis menggunakan regresi
logistik multinomial. Koefisien dan SE diperkirakan dengan menggunakan pendekatan
tiga langkah yang telah disesuaikan yang menunjukan reduksi bias inheren pada model
regresi seperti ini. Untuk sebagian besar risiko, kami melaporkan perkiraan hubungan
univaribel; namun untuk variabelmemulailatihan toilet, kami memikirkan adanya
pengaruh perancu lain yang potensial dari gender, kelas sosial, menjadi orang tua dini,
edukasi ibu, adekuatnya rumah, kesulitan keuangan mayor, ukuran keluarga,
jejaring/dukungan sosial, keterlambatan perkembangan, dan depresi ibu.

Hasil
Tabel 1 menunjukkan angka enkopresis dan konstipasi dari tiap usia. Di saat angka dari
konstipasi yang dilaporkan menurun secara stabil, ada sebuah pola yang lebih kompleks
untuk enkopresis,. Dari mereka yang melaporkan konstipasi, proporsi yang
berkonsultasi ke dokter menurun dari 19,7% menjadi 11, 6% (data tidak ditampilkan).
tabel 1 prevalensi dari enkopresis dan konstipasi berdasarkan studi Avon Longitudinal
of Parents and Children

Subset dataset yang berisi setidaknya satu titik waktu yang tidak hilang untuk kekotoran dan sembelit (maks n = 10 450)

Subset dataset yang berisi setidaknya tiga titik waktu yang tidak hilang untuk pengotoran dan sembelit (maks n = 8435)

Sampel dengan data lengkap pada semua langkah (n = 4931)

Model tidak bersyarat untuk konstipasi


Terdapat dukungan yang baik untuk solusi empat kelas ketika
mempertimbangkan enam pengukuran berulang dari konstipasi. Dengan berfokus pada
sampel yang terdiri dari kasus dengan minimal 3 pengukuran yang tidak terlewatkan,
didapatkan klasifikasi anak sebagai berikut: normatif (82%; probabilitas sangat rendah
terjadinya konstipasi secara keseluruhan), kejadian di awal masa kanak-kanak (7%;
anak-anak yang menderita konstipasi hingga 6 tahun), kejadian masa kanak-kanak akhir
(8% masalah dengan konstipasi yang muncul setelah usia 6 tahun) dan persisten (3%;
probabilitas tinggi untuk masalah keseluruhan).
Model Paralel untuk Enkopresis dan Konstipasi
Langkah selanjutnya adalah untuk menyatukan kedua model LLCA dalam
sebuah model tunggal paralel yang mengijinkan investigasi adanya hubungan
longitudinal antara enkopresis dan konstipasi (lihat tabel 2 dan gambar 1). Berdasarkan
hasil ini, kami mempersempit 16 kelompok yang didefinisikan dengan klasifikasi dua
arah ke dalam empat subkelompok yang relevan secara klinis untuk memfasilitasi studi
lebih lanjut. Empat kelompok hasil tersebut adalah ‘normatif’ (74,5% dari total) – kelas-
kelas normatif baik untuk konstipasi dan enkopresis; ‘konstipasi saja’ (13,2%) – kelas
normatif untuk enkopresis dan kelas non-normatif untuk konstipasi, ‘enkopresis saja’
(7,5%) – kelas normatif untuk konstipasi dan kelas non-normatif untuk enkopresis, dan
‘konstipasi dengan enkopresis’ (4,8%)-diklasifikasikan sebagai non-normatif dalam hal
progresi, baik untuk konstipasi dan enkopresis selama periode masa kanak-kanak yang
dipelajari.
Tabel 2 Hubungan antara konstipasi dan enkopresis: distribusi bersama kelas yang
berasal dari model Analisis Kelas Laten memanjang paralel (n = 8435)

Data yang ditampilkan dalam tabel adalah proporsi kelas untuk pola kelas laten
berdasarkan model yang diestimasi. Hasil ini adalah untuk sampel anak-anak dengan
data konstipasi dan enkopresis setidaknya pada tiga titik waktu.
* Normatif (74,5% dari total) - kelas normatif untuk konstipasi dan enkopresis.
 enkopresis saja (7,5% dari total) - kelas normatif untuk konstipasi dan kelas non-
normatif untuk enkopresis.
 konstipasi saja (13,2% dari total) - kelas normatif untuk kelas enkopresis dan
non-normatif untuk konstipasi.
 konstipasi dengan enkopresis (4,8% dari total) - kelas non-normatif untuk
konstipasi dan enkopresis.
Lintasan untuk konstipasi (kiri) dan
enkopresis (kanan)

Angka dari gejala yang berhubungan dalam tiap kelas


Untuk memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang klasifikasi ini, kami
memeriksa data lebih jauh mengenai angka mengompol pada siang hari, mengompol
pada malam hari, dan nyeri perut di tengah masa kanak-kanak, dan pergerakan usus
yang jarang pada awal masa kanak-kanak dibeda-bedakan melintasi empat kelas
komposit (gambar 2 di suplemen online). Pertama, kedua kelas yang melibatkan
enkopresis menampilkan angka yang mirip untuk mengompol di siang hari dan malam
hari, dan lebih jauh lagi, angka ini secara konsisten lebih tinggi daripada angka hanya
konstipasi dan kelas normatif. Kedua, angka nyeri perut lebih rendah untuk ‘enkopresis
saja’ dibandingkan dengan kelas manapun yang melaporkan konstipasi. Akhirnya,
dalam hal angka pergerakan usus yang jarang pada awal masa kanak-kanak, mereka
yang diklasifikasikan sebagai ‘enkopresis saja’ tidak berbeda dengan kelas normatif
untuk mereka yang mana langkautnuk mengalami pergerakan usus tidak sering, di mana
kedua kelas yang mengalami konstipasi terlihat memiliki pergerakan usus yang jarang
yang menjadi penemuan umum ketika anak-anak tumbuh dewasa.
Faktor risiko untuk keanggotaan kelas konstipasi/enkopresis
Tabel 3 menunjukkan hubungan antara faktor risiko dan OR untuk keanggotaan
kelas ‘konstipasi saja’, ‘enkopresis saja’, dan ‘konstipasi dengan enkopresis’ dengan
referensi terhadap kelas normatif. Untuk kelengkapan, kami menambahkan hasil dari
tiap model secara terpisah untuk enkopresis dan konstipasi (tabel 3 suplemen online).
* Kesulitan materi dinilai dengan menggunakan serangkaian pertanyaan: Seberapa sulit saat ini menurut
Anda untuk membeli barang-barang ini? Makanan, pakaian, pemanasan, sewa, barang-barang untuk anak-
anak: masing-masing dalam skala empat poin dari sangat sulit hingga tidak sulit. Tanggapan dijumlahkan
dan variabel biner diturunkan untuk menunjukkan 20% teratas dari sampel.
 Tingkat perkembangan dinilai menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Avon
Longitudinal Study of Parents and Parents termasuk item dari Denver Developmental Screening
Test24 dan terdiri dari empat domain pengembangan (motorik halus, motorik kasar, motorik,
komunikasi dan keterampilan sosial). Kami menggunakan skor total pengembangan yang
diperoleh dari jumlah skor di setiap domain. Skor pada setiap domain disesuaikan dengan usia
dalam minggu dan distandarisasi (menggunakan model regresi linier dan mengekstraksi residu)
dan dibalik jika perlu sehingga nilai tinggi pada semua skor mencerminkan tingkat
perkembangan yang lebih rendah (peningkatan kemungkinan keanggotaan ke laten kelas per 1
SD peningkatan skor tingkat perkembangan).
Terdapat bukti yang kuat bahwa anak laki-laki memiliki peluang lebih besar
untuk menjadi anggota dari kelas ‘enkopresis saja’ dan ‘konstipasi dengan enkopresis’;
namun memiliki peluang yang lebih rendah untuk mengalami ‘konstipasi saja’. Kami
juga menemukan bukti yang kuat bahwa keberadaan feses yang keras (terkadang atau
biasanya) pada usia 2½ tahun berhubungan dengan peningkatan peluang untuk menjadi
anggota kelas ‘konstipasi saja’; namun, terdapat hanya sedikit bukti konsistensi feses
keras berhubungan dengan konstipasi dan enkopresis. Juga terdapat sebuah usulan
bahwa feses keras dapat menjadi faktor protektif terhadap perkembangan ‘enkopresis
tanpa konstipasi’.
Kami menemukan sedikit bukti tentang hubungan antara durasi pemberian ASI
dan masalah selanjutnya dengan konstipasi dan/atau enkopresis, dan kami tidak
menemukan hubungan antara usia kehamilan atau berat lahir dan kelas konstipasi dan
enkopresis. Untuk status sosioekonomi, pola hasilnya tidak konsisten. Kami tidak
menemukan bukti kelas sosial orang tua, pencapaian edukasi ibu, dan kepemilikan
rumah berhubungan dengan konstipasi dan enkopresis. Namun, kurangnya materi
berhubungan dengan ‘konstipasi dengan enkopresis’ dan kurangnya akses kendaraan
(mobil) berhubungan dengan ‘enkopresis saja’. Tingkat perkembangan yang lebih
rendah pada usia 18 bulan berhubungan dengan ‘enkopresis saja’ dan ‘konstipasi dan
enkopresis’. Namun, tidak ada asosiasi antara tingkat perkembangan dan ‘konstipasi
saja’.
Dimulainya latihan toilet pada usia lebih lanjut berhubungan dengan ‘enkopresis
saja’ dan ‘konstipasi dengan enkopresis’. Perkiraan kemudian dilemahkan setelah
dilakukan penyesuaian terhadap faktor perancu sebagai berikut: ‘enkopresis saja’ (OR
disesuaikan 1,30 (0,97 hingga 1,75), ‘konstipasi dengan enkopresis’ (OR disesuaikan
1,27 (0,92 hingga 175)). Perancu yang paling berpengaruh adalah keterlambatan
perkembangan, kesulitan finansial mayor, seks (laki-laki) (keanggotan kelas ‘enkopresis
saja’) dan depresi ibu (kelas ‘konstipasi dengan enkopresis’).

Diskusi
Kami menemukan bahwa tiap variabilitas dalam data longitudinal pada tahun-
tahun konstipasi dan enkopresis masa kanak-kanak dalam sebuah kohort kelahiran di
Inggris yang besar dapat dijelaskan secara adekuat oleh empat kelas laten. Dalam
klasifikasi silang pengelompokkan ini, kami mengidentifikasi empat kelas longitudinal
yang relevan secara klinis. Tiga perempat anak-anak adalah anggota dari kelas
‘normatif’ dengan probabilitas yang sangat rendah untuk terjadinya konstipasi atau
enkopresis sepanjang masa kanak-kanak. Dua kelas terdiri dari anak-anak dengan
konstipasi saja (13,2% anak-anak) dan enkopresis saja (7,5%) dan sisanya, sebuah kelas
dari anak-anak yang memiliki konstipasi dengan enkopresis. Di antara anak-anak
dengan enkopresis, sekitar 60% memiliki enkopresis saja dan sekitar 40% memiliki
enkopresis dengan konstipasi. Prevalensi konstipasi (18%) terlihat lebih tinggi dari
prevalensi median (8,9%) yang dilaporkan dalam sebuah ulasan sistematik anak-anak
usia 0-18tahun. Anak laki-laki lebih mungkin mengalami enkopresis daripada anak
perempuan, seperti yang dilaporkan di tempat lain.
Kami menemukan bahwa feses keras pada awal masa kanak-kanak berhubungan
dengan peningkatan peluang ‘konstipasi saja’ pada usia sekolah, juga penurunan risiko
untuk ‘enkopresis saja’. Anak-anak dengan keterlambatan perkembangan lebih banyak
mengalami ‘enkopresis saja’ dan ‘konstipasi dengan enkopresis’, namun tidak dengan
‘konstipasi saja’. Kami menemukan bukti yang terbatas untuk kerugian sosioekonomi
dan tidak ada bukti bahwa durasi ASI yang lebih pendek, durasi kehamilan yang lebih
pendek, dan berat lahir yang lebih rendah atau waktu dimulainya latihan toilet
merupakan faktor risiko terjadinya konstipasi atau enkopresis pada usia sekolah.
Kekuatan mayor penelitian ini adalah ketersediaan pengukuran yang berulang
dari konstipasi dan enkopresis yang melintasi seluruh masa kanak-kanak dalam sebuah
kohort yang besar dan representatif. Dengan menggunakan data tersebut, kami
memperluas studi kami sebelumnya dengan membuat model konstipasi dan enkopresis
secara paralel. Kelas laten resultan memperbolehkan kami untuk memperkirakan
prevalensi enkopresis dengan atau tanpa konstipasi dan untuk konstipasi saja melintasi
masa kanak-kanak dan perbedaan-perbedaannya dalam faktor risiko awal.
Potensi keterbatasan studi ini adalah penggunaan laporan pengukuran konstipasi
dan enkopresis dari ibu. Orang tua diminta untuk melaporkan apakah anak mereka
menderita konstipasi selama 12 bulan yang lalu dan apakah mereka berkonsultasi ke
dokter. Dari studi sebelumnya, dilaporkan bahwa hanya sebagian kecil anak-anak
berkonsultasi ke dokter untuk masalah enkopresis., mungkin karena orang tua tidak
sadar bahwa nasihat medis dan pengobatannya tersedia. Selain itu, orangtua dari anak-
anak yang mengalami enkopresis mungkin juga tidak sadar bahwa anaknya mengalami
konstipasi. Sebagai tambahan, pertanyaan yang berhubungan dengan enkopresis tidak
mencantumkan informasi tentang kuantitas sehingga mereka tidak dapat membedakan
antara kebocoran, pergerakan usus normal, dan noda. Beberapa orang tua menambahkan
catatan pada bagian keterangan kuesioner, contohnya, diare aktif dan pembersihan yang
buruk dan tidak mengkategorikan anak mereka sebagai enkopresis, sehingga bukti
anekdotal mengindikasikan bahwa orang tua mampu membedakan antara enkopresis
yang sesungguhnya atau kejadian lainnya.
Orang tua pada studi ini tidak ditanya tentang durasi konstipasi atau enkopresis
pada tiap titik waktu; namun, pengukuran berulang dari kondisi-kondisi ini
menunjukkan bahwa konstipasi dan enkopresis adalah masalah yang menetap.
Informasi tentang frekuensi dari enkopresis dihilangkan dari model kelas laten karena
enkopresis yang sering adalah langka. Tujuan kami adalah untuk menjelaskan trajektori
dari konstipasi dan enkopresis dalam komunitas dan tidak fokus hanya pada anak-anak
yang memiliki masalah usus yang memenuhi kriteria diagnosis yang saat ini digunakan.
Tidak ada informasi yang tersedia tentang penyebab organik yang mendasari konstipasi
dan enkopresis (contoh penyakit Hirschprung atau malformasi anorektal), namun
mayoritas kasus adalah fungsional. Anak-anak dengan enkopresis dan/atau konstipasi
memiliki keluarga dengan masalah ini, informasi yang tidak kita miliki.
Klinis meyakini bahwa sebagian besar kasus enkopresis pada masa kanak-kanak
adalah berasal dari konstipasi kronik; namun, kami menemukan bahwa di antara para
anak yang enkopresis, konstipasi dengan enkopresis (39%) lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan enkopresis saja (61%). Perkiraan lain terjadinya konstipasi
dengan enkopresis berasal dari sampel di klinik. Anak-anak dengan enkopresis jarang
dikonsultasikan ke klinisi, mungkin karena merasa malu atau karena mereka
mengganggap disebabkan karena rasa malas. Dibandingkan dengan ‘konstipasi dengan
enkopresis’, yang datang bersama nyeri perut dan jarang BAB, enkopresis jarang
memiliki gejala lain. Sesuai dengan studi yang sebelumnya, kami menemukan bahwa
feses yang keras pada awal masa kanak-kanak secara kuat berasosiasi dengan konstipasi
di masa selanjutnya. Namun, feses keras yang dini tidak berhubungan dnegan
enkopresis saja atau konstipasi dengan enkopresis, hal ini mengusulkan bahwa
enkopresis adalah masalah kontinensia primer dan bukan sekunder dari konstipasi.
Terdapat bukti dari studi sebelumnya bahwa konstipasi dan enkopresis lebih
umum di antara anak-anak dengan latar belakang sosioekonomi yang lebih rendah.
Kami menemukan sedikit bukti bahwa faktor sosioekonomi berhubungan konstipasi dan
enkopresis. Keterlambatan perkembangan berhubungan dengan enkopresis apapun
namun tidak berhubungan dengan konstipasi saja. ‘Konstipasi saja’ dapat berhubungan
lebih kuat dengan riwayat keluarga, pengalaman defekasi yang nyeri pada usia dini,
sedangkan kecemasan defekasi selama enkopresis berhubungan dengan keterlambatan
dalam mencapai perkembangan sosial yang diharapkan. Kami tidak menemukan bukti
bahwa lama gestasi atau berat lahir berhubungan dengan konstipasi atau enkopresis di
usia sekolah yang konsisten dengan studi sebelumnya. Setelah dilakukan penyesuaian
dengan perancu, mulainya latihan toilet baik lebih awal atau lebih akhir tidak memiliki
pengaruh signifikan pada konstipasi atau enkopresis, mirip dengan studi sebelumnya,
dan berkebalikan dengan sebuah studi kohort besar.
Studi ini menemukan bukti bahwa pengalaman feses keras pada awal masa
kanak-kanak merupakan faktor risiko untuk masalah konstipasi di kemudian hari pada
usia sekolah. Identifikasi dini dari anak-anak yang berisiko mengalami konstipasi
penting dilakukan karena lebih dari sepertiga kasus menjadi kronis dan membutuhkan
perawatan sekunder. Diagnosis dan pengobatan dini dapat mengurangi risiko konstipasi
yang menetap selama usia sekolah, yang berdampak pada kualitas hidup yang buruk.
Beban konstipasi besar- 13,2%dari anak-anak usia sekolah dasar. Biaya pelayanan
kesehatan tambahan adalah substansial, karena sebanyak 5,9% kohort ALSPAC usia 4-
9 tahun berkonsultasi dengan seorang dokter minimal sekali (data tidak ditampilkan).
Banyak anak yang telah dirujuk ke fasilitas kesehatan sekunder atau tersier kepada
dokter anak gastroenterologi dan pelayanan bedah anak.
Studi berdasarkan populasi yang lebih lanjut dibutuhkan, dan bila angka
enkopresis non retentif dikonfirmasi, orang tua perlu didorong untuk mencari bantuan
untuk enkopresis dari dokter yang mengenali masalah tersebut. Seperti mengompol di
siang hari, pengobatan utama dari enkopresis (saja dan aspek enkopresis dari enkopresis
dengan konstipasi) adalah berdasarkan perilaku, contohnya, anak didorong untuk
berusaha mengosongkan usus mereka di toilet setidaknya sehari sekali. Bentuk terapi ini
membutuhkan dokter yang memiliki kemampuan untuk menyediakan intervensi
perilaku bersamaan dengan pemberian obat untuk anak-anak yang konstipasi.

Anda mungkin juga menyukai