Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah

Dengue (DBD) merupakan penyakit akibat infeksi virus dengue ini ditemukan

nyaris di seluruh belahan dunia terutama di negara-negara tropik dan subtropik

baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik. Kejadian Luar Biasa (KLB)

dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan berkaitan dengan datangnya

musim penghujan.1

Demam dengue adalah wabah infeksi virus paling cepat menyebar yang

di sebarkan oleh nyamuk Aedes dan menjadi perhatian dalam departemen

kesehatan masyarakat pada lebih dari 100 negara tropis dan subtropics di Timur

Laut Asia, Pasifik Barat dan Selatan, serta Amerika Tengah. Lebih dari 2.5 miliar

masyarakat dunia terancam oleh demam dengue dan bentuk yang lebih parah-

dengue hemorrhagic fever (DHF) atau dengue shock syndrome (DSS). Lebih dari

75% dari pasien ini, atau sampai dengan 1.8 miliar, hidup di daerah Timur Laut

Asia. Ketika penyakit ini menyebar ke daerah geografik yang baru, frekuensi

wabah meningkat bersamaan dengan perubahan epidemiologinya. Diperkirakan

50 miliar kasus demam dengue timbul pada saat-saat tertentu dan setengah miliar

penderita DHF harus masuk rumah sakit tiap tahunnya, dan jumlah yang sangat

luar biasa ( mencapai 90%) merupakan pasien anak dengan usia kurang dari 5

tahun. Kira-kira 2.5% yang terinfeksi dengue, meninggal karena penyakit ini.

(Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue

Hemorrhagic Fever, WHO 2011)

1
Pada awal abad ke 20, epidemic demam dengue biasa terjadi di Amerika,

Eropa, Australia, dan Asia. Namun kini demam dengue telah menjadi endemic di

Asia Tropis, Africa Tropis, Carribbean, Amerika Tengah dan Selatan. Menurut

World Health Organization, jumlah kasus demam dengue dan dengue

hemorrhagic fever yang biasanya terjadi di seluruh dunia berkisar antara 50-

100miliar. Diperkirakan 2000 kematian karena kasus ini dikarenakan

komplikasinya. Wabah Demam Dengue ini pertama kali muncul di Pakistan dan

tercatat pada tahun 1994-1995 di Karachi. Setelah itu, wabah yang berbeda

tercatat terjadi di daerah lain di Pakistan khususnya Karachi dan Lahore. Meski

anak-anak adalah grup utama yang biasanya terinfeksi oleh penyakit ini, namun

data tentang penyakit ini yang menginfeksi anak-anak di Asia Selatan sangat

sedikit. (Dengue Fever Outbreak 2011: Clinical Profile of Children Presenting at

Madina teaching Hospital Faisalabad, WHO 2011)

Pada tahun 1950an, hanya sembilan negara yang dilaporkan merupakan

endemi infeksi dengue, saat ini endemi dengue dilaporkan terjadi di 112 negara di

seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 2,5

milyar penduduk berisiko menderita infeksi dengue. Setiap tahunnya dilaporkan

terjadi 100 juta kasus demam dengue dan setengah juta kasus demam berdarah

dengue terjadi di seluruh dunia dan 90% penderita demam berdarah dengue ini

adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun.1 Walaupun demikian tidaklah benar jika

dikatakan DD/DBD adalah penyakit pada anak, pada saat kejadian luar biasa

(KLB) tahun 2004 di enam rumah sakit di DKI Jakarta tercatat lebih dari 75%
2
kasus DD/DBD adalah dewasa. Tingkat mortalitas di sebagian besar negara di

2
Asia Tenggara mengalami penurunan dan saat ini berada dibawah 1%, walaupun

di beberapa negara masih diatas 4% akibat penanganan yang terlambat.1

Menurut data di Depkes RI (2010), penyakit DHF di Indonesia pada

tahun 2008 terdapat 137.469 kasus, 1.187 kasus diantaranya meningga. Pada

tahun 2009 terdapat 154.855 kasus, 1.384 kasus diantaranya meninggal.

Jumlah penderita penyakit DHF di Semarang tahun 2009 jumlah

penderita DHF sebanyak 3883 orang, pada 2010 ini naik menjadi 5556 kasus.

Kota Semarang menduduki peringkat pertama di Jawa Tengah. Usia yang

paling sering terkena DHF adalah 5 – 15 tahun.3

Gejala DBD ditandai dengan manifestasi klinis, yaitu demam tinggi,

perdarahan terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran

darah (circulatory failure). Selain itu terdapat kriteria laboratoris yaitu

trombositopeni dan hemokonsentrasi (hematokrit menigkat). Pasien yang

terinfeksi virus dengue akan terjadi respon berupa sekresi mediator vasoaktif

yang berakibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan perembesan

cairan ke ekstravaskuler (plasma leakege), yang ditandai dengan peningkatan

hematokrit. Hal ini berpotensi mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.

Penyakit DHF yang tidak segera mendapat perawatan mencapai 50%, akan

tetapi angka kematian tersebut dapat diminimalkan mencapai 5% bahkan bisa

mencapai 3% atau lebih rendah lagi dengan tindakan atau pengobatan cepat.4

3
BAB II

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : M.L

Jenis Kelamin : Laki - Laki

No CM : 11 68 56

Umur/Tgl Lahir : 10 tahun 5 bulan / 14 Agustus 2008

Agama : Islam

Alamat : Aneuk Paya Lhoknga

Masuk Perawatan : 19/12/2018

1.2 ANAMNESIS

A. Keluhan Utama

Demam

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSUD Meuraxa bersama keluarganya dengan keluhan

demam sejak 3 hari SMRS, demam muncul mendadak dan naik turun. Pasien

juga mengeluhkan mual disertai muntah sebanyak 3 kali, muntah berisi makanan.

Pasien juga mengatakan nyeri pada daerah perut. Selain itu pasien juga

mengeluhkan nyeri kepala dan nyeri pada otot. Gusi berdarah, ruam merah,

mimisan, disangkal. Nafsu makan menurun. BAK terakhir 3 jam yang lalu dan

BAB dalam batas normal. pasien mengatakan sudah mengkonsumsi obat

paracetamol, tetapi demamnya hanya turun sebentar, kemudian naik lagi.

4
C. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak Pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama

E. Riwayat Kehamilan Ibu

Kunjungan antenatal care teratur, periksa dipuskesmas. Ibu tidak

mengkonsumsi obat-obatan selama kehamilan, ibu tidak pernah menderita

penyakit tertentu selama masa kehamilan, keguguran tidak pernah.

F. Riwayat Kelahiran

.Lahir secara spontan pervaginam, Cukup bulan, persalinan ditolong bidan,

mengangis spontan , BBL : 2800 gram.

G. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Merangkak umur ± 6 bulan, duduk umur ± 9 bulan, berdiri umur ± 11

bulan, berjalan umur ± 11 bulan, berbicara lancar umur ± 1 tahun 5 bulan.

H. Riwayat Imunisasi

BCG : 1x bulan ke 2

Polio : 4x bulan ke 0,2,4,6,24

Hepatitis B : 3x bulan ke 0,1,6

DPT : 3x bulan ke 2,4,6,24

Campak : 1x bulan ke 9

I. Riwayat Nutrisi

 Asi sejak usia 0 – 6 bulan

5
 Susu formula sejak usia 6 bulan

 Makanan tambahan diberikan sejak usia 6 bulan.

 Saat ini pasien makan tiga kali sehari sesuai menu keluarga

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Umum

- Keadaan umum : Sakit sedang.

- Kesadaran : Compos mentis.

B. Vital Sign

- Frekuensi Nadi : 108 kali/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup.

- Pernafasan : 21 kali/menit, retraksi interkostal (-), simetris

dextra : sinistra.

- Suhu : 38,5oC.

C. Status Gizi

Antropometri

- Tinggi badan : 135 cm

- Berat badan : 30 kg

- BB/U : 30/33 x 100% = 90 % (normal)

- TB/U : 135/138 x 100% = 98 % (normal)

- BB/TB : 30/32 x 100% = 95 % (normal)

6
D. Status Generalisata

 Kepala : Normocephal, rambut berwarna hitam distribusi rata dan

tidak mudah dicabut.

 Mata : Konjungtiva Pucat (-/-), konjungtiva hiperemis (+/+),

sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), reflex cahaya (+/+).

 Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-).

 Mulut : Bibir kering (-), Hiperemis pharing (-),

pembesaran tonsil (-).

 Telinga : Hiperemis (-/-), sekret (-/-), nyeri (-/-).

 Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

 Kulit : Ruam Makulopapular (-)

 Pemeriksaan Thorax

- Jantung

o Inspeksi : Iktus kordis (-).

o Palpasi : Iktus kordis teraba, nyeri tekan (-).

o Perkusi : Batas jantung normal.

o Auskultasi : BJ 1 > BJ 2, murmur (-).

- Paru

o Inspeksi : Thoraks mengembang simetris,

retraksi intercostal(-).

o Palpasi : Fremitus takstil simetris.

o Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru.

o Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).

7
 Abdomen :

o Inspeksi : Permukaan datar, ruam makulopapular (-).

o Auskultasi : Peristaltik (+).

o Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien

tidak teraba.

o Perkusi : Timpani di seluruh lapangan perut.

 Ekstremitas : Akral hangat, edem tungkai (-), ruam makulopapular (-)

rumple leeade (+)

1.4 DIAGNOSA BANDING

Obs febris ec dd 1. Dengue Hemoragic Fever

2. Demam Dengue

3. Demam Chikungunya

1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah rutin.

19/10/2018 21/10/2018 22/10/2018


Darah Rutin
Hb 13,1 g/dl L 11,3 g/dl 12,1 g/dl
Eritrosit 4,74 106ulH 5,21 106ul H 5,60 106ul H
Ht 36,8 %L 37,6 % 34,5 % H
MCV 77,6 fl N 77,9 fl N 76,3 fl N
MCH 27,6 pg N 27,4 pg N 27,0 pg N
MCHC 35,6 g/d N 35,2 g/d N 35,4 g/d N
RDW-SD 32,5 fl L 31,2 fl L 30,5 fl L
RDW-CV 11,8 % N 11,2 % N 11,2 % N
Leukosit 1,5 103ul N 2,4 103ul N 4,0 103ul N
HITUNG JENIS
Eosinofil 0,0 %N 0,0 %N 0,7 %N
Basofil 0,0% N 0,9 % N 1,0 % N
Neutrofil 61,0 % N 56,2 % N 47,0 % N
Limfosit 28,6 % N 35,7 % N 44,7 % N
Monosit 10,4 % H 7,2 % H 6,6 % H
Trombosit 179 103/uL N 63 103/uL L 72 103/uL L

8
PCT 0,18 - 0,07 – L 0,07 – L
P-LCR 22,3 - 29,2 - H 29,2 - H

1.6 DIAGNOSA

Dengue Hemoragic Fever

1.7 PENATALAKSANAAN

a. Terapi suportif.

- Bed rest.

- perbanyak minum air putih

b. Medikamentosa.

- IVFD RL 1000 cc/24 jam

- Ij. Ranitidin 25 mg/12 jam

- Paracetamol 3x3/4 tab

- Domperidon 3x1 tab

1.8 PROGNOSIS

Dubia ad Bonam

1.9 FOLLOW UP

20/12/2018

S: Demam (+), mual (+), muntah (+) sebanyak 2 kali berisi makanan, nyeri

perut(+), nafsu makan menurun, nyeri kepala (+), nyeri otot (+), BAB dan

BAK (+)

O: Nadi : 102x/i

Pernafasan : 21x/i

Temperature : 38,4 oC

9
A: Obs Febris ec DHF

P: - IVFD RL 1000 cc/24 jam

- Ij. Ranitidin 25 mg/12 jam

- Paracetamol 3x3/4 tab

- Domperidon 3x1 tab

20/12/2018

S: Demam (+), mual (+), muntah (-), nyeri perut(+), nafsu makan menurun,

nyeri kepala (+), nyeri otot (+),BAB dan BAK (+)

O: Nadi : 98x/i

Pernafasan : 20x/i

Temperature : 38,3 oC

A: Obs febris ec DHF

P: - IVFD RL 1000 cc/24 jam

- Ij. Ranitidin 25 mg/12 jam

- Paracetamol 3x3/4 tab

- Domperidon 3x1 tab

21/12/2018

S: Demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut(+), nafsu makan menurun,

nyeri kepala (-), nyeri otot (+), BAB dan BAK (+)

O: Nadi : 100x/i

Pernafasan : 20x/i

Temperature : 36,5 oC

10
A: Obs febris ec DHF

P: - IVFD RL 1000 cc/24 jam

- Ij. Ranitidin 25 mg/12 jam

- Paracetamol 3x3/4 tab

- Domperidon 3x1 tab

22/12/2018

S: Demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut(-), nafsu makan menurun,

nyeri kepala (-), nyeri otot (+), BAB dan BAK (+)

O: Nadi : 100x/i

Pernafasan : 20x/i

Temperature : 36,4 oC

A: Obs febris ec DHF

P: - IVFD RL 1000 cc/24 jam

- Ij. Ranitidin 25 mg/12 jam

- Paracetamol 3x3/4 tab

- Domperidon 3x1 tab

11
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dengue Hemoragic Fever

2.1.1 Definisi

Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) atau

dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan manifestasi

klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam,

limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi

perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan

hematokrit).

Demam berdarah dengue adalah penyakit yang ditandai dengan:

a. demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus

menerus selama 2-7 hari,

b. Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva,

epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi,

hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (rumple leede)

positif

c. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 mg/dl)

d. Hemokonsentrasi ( peningkatan hematokrit >20%)

e. Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).

12
2.1.2. Epidemiologi

Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah menyebar

di daerah tropis dimana terdapat 2.5 miliar orang berisiko terkena penyakit ini di

daerah endemik.

Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian

lebih besar disbanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada manusia.

Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi dengue yang mana

ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi, tergantung dari aktifitas

epidemiknya.

Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia tercatat 14.875

orang terkena DBD dengan kematian 167 penderita. Daerah yang perlu

diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali,dan NTB.

2.1.3. Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus

dengue, yang termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan

sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus

merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai

tunggal dengan berat molekul 4x106.

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang

semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.

Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype

13
terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur

hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap

serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat

terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis

serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.

Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk

Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering

ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan

berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau

tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik,

berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi

dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes

albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini

berada di sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang

bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada

siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter.

2.1.4. Patofisiologi

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes

Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES

meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum

tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel

monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam

peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.

14
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam

sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya

masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk

komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural

virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses

perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.

Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang

berfungsi menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody

dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang

dibedakan berdasarkan adanya virion determinant spesificity, yaitu (Soedarmo,

2012):

1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi

tetapi memacu replikasi virus

2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya

memacu replikasi virus.

Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan

menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat

memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi

virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menimbulkan

manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis

(the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut:

a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer

merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama

15
b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang

melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya

virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme

pertama ini disebut mekanisme aferen.

c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear

yang telah terinfeksi

d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar

ke usus, hati, limpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut

mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa

syok adalah jumlah sel yang terkena infeksi

e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan

sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya

mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi

sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.

Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD.

Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat

mengeluarkan interferon α dan γ. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue,

Limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan interferon α. Interferon α

selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan

monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus

dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang akan

menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.

Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang

menimbulkan “cross reaction” atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini

16
menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini

dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus

DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak

ada “cross protectif” terhadap serotip virus yang lain.

2.1.5. Manifestasi Klinis

Lama perjalanan penyakit dengue yang klasik umumnya berlangsung

selama 7 hari dan terdiri atas 3 fase, yaitu fase demam yang berlangsung 3 hari

(hari sakit ke-1 sampai dengan hari ke-3), fase kritis, dan fase penyembuhan. Pada

fase demam, anak memerlukan minum yang cukup karena demam tinggi. Anak

biasanya tidak mau makan dan minum sehingga dapat mengalami dehidrasi,

terlihat sakit berat, muka dapat terlihat kemerahan (flushing), dan biasanya tanpa

batuk dan pilek. Saat ini nilai hematokrit masih normaldan viremia berakhir pada

fase ini.

Fase demam akan diikuti oleh fase kritis yang berlangsung pada hari ke-4

dan ke-5 (24-48 jam), pada saat ini demam turun, sehingga disebut sebagai fase

deffervescene. Fase ini kadang mengecoh karena orangtua menganggap anaknya

sembuh oleh karena demam turun padahal anak memasuki fase berbahaya ketika

kebocoran plasma menjadi nyata dan mencapai puncak pada hari ke-5. Pada fase

tersebut akan tampak jumlah trombosit terendah dan nilai hematokrit tertinggi.

Pada fase ini, organ-organ lain mulai terlibat. Meski hanya berlangsung 24-48

jam, fase ini memerlukan pengamatan klinis dan laboratoris yang ketat.

Setelah fase kritis pada DBD, anak memasuki fase penyembuhan,

kebocoran pembuluh darah berhenti seketika, plasma kembali dari ruang

17
interstitial masuk ke dalam pembuluh darah. Pada fase ini, jumlah trombosit mulai

meningkat, hematokrit menurun, dan hitung leukosit juga mulai meningkat. Fase

ini hanya berlangsung 1-2 harit api dapat menjadi fase berbahaya apabila cairan

intravena tetap diberikan dalam jumlah berlebih sehingga anak dapat mengalami

kelebihan cairan dan terlihat sesak. Pada hari-hari tersebut demam dapat

meningkat kembali tetapi tidak begitu tinggi sehingga memberikan gambaran

kurva suhu seperti pelana kuda. Seringkali anak diberikan antibitiotik yang tidak

diperlukan. Pada fase ini anak terlihat riang, nafsu makan kembali muncul, serta

aktif seperti sebelum sakit.

Berbeda dengan DBD, pada DD, setelah fase demam tidak terjadi fase

kritis/kebocoran plasma sehingga tidak tampak perubahan pada pemeriksaan

laboratorium, seperti peningkatan nilai hematokrit. Namun kadar leukosit dapat

menurun dan setelah 24-48 jam, jumlah leukosit dan trombosit akan meningkat

bertahap secara bermakna.

Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu:

1. Silent dengue atau Undifferentiated fever

Pada bayi, anak, dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk

pertama kali mungkin akan berkembang gejala yang tidak bisa dibedakan

dari infeksi virus lainnya. Bercak maculopapular biasanya mengiringi

demam. Biasanya juga muncul gejala saluran pernafasan atas dan gejala

gastrointestinal.

2. Demam dengue klasik

Demam dengue atau disebut juga dengan demam dengue klasik

lebih sering pada anak yang lebih tua, remaja, dan dewasa. Secara umum,

18
manifestasi berupa demam akut, terkadang demam bifasik disertai dengan

gejala nyeri kepala, mialgia, atralgia, rash, leukopenia, dan

trombositopenia. Adakalanya, secara tidak biasa muncul perdarahan

gastrointestinal, dan epistaksis masif. Pada daerah yang endemis, insidensi

jarang muncul pada penduduk lokal

3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)

Demam berdarah dengue lebih sering muncul pada anak usia

kurang dari 15 tahun pada daerah yang hiperendemis. Hal ini dikaitkan

dengan infeksi virus dengue berulang. Demam berdarah dengue memiliki

karakteristik onset akut demam yang sangat tinggi, disertai dengan tanda

dan gejala yang sama dengan demam dengue. Gejala perdarahan yang

muncul dapat berupa tes torniquet yang positif, ptekie, perdarahan

gastrointestinal yang masif. Saat akhir dari fase demam, ada tendensi

untuk berkembang menjadi keadaan syok hipovolemik oleh karena adanya

plasma leakage.

Terdapat tanda bahaya, antara lain : muntah persisten, nyeri

abdomen, letargi, oligouria yang harus diketahui untuk mencegah syok.

Kelainan hemostasis dan adanya plasma leakage merupakan tanda utama

dari demam berdarah dengue. Trombositopenia dan peningkatan

hematokrit harus segera ditemukan sebelum muncul adanya tanda syok.

4. Dengue Shock Syndrome (DSS)

Manifestasi yang tidak lazim melibatkan berbagai organ misalnya

hepar, ginjal, otak, dan jantung yang dikaitkan dengan infeksi dengue telah

dilaporkan meningkat pada berbagai kasus yang tidak memiliki bukti

19
terjadinya plasma leakage. Manifestasi tersebut dikaitkan dengan syok

yang berkepanjangan.

Demam Dengue

Masa inkubasi antara 4 – 6 hari (berkisar 3 – 14 hari) disertai gejala

konstitusional dan nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise. Awal penyakit

biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota

badan dan ruam/rash.

 Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam

bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.

 Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada,

tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat

makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam

sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari.

Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak

nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering

ditemukan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar

limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai

Castelani’s sign.

Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra

demam dan demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia

relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens.

Eusinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit,

hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma

20
meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya

trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.

Demam Berdarah Dengue

Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD

terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat

pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila

sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi

jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi

dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi.

Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba

2-4 cm dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan

dengan keparahan penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan

perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada

sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas

pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan.

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia

sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Fenomena patofisiologis utama

yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah

peningkatan permeabilitas pembuluh darah, menurunnya volume plasma,

trombositopenia, dan diatesis hemoragik.

Expanded Dengue Syndrome /Manifestasi Unusual

21
Menurut Kalayanarooj dan Nimmannitya tahun 2004 mengklasifikasikan

manifestasi unusual infeksi virus dengue berupa keterlibatan gangguan susunan saraf

pusat (SSP), gagal fungsi hati, gagal fungsi ginjal, fungsi pernapasan, fungsi jantung,

infeksi ganda dan kondisi yang memperberat.

neurologi Ensefalopati/ensefalitis, meningitis aseptik,


perdarahan/trombosis intrakranial, kejang, mental
confusion, kaku kuduk, mono-/poli-neuropati, guillain
barre syndrome, mielitis

gastro-intestinal Hepatitis/gagal hati fulminan, acalculous cholecystitis,


pankreatitis akut, febrile diarrhea

Ginjal Hemolytic uremic syndrome

Jantung Miokarditis, gangguan konduksi, perikarditis

Pernapasan ARDS, perdarahan paru

Hati spontaneous splenic rupture, lymphnode infarction

Dengue Shock Syndrome

Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi

lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan

lembab dan pasien tampak gelisah.

2.1.6. Diagnosis

Berdasarkan kriteria WHO 2011 untuk diagnosis Demam Berdarah

Dengue:

a. Kriteria Klinis

1. Demam

Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe

demam bifasik (saddleback).

22
Demam Bifasik pada Demam Berdarah Dengue

2. Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung:

a. Uji torniket (+)

b. Petechie, ekhimosis ataupun purpura

c. perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis,

perdarahan gusi

d. hematemesis dan melena

3. Hepatomegali

4. Kegagalan sirkulasi (tanda-tanda syok): ekstremitas dingin, nadi cepat

dan lemah, sistolik kurang 90 mmHg, dan tekanan darah menurun

sampai tidak terukur, kulit lembab, penyempitan tekanan nadi (< 20

mmHg), capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak

gelisah.

b. Kriteria Laboratoris

1. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul)

2. Hemokonsentrasi (Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20%

setelah mendapat terapi cairan).

23
Penegakan diagnosis Demam Berdarah Dengue berdasarkan atas 2 kriteria

klinis ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan

hematokrit. Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14

hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas, seperti nyeri kepala, nyeri tulang

belakang dan perasaan lelah.

Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat pada table berikut:

DD/DBD Derajat Gejala Lab


DD Demam disertasi 2  Leukopenia  Serologi
atau lebih tanda :  Trombositopenia, dengue
sakit kepala, nyeri tdk ada kebocoran (+)
retro-orbital, plasma
mialgia, artralgia
DBD I Gejala diatas, Trombositopenia
ditambah dgn uji (<100.000), bukti
bendung (+) ada kebocoran
plasma
II Gejala diatas, Trombositopenia
ditambah dgn (<100.000), bukti
perdarahan spontan ada kebocoran
plasma
III Gejala diatas Trombositopenia
ditambah dengan (<100.000), bukti
kegagalan sirkulasi ada kebocoran
yaitu nadi cepat, plasma
tekanan nadi
menurun <20
mmHg, atau
hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit
dingin dan lembab,
dan anak tampak
gelisah
IV Syok berat disertai Trombositopenia
dengan tekanan (<100.000), bukti
darah dan nadi tidak ada kebocoran
terukur plasma

24
Kewaspadaan dalam mengantisipasi kemungkinan terjadi syok pada

penderita DBD yaitu mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok (Warning

sign).

Kriteria Gejala
Klinis - Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
- Nyeri perut dan nyeri tekan abdomenMuntah yang menetap
- Letargi, gelisah
- Perdarahan mukosa
- Pembesaran hati
- Akumulasi cairan
- Oligouria
Laboratorium - Peningkatan hematokrit bersaman dengan penurunan cepat
trombosit
- Hematokrit awal tinggi

2.7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah lengkap harus selalu dilakukan pada pasien dengue.

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hampir 70% pasien dengue

mengalami leukopeni (<5000/ul) yang akan kembali normal sewaktu memasuki

fase penyembuhan pada hari sakit ke-6 atau ke-7.

Jumlah trombosit mulai menurun pada hari ke-3 dan mencapai titik

terendah pada hari sakit ke-5. Trombosit akan mulai meningkat pada fase

penyembuhan serta mencapai nilai normal pada hari ke-7. Meski jarang, ada

pasien yang jumlah trombositnya mencapai normal pada hari ke-10 sampai ke-14.

Pemeriksaan serial darah tepi yang menunjukkan perubahan hemostatik dan

kebocoran plasma merupakan petanda penting dini diagnosis DBD. Peningkatan

nilai hematokrit 20% atau lebih disertai turunnya hitung trombosit yang tampak

sewaktu demam mulai turun atau mulainya pasien masuk ke dalam fase

25
kritis/syok mencerminkan kebocoran plasma yang bermakna dan

mengindikasikan perlunya penggantian volume cairan tubuh.

Saat ini uji serologi Dengue IgM dan IgG seringkali dilakukan. Pada

infeksi primer, IgM akan muncul dalam darah pada hari ke-3, mencapai

puncaknya pada hari ke-5 dan kemudian menurun serta menghilang setelah 60-90

hari. IgG baru muncul kemudian dan terus ada di dalam darah. Pada infeksi

sekunder, IgM pada masa akut terdeteksi pada 70% kasus, sedangkan IgG dapat

terdeteksi lebih dini pada sebagian besar (90%) pasien, yaitu pada hari ke-2.

Apabila ditemukan hasil IgM dan IgG negatif tetapi gejala tetap menunjukkan

kecurigaan DBD, dianjurkan untuk mengambil sampel kedua dengan jarak 3-5

hari bagi infeksi primer dan 2-3 hari bagi infeksi sekunder.

IgM pada sesorang yang terkena infeksi primer akan bertahan dalam darah

beberapa bulan dan menghilang setelah 3 bulan. Dengan demikian, setelah fase

penyembuhan, baik IgM maupun IgG dengue akan tetap terdeteksi meskipun anak

tidak menderita infeksi dengue. Setelah 3 bulan, hanya IgG yang bertahan di

dalam darah. Imunoglobulin G dapat terdeteksi pada pemeriksaan darah seseorang

yang telah terinfeksi oleh salah satu serotipe virus dengue,. Hal itu disebabkan

oleh IgG dalam darah bertahan dalam jangka waktu yang lama bahkan dapat

seumur hidup.

Untuk itu, interpretasi serologi tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus

dilengkapi dengan anmanesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang

lainnya untuk menegakkan diagnosis dengue. Pemeriksaan serologis terutama

berguna untuk membedakan antara infeksi primer dan sekunder.

a. Pemeriksaan laboratorium

26
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang

selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl

biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum

atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang

disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai

hematokrit.

Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan

peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut

biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu

diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan

atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau

leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan

pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran

plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi

tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII,

dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai

setengah kasus DBD.

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka

demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,

jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis

relative disertai gambaran limfosit plasma biru.

Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)

ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse

Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih

27
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap

dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.

 NS1

Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari

kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur

virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus

dengue.

b. Pemeriksaan Rumple leed test

Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan

cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah

menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab

kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler

itu keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya

sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit

(petechiae). Pemeriksaan ini didefinisikan oleh WHO (2011) sebagai salah

satu syarat yang diperlukan untuk diagnosis demam berdarah. Suatu

manset tekanan darah diterapkan dan meningkat ke titik antara sistolik dan

diastolik tekanan darah selama lima menit. Tes positif jika ada 10 atau

lebih ptekia per inci persegi. Pada penderita demam berdarah tes dengue

biasanya memberikan hasil positif yang pasti dengan 20 ptekia atau lebih.

Dewasa ini rumple leed test dianggap tes yang sudah usang atau tidak

dapat diandakan. Akan tetapi tes ini tetap menjadi bagian penting dari

penilaian seoang pasien yang mungkin memiliki demam berdarah dengue

28
c. Pemeriksaan lainnya :

Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi

infeksi virus dengue yaitu:

-Isolasi Virus

Karakteristik serotypic/genotypic

-Deteksi Asam Nukleat Virus

Dengan RT-PCR (Reverse Transcripterase Polymerase Chain Reaction)

-Deteksi Antigen Virus

Deteksi antigen NS1.

-Pemeriksaan serologis yang meliputi : Haemagglutination-inhibition

(HI), Complement Fixation (CF), Neutralization Test (NT), Ig M

capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA), dan

pemeriksaan Ig G ELISA.

Viremia pada pasien dengan infeksi dengue sangatlah pendek, yaitu

muncul pada 2 – 3 hari sebelum onset demam dan bertahan hingga 4 – 7

hari saat sakit. Selama periode ini, asam nukleat virus dan antigen virus

dapat terdeteksi.

Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi Ig

M dapat terdeteksi pada 3 – 5 hari setelah onset, meningkat cepat selama 2

minggu, dan menurun hingga tidak terdeteksi pada 2 – 3 bulan. Antibodi

Ig G terdeteksi rendah pada akhir minggu pertama, meningkat kemudian,

dan menetap hingga bertahun – tahun. Pada infeksi sekunder virus dengue,

titer antibodi meningkat cepat. Antibodi IgG terdeteksi pada level tinggi,

29
pada saat fase inisial, dan menetap hingga beberapa bulan. Antibodi IgM

biasanya lebih rendah pada infeksi dengue sekunder

b. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto dada didpatkan efusi pleura, terutama pada hematoraks

kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat

dijumpai kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya

dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah

kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan

USG.

2.1.8. Komplikasi

a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.

Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa

syok, cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi

cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah

cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar

dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema

otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna

sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka

diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah

diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial

dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi

asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan oksigen

yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin

30
dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder,

makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi

ampisilin 100 mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan

tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti

muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

b. Kelainan Ginjal

Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal

ginjal akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian

volume intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila

diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan

sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat

diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum,

dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya

syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP

(central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan

selanjutnya.

c. Edema paru

Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat

pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga

sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan

menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi.

Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila

cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan

hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan

31
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan

ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran

edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.

2.1.9. Penatalaksanaan

Tata laksana dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi atas

3 fase. Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik dan

suportif. Parasetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis

10mg/kg/dosis selang 4 jam apabila suhu >380C. Pemberian aspirin dan

ibuprofen merupakan indikasi kontra. Kompres hangat kadang membantu

apabila anak merasa nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian

antipiretik tidak mengurangi tingginya suhu, tetapi dapat memperpendek

durasi demam.

Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan oralit,

larutan gula-garam, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien

memperlihatkan tanda dehidrasi dan muntah hebat, koreksi dehidrasi sesuai

kebutuhan. Apabila cairan intravena perlu diberikan, maka pada fase ini

biasanya kebutuhan sesuai rumatan. Semua pasien tersangka dengue harus

diawasi dengan ketat sejak hari sakit ke-3. Selama fase demam, belum dapat

dibedakan antara DD dengan DBD. Ruam makulopapular dan

mialgia/artralgia lebih banyak ditemukan pada pasien DD. Setelah bebas

demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien demam dengue akan masuk

dalam fase penyembuhan, sedangkan pasien DBD memasuki fase kritis.

Hati yang membesar dan lunak merupakan indikator fase kritis.Pasien

harus diawasi ketat dan dirawat di rumah sakit. Leukopenia <5000 sel/ mm3

32
dan limfositosisdisertai peningkatan limfosit atipikal mengindikasikan bahwa

dalam waktu 24 jam pasien akan bebas demam serta memasuki fase kritis.

Trombositopenia mengindikasikan pasien memasuki fase kritis dan

memerlukan pengawasan ketat di rumah sakit.

Peningkatan nilai hematokrit (Ht) 10-20% menandakan pasien memasuki

fase kritis dan memerlukan pengobatan cairan intravena apabila tidak dapat

minum oral. Pasien harus dirawat dan diberikan cairan sesuai kebutuhan.

Tanda vital, hasil laboratorium, asupan dan luaran cairan harus dicatat dalam

lembar khusus. Penurunan hematorkrit merupakan tanda-tanda perdarahan.

Umumnya pada fase ini pasien tidak dapat makan dan minum karena

anoreksia atau dan muntah. Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada pasien

dengan risiko tinggi, seperti bayi, DBD derajat III dan IV, obesitas,

perdarahan berat, penurunan kesadaran, adanya penyulit lain, seperti kelainan

jantung bawaan dll, atau rujukan dari Rumah Sakit lain.

Cairan intravena diberikan apabila terlihat adanya kebocoran plasma yang

ditandai dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak mau makan dan

minum melalui oral. Cairan yang dipilih adalah golongan kristaloid (ringer

laktat dan ringer asetat). Selama fase kritis pasien harus menerima cairan

rumatan ditambah defisit 5-8% atau setara dehidrasi sedang. Pada pasien

dengan berat badan lebih dari 40 kg, total cairan intravena setara dewasa,

yaitu 3000 ml/24 jam. Pada pasien obesitas, perhitungkan cairan intravena

berdasarkan berat badan idéal. Pada kasus non syok, untuk pasien dengan

berat badan (BB) <15 kg, pemberian cairan diawali dengan tetesan 6-7 ml/

33
kg/jam, antara 15-40 kg dengan 5 ml/kg/jam, dan pada anak dengan BB >40

kg, cairan cukup diberikan dengan tetesan 3-4 ml/kg/jam.

Setelah masa kritis terlampaui, pasien akan masuk dalam fase

penyembuhan, yaitu saat keadaan overload mengancam. Pada pasien DBD,

cairan intravena harus diberikan dengan seksama sesuai kebutuhan agar

sirkulasi intravaskuler tetap memadai. Apabila cairan yang diberikan

berlebihan maka kebocoran terjadi ke dalam rongga pleura dan abdominal

yang selanjutnya menyebabkan distres pernafasan. Tetesan intravena harus

disesuaikan berkala dengan mempertimbangkan tanda vital, kondisi klinis

(penampilan umum, pengisian kapiler), laboratoris (hemoglobin, hematokrit,

lekosit, trombosit), serta luaran urin. Pada fase ini sering dipergunakan

antipiretik yang tidak tepat dan pemberian antibiotik yang tidak perlu. Cairan

intravena tidak perlu diberikan sebelum terjadinya kebocoran plasma.

Penderita DD umumnya tidak perlu diberikan cairan intravena.

Cairan yang dibutuhkan pada fase kritis setara dengan dehidrasi sedang

yang berlangsung tidak lebih dari 48 jam. Kemampuan untuk memberi cairan

sesuai kebutuhan pada fase ini menentukan prognosis. Sebagian pasien

sembuh setelah pemberian cairan intravena, sedangkanpasien dengna kondisi

berat atau tidak mendapat cairan sesuai dengan kebutuhan akan jatuh ke

dalam fase syok. Pemberian cairan intravena sebelum terjadi kebocoran

plasma sebaiknya dihindarkan karena dapat menimbulkan kelebihan cairan.

Pemantauan tanda vital pada fase kritis bertujuan untuk mewaspadai gejala

syok. Kegagalan tata laksana pada fase ini biasanya disebabkan oleh

34
penggunaan cairan hipotonik dan kertelambatan penggunaan koloid selama

fase kritis.

Dengue berat harus dipertimbangkan apabila ditemui bukti adanya

kebocoran plasma, perdarahan bermakna, penurunan kesadaran, perdarahan

saluran cerna, atau gangguan organ berat. Tata laksana dini pemberian cairan

untuk penggantian plasma dengan kristaloid dapat mencegah terjadinya syok

sehingga menghindari terjadinya penyakit berat. Apabila terjadi syok, maka

berikan cairan sebanyak-banyaknya 10-20 ml/kgBB atau tetesan lepas selama

10-15 menit sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan

sampai 10 ml/kg/jam. Berikan oksigen pada kasus dengan syok. Enam sampai

12 jam pertama setelah syok, tekanan darah dan nadi merupakan parameter

penting untuk menentukan tetesan cairan, tetapi kemudian perhitungkan

semua parameter sebelum mengatur tetesan.

Setelah resusitasi awal, pantau pasien 1 sampai 4 jam. Apabila tetesan

tidak dapat dikurangi menjadi <10ml/kg/jam karena tanda vital tidak stabil

(tekanan nadi sempit, cepat dan lemah), ulangi pemeriksaan Ht. Dalam

keadaan seperti ini, dapat dipertimbangkan pemberian koloid (diindikasikan

pada keadaan syok berulang atau syok berkepanjangan). Apabila ada

kenaikan Ht, ganti cairan dengan koloid yang sesuai, dengan tetesan

10ml/kg/jam. Siapkan darah dan nilai kembali pasien untuk kemungkinan

pemberian transfusi apabila diperlukan.

Apabila nilai awal Ht rendah, pikirkan kemungkinan perdarahan internal

dan pantau nilai Ht lebih sering. Berikan transfusi darah sesuai kebutuhan bila

perlu. Hentikan perdarahan dengan tindakan yang tepat. Indikasi transfusi

35
darah adalah bila terdapat kehilangan darah bermakna, misalnya >10%

volume darah total. (T\total volume darah= 80 ml/kg). Berikan darah sesuai

kebutuhan. Setelah 6 jam, apabila Ht menurun, meski telah diberikan

sejumlah besar cairan pengganti dan tetesan tidak dapat diturunkan sampai

<10 ml/kg/jam, pertimbangkan untuk pemberian transfusi darah segera.

Apabila syok masih berkepanjangan meski telah diberikan cairan

memadai dan didapatkan penurunan Ht, maka mungkin terdapat perdarahan

bermakna yang memerlukan transfusi darah. Pasien dengan perdarahan

tersembunyi dicurigai apabila ada penurunan Ht dan tanda vital yang tidak

stabil meski telah diberi cairan pengganti dengan volume cukup banyak. Pada

keadaan demikian, berikan packed red cell (PRC) 5 ml/kg/kali. Apabila tidak

tersedia, dapat diberikan sediaan darah segar 10 ml/kg/kali.

Transfusi trombosit hanya diberikan pada perdarahan masif untuk

menghentikan perdarahan yang terjadi. Dosis transfusi trombosit adalah 0,2

U/kg/dosis. Pemberian trombosit sebagai upaya pencegahan perdarahan atau

untuk menaikkan jumlah trombosit tidak dianjurkan.12 Perdarahan masif

dengue disebabkan terutama oleh syok berkepanjangan atau syok berulang.

Meski jumlah trombosit rendah, dengan pemberian cairan pengganti yang

seksama dalam fase kritis, perdarahan masif sangat jarang terjadi.

Koreksi gangguan metabolit dan elektrolit, seperti hipoglikemia,

hiponatremia, hipokalsemia and asidosis harus diperhatikan. Penggantian

volume cairan harus dipantau dengan ketat bergantung beratnya derajat

kebocoran plasma yang dapat dilihat dari nilai Ht, tanda vital, dan luaran urin,

untuk menghindari kelebihan cairan (kebocoran lebih cepat pada 6-12 jam

36
pertama). Apabila pasien mengalami syok berkepanjangan atau syok berulang

maka peluang untuk terjadinya perdarahan semakin besar. Hindari tindakan

prosedur yang tidak perlu, seperti pemasangan pipa nasogastrik pada

perdarahan saluran cerna.

Upayakan lama pemberi cairan jangan melebihi 24-48 jam. Segera

hentikan pemberian cairan apabila pasien sudah masuk fase penyembuhan

untuk menghindari terjadinya kelebihan cairan yang dapat mengakibatkan

bendungan/edema paru karena reabsorpsi ekstravasasi plasma.

Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi

dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke dalam fase

penyembuhan adalah keadaan umum membaik, meningkatnya nafsu makan,

tanda vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan diuresis cukup.

Pada fase penyembuhan dapat ditemukan confluent petechial rash (30%) atau

sinus bradikardi akibat mikokarditis yang umumnya tidak memerlukan

pengobatan. Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase

ini. Apabila nafsu makan tidak meningkat dan dan perut terlihat kembung

dengan atau tanpa penurunan atau menghilangnya bising usus, kadar kalium

harus diperiksa karena sering terjadi hipokalemia (fase diuresis). Buah-

buahan, jus buah atau larutan oralit dapat diberikan untuk menanggulangi

gangguan elektrolit.

Penderita dapai dipulangkan apabila paling tidak dalam 24 jam tidak

terdapat demam tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik,

nilai Ht stabil,tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas atau

takipnea, dan junlah trombosit >50.000/mm3.

37
Kegagalan tata laksana umumnya disebabkan oleh kegagalan untuk

memantau tetesan dan jumlah cairan pengganti selama fase kritis. Pemberian

cairan yang berkelebihan atau lebih lama dari masa kebocoran plasma,

kegagalan mengenal perdarahan internal/tersembunyi, pemberian transfusi

trombosit yang tidak perlu, serta kegagalan memantau pasien berobat jalan,

dan penggunaan pipa lambung (nasogastric tube) untuk menentukan adanya

perdarahan seringkali menjadi penyebab tata laksana yang tidak tepat.

Tata laksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,

bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah

dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau

minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena

rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu

diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada

DBD.

Fase Kritis

Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada

umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap

kejadian syok yang mungkin terjadi. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala

merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil

pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan

pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya

terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Tetesan

berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan

38
jumlah volume urin. Secara umum, volume yang dibutuhkan selama terjadi

peningkatan permeabilitas kapiler adalah jumlah cairan dehidrasi sedang

(rumatan ditambah 5-8%). Cairan intravena diperlukan, apabila:

 Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi

sehinggatidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya

dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok;

 Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah

cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan

elektrolit;

Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid sesuai cairan

dehidrasi sedang (6-7 ml/kgBB/jam). Monitor tanda vital, diuresis setiap jam

dan hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam.

Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak tampak tenang,

tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht

cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka

tetesan dikurangi secara bertahap menjadi 5 ml/kgBB/jam, kemudian 3 ml/

kgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.

Fase Penyembuhan/konvalesen

Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen akan muncul pada daerah

esktremitas. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase

penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam

intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan

menyebabkan edema palpebra, edema paru dan distres pernafasan.

39
Pengobatan DBD menurut WHO (2011) bersifat suportif simptomatik

dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan

timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID). Perbedaan patofisiologik

utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue/Demam Syok sindrom

dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang

menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan hemostasis. Penatalaksanaan

fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan Demam Dengue tidak jauh

berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk

mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada orang tua agar anak diberikan minum

banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain – lain. Selain itu

diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol. Penggunaan antipiretik

golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan demam. Parasetamol

direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39 0C dengan dosis 10 –

15 mg/KgBB/kali.

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam

tinggi, anoreksia, dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam

4 – 6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan

cairan rumatan 80 – 100 ml/KgBB/hari dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang

masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang

demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama

masih demam.

Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 – 5 yang

memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam

hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital,

40
kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali)

perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume

replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.

Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus

selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai

penurunan jumlah trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien

dating, berikan cairan kristaloid 7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar

hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12 – 24 jam. Apabila

selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak tenang, tekanan

nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun minimal dalam 2

kali pemeriksaan berturut – turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5

ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil,

tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan dalam

24 – 48 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, yaitu : anak

tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat, deuresis kurang, tekanan

nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV, maka tetesan dinaikkan

menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah 12 jam, maka

tetesan di naikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan

klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian

dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress pernafasan menjadi lebih berat

dan ht naik maka berikan koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam, dengan jumlah maksimal

30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10

ml/KgBB/jam.

41
Bila terdapat asidosis, ¼ dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan

larutan berisi 0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl

0,9 % + glukosa ditambah ¼ Natrium bikarbonat).

Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat,

nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru,

tangan dan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin. Langkah yang harus

dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB secepatnya dalam

30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam diberikan

bersama koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit,

hematokrit dan trombosit tiap 4 – 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula

darah.

Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid

belum dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 – 20

ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB. Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama

dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah,

keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4 – 6 jam. Lakukan pula

koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah.

Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20

mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan

dipertahankan hingga 24 jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%.

Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht

stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5 ml/Kg/BB/jam dan

seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam

setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht menurun tapi

42
masih > 40%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak

perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan

kristaloid 10 ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP pada syok berat kadang

diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan.

Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan

resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 – 20

ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur

CVP bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular

dan homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping

prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.

Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan

bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan

suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen

plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah

agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula

diberikan packed red cell (PRC).

Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali

dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk

mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh)

bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi

hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak

masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar

hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi.

43
Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

Tatalaksana tersangka DBD atau demam Dengue.

Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.

44
Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II

Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS.

Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

45
Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.

46
Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%

Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue

Kriteria memulangkan pasien antara lain:

47
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2. Nafsu makan membaik

3. Tampak perbaikan secara klinis

4. Hematokrit stabil

5. Tiga hari setelah syok teratasi

6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat

7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau

asidosis).

2.10 Prognosis

Prognosis demam dengue berhubungan dengan antibodi yang didapat atau

infeksi awal virus yang menyebabkan terjadinya DBD. Keparahan terlihat dari

usia dan infeksi awal terhadap serotipe dengue virus yang lainnya sehingga dapat

mengakibatkan komplikasi hemoragik yang parah. Prognosis ditentukan juga oleh

lamanya penanganan terhadap terjadinya syok pada sindrom syok dengue.

Prognosis baik jika diatasi maksimal 90 menit dan buruk jika melebihi 90 menit.

Bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya prognosis akan

menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan

sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk. Penyebab kematian Demam

Berdarah Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %.. Secara keseluruhan tidak terdapat

perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi

kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada laki – laki.

Penyebab kematian tersebut antara lain syok, overhidrasi, perdarahan masif.

BAB IV

48
Kesimpulan

Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis eritema kulit, nyeri
seluruh badan, mialgia, atralgia, dan sakit kepala, pada beberapa pasien dapat
memiliki gejala sakit tenggorokan, faring hiperemis dan injeksi konjungtiva.
Anoreksia, mual dan muntah sering terjadi. Uji tourniquet positif pada fase ini
meningkatkan kepastian dari dengue.. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue adalah demam berdarah dengue
yang ditandai oleh renjatan/syok.

Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan


cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu
diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik
secara klinis maupun laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan.

DAFTAR PUSTAKA

49
1. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. 2004. Nelson textbook of
pediatrics 17th ed. Saunders. Philadelphia.
2. Hadinegoro, Sri Rezeki, Muzal Kadim, dkk. 2012. Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan LXIII. Update Management Infectious

Diseases and Gastrointestinal Disorder. FKUI: Departemen Ilmu

Kesehatan Anak.

3. Kementrian kesehatan RI. 2012. Pengobatan Dasar di Puskesmas.

Availablefrom:Http://www.pkfi.net/file/download/Pedoman

%20Pengobatan%20Dasar%20di%20Puskesmas%202007.pdf

4. Kementrian Kesehatan RI. Buletin Jendela Epidemiologi: topik Utama

Demam Berdarah. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI.

Availablefrom:http://www.depkes.go.id/download.php?

file=download/pusdatin/buletin/buletin-dbd.pdf

5. Soegeng Soegijanto. 2002. Demam berdarah dalam: Sumarmo S. Poorwo

Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit

Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.

6. Suharso, Darto. 2007. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan

Anak. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya

7. FKUI-RSCM. Panduan pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan

Anak- Jakarta: FKUI. 2007.

8. Departemen Kesehatan RI. 2010. Data Kasus DBD Per Bulan Di


Indonesia Tahun 2010, 2009 Dan Tahun 2008. Diunduh dari
http://www.penyakitmenular.infouserfilesdata-20kasus-20DBD209-
20februari202011.pdf

50

Anda mungkin juga menyukai