Anda di halaman 1dari 27

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Audit

II.1.1 Pengertian Audit

Ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian audit.

William F. Messier, Steven M. Glover dan Douglas F. Prawitt yang

diterjemahkan oleh Nuri, H. (2005) menulis “Auditing adalah suatu proses sistematis

mendapatkan dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif sehubungan dengan asersi

atas tindakan dan peristiwa ekonomi untuk memastikan tingkat kesesuaian antara asersi-

asersi tersebut dan menetapkan kriteria serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-

pihak yang berkepentingan”. (h. 16)

Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A,A. (2003) menulis

“Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi

yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang

kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian

informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan”. (h. 1)

Menurut Munawir (1999), menulis “Auditing merupakan salah satu bidang

akuntansi yang membahas tentang prinsip, prosedur dan metode perolehan dan penilaian

bukti yang berkaitan dengan laporan keuangan dengan tujuan untuk memberikan

pendapat mengenai kewajaran atau kesesuaian laporan keuangan tersebut dengan kriteria

yang telah ditetapkan yaitu Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum”. (h. 1)

Sedangkan menurut Agoes, S. (2004), “Auditing adalah suatu pemeriksaan yang

dilakukan secara kritis dan sistimatis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan

8
keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan

bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai

kewajaran laporan keuangan tersebut.” (h. 3)

Dari beberapa pengertian di atas, pengertian auditing menurut penulis adalah

suatu proses pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dilakukan oleh pihak yang

independen dan kompeten dalam memperoleh dan mengevaluasi bukti dengan tujuan

untuk menyatakan pendapat terhadap kewajaran laporan keuangan.

II.1.2 Jenis-jenis Audit

William C. Boynton, Raymond N. Johnson dan Walter G. Kell yang

diterjemahkan oleh Budi, S,I. (2003) menulis “Terdapat tiga jenis audit, yaitu :

1. Audit laporan keuangan.

Audit laporan keuangan mencakup perolehan dan pengevaluasian bukti-bukti atas

laporan keuangan entitas yang menjadi dasar untuk menyatakan pendapat mengenai

apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi

yang berlaku umum.

2. Audit kepatuhan.

Audit kepatuhan mencakup perolehan dan pengevaluasian bukti-bukti untuk

menentukan apakah aktivitas keuangan atau aktivitas operasi suatu entitas tertentu

telah sesuai dengan persyaratan, peraturan dan perundang-undangan spesifik.

3. Audit operasional.

Audit operasional mencakup perolehan dan pengevaluasian bukti-bukti mengenai

efesiensi dan efektivitas dari aktivitas operasi suatu entitas dalam kaitannya dengan

tujuan spesifik”. (h. 6-7)

9
Menurut Agoes (2004), “Ditinjau dari luasnya pemeriksaan, audit bisa dibedakan

atas :

1. Pemeriksaan umum (General Audit)

Suatu pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh KAP

independen dengan tujuan untuk bisa memberikan pendapat mengenai kewajaran

laporan keuangan secara keseluruhan. Pemeriksaan tersebut harus dilakukan sesuai

dengan Standar Profesional Akuntan Publik dan Kode Etik Akuntan Indonesia,

Aturan Etika KAP yang telah disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia serta Standar

Pengendalian Mutu.

2. Pemeriksaan khusus (Special Audit)

Suatu pemeriksaan terbatas (sesuai dengan permintaan auditan) yang dilakukan oleh

KAP yang independen, dan pada akhirnya pemeriksaannya auditor tidak perlu

memberikan pendapat terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan.

Pendapat yang diberikan terbatas pada pos atau masalah tertentu yang diperiksa,

karena prosedur audit yang yang dilakukan juga terbatas”. (h. 10)

II.1.3 Standar Audit

Standar audit merupakan pedoman bagi auditor dalam menjalankan tanggung

jawab profesionalnya. Standar-standar ini meliputi pertimbangan mengenai kualitas

profesional mereka, seperti keahlian dan independensi, persyaratan pelaporan dan bahan

bukti.

Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (2001), “Kesepuluh standar

auditing dibagi menjadi tiga kelompok standar, yaitu :

10
1. Standar Umum.

a. Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan

pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap

mental harus dipertahankan oleh auditor.

c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib

menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

2. Standar Pekerjaan Lapangan.

a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus

disupervisi dengan semestinya.

b. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk

merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan

dilakukan.

c. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan,

permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan

pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

3. Standar Pelaporan.

a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai

dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

b. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada,

ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan

keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi

tersebut dalam periode sebelumnya.

11
c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai,

kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.

d. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan

keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa penyataan demikian tidak

dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka

alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan

keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat

pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang

dipikul oleh auditor”. (h. 150.1-150.2)

II.2 Audit Laporan Keuangan

II.2.1 Pengertian Audit Laporan Keuangan

Munawir (1999), menulis “Audit laporan keuangan dilakukan untuk memberikan

pendapat apakah laporan keuangan secara keseluruhan, yaitu informasi-informasi

kuantitatif yang diaudit, telah disusun sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Kriteria yang digunakan dalam audit laporan keuangan adalah Prinsip Akuntansi yang

Berlaku Umum.” (h. 17)

II.2.2 Tujuan Audit Laporan Keuangan

PSA 02 (SA 110), menyatakan ”Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor

independen adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran dalam semua hal yang

material, posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas yang sesuai dengan prinsip akuntansi

yang berlaku umum”.

12
Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A,A. (2003)

menulis ”Audit laporan keuangan bertujuan menentukan apakah laporan keuangan secara

keseluruhan - yang merupakan informasi terukur yang akan diverifikasi telah disajikan

sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum.” (h. 4)

II.2.3 Manfaat Suatu Audit

Menurut Sunarto (2003), ”Manfaat ekonomis audit laporan keuangan sebagai

berikut:

1. Akses ke pasar modal

Undang-Undang Pasar Modal mewajibkan perusahaan publik untuk diaudit laporan

keuangannya agar bisa didaftar dan bisa menjual sahamnya di pasar modal.

2. Biaya modal menjadi lebih murah

Perusahaan kecil seringkali mengaudit laporan keuangannya dalam rangka

mendapatkan kredit dari bank atau dalam upaya mendapatkan persyaratan pinjaman

yang lebih menguntungkan.

3. Pencegah terjadinya ketidakefisienan dan kecurangan

Penelitian telah membuktikan bahwa apabila para karyawan mengetahui bahwa

perusahaan akan diaudit oleh auditor independen, mereka cenderung lebih hati-hati

agar dapat memperkecil terjadinya kekeliruan dalam pelaksanaan fungsi akuntansi

dan memperkecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan aktiva perusahaan.

4. Perbaikan, pengendalian dan operasional

Observasi yang dilakukan selama auditor melaksanakan audit, auditor independen

seringkali dapat memberikan saran untuk perbaikan pengendalian dan mencapai

efisiensi operasi yang lebih besar dalam organisasi klien”. (h. 37-38)

13
Menurut Agoes (2004), ”Laporan keuangan yang merupakan tanggung jawab

manajemen perlu diaudit oleh KAP yang merupakan pihak ketiga yang independen,

karena :

1. Jika tidak diaudit, ada kemungkinan bahwa laporan keuangan tersebut mengandung

kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Karena itu laporan keuangan

yang belum diaudit kurang dipercaya kewajarannya oleh pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap laporan keuangan tersebut.

2. Jika laporan keuangan sudah diaudit dan mendapat opini Unqualified (wajar tanpa

pengecualian) dari KAP, berarti pengguna laporan keuangan bisa yakin bahwa

laporan keuangan tersebut bebas dari salah saji yang material dan disajikan sesuai

dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

3. Mulai tahun 2001 perusahaan yang total asetnya Rp 25 milyar ke atas harus

memasukkan audited financial statements ke Departemen Perdagangan dan

Perindustrian.

4. Perusahaan yang sudah go public harus memasukkan audited financial statements ke

Bapepam paling lambat 90 hari setelah tahun buku.

5. SPT yang didukung oleh audited financial statements lebih dipercaya oleh pihak

pajak dibandingkan dengan yang didukung oleh laporan keuangan yang belum

diaudit”. (h. 9-10)

II.2.4 Tahap-tahap Audit Laporan Keuangan

Menurut Agoes dan Estralita (2006), ”Tahap-tahap audit laporan keuangan

dimulai dari pekerjaan awal penerimaan penugasan sampai dengan penyerahan laporan

audit kepada klien, yaitu :

14
1. Merencanakan dan merancang pendekatan audit

a. Mengidentifikasi alasan klien untuk diperiksa, dengan mengetahui maksud

penggunaan laporan audit dan pihak-pihak pengguna laporan keuangan.

b. Melakukan kunjungan ke tempat klien untuk mengetahui :

1) Latar belakang usaha klien

2) Memahami struktur pengendalian internal klien

3) Memahami sistem administrasi pembukuan

4) Mengukur volume bukti transaksi atau dokumen untuk menentukan biaya,

waktu, dan luas pemeriksaan.

c. Mengajukan proposal audit ke klien.

d. Untuk klien lama, dilakukan penelaahan kembali apakah ada perubahan-

perubahan yang signifikan.

e. Mendapatkan informasi tentang kewajiban hukum klien.

f. Menentukan materialitas dan risiko audit yang dapat diterima dan risiko bawaan.

g. Mengembangkan rencana dan program audit menyeluruh mencangkup :

1) Menyiapkan staf yang masuk dalam tim audit

2) Menyusun program audit termasuk tujuan audit dan prosedur audit

3) Menentukan rencana dan jadwal kerja.

2. Pengujian atas pengendalian dan pengujian transaksi

a. Pengujian substantif atas transaksi adalah prosedur yang dirancang untuk menguji

kekeliruan atau kecurangan dalam bentuk uang atau rupiah yang mempengaruhi

penyajian saldo-saldo laporan keuangan yang wajar.

15
b. Pengujian pengendalian adalah prosedur yang dirancang untuk memverifikasi

apakah sistem pengendalian dilaksanakan sebagaimana telah ditetapkan.

3. Pelaksanaan prosedur analitis dan pengujian terinci atas saldo

a. Prosedur analitis mencangkup perhitungan rasio oleh auditor untuk dibandingkan

dengan rasio periode sebelumnya dan data lain yang berhubungan.

b. Pengujian terinci atas saldo berfokus pada saldo buku akhir buku besar baik

untuk pos neraca dan laba rugi, tetapi penekanan utama biasanya terletak pada

saldo neraca.

4. Penyelesaian audit

a. Menelaah kewajiban kontijensi atau bersyarat

b. Menelaah peristiwa kemudian

c. Mendapatkan bahan bukti akhir

d. Mengisi daftar periksa audit

e. Menyiapkan surat manajemen

f. Menerbitkan laporan audit

g. Mengkomunikasikan hasil audit dengan komite audit dan manajemen”. (h. 5-6)

II.2.5 Jenis Opini Auditor

Laporan audit adalah alat formal yang digunakan auditor dalam

mengkomunikasikan kesimpulan tentang laporan keuangan yang diaudit kepada pihak

yang berkepentingan. Di dalam menerbitkan suatu laporan audit, auditor harus mematuhi

keempat standar pelaporan dalam standar auditing.

16
Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (PSA 29 SA Seksi 508), ”Ada lima

jenis pendapat akuntan, yaitu :

1. Pendapat wajar tanpa pengecualian (Unqualified opinion)

Pendapat wajar tanpa pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan

menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil

usaha, perusahaan ekuitas, dan arus kas suatu entitas sesuai dengan prinsip akuntansi

yang berlaku umum di Indonesia.

Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan Jusuf, A,A. (2003) menulis,

”Laporan audit standar wajar tanpa pengecualian digunakan apabila kondisi berikut

terpenuhi :

a. Semua laporan keuangan – neraca, laporan laba rugi, saldo laba dan laporan arus

kas sudah tercakup di dalam laporan keuangan.

b. Ketiga standar umum telah diikuti sepenuhnya dalam penugasan.

c. Bahan bukti yang cukup telah dikumpulkan dan auditor tersebut telah

melaksanakan penugasan dengan cara yang memungkinkan baginya untuk

mengumpulkan bahwa ketiga standar pekerjaan lapangan yang telah terpenuhi.

d. Laporan keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Ini berarti bahwa pengungkapan yang memadai telah disertakan dalam catatan

laporan keuangan.

e. Tidak terdapat situasi yang memerlukan penambahan paragraf penjelasan atau

modifikasi kata-kata dalam laporan audit”. (h. 36)

2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan

dalam laporan audit bentuk baku (Unqualified opinion with explanatory language).

17
Pendapat ini diberikan jika terdapat keadaan tertentu yang mungkin mengharuskan

auditor menambahkan suatu paragraf penjelasan (atau bahasa penjelasan yang lain)

dalam laporan auditnya, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa

pengecualian yang dinyatakan oleh auditor. Keadaan tersebut meliputi :

a. Pendapat auditor sebagian didasarkan atas laporan auditor independen.

b. Untuk mencegah agar laporan keuangan tidak menyesatkan karena keadaan-

keadaan yang luar biasa, laporan keuangan disajikan menyimpang dari suatu

prinsip akuntansi yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.

c. Jika terdapat kondisi dan peristiwa yang semula menyebabkan auditor yakin

tentang adanya kesangsian mengenai kelangsungan hidup entitas, namun setelah

mempertimbangkan rencana manajemen, auditor berkesimpulan bahwa rencana

manajemen tersebut dapat secara efektif dilaksanakan dan pengungkapan

mengenai hal itu telah memadai.

d. Di antara periode akuntansi terdapat suatu perubahan material dalam penggunaan

prinsip akuntansi atau dalam metode penerapannya.

e. Keadaan tertentu yang berhubungan dengan laporan auditor atas laporan

keuangan komparatif.

f. Data keuangan kuartalan tertentu yang diharuskan oleh Badan Pengawas Pasar

Modal (Bapepam) namun tidak disajikan atau tidak di-review.

g. Informasi tambahan yang diharuskan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Dewan

Standar Akuntansi Keuangan telah dihilangkan, yang penyajiannya menyimpang

jauh dari panduan yang dikeluarkan oleh Dewan tersebut, dan auditor tidak dapat

melengkapi prosedur audit yang berkaitan dengan informasi tersebut, atau auditor

18
tidak dapat menghilangkan keraguan-raguan yang besar apakah informasi

tambahan tersebut sesuai dengan panduan yang dikeluarkan oleh Dewan tersebut.

h. Informasi lain dalam suatu dokumen yang berisi laporan keuangan auditan secara

material tidak konsisten dengan informasi yang disajikan dalam laporan

keuangan.

3. Pendapat wajar dengan pengecualian (Qualified opinion)

Pendapat wajar dengan pengecualian, menyatakan bahwa laporan keuangan

menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil

usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku

umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang

dikecualikan. Pendapat ini dinyatakan bilamana :

a. Ketiadaan bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan terhadap lingkup

audit yang mengakibatkan auditor berkesimpulan bahwa ia tidak dapat

menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian dan ia berkesimpulan tidak

menyatakan tidak memberikan pendapat.

b. Auditor yakin, atas dasar auditnya, bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan

dari prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, yang berdampak

material, dan ia berkesimpulan untuk tidak menyatakan pendapat tidak wajar.

Jika auditor menyatakan pendapat wajar dengan pengecualian, ia harus

menjelaskan semua alasan yang menguatkan dalam satu atau lebih paragraf terpisah

yang dicantumkan sebelum paragraf pendapat.

19
4. Pernyataan tidak wajar (Adverse opinion)

Pendapat tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan

secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan

prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Bila auditor menyatakan pendapat tidak wajar, ia harus menjelaskan dalam

paragraf terpisah sebelum paragraf pendapat dalam laporannya (a) semua alasan yang

mendukung pendapat tidak wajar, dan (b) dampak utama hal yang menyebabkan

pemberian pendapat tidak wajar terhadap posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas.

5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (Disclaimer opinion)

Pernyataan tidak memberikan pendapat menyatakan bahwa auditor tidak

menyatakan pendapat atas laporan keuangan. Pernyataan tidak memberikan pendapat

timbul karena banyak pembatasan ruang lingkup, atau hubungan yang tidak

independen antara auditor dengan klien menurut kode etik profesional”.

II.2.6 Konsep Dasar dalam Melaksanakan Audit

William F. Messier, Steven M. Glover dan Douglas F. Prawitt yang

diterjemahkan oleh Nuri, H. (2005) menyatakan ”Bahwa detail konseptual dan

prosedural dari audit laporan keuangan membangun tiga konsep mendasar : risiko audit,

materialitas, dan bukti yang berkaitan dengan asersi manajemen. (h. 19).

1. Risiko audit.

Risiko adalah resiko bahwa auditor mungkin tanpa sepengetahuannya gagal untuk

memodifikasi secara benar pendapatnya atas laporan keuangan dengan salah saji

yang material.

20
2. Materialitas.

Konsep penting kedua yang terlibat dalam audit adalah materialitas.

Pertimbangan auditor atas materialitas adalah masalah judgment profesional dan

terpengaruh oleh apa yang dirasakan auditor sebagai pandangan orang yang

bergantung pada laporan keuangan.

Dewan Standar Akuntansi Keuangan mendefinisikan materialitas adalah tingkat

penghapusan atau salah saji informasi akuntansi, yang dalam hubungannya dengan

kondisi sekitarnya, memungkinkan bahwa pertimbangan seseorang yang

mengandalkan informasi tersebut akan berubah dan terpengaruh dengan penghapusan

atau salah saji tersebut.

Fokus dari definisi tersebut adalah pada pengguna laporan keuangan. Dalam

merencanakan perikatan, auditor menaksir atau menentukan tingkat salah saji yang

mungkin mempengaruhi keputusan pengguna. Penentuan ini membantu auditor

menentukan sifat, waktu, dan luasnya prosedur audit.

3. Bukti yang berkaitan dengan asersi manajemen.

Kebanyakan pekerjaan auditor dalam mencapai pendapat atas laporan keuangan

terdiri dari mendapatkan dan mengevaluasi bukti audit. Bukti yang membantu auditor

dalam mengevaluasi asersi laporan keuangan manajemen terdiri dari data akuntansi

yang mendasarinya dan informasi pendukung yang tersedia bagi auditor. Asersi

manajemen dalam hal ini digunakan sebagai kerangka untuk membimbing dalam

pengumpulan bukti audit. Asersi tersebut berkaitan dengan penentuan materialitas

dan risiko audit, yang digunakan auditor untuk menentukan sifat, waktu, dan luasnya

bukti yang dikumpulkan. Sekali auditor telah mendapatkan bukti kompeten yang

21
cukup bahwa asersi manajemen dapat diandalkan untuk setiap akun yang signifikan,

ia memberikan keyakinan memadai bahwa laporan keuangan telah disajikan secara

wajar.

Asersi adalah pernyataan manajemen yang terkandung dalam komponen laporan

keuangan. Klasifikasi asersi manajemen adalah sebagai berikut ini :

1. Kelengkapan (completness)

Berhubungan dengan apakah semua transaksi dan akun yang seharusnya telah

disajikan dalam laporan keuangan.

2. Keberadaan (existence)

Berhubungan dengan apakah aktiva atau utang entitas yang ada pada tanggal

tertentu dan apakah transaksi yang dicatat telah terjadi selama periode tertentu.

3. Penilaian (valuation)

Berhubungan dengan apakah komponen-komponen aktiva, kewajiban,

pendapatan dan biaya sudah dicantumkan dalam laporan keuangan pada jumlah

yang semestinya.

4. Pemilikan (ownership)

Berhubungan dengan apakah aktiva merupakan hak perusahaan dan utang

merupakan kewajiban perusahaan pada tanggal tertentu.

5. Penyajian (presentation)

Berhubungan dengan apakah komponen-komponen tertentu laporan keuangan

diklasifikasikan, dijelaskan dan diungkapkan semestinya.

Dalam mendapatkan dan mengevaluasi bukti, auditor berkepentingan dengan

relevansi dan keandalan bukti. Relevansi mengacu kepada apakah bukti yang

22
berhubungan dengan asersi manajemen yang spesifik telah teruji.

II.3 Bukti Audit

II.3.1 Pengertian Bukti Audit

Munawir (1999), menyatakan ” Bukti audit adalah segala informasi yang

mendukung data yang disajikan dalam laporan keuangan, yang terdiri dari data akuntansi

dan informasi pendukung lainnya, yang dapat digunakan oleh auditor sebagai dasar untuk

menyatakan pendapatnya mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.” (h. 127)

Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A,A. (2003) menulis

”Bukti audit merupakan informasi yang digunakan auditor untuk menentukan apakah

informasi kuantitatif yang sedang diaudit disajikan sesuai dengan kriteria yang

ditetapkan.” (h.147)

Sedangkan menurut penulis, Bukti audit merupakan informasi yang diperoleh

auditor dalam melaksanakan audit dan dapat digunakan oleh auditor sebagai dasar untuk

menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan.

II.3.2 Jenis Bukti Audit

Menurut Konrath, L. L. (2004), ”Tipe bukti audit, yaitu :

1. Physical evidence

Physical evidence terdiri dari segala sesuatu yang bisa dihitung, dipelihara,

diobservasi atau diinspeksi, dan terutama berguna untuk mendukung tujuan eksistensi

atau keberadaan.

2. Evidence obtain through confirmation

Confirmation evidence adalah bukti yang diperoleh mengenai eksistensi, kepemilikan

23
atau penilaian, langsung dari pihak ketiga di luar klien.

3. Documentary evidence

Documentary evidence terdiri dari catatan akuntansi dan seluruh dokumen

pendukung transaksi. Bukti ini berkaitan dengan asersi manajemen mengenai

completness dan eksistensi dan berkaitan dengan audit trail yang memungkinkan

auditor untuk mentrasir dan melakukan vouching atas transaksi-transaksi dan

kejadian-kejadian dari dokumen ke buku besar dan sebaliknya.

4. Mathematical evidence

Mathematical evidence merupakan perhitungan, perhitungan kembali dan rekonsiliasi

yang dilakukan auditor.

5. Analytical evidence

Analytical evidence adalah bukti yang diperoleh melalui penelaahan analitis terhadap

informasi keuangan klien. Penelaahan analitis ini harus dilakukan pada waktu

membuat perencanaan audit, sebelum melakukan substantive test dan pada akhir

pekerjaan lapangan.

6. Hearsay evidence

Hearsay (oral) evidence merupakan bukti dalam bentuk jawaban lisan dari klien atas

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan auditor”. (h. 114-115)

II.4 Kertas Kerja

II.4.1 Pengertian Kertas Kerja

SA Seksi 339 Kertas Kerja paragraf 3 mendefinisikan kertas kerja sebagai

berikut: "Kertas kerja adalah catatan-catatan yang diselenggarakan oleh auditor mengenai

24
prosedur audit yang ditempuhnya, pengujian yang dilakukannya, informasi yang

diperolehnya, dan simpulan yang dibuatnya sehubungan dengan auditnya."

Menurut SA Seksi 339 Kertas Kerja paragraf 5, kertas kerja harus berisi

dokumentasi yang memperlihatkan bahwa telah dilaksanakannya standar pekerjaan

lapangan pertama, kedua dan ketiga.

II.4.2 Tujuan Kertas Kerja

Agoes dan Estralita (2006), menulis ”Tujuan pembuatan kertas kerja pemeriksaan

antara lain :

1. Dasar untuk perencanaan audit.

2. Sebagai catatan atas bukti yang dikumpulkan dan hasil pengujian.

3. Mencatat pemeriksaan atau pekerjaan yang telah dilakukan sesuai dengan program

pemeriksaan.

4. Menjelaskan masalah atau situasi yang dihadapi atas pelaksanaan kebijakan dan

prosedur yang ada.

5. Sebagai dasar untuk menentukan jenis opini dari laporan audit.

6. Sebagai dasar pemeriksaan oleh supervisor dan partner.

7. Sebagai sumber informasi di kemudian hari untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

yang diajukan oleh manajemen dan pihak lainnya.

8. Sebagai dasar penilaian seluruh staf audit, sehingga staf audit dapat dinilai prestasi

dan perkembangannya”. (h. 6)

Agar tujuan di atas dapat tercapai, maka kertas kerja yang dibuat oleh auditor

harus memenuhi faktor-faktor antara lain : lengkap, teliti, ringkas, jelas dan rapi.

25
II.4.3 Jenis Kertas Kerja

Kertas kerja terdiri dari berbagai macam yang secara garis besar dapat

dikelompokkan ke dalam 5 jenis kertas kerja berikut ini :

1. Program audit (audit program)

Program audit yaitu daftar prosedur audit untuk seluruh audit unsur tertentu.

2. Working Trial Balance

Working Trial Balance yaitu suatu daftar yang berisi saldo-saldo akun buku besar

pada akhir tahun yang diaudit dan pada akhir tahun sebelumnya, kolom-kolom untuk

adjustments dan reclassifications yang diusulkan auditor, serta saldo-saldo koreksi

auditor yang akan tampak dalam laporan keuangan auditan.

3. Ringkasan adjustments

Ringkasan adjustments yaitu suatu daftar yang berisi penyesuaian-penyesuaian yang

nantinya akan menjadi koreksi terhadap saldo klien yang perlu mendapat

penyesuaian. Ringkasan adjustments ini nantinya akan dibicarakan dengan klien

sebelum penerbitan laporan keuangan auditan final.

4. Lead schedule

Lead schedule yaitu kertas kerja yang digunakan untuk meringkas informasi yang

dicatat dalam skedul pendukung untuk akun-akun yang berhubungan.

5. Supporting schedule

Supporting schedule yaitu kertas kerja yang digunakan dalam memverifikasi unsur-

unsur yang tercantum dalam laporan keuangan klien.

26
II.5 Prosedur Audit

II.5.1 Pengertian Prosedur Audit

Agoes (2004), menulis ”Audit procedures adalah langkah-langkah yang harus

dijalankan auditor dalam melaksanakan pemeriksaannya dan sangat diperlukan oleh

asisten agar tidak melakukan penyimpangan dan dapat berkerja secara efisien dan

efektif”. (h. 131).

Menurut Munawir (1999), menulis ”Prosedur audit adalah tindakan-tindakan

yang dilakukan atau metode-metode dan teknik-teknik yang digunakan oleh auditor

untuk memperoleh bukti audit, yang dilakukan selama melaksanakan suatu penugasan

audit.” (h.146)

II.5.2 Jenis Prosedur Audit

Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A,A. (2003)

menulis ”Prosedur audit yang dapat digunakan untuk memperoleh bukti kompeten atau

dapat dipercaya adalah :

1. Pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan fisik adalah inspeksi atau perhitungan aktiva berwujud oleh auditor.

Pemeriksaan fisik, sebagai alat yang langsung digunakan untuk memverifikasi

apakah suatu aktiva secara aktual ada, dianggap sebagai salah satu bahan bukti yang

paling andal dan berguna.

2. Konfirmasi.

Konfirmasi digambarkan sebagai penerimaan jawaban tertulis maupun lisan dari

pihak ketiga yang independen dalam memverifikasi akurasi informasi yang telah

diminta oleh auditor. Karena konfirmasi berasal dari sumber yang independen dari

27
klien, konfirmasi menjadi bahan bukti yang dianggap bernilai tinggi dan sering

dipakai.

3. Dokumentasi.

Dokumentasi merupakan pemeriksaan auditor atas dokumentasi dan catatan klien

untuk menyokong informasi yang ada atau seharusnya ada dalam laporan keuangan.

Dokumen yang diperiksa oleh auditor adalah catatan yang digunakan klien untuk

menyediakan informasi dalam melaksanakan usahanya.

4. Pengamatan.

Pengamatan adalah penggunaan perasaan untuk menetapkan aktifitas tertentu. Dalam

pengamatan akan banyak kesempatan untuk melihat, mendengar, dan mengevaluasi

aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan.

5. Tanya jawab dengan klien.

Tanya jawab adalah mendapatkan informasi tertulis atau lisan dari klien untuk

mendapatkan bahan bukti lain yang menguatkan melalui prosedur yang lain.

6. Pelaksanaan ulang.

Pelaksanaan ulang meliputi pengecekan ulang suatu sampel perhitungan dan

perpindahan informasi yang dilakukan klien selama periode yang diaudit.

Pengecekan ulang perhitungan berisi pengujian akurasi aritmatis klien.

7. Prosedur analitis.

Prosedur analitis adalah menggunakan perbandingan dan hubungan untuk

menentukan apakah saldo akun tersaji secara layak. Prosedur analitis sangat penting

sehingga harus dilakukan selama tahap perencanaan dan penyelesaian di setiap

audit”. (h. 153-158)

28
II.6 Audit Penjualan dan Piutang Usaha

II.6.1 Pengertian Penjualan

Menurut Arens dan Loebbecke (2003), yang diterjemahkan oleh Amir Abadi

Jusuf, menyatakan “Penjualan merupakan proses yang diperlukan untuk mengalihkan

kepemilikan atas barang dan jasa yang telah tersedia untuk dijual kepada pelanggan.

Proses ini dimulai dengan permintaan oleh pelanggan dan berakhir dengan perubahan

barang atau jasa menjadi piutang usaha, dan akhirnya menjadi uang tunai.” (h. 356)

II.6.2 Pengertian Piutang Usaha

Piutang usaha merupakan suatu klaim uang pada perusahaan atau individu

tertentu, yang timbul karena adanya penjualan barang atau jasa yang dihasilkan

perusahaan.

Menurut Agoes (2004), menulis “Contoh dari perkiraan-perkiraan yang biasa

digolongkan sebagai piutang antara lain:

1. Piutang usaha

2. Wesel tagih

3. Piutang pegawai

4. Piutang bunga

5. Uang muka

6. Refundable deposit (uang jaminan)

7. Piutang lain-lain

8. Allowance for bad debts (penyisihan piutang tak tertagih).” (h. 183)

29
II.6.3 Tujuan Audit Penjualan

Menurut Dan, Wayne, dan Winters yang diterjemahkan Paul, A,A. (2003)

menulis “Tujuan menyeluruh dari audit penjualan adalah untuk menentukan bahwa

penjualan yang dilaporkan dalam laporan laba rugi telah disajikan secara layak sesuai

dengan prinsip akuntansi yang diterima umum. Dengan kata lain, auditor perlu

mengumpulkan bukti bahwa tidak ada salah saji yang material dalam laporan keuangan

untuk penjualan“. (h. 55)

Audit penjualan lebih menekankan pada pengujian transaksi daripada pengujian

saldo, karena saldo akun penjualan merupakan total kumulatif dari setiap transaksi

penjualan dalam satu tahun.

Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf A,A, (2003)

menulis “Tujuan audit atas penjualan, yaitu :

1. Penjualan yang tercatat adalah untuk pengiriman aktual yang dilakukan kepada

pelanggan.

2. Penjualan yang ada telah dicatat.

3. Penjualan yang tercatat adalah untuk jumlah barang yang dikirim dan ditagih serta

dicatat dengan benar.

4. Transaksi penjualan diklasifikasikan dengan pantas.

5. Penjualan dicatat dengan waktu yang tepat.

6. Transaksi penjualan dimasukkan dengan pantas dalam berkas induk dan

diikhtisarkan dengan benar.” (h. 379).

II.6.4 Tujuan Audit Piutang Usaha

Sedangkan menurut Agoes S. (1999), “Tujuan audit atas piutang yaitu :

30
1. Untuk memeriksa keabsahan dan keotentikan daripada piutang.

2. Untuk memeriksa kemungkinan tertagihnya piutang dan cukup tidaknya penyisihan

piutang tak tertagih.

3. Untuk mengetahui apakah ada kewajiban bersyarat yang timbul karena

pendiskontoan wesel tagih.

4. Untuk memeriksa apakah penyajian piutang di neraca sesuai dengan prinsip

akuntansi yang berlaku umum.” (h. 163).

II.7 Pengendalian Intern

II.7.1 Pengertian Pengendalian Intern

William F. Messier, Steven M. Glover dan Douglas F. Prawitt yang

diterjemahkan oleh Nuri, H. (2005) menulis ”Pengendalian internal adalah suatu proses

yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personel entitas lainnya yang

didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan

berikut ini : (1) Keandalan pelaporan keuangan, (2) Efektivitas dan efesiensi operasi, dan

(3) Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku”. (h. 250)

II.7.2 Unsur-unsur Pengendalian Intern

Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A, A. (2003)

menulis “Struktur pengendalian intern mencakup 5 kategori dasar kebijakan dan prosedur

yang dirancang dan digunakan oleh manajemen untuk memberikan keyakinan memadai

bahwa tujuan pengendalian dapat dipenuhi, terdiri dari :

31
1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)

Terdiri dari tindakan, kebijakan dan prosedur yang mencerminkan sikap menyeluruh

manajemen puncak, direktur dan komisaris, dan pemilik suatu satuan usaha terhadap

pengendalian dan pentingnya terhadap satuan usaha tersebut.

2. Penaksiran Risiko (Risk Assessment)

Penetapan risiko untuk pelaporan keuangan adalah identifikasi dan analisa oleh

manajemen atau risiko-risiko yang relevan terhadap penyiapan laporan keuangan

yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

3. Sistem Informasi dan Komunikasi (Information Processing Communication)

Adalah untuk mengidentifikasi, menggabungkan, mengklasifikasi, mencatat dan

melaporkan transaksi satu satuan usaha, dan untuk mengelola akuntabilitas

(tanggung gugat) atas aktiva terkait.

4. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)

Aktivitas pengendalian yang harus dilakukan oleh manajemen terdiri dari 5 kategori:

a) Pemisahan tugas yang cukup

b) Otorisasi yang pantas atas transaksi dan aktiva

c) Dokumen dan catatan yang memadai

d) Pengendalian

e) Pengecekan independen atas pelaksanaan

5. Pemantauan (Monitoring)

Agar melihat apakah telah dilaksanakan dengan semestinya dan telah diperbaiki

sesuai dengan keadaan. (h. 261-269)

32
II.7.3 Tujuan Pengendalian Intern

IAI (2001), mendefinisikan pengendalian intern sebagai “suatu proses yang

dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen dan personel lain entitas yang didesain

untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan

berikut ini:

1. Keandalan pelaporan keuangan

2. Efektivitas dan efisiensi operasi

3. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.” (h.319.2)

II.7.4 Pengendalian Intern Penjualan

Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A,A. (2003)

menulis ”Pengendalian intern atas penjualan, yaitu :

1. Pencatatan penjualan didukung oleh dokumen pengiriman yang diotorisasi dan order

pelanggan yang disetujui.

2. Faktur penjualan prenumbered dan dipertanggungjawabkan dengan semestinya.

3. Rekening bulanan dikirim ke pelanggan; keluhan mendapatkan tindak lanjut yang

independen.

4. Dokumen pengiriman prenumbered dan dipertanggungjawabkan.

5. Faktur penjualan prenumbered dan dipertanggungjawabkan

6. Penentuan harga, syarat penjualan dan potongan harga mendapat persetujuan dengan

sebagaimana mestinya.

7. Verifikasi intern atas penyiapan faktur.

8. Penggunaan bagian akun yang memadai.

9. Telaah dan verifikasi intern.

33
10. Prosedur yang diperlukan untuk penagihan dan pencatatan penjualan setiap hari

sedekat mungkin dari saat kejadian.” (h. 363).

II.7.5 Pengendalian Intern Piutang Usaha

Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A,A. (2003)

menulis ”Pengendalian intern atas piutang, yaitu :

1. Memeriksa dokumen sebelum tagihan dikirim ke pelanggan.

2. Membandingkan total dari berkas induk piutang usaha dengan akun buku besar.

3. Pengujian terinci atas saldo terpenting untuk menentukan keberadaan piutang usaha

yang dicatat adalah konfirmasi saldo pelanggan.

4. Piutang usaha dicatat sebesar jumlah yang dapat direalisasi (nilai realisasi).

5. Piutang usaha diperhitungkan dengan tepat.

6. Transaksi piutang yang terjadi dicatat dalam periode yang sesuai”. (h. 439-444).

34

Anda mungkin juga menyukai