Anda di halaman 1dari 6

 Tradisi Cembengan di Kabupaten

Karanganyar
Ritual yang selalu dilaksanakan setiap tahunya untuk memulai giling tebu. Ritual
yang sudah turum temurun ini dilakukan di pabrik tebu Tasikmadu karanganyar.
Ritual ini masyarakat sekitar menyebutnya dengan Cembengan.

Foto P.G Tasik Madoe ( Foto Instagram @fajarrudin16 )

Tradisi ini biasanya dilakukan selama dua hari untuk melakukan proses ritual di
pabrik Tebu Tasikmadu karanganyar yang merupakan pabrik yang dibangun di masa
Belanda di tahun 1871.

Tradisi Arak-arakan Sesaji Cembengan Karanganyar

Dihari pertama ritual ini akan melakukan arak-arakan berbagai sesaji yang sudah
dipersiapakan. Diantaranya sesaji yang dihiasi ini berupa hasil bumi, Nasi Tumpeng .
Jajanan Pasar, dan 7 Kepala Kerbau. Kenapa harus menggunakan 7 Kepala
kerbau. Proses penggilingan tebu sampai dengan menjadi gula mempunyai 7
tahanpan mulai dari setasiun gilingan sampai dengan pemurnian gula.

 Tradisi Sekaten, Upacara Adat yang


Masih Lestari di Yogyakarta
Stefan William | May 6, 2018 | Pusaka Budaya | 4 Comments

Di Yogyakarta, terdapat sebuah tradisi adat yang dikenal dengan Sekaten. Sekaten
biasanya juga dikenal dengan Pasar Malam Sekaten. Ini disebabkan karena sebelum
upacara Sekaten digelar, selalu diadakan pasar malam yang berlangsung satu bulan
penuh. Tradisi Sekaten ini sudah dilakukan sejak abad 16 Tradisi ini diadakan setahun
sekali yakni di bulan Maulud atau bulan ketiga dalam perhitungan kalender Jawa.
Lokasi yang digunakan untuk menggelar acara Sekaten ini adalah di pelataran
alun-alun utara Yogykarta.

Istilah Sekaten sendiri berkembang dari beberapa versi. Beberapa pendapat


mengatakan bahwa istilah ini diambil dari nama perangkat pusaka Kraton Yogyakarta.
Pusaka tersebut berupa gamelan bernama Kanjeng Kyai Sekati. Gamelan ini selalu
digunakan dalam acara Maulud Nabi Muhammad. Sementara itu, pendapat lain ada
mengungkapkan bahwa Sekaten disadur dari kata suka yang berarti senang dan ati
yang berarti hati sehingga dapat diartikan sebagai senang hati. Ini disebabkan karena
orang-orang yang menyambut perayaan Maulud sedang berbahagia dan bersyukur
dalam perayaan tersebut.

Tradisi Sekaten dipercaya sebagai perpaduan antara seni dan dakwah. Pada saat
agama Islam mulai masuk ke Jawa, Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu
anggota Wali Songo menggunakan kesenian gamelan (alat musik tradisional Jawa)
untuk menarik masyarakat agar datang menikmati pagelaran tersebut. Kesenian
tersebut menggunakan gamelan yang dinamai Kyai Kanjeng Sekati. Kesenian ini
tidak hanya menampilkan pertunjukkan gamelan saja tetapi juga dilakukan
pembacaan ayat Al-Qur’an dan khotbah di tengah-tengah acara. Bagi masyarakat
yang ingin masuk Islam, mereka wajib mengucapkan Syahadat yang menunjukkan
ketaatan terhadap ajaran agama. Bagi masyarakat Yogyakarta, muncul kepercayaan
bahwa orang-orang merayakan kelahiran Nabi Muhammad akan mendapatkan pahala
dan awet muda.Namun sebagai persyaratan, mereka wajib mengunyah sirih di depan
Masjid Agung, khususnya pada saat hari pertama Sekaten dimulai.

Oleh sebab itu, selama Sekaten banyak sekali orang yang berjualan sirih lengkap
ramuan lainnya. Selain itu ada pula penjual-penjual nasi gurih dan lauk pauknya di
depan Masjid Agung atau halaman Kemandungan, Alun-Alun Utara. Dalam perayaan
ini para petani biasanya juga memohon agar panennya berhasil. Untuk memperkuat
tekadnya, mereka juga membeli cambuk dari para penjual yang berjualan di sini.
Sebelum Sekaten dimulai, ada beberapa persiapan yang harus dilakukan terlebih
dahulu. Persiapan tersebut meliputi fisik dan persiapan batin. Persiapan fisik antara
lain adalah alat-alat dan perlengkapan yang akan digunakan untuk upacara Sekaten
yakni Gendhing Sekaten, Gamelan Sekaten, bunga kanthil, sejumlah uang logam,
samir niyaga, busana seragam, dan naskah riwayat Maulud.

Gamelan yang digunakan untuk Sekaten merupakan benda pusaka milik Kraton yang
bernama Kyai Kanjeng Sekati dalam 2 rancak, Kyai Kanjeng Guntur Madu, dan Kyai
Kanjeng Nogowilogo. Gamelan Sekaten ini dibuat langsung oleh Sunan Giri. Alat
pemukulnya terbuat dari tanduk kerbau atau tanduk lembu. Pemukulnya harus
diangkat sampai setinggi dahi sebelum dipukulkan pada gamelan. Sementara itu,
Gendhing Sekaten merupakan serangkaian gendhing atau lagu yang akan digunakan
antara lain Rangkung pathet lima, Rambu pathet lima, Rendheng pathet lima, Gliyung
pathet nem, Atur-atur pathet nem, Lunggadhung pelog pathet lima, dll.

Pada persiapan batin, abdi dalem yang akan terlibat dalam Tradisi Sekaten harus
menyiapkan batin dan mental untuk menjalankan amanat tersebut. Para abdi yang
ditugaskan untuk memukul gamelan harus menyucikan diri dengan melakukan siram
jamas dan berpuasa. Perayaan Sekaten mulai tanggal 6 Maulud ketika Kyai Kanjeng
Sekati diboyong dari persemayamannya. Kyai Kanjeng Nogowilogo dipindahkan ke
Bangsal Trajumas sednagkan Kyai Kanjeng Guntur Madu diletakkan ke Bangsal
Srimanganti. Pada tanggal 11 Maulud, Sri Sultan datang ke Masjid Agung untuk
mengikuti upacara Maulud Nabi Muhammad SAW. Setelah upacara selesai,
perangkat gamelan Sekaten dibawa kembali ke Kraton. Pemindahan ini sekaligus
menjadi tanda berakhirnya upacara Sekaten.

 Perayaan Satu Suro, Tradisi Malam


Sakral Masyarakat Jawa
Home Tradisi Yogyakarta

Masyarakat Jawa khususnya di Yogyakarta dan Solo (Surakarta) masih memegang


teguh ajaran yang diwarisi oleh para leluhurnya. Salah satu ajaran yang masih
dilakukan adalah menjalankan tradisi malam satu Suro, malam tahun baru dalam
kalender Jawa yang dianggap sakral bagi masyakarat Jawa.

Tradisi malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung sekitar tahun 1613-1645.
Saat itu, masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi
dari tradisi Hindu. Hal ini sangat bertentangan dengan masa Sultan Agung yang
menggunakan sistem kalender Hijriah yang diajarkan dalam Islam.

Sultan Agung kemudian berinisiatif untuk memperluas ajaran Islam di tanah Jawa
dengan menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam.
Sebagai dampak perpaduan tradisi Jawa dan Islam, dipilihlah tanggal 1 Muharam
yang kemudian ditetapkan sebagai tahun baru Jawa. Hingga saat ini, setiap tahunnya
tradisi malam satu Suro selalu diadakan oleh masyarakat Jawa.

Malam satu Suro sangat lekat dengan budaya Jawa. Iring-iringan rombongan
masyarakat atau yang biasa kita sebut kirab menjadi salah satu hal yang bisa kita lihat
dalam ritual tradisi ini.

Para abdi dalem keraton, hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta benda
pusaka menjadi sajian khas dalam iring-iringan kirab yang biasa dilakukan dalam
tradisi Malam Satu Suro.

Di Solo, biasanya dalam perayaan malam satu Suro terdapat hewan khas yakni kebo
(kerbau) bule. Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan
perayaan malam satu Suro. Keikutsertaan kebo bule ini konon dianggap keramat oleh
masyarakat setempat.

Berbeda dengan Solo, di Yogyakarta perayaan malam satu Suro biasanya selalu
identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan
kirab.

Tradisi malam satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan.
Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan
doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan
berkah dan menangkal datangnya marabahaya.

Selain itu, sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling
(ingat) dan waspada. Eling disini memiliki arti manusia harus tetap ingat siapa dirinya
dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara, waspada berarti
manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
[Riky/IndonesiaKaya]

 Reog (Ponorogo)

Reog Ponorogo

Home Kesenian Jawa Timur


Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut
dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo
dihiasi oleh sosok Warok dan Gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat Reog
dipertunjukkan. Reog adalah salah satu bukti budaya daerah di Indonesia yang masih
sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang
asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita
tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi,
Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan
pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang
korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir.

Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak
muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa
anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak.
Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis
Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran"
kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng
Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai
"Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya
ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan
pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya.

Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan
menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras
dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol
untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai
lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya.

Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan


dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan
perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki
Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya
sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer
diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan
karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi
Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang
berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat
oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa,
sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom,
dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini
memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara
Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para
penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya.

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur
mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog
merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada
secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak
mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas.
mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Anda mungkin juga menyukai