Anda di halaman 1dari 27

REFLEKSI KASUS

SEROTINUS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Program Pendidikan Profesi


Dokter Bagian Ilmu Kandungan dan Kebidanan
di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh:
Ahmad Hilmi Fahmi
30101206596

Pembimbing:
dr. Inu Mulyantoro, Sp.OG(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2018
STATUS ILMU KANDUNGAN DAN KEBIDANAN
SMF KANDUNGAN DAN KEBIDANAN
RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG

1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2018

A. IDENTITAS
1. Nama penderita : Ny. W
2. Umur : 22 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SMA
6. Pekerjaan : Swasta
7. Status : Menikah
8. Alamat : Purwosari 01/03, Sayung Demak
9. Tanggal Masuk : 29 Desember 2017
10. Masuk Jam : 15.45
11. Ruang : VK
12. Kelas : JKN Non PBI

B. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 29 Desember 2017
pukul 15.45 WIB.
1. Keluhan Utama :
Kenceng – kenceng

2. Riwayat Kehamilan Sekarang


Pasien G1P0A0 hamil 42 minggu usia 22 tahun datang dengan keluhan perut
terasa kenceng-kenceng dan dirasa sejak 1 minggu yll, lalu dirasa hilang timbul
belum keluar air ketuban dan lendir darah. Pusing dan pingsan disangkal.

2
3. Riwayat Haid
Menarche : 12 tahun
Siklus haid : 28 hari
Lama haid : 7 hari
Dismenore : (-)
HPHT : 8 Maret 2017
HPL : 13 Desember 2017
± 1 bulan setelah terlambat haid pasien melakukan tes kehamilan di bidan dengan
test pack kehamilan dan hasilnya positif.

4. Riwayat ANC
ANC dilakukan rutin di bidan setelah pasien dinyatakan hamil.

5. Riwayat Obstetri
G1P0A0
G1: hamil sekarang

6. Riwayat KB: (-)


7. Riwayat Perkawinan : pernah menikah 1 (satu) kali dengan lama pernikahan 1 tahun
8. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
- Riwayat Penyakit Paru : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
9. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
- Riwayat Penyakit Paru : disangkal
- Riwayat DM : disangkal

3
10. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang karyawan swasta, suami pasien bekerja sebagai
buruh. Kesan ekonomi cukup, biaya pengobatan ditanggung BPJS.

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign :
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit TB : 155 cm
RR : 20 x/menit BB : 68 Kg
Suhu : 36,7 0C
b. Status Internus
- Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-)
- Tenggorokan : Faring hiperemesis (-), pembesaran tonsil (-)
- Leher : Simetris, pembesaran kelenjar limfe (-)
- Kulit : Turgor baik, ptekiae (-)
- Mamae : Simetris, benjolan abnormal (-), hiperpigmentasi areola (-),
puting menonjol (+), besar cukup
- Paru :
 Inspeksi : Hemithorax dextra dan sinistra simetris
 Palpasi : Stem fremitus dextra dan sinistra sama, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
- Jantung :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : Redup

4
 Auskultasi: Suara jantung I dan II murni, reguler, suara tambahan (-)
- Abdomen :
 Inspeksi : Cembung, striae gravidarum (+), bundle ring (-)
 Palpasi : teraba bagian-bagian janin
 Perkusi : tidak dilakukan
 Auskultasi : denyut jantung janin (+)
- Extremitas :
Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Varises -/- -/-
Reflek fisiologis +/+ +/+
Reflek patologis -/- -/-
c. Status Obstetri
- Abdomen
 Inspeksi : Perut tampak membesar, striae gravidarum (+), linea nigra
(+), bekas operasi (-)
 Palpasi : nyeri tekan (-), teraba bagian janin:
 Leopold 1 : bulat besar lunak, bokong
 Leopold 2: tahanan memanjang di kiri (puki)
 Leopold 3 : bulat besar keras, kepala
 Leopold 4 : belum masuk PAP
 TFU : 31 cm.
 His : jarang.
 Auskultasi : DJJ 12-11-12.
 Punctum maximum: Puki

- PF Anogenitalia
 Inspeksi : lendir (-) darah (-)
 air ketuban (-) luka parut (-)
 varices (-) oedem vagina (-)

5
 Anus: hemoroid (-)
 Interna/ Vagina toucher :
 Vulva : tenang
 Portio : tebal, kaku
 Penipisan : tebal
 Pembukaan : -
 Kulit ketuban : (+)
 Sarung tangan : lendir (+), darah (-)
 Penurunan kepala di Bidang Hodge : -3

 Bishop’s Pelvic Score


Skor
0
Pendataran serviks 0%

0
Pembukaan serviks 0

Penurunan kepala dari 0


-3
hodge III
0
Konsistensi serviks Keras

Posisi serviks sumbu Posterior 0


Total Bishop’s Score adalah 0
 Bila nilai > 8, maka induksi persalinan kemungkinan besar akan
berhasil
 Bila nilai > 5, dapat dilakukan drip oksitosin
 Bila nilai < 5, dapat dilakukan pematangan serviks terlebih dahulu,
kemudian lakukan pengukuran PS lagi.

6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pemeriksaan Hematologi
a. Hb : 12 gr/dl
b. Hematokrit : 37,7 %
c. Leukosit : 11.670 /uL
d. Trombosit : 403.000 /uL
e. APTT : 23.3 detik
f. PPT : 8,8 detik
g. Gol. Darah :B
h. HbsAg : negatif
i. GDS : 120

E. RESUME
Pasien G1P1A0 hamil 42 minggu, datang dengan keluhan perut terasa kenceng-
kenceng dan dirasa sejak 1 minggu yll, lalu dirasa hilang timbul belum keluar air
ketuban dan lendir darah.

Riwayat Haid
Menarche : 12 tahun
Siklus haid : 28 hari
Lama haid : 7 hari
Dismenore : (-)
HPHT : 8 Maret 2017
HPL : 13 Desember 2017
± 1 bulan setelah terlambat haid pasien melakukan tes kehamilan di bidan dengan
test pack kehamilan dan hasilnya positif.

Vital Sign :
TD : 120/80 mmHg

7
Nadi : 80 x/menit TB : 155 cm
RR : 20 x/menit BB : 68 Kg
Suhu : 36,7 0C
Status Obstetri
- Abdomen
 Inspeksi : Perut tampak membesar, striae gravidarum (+), linea nigra
(+), bekas operasi (-)
 Palpasi : nyeri tekan (-), teraba bagian janin:
 Leopold 1 : bulat besar lunak, bokong
 Leopold 2: tahanan memanjang di kiri (puki)
 Leopold 3 : bulat besar keras, kepala
 Leopold 4 : belum masuk PAP
 TFU : 31 cm.
 His : jarang.
 Auskultasi : DJJ 12-11-12.
 Punctum maximum: Puki

- PF Anogenitalia
 Inspeksi : lendir (-) darah (-)
 air ketuban (-) luka parut (-)
 varices (-) oedem vagina (-)
 Anus: hemoroid (-)
 Interna/ Vagina toucher :
 Vulva : tenang
 Portio : tebal, kaku
 Penipisan : tebal
 Pembukaan : -
 Kulit ketuban : (+)
 Sarung tangan : lendir (+), darah (-)
 Penurunan kepala di Bidang Hodge : -3

8
Pemeriksaan Penunjang
Dalam batas normal

F. DIAGNOSA AWAL
Pasien G1P0A0, gravida 42 minggu janin tunggal hidup intra uterin letak kepala, belum
inpartu dengan serotinus

G. SIKAP
1. Pasien rawat inap
2. Pengawasan: KU, Vital Sign, Hb, PPV
3. Bishop’s score 0 atau <5 maka perlu dilakukan pematangan serviks terlebih
dahulu menggunakan oksitosin drip Oksitosin drip 5 U oksitosin dalam 500cc
RL di mulai 12 tpm dinaikkan 4 tetes tiap 15 menit sampai maksimal 40tpm,
dengan memperhatikan evaluas ibu dan janin.
4. Apabila pematangan serviks gagal ada indikasi akhiri keamilan maka
dilakukan akhiri kehamilan dengan tindakan sectio cesaria (SC)
5. Tindakan SCTP

H. PROGNOSA
Kehamilan : dubia ad bonam
Persalinan : dubia ad bonam

I. EDUKASI
1. Memberitahu kepada pasien dan keluarga resiko kehamilan lewat bulan.
2. Memberitahu akan dilakukan pematangan serviks untuk melunakkan serviks
agar mempermudah penuruna kepala janin
3. Memberitahu akan dilakukannya terminasi kehamilan secara sectio cesaria (SC)
bila pematangan serviks gagal.

9
FOLLOW UP

29-12-2017 S:- Dilakukan pematangan serviks


15.45 O: TD : 120/80mmHg terlebih dahulu menggunakan
N : 80x/menit oksitosin drip drip 5 U
RR : 20x/menit oksitosin dalam 500cc RL di
S : 36,70C mulai 12 tpm dinaikkan 4 tetes
BB : 68 kg tiap 15 menit sampai maksimal
TB : 155 40tpm, dengan memperhatikan
His : - evaluas ibu dan janin.
lDJJ : 12-11-12
PPV : -
VT ϴ blm ada pembukaan,
kepala di bidang hodge 3-
Sarung tangan lendir (+),
darah (+)
Kulit ketuban (+)
30-12-2017 S: - Tidak ada kemajuan
06.30 O : TD : 110/70 persalinan.
N : 82x/menit Edukasi keluarga untuk
RR : 20x/menit dilakukannya akhiri persalinan
S : 36,50C dengan operasi sectio cesaria
His : - (SC)
DJJ : 12-11-12 Inf. RL 20 tpm
PPV : - Premedikasi ceftriaxone
VT ϴ blm ada pembukaan, Pasang DC
kepala di bidang hodge 3-

10
Sarung tangan lendir (+),
darah (+)
Kulit ketuban (+)
31-12-2017 S : nyeri post SC Inf.RL + oksitosin 20
12.15 O : TD : 120/80 tpm
N : 89x/menit ceftriaxone 2x1 gram
RR : 24x/menit Inj Ketorolac 1 Ampul
S : 36,70C
1-1-2018 S :- Pulang
O : TD : 120/70 Kontrol rutin
N : 76x/menit
RR : 20x/menit
S : 360C

J. DIAGNOSA AKHIR
P1A0 Post sectio cecarea transperitoneal profunda (SCTP) atas indikasi
serotinus gagal induksi.

11
KEHAMILAN POST TERM (SEROTINUS)

A. Definisi Kehamilan Postterm


Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih
dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir
(HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

B. Patogenesis Kehamilan Postterm


Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum diketahui
dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan penyebab terjadinya
kehamilan postterm antara lain:
1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan
postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron melewati
waktu yang semestinya. (Mochtar, et al., 2004)
2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil
pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab terjadinya
kehamilan postterm. (Mochtar, et al., 2004)
3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga
produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen. Proses ini
selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada
kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau
hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan kortisol
janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan.
(Mochtar, et al., 2004)

4. Treori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada
keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis, seperti pada kelainan
letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin. (Mochtar, et al., 2004)
5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah
dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007) menyatakan

12
dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengami kehamilan
postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm
pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa
kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik. (Kistka, et al., 2007)
Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut telah dibuktikan
pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010) melakukan penelitian tentang
penyebab terjadinya kehamilan postterm dan telah membuktikan adanya pengaruh
sistem imunitas terhadap inisiasi persalinan secara spontan. Biggar et al (2010)
menemukan bahwa antigen HLA A dan B pada janin postterm lebih memiliki persamaan
dengan antigen maternal-nya dibanding janin aterm. Kemungkinan pada kehamilan
postterm terjadi “keterlambatan” sistem imunitas maternal dalam mengenali antigen
paternal yang terdapat pada sel janin yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui
mikrosirkulasi transplasental, khususnya antigen HLA tipe A dan B. Keterlambatan ini
menyebabkan tertundanya proses cascade yang dibutuhkan untuk mengawali terjadinya
tahapan persalinan secara spontan. (Biggar, et al., 2010)

C. Diagnosis Kehamilan Postterm


Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari
seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena
kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010) Oleh sebab itu, pada
penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya
kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada
di dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk
mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian
intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan dampak yang merugikan
bagi ibu maupun janin.
1. Riwayat haid
Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan
apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm
berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh

13
American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama
siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)
Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak
bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan riwayat haid,
diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya ±30 persen.
Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu
harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum
pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. (Mochtar, et al., 2004)
Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang
ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai
kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi
yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi
bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama
(Cunningham, et al., 2010)
siklus haid yang terakhir. Pendekatan ini berpotensi
menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal
HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal,
ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase
folikular, yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang
memiliki siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14
siklus. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang
seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al.,
2004)
Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan
HPHT adalah ± 1,37 minggu. (Cohn, et al., 2010)

14
2. Riwayat pemeriksaan antenatal
Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai
kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan
sebagai berikut: (Pernoll, et al., 2007)
a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif
b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop
Laennec

3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah banyak
menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan postterm.
Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan
melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding
dengan metode HPHT.
Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang
didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan
postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan
persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length)
(Cohn, et al., 2010)
adalah ± 0,67 minggu. Pada usia kehamilan antara 16-26 minggu,
ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur
length/FL) memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan. (Mochtar, et al., 2004)
Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil
penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah
dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Ukuran-ukuran biometri
janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat
kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat
kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG
trimester III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia

15
kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. (Cohn, et al., 2010)

4. Pemeriksaan cairan amnion


a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak
dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi
10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila
jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu atau
lebih. (Mochtar, et al., 2004)
b. Amniskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis yang sudah
membuka dapat dinilai keadaan air ketuban didalamnya. (Mochtar, et al., 2004)
c.
Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu
berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan
darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia
kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada
usia kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan
ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm.
(Mochtar, et al., 2004)

d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S pada


usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan
±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan
menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan
postterm tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup
usia/matang untuk dilahirkan. (Mochtar, et al., 2004)

D. Komplikasi Kehamilan Postterm


Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion,
plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut dapat
dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.

16
1. Disfungsi plasenta
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada
kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai
puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama
setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan peningkatan
kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali lebih tinggi. Pemasokan makanan dan
oksigen akan menurun akibat proses penuaan plasenta disamping adanya spasme
arteri spiralis. Janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat
hingga disebut sebagai dismatur. (Cunningham, et al., 2010)
2. Oligohidramnion
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan
amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu,
yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar 800 ml pada usia kehamilan 40
minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml,
(Cunningham, et al.,
250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu.
2010)

Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan


dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan pemeriksaan
Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan hambatan aliran
darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat menyebabkan
(Oz,
penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion.
et al., 2002)
Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan
postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal
meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat.
Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat janin saat
intra partum. (Mochtar, et al., 2004)
Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion
sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik
kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari paru-paru
janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi 4:1

17
atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan mengakibatkan
cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko terjadinya
aspirasi mekonium. (Cunningham, et al., 2010)
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah
satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter vertikal dari kantung
amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil penjumlahan
keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan anmion (Amnionic
Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka
merupakan indikasi adanya oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
3. Perubahan pada janin
Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada kehamilan
postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai dengan gangguan
pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan sindrom postmaturitas. Perubahan-
perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi
keriput, dan hilangnya vernik kaseosa. Keadaan ini menyebabkan kulit janin
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut
panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar
mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh neonatus kehamilan postterm
menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat
sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm.
Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium: (Mochtar, et al., 2004)
a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit
kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.
c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

E. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm


Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak
perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan
postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan tidak selalu dapat

18
ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang
diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada ±70% penderita
didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan skor Bishop rendah sehingga
tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis
kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah
apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan
pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik
secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau
timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan. (Mochtar, et al., 2004)
1. Pemantanauan kesejahteraan janin
Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5 variabel
biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini
memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel
saja. Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang
digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-stress
test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e) volume
cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila
abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada
pemeriksaan profil biofisiknya. (Cunningham, et al., 2010)

a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)


Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai
akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal
dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada
dalam keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami
akselerasi sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi
ini dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat
akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan
peningkatan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)

19
Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban
kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana,
NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan
untuk menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang
paling sering digunakan untuk menilai kesejahteraan janin. (Cunningham, et al., 2010)

b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)


Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah gerakan
dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada janin,
ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis sedangkan
dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses inspirasi yang
terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan
kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion
yang menyerupai gerakan pada saat batuk. (Cunningham, et al., 2010)
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya
keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses
evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi secara
episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas
menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan penelitian
observasi selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk
mendapatkan gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu
terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa
saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit lamanya.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak
ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu observasi yang panjang.
Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan gerakan nafas
sering digabungkan dengan pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut
jantung janin. (Cunningham, et al., 2010)

20
c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)
Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak
minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir
kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak
pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil
baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20
minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat
dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. (Cunningham, et al.,
2010)

Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih
teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-aktivitas. Pada trimester
ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat
sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin. (Cunningham, et al., 2010)
Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur
kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per
12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32
kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi
kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume cairan
amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas
pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur
janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini merupakan hal yang
terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga. (Cunningham, et al., 2010)

d. Pemeriksaan volume cairan amnion


Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan
antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan
tes ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan
menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan
(Oz, et al., 2002; Cunningham, et al.,
pada akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion.
2010)

21
Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG
dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI). Penilaian
dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari
setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah
turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya
oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan
amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan
ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong
≤ 2 cm. (Cunningham, et al., 2010)

Gambar 1. Amniotic Fluid Index (Cunningham, et al., 2010)


Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas, maka
didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor
profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan maksimal 10.

Tabel 1. Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2010)

22
Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa
penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil melakukan
pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan asfiksia, maka
penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.

Tabel 2. Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik (Cunningham, et al.,


2010)

2. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi indikasi
untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi persalinan menjadi salah satu
prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat dengan proporsi
yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di tahun 1998. (Heimstad, 2007)
Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum
inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi
uterus sehingga diharapkan terjadi persalinan atau penipisan dan dilatasi serviks
yang progresif disertai penurunan bagian presentasi janin. Tindakan induksi
persalinan ini adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan
dengan terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap
ibu dan janin tetap ada. (Heimstad, 2007)
Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa
keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan serviks
(favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan

23
menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang didapatkan
dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan keberhasilan
induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi serviks, (2)
penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5)
station dari bagian terbawah janin.

Tabel 3. Pelviks skor menurut Bishop. (Cunningham, et al., 2010)

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan


yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya menunjukkan keadaan serviks
yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan pematangan serviks yang
bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik
(kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping). (Cunningham, et al., 2010)
Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan
dalam bidang obstetri. (Heimstad, 2007) Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap
otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat
pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui
infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya
dilakukan dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang
dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan
kadar oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010) Terdapat berbagai macam metode
induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah
maupun dosis tinggi.

24
Tabel 4. Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2010)

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20


mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih tidak
didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan. Pemberian
dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin dengan reseptor
vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik atau hipertonik.
Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga meningkatkan risiko
terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus
yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40
mmHg atau lebih (200 Montevidio). (Cunningham, et al., 2010)

3. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion


Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm tergantung
pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal, harus dilakukan
evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan pertumbuhan. Pada kehamilan
postterm yang diperberat dengan komplikasi oligohidramnion harus dilakukan
pengawasan ketat karena tingginya risiko morbiditas janin. (Heimstad, 2007)
Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut beberapa
penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda. Chauhan dkk (1999) yang dikutip dari
(Cunningham, et al., 2010), melakukan penelitian terhadap lebih dari 10.500 ibu
hamil yang memiliki nilai AFI intrapartum <5 cm dibandingkan dengan kontrol
yang memiliki nilai AFI >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa risiko
seksio sesarea atas indikasi gawat janin pada kelompok oligohidramnion lebih
tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor APGAR 5 menit dibawah 7
pada kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995) yang

25
dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa hanya ibu paturien
postterm yang memiliki nilai AFI ≤5 cm yang mengalami deselerasi denyut jantung
janin dan aspirasi mekonium. (Cunningham, et al., 2010)
Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al., (2010)
melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI ≤ 5 cm tidak
berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga dengan Magann dkk
(1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko komplikasi intrapartum pada
kondisi oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin
postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan pengawasan ketat dan
sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan pelayanan operatif dan neonatal
yang memadai.
Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada kehamilan postterm
mencakup:
a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan janin.
Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat bermanfaat.
b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu terjadi
kegawatan janin
d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah neonatus
dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi
sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur mekonium.
e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas

26
Gambar 2. Skema penatalaksanaan kehamilan postterm. (Cunningham, et al., 2010)

27

Anda mungkin juga menyukai