Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Korosi

Menurut Trethewey (1991), Korosi di definisikan sebagai penurunan mutu logam akibat
reaksi elektrokimia dengan lingkungannya. Pada peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi,
sedangkan oksigen (udara) mengalami reduksi. Peristiwa korosi sendiri merupakan proses
elektrokimia, yaitu proses (perubahan / reaksi kimia) yang melibatkan adanya aliran listrik.
Bagian tertentu dari logam berlaku sebagai kutub negatif (elektroda negatif, anoda), sementara
bagian yang lain sebagai kutub positif (elektroda positif, katoda). Elektron mengalir dari anoda
ke katoda, sehingga terjadilah peristiwa korosi.

2.2 Baja Karbon

Baja karbon merupakan salah satu jenis baja paduan yang terdiri atas unsur besi (Fe) dan
karbon (C). Dimana besi merupakan unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya.
Dalam proses pembuatan baja akan ditemukan pula penambahan kandungan unsur kimia lain
seperti sulfur (S), fosfor (P), slikon (Si), mangan (Mn) dan unsur kimia lainnya sesuai dengan
sifat baja yang diinginkan. Baja karbon memiliki kandungan unsur karbon dalam besi sebesar
0,2% hingga 2,14%, dimana kandungan karbon tersebut berfungsi sebagai unsur pengeras dalam
struktur baja. Dalam pengaplikasiannya baja karbon sering digunakan sebagai bahan baku untuk
pembuatan alat-alat perkakas, komponen mesin, struktur bangunan, dan lain sebagainya.
Menurut pendefenisian ASM handbook vol.1:148 (1993), baja karbon dapat diklasifikasikan
berdasarkan jumlah persentase komposisi kimia karbon dalam baja yakni sebagai berikut:
a. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel)
Baja karbon rendah merupakan baja dengan kandungan unsur karbon dalam sturktur baja
kurang dari 0,3% C. Baja karbon rendah ini memiliki ketangguhan dan keuletan tinggi
akan tetapi memiliki sifat kekerasan dan ketahanan aus yang rendah. Pada umumnya baja
jenis ini digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan komponen struktur bangunan,
pipa gedung, jembatan, bodi mobil, dan lain-lainya.

b. Baja Karbon Sedang (Medium Carbon Steel)


Baja karbon sedang merupakan baja karbon dengan persentase kandungan karbon pada
besi sebesar 0,3% C – 0,59% C. Baja karbon ini memiliki kelebihan bila dibandingkan
dengan baja karbon rendah, baja karbon sedang memiliki sifat mekanis yang lebih kuat
dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi dari pada baja karbon rendah. Besarnya
kandungan karbon yang terdapat dalam besi memungkinkan baja untuk dapat dikeraskan
dengan memberikan perlakuan panas (heat treatment) yang sesuai. Baja karbon sedang
biasanya digunakan untuk pembuatan poros, rel kereta api, roda gigi, baut, pegas, dan
komponen mesin lainnya.
c. Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel)
Baja karbon tinggi adalah baja karbon yang memiliki kandungan karbon sebesar 0,6% C
– 1,4% C. Baja karbon tinggi memiliki sifat tahan panas, kekerasan serta kekuatan tarik
yang sangat tinggi akan tetapi memiliki keuletan yang lebih rendah sehingga baja karbon
ini menjadi lebih getas. Baja karbon tinggi ini sulit diberi perlakuan panas untuk
meningkatkan sifat kekerasannya, hal ini dikarenakan baja karbon tinggi memiliki jumlah
martensit yang cukup tinggi sehingga tidak akan memberikan hasil yang optimal pada
saat dilakukan proses pengerasan permukaan. Dalam pengaplikasiannya baja karbon
tinggi banyak digunakan dalam pembuatan alat-alat perkakas seperti palu, gergaji,
pembuatan kikir, pisau cukur, dan sebagainya.

2.3 Inhibitor Korosi

Inhibitor korosi merupakan suatu zat kimia yang bila ditambahkan ke dalam suatu
lingkungan, dapat menurunkan laju korosi yang terjadi pada lingkungan tersebut terhadap suatu
logam didalamnya. Pada prakteknya, jumlah yang di tambahkan adalah sedikit, baik secara
kontinu maupun periodik menurut suatu selang waktu tertentu (Gumelar, 2011). Inhibitor korosi
menurut bahan pembuatannya dibagi menjadi dua yaitu inhibitor dengan bahan baku alami dan
inhibitor buatan. Inhibitor alami yaitu inhibitor yang terbuat dari bahan organic yang dapat
diperbarui seperti contohnya tanaman dan buah-buahan (Kristian & Setyo, 2015).

2.4 Cocor Bebek

Tanaman cocor bebek memiliki beberapa sinonim, antara lain Brophyllum pinnatum,
Brophyllum calycinum, C. calyculata, C.pinnata, C. rhizophilla, Crassuvia floripendia, Crassula
pinnata, Sedum madagascariense, Verea pinnata (Majaz dkk.,2011). Tanaman cocor bebek memiliki
batang yang lunak dan beruas. Daunnya tebal berdaging dan mengandung banyak air. Warna daun
hijau muda, kadang-kadang abu-abu, bunga majemuk, dan buah kotak (Bangun, 2012). Cocor
bebek dalam bahasa latin bernama Kalanchoe pinnata. Klasifikasi dari tanaman cocor bebek
adalah sebagai berikut (United States Department of Agriculture).

A. Sistematika Tumbuhan

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Subclass : Rosidae
Order : Rosales
Family : Crassulaceae
Genus : Kalanchoe Adans.
Species : Kalanchoe pinnata
B. Kandungan Kimia
Daun Cocor Bebek memiliki kandungan yaitu flavonoid, saponin dan tannin. Flavanoid
berfungsi sebagai antinflamasi, antibakteri, antioksidan. Saponin berfungsi sebagai
pembersih atau antiseptik sedangkan Tanin berfungsi sebagai astringen yang dapat
menghentikan eksudat (Harrborne, 1987).

2.5 Ekstraksi

Ekstraksi adalah pemisahan zat target dan zat yang tidak berguna dimana teknik
pemisahan berdasarkan perbedaan distribusi zat terlarut antara dua pelarut atau lebih yang saling
bercampur. Pada umumnya, zat terlarut yang diekstrak bersifat tidak larut atau sedikit larut
dalam suatu pelarut tetapi mudah larut dengan pelarut lain (Harbone, 1987).
2.5.1 Maserasi

Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Cara ini sesuai,
baik untuk skala kecil maupun skala industri.(Agoes, 2007). Metode ini dilakukan dengan
memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat
pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi
senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut
dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah
memakan banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan terdapat
beberapa senyawa yang hilang.

2.6 Pelarut

Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi dapat dikelompokkan berdasarkan


konstanta dielektrik yang mengacu pada polaritas. Pelarut dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:

a. Pelarut Polar
Pelarut polar mengandung molekul-molekul dipolar yang kuat dan memiliki ikatan
hidrogen. Pelarut ini memiliki nilai konstanta dielektrik yang tinggi. Pelarut polar
umumnya melarutkan solut polar (Baki & Alexander, 2015). Metanol, etanol, 1-propanol,
dimetil eter, formaldehida, asetaldehida, aseton, merupakan pelarut polar (R. J. Fessenden
& J. S. Fessenden, 1986).

b. Pelarut Semi polar


Pelarut semi polar juga terdiri dari molekul-molekul dipolar yang kuat, namun tidak
membentuk ikatan hidrogen (Baki & Alexander, 2015). Yang termasuk dalam kelompok
pelarut semi polar diantaranya 1-butanol, dietil eter, propionaldehida, metil etil keton, dan
lain-lain (R. J. Fessenden & J. S. Fessenden, 1986).

c. Pelarut Non polar


Pelarut non polar mengandung sedikit atau tidak ada molekul dipolar. Pelarut ini
memiliki nilai konstanta dielektrik yang rendah. Pelarut non polar melarutkan molekul
non polar (Baki & Alexander, 2015). Benzena dan aromatik lain, asetofenon, benzofenon
termasuk dalam pelarut non polar (R. J. Fessenden & J. S. Fessenden, 1986).
Index polaritas berbagai macam pelarut disajikan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Index polaritas pelarut
Solven Index Polaritas Solven Index Polaritas
n-Decane -0,3 Isopropanol 4,3
Isooctane -0,4 Chloroform 4,3

n-Hexane 0,0 Acetophenone 4,4

Cyclohexane 0,0 Methyl Ethyl Ketone 4,5

Carbon Disulfide 1,0 Cyclohexanone 4,5

Butyl Ether 1,7 Nitrobenzene 4,5

Carbon Tetrachloride 1,7 Benzonitrile 4,6

Triethylamine 1,8 Dioxane 4,8

Isopropyl Ether 2,2 Tetramethyl Urea 5,0

Toluene 2,3 Dietylene Glycol 5,0

p-Xylene 2,4 Ethanol 5,2

Chlorobenzene 2,7 Pyridine 5,3

Phenyl Ether 2,8 Ethylene Glycol 5,4

Ethyl Ether 2,9 Acetone 5,4

Ethoxybenzene 2,9 Tetramethyl Guanidine 5,5

Benzene 3,0 Methoxyethanol 5,7

n-Octanol 3,2 Propylene Carbonate 6,0

Fluorobenzene 3,3 Aniline 6,2

Benzyl Ether 3,3 Acetonitrile 6,2

Methylene
Sumber: Modern Chloride
Methods 3,4
of Pharmaceutical Analysis 2nd Edition Methyl
Volume Formamide
II. 1990 6,2

Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar sedangkan pelarut non polar akan melarutkan
senyawa yang bersifat non polar (Pomeranz & Meloan, 1994). Dalam pemilihan jenis pelarut,
pelarut harus mempunyai daya larut yang tinggi dan tidak berbahaya atau beracun. Pelarut yang
bersifat polar maupun semi polar umum digunakan untuk mengekstrak senyawa polifenol dari
tanaman. Pelarut yang sering digunakan yaitu aquades, etanol, metanol, aseton, dan etil asetat
(Sultana dkk., 2009). Karakteristik pelarut tersebut diantara lain:

a. Akuades (Dirjen POM, 1979).


 Nama Resmi : Aqua destilata.
 Nama Lain : air suling
 Rumus Molekul : H2O
 Berat molekul : 18
 Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa
 Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik.
 Kegunaan : sebagai pelarut.

b. NaCl (FI.Ed.III hal. 403).


 Nama Resmi : Natrium Chloridum
 Nama Lain : Natrium klorida
 Berat Molekul : 32.04 g/mol
 Rumus Molekul : NaCl
 Pemerian : Hablur bentuk kubus, tidak berwarna atau serbuk
hablur putih; rasa asin.
 Kelarutan : Mudah larut dalam air; sedikit lebih mudah larut dalam air
mendidih; larut dalam gliserin; sukar larut dalam etano
 Penyimpanan : Dalam Wadah Tertutup baik
 Khasiat : Hemodialisis
 Kegunaan : Sebagai Sampel

c. Asam asetat (Dirjen POM, 1979).


 Nama resmi : Acidum aceticum
 Nama lain : Cuka
 Berat molekul : 60,05 g/mol
 Rumus molekul : C2H4O2
 Pemerian : cairan jernih; tidak berwarna, bau menusuk, rasa asam, tajam
 Kelarutan : dapat campur dengan air, dengan etanol (95%), dan dengan
gliserol.
 Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat
 Khasiat : zat tambahan.

d. Etil asetat

 Nama resmi : Acidum aceticum


 Nama lain : Cuka
 Berat molekul : 60,05 g/mol
 Rumus molekul : C2H4O2
 Pemerian : cairan jernih; tidak berwarna, bau menusuk, rasa asam, tajam
 Kelarutan : dapat campur dengan air, dengan etanol (95%), dan dengan
gliserol.
 Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat
 Khasiat : zat tambahan.

e. Metanol (Dirjen POM, 1979).

 Nama Resmi : Metil Alkohol


 Nama Lain : Metanol, Hidroksimetana, Metil alkohol, Metil hidrat,
Alkohol kayu, Karbinol.
 Berat Molekul : 32.04 g/mol
 Rumus Molekul : CH3OH
 Pemerian : Pada “keadaan atmosfer” ia berbentuk cairan yang ringan,
mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan
beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada
etanol).
 Kegunaan : sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan
sebagai bahan additif bagi etanol industri.

f. n-Heksan (Dirjen POM, 1979).

 Nama : n-heksana
 Berat molekul : 86.18 g/mol
 Rumus molekul : C6H14
 Pemerian : cairan tak berwarna, dapat dibakar
 Kegunaan : pelarut organik

2.7 Mekanisme Proteksi Korosi

Mekanisme proteksi ekstrak bahan alam terhadap besi/baja dari serangan korosi diperkirakan
hamper sama dengan mekanisme proteksi oleh inhibitor organik. Reaksi yang terjadi antara
logam Fe2+ dengan medium korosif air laut yang mengandung ion-ion klorida yang terurai dari
NaCl, MgCl2, KCl akan bereaksi dengan Fe dan diperkirakan menghasilkan FeCl2. Jika ion
klorida yang bereaksi semakin besar, maka FeCl2 yang terbentuk juga akan semakin besar,
seperti tertulis dalam reaksi berikut :
NaCl  Na+ + Cl-
MgCl2  Mg2 + 2Cl-
KCl  K+ + Cl-
Ion klorida pada reaksi diatas akan menyerang logam besi (Fe) sehingga besi akan terkorosi
menjadi :
2Cl- + Fe3+  FeCl3
Dan reaksi antara Fe2+ dengan inhibitor ekstrak bahan alam menghasilkan senyawa kompleks.
Inhibitor ekstrak bahan alam yang mengandung nitrogen mendonorkan sepasang elektronnya
pada permukaan logam mild steel ketika ion Fe2+ terdifusi ke dalam larutan elektrolit, reaksinya
adalah:
Fe  Fe2+ + 2e- (melepaskan elektron) dan
Fe2+ + 2e-  Fe (menerima elektron).

Gambar 2.1 Mekanisme Proteksi

Produk yang terbentuk di atas mempunyai kestabilan yang tinggi dibanding dengan Fe
saja, sehingga sampel besi/baja yang diberikan inhibitor ekstrak bahan alam akan lebih tahan
(terproteksi) terhadap korosi. (Haryono et al, 2010)

2.8 Analisis Produk, Perhitungan Laju Korosi dan Efisiensi Inhibisi

2.8.1 Analisis Produk

Metode DPPH digunakan untuk analisis produk yang dilakukan pada aktivitas
antioksidan pada setiap ekstrak dari proses maserasi, metode ini merupakan salah satu metode
yang paling umum dalam analisis aktivitas antioksidan yang dilakukan pada ekstrak.
Uji Tanin dilakukan pada penentuan konsentrasi ekstrak daun cocor bebek. Tanin
merupakan senyawa umum yang memiliki gugus fenol dan memiliki rasa sepat (Khotimah,
2016). Tanin terdiri dari sekelompok zat-zat kompleks yang dalam tumbuh-tumbuhan, antara lain
terdapat pada bagian kulit kayu, batang, daun, dan buah-buahan. Menurut Susanti (2000), tanin
secara umum memiliki gugus fenol dan bersifat koloid. Semua jenis tanin dapat larut dalam air
dengan kelarutan yang besar dan akan bertambah besar apabila dilarutkan dalam air panas.
Begitu pula dalam pelarut organik seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya.
Tanin dapat terurai pada suhu 98,8oC dan dapat dihidrolisis oleh asam, basa, dan enzim
(Sujarnoko, 2012).

Menurut Howell (2004), tanin diklasifikasikan menjadi dua golongan metabolisme, yaitu tanin
terkondensasi (proantosianidin) dan tanin terhidrolisis (galotanin). Menurut Harbone (1987),
tanin terkondensasi terdapat di dalam paku-pakuan gimnospermae serta tersebar luas dalam
angiospermae, terutama pada jenis tumbuh-tumbuhan berkayu. Sebaliknya tanin terhidrolisis
penyebarannya terbatas pada angiospermae (Ashari, 2013:9).
Secara kualitatif dilakukan skrining fitokimia, metode skrining fitokimia dilakukan
dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna (Khotimah,
2016). Menurut Harborne (1996), ekstrak sampel yang mengandung senyawa tanin akan
membentuk warna biru tua atau hijau kehitaman setelah direaksikan dengan FeCl3 1%
(Mabruroh, 2015). Sedangkan secara kuantitatif kadar tanin dapat diperoleh dengan metode
titrasi menggunakan titran KMnO4. Tanin akan dioksidasi oleh KMnO4 dan jumlah tanin dihitung
berdasarkan kesetaraan 1 mL larutan asam oksalat 0,1 N dengan 0,0046 gram tanin (Muchtadi
dkk., 2013).

2.8.2 Uji Korosi

Ekstrak daun cocor bebek dilakukan uji korosi untuk mengidentifikasi kemampuan
inhibisi. Kemampuan inhibisi ekstrak daun cocor bebek dapat dilihat dari laju korosi baja karbon
dalam larutan NaCl 3,56%. Laju korosi adalah banyaknya korosi yang terjadi dalam satuan
waktu (Groysman, 2009). Ada berbagai metode perhitungan laju korosi, salah satunya adalah
metode kehilangan berat. Metode kehilangan berat adalah perhitungan laju korosi yang
didasarkan pada kehilangan berat logam akibat korosi yang terjadi.

Perhitungan laju korosi dengan metode kehilangan berat dirumuskan sebagai berikut:

r = (m / A x t x ρ) x (1000 mil / 2,54 cm) x (8760 jam / 1 tahun)……………………..2.3

Keterangan: r = laju korosi (mpy)

m = berat yang hilang (gram)

A = luas permukaan logam (cm2)

t = waktu (jam)

ρ = densitas logam (gram/cm3)

Kemampuan inhibisi senyawa antioksidan dirumuskan sebagai berikut:

y = (ro-ri)/ro……………………………………………………………………………2.4

Keterangan: y = efisiensi inhibitor (%)


ro = laju korosi tanpa inhibitor (mpy)

ri = laju korosi dengan inhibitor (mpy)

Anda mungkin juga menyukai