Anda di halaman 1dari 20

I.

KONSEP DASAR MEDIS


A. DEFINISI TRAUMA BRAIN INJURY
Trauma Brain Injury atau cedera kepala merupakan trauma mekanik
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun permanent
(PERDOSI,2007)
Trauma Brain Injury adalah salah satu bentuk trauma yang dapat
mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik,
intelektual, emosional, gangguan traumatik yang dapat menimbulkan
perubahan-perubahan fungsi otak (Pedoman Penaggulangan Gawat
Darurat Ems 119 Jakarta, 2008).
Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan
perlambatan (accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk
dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan
penurunan percepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan
juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti,
2009).
B. ANATOMI FISIOLOGI

1
1. Kulit Kepala (SCALP)
Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika à jaringan ikat berhubungan
langsung dengan tengkorak.
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar à Merupakan
tempat terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
e. Perikranium
2. Tulang Tengkorak
Terdiri dari Kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar
dibagi 3 fosa :
a. Anterior atau tempat lobus frontalis.
b. Media atau tempat lobus temporalis.
c. Posterior tempat batang otak bawah dan serebelum.
3. Meningen
Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :
a. Durameter
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat
dengan tabula interna atau bagian dalam kranium namun tidak
melekat pada selaput arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat
ruangan potensial disebut ruang subdural yang terletak antara
durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior
digaris tengah disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
serta menyebabkan perdarahan subdural. Durameter membelah
membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu :
sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transverses dan sinus sigmoideus. Perdarahan akibat sinus cedera
1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena
dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial.

2
Arteri-arteri meningen terletak pada ruang epidural, dimana
yang sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang
terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan perdarahan
epidural.
b. Arachnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan
serabut kolagen. Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen,
yaitu lapisan yang berhubungan dengan durameter dan suatu sistem
trabekula yang menghubungkan lapisan tersebut dengan piameter.
Ruangan diantara membentuk ruang subarachnoid yang berisi
cairan serebrospinal dan sama sekali dipisahkan dari ruang
subdural. Pada beberapa daerah, arachnoid melubangi durameter,
dengan membentuk penonjolan yang membentuk trabekula di
dalam sinus venous durameter. Bagian ini dikenal dengan vilus
arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke
daerah sinus venous.
Arachnoid merupakan selaput tipis dan transparan.
Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara arachnoid dan
piameter terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk
melindungi otak bila terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter
kadang-kadang disebut sebagai leptomeninges.
c. Piameter
Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan
serebro spinal bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam
ruang subarahnoid. Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya
aneurysma intra cranial.
4. Otak
a. Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan durameter yang berada di inferior sinus
sagitalis superior. Hemisfer kiri terdapat pusat bicara.

3
b. Serebelum
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak
dalam fosa posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang
otak dan kedua hemisfer serebri.
c. Batang otak
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi
dalam kesadaran dan kewaspadaan, serta medulla oblongata yang
memanjang sampai medulla spinalis.
d. Cairan Serebrospinalis
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL
per menit atau sekitar 500 mL per 24 jam . Sebagian besar
diproduksi oleh oleh pleksus koroideus yang terdapat pada
ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel
lateralis dan ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total
volume cairan serebrospinal pada orang dewasa sekitar 120 mL
Cairan serebrospinal setelah diproduksi oleh pleksus koroideus
akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian melalui foramen
interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III , kemudian masuk ke
dalam ventrikel IV melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2
foramen Luschka di sebelah lateral dan 1 foramen Magendie di
sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid, melalui
granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater kemudian
masuk ke aliran vena
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan
serebrospinal melebihi jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila
terdapat produksi cairan serebrospinal yang berlebihan,
peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous
sinus. Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular
absorption, dural absorption, nerve root sleeves absorption dan
unrepaired meningocoeles. Pelebaran ventrikel pertama biasanya
terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali asimetris,

4
keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum,
penegangan atau perforasi dari septum pellucidum, penipisan dari
cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah bawah hingga
fossa pituitary (menyebabkan pituitary disfunction).
e. Tentorium
Tentorium serebri membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
1) Supratentorial yang berisi fosa kranii anterior
2) Infratentorial yang berisi fosa kranii posterior
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri
dan batang otak (pons dan medulla oblongata) berjalan melalui
celah tentorium serebeli disebut insisura tentorial. Nervus
okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila
tertekan oleh masa atau edema otak akan menimbulkan
herniasi. Serabut2 parasimpatik untuk kontraksi pupil mata
berada pada permukaan n. okulomotorius. Paralisis serabut ini
disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila
penekanan berlanjut menimbulkan deviasi bola mata kelateral
dan bawah.
Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral
dikenal sindrom klasik herniasi tentorium. Umumnya
perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang sama dengan
sisi pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu.
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
(GCS):
1. Minor
a. GCS 13-15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.
c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur
d. cerebral, hematoma.

5
2. Sedang
a. GCS 9-12
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam.
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
a. GCS 3-8
b. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.
Klasifikasi berdasarkan morfologinya menurut mufti (Mufti, 2009),
terdiri dari :
1. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam
jaringan otak dan melukai durameter, saraf otak, jaringan otak dan
terdapat tanda dan gejala dari fraktur basis trauma kepala terbuka yaitu :
a. Battle sign (warna biru dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotimpanum (perdahan didaerah gendang telinga).
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung).
d. Rinhorrhoe (liquor keluar dari hidung).
e. Othorrhoe (liquor keluar dari telinga).
2. Trauma kepala tertutup.
a. Komosio
1) Cedera kepala ringan.
2) Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
3) Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit.
4) Tanpa kerusakan otak permanen.
5) Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
6) Disorientasi sementara.
7) Tidak ada gejala sisa
b. Konkusio.

6
1) Ada memar otak.
2) Perdarahan kecil lokal/difusi.
3) Perdarahan
Gejalanya :
1) Gangguan kesadaran lebih lama.
2) Kelainan neurologis positif, reflek patologik positif, lumpuh,
konvulsiv.
3) Gejala TIK meningkat.
4) Amnesia lebih nyata
c. Hematoma epidural
1) Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter.
2) Lokasi tersering temporal dan frontale.
3) Pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus
Gejalanya :
1) Adanya desak ruang.
2) Penurunan kesadaran ringan saat kejadian.
3) Penurunan kesadaran hebat.
4) Koma.
5) Nyeri kepala hebat.
6) Reflek patologik positif
d. Hematoma subdural
1) Perdarahan antara durameter dan arachnoid.
2) Biasanya pecah vena, akut, subakut, dan kronis.
3) Akut = gejala 24-48 jam, sering berhubungan dengan cedera otak
dan medula oblongata, tekanan intrakranial meningkat, sakit
kepala, mengantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil
lambat.
4) Subakut = berkembang 7-10 hari, konkusio agak lambat, adanya
gejala TIK meningkat, kesadaran menurun.
5) Kronis = perdarahan kecil terkumpul dan meluas, sakit kepala,
lethargi, kacau mental, kejang, disfagia

7
e. Hematoma intrakranial.
1) Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih.
2) Selalu diikuti oleh konkusio
D. ETIOLOGI
Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani
(2001), yaitu :
1. Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil.
2. Jatuh.
3. Kecelakaan saat olahraga.
4. Cedera akibat kekerasan.
Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma
kepala terdiri dari :
1. Benda tajam.
2. Benda tumpul.
3. Peluru.
4. Kecelakaan lalu lintas
Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala
yaitu:
1. Olah raga.
2. Jatuh.
3. Kecelakaan kenderaan bermotor.
E. PATOFISIOLOGI
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala.
Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan
(deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar

8
dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi
pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada
substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala
“fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya
untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan
dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom
intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar
dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam
empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak.
Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang
otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak,
atau dua-duanya.
F. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Hoffman (1996) dan Widyaningrum (2008), manifestasi
klinis dari cedera kepala adalah :
1. Tanda dan gejala fisik :
a. Nyeri kepala.
b. Nausea

9
2. Tanda dan gejala kognitif :
a. Gangguan memori.
b. Gangguan perhatian dan berfikir kompleks
3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian :
a. Kecemasan.
b. Iritabilitas
4. Gambaran klinis secara umum :
a. Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran.
b. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal.
c. Respon pupil mungkin lenyap.
d. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan
peningkatan tekanan intracranial.
e. Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK.
f. Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
G. KOMPLIKASI
Menurut Engram. B (1998), komplikasi dari cedera kepala adalah :
1. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK).
2. Perdarahan.
3. Kejang.
4. Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak
beresiko terhadap bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung
(rinorea) dan dari telinga (otorea).
5. Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Mufti (2009), pemeriksaan diagnostik pada cedera kepala
adalah :
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras).
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel
dan perubahan jaringan otak.

10
2. MRI (magnetig resonan imaging)
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Serebral angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan
otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma .
4. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
5. CSF, lumbal fungsi
Jika diduga perdarahan sub arachnoid
6. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intracranial.
7. Scree toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
8. AGDA (analisa gas darah arteri)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial.
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Abdale (2007), penatalaksanaan medis pada cedera kepala
adalah :
1. Dexamethason/kalmethason.
Sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat
ringannya trauma.
2. Therapy hiperventilasi.
Untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika.
a. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol
20% atau glukosa 40% atau gliserol 10%.

11
b. Antibiotika yang mengandung Barrier darah otak (penisilin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.
Pada pasien trauma ringan bila mual muntah tidak dapat diberikan
apapun kecuali hanya cairan infus dekstrosa 5%, aminofusin, aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
a. Pembedahan
Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak
cairan, dektosa 5% 8 jam pertama, ringer dekstrose 8 jam kedua dan
dektrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya apabila kesadaran
rendah, makanan diberikan melalui nasogastrictube (2500-3000
TKTP).
b. Pemberian protein tergantung nilai urea nitrogen.

II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


A. Primary Survey
1. Airway
Pengkajian :
a. Kaji adanya benda asing, sekret, sputum, cairan pada saluran
pernapasan.
b. Kaji apakah lidah jatuh ke belakang sehubungan dengan penurunan
kesadaran.
Dx : Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b/d adanya
benda asing
Tujuan : bersihan jalan nafas efektif, tidak ada sumbatan.
Kriteria hasil : tidak ada penumpukan sputum/sekret pada saluran
pernafasan.
Intervensi dan rasional :
a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan nafas.
R/ obstruktif dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan,
bronchospasme, atau masalah terhadap tube.

12
b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap jam)
R/ pergerakan yang simetris dan suara nafas yang bersih indikasi
pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan
sputum.
c. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan posisi miring sesuai
indikasi.
R/ untuk memudahkan ekpansi paru/ventilasi paru dan
menurunkan kemungkinan adanya lidah jatuh yang dapat
menyumbat jalan nafas.
d. Anjurkan pasien untuk melakukan pernapasan dalam jika pasien
sadar.
R/ mencegah atau menurunkan ateletaksis.
e. Auskultasi suara nafas. Perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya
suara-suara nafas yang tidak normal.
R/ untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti ateletaksis,
obstruktif jalan nafas yang membahayakan oksigenasi.
f. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila
sputum banyak.
R/ pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi
untuk mencegah hipoksia.
g. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam.
R/ peningkatan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan
kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
2. Breathing
Pengkajian :
a. Kaji frekuensi pernapasan.
b. Kaji suara nafas. Apakah ada suara nafas tambahan seperti
wheezing, ronchi, atau ralez.
c. Kaji gerakan dada. Apakah simetris atau tidak.
d. Kaji irama pernafasan. Apakah teratur atau tidak, dangkal atau
dalam.

13
e. Lakukan perkusi bila memungkinkan.
f. Auskultasi suara nafas.
Dx : Tidak efektifnya pola nafas b/d depresi pada pusat
nafas di otak.
Tujuan :
- Pola nafas kembali efektif.
- Ekspansi paru maksimal.
Kriteria hasil :
- Frekuensi pernafasan 16-20 X/menit
- Tidak ada suara nafas tambahan.
- Irama pernaasan teratur.
Intervensi dan rasional :
a. Hitung pernapasan dalam 1 menit.
R/ pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis
respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2
dan menyebabkan asidosis respiratorik.
b. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi.
R/ pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi,
tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya
udara terhadap gangguan pertukaran gas.
c. Cek ventilasi setiap waktu (15 menit)
R/ adanya obstruktif dapa menimbulkan tidak adekuatnya
pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak
adekuat.
d. Siapkan ambu bag tetap berada pada dekat pasien.
R/ membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila ada
gangguan pada ventilator.
e. Beri oksigen.
R/ memaksimalkan oksigen darah dalam arteri dan mencegah
hipoksia.

14
3. Circulation
Pengkajian :
a. Kaji TTV (suhu, nadi, tekanan darah)
b. Kaji apakah ada sianosis.
c. Kaji apakah ada perdarahan pada daerah cedera. Kaji jumlah
perdarahan.
d. Kaji apakah ada mual dan muntah
Dx : Gangguan perfusi jaringan otak b/d edema otak.
Tujuan : perfusi jaringan otak memadai.
Kriteria hasil :
- Suhu 36-37,5 ˚ C
- TD 120/80 mmHg
- Nadi 60-100 X/menit
Intervensi dan rasional :
a. Monitorr TTV tiap 30 menit.
R/ Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan
tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap
adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi.
Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.
b. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
R/ Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan
vena jugularis dan menghambat aliran darah otak,untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan. Pertahankan
pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.
R/ Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial.
c. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
R/ kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.

15
d. Beri oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
R/ dapat menurunkan hipoksia otak.
e. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar.R/
membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia
seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak
sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason)
untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat
anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan
rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial.
Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan
pemakaian oksigen otak.
4. Disability
Pengkajian :
a. Pada pasien dengan trauma kepala sedang sampai berat dapat
mengalami penurunan kesadaran. Namun pada pasien dengan
cedera kepala sedang mengalami penurunan kesadaran kurang dari
24 jam (GCS 9-12), sedangkan pada pasien cedera kepala berat
dapat mengalami koma (GCS 3- 8).
b. Dilatasi pupil dapat terjadi akibat peningkatan tekanan atau
menyebarnya bekuan darah pada otak sehingga mendesak otak
tepatnya di korteks serebri pada lobus oksipital.
c. Kejang dapat terjadi akibat kerusakan lobus frontalis dan juga
akibat dari manifestasi klinis peningkatan TIK.
Dx : Resiko injury b/d penurunan kesadaran
Tujuan : mencegah terjadinya resiko injury sehubungan dengan
penurunan kesadaran.
Kriteria hasil : Pasien tidak mengalami injury.Intervensi dan rasional
a. Berikan posisi dengan kepala lebih tinggi.
R/ Memonilisasi rangsangan yang dapat meningkatkan TIK
b. Kaji tanda-tanda penurunan kesadaran.
R/ Menentukan tindakan keperawatan selanjutnya

16
c. Observasi TTV
R/ Mengetahui keadaan pasien
d. Atur posisi pasien untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
R/ Perubahan posisi secara teratur menyebabkan penyebaran
terhadap BB dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh bagian
tubuh
e. Beri bantuan untuk melakukan latihan gerak.
R/ melakukan mobilisasi fisik dan mempertahankan kekuatan
sendi
5. Exposure
Pengkajian :
a. Kaji adanya luka atau jejas pada daerah cedera.
b. Kaji tanda-tanda infeksi pada daerah cedera terutama cedera
terbuka
Dx : Resiko infeksi b/d adanya trauma terbuka.
Tujuan : meminimalkan terjadinya infeksi
Kriteria hasil :
- Tidak terjadinya infeksi.
- Tidak terjadi demam akibat infeksi.
- Mencegah syok septik.
Intervensi dan rasioal :
a. Berikan perawatan antiseptic dan aseptic. Pertahankan teknik cuci
tangan yang baik.
R/ Cara pertama menghindari terjadinya infeksi nasokomial.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan.
R/ deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan melakukan
tindakan segera.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur.
R/ dapat mengidentifikasi perkembangan sepsis.
d. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi.

17
R/ menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman penyebab
penyakit.
e. Berikan antibiotic sesuai indikasi
R/ menurunkan perkembangan bakteri dan mencegah infeksi
nasokomial.
f. Ambil bahan pemeriksaan sesuai indikasi.
R/ memastikan adanya infeksi.
B. Secondary survei
1. Kaji riwayat trauma.
- Mekanisme trauma.
- Posisi klien saat ditemukan.
- Memori.
2. Pengkajian head to toe.
3. Pantau tanda-tanda vital
C. EVALUASI
1. Bersihan jalan napas kembali efektif, pasien terbebas dari aspirasi.
2. Ekspansi paru maksimal, pola napas efektif.
3. Tidak terdapat tanda-tanda syok.
4. Tidak terjadi penurunan kesadaran/disorientasi.
5. Perfusi jaringan serebral adekuat.
6. Tanda-tanda vital kembali normal.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdale. (2007). Trauma Kepala.


Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Doenges, moorhouse, geissler. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
EMS 119. 2008, Pedoman Penanggulangan Gawat Darurat. Jakarta : EMS 119
Engram, Barbara, C. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, alih
Bahasa Monika Ester, Volume 3 EGC. Jakarta.
Hoffman, M.A. (1996). Tanda dan gejala Traumatic Brain Injury. USA : Guilford
Press.
Mufti, A. (2009). Cedera Kepala.
PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3
November 2007. Pekanbaru Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam
: The Clinical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing 5th
edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkins, 2003
Sjamsuhidajat, R & Wim, de Jong (ed). 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta :
EGC
Suardi, Rita Yuliani 2001. Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Dalam. Edisi 1.
Jakarta: Agung Setia.

19
Pathway Trauma Brain Injury

Trauma Brain
Injury

Ekstra kranial Tulang Kranial Intra kranial

Terputusnya Jaringan otak


Terputusnya
kontunitas rusak
kontinitas
jaringan kulit
jaringan
otot dan vaskuler
Edema serebral

Gangguan suplai Peleparan


darah neurotransmiter

Iskemia Menyentuh
ujung saraf
Hipoksia eferan

Perubahan Melalui proses


perfusi jaringan transduksi

Perubahan Transmisi
perfusi
jaringan Otak
Modulasi
Transmisi

Nyeri Akut

20

Anda mungkin juga menyukai