Anda di halaman 1dari 2

Serba Serbi BPJS Kesehatan: Problematika

dan Saran Solusi


9 Oktober 2017 15:02 Diperbarui: 9 Oktober 2017 15:31 11709 3 0

Sejumlah persoalan masih dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Beberapa persoalan yang akan penulis sampaikan pada kesempatan ini yaitu persoalan yang
berkaitan dengan kepesertaan, biaya operasional, dan pelayanan.

Pertama, dalam hal kepesertaan, penulis menemukan setidaknya sampai saat ini terdapat dua
wujud fisik kartu yang berbeda, yakni kartu yang didominasi logo dan tulisan BPJS Kesehatan
serta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan kartu yang didominasi tulisan Kartu Indonesia
Sehat, disertai logo dan tulisan BPJS Kesehatan dengan ukuran yang lebih kecil. "Dualisme"
kartu kepesertaan BPJS Kesehatan bisa memunculkan diskriminasi pelayanan. Pemegang Kartu
Indonesia Sehat (KIS) pasti adalah warga miskin yang iuran kepesertaannya dibayar oleh
pemerintah (penerima bantuan iuran/PBI) yang dialokasikan dalam APBN.

Seperti diketahui KIS, merupakan salah satu dari tiga "kartu sakti" yang dijanjikan Joko Widodo
(Jokowi) diberikan kepada rakyat miskin saat kampanye Pilpres 2014. KIS diluncurkan saat
program pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin dengan nama Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
diintegrasikan ke BPJS Kesehatan dan diberi nama baru sebagai Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) masih berlaku. Tak heran bila saat ini masih dijumpai warga miskin yang berobat
menggunakan KIS, kartu BPJS Kesehatan, bahkan mungkin kartu Jamkesmas.

Kalau selama ini kita masih menjumpai perlakuan diskriminatif terhadap peserta BPJS
Kesehatan dengan pasien asuransi swasta, apalagi pasien yang membayar tunai, belakangan ini
muncul juga diskriminasi terhadap peserta BPJS Kesehatan yang membayar iuran secara mandiri
dan PBI. Oleh karena itu, kita mengusulkan agar BPJS Kesehatan hanya menerbitkan satu jenis
kartu untuk pesertanya, baik yang mandiri maupun PBI.

Kedua, masalah biaya operasional. Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari media onine,
bahwa pada tahun 2014, biaya operasional, terutama klaim dari ribuan fasilitas pelayanan
kesehatan mencapai Rp 42,65 triliun, sedangkan premi yang diterima hanya Rp 40 triliun atau
terjadi defisit sekitar Rp 2,6 triliun. Tahun ini diperkirakan BPJS mengalami defisit lebih besar
lagi, yakni Rp 6 triliun. Salah satu penyebab defisit adalah perilaku curang dari sebagian peserta.
Mereka buru-buru menjadi peserta dan membayar iuran saat sedang sakit dan langsung mendapat
pelayanan. Tak tanggung-tanggung, penyakit yang diderita tergolong berat, sehingga biaya
perawatan dan pengobatannya mencapai belasan juta hingga puluhan juta rupiah, sementara
iuran yang dibayar hanya puluhan ribu atau ratusan ribu rupiah.
Ketiga, masalah pelayanan. Berdasarkan data yang sering penulis temui di tempat penyedia jasa
pelayanan kesehatan, masalah pelayanan adalah masalah yang paling banyak dikeluhkan peserta
maupun penyedia jasa pelayanan kesehatan. Dari sisi pasien, sering kali terdengar keluhan
bahwa mereka mendapat pelayanan yang kurang menyenangkan, bila dibanding sesama pasien
yang membayar tunai atau menjadi peserta asuransi swasta. Pemeriksaan dilakukan terburu-buru
dan diobati seadanya. Tak jarang, pasien masih harus mengeluarkan sejumlah uang karena obat
tertentu tidak di-cover oleh BPJS Kesehatan.

Dari sisi pelayan kesehatan, khususnya dokter, terdengar keluhan imbal jasa yang sangat minim,
tak sebanding dengan tenaga dan keahlian mereka. Sedangkan dari penyedia fasiltas kesehatan,
khususnya rumah sakit, hingga kini masih saja ada laporan tentang pembayaran klaim yang tak
tepat waktu.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, penulis menyarankan kepada BPJS Kesehatan untuk
melakukan perbaikan sejumlah peraturan, memperbaiki pelayanan kepada pasien dan lebih
menghargai dokter. Bahkan, kalau memang besaran iuran yang berlaku saat ini dinilai kurang
memadai dan harus ditingkatkan, hendaknya disampaikan kepada pemerintah dan DPR. Bila
kenaikan iuran dianggap tindakan tidak populer, pemerintah bisa mengalokasikan lebih banyak
dana ke BPJS Kesehatan, termasuk menambah jumlah PBI, sejalan dengan peningkatan
signifikan anggaran kesehatan pada belanja APBN.

Kramat Jati, 9 Oktober 2017

Anda mungkin juga menyukai