Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN SIROSIS HEPATIS

DI POLI PENYAKIT DALAM RSUD Dr. HARYOTO LUMAJANG

LAPORAN PENDAHULUAN APLIKASI KLINIS

oleh:

Noti Talia Meidiyah

NIM 162310101015

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

2019
A. KONSEP TEORI TENTANG PENYAKIT

1. Anatomi fisiologi
Hati merupakan kelenjar aksesori terbesar, berwarna cokelat, dan terletak
di sebelah kanan atas rongga perut di bawah diafragma. Beratnya 1.000-1.800
gram. Hati terbagi menjadi lobus sinistra, lobus dextra, lobus kaudatus, dan
lobus kuadratus. Hati dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul
glisson dan dibungkus peritorium pada sebagian besar keseluruhan
permukaannnya. Hati disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : Vena porta
hepatica yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan nutrien seperti
asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan mineral dan
Arteri hepatica, cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.

Sel–sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel
makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak).
Sel hepatosit berderet dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2
sel serupa dengan susunan bata. Celah diantara lempeng-lempeng ini
mengandung kapiler yang disebut sinusoid hati (Junquiera et al., 2007).

Sinusoid hati adalah saluran yang berliku–liku dan melebar,


diameternya tidak teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh.
Sinusoid dibatasi oleh 3 macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti
pipih gelap, sel kupffer yang fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelat atau
sel Ito atau liposit hepatik yang berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan
memproduksi matriks ekstraseluler serta kolagen. Hati disuplai oleh dua
pembuluh darah yaitu : Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan
usus, yang kaya akan nutrien seperti asam amino, monosakarida, vitamin
yang larut dalam air, dan mineral dan Arteri hepatica, cabang dari arteri
kuliaka yang kaya akan oksigenHati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus
kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme, di inferior oleh fissure
dinamakan dengan ligamentum teres dan di posterior oleh fissure dinamakan
dengan ligamentum venosum.

Gambar 1. Anatomi dan fisiologi hati

Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:
a. Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen
dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi
glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang
penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain:
mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang
lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein,
membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.
c. Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,
pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan
membentuk senyawa lain dari asam amino.
d. Lain-lain
Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan
vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati
membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah
banyak dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon
dan zat lain.

2. Definisi
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul.
Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang
luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi
arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro
menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut
(Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).

Untuk perbedaan hati yang sehat dengan yang sirosis dapat dilihat pada
gambar berikut:

Gambar 2. Perbedaan hati yang sehat dan hati yang sirosis

Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak
diketahui penyebabnya dengan pasti.Telah diketahui bahwa penyakit ini
merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya
pengerasan dari hati (Sujono H, 2002).

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium


akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.
(Sudoyo, Aru, 2009).

3. Epidemiologi
Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini.
Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang
perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian
besar kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang
ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagian atas, koma peptikum,
hepatorenal sindrom, dan asites, Spontaneous bacterial peritonitis serta
Hepatosellular carsinoma. Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai
pada kaum laki-laki jika dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1
dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun
dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun. Di Indonesia, sirosis hepatis
kebanyakan terjadi karena hepatitis. Distribusi berdasarkan jenis kelamin,
sirosis hepatis di dapatkan lebih banyak pada pria dari pada wanita.

4. Etiologi
Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan.
Tapi ada beberapa penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan
sirosis hepatis adalah:
a. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
chirrosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg
pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis, maka
diduga mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati
sehingga terjadi chirrosisi. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis
virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan
memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila
dibandingkan dengan hepatitis virus A.
b. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis
akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah
alcohol. Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat jarang, namun
peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada kerusakan
parenkim hati.
c. Sirosis kriptogenik
Penyebabnya tidak terindentifikasi misalnya untuk pencangkokan hati.
Dan bisa berakibat pada sirosis hepatis
d. Kelainan genetik yang diturunkan.
Yaitu disebabkan dari keluarga misal orang tua yang menederita sirosis
hepatis sehingga anaknya memiliki resiko untuk terkena penyakit sirosis
hepatis
e. Hepatitis autoimun
suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu kelainan sistem imun yang
biasanya ditemukan pada wanita. Hepatitis auto imun ini menyebabkan
peradangan dan menghancurkan sel-sel hati sehingga akan mengakbitkan
sirosis hepatis
5. Klasifikasi
Ada 3 tipe sirosis hepatis menurut Nurafif & Kusuma (2015) yaitu:
a. Sirosis Laennec (disebut juga sirosis alkoholik, portal, dan sirosis gizi),
dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering
disebabkan oleh alkoholis kronis.
b. Sirosis Pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar
sebagai akibat lanjutan dari hepatitis akut ynag terjadi sebelumnya.
c. Sirosis Biliaris, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati
di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis
dan infeksi (kolangitis).
Secara klinis sirosis hati dibagi menjadi:
a. Sirosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang
nyata.
b. Sirosis hati dekompensata, yang ditandai gejala-gejala dan tanda
klinik yang jelas. Chirrosis hati kompensata merupakan kelanjutan
dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat
perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hati.
Secara morfologi sirosis dibagi atas:
a. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa parenkim
hati mengandung nodul halus dan kecil merata tersebut di seluruh lobul.
Sirosis mikronodular besar nodulnya sampai 3 mm, sedang sirosis
makronodular lebih dari 3mm. Sirosis mikronodular ada yang berubah
menjadi makronodular sehingga dijumpai campuran mikro dan
makronodular.
b. Makronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi,
mengandung nodul yang besarnya juga bervariasi ada nodul besar di
dalamnya ada daerah luasdengan parenkim yang masih baik atau terjadi
regenerasi parenkim.
c. Campuran
Umumnya sirosis hati adalah jenis campuran ini.

6. Patofisiologi/patologi
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati.
Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas
(hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya
jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati,
walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama atau
hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang
kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan
daerah porta dengan sentral.Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk
nodul dengan berbagai macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi
percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran darah porta, dan
menimbulkan hipertensi portal.Hal demikian dapat pula terjadi pada
sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama.Tahap berikutnya terjadi
peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel,
terjadi fibrinogenesis dan septa aktif.Jaringan kolagen berubah dari
reversible menjadi ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang
aseluler pada daerah porta dan parenkim hati.Gambaran septa ini
bergantung pada etiologi sirosis.Pada sirosis dengan etiologi
hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada
sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral.Sel limposit T dan
makrofag menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator
timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan
nekrosis aktif.Septal aktif ini berasal dari daerah porta menyebar ke
parenkim hati.

7. Manifestasi klinis
Gejala chirrosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama
di liver yang mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsu makan,
mual-mual, badan lemah, kehilangan berat badan, nyeri lambung dan
munculnya jaringan darah mirip laba-laba di kulit (spider angiomas). Pada

chirrosis terjadi kerusakan hati yang terus menerus dan terjadi regenerasi
noduler serta ploriferasi jaringan ikat yang difus. Tanda-tanda klinik yang
dapat terjadi yaitu:
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita chrirosis.
b. Timbulnya ikterus (penguningan) pada seseorang merupakan tanda bahwa
ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi
ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin.Ikterus dapat menjadi
penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 %
penderita selama perjalanan penyakit
c. Timbulnya asites dan edema pada penderita chirrosis
d. Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air
menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites
adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus .Edema
umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari
hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
e. Hati yang membesar
f. Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati
membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan
rasa nyeri bila ditekan.
g. Hipertensi portal
h. Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang
memetap di atas nilai normal.Penyebab hipertensi portal adalah
peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati.

8. Pemeriksaan penunjang
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada penderita sirosis hepatis sebagai berikut:
a. Pemeriksaan fungsi hepar abnormal
1. Peningkatan alkalin fosfat serum, ALT, dan AST (akibat dari
destruksi jaringan hepar)
2. Peningkatan kadar amonia darah (akibat kerusakan dari metabolisme
protein)
3. Peningkatan bilirubin serum (disebabkan oleh kerusakan metabolisme
bilirubin)
b. Biopsi hepar dapat memastikan diagnosis bila pemeriksaan serum dan
pemeriksaan radiologis tak dapat menyimpulkan
1. Scan CT, atau MRI dilakukan untuk mengkaji ukuran hepar, derajat
obstruksi dan aliran darah hepatik
2. Elektrolit serum menunjukkan hipokalemia, alkalosis, dan
hiponatremia (disebabkan oleh peningkatan sekresi aldosteron pada
respons terhadap kekurangan volume ceiran ekstraseluler sekunder
terhadap asites)
3. Urinalisis menunjukkan bilirubinuria
4. SGOT, SGPT, LDH (meningkat)
5. Biopsi hepar dan ultrasonografi
c. Pemeriksaan fisik
1. Hati : biasanya membesar pada awal sirosis, bila hati mengecil
prognosis kurang baik. Konsistensi hati biasanya kenyal, tepi tumpul
dan nyeri tekan.
2. Ascites dan fena kolateral di perut dan ekstra abdomen.
d. Tes fungsi hati
1. Aspartat Aminotransferase (AST) atau SGOT dan alanin
aminotransferase (ALT) SGPT terjadi peningkatan tetapi tidak
begitu tinggi. Peningkatan SGOT dan SGPT tidak cukup mampu
untuk digunakan sebagai indikator terjadinya sepsis. Hanya apabila
SGOT dan SGPT meningkat menunjukkan terjadinya penurunan
fungsi hepar
2. Bilirubin : konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata,
tapi bisa meningkat pada sirosis hati lebih lanjut
3. Albumin : sintesa albumin di jaringan hati, konsentrasinya menurun
sesuai dengan pemburukan sirosis. Pada orang normal tiap hari akan
diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya dapat
disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari.
4. Globulin : konsentrasi meningkat pada sirosis
5. Serum natrium : menurun terutama pada sirosis dengan asites,
dikaitkan dengan ketidakmampuan sekresi air bebas.
6. Kelainan hematologi anemia
e. Pemeriksaan Laboratorium
1. Urine
Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine
berkurang (urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan
telah terjadi syndrome hepatorenal.
2. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan
ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak
terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin
yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau
kehitaman.
3. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan,
kadang –kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan
kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali.
Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal
maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Tarigan (2001) adalah:
1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik: cukup dilakukan kontrol
yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi protein,
lemak secukupnya.
2. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti :
a. Alkohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya.
Alkohol akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan
diet tinggi kalori (300 kalori), kandungan protein makanan sekitar 70-
90 gr sehari untuk menghambat perkembangan kolagenik dapat dicoba
dengan pemberian D penicilamine dan Cochicine
b. Hemokromatis, Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/
terapi kelasi (desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2x seminggu
sebanyak 500cc selama setahun.
c. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid.
3. Terapi terhadap komplikasi yang timbul
a. Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-
obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis
100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan
penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/
hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak
adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/ hari.
Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons,
maksimal dosisnya 160 mg/ hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat
besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan
pemberian albumin.
b. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan
melena atau melena saja)
1) Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk
mengetahui apakah perdarahan sudah berhenti atau masih
berlangsung.
2) Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi
diatas 100 x/menit atau Hb dibawah 99% dilakukan pemberian
IVFD dengan pemberian dextrose/ salin dan tranfusi darah
secukupnya.
3) Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal
salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali.
c. Ensefalopati
1) Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada
hipokalemia.
2) Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet
sesuai.
3) Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan
pada varises.
4) Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan infeksi
sistemik.
5) Transplantasi hati.
d. Peritonitis bakterial spontan : Diberikan antibiotik pilihan seperti
cefotaksim, amoxicillin, aminoglikosida.
e. Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatik Mengatur keseimbangan
cairan dan garam
B. PHATWAY

 Malnutrisi
 Hepatitis B/C Defisiensi pengetahuan
 Alkohol
 Zat hepatoksik

Kurang informasi tentang


penyakit, penyebab, tanda dan
gejala, penatalaksanaan
Sirosis Hepatis

Kelainan jaringan parenkim hati Fungsi hati terganggu Inflamasi akut

Kronis Gangguan metabolisme Nyeri


zat besi

Hipertensi portal Ansietas


Gangguan asam
folat Gangguan pembentukan
empedu
Varises esofagus Peningkatan
tekanan hidrostatik
Penurunan
Lemak tidak dapat
Perdarahan produksi sel darah
diemulsikan dan tidak dapat
gastrointestinal merah/anemia
Filtrasi cairan ke diserap oleh usus halus
paru

Hipokalemia Kelemahan
anemia Ketidakseimbangan nutrisi
Asites dan edema
kurang dari kebutuhan
tubuh
Intoleransi
Ekspansi paru Aktivitas
Ketidakefektifan terganggu
perfusi jaringan
perifer

Ketidakefektifan
pola napas
C. ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN TINJAUAN TEORI

1.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap pengumpulan data yang berhubungan dengan
pasien secara sistematis. data yang dikaji pada pengkajian mencakup data yang
dikumpulkan melalui riwayat kesehatan, pengkajian fisik, pemeriksaan
laboraturium dan diagnostik, serta review catatan sebelumnya. (Wijaya & Putri,
2013). Langkah-langkah pengkajian yang sistematik adalah pengumpulan data,
sumber data, klasifikasi data, anaisa data dan diagnosa keperawatan.
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang
dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari
pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan sirosis
hepatis keluhan yang sering muncul adalah nyeri pada bagian hepar atau
abdomen kanan. Untuk lebih komprehensifnya, pengkajian nyeri dapat
dilakukan dengan pendekatan PQRST.
Tabel 2.1 Pengkajian Nyeri dengan pendekatan PQRST
Teknik Pengkajian, Prediksi Hasil, dan Implikasi
Pengkajian
Klinis

Provokatif/Paliatif Tidak ada penyebab spesifik yang menyebabkan nyeri,


tetapi pada beberapa kasus di dapatkan bahwa pada
perubahan posisi secara tiba-tiba dari berdiri atau
berbaring berubah ke posisi duduk atau melakukan
fleksi pada badan biasanya menyebabkan keluhan nyeri

Quality of pain Kualitas nyeri sirosis hepatis dapat berupa nyeri kolik
ataupun bukan kolik.
Region of pain Sirosis hepatis menyebabkan keluhan nyeri yang luar
biasa, akut dan kolik yang menyebar ke abdomen.

Severity (scale) of pain Pasien bisa ditanya dengan menggunakan rentang 0-4
dan pasien akan menilai seberapa jauh yang dirasakan.

0= Tidak ada nyeri

1= Nyeri ringan

2= Nyeri sedang

3= Nyeri berat

4= Nyeri berat sekali/tak tertahan

Skala nyeri pada kolik sirosis hepatis secara lazim


berada pada posisi 3 di rentang 0-4 pengkajian skala
nyeri.

Time Sifat mula timbulnya (onset), tentukan apakah gejala


timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga.
Tanyakan apakah gejala-gejala timbul secara terus
menerus atau hilang timbul (intermiten). Tanyakan apa
yang sedang dilakukan pasien pada waktu gejala timbul.
Lama timbulnya (durasi), tentukan kapan gejala tersebut
pertama kali timbul dan usahakan menghitung
tanggalnya seteliti mungkin. Misalnya, tanyakan kepada
pasien apa yang pertama kali dirasakan tidak biasa atau
tidak enak

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Mengetahui bagaimana penyakit itu timbul, penyebab dan faktor yang
mempengaruhi serta memperberat sehingga mulai kapan timbul sampai di
bawa ke pelayanan kesehatan. Pasien dengan sirosis hepatis biasanya akan
diawali dengan adanya tanda-tanda nyeri pada hepar. Perlu juga ditanyakan
mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk
menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit
lain yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan
penyakit Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam
jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam
status jasmani serta rohani pasien. Selain itu apakah pasien memiliki penyakit
hepatitis, obstruksi empedu, atau bahkan pernah mengalami gagal jantung
kanan.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa
dampak berat pada keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis, seperti
keadaan sakit DM, hipertensi, ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting
dilakukan bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.
Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi
perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan
persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya
riwayat kebiasaan meminum minuman bersoda, minum alcohol, dan
penggunaan obat-obatan bisa menjadi faktor predisposisi timbulnya
penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi
pasien, selain juga perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum
dan selama MRS. Nafsu makan pada klien sirosis hepatis akan mengalami
penurunan karena adanya luka pada hepar. Kaji adanya mual dan muntah,
nyeri tekan abdomen, diit tinggi purin, kalsium oksalat atau fosfat, atau
ketidakcukupan pemasukan cairan, terjadi abdominal, penurunan bising
usus. (Kartika, 2013).
3) Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan ilusi
dan defekasi sebelum dan sesudah MRS.
4) Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan
Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. Disamping
itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Dan
untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu
oleh perawat dan keluarganya.
5) Pola tidur dan istirahat
Klien mengalami gangguan aktivitas karena kelemahan fisik karena adanya
luka pada hepar. Pasien sirosis hepatis biasanya tidur dan istirahat terganggu
karena adanya nyeri pada ginjalnya.
6) Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan
peran, misalkan pasien seorang ibu rumah tangga, pasien tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai seorang ibu yang harus mengasuh anaknya,
mengurus suaminya. Disamping itu, peran pasien di masyarakatpun juga
mengalami perubahan dan semua itu mempengaruhi hubungan interpersonal
pasien.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat,
tiba-tiba mengalami sakit, nyeri pada ginjal, terganggu eliminasi urin.
Sebagai seorang awam, pasien mungkin akan beranggapan bahwa
penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini
pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.
8) Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga
dengan proses berpikirnya.
9) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks intercourse akan
terganggu untuk sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit dan
kondisi fisiknya masih lemah.
10) Pola penanggulangan stress
Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan mengalami
stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter
yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih tahu mengenai
penyakitnya.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada
Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari
Tuhan.
Pemeriksaan fisik
1) Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara
umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan
perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui
tingkat kecemasan dan ketegangan pasien. Perlu juga dilakukan pengukuran
tinggi badan berat badan pasien.
2) Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
1. B1 (Breathing): sesak, keterbatasan ekspansi dada karena hidrotoraks dan
asites.
2. B2 (Blood): pendarahan, anemia, menstruari menghilang. Obstruksi
pengeluaran empedu mengakibatkan absorpsi lemak menurun, sehingga
absorpsi vitamin K menurun. Akibatnya, factor-faktor pembekuan darah
menurun dan menimbulkan pendarahan. Produksi pembekuan darah
menurun yang mengakibatkan gangguan pembekuan darah, selanjutnya
cenderung mengalami pendarahan dan mengakibatkan anemia. produksi
albumin menurun mengakibatkan penurunan tekanan osmotic koloid,
yang akhirnya menimbulkan edema dan asites. Gangguan system imun :
sistesis protein secara umum menurun, sehingga menggangu system
imun, akhirnya penyembuhan melambat.
3. B3 (Brain): Kesadaran dan keadaan umum pasien Perlu dikaji tingkat
kesadaran pasien dari sadar sampai tidak sadar (composmentis sampai
dengan coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit
pasien, kekacuan fungsi dari hepar salah satunya membawa dampak yang
tidak langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya dengan
adanya anemia menyebabkan pasokanO2 ke jaringan kurang termasuk
pada otak.
4. B4 (Bladder): urine berwarna kuning tua dan berbuih. Bilirubin tak-
terkonjugasi meningkat bilirubin dalam urine dan ikterik serta pruritus
5. B5 (Bowel): anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen. Vena-vena
gastrointestinal menyempit sehingga terjadi inflamasi hepar dan fungsi
gastrointestinal terganggu. Sintetis asam lemak dan trigliserida
meningkat yang mengakibatkan hepar berlemak, akhirnya menjadi
hepatomegali dimana oksidasi asam lemak menurun yang menyebabkan
penurunan produksi tenaga. Akibatnya, berat badan menurun.
6. B6 (Bone): keletihan, metabolism tubuh meningkat produksi energy
kurang. Glikogenesis meningkat, glikogenolisis dan glikoneogenesis
meningkat yang menyebabkan gangguan metabolisme glukosa.
Akibatnya terjadi penurunan tenaga (Marry, 2008).
1.2. Diagnosa Keperawatan
Penentuan diagnosa keperawatan harus berdasarkan analisa data dari
hasil pengkajian. (Keliat, 1994)
Beberapa diagnosa keperawatan menurut NANDA yang mungkin
muncul pada pasien dengan sirosis hepatis antara lain :
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
yang ditandai dengan sesak napas, keterbatasan ekspansi dada, dan asites.
(Nomor diagnosa: 00032, halaman: 243)
2. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi akut yang ditandai dengan luka
pada hepar. (Nomor diagnosa: 00132, halaman: 469)
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang tidak adekuat yang ditandai dengan anoreksia, mual,
muntah, dan penurunan berat badan. (Nomor diagnosa: 00002, halaman:
177).
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kelainan
jaringan parenkim hati yang ditandai dengan perdarahan gastrointestinal,
hipokalemia, dan anemia. (Nomor diagnosa: 00204, halaman: 253)
5. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelelahan yang ditandai dengan
penurunan aktivitas sehari-hari. (Nomor diagnosa: 00092, halaman: 241)
6. Ansietas berhubungan dengan penyakit kronis yang ditandai dengan
kecemasan berlebih, keringat dingin pada ekstremitas. (Nomor diagnosa:
00146, halaman: 343)
7. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit yang ditandai dengan tidak tau informasi, ketidakmampuan
mekanisme koping. (Nomor diagosa: 00126, halaman: 274).
1.3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No. NOC NIC Rasional
Keperawatan
1. Ketidakefektifan Tujuan: 3320 Terapi Oksigen Terapi Oksigen
pola napas Setelah dilakukan tindakan 1. Batasi (aktivitas) merokook 1. Rokok dapat menyebabkan vili
berhubungan keperawatan selama 3x24 jam, 2. Pertahankan kepatenan jalan dalam paru menjadi rusak
dengan penurunan klien menunjukkan pola napas napas sehingga tidak ada pertahanan
ekspansi paru efektif. 3. Berikan oksigen tambahan seperti bagi paru yang memfilter
Kriteria Hasil: yang diperintahkan keluar masuknya udara.
1. RR dalam rentang normal (16- 4. Monitor aliran oxygen 2. Pertahanan jalan napas akan
20x/menit) 5. Periksa perangkat (alat) menjaga kebersihan selama
2. Tidak dispnea, bradipnea, dan pemberian oksigen secara berkala terapi dilakukan
takipnea untuk memastikan bahwa 3. Oksigen tambahan dapat
3. Tidak ada suara napas konsentrasi (yang telah) meningkatkan SaO2 pada
tambahan ditentukan sedang diberikan pasien dengan gangguan
4. Tidak menggunakan 6. Monitor efektifitas terapi oksigen sistem pernapasan
pernapasan cuping hidung (misalnya oksimetri, ABGs) 4. Kecepatan aliran oksigen
5. Tidak menggunakan otot bantu dengan tepat sesuai dengan yang
pernapasan 7. Anjurkan pasien dan keluarga dibutuhkan akan
mengenai penggunaan oksigen di mengoptimalkan pola
rumah pernapasan klien.
5. Pemeriksaan alat dan
konsentrasi yang tepat dapat
mempengaruhi status
oksigenasi klien
6. Terapi oksigen merupakan
alternatif untuk
mempertahankan dan
menstabilkan status oksigenasi
7. Informasi terkait discharge
planning adalah salah satu
tindakan agar pasien dapat
memanajemen penyakitnya
dengan baik
2. Nyeri akut Tujuan: 1400 Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Nyeri dapat dinilai melalui lokasi,
dengan inflamasi keperawatan selama 1x24 jam komprehensif yang meliputi karakteristik, onset, frekuensi,
akut klien dapat mengatasi nyerinya. lokasi, karakteristik, onset/durasi, kualitas, dan skala nyerinya
Kriteria Hasil: frekuensi, kualitas, intensitas atau 2. Komunikasi terapeutik dapat
1. Dapat mengenali kapan nyeri beratnya nyeri dan faktor membuat pasien lebih terbuka
terjadi pencetus 3. Faktor yang berhubungan dengan
2. Klien dapat menggunakan 2. Gunakan strategi komunikasi nyeri dapat membantu menentukan
tindakan pengurangan nyeri terapeutik untuk mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien
tanpa analgesic pengalaman nyeri dan sampaikan 4. Manajemen nyeri dapat
3. Klien melaporkan perubahan penerimaan pasien terhadap nyeri menurunkan intensitas nyeri
terhadap gejala nyeri pada 3. Gali bersama pasien faktor-faktor 5. Adanya kolaborasi dengan sistem
professional kesehatan yang dapat menurunkan dan pendukung lainnya merupakan
4. Klien mengenali apa yang memperberat nyeri suatu alternatif tindakan yang
terkait dengan gejala nyeri 4. Ajarkan prinsip-prinsip dapat memilih tindakan yang
5. Klien melaporkan nyeri yang manajemen nyeri sesuai dengan klien
terkontrol 5. Kolaborasi dengan pasien, orang
terdekat dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan
penurun nyeri non farmakologi,
sesuai kebutuhan.
3. Ketidakseimbangan Tujuan: 1100 Manajemen Nutrisi Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji adanya alergi makanan 1. Alergi dapat memperburuk ststus
kebutuhan tubuh keperawatan selama 3x24 jam, 2. Yakinkan diet yang dimakan kesehatan klien
berhubungan kebutuhan nutrisi klien tercukupi mengandung tinggi serat untuk 2. Serat dangat diperlukan pasien
dengan intake yang Kriteria Hasil: mencegah konstipasi agar tidak mengalami ganggguan
tidak adekuat 1. Adanya peningkatan berat 3. Berikan informasi tentang pencernaan
badan kebutuhan nutrisi 3. Informasi yang benar akan menjadi
2. Berat badan ideal dengan 4. Kaji kemampuan pasien untuk suatu kebutuhan pasien mengenai
tinggi badan mendapatkan nutrisi yang nutrisinya
3. Klien mampu dibutuhkan 4. Kemampuan pasien sangat
mengidentifikasi 5. Monitor adanya penurunan berat diperlukan untuk mengukur tingkat
kebutuhan nutrisi badan pemahaman pasien terhadap intake
4. Tidak terjadi penurunan 6. Monitor tipe dan jumlah aktivitas nutrisinya
berat badan yang berarti yang biasa dilakukan 5. Penurunan berat badan merupakan
tanda adanya ketidakseimbangan
nutrisi
6. Aktivitas yang dilakukan harus
diimbangi dengan pemenuhan
nutrisi yang seimbang
D. Discharge Planning

Berdasarkan (Nurarif & Kusuma, 2015) Discharge planning untuk klien


dengan serosis hati adalah:
1. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
2. Kebutuhan istirahat terpenuhi, pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8
jam perhari.
3. Menerima keadaan sehingga tidak terjadi kecemasan
4. Tidak melakukan kebiasaan yang tidak menguntungkan bagi kesehatan
seperti merokok, minum minuman beralkohol dan bersoda
5. Terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam dengan istirahat di tempat
tidur
6. Menjaga kebersihan ruang tempat tidur, udara dapat bersikulasi dengan baik.
7. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
8. Mengatasi infeksi dengan antibiotik
9. Roboansia, vitamin B kompleks. Dilarang makan dan minum bahan yang
mengandung alkohol
DAFTAR PUSTAKA
Baradero, Mary et al. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 2006, Nursing Interventions
Classification (NIC), Mosby Year-Book, St. Louis
Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta
Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran
UI Jakarta: Media Aescullapius.
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby
Year-Book, St. Louis
Marylin E doengoes. (2000). Rencana Asuhan keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan/pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic Noc. Jogja: Mediaction
Price, Sylvia & Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai