Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN UVEITIS

ANTERIOR DI POLI MATA RSUD Dr. HARYOTO LUMAJANG

LAPORAN PENDAHULUAN APLIKASI KLINIS

oleh:

Noti Talia Meidiyah

NIM 162310101015

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

2019
A. KONSEP TEORI TENTANG PENYAKIT

1. Anatomi fisiologi

Gambar 1: anatomi uvea

Uvea merupakan lapisan kedua dalam mata, di dalam sklera dan di luar
retina. Uvea merupakan lapisan yang memiliki banyak pembuluh darah yang
mengalirkan darah ke seluruh bola mata. Uvea terdiri dari iris, korpus siliaris dan
khoroid.

Bagian-bagian uvea ada 3 yaitu :

a. Iris

Iris merupakan membran yang berwarna, berbentuk sirkular yang


ditengahnya terdapat lubang yang dinamakan pupil. Iris berpangkal pada
badan siliar dan merupakan pemisah antara bilik mata depan dengan bilik
mata belakang. Permukaan iris warnanya sangat bervariasi dan mempunyai
lekukan-lekukan kecil terutama sekitar pupil yang disebut kripti. Jaringan otot
iris terusun longgar dengan otot polos yang berjalan melingkari pupil (sfingter
pupil) dan radial tegak lurus pupil (dilator pupil). Iris menipis di dekat
perlekatannya dengan badan siliar dan menebal di dekat pupil. Pembuluh
darah di sekeliling pupil disebut sirkulus minor dan yang berada dekat badan
siliar disebut sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh nervus nasoiliar cabang dari
saraf cranial III yang bersifat simpatik untuk midriasis dan parasimpatik untuk
miosis.

b. Korpus siliaris

Korpus siliaris merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai


sistem ekskresi si belakang lombus. Badan siliar dimualai dari pangkal iris ke
belakang sampai koroid terdiri atas otot-otot siliar yang berfungsi untuk
akomodasi prosesus siliaris.

c. Khoroid

Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara sklera dan retina.


Khoroid tersusun dari 3 lapisan pembuluh darah khoroid yaitu besar, sedang
dan kecil. Semakin kedalam letak pembuluh darah dalam khoroid semakin
lebar lumennya. Khoroid di sebelah dalam dibatasi oleh membrana Bruch dan
di sebelah luar dibatasi oleh sklera. Khoroid melekat erat ke posterior ke tepi-
tepi nervus optikus. Ke anterior, khoroid bersambung dengan badan siliar.

Fungsi dari uvea antara lain :

1. Regulasi sinar ke retina


2. Imunologi, bagian yang berperan dalam hal ini adalah khoroid
3. Produksi akuos humor oleh korpus siliaris
4. Nutrisi
5. Filtrasi

2. Definisi

Uveitis anterior adalah proses radang yang mengenai uvea bagian


anterior.Struktur uvea terdiri dari 3 bagian, yaitu iris, badan silier, dan koroid
yang merupakan jaringan vaskuler di dalam mata, terletak antara retina dan sklera.
Secara anatomis uvea dapat dibedakan menjadi uvea anterior yang terdiridari iris
dan badan silier, serta uvea posterior yang terdiri dari koroid.Sesuai dengan
pembagian anatomisnya tersebut, maka uveitis juga di bedakan menjadi 2 yaitu :
1. Uveitis anterior : Apabila mengenai iris (iritis), badan silier (siklitis),
ataukedua-duanya (iridosiklitis)
2. Uveitis posterior : Apabila mengenai jaringan koroid (koroiditis).
Seringdisertai dengan retinitis, disebut korioretinitis.Panuveitis : Apabila
mengenai ketiga lokasi tersebut diata

3. Epidemiologi

Penyakit uveitis umunya terjadi pada usia muda dan usia pertengahan.
Tingkat kejadian uveitis di Amerika Serikat sekitar 15 per 100.000 orang per
tahun atau 38.000 kasus baru per tahun sekitar 75% merupakan uveitis
anterior, sekitar 50% merupakan dengan uveitis menderita penyakit sistemik
terkait. Uveitis bosa terjadi pada umur dibawah 16 tahun sampai umur 40
tahun pada beberapa negara seperti Amerika Serikat, Israel, India,Belanda dan
Inggris kejadian Uveitis banyyak terjadi pada tahun 30-40 tahun

4. Etiologi

Etiologi uveitis biasanya disebabkan oleh eksogen seperti trauma uvea


atau invasi mikroorganisme atau agen lain dari luar. Secara endogen dapat
disebabkan idiopatik, autoimun,keganasan, mikroorganisme atau agen lain
dari dalam tubuh pasien misalnya infeksi tuberkulosis, herpes simpleks.
Etiologi uveitis dibagi dalam

Etologi uveitis dibagi dalam beberapa macam:

a. Berdasarkan sifat penyebabnya


a. Penyebab spesifik (infeksi) biasanya disebabkan oleh virus,
bakteri, fungi ataupun parasit yang spesifik
b. Penyebab non spesifik(non infeksi) atau reaksi hpersensivitas
disebabkan oleh reaksi hipersensivitas terhadap mikroorganisme
atau antigen yang masuk kedalam tubuh dan merangsang reaksi
antigen antibodi denfan predileksi pada traktus uvea

b. Berdasarkan asalnya

1. Eksogen : Pada umumnya disebabkan oleh karena trauma,


operasi intraokuler, ataupun iatrogenik.
2. Endogen : Dapat disebabkan oleh fokal infeksi di organ lain
ataupunreaksi autoimun
a. Bakteri : Tuberkulosa, sifilis
b. Virus : Herpes simpleks, Herpes zoster, CMV,
c. Jamur : Kandidiasis
d. Parasit : Toksoplasma, Toksokara
e. Penyakit Sistemik : Penyakit kolagen, arthritis
reumatoid, multiple sklerosis, sarkoidosis, penyakit
vaskuler
f. Imunologik : Lens-induced iridosiklitis, oftalmia
simpatika
g. Neoplastik : Limfoma, reiculum cell carcinoma

c. Berdasarkan perjalanan penyakit

1. Akut : Apabila serangan terjadi satu atau dua kali, dan


penderita sembuhsempurna diluar serangan tersebut.
2. Residif : Apabila serangan terjadi lebih dari dua kali
disertai penyembuhan yang sempurna di antara serangan-
serangan tersebut.
3. Kronis : Apabila serangan terjadi berulang kali tanpa pernah
sembuhsempurna di antaranya

d. berdasarkan reaksi radang yang terjadi

1. Non granulomatosa : Infiltrat yang terjadi terdiri dari sel plasma


dan limfosit
2. Granulomatosa : Infiltrat yang terjadi terdiri dari sel epiteloid dan
makrofag

5. Klasifikasi
Secara klinis uveitis dibedakan menjadi akut dan kronis. Uveitis
akut terjadi apabila gejala timbul secara tiba-tiba dan berlangsung
selama 6 minggu atau kurang. Uveitis kronis adalah apabila
perjalanan uveitis terjadi dalam hitungan bulan atau tahun. Uveitis
yang kronik lebih sering muncul dibanding uveitis akut.

Uveitis anterior dapat bersifat granulomatosa maupun non-


granulomatosa yaitu :
a. Uveitis anterior yang bersifat granulomatosa menunjukkan
reaksi sel yang dominan, yakni berupa sebukan limfosit dan
makrofag, dengan reaksi vaskuler yang minimal, tanpa adanya
rasa nyeri, tanpa adanya hyperemia, ataupun lakrimasi.
b. Uveitis anterior yang bersifat non-granulomatosa menunjukkan
reaksi vascular yang dominan, yang mengakibatkan munculnya
injeksi silier, hyperemia, lakrimasi akibat banyaknya sitokin
yang keluar, serta adanya fotofobia. Pada uveitis anterior non-
granulomatosa juga terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, yang mengakibatkan terjadinya transudasi ke
bilik mata depan, yang akhirnya menyebabkan turunnya visus /
penglihatan pada penderita.

6. Patofisiologi/patologi

Sampai saat ini patofisiologi uveitis anterior masih tidak dapat dipastikan
secara jelas, namun pada umumnya uveitis anterior dihubungkan dengan adanya
reaksi hipersensitivitas atau alergi terhadap antigen yang sering kali diproduksi di
luar mata. Hal ini dapat terjadi karena mata merupakan target organ untuk reaksi
hipersensitivitas bersama dengan hidung dan kulit.

Reaksi hipersensitivitas yang umum terjadi pada uveitis anterior adalah reaksi
hipersensitivitas tipe III, yakni hipersensitivitas yang dimediasi oleh kompleks
imun. Proses ini terjadi akibat adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi di
dalam jaringan, yang ditandai dengan adanya inflamasi atau peradangan. Hal ini
akan merangsang sel-sel makrofag untuk memfagosit sel-sel dimana terjadi
penumpukan kompleks antigen-antibodi ini sehingga dapat muncul gejala pada
uveitis anterior seperti presipitat keratik, ataupun hipopion.

Di samping reaksi hipersensitivitas tipe III, uveitis anterior dapat pula muncul
akibat reaksi hipersentivitas tipe IV, yakni reaksi hipersensitivitas yang bersifat
delayed. Reaksi ini diperantarai oleh sel dan terjadi akibat adanya kerusakan
jaringan oleh sel T dan makrofag. Antigen difagosit oleh makrofag dan diproses
oleh monosit sebelum akhirnya diserahkan kepada sel T yang memiliki reseptor
khusus untuk antigen yang telah diproses oleh makrofag. Makrofag akan
mensekresi berbagai interleukin, yang akan megaktivasi sel T sitotoksik.
Gambaran yang akan muncul akibat ini adalah gambaran granulomatosa, sesuai
dengan gambaran uveitis anterior granulomatosa.

7. Manifestasi klinis
Pada pasien uveitis anterior biasanya mengeluh:
1. Mata terasa ngeres seperti ada pasir.
2. Mata merah disertai air mata
3. Nyeri, baik saat ditekan ataupun digerakkan. Nyeri bertambah hebat
bilatelah timbul glaukoma sekunder
4. Fotofobia, penderita menutup mata bila terkena sinar
5. Blefarospasme
6. Penglihatan kabur atau menurun ringan, kecuali bila telah terjadi
katarak komplikata,penglihatan akan banyak menurun
Gejala subyektif:

1. Nyeri :

a. Uveitis anterior akut

Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya


dan penekanan saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap
atau hilang timbul. Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan
kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas
nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta
ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit menentukan derajat
nyeri.

b. Uveitis anterior kronik


Nyeri jarang dirasakan oleh penderita, kecuali telah terbentuk
keratopati bulosa akibat glaukoma sekunder.

2. Fotofobia dan lakrimasi

a. Uveitis anterior akut

Fotofobia disebabkan spasmus siliar bukan karena sensitif terhadap


cahaya. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan
siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia.
b. Uveitis anterior kronik
Gejala subjektif ini hampir tidak ataupun ringan.
3. Penglihatan kabur
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan-sedang, berat atau hilang
timbul, tergantung penyebab.

a. Uveitis anterior akut

Disebabkan oleh pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan


aquos dan badan kaca depan karena eksudasi sel radang dan fibrin.

b. Uveitis anterior kronik

Disebabkan oleh karena kekeruhan lensa, badan kaca dan


kalsifikasi kornea.

2. Gejala objektif
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan
indirek, bila diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi.
a. Injeksi Silier
Gambaran merupakan hiperemi pembuluh darah siliar sekitar limbus,
berwarna keunguan.
1. Uveitis anterior akut
Merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat
hiperemi dapat meluas sampai pembuluh darah konjungtiva.
2. Uveitis anterior hiperakut
Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan keratitis
marginalis. Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh peradangan
pada pembuluh darah siliar depan dengan reflex aksonal dapat
difusi ke pembuluh darah badan siliar.

b. Keratik presipitat

Terjadi karena pengendapan sel radang dalam bilik mata depan pada
endotel kornea akibat aliran konveksi akuos humor, gaya berat dan
perbedaan potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian
tengah dan bawah dan juga difus.
Keratik presipitat dapat dibedakan :
1. Baru dan lama : Jika baru berbentuk bundar dan berwarna putih.
Lama
akan mengkerut, berpigmen dan lebih jernih.
2. Jenis sel : Leukosit berinti banyak kemampuan aglutinasi
rendah, halus keabuan. Limfosit kemampuan beraglutinasi sedang
dan membentuk kelompok kecil bulat batas tegas, putih.
Makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat
fagositosis membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai
mutton fat.
3. Ukuran dan jumlah sel : Halus dan banyak terdapat pada iritis
dan iridosiklitis akut, retinitis/koroiditis, uveitis intermedia.
Mutton fat berwarna kebuan dan agak basah. Terdapat pada
uveitis granulomatosa disebabkan oleh tuberculosis, sifilis, lepra,
vogt-koyanagi-harada dan simpatik oftalmia. Juga ditemui pada
uveitis non-granulomatosa akut dan kronik yang berat. Mutton fat
dibentuk oleh makrofag yang bengkak oleh bahan fagositosis dan
sel epiteloid berkelompok atau bersatu membentuk kelompok
besar. Pada permulaan hanya beberapa dengan ukuran cukup besar
dengan hidratasi dan tiga dimensi, lonjong batas tidak teratur.
Bertambah lama membesar dan menipis serta berpigmen akibat
fagositosis pigmen uvea, dengan membentuk daerah jernih pada
endotel kornea. Pengendapan Mutton fat sulit mengecil dan sering
menimbulkan perubahan endotel kornea gambaran merupakan
gelang keruh di tengah karena pengendapan pigmen dan sisa hialin
sel.

c. Kelainan kornea
1. Uveitis anterior akut
Keratitis dapat bersamaan uveitis dengan etiologi tuberculosis, sifilis,
lepra, herpes simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea sekunder
terhadap kelainan kornea.
2. Uveitis anterior kronik
Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran
Descement dan neovaskularisasi kornea. Gambaran edema kornea
berupa lipatan Descement dan vesikel pada epitel kornea.
d. Bilik mata
Kekeruhan dalam bilik mata depan mata disebabkan oleh meningkatnya
kadar protein, sel dan fibrin.
1. Efek Tyndall
Menunjukan adanya peradangan dalam bola mata. Pengukuran paling
tepat dengan tyndalometri.
2. Uveitis anterior akut
Kenaikan jumlah sel dalam bilik mata depan sebanding dengan
derajat peradangan dan penurunan jumlah sel sesuai dengan
penyembuhan pada pengobatan uveitis anterior.
3. Uveitis anterior kronik
Terdapat efek Tyndall menetap dengan beberapa sel menunjukan
telah terjadi perubahan dalam permeabilitas pembuluh darah iris.
Bila terjadi peningkatan efek Tyndall disertai dengan eksudasi sel
menunjukkan adanya eksaserbasi peradangan.

8. Pemeriksaan penunjang

1. louresence Angiografi

FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi penyakit


korioretinal dan komplikasi intraokular dari uveitis posterior. FA sangat
berguna baik untuk intraokular maupun untuk pemantauan hasil terapi
pada pasien. Pada FA, yang dapat dinilai adalah edema intraokular,
vaskulitis retina, neovaskularisasi sekunder pada koroid atau retina, N.
optikus dan radang pada koroid.
2. USG

Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan


retina dan pelepasan retina

3. biopsi korioretinal

Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan dari


gejala dan pemeriksaan laboratorium lainnya

Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya apalagi kalau


jenisnya non granulomatosa atau jelas berespon dengan terapi non spesifik.
Sedangkan pada uveitis anterior yang tetap tidak responsive harus
diusahan untuk menemukan diagnosis etiologinya.

4. Penatalaksanaan

Pengobatan uveitis pada umumnya digunakan obat-obat intra okuler, seperti


sikloplegik, OAINS atau kortikosteroid. Pada OAINS atau kortikosteroid, dapat
juga digunakan obat-obatan secara sistemik. Selain itu pada pengobatan yang
tidak berespon terhadap kortikosteroid, dapat digunakan imunomodulator.

a. Midriatik atau sikloplegik


Midriatik atau sikloplegik berfungsi dalam pencegahan terjadinya
sinekia posterior dan menghilangkan efek fotofobia sekunder yang
diakibatkan oleh spasme dari otot siliaris. Semakin berat reaksi inflamasi
yang terjadi, maka dosis siklopegik yang dibutuhkan semakin tinggi.

b. OAINS
Dapat berguna sebagai terapi pada inflamasi post operatif, tapi
kegunaan OAINS dalam mengobati uveitis anterior endogen masih belum
dapat dibuktikan. Pemakaian OAINS yang lama dapat mengakibatkan
komplikasi seperti ulkus peptikum, perdarahan traktus digestivus,
nefrotoksik dan hepatotoksik.

c. Kortikosteroid
Merupakan terapi utama pada uveitis. Digunakan pada inflamasi
yang berat. Namun efek samping yang potensial, pemakaian kortikosteroid
harus dengan indikasi yang spesifik, seperti pengobatan inflamasi aktif di
mata dan mengurangi inflamasi intra okuler di retina, koroid dan
N.optikus.

d. Imunomodulator
Terapi imunomodulator digunakan pada pasien uveitis berat yang
mengancam penglihatan yang sudah tidak merespon terhadap
kortikosteroid. Imunomodulator bekerja dengan cara membunuh sel
limfoid yang membelah dengan cepat akibat reaksi inflamasi. Indikasi
digunakannya imunomodulator adalah :
1. Inflamasi intraocular yang mengancam penglihatan pasien.
2. Gagal dengan terapi kortikosteroid.
3. Kontra indikasi terhadap kortikosteroid.

Sebelum diberikan imunomodulator, harus benar-benar dipastikan bahwa


uveitis pasien tidak disebabkan infeksi, atau infeksi di tempat lain, atau kelainan
hepar atau kelainan darah. Dan sebelum dilakukan informed concent.

e. Analgetika

Analgetik dapat diberikan secara sistemik terutama diberikan pada kasus


uveitis non granulomatosa, karena biasanya pasien mengeluhkan nyeri.

Penatalaksanaan pada uveitis anterior difokuskan pada beberapa hal:

1. Mencegah terjadinya komplikasi, terutama glaucoma.


2. Menghilangkan radang
3. Mengatasi penyakit penyebab
B. PHATWAY

Virus
Bakteri Defisiensi pengetahuan
Defisien perawatan diri Reaksi hipersensitivitas
Eksogen
endogen
Kurang informasi tentang
Pengelihatan kabur penyakit, penyebab, tanda dan
Evuitis anterior gejala, penatalaksanaan

Gangguan Peradangan pada mata Dilatasi pembuluh darah


metabolisme
kornea
Mikroorganisme alergen Penekanan saraf siliar
iritatif

Lensa mata keruh


Sakit ketika melihat cahaya
Kelir air mata
terinfeksi

Resiko cedera Nyeri akut


kornea

Fungsi sekresi
terganggu
Perubahan bentuk
mata Ansietas

hiposekresi

Perubahan fungsi
mata
Resiko infeksi

Gangguan citra
tubuh
C. ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN TINJAUAN TEORI

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap pengumpulan data yang berhubungan


dengan pasien secara sistematis. data yang dikaji pada pengkajian mencakup
data yang dikumpulkan melalui riwayat kesehatan, pengkajian fisik,
pemeriksaan laboraturium dan diagnostik, serta review catatan sebelumnya.
(Wijaya & Putri, 2013). Langkah-langkah pengkajian yang sistematik adalah
pengumpulan data, sumber data, klasifikasi data, anaisa data dan diagnosa
keperawatan.
a. Identitas Pasien
Nama :-
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :-
Alamat :-
Pekerjaan :-
Status :-
Tgl MRS :-
Pendidikan : Tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan klien
mengenai tata cara menjaga kesehatan tubuh.

b. riwayat kesehatan
1. diagnosa medis : uveitis anterior
2. keluhan utama : merupakan faktor utama yang mendorong pasien
mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada
pasien dengan uveitis anteroir mengeluh Mata sebelah kiri tiba-tiba
buram dan Mata kiri terasa silau saat berada di ruang yang terang
atau di luar ruangan pada siang hari
3. riwayat kesehatan sekarang
mengkaji adanya :
a. bintik hitam dan floating spot saat melihat
b. pengelihatan kabur (susah memfokuskan penglihatan)
c. tajam pengelihatan menurun
d. sakit mata ketika melihat sesuatu dalam jangka waktu yang lama
e. mata memerah secara difus daerah sirkumkornea
f. hipertermi
g. nyeri akut
h. eksudasi pada mata
4. riwayat kesehatan dalulu
a. cek adanya riwayat artitis terpajan histoplasmosi, sifilis,
retinitis, herpes dan infeksi rubela
b. cek adanya riwayat invasi mikroba aktif ke jaringan oleh
myobacterium tubercolosis
c. cek adanyatrauma kecelakaan sehingga benda asing mengenai
organ mata
d. konsumsi obatan untuk penyakit tertentu atau narkoba
e. penggunaan jarum suntik secara bersamaan dan bergantian
serta perilaku seksual atau AIDS
f. pernah menjalani operasi yang barikabt menganggu organ mata
contohnya bedah intraokuler terhadap katarak atau glukoma
5. riwayat kesehatan keluarga : memiliki riwayat saudara/keluarga
dengan penyakit yang berpotensi menyebar dengan cepat seperti TB
dan sifilis
6. pola kebiasaan :
a. makan dan minum yaitu mengkaji makan pasien, kapan saat
mengalami mual dan muntah, frekuensi mual dan muntah
b. gerak dan aktivitas yaitu mengkaji frekuensi bantuan saat
melakukan aktivitas kebersihan diri akibat penurunan kualitas
pengelihatan
c. pengaturan suhu tubuh yaitu mengkaji adanya peningkatan
suhu tubuh, frekuensi dan pola peningkatan suhu
d. rasa nyaman yaitu mengkaji adanya nyeri dengan memberikan
skala 1-4

c. pemeriksaan fisik mata


1. inspeksi
yaitu mengkaiji adanya eksudasi di area anteroir mata,
kemerahan pada sirkum korneal, fotofobia, pupil kecil,
terdapat synecehaceantaroir, nodul pada iris,
2. palpasi yaitu terdapat nyeri tekan pada area palpebra
d. pemeriksaan penunjang
1. funduskopi
2. pemeriksaan slit lamp
3. foto X-ray
4. pemeriksaan darah lengkap
2. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b.d penekanan saraf siliar, bias melihat cahaya
dengan lama
2. Gangguan citra tubuh b.d fungsi bagian tubuh berubah
3. Resiko infeksi berhubungan dengan akumulasi mkroorganisme
pada traktur uvealis
4. Resiko cedera kornea b.d pengelihatan kabur distorsi
pengelihatan
5. Ansietas berhubungan dengan keadaan mata mulai berubah
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan tajam pengelihatan
menurun, pengelihatan kabur
7. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi mengenai penyakit
3. Intervensi keperawatan

Diagnosa
No. NOC NIC Rasional
Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Tujuan: 1400 Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
proses peningkatan Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Nyeri dapat dinilai melalui lokasi,
protein pada humor keperawatan selama 1x24 jam komprehensif yang meliputi karakteristik, onset, frekuensi,
aquos dan klien dapat mengatasi nyerinya. lokasi, karakteristik, onset/durasi, kualitas, dan skala nyerinya
peningkatan TIO Kriteria Hasil: frekuensi, kualitas, intensitas atau 2. Komunikasi terapeutik dapat
1. Dapat mengenali kapan nyeri beratnya nyeri dan faktor membuat pasien lebih terbuka
terjadi pencetus 3. Faktor yang berhubungan dengan
2. Klien dapat menggunakan 2. Gunakan strategi komunikasi nyeri dapat membantu menentukan
tindakan pengurangan nyeri terapeutik untuk mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien
tanpa analgesic pengalaman nyeri dan sampaikan 4. Manajemen nyeri dapat
3. Klien melaporkan perubahan penerimaan pasien terhadap nyeri menurunkan intensitas nyeri
terhadap gejala nyeri pada 3. Gali bersama pasien faktor-faktor 5. Adanya kolaborasi dengan sistem
professional kesehatan yang dapat menurunkan dan pendukung lainnya merupakan
4. Klien mengenali apa yang memperberat nyeri suatu alternatif tindakan yang
terkait dengan gejala nyeri 4. Ajarkan prinsip-prinsip dapat memilih tindakan yang
5. Klien melaporkan nyeri yang manajemen nyeri sesuai dengan klien
terkontrol 5. Kolaborasi dengan pasien, orang
terdekat dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan
penurun nyeri non farmakologi,
sesuai kebutuhan.

2. Gangguan citra Tujuan: 5220 peningkatan citra tubuh Peningkatan citra tubuh
tubuh b.d eksudasi Setelah dilakukan tindakan 1. Tentukan harapan citra diri pasien 1. Untuk mengetahui harapan citra
cairan purulent keperawatan selama 3x24 jam, di dasarkan pada tahap diri pasien secara detail
pada bilik mata gangguan citra tubuh teratasi perkembangan 2. Untuk memahamkan pasien
depan Kriteria Hasil: 2. Bantu pasien berdiskusi tentang tentang perubahan-perubahan yang
1. Deskripsi bagian tubuh perubahan-perubahan kerakter akan terjadi
yang terkena dampak tubuh dan fungsi tubuh 3. Untuk membuat pasien mengerti
dapat dimengerti disebabkan dengan adanya dan tidak merasa berbeda ketika
2. Kepuasaan fungsi penyakit dengan cara yang tepat bersosialisasi
terhadap tubuh dapat 3. Bantu pasien memisahkan 4. Menentukan apa ayang akan
terpenuhi penampilan fisik dari perasaan dilakukan oleh pasien tantang
3. Penyesuaian terhadap berharga secara pribadi dengan gangguan citra tubuh yang
penampilam fisik dapat cara yang tepat dimilikinya
terpenuhi 4. Bantu pasien menentukan 5. Berkomunikasi untuk membuat
4. Kepuasan dengan fungsi keberlanjutan dari perubahan- keputusan terbaik tentang
tubuh dapat terpenuhi perubahan aktual dari tubuh dan perubahan-perubahan citra
fungsinya tubuhnya
5. Gunakan bimbingan antisispatif
menyiapkan pasien terkait dengan
perubahan-perubahan citra tubuh
yang telah diprediksikan
3. Resiko infeksi Tujuan: 6540 Kontrol infeksi Kontrol infeksi
berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1 ajarkan pasien dan keluarga 1 pasien dan keluarga bisa mengetahui
dengan akumulasi keperawatan selama 2x24 jam, tentang tanda gejala infeksi dan tanda gejala infeksi
mkroorganisme resiko infeksi teratasi kapan harus melaporkan ketika 2 pasien dan keluarga tahu cara
pada traktur uvealis Kriteria Hasill: terjadi infeksi menghindari infeksi
1 kemerahan pada mata dapat 2 ajarkan pasien dan keluarga 3 pasien terhindar dari infeksi
berkurang mengenai bagaimana menghindari 4 ketika menyetuh area luka tangan
2 cairan luka tidak bertambah infeksi tidak kotor dan selalu bersih
parah dan cairan berkurang 3 bersihkan lingkungan mata dengan 5 mecegah infeksi secara antibiotik
3 nyeri dapat teratasi baik setiap harinya setelah diobati
4 Kehilangan nafsu makan dapat 4 ajarkan pasien mengenai teknik
teratasi cuci tangan dengan benar agar ketika
menyentuh area luka tidak terjadi
infeksi
5 berikan terapi antibiotik yang
sesuai
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas Sidarta, 2006. Uveitis. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit Faultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Vaughan Daniel, 2000. Traktus Uvealis dan Sklera. Oftalmologi Umum. Wydia
Medika. Jakarta.

Suhardjo SU, Revana E. Uveitis dan radang intra okuler. Dalam: Suhardjo SU,
Hartono. Ilmu kesehatan mata. Edisi ke-2. Yogyakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Mata FK UGM, 2012. Hal. 45-58

Ilyas Sidarta, 2002. Radang Uvea. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan
Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-2. Sagung Seto. Jakarta

Wijana, N., 1993, Uvea, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta: 126-
153

Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and


management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb;
58(1):11-19

American Optometric Association, 2004, Anterior Uveitis, dalam Optometric


Clinical Practice Guideline, American Optometric Association, St. Louis

Anda mungkin juga menyukai