Anda di halaman 1dari 15

1

LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN ELIMINASI URIN DAN FEKAL
A. Definisi
Eliminasi merupakan suatu proses pengeluaran zat-zat sisa yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Eliminasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : eliminasi
urine dan eliminasi fekal.
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.
Pembuangan dapat melalui urine dan bowel (tarwoto, wartonah, 2006).
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik
berupa urine atau alvi (buang air besar). Kebutuhan eliminasi terdiri dari atas
dua, yakni eliminasi urine (kebutuhan buang air kecil) dan eliminasi alvi
(kebutuhan buang air besar).
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.
Pembuangan tersebut dapat melalui urin ataupun bowel.
Eliminasi materi sampah merupakan salah satu dari proses metabolic
tubuh. Produk sampah dikeluarkan melalui paru-paru, kulit, ginjal dan
pencernaan.
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh
baik yang berupa urin maupun fekal.
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik
berupa urin atau bowel (feses).
1. Eliminasi urine
Sistem yang berperan dalam eliminasi urine adalah sistem perkemihan.
Dimana sistem ini terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Proses
pembentukan urine di ginjal terdiri dari 3 proses yaitu : filtrasi , reabsorpsi dan
sekresi. Proses filtrasi berlangsung di glomelurus. Proses ini terjadi karena
permukaan aferen lebih besar dari permukaan eferen. Proses reabsorpsi terjadi
penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat, dan
beberapa ion karbonat. Proses sekresi ini sisa reabsorsi diteruskan keluar.

1
2

2. Eliminasi fekal
Eliminasi fekal sangat erat kaitannya dengan saluran pencernaan.
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai
anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima
makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat
gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak
dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus.Sistem
pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran
pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
Saluran pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan
dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan proses
penernaan (pengunyahan, penelanan, dan pencampuran) dengan enzim dan
zat cair dari mulut sampai anus. Organ utama yang berperan dalam
eliminasi fekal adla usus besar. Usus besar memiliki beberapa fungsi
utama yaitu mengabsorpsi cairan dan elektrolit, proteksi atau perlindungan
dengan mensekresikan mukus yang akan melindungi dinding usus dari
trauma oleh feses dan aktivitas bakteri, mengantarkan sisa makanan
sampai ke anus dengan berkontraksi. Proses eliminasi fekal adalah suatu
upaya pengosongan intestin. Pusat refleks ini terdapat pada medula dan
spinal cord. Refleks defekasi timbul karena adanya feses dalam rektum.
B. Etiologi
1. Eliminasi Urine
a. Diet dan intake
Jumlah dan tipe makanana mempengaruhi output urine, seperti
protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar.
b. Respon keinginan awal untuk berkemih
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan yang mengabaikan
respon awal untuk berkemih dan hanya pada akhir keinginan berkemih
menjadi lebih kuat. Akibatnya urine banyak tertahan dalam kandung
3

kemih. Masyarakat ini mempunyai kapasitas kamdung kemih yang


lebih dari normal.
c. Gaya hidup
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal
eliminasi urine. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat
mempengaruhi frekuensi eliminasi. Praktek eliminasi keluarga dapat
mempengaruhi tingkah laku.
d. Stress psikologi
Meningkatnya stres seseorang dapat meningkatkan frekuensi
keinginan berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitif untuk
keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang
diproduksi.
e. Tingkat aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik
untuk tonus spingter internal dan eksternal.
f. Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga akan mempengaruhi
pola berkemih. Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya
menurun karena adanya tekanan dari fetus atau adanya
g. Kondisi patologis
Saat seseorang dalam keadaan sakit,produksi urinnya sedikit hal ini
disebabkan oleh keinginan untuk minum sedikit.
2. Eliminasi Fekal
a. Tingkat perkembangan
Pada bayi sistem pencernaannya belum sempurna. Sedangkan pada
lansia proses mekaniknya berkurang karena berkurangnya kemampuan
fisiologis sejumlah organ.
b. Diet
Ini bergantung pada kualitas, frekuensi, dan jumlah makanan yang
dikonsumsi. Sebagai contoh, makanan berserat akan mempercepat
4

produksi feses. Secara fisiologis, banyaknya makanan yang masuk


kedalam tubuh juga berpengaruh terhadap keinginan defekasi.
c. Asupan Cairan
Asupan cairan yang kurang akan menyebabkan feses lebih keras.
Ini karena jumlah absorpsi cairan dikolon meningkat.
d. Tonus Otot
Tonus otot terutama abdomen yang ditunjang dengan aktivitas
yang cukup akan membantu defekasi. Gerakan peristaltik akan
memudahkan materi feses bergerak disepanjang kolon.
e. Faktor psikologis
Perasaan cemas atau takut akan mempengaruhi peristaltik atau
motilitas usus sehingga dapat menyebabkan diare.
f. Pengobatan
Beberapa jenis obat dapat menimbulkan efek konstipasi. Laksatif
dan katartik dapat melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik.
Akan tetapi, jika digunakan dalam waktu lama, kedua obat tersebut
dapat menurunkan tonus usus sehingga usus menjadi kurang responsif
terhadap stimulus laksatif. Obat-obat lain yang dapat mengganggu pola
defekasi antara lain: analgesik narkotik,opiat, dan anti kolinergik.
g. Penyakit
Beberapa penyakit pencernaan dapat menyebabkan diare atau
konstipasi.
h. Gaya hidup
Aktivitas harian yang biasa dilakukan, bowel training pada saat
kanak-kanak, atau kebiasaan menahan buang air besar.
i. Aktivitas fisik
Orang yang banyakn bergerak akan mempengaruhi mortilitas
usus.
j. Posisi selama defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi paling sesuai untuk defekasi.
Posisi tersebut memungkinkan individu mengerahkan tekanan yang
5

terabdomen dan mengerutkan otot pahanya sehingga memudahkan


proses defekasi.
k. Kehamilan
Konstipasi adalah masalah umum ditemui pada trimester akhir
kehamilan . seiring bertambahnya usia kehamilan , ukuran janin dapat
menyebabkan obstruksi yang akan menghambat pengeluaran feses.
Akibatnya , ibu hamil sering kali mengalami hemoroid permanen
karena seringnya mengedan saat defekasi.
C. Manisfestasi Klinik
1. Eleminasi urine
a. Retensi urine Retensi urine adalah gangguan pada kandung kemih
sehingga kesulitan untuk mengeluarkan atau mengosongkan urine. Keadaan
ini lebih banyak dialami pria, dibandingkan wanita. Retensi urine dapat
terjadi secara tiba-tiba atau terjadi dalam jangka waktu lama.
1) Ketidaknyamanan daerah pubis.
2) Distensi kandung kemih.
3) Ketidaksanggupan untuk berkemih.
4) Sering berkemih dalam kandung kemih yang sedikit ( 25 – 50 ml ).
b. Inkontinensia urin adalah kondisi di mana Anda tidak dapat mengontrol
buang air kecil Anda. Pasien kehilangan kontrol kandung kemih.
Akibatnya, urin keluar tiba-tiba dan mereka harus menggunakan popok
ketika mereka mengalami penyakit ini. Untuk kasus yang sangat ringan,
urin kadang menetes sedikit ketika batuk atau bersin, atau pada saat
berjalan ke toilet. Untuk tingkat ringan hingga menengah, urin menetes
setiap hari dan Anda memerlukan semacam popok. Untuk penyakit yang
parah, urin dapat keluar hampir setiap jam per hari. Inkontinensia urin
dapat membatasi aktivitas sehari-hari.
3. Eleminasi Fekal
a. Konstipasi atau sering disebut sembelit adalah gangguan pada sistem
pencernaan di mana seorang manusia (atau mungkin juga pada hewan)
mengalami pengerasan tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk
6

dibuang atau dikeluarkan dan dapat menyebabkan kesakitan yang hebat


pada penderitanya.
1) Harus mengejan saat buang air besar.
2) Merasa tidak tuntas setelah buang air besar.
3) Tinja terlihat kering, keras, atau bergumpal.
4) Terasa ada yang mengganjal pada rektum atau bagian paling akhir
dari usus besar.
5) Perut kembung.
6) Sakit perut.
b. Diare adalah penyakit yang membuat penderitanya menjadi sering
buang air besar, dengan kondisi tinja yang encer lebih dari 4 kali sehari.
Pada umumnya, diare terjadi akibat akibat makanan dan minuman yang
terpapar virus, bakteri, atau parasit.
1) Nyeri atau kejang abdomen.
2) Kadang disertai darah atau mukus.
3) Kadang vomitus atau nausea.
4) Bila berlangsung lama dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan
dan kurus.
D. Patofisiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan
di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang
berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/
inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa
mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur
atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek
traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis.
Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan
fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
7

Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik


dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai
syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada
medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini,
otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di bawah
tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya
tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih
dan defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi
refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth,
2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok
spinal terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena
tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung
kemih dan gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian
dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung
kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem
saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf
simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan
meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan
oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang
dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan
proksimal uretra. Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari
kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini
dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai
neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase
pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung
ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak.
Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat
kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan
8

pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot


detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi
pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus
pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter
eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal.
Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak
menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma
kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau
obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf
pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya
pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver
Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu
dan drainase kandung kemih yang adekuat.
2. Gangguan Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat
bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.
Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik
mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam
rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk
defekasi. Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks
defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan
dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus
mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden,
kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah
anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna
tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam
rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan
kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal –
9

sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan


spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter
anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang
dengan sendirinya. Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut
dan diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh
kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan
feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi
paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi
diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk
defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses
menjadi keras dan terjadi konstipasi.
E. Pemeriksaan Fisik
1. Eleminasi urine
c. Abdomen, kaji dengan cermat adanya pembesaran, distensi kandung
kemih , pembesaran ginjal , nyeri tekan pada kandung kemih .
d. Genitalia. Kaji kebersihan daerah genetalia. Amati adanya bengkak,
rabas, atau radang pada meatus uretra .
e. Urine, kaji karakteristik urine klien bandingkan dengan karakteristik
urine normal.
2. Eleminasi fekal
a. Abdomen, pemeriksaan dilakukan pada posisi terlentang, hanya pada
bagian yang tampak saja
1) Inspeksi. Amati abdomen untuk melihat bentuknya, simetrisitas,
adanya distensi atau gerak peristaltik .
2) Auskultasi, dengarkan bising usus, lalu perhatikan intensitas,
frekuensi dan kualitasnya.
10

3) Perkusi, lakukan perkusi pada abdomen untuk mengetahui adanya


distensi berupa cairan, massa, atau udara. mulailah pada bagian kanan
atas dan seterusnya .
4) Palpasi, lakukan palpasi untuk mengetahui konstitensi abdomen serta
adanya nyeri tekan atau massa di permukaan abdomen .
b. Rektum dan anus, pemeriksaan dilakukan pada posisi litotomi atau sims.
c. Feses, amati feses klien dan catat konstitensi, bentuk, bau, warna, dan
jumlahnnya.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG.
2. Pemeriksaan foto rontgen.
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses.
G. Penatalaksanaan
1. Eliminasi Urine
a. Retensi Urine
1) Minta klien untuk berusaha berkemih pada waktu yang terjadwal
yang teratur.
2) Instruksikan klien untuk melakukan latihan dasar panggul (kegle
exercise) diluar waktu berkemihnya. Minta klien melakukan latihan
ini setiap kali berkemih
3) Minta klien menggunakan konpresi kandung kemih (metode crede)
selama berkemih.
b. Inkontinensia
1) Lakukan penilaian kemih yang komprehensif berfokus pada
inkontinensia (misalnya output urine, pola berkemih, fungsi
kognitif, dan masalah kencing praeksisten)
2) Merangsang refleks kandung kemih dengan menerapkan dingin
untuk perut
3) Memantau asupan dan pengeluaran cairan
4) Membantu toileting secara berkala
5) Pemasangan kateter
11

6) Penerapan kateterisasi intermiten


2. Eliminasi Fekal
a. Konstipasi
1) Memonitor tanda dan gejala konstipasi
2) Memonitor bising usus
3) Memonitor feces : frekuensi, konsistensi dan volume
4) Konsultasi dengan dokter tentang peningkatan dan penurunan
bising usus
5) Monitor tanda dan gejala ruktur usus atau peritonitis
6) Jelaskan etiologi dan rasionalisasi tindakan terhadap pasien
7) Identifikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi
8) Dukung intake cairan
9) Kolaborasika pemberian laksatid
10) Pantau tanda-tanda dan gejala konstipasi
11) Mendorong meningkatkan asupan cairan, kecuali di kontra
indikasikan
12) Evaluasi profil obat untuk efek samping gastrointestinal
13) Anjurkan pasinen atau keluarga untuk mencatat warna, volume,
frekuensi dan konsistensi tinja
14) Anjurkan pasien atau keluarga untuk diet tinggi serat
15) Anjurkan pasien atau keluarga pada penggunaan obat pencahar
16) Timbang pasien secara teratur
17) Ajarkan pasien atau keluarga tentang kerangka waktu untuk
resolusi untuk sembelit
b. Diare
1) Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal
2) Ajarkan pasien untuk menggunakan obat anti diare
3) Instruksikan pasien atau keluarga untuk mencatat warna, jumlah,
frekuensi dan konsistensi dari feces
4) Evaluasi intake makanan yang masuk
5) Identifikasi faktor penyebab dari diare
12

6) Monitor tanda dan gejala diare


7) Observasi turgor kulit secara rutin
8) Ukur diare atau keluaran BAB
9) Hubungi dokter jika ada kenaikan bising usus
10) Instruksikan pasien untuk makan rendah serat, tinggi protein dan
tinggi kalori jika memungkinkan
11) Instruksikan untuk menghindari laksatik
12) Ajarkan teknik menurunkan stress
13) Monitor persiapan makanan yang aman
H. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1. Ds: Kerusakan sensori-motorik Gangguan eliminasi
biasanya pasien mengatakan urin
susah untuk berkemih
Do:
1.inkontenesia urin
2.restensi
2. Ds: Kontaminasi Gangguan eliminasi
biasanyan pasien mengatakan (diare)
sering buang air beras, dan
feses cair.
Do:
1.perubahan bunyi usus
peristaltik
2. perubahan warna feses

I. Diagnosa
1. Gangguan pola eliminasi urin berhubungan dengan kerusakan sensori-
motorik.
2. Gangguan eliminasi (diare) Berhubungan dengan terkontaminasi.
13

J. Nursing Care Planning


No. Diagnosa Nursing Outcome Nursing Intervention
Keperawatan Classication
1. Gangguan Eliminasi Setelah di lakukan tindakan 1. Monitoring eliminasi
Urine keperawatan selama ..... x 24 jam di urin,meliputi
Tanda dan Gejala : harapkan gangguan eliminasi urin frekuensi,konsistensir.
1. Disuria dapat teratasi. 2. Monitoring tanda dan
2. Urgensia Kriteria Hasil gejala retensi urin
3. Sering berkemih Indikator IR ER 3. Catat waktu,
4. Inkontenesia 1. Memelihara kebiasaan eliminasi
5. Nokturia kontrol urin bila di perlukan
6. Retensi pengeluaran 4. Pasang kateter apabila
Berhubungan dengan urin di perlukan
a. Obstruksi anatomi 2. Pola 5. Kolaborasi dengan
b. Penyebab Multiple pengeluaran dokter apabila
c.Kerusakan sensori- urin dapat di terdapat tandan dan
motorik produksi gejala infeksi saluran
d.Infeksi Saluran 3. Bebas dari kemih.
Kemih kebocoran urin
4. Mampu
toileting
mandiri
Keterangan :
1. Tidak pernah menunjukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang-kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan
2. Gangguan pola Setelah di lakukan tindakan 1. Kaji riwayat diare
eliminasi ( Diare) keperawatan selama ..... x 24 jam di 2. Identifikasi faktor
Tanda dan gejala: harapkan gangguan eliminasi urin penyebab diare
1. Peningkatan bunyi dapat teratasi. 3. Observasi turgor
usus peristaltik Kriteria Hasil kulit secara teratur
2. Defekasi sering Indikator IR ER 4. Tingkatkan tirah
3. Perubahan warna 1. Memelihara baring
feses kontrol 5. Ukur berat badan
4. Nyeri perut secara terhadap klien
tiba-tiba pengeluaran 6. Kolaborasi
Berhubungan Dengan : feses dengan tim medis
a. Ansietas 2. Mengetahui lain
b. Stress berat pengeluaran 7. Ukur output
c. Radiasi feses defekasi/diare
d. Racun 3. Tidak ada
e. Kontaminasi diare
4. Konstipasi
14

tidak ada
Keterangan :
1. Tidak pernah menunjukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang-kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan
15

DAFTAR PUSTAKA
Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal.
Terdapat pada: http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-
dasar-pemenuhan-kebutuhaneliminasi-fecal/
Hidayat Alimul, Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta:
Salemba Medika.
http://xsumertax.blogspot.com/2011/09/laporan-pendahuluan-kebutuhaneliminasi.
Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta : EGC
Septiawan, Catur E. 2008. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada:
www.kiva.org
Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC:
Jakarta.
Supratman. 2000. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan
Tarwoto & Wartonah. 2004. Kebutuhan Dasar manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: salemba medika

Anda mungkin juga menyukai