Anda di halaman 1dari 6

Aku Generasi Unggul Kebanggaan Bangsa Indonesia

Pada tahun 2015, Indonesia melakukan sebuah tranformasi yang cukup mengejutkan.
Untuk kali pertama, pemerintah menganggap serius kontribusi sektor rill yang salah satunya
berasal dari ekonomi kreatif. Kesadaran itu muncul setelah BPS mencatat bahwa pertumbuhan
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 4,79 %, melampaui pertumbuhan ekonomi
global yang diperkirakan hanya 2,4 %. Berdasarkan data tersebut, Presiden Jokowi percaya
bahwa ke depannya, ekonomi kreatif yang berbasis SDM akan mampu menjadi roda ekonomi
utama, tentunya dalam waktu yang belum bisa ditentukan.
Untuk menjaga dan mengembangkan momentum tersebut, pemerintahan Jokowi-Jk
pun langsung mengambil langkah cepat dengan membentuk sebuah lembaga non-kementerian
yang bernama Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Dan hasilnya, Produk Domestik Bruto
Indonesia meningkat menjadi 5,02 % di tahun 2016 (Liputan6.com, 06/02/17). Berdasarkan
data yang telah dihimpun oleh Bekraf, terdapat 16 subsektor dan 3 sektor unggulan yakni
Fesyen, Kuliner, dan Kriya. Ketiga sektor unggulan tersebut pun mendominasi permintaan
ekspor produk ekonomi kreatif. Namun demikian, muncul sebuah keraguan. Apakah dengan
fokus yang sangat banyak itu, ekonomi kreatif kelak bisa memberikan kontribusi yang masif
terhadap perekonomian Indonesia dan mendapatkan tempat di pasar internasional? Apakah
produk-produk dalam industri ini telah mampu memberikan kontribusi terhadap branding
Indonesia itu sendiri?
Berkaca pada British Invansion dan Korean Wave (Hallyu), gebrakan dalam
menghidupkan perekonomian negara melalui ekonomi kreatif dilakukan hanya dengan
mengambil fokus yang sempit. British Invansion dikenal melalui fenomena musiknya yang
menghajar pasar Amerika yang pada akhirnya merebak ke berbagai negara. Sementara itu,
Korea melakukan imperealisme budaya dengan mengandalkan Kpop dan Drama Korea yang
mampu menerobos pasar Asia, Amerika, dan Rusia. Jadi bisa disimpulkan bahwa kedua negara
tersebut menggunakan produk budaya popular untuk menghantam dinding budaya negara lain.
Fiske (dalam understanding popular culture, 1994) mengatakan bahwa budaya popular
menjadi sumber yang dapat dimobilisasi sebagai bagian dari praktik kehidupan sehari-hari.
Dalam masyarakat yang dimediasi secara massal, publik mengonstruksi identitas-identitas
budaya mereka bukan atas pilihan mereka sendiri. Materi mentah seperti gambar, cerita
karakter, lelucon, lagu, ritual, dan mitos ditransformasi dengan cara memberikan bentuk
ekspresif kepada berbagai pengalaman hidup mereka sendiri. Budaya popular merupakan
kategori konsumsi yang muncul dari upaya-upaya konsumen untuk membuat tawaran budaya
mereka sendiri lewat tindakan penolakan, penerimaan, atau penyesuaian. Fleksibelitas
pemaknaan yang dimiliki oleh budaya popular mampu memberikan ruang bagi masyarakat
industri untuk menerjemahkan kembali nilai dari sebuah produk budaya sesuai dengan apa
yang mereka inginkan.
Berdasarkan pemahaman di atas, saya menyimpulkan bahwa sekeras apa pun
pemerintah mendesak masyarakat untuk menyukai budaya tradisional, sekeras itu pula
penolakan yang akan didapat. Gaung terhadap “cintailah produk Indonesia”, “mari lestarikan
budaya Indonesia” pada akhirnya hanya akan menjadi sebuah kampanye belaka tanpa dampak
yang signifikan. Budaya tradisional tidak mampu menembus pasar karena konteks masyarakat
industri yang terbiasa dengan perubahan cepat dan tidak bisa menerima budaya rakyat
(tradisional) yang terbuat dari tatanan sosial yang stabil dan mengedepankan berbagai nilai
(bukan personifikasi konflik). Masyarakat industri berada pada ketidakseimbangan ekonomi
dan menciptakan pertentangan yang konstan terkait berbagai perbedaan yang dimiliki. Namun
demikian, perlu saya tekankan bahwa bukan berarti saya menolak untuk mempertahankan dan
menyerbarluaskan budaya tradisional. Diprioritaskannya budaya popular karena tuntutan dari
konteks zaman ini. Kita bisa menyisipkan nilai-nilai budaya tradisional secara implisit. Dengan
kata lain, budaya popular menjadi cangkang bagi budaya tradisional yang diam-diam
menyusupi pikiran para konsumen.
Walaupun demikian, produk budaya popular yang kita miliki nyatanya memerlukan
perbaikan dari berbagai aspek. Budaya popular di Indonesia tak lebih dari sekadar “makanan
fast food” yang dapat memberikan dampak buruk bagi “tubuh Indonesia” itu sendiri. Produk
budaya popular yang kita miliki berkeliaran tanpa punya standar dan kualitas kontrol. Tidak
heran bila pada akhirnya produk tersebut hanya menjadi konsumsi pasar domestik, atau
mungkin hanya sekadar “cacat” yang kita tau keberadaannya, tapi tidak kita hiraukan. Sebagai
contoh, industri sinetron yang ada pada saat ini adalah roman picisan yang menjadi hiburan
bagi kelas menengah ke bawah yang menjadi pangsa pasar terbesar di Indonesia. Pola pikir
mengenai “lebih baik menciptakan yang jelek dengan ongkos murah dan menghasilkan profit
yang besar dibandingkan menciptakan yang bagus dengan ongkos besar tapi profitnya masih
diragukan” itu diimani dan dipraktikkan oleh media televisi kita saat ini. Oleh sebab itu,
perancangan dan penerapan kultur baru perlu segera dilakukan.
Mengacu pada Korea, sistem produksi media televisi mereka, khususnya drama korea
dan reality show dibuat dengan mengeluarkan ongkos yang sangat besar. Mulai dari pembuatan
naskah, pemilihan lokasi, pembentukan karakter dari masing-masing aktor/aktris, dan
sebagainya dilakukan dalam waktu yang cukup panjang. Hal itu dikarenakan karena kesadaran
dari para perusahaan hiburan dan visi dari pemerintah bahwa produk budaya popular yang akan
dibuat ditujukan bukan hanya untuk pasar domestik, tapi juga pasar internasional. Penelitian
terhadap pasar yang dituju itu menjadi hal yang sangat penting. Kita bisa lihat video musik dari
BoA (salah satu penyanyi pop asal Korea)yang dibuat dalam dua versi, yakni untuk pasar di
Korea dan Amerika. Untuk pasar Korea, BoA menggunakan kostum kasual dan menari di jalan
bersama penari latar. Sementara versi Amerika, BoA memakai pakaian kulit seksi, lipstick
berwarna merah, sepatu high heels, dan bersikap menggoda para audiens laki-laki Amerika.
Para stakeholder paham bahwa mengetahui siapa audiens yang akan dituju adalah sesuatu yang
sangat vital. Oleh sebab itu, mereka rela menggelontorkan dana besar-besaran untuk
mendapatkan informasi mendetil terhadap karakteristik para audiens-nya.
Saya sangat mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh Bekraf sejauh ini. Langkah
awal yang diambil seperti identifikasi pelaku ekonomi kreatif yang dilakukan beriringan
dengan memfasilitasi terkait modal, knowledge terkait pemasaran dan pengembangan produk,
dan infrastruktur adalah sebuah kemajuan. Saya pun mengakui bahwa untuk mewujudkan
gebrakan ekonomi kreatif yang masif ke pasar domestik dan internasional, Bekraf memerlukan
bantuan dari pihak lain. Maka dari itu, esai ini dibuat dengan tujuan untuk membantu atau
mungkin menutupi kekurangan-kekurangan yang ada pada Bekraf.
Menurut saya, ada beberapa hal yang sebenarnya perlu dirancang untuk mendongkrak
popularitas ekonomi kreatif Indonesia di kancah internasional. Pertama, kita membutuhkan
narasi besar yang di dalamnya terdapat berbagai media yang saling terkait. Banyak pelaku
ekonomi kreatif yang ada di kota-kota besar di Indonesia yang berjalan sendiri, sehingga
branding terhadap Indonesia pun masih belum menjadi prioritas. Korea bisa meraih prestasi
sejauh ini karena berbagai produk yang ditawarkan itu saling terhubung. Para bintang Kpop
diberdayakan pula menjadi aktris atau aktor dalam drama korea. Infrastruktur dalam bidang IT
pun dibuat secara spesifik. Setiap bidang memiliki website yang ditujukan untuk para
konsumen yang ingin menggali lebih jauh mengenai idola mereka.
Pembahasan mengenai budaya pop dan Korean Wave adalah titik tolak dari esai ini.
Dengan mengadaptasi apa yang sudah dilakukan Korea, saya yakin bahwa ekonomi kreatif bisa
berkembang pesat dan menjadikan Indonesia sebagai influencer untuk negara lain. Narasi besar
yang sebelumnya telah dipaparkan itu dibungkus dengan produk budaya popular seperti tv
series atau web series, film, komik, meme, yang disebarkan melalui berbagai platform digital.
Istilah tersebut mengacu pada teknik pemasaran transmedia yang kini tengah digunakan oleh
negara Barat.
Pada transmedia, narasi besar diisi oleh narasi-narasi kecil yang terdapat dari berbagai
media (platform). Terdapat enam komponen yang saling terkait dan harus berjalan harmonis
yakni Story, Experience, Platform, Execution, Business model, dan Audience. Disebarnya
cerita lewat berbagai platform ini menyebabkan percakapan mengenai produk tersebut muncul
karena informasi yang ada di masing-masing platform itu berbeda-beda. Audiens seperti
diberikan puzzle yang harus diselesaikan untuk mengetahui wacana menyeluruh
Dengan mengandalkan data yang telah dihimpun oleh Bekraf, saya berencana untuk
membuat sebuah perusahaan entertainment yang bertujuan untuk merancang narasi besar bagi
branding Indonesia. Dalam organisasi itu, penelitian terhadap pasar internasional menjadi
fokus utama yang harus dilakukan secara mendalam. Hal tersebut merupakan hal yang baru,
mengingat sejauh ini belum terdapat produk budaya popular yang dibuat secara masif untuk
pasar internasional. Kalaupun ada, branding terhadap Indonesia itu sendiri tidak terkena
dampaknya. Dengan 16 subsektor yang telah dihimpun oleh Bekraf, kita bisa mengandalkan
subsektor film, animasi, video sebagai media utama untuk mengangkat subsektor lain. Sebagai
contoh, subsektor unggulan seperti kriya, fesyen, kuliner bisa kita ekspose secara terus menerus
lewat tv series, komik, website, dll. Dalam praktiknya, tv series, web series, dan film
memerlukan pemilihan lokasi yang digemari oleh turis asing di Indonesia. Dengan begitu, para
audiens bisa tertarik untuk berwisata ke tempat tv series itu dibuat sehingga pemasukan dari
sektor pariwisata daerah pun dapat meningkat. Pada tiga tahapan yakni pra produksi, produksi,
dan pascaproduksi, akan digunakan pola Hollywood dalam praktiknya. Dengan demikian,
diharapkan hal itu dapat membuat revolusi budaya kerja di ranah audio visual, khususnya
sinetron atau tv series yang sebelumnya disederhanakan oleh sistem stripping.
Setelah mengetahui reaksi dari audiens yang tereskpose ketiga produk tadi, maka
dibuatlah acara seperti Darwin Aboriginal Art Festival di Australia. Acara yang berisikan
pameran karya seni suku Aborigin itu menawarkan kesempatan pada para penikmatnya yang
berasal dari berbagai negara untuk berhubungan langsung dengan orang-orang Aborigin asli.
Jadi bukan hanya membeli produk, tetapi para penikmat bisa memahami filosofi hidup dari
suku tersebut. Dalam hal Indonesia, produk kriya pun bisa kita jadikan sebuah acara pameran
yang memungkinkan pengunjung untuk melakukan perjalanan ke daerah tempat kriya itu
dibuat. Pameran itu pun bisa menjadi cara untuk memasarkan produk-produk tradisional lain
yang berasal dari suku Dayak, Baduy, dan lain-lain. Jadi, apa yang akan dibuat adalah untuk
membantu menceritakan kisah kepada turis, kolektor seni, dan orang-orang yang percaya akan
kekuatan dari suku pribumi Indonesia sehingga dapat berpartisipasi di dalamnya dan menjadi
agen untuk membagikan pengalamannya pada seluruh dunia. Untuk infrastruktur IT pun akan
dibuat secara spesifik. Masing-masing produk memiliki platform yang berisikan informasi-
informasi mendetil terkait filosofi, agenda mendatang, dan sebagainya. Dengan infrastruktur
IT yang sudah terbangun (big data termasuk di dalamnya) bukanlah tidak mungkin jika produk
budaya popular dari Indonesia ini mampu mengetahui dan akhirnya dapat menjinakkan
keinginan pasar. Terlebih lagi, jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini telah mencapai
51,8 persen atau sekitar 132,7 juta dari total populasi penduduk Indonesia yang berjumlah
256,2 juta jiwa (berdasarkan data yang dihimpun APJII). Dengan jumlah yang sangat besar itu,
warga Indonesia mampu menciptakan gebrakan di dunia maya yang dapat menggegerkan
dunia. Tidak hanya itu, perusahaan ini pun ditujukan untuk menjadi wadah bagi setiap warga
Indonesia yang memiliki prestasi di kancah internasional. Sebagai contohnya, Rich Chigga,
rapper muda Indonesia yang tengah menjadi perbincangan hangat oleh media asing. Individu-
individu seperti Rich Chigga ini nantinya bisa diberdayakan untuk menjadi brand ambassador
dan bahkan diberikan andil dalam pengembangan budaya popular yang sebelumnya telah
dibicarakan. Dengan digandengnya individu-individu demikian, maka akan terbentuk sebuah
ekosistem yang baik, yang memiliki satu misi untuk melakukan gebrakan kultur Indonesia ke
berbagai negara. Ekosistem yang baik pun pada akhirnya akan mengubah peran pasif Indonesia
yang saat ini hanya menjadi importir budaya popular bagi para pembuat hiburan dari India dan
Turkey, menjadi negara yang aktif dalam mengekspor budaya ke luar negeri.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang ditawarkan adalah fokus dari
branding Indonesia itu sendiri melalui produk budaya popular. Untuk langkah awal, produk
yang akan digunakan berbentuk web series atau tv series yang berisi nilai-nilai keindonesiaan
dan penempatan produk kreatif buatan Indonesia. Dalam perkembangannya, video musik
dijadikan fokus selanjutnya dengan nilai yang sama. Pada intinya, seluruh produk diikat oleh
suatu narasi besar yang saling terhubung dan disebarluaskan lewat berbagai platform.
Perusahaan yang akan dibentuk ini juga memiliki fungsi distribusi konten ke media-
media televisi luar negeri. Jadi bukan hanya membentuk ekosistem yang kuat dan membuka
pasar, organisasi ini bertanggung jawab pula sepenuhnya terhadap impresi, reaction, evaluasi
produk budaya popular yang dipasarkan di luar negeri. Jika hal ini dapat terwujud, tak
diragukan lagi budaya Indonesia akan mendapatkan tempat yang layak di tanah sendiri dan di
berbagai negara lain. Dunia akan tahu bahwa Indonesia bukanlah negara yang hanya
mengandalkan sektor utama untuk perekonomiannya, tetapi juga negara yang memiliki SDM
berkualitas yang dibuktikan lewat kreativitas.
Daftar Pustaka

Fiske, John. 1994. Understanding Popular Culture. London: Routledge

Ravina, Mark. 2009. Introduction: Conceptualization Korean Wave. Emery University:


Southeast Review of Asian Studies, Vol 31.

Tuk, William. 2012. Who Are Behind The Success of Korean Popular Culture. Belanda:
Leiden University

Pratten, Robert. 2011. Getting Started with Transmedia Storytelling. United States:
Createspace Independent Publishing Platform

Anda mungkin juga menyukai