Anda di halaman 1dari 4

NOSEDIVE: DISTORSI SOSIAL YANG PERLU DITANGGALKAN

“Our job is to explain what’s happening to you as best we can.”

Penggalan kalimat di atas terdapat di dalam account twitter Black Mirror, sebuah tv series yang berhasil
menghentak isi kepala saya lewat tema utama yang dibawanya. Berbeda dengan tv series lain yang tengah
keranjingan untuk mengekspose imajinasi para pembuatnya, Black Mirror mampu menghadirkan kenyataan,
dan ekses-ekses yang terjadi dalam kehidupan manusia sekarang. Film yang ditulis oleh Charlie Brooker ini
berbicara mengenai teknologi yang tidak hanya memiliki nilai praktis, namun juga destruktif tanpa kita sadari.

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Black Mirror berarti kaca atau cermin hitam. Sewajarnya
sebuah cermin memiliki fungsi untuk memantulkan sebuah subjek yang ada di depannya, dengan tujuan agar
subjek tersebut mengetahui detil-detil yang melekat padanya. Akan tetapi, dengan kondisi hitam atau gelap
demikian, apakah kita masih bisa melihat pantulan tersebut? Warna gelap itulah yang menjadi refleksi dari diri
kita sejauh ini. Dengan kata lain, kita tidak bisa mengetahui apa dan bagaimana diri kita sekarang. Nahasnya,
dalam kegelapan tersebut cuma ada satu kepastian, yakni kehancuran.

Perlu dicatat bahwa tv series ini terdiri dari tiga season dengan total 13 episode. Namun kali ini saya hanya
fokus pada Nosedive, yakni episode pertama dari season ketiga yang ditayangkan di Netflix pada bulan
Oktober tahun 2016. Nosedive memaksa kita untuk mengakui ketidaknyamanan yang kita alami setelah
beberapa tahun terakhir kita memilih untuk mengkonversikan kenyataan dengan kemayaan. Pada episode
tersebut, sistem rating menjadi penentu dari segala aktivitas yang akan kita lakukan dalam kehidupan sehari-
hari. Hanya orang-orang yang memiliki rating tinggi yang mendapatkan previlege, seperti diskon, hingga akses
untuk masuk ke suatu tempat. Dengan kata lain, sistem rating telah menajamkan kesenjangan sosial. Satu-
satunya cara untuk mendapatkan rating tinggi ialah bersikap ramah kepada setiap orang, walaupun tindakan
itu bersifat artifisial. Jika dibenturkan dengan kenyataan, sistem rating ini bisa kita terjemahkan sebagai “like”
yang menentukan tingkat ketenaran seseorang. Sebelum masuk ke bagian analisis, penjabaran mengenai alur
cerita Nosedive akan dilakukan terlebih dahulu dengan membaginya menjadi lima fragmen.
Pertama mengenai action yang diawali oleh Lacie, tokoh utama yang memiliki rating 4.2, tengah melakukan
jogging keliling tempat tinggalnya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan banyak tetangga dan teman yang
juga melakukan aktivitas tersebut. Namun hal yang mencuri perhatian adalah tiap orang pada scene pembuka
ini pasti menggenggam handphone yang digunakan untuk men-rate orang lain yang ada di sekitarnya.
Kemudian adegan berlanjut, tokoh Lacie menatap sebuah cermin dan berlatih tersenyum atau tertawa. Hal itu
dilakukan agar kepura-puraan yang dia tampilkan bisa terlihat sungguhan di depan orang lain. Dan dengan
begitu, orang lain akan memberi lima bintang yang akan berpengaruh pada rating yang dimilikinya.
Kedua mengenai background, Lacie merupakan seorang perempuan yang belum menikah dan mengontrak di
sebuah rumah bersama adiknya, Ryan. Walaupun bersaudara, kedua tokoh ini memiliki perbedaan dalam
menanggapi sistem rating yang tengah mengikat setiap gerak individu. Lacie cenderung untuk berlatih dan
menjaga rating sehingga ia berusaha keras untuk berbuat baik kepada semua orang. Ia memuji setiap orang
yang bertemu dengannya entah itu di jalan, kantor, restoran, dan sebagainya, serta memberikan mereka rating
tertinggi yakni lima bintang. Sedangkan Ryan, ia tidak acuh dengan sistem tersebut, dan memang dalam
semua scene yang ada, setting tempat yang terdapat dirinya hanya di rumah saja. Jadi bisa dikatakan
kehadiran Ryan ini bertujuan untuk mewakili orang-orang yang memiliki sikap demikian terhadap sosial media.
Memasuki fragmen ketiga yakni development, tokoh Lacie perlahan-lahan dibenturkan dengan masalah-
masalah kecil seperti kesalahannya ketika berbuat baik dan memberikan bintang lima kepada Chester (rating
3.1), seorang pelayan, yang telah berpisah dari kekasihnya, Gordon. Namun sayangnya, mayoritas teman
Lacie di kantor berpihak pada Gordon dan benci terhadap Chester. Tindakan baik yang dilakukan oleh Lacie
ternyata menjadi bumerang dan membuat beberapa teman kantornya (dengan menggunakan status anonim)
memberikan rate rendah kepada Lacie. Selanjutnya, masalah yang dihadapi oleh Lacie adalah tempat
tinggalnya akan dijual oleh pemilik rumah sehingga ia harus mencari tempat tinggal yang baru. Akhirnya, ia
pun mencari rumah di Pelican Love yang harga sewanya sangat mahal. Agen properti dari perumahan tersebut
menawarkan diskon sebesar 20%, namun hanya bisa digunakan bagi mereka yang memiliki rating di atas 4.5.
Tergiur dengan hal itu membuat Lacie berusaha keras untuk mencapai nilai 4.5 dengan berkonsultasi dengan
seorang pakar sosial digital. Orang tersebut menyarankan agar Lacie memperluas jaringannya dan menjadi
lebih selektif yakni dengan bergaul bersama orang-orang yang memiliki rating di atas 4.5 ke atas. Tak
disangka-sangka, sebuah kesempatan brilian muncul. Lacie mendapatkan tawaran untuk menjadi pembicara di
acara pernikahan teman lamanya yang bernama Naomi (rating 4. 8). Tamu undangan yang hadir dalam
pernikahan tersebut memiliki rating yang tinggi dan hal tersebut dapat mendongkrak rating Lacie secara
singkat. Ia pun menerima tawaran Naomi. Sayangnya, perjalanan menuju tempat pernikahan Naomi tidak
berjalan mulus. Lacie mendapatkan berbagai kesulitan dan menyebabkan ratingnya turun menjadi 3.1. Di
tengah perjalanan, Lacie bertemu dengan Susan (rating 1.4) yang menawarinya tumpangan. Pada adegan
inilah mulai muncul persepsi baru dalam diri Lacie setelah mendengar cerita Susan terkait rating. Namun
kebersamaan Lacie dan Susan hanya berlangsung singkat, karena mereka berbeda arah. Akhirnya Lacie
mencari tumpangan baru, yakni sebuah grup pertunjukan yang memiliki tujuan searah dengannya. Ketika di
dalam mobil grup tersebut, Lacie ditelepon oleh Naomi. Kehadiran Lacie tidak diharapkan lagi karena ratingnya
telah turun drastis dan hal itu menurut Naomi adalah hal yang memalukan. Kecewa dengan sikap Naomi,
akhirnya Lacie tetap datang ke pernikahan tersebut, namun dengan tujuan yang berbeda.
Keempat yakni bagian climax, berisi tentang kedatangan Lacie yang membuat Naomi dan para tamu undangan
terkejut. Pasalnya, badan Lacie penuh lumpur karena terjatuh ketika mencoba menerobos masuk ke acara
pernikahan itu. Dengan mengambil mic yang ada di depan, Lacie memberikan speech yang sangat emosional.
Ucapan yang dilontarkannya membuat banyak orang yang hadir memberinya rate rendah sehingga ratingnya
pun turun lagi menjadi 0.6. Akan tetapi, hal itu sudah tidak penting lagi. Lacie hanya ingin melontarkan semua
yang ada di kepalanya, tanpa mengacuhkan rating yang selama ini membelenggunya. Pada akhirnya Lacie
pun dipenjara karena telah membuat keonaran di acara pernikahan tersebut.
Pada fragmen ending, nampaknya Charlie Brooker cukup simbolis dalam mengutarakan maksud yang ada
dalam adegan. Di dalam penjara Lacie dipertemukan dengan orang kulit hitam. Keduanya saling memaki,
mengeluarkan seluruh kemarahan, kesedihan, kemuakkan yang ada di dalam kepala mereka, tanpa peduli lagi
mengenai sistem rating.
Pengendalian Tindakan oleh Modernitas sebagai Indeks Alienasi pada Manusia Modern dalam Hubungannya
dengan Diri Sendiri dan Sesamanya
Teknologi adalah anak kandung dari modernitas. Ia dibuat setelah akal budi yang kita miliki mulai meracau dan
mendambakan hidup yang lebih praktis dengan mangandalkan mesin. Jika dilihat dari tujuan awalnya memang
sangat positif yakni menyederhanakan kehidupan kita, namun demikian manusia selalu terpenjara dalam
dialektika peradaban yang disusunnya sendiri, sehingga muncul kompleksitas, yang selalu saja butuh waktu
panjang untuk memetakan permasalahan-permasalahan yang timbul. Seperti halnya sekarang, ketika kita
terhanyut dalam dunia yang dibentuk oleh sistem coding dan menyebabkan kealpaan kita terhadap dunia yang
sebenarnya. Kita mengkonversi semua memori, hingga persepsi kita ke dalam kemayaan. Oleh sebab itu,
terjadi distorsi sosial yang sampai saat ini belum kita temukan penawarnya. Karakteristik dari manusia modern
itu sendiri berada di persimpangan jalan yaitu di antara menjadi individualis atau konformitas yang dibentuk
oleh industri massa. Itulah kenyataan yang kita hadapi saat ini, kedua sumbu itu saling tumpang tindih dan
menghasilkan kolaborasi yang sangat mengerikan. Kita menjadi makhluk yang lupa akan artinya ketulusan
karena setiap tindakan bermuara pada kepentingan pribadi. Dengan kata lain, budaya modern adalah budaya
perang yang tidak jantan, karena dilakukan secara diam-diam, tanpa genderang. Kita telah dijangkiti virus
prasangka yang menggerogoti setiap hubungan sehingga disintegrasi terjadi di mana-mana.

Berbicara mengenai Nosedive berarti berbicara mengenai new media. Konon, media baru ini dijadikan tempat
untuk meledakkan apa pun yang sebelumnya telah dibendung oleh media massa konvensional. Tanpa
disadari, kita melakukan selebrasi terkait hal itu lewat berbagai macam aspek, seperti penonjolan tingkat
narsistik, penilaian instan mengenai apa pun yang lewat dalam timeline kita, dan perbandingan terhadap
kehidupan yang kita miliki dengan kehidupan orang lain. Dan tragisnya, kita terlampau nyaman dengan
lanskap sosial yang demikian. Perlahan tapi pasti, kenyamanan itu telah membuat kita menjadi dependen
terhadap gadget, smartphone khususnya, dan menjadikannya “berhala” yang layak untuk disembah. Dengan
kata lain, kita telah teralienasi. Terkait hal tersebut, Fromm ( 1995) menyatakan bahwa dalam penyembahan
berhala, manusia tidak mengalami dirinya sendiri sebagai pusat yang memancarkan aktivitas-aktivitas hidup
dengan cinta dan akal budinya sebab ia membungkukkan diri dan tunduk pada proyeksi salah satu kualitas
parsial dalam dirinya yang terwujud dalam sebuah benda. Dengan demikian, setiap tindakan penyembahan
yang patuh adalah suatu tindakan alienasi. Dalam kasus Lacie, ia terpaku pada rating, pada obsesinya untuk
memiliki, yang jika bisa kita samakan dengan kelas sosial, sebuah status terhormat yang tragisnya hanya
diwacanakan dalam sebuah angka. Semua usaha ia lakukan dengan memaksa dirinya untuk berpura-pura dan
mengikuti suara mayoritas (ditunjukkan ketika Lacie mengabaikan Chester di hari kedua pertemua mereka).
Pada titik tersebut, Lacie tidak mengalami dirinya, “keakuan” telah hilang karena hanya menghambat prosesi
penyembahan berhala. Ia telah menjadi budak dari salah satu ambisinya yang diproyeksikan pada tujuan-
tujuan di luar dirinya. Lacie tidak lagi menghayati dirinya di dalam kekayaan dan keterbatasan seorang
manusia. Bisa dikatakan bahwa ia telah “dirasuki” salah satu ambisinya, yakni rating tinggi. Hal tersebut tidak
berbeda dengan keadaan kita saat ini di mana follower misalnya dijadikan patokan seberapa pentingnya
eksistensi kita dalam lingkungan digital. Dan oleh sebab itu, kita rela menanggalkan identitas diri kita yang
sebenarnya dan mengubahnya dengan mengikuti trend yang sedang booming. Scene awal yakni ketika Lacie
tengah melatih untuk tersenyum secara natural telah jelas sekali bahwa ia mengedepankan sifat artifisial agar
mendapatkan imbalan rating yang tinggi. Hal itu pun tentu tidak terlepas dari kejelian Charlie Brooker sebagai
penulis dalam melihat kondisi sosial di dunia digital. Ia sadar bahwa masyarakat era ini tidak sehat karena
telah diracuni industri massa dan menyebabkan mereka harus berdiri di tengah jurang individualitas atau
penyesuaian terhadap mayoritas. Selain itu pula, penggunaan smartphone di sini sangat ditekankan karena
setiap orang selalu terpaku pada gadget tersebut. Penggambaran mengenai lingkungan di Nosedive selalu
ditandai oleh adegan menunduk yang dilakukan semua orang dalam beberapa scene.
Munculnya scene Naomi sebenarnya bukan hanya bertujuan untuk menjadi ruang bagi Lacie mendapatkan
rating tinggi. Akan tetapi, scene tersebut juga menjelaskan bahwa lingkungan kita saat ini telah dipenuhi oleh
budaya perbandingan, yang pada akhirnya memunculkan sikap tidak puas, rendah diri, dan pesimis terhadap
diri kita sendiri. Hal itu ditunjukkan Lacie ketika ia membuka profile dari Naomi dan kekasihnya, Paul. Ia terpaku
melihat foto-foto yang diunggah oleh mereka. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa Lacie mendambakan
kehidupan seperti Naomi. Secara tidak langsung ia telah tersesat dalam alam perbandingan dan menyebabkan
depresi yang nahasnya tidak disadari olehnya. Sementara itu, dihadirkannya tokoh Ryan (adik Lacie), Susan
(Supir truk perempuan yang berating 1.4), dan tokoh penjaga pom bensin, sangatlah tepat. Dengan begitu,
penonton yang tidak mengalami, atau tidak acuh terhadap prinsip yang dimiliki Lacie bisa diwakilkan
karakternya lewat tokoh-tokoh di atas. Orang-orang jenis ini digambarkan memiliki kehidupan yang lebih
bahagia, bebas, dan tulus karena mereka tidak terbelenggu oleh berhala digital. Mereka mengalami hidup, di
mana “keakuan” itu muncul seperti yang dikatakan oleh penjaga pom bensin ketika memberikan dua bintang
kepada Lacie, “bukanlah sebuah hitungan yang berarti”.
Seluruh tindakan yang dilakukan oleh Lacie, dan tokoh-tokoh lain yang peduli akan rating mengimplisitkan hal
lain yakni pada dasarnya kita tidak berbeda dengan sebuah benda. Kita menata diri kita, tersenyum, mengucap
kata-kata yang sopan, dan rela menghilangkan kebebasan semata-mata hanya untuk bertaruh harga di pasar
kepribadian. Kapitalisme telah mengkomodifikasikan setiap individu dengan harga yang berbeda-beda.
Semakin kita mengikuti prinsip konformitas, semakin tinggi pula harga kita. Itulah ilusi yang dihadirkan industri
massa agar status quo para penguasa bisa bertahan. Mereka tidak ingin individu-individu ini sadar dan
memiliki pemikiran yang radikal sehingga keluar dari jalur yang telah mereka tetapkan dalam sebuah pasar.

Hal menarik lainnya dalam film ini adalah pernyataan Susan yang secara tidak langsung menjelaskan makna
dari kata Nosedive. Ia mengatakan bahwa:

“ memang cepat kau tergelincir ketika kau mulai melakukannya, dan ternyata banyak temanku yang tidak
peduli pada kejujuran. Memperlakukanku seperi sampah. Tetapi itu menyenangkan, menumpahkannya,
rasanya seperti melepas sepatu ketat.”

Nosedive merepresentasikan suatu keadaan di mana seseorang manusia terperosok akibat tindakan kejujuran
yang diutarakannya. Hal tersebut dikarenakan dunia sosial telah menerima kebohongan sebagai sebuah
kenyataan dan kemudian membalikkan kejujuran sebagai aib yang tidak boleh dibicarakan. Kemudian kalimat
“Rasanya seperti melepas sepatu ketat” menunjukkan bahwa kebebasan yang sesungguhnya adalah ketika
kita bisa melepas sikap artifisial kita demi sesuatu yang ada di luar diri kita dan mengakui “keakuan” yang kita
miliki. Ucapan-ucapan yang diucapkan oleh Susan kepada Lacie inilah yang menjadi pemantik Lacie untuk
mengutarakan perasaan emosi kepada Naomi. Ia datang ke pesta pernikahan tersebut tanpa bersolek dan
secara ilegal melewati hutan. Sesampainya di tempat pernikahan, ia langsung menyambar mic dan berbicara
apa pun yang dia rasakan pada saat itu. Pada titik itu Lacie telah mengalami dirinya sendiri sebagai entitas
yang unik, yang telah bebas dari belenggu alienasi.

Hal yang menarik di sini adalah, pada scene terakhir yakni dengan mengambil setting penjara yang
dikontraskan dengan kondisi kejiwaan Lacie dan orang kulit hitam dihadapannya. Mereka meracau dan terus
mengeluarkan kata-kata kasar, yang seolah-olah melambangkan kebebasan. Jadi bisa disimpulkan bahwa
kontras yang ditampilkan tersebut bertujuan untuk kembali “menampar” penonton bahwa dunia saat ini benar-
benar terbalik. Orang yang merasa bebas adalah orang yang berada di dalam penjara sosial, dan orang yang
tidak bebas adalah orang yang tinggal nyaman di lingkungan sosialnya.
Sewajarnya seni, film Nosedive hanyalah refleksi dari kehidupan sehari-hari yang tentunya telah mengalami
sedikit penambahan unsur drama dan imajinasi. Namun demikian, film ini menurut saya pribadi telah berhasil
untuk memprediksi masa depan manusia dalam jagat digital. Ia menjadi “warning” setelah kita beberapa tahun
belakangan terhanyut dalam selebrasi maya. Nosedive membuat saya berpikir, jika memang benar sebentar
lagi kita akan memasuki masa di mana sistem rating dapat menentukan segala aspek kehidupan kita,
sepertinya pengasingan diri ke tempat yang lebih sepi menjadi siasat yang perlu dipertimbangkan setelah kita
lelah dengan kepura-puraan yang telah menjadi budaya.

Daftar Pustaka:

Fromm, Erich. 1995. Masyarakat yang Sehat. Terj. Thomas Bambang Murtianto. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
www.vice.com/en_ca/article/black-mirror-has-a-bleak-view-of-technology-humanity-and-its-audience diakses pada
tanggal 11 Januari 2017

Anda mungkin juga menyukai