Anda di halaman 1dari 20

Bab I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Aristoteles mengungkapkan bahwa sesuatu di alam ini dibagi menjadi dua

kategori utama. Pertama, benda mati seperti batu, tanah, dan tetes air. Kedua, benda

hidup seperti tanaman dan makhluk lainnya. Perbedaannya terletak pada potensi

untuk mengubah diri secara otonom. Benda mati hanya akan berubah jika mendapat

intervensi dari luar dirinya. Sementara benda hidup, mampu mengubah dirinya tanpa

adanya intervensi tersebut. Dalam benda hidup, yang dimaksud makhluk lainnya ini

memiliki subkategori, yaitu binatang dan manusia. Kedua jenis itu dibedakan dari

tumbuhan karena manusia dan binatang tidak hanya bisa menyerap makanan,

tumbuh, dan berkembang biak. Binatang dan manusia memiliki kemampuan untuk

memahami dunia yang mereka tempati dan bergerak sesuai dengan keinginannya

(Dahler dan Eka, 2000:92).

Manusia, dalam fungsi-fungsi tubuh dan fisiologisnya tidak berbeda dengan

binatang. Fungsi-fungsi kebinatangan ditentukan oleh insting-insting, oleh pola-pola

tingkah laku yang khas, yang pada gilirannya ditentukan oleh struktur susunan syaraf

bawaan (Fromm, 1995: 22). Menurut KBBI (2004:540) insting merupakan pola

tingkah laku yang bersifat turun-temurun yang dibawa sejak lahir. Dalam hal ini,

insting berarti sesuatu yang mengarahkan binatang dan manusia untuk menjaga

kelangsungan hidupnya, seperti makan, berkembang biak, membuat tempat tinggal,

1
dan sebagainya. Sumber-sumber terpenting dari energi insting adalah keperluan-

keperluan jasmaniah atau gerak hati (Hall, 2000: 36).

Di lain sisi, akal budi yang dimiliki manusia telah menjadi instrumen untuk

melampaui posisi binatang dalam “tangga alam” yang digambarkan Aristoteles. Akal

manusia memberikan peluang untuk bertahan hidup tidak hanya berdasarkan insting

semata. Selain itu, manusia juga dilengkapi oleh budi yang biasa kita sebut dengan

nurani. Singkatnya, akal budi merupakan keunggulan manusia dari binatang lain

sehingga memiliki pikiran sehat dan bisa menembus apa yang ada di balik

permukaan. Dengan perbandingan-perbandingan tersebut, Aristoteles pun sampai

pada simpulan bahwa manusia merupakan “binatang yang berakal”.

Ketika binatang mengatasi alam, saat binatang mengatasi peran


yang semata-mata pasif sebagai ciptaan; saat ia secara biologis
menjadi binatang yang paling tidak berdaya, di situlah awal
kelahiran manusia. Pada saat itulah ia membebaskan dirinya dari
alam dengan postur tubuh berdiri tegak . Akal budinya tumbuh
jauh mengatasi akal budi binatang yang tertinggi sekalipun.
Kelahiran manusia ini mungkin terjadi ratusan ribu tahun lalu,
namun persoalan yang lebih penting adalah bahwa spesies baru
telah muncul mengatasi alam, bahwa hidup menjadi sadar akan
dirinya (Fromm, 1995: 23)

Dibandingkan dengan binatang, manusia merupakan makhluk terlemah yang

tinggal di alam. Kebergantungan yang total sejak awal kelahirannya membuat

manusia sulit untuk bertahan hidup. Manusia yang lahir memerlukan waktu sekian

tahun untuk belajar berbagai hal untuk bertahan hidup. Proses belajar ini pun tidak

bisa ditangani oleh dirinya sendiri. Ia membutuhkan peranan orang tua sebagai

pembimbing. Pada titik terendah mereka beralih untuk mencari jalan keluar atas

tantangan-tantangan yang diberikan alam. Dengan memanfaatkan potensinya, mereka

2
menemukan akal budi. “Hidup menjadi sadar akan dirinya”, akan keterpisahannya

dari alam. Peristiwa penemuan ini merupakan babak baru bagi diri manusia. Piliang

menjelaskan bahwa:

Ia (manusia) adalah “binatang” yang “. .menghitung, meren--


canakan, memandang ada sebagai objek, merepresentasikan
segala yang mengobjek dan menjadikannya teratur”. Karena ia
adalah binatang “rasional”, manusia dapat menempatkan
dirinya—dalam relasinya dengan obyek-obyek di sekitarnya—
sebagai “subyek”, yang mempunyai pandangan tentang diri
sendiri (self-image). Bahkan, ia dapat mengubah obyek-obyek
di sekitarnya—melalui kemampuan akal rasional—untuk
mengamankan dan menyamankan dirinya di dalam dunia.

Akal budi yang dimiliki oleh manusia menjadikan dirinya sadar akan

eksistensinya. Ia belajar untuk menjadi subjek dan melakukan objektivikasi terhadap

segala hal yang ada di luar dirinya. Ia belajar untuk memaknai, melakukan

pertimbangan, mengambil keputusan, dan mengembangkan secara optimal apa yang

dimilikinya. Kesadarannya juga memungkinkan manusia tidak hanya mampu berpikir

tentang objek yang ada di luar dirinya. Pada satu titik mereka meleburkan dirinya

menjadi dua bagian, subjek sekaligus objek. Mereka menyelami seluk beluk

kehidupan dalam diri mereka sebagai perbandingan atas spesiesnya. Mereka

menciptakan nilai. Persoalan-persoalan tentang logika, etika, dan estetika merupakan

buah dari alam perbandingan yang ditemukan tersebut.

Lebih jauh lagi, Piliang dalam tulisannya menjelaskan bahwa naluri

kebinatangan yang ada dalam diri manusia sebenarnya telah menjadi perdebatan sejak

zaman dahulu. Aristoteles, Spinoza, Karl Marx, adalah beberapa filsuf yang

menganalogikan manusia dengan binatang. Dunia pun gempar ketika Darwin

meluncurkan bukunya yang berjudul The Origin of Species. Ia mengatakan bahwa

3
nenek moyang manusia adalah kera. Dari temuan tersebut, konsepsi ini mulai

dikembangkan dalam ranah psikologi dan ilmu sosial lain. Freud, Jung, Adler,

Agamben,Rilke, George Santayana merupakan penerus dari konsepsi tersebut.

Perdebatan pun berlanjut sampai ke penilaian manakah yang lebih superior antara

manusia dan binatang. Namun begitu, poin yang paling penting adalah sejauh mana

akal budi manusia dapat memanusiakan manusia dan menjinakkan sisi kebinatangan

dalam dirinya.

Dalam perkembangannya, akal jauh meninggalkan budi. Baik dan buruk

bukanlah patokan dalam bertindak. Pembunuhan massal kaum PKI, pembunuhan

massal di Timor Timur, kasus korupsi yang tidak pernah tuntas, sampai peristiwa

pemerkosaan yang dilakukan oleh segerombolan pemuda, adalah pemenuhan dari

hasrat yang manusia miliki. Peristiwa tersebut menjadi determinasi bahwa naluri

kebinatangan kita tetap ada dan malah bertambah parah. Dengan kondisi tersebut kita

memiliki hipotesis, bahwa akal merupakan insting yang dimodifikasi kegunaan dan

kualitasnya, karena, pada dasarnya kedua hal tersebut merupakan “instrumen” untuk

bertahan hidup, terlepas dari caranya baik atau buruk.

Walaupun demikian, akal budi yang dimiliki oleh manusia berhasil

menciptakan norma sebagai pengekang dari hawa nafsu yang tidak terbatas.

Pengekangan yang pada mulanya bermaksud baik, di lain pihak nyatanya melahirkan

persoalan baru. Konsepsi-konsepsi yang dibentuk sebagai pembeda dan ukuran itulah

yang pada akhirnya menyudutkan manusia untuk bergerak. Karena binatang tidak

memiliki pikiran, mereka tidak terpenjara dalam bingkai pikiran. Mereka tidak

terpenjara dalam bahasa, simbol, etika, keyakinan, ideologi, dan norma. Mereka

4
bebas untuk melakukan tindakan yang diinginkan tanpa harus memperhatikan

anggapan sekitarnya. Manusia secara sadar dan tidak sadar telah mengotak-ngotakkan

dirinya sendiri pada sebuah dunia yang mereka buat, sebuah dunia alternatif dari

konsekuensi perkembangan akalnya.

Dengan kapasitas yang dimiliki, akal budi tidak pernah berhenti dalam suatu

titik. Selalu ada pemecahan, atau mungkin pelarian dari sebuah masalah baru yang

lahir dari pemecahan sebelumnya, karena kesadaran yang manusia miliki telah

menjerumuskan manusia pada dialektika, tentang suatu hal yang bertentangan dan

melahirkan hal lain kembali. Karya sastra sebagai media katarsis merupakan produk

lain dari akal budi. Sebagai wadah untuk menuangkan gagasan apa pun, karya sastra

memiliki elastisitas untuk masuk ke dalam problem manusia dalam kehidupan. Naluri

binatang yang tidak disadari atau disadari oleh manusia dapat dijelaskan melalui

karya sastra dengan leluasa.

Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri merupakan cerpen yang

membahas naluri binatang dalam diri manusia. Kecenderungan tersebut tersirat dari

percakapan antartokoh dan latar tempat, serta beberapa aspek lainnya yang mesti

dikaji lebih jauh lagi. Hal yang paling menarik adalah dalam cerpen ini Sutardji

seperti menempatkan tokohnya untuk menyalurkan sisi kebinatangan tersebut untuk

bertahan hidup. Naluri binatang itu adalah hal yang paling murni, yang tidak perlu

dikekang. Norma itu tidak perlu digunakan ketika manusia terdesak untuk

menyambung hidup. Selain itu, pada cerpen ini terdapat fragmen yang terputus-putus.

Pembaca dimasukkan dalam sebuah ruang teka-teki dari satu peristiwa ke peristiwa

yang lain. Dari Sembilan cerpen yang ada, terdapat empat cerpen yang paling

5
dominan memiliki unsur kebinatangan, yakni “Di Kebun Binatang”, “Tahi”, “Ayam”,

“Pada Terangnya Bulan”. Sebelum sampai pada pemaparan fakta-fakta terhadap

naluri binatang tersebut, perlu dipaparkan mengenai kecenderungan Sutardji dalam

menulis karyanya. Hal tersebut merupakan salah satu kunci untuk menafsirkan teks

yang dibuatnya, mengingat cara Sutardji dalam memperlakukan teks dengan tidak

biasa.

Sosok Sutardji di Indonesia dikenal sebagai seorang pendobrak. Ia

melepaskan diri dari konvensi baku di dunia kesusastraan Indonesia. Kata-kata

baginya lepas dari makna. Ketetapan makna merupakan penjara dari kata itu sendiri.

Selama berkarir di dunia sastra, ia lebih dikenal sebagai penyair. Ia membuat puisi-

puisi dengan susunan kalimat yang berbeda. Kata-kata dipatahkan, sehingga

membentuk makna lain dan menjadi sebuah tipografi. Dalam kredonya yang ditulis

pada tahun 1973, Sutardji mengungkapkan, bahwa kata-kata bukanlah alat

mengantarkan pengertian. Dia bukan pipa yang menyalurkan air. Kata adalah

pengertian itu sendiri. Dia bebas (Sutardji, 2007: 3). Baginya, kreativitas akan

berhenti bila dibenturkan dengan pengertian dan ide. Dengan pembebasan kata dari

makna, akan ada suatu yang kreatif dan tidak terduga. Dalam hal ini, ada

kecenderungan yang sama dari dekonstruksi makna yang dilakukan Sutardji dengan

postmodernisme. Seperti yang kita ketahui, postmodern merupakan paham yang

menolak logosentrisme. Segala kebakuan dan ketetapan yang ada dalam suatu entitas

merupakan hambatan untuk kemungkinan-kemungkinan lain. Cara sutardji dalam

memperlakukan kata mencerminkan estetika postmodern, di mana kata menunjukkan

6
dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan

kepadanya (Sutardji, 2007: 4).

Kecenderungan yang telah dipaparkan di atas, bukan hanya terdapat di dalam

puisi Sutardji. Di awal kariernya, ia juga membuat cerpen yang memiliki gaya

penulisan yang sama dengan puisi. Cerpen-cerpen tersebut dirangkum menjadi

sebuah antologi yang berjudul Hujan Menulis Ayam. Pada bagian kata pengantar

Sutardji mengatakan, bahwa menulis cerpen adalah upaya menentramkan imajinasi,

sedangkan menulis puisi membiarkan imajinasi merambah liar. Ia juga

mengungkapkan jika cerpen-cerpennya dibuat dengan tema yang berat melalui

pengungkapan yang ringan. Seni sama halnya dengan teknologi, tujuannya adalah

meringankan beban manusia dari kesulitan hidup.

Penelitian ini akan membahas naluri kebinatangan dalam cerpen Sutardji yang

berjudul “Di Kebun Binatang”, “Tahi”, “Ayam”, dan “Pada Terangnya Bulan”.

Cerpen tersebut mendobrak norma sebagai pengekang. Misalnya saja pada petikan

cerpen Di Kebun Binatang di bawah ini:

Kebun binatang itu luas dan bagian belakang kebun binatang itu
juga luas dan tenang, tapi jerit dan keluh-keluh binatang selalu
dapat kedengaran pada bagian belakang kebun binatang, dan
angin selalu membawakan juga bau binatang, dan mereka yang
berpasangan menjadi terangsang karenanya dan ingin bersatu
dengan alam dan binatang. (hlm. 10)

Keadaan terangsang merupakan indikasi atas insting manusia. Di posisi ini,

muncul ketegangan yang perlu dituntaskan melalui hubungan intim. Seperti yang

dikatakan oleh Freud, penuntasan insting ini merupakan prinsip kesenangan. Bagian

akhir kalimat di atas menegaskan titik setara dari manusia, alam, dan binatang.

7
Menurut Freud, peradaban bisa tercipta karena manusia mampu untuk

mengekang hasrat seksualnya yang tak terbatas. Manusia primitif sehat dan bahagia

karena ia tidak difrustasikan di dalam insting-insting dasariahnya, namun kurang

berbudaya. Manusia yang telah beradab lebih aman, menikmati seni dan ilmu

pengetahuan, namun dengan konsekuensi menjadi neurotis karena instingnya terus

menerus difrustasikan oleh peradaban (Fromm, 1995: ).

Selanjutnya, naluri binatang juga terwakili dalam percakapan tokoh Herman

dan Lisa yang sedang berjalan-jalan di kebun binatang tersebut.

“Gil, kau persis unta ini,” katanya sambil ketawa sedap-


sedapnya. Lelaki yang dipanggil Gil itu tinggi, kurus, dan
bahunya agak naik. Dan dia pun mengetawakan dirinya juga
karena gurau temannya. Herman memberikan senyum pada
mereka, tapi Lisa tak mengacuhkan mereka dan terus bergegas-
gegas menuju pintu keluar kebun binatang. Gadis tadi
mengulangi gurauannya, “Kau persis unta gil, Cuma bedanya
kau berpakaian,” dengan sesedapnya. Lelaki yang dipanggil Gil
itu bilang, “Tidak. Kau mau melihat aku tidak berpakaian?”
Gadis itu diam. (hlm.15)

Dalam percakapan tersebut, akal manusia memberikan pembeda atas dirinya

dengan binatang. Pakaian adalah produk dari akal yang memberikan jarak kepada

manusia dengan binatang. Konsekuensi dari produk tersebut adalah rasa malu yang

timbul jika pakaian tersebut tidak digunakan.

Pada cerpen kedua yang berjudul “Tahi”, indikasi kebinatangan muncul dalam

potongan berikut:

Soalnya adalah tahi. Ah, tahi! Perut yang bau ini lebih banyak
keluarnya daripada diisi. Siang-siang pula lagi. Bukan WC yang
salah. Wc tua itu sudah lama mati. Jadi, sianglah yang kumaki.
Kalau malam, di belokan jalan sana ada parit. Dan tiang listrik

8
berlampu mati. Jadi, aman bertengger di parit menekur-nekur
sambl mengantarkannya pergi. Ah, siang! (hlm. 29)

WC dibakukan sebagai tempat untuk membuang kotoran manusia. Jika hal

tersebut dilanggar, permasalahan yang muncul adalah perasaan malu karena

melanggar norma kesopanan. Siang yang menjadi keterangan waktu dalam cerita di

atas, menandakan bahwa norma dan rasa malu manusia itu tidak akan digunakan

sebagai acuan jika tindakan yang dilakukan oleh seseorang tersebut tidak dilihat oleh

orang lain. Dalam hal ini, fungsi norma hanya menjadi tameng seseorang menyangkut

penilaian sesamanya.

Cerpen selanjutnya yang berjudul “Ayam” menceritakan keluarga yang

membuang bangkai ayam ke kali. Namun ada sekumpulan orang yang memaksa

meminta bangkai ayam itu. Karena keluarga ini memiliki nurani dan sadar, bahwa

manusia tidak diperbolehkan memakan bangkai, mereka tidak memberikan bangkai

tersebut.

“ Kasih kami saja, Pak,” ujar salah seorang di antaranya.


“Mubazir, Pak, kalau dibuang,” ujar yang lain.
“ayamnya sudah mati,” aku bilang.
“Justru itu, Pak,” kata yang paling tua. Matanya rusak sebelah,
pernah kena penyakit agaknya. (hlm.79)

Tindakan memakan bangkai ini merupakan suatu hal yang tidak wajar bagi

manusia. Di alam binatang, bangkai adalah hal lumrah untuk dimakan. Misalnya saja,

burung pemakan bangkai dan komodo adalah beberapa spesies binatang yang

memang memakan bangkai.

“Pada Terangnya Bulan” merupakan cerpen terakhir yang akan dipakai

sebagai objek dari penelitian ini. Cerpen tersebut bercerita tentang seorang

9
perempuan yang selalu mengikuti tiga lelaki yang bermain gitar. Ada permainan

simbol dalam cerpen ini. Diksi bulan yang berarti setting waktunya adalah malam,

lagu dan nyanyian menjadi hal yang paling menonjol. Hipotesis yang ada ialah

seksualitas menjadi tema utama dalam cerpen tersebut. Namun, Sutardji memasukkan

unsur alam yang disimbolkan oleh bulan sehingga muncul tanda mengenai

animalitas. Penyatuan dengan alam inilah dengan tindakan seksual menjadi indikasi

naluri kebinatangan.

Dalam menghisap dalam-dalam si gadis merasa penuh dengan


segalanya. Matanya terpejam dan rerumputan dan bunga-
bungaan di halaman dan segala yang di sekitar penuh dalam
dirinya. Dua tumpukan cahaya bulan di atas dadanya diam
sebentar, karena dia menarik napasnya lambat-lambat dan
panjang.(hlm.88)

Berdasarkan pemaparan di atas, unsur animalitas dalam cerpen “Di Kebun

Binatang”, “Tahi”, ”Ayam”, dan “Pada Terangnya Bulan” akan dibedah

menggunakan semiotika Pierce pada tahap awalnya untuk membukakan jalan bagi

wacana animalitas tersebut. Pembedahan ini dilakukan karena terdapat beberapa

fragmen yang masih perlu dicari koherensinya.

Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan

poetika. Akar kata semiotika berasal dari Yunani, yakni “semeion”. Semiotika pada

dasarnya mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal. Memaknai dalam

hal ini tidak dapat digabungkan dengan mengomunikasikan. Memaknai berarti bahwa

objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem

terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001: 53). Sejak kemunculan Saussure dan Pierce,

maka semiotika menitikberatkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang

10
berkaitan dengannya. Saussure merupakan ahli bahasa, sedangkan Pierce merupakan

ahli filsafat dan logika. Konsep Semiotika Saussure membuat semacam dikotomi

mengenai adanya penanda dan petanda, parole dan langue, sintagmatik dan

paradigmatik. Sementara konsep semiotika Pierce berada dalam hubungan triadik,

yakni representamen, object, dan interpretant.

Teori semiotika Peirce dapat dikatakan melangkah lebih jauh daripada

semiotika Saussure. Pertama, latar belakangnya sebagai ahli filsafat

memungkinkannya untuk melihat dunia di luar struktur, sebagai struktur yang

bermakna. Kedua, Saussure dengan konsep diadiknya cenderung melihat objek atas

dasar objek lain sehingga terjadi pemahaman pusat dan non pusat, sedangkan Peirce

menawarkan konsep triadik sehingga terjadi jeda antara oposisi biner di atas (Ratna,

2007:100).

Menurut Peirce (dalam Zoest, 1992: 1), logika harus mempelajari bagaimana

orang bernalar. Penalaran dilakukan melalui serangkaian tanda. Tanda-tanda

memungkinkan manusia berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi

makna pada apa yang ditampilkan oleh semesta. Dalam teori Pierce ikon, indeks, dan

simbollah yang dianggap sebagai pembagian tanda yang paling fundamental

(Budiman, 2005:56). Itu sebabnya, dalam penelitian ini akan ditekankan pada ketiga

tipe penanda tersebut.

Pengertian Ikon ialah tanda yang didasarkan pada “keserupaan atau

“kemiripan”. Ikon dapat diidentifikasikan sebagai suatu tanda yang (1) menggantikan

sesuatu yang lain semata-mata karena ia mirip dengannya; (2) mengambil bagian

dalam karakter-karakter objek; atau (3) kualitasnya mencerminkan objeknya, dan

11
membangkitkan sensasi-sensasi analog di dalam benak lantaran kemiripannya

(Budiman, 2011:82).

Selanjutnya, Indeks merupakan tanda yang memiliki kaitan fisik, eksistensial,

atau kausal antara penanda dan denotatumnya. Contohnya adalah asap ada sebagai

indeks api, bunyi bel adalah indeks kedatangan tamu, jalan becek adalah indeks

turunnya hujan, dan lain sebagainya.

Kemudian Simbol, adalah tanda yang penandanya menunjuk denotatum

tertentu tanpa motivasi. Simbol terbentuk melalui konvensi atau kaidah. Contohnya

adalah jari tengah yang diacungkan untuk menyatakan perseteruan atau pertikaian.

Setelah terbukanya jalan bagi wacana animalitas yang muncul dalam cerpen

Di Kebun Binatang, Tahi, Ayam, dan Pada Terangnya Bulan karya Sutardji Calzoum

Bachri, pada tahap kedua akan digunakan psikoanalisis Sigmund Freud untuk

mengetahui bagaimana animalitas mewakili perkembangan psikologis dari tokoh-

tokoh dalam keempat cerpen tersebut.

Freud membagi teorinya menjadi beberapa bagian, yakni Struktur kepribadian

yang berisi id, ego, dan superego dan dinamika kepribadian yang berisi energi

rohaniah, naluri, alam sadar dan tak sadar, serta kecemasan tentang kenyataan,

kecemasan neurotis, dan kecemasan moral. Pemilihan psikoanalisa Freud ini didasari

oleh keterhubungan topik animalitas yang menitikberatkan insting atau naluri sebagai

dorongan. Selain itu, struktur kepribadian yang dipaparkan oleh Freud yakni id, ego,

dan superego bisa menjadi pembeda antara manusia dan binatang. Id yang berfungsi

sebagai penyaluran prinsip kesenangan ini dimiliki oleh manusia dan hewan.

12
Sedangkan, ego dan supergo hanya dimiliki oleh manusia karena berhubungan

dengan dunia luar yang semuanya berasal dari basis kesadaran.

Naluri atau insting memiliki sumber, maksud, tujuan dan dorongan (Hall,

2000: 36). Bagi Freud, manusia termotivasi untuk mencari kenikmatan dan

mereduksi tegangan serta kecemasan. Motivasi disebabkan oleh energi-energi fisik

yang berasal dari insting-insting. Konsep insting dapat didefinisikan sebagai

perwujudan psikologis dari sumber rangsangan somatik dalam yang dibawa sejak

lahir. Perwujudan psikologisnya disebut hasrat, sedangkan rangsangan jasmaniahnya

dari mana hasrat muncul disebut kebutuhan. Freud membagi naluri menjadi dua,

yakni kehidupan dan kematian. Naluri kehidupan adalah pengganti-pengganti

rohaniah dari segala keperluan jasmaniah yang perlu dipuaskan untuk kelangsungan

hidup dan pembiakan. Sementara naluri kematian merupakan dorongan untuk

merusak, agresi yang berakar pada libido. Naluri-naluri penghidupan dan kematian

dan kelanjutannya dapat bergabung satu sama lain, menetralisasi masing-masing atau

berganti-ganti satu sama lain (Hall, 2000: 66).

1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana naluri binatang digambarkan dalam cerpen Di Kebun Binatang,

Tahi, Ayam, dan Pada Terangnya Bulan karya Sutardji Calzoum Bachri?

2. Bagaimana naluri binatang mendominasi kepribadan tokoh dalam cerpen Di

Kebun Binatang, Tahi, Ayam, dan Pada Terangnya Bulan karya Sutardji

Calzoum Bahcri?

13
1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan tanda-tanda naluri binatang yang digambarkan dalam cerpen

Di Kebun Binatang dan Tahi karya Sutardji Calzoum Bachri.

2. Mendeskripsikan naluri binatang yang mendominasi kepribadian tokoh dalam

cerpen Di Kebun Binatang ,Tahi, dan Tangan karya Sutardji Calzoum Bachri.

1.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis-

deskriptif. Metode deskriptif-analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-

fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Analisis di sini tidak hanya sebatas

menguraikan fakta-fakta yang telah didapatkan, melainkan juga memberikan

pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2009: 53). Penelitian ini

menggunakan pendekatan semiotika model Charles Sanders Pierce untuk membedah

wacana yang berada dalam cerpen Di Kebun Binatang, Tahi, Ayam, dan Pada

Terangnya Bulan karya Sutardji Calzoum Bachri, yakni animalitas, kemudian hasil

analisis tersebut dibahas dengan struktur kepribadian dan dinamika kepribadian

menurut psikoanalisa Sigmun Freud.

1.5 Sumber Data

Data yang dianalisis dalam penelitian ini bersumber pada kumpulan cerpen

Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri yang diterbitkan oleh

Indonesiatera pada tahun 2001. Cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku tersebut

14
sebenarnya telah beredar di media massa sekitar akhir tahun 60-an, tepatnya sebelum

Sutardji fokus untuk menulis puisi.

1.6 Sistematikan Penulisan

Penelitian ini terdiri dari empat bab: (1) Pendahuluan, (2) landasan teori, (3)

analisis, (4) simpulan. Pendahuluan berisi tentang pemaparan latar belakang masalah,

identifikasi masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, sumber data, sistematika

penulisan, dan tinjauan pustaka. Pada landasan teori berisi pemaparan teori yang

digunakan dalam penelitian: teori semiotika Charles Sanders Pierce, teori psikologi,

teori psikoanalisis Sigmund Freud yang membahas mengenai struktur dan dinamika

kepribadian. Bab selanjutnya merupakan bagian analisis, penerapan teori ke dalam

objek penelitian. Dalam bab ini penulis menggunakan empat cerpen Sutardji yang

terangkum dalam Hujan Menulis Ayam karena paling merepresentasikan animalitas

yang ada dalam diri manusia. Bab terakhir ialah simpulan dan hasil penelitian yang

telah dilakukan terhadap kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam.

1.7 Tinjauan Pustaka

Berikut adalah beberapa karya ilmiah memiliki persamaan dengan kajian yang penulis

temukan untuk tinjauan pustaka dan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini:

1. Puisi di antara Humanitas dan Animalitas: Chairil Anwar dan Dunia Kita

oleh Yasraf Amir Piliang, pemikir kebudayaan, akademisi, dan pengamat

sosial asal Indonesia, pendiri Yasraf Amir Piliang Institute, sebuah lembaga

yang mengkaji kebudayaan kontemporer. Sebuah makalah seminar dalam

15
rangka mengenang Chairil Anwar tahun 2013. Makalah tersebut membahas

animalitas dalam puisi Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar dan

menggunakan teori Rilke, Heidegger, serta Agamben mengenai yang terbuka

dan yang tertutup. Sementara penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah

animalitas dari keempat cerpen Sutardji Calzoum Bachri yang terangkum

dalam kumpulan Hujan Menulis Ayam. Selain itu, penulis juga menggunakan

teori semiotika Pierce dan Psikoanalitik Freud untuk mendeskripsikan

animalitas yang ada dalam keempat cerpen tersebut.

2. Naluri Kebinatangan Sebagai Kepribadian Alamiah Manusia Dalam Of Mice

and Men Karya John Ernest Steinbeck: Telaah Skeptis Naturalisme Dengan

Analisis Sosiologi Sastra oleh Yovita Mumpuni Hartini. Sebuah tesis program

S-2 tahun 2007 di Universitas Diponegoro. Tesis ini membahas naluri

kebinatangan dalam novel Of mice And Men karya John Ernest Steinbeck dan

menggunakan teori Santayana yakni Sceptism and Animal Faith. Tesis

tersebut fokus kepada bagaimana animalitas menjadi perwujudan sisi buruk

kehidupan para buruh migran dan tuan tanahmya dalam Of Mice and Man

sedangkan penulis membahas bagaimana animalitas yang terdapat dalam

kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri

dengan menggunakan teori Semiotika Pierce dan Psikoanalitik Freud.

16
Daftar Pustaka

Bachri, Sutardji Calzoum. 2001: Hujan Menulis Ayam. Yogyakarta: Indonesiatera

Bachri, Sutardji Calzoum. 2007: Isyarat. Yogyakarta: Indonesiatera.

Budiman, Kris. 2005. Ikonisitas Semiotika Sastra dan Seni Visual.

Yogyakarta: Buku Baik.

Dahler, Franz dan Eka Budianta. 2005. Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan

Evolusi. Cetakan kelima.. Yogyakarta: Kanisius

Eagleton, Terry. 2010. Teori Sastra. Terj.Harfiah Widiawati. Yogyakarta: Jalasutra

Freud, Sigmund. 2002. Psikoanalisis Sigmund Freud. Terj. Ira Puspitorini.

Yogyakarta: Ikon Teralitera.

Fromm, Erich. 1995. Masyarakat yang Sehat. Terj. Thomas Bambang Murtianto.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hall, Calvin S. 2000: Libido Kekuasaan Sigmund Freud. Terj. S. Tarif.

Yogyakarta: Tarawang.

Pilliang, Yasraf Amir. 2013: Puisi di Antara Humanitas dan Animalitas;Chairil

Anwar dan Dunia Kita. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional

Bayang-bayang Binatang Jalang, Universitas Padjadjaran, Bandung, 24 April.

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra.

Bandung : Penerbit Angkasa Bandung

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita

Lakukan Dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber Agung

17
Lampiran

Ragangan Skripsi

Lembar Pengesahan………………………………………………………..

Abstrak…………………………………………………………………….

Abstract……………………………………………………………………..

Kata Pengantar………………………………………………………………

Daftar Isi…………………………………………………………………….

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………

1.2 Identifikasi Masalah…………………………………………………….

1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………..

1.4 Metode Penelitian……………………………………………………….

1.5 Sumber data…………………………………………………………….

1.6 Sistematika Penulisan…………………………………………………..

1.7 Tinjauan Pustaka……………………………………………………….

Bab II Landasan Teori

2.1 Semiotika……………………….……………………………………..

2.1.1 Pengertian Semiotika………………………………………..

` 2.1.2 Semiotika Charles Sanders Peirce………………………….

2.1.3 Tipologi Tanda………………………………………………

18
2.1.3.1 Ikon ………………………………………………..

2.1.3.2 Indeks……………………………………………..

2.1.3.3 Simbol…………………………………………….

2.2 Psikologi Sastra………………………………………………………..

2.2.1 Psikoanalisis Sigmun Freud…………………………………………..

2.2.2 Struktur Kepribadian…………………………………………………

2.2.3 Dinamika Kepribadian………………………………………………..

2.2.3.1 Energi rohaniah

2.2.3.2 Naluri

2.2.3.3 Penyebaran dan Penyisihan Energi Rohaniah

2.2.3.3.1 Id………………………………………………….

2.2.3.3.2 Ego………………………………………………..

2.2.3.3.3 Superego…………………………………………..

2.2.3.4 Cathexis dan anti-cathexis………………………………….

2.2.3.5 Kecemasan…………………………………………………..

2.2.3.5.1 Kecemasan tentang Kenyataan……………………...

2.2.3.5.2 Kecemasan Neurotis…………………………………

2.2.3.5.3 Kcemasan Moral…………………………………….

Bab III Naluri Binatang Pada Kumpulan Cerpen “Hujan Menulis Ayam”

3.1 Analisis Struktur Kepribadian Tokoh dalam Cerpen “Di Kebun Binatang”

3.1.1 Id ……………………………………………………………….

3.1.2 Ego………………………………………………………………

3.1.3 Superego………………………………………………………...

19
3.2 Analisis Struktur Kepribadian Tokoh dalam Cerpen “Tahi”

3.2.1 Id………………………………………………………………..

3.2.2 Ego…………………………………………………………….

3.2.3 Superego………………………………………………………

3.3 Analisis Struktur Kepribadian Tokoh dalam Cerpen “Ayam”

3.3.1 Id………………………………………………………………

3.3.2 Ego…………………………………………………………….

3.3.3 Superego……………………………………………………….

3.4 Analisis Struktur Kepribadian Tokoh dalam Cerpen “Pada Terangnya

Bulan”

3.4.1 Id……………………………………………………………….

3.4.2 Ego..…………………………………………………………….

3.4.3 Superego………………………………………………………...

Bab IV Simpulan dan Saran

4.1 Simpulan………………………………………………………………….

4.2 Saran………………………………………………………………………

Daftar Pustaka………………………………………………………………….

20

Anda mungkin juga menyukai