Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis progresif,
merupakan penyakit terbanyak kedua setelah demensia Alzheimer. Penyakit ini memiliki
dimensi gejala yang sangat luas sehingga baik langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kualitas hidup penderita maupun keluarga. Pertama kali ditemukan oleh
seorang dokter inggris yang bernama James Parkinson pada tahun 1887. Penyakit ini
merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami ganguan pergerakan.
Rata- rata penduduk Amerika yang terkena penyakit ini sebanyak 1 juta orang
sedangkan ntuk rata- rata penduduk dunia yang terkena penyakit ini adalah sebanyak 5 juta
orang. Penyakit Parkinson dapat terjadi pada pria dan wanita dari semua ras, jenis pekerjaan,
dan tidak terbatas pada daerah tempat tinggal Rata- rata Penyakit Parkinson menyerang
penduduk usia 60 tahun tetapi kadang- kdang daat terjadi pada penduduk usia 20 tahun dan
bahkan pada penduduk yang lebih muada. Angka kejadian penyakit ini meningkat seiring
dengan bertambahnya usia dan berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap sekumpulan
penduduk maka dapat diperkirakan dalam beberapa dekade ke depan, jumlah penyakit ini
akan meningkat. 2
Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada
sekitar 200.000-400.000 penderita. Rata-rata usia penderita di atas 50 tahun dengan rentang
usia-sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Sumatera dan Jawa-
18 hingga 85 tahun. Statistik menunjukkan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri,
lelaki lebih banyak terkena dibanding perempuan (3:2) dengan alasan yang belum diketahui.
Secara klinis, Penyakit parkinson dapat ditandai dengan resting tremor, rigiditas,
bradikinesia, dan gait impairment. Tanda- tanda ini dikenal sebagai cardinal features dari
penyakit parkinson. Adapun gejala tambahan seperti freezing, ketidakstabilan postural,
kesulitan berbicara, gangguan sistem otonom, gangguan pada sistem sensoris, gangguan
mood, gangguan tidur, gangguan fungsi kognitif, dan dementia dapat timbul pada penyakit
ini.2
Secara patologis, pada Parkinson dijumpai degenerasi dari dopaminergic neuron pada
substansia nigra pars kompakta dan lewy body. 2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Penyakit Parkinson adalah bagian dari Parkinsonisme yang secara patologi ditandai
oleh degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra parscompacta (SNC) yang
disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (lewy bodies) . Sedangkan Parkinonisme
adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan
hilangnya refleks postural akibat penurunan kadar dopamine dengan berbagai macam sebab.1

2.3.Etiologi 1
Penyebab tidak diketahui. Diduga kombinasi dari faktor genetic dan lingkungan.
Mutasi gen sudah diidentifikasi pada onset awal dan kasus yang berhubungan dengan
keluarga (synuclein dan parkin, Faktor lingkungan berhubungan penggunaan pestisida,
paparan herbisida dan kedekatan dengan tanaman industry serta tambang. Merokok dan
konsumsi kafein berkorelasi terbalik dengan resiko penyakit parkinson1

2.4 Patofisiologi3
Ganglia basalia dapat dianggap sebagai suatu sistem untuk mengubah ‘output’
motorik karena kawasan itu menerima ‘input’nya dari daerah-daerah motorik kortikal dan
‘output’nya ditujukan kembali kepada daerah-daerah motorik kortikal melalui talamus.
Banyak data baru diperoleh dari tahun-tahun terakhir ini mengenai jenis dan sifat berbagai
‘neurotransmtter’ di ganglia basalia. Adapun neurotransmitter itu adalah Acetylcholine
(Ach), Dopamin, Gamma aminobutyric acid (GABA) dan serotonin. Jumlah norepinephrine
di ganglia basalia sedikit sekali dan peranannya disitu belum jelas. Sebaliknya
‘Neurotransmitter’ lainnya ,seperti substansi P, enkephalin, cholecystokinin dan somatostatin
jumlahnya cukup banyak dan berfungsi sebagai modulator, yakni mempermudah atau
menghambat efek berbagai neurotransmitter ganglia basalia. Sudah lama telah diduga bahwa
penyakit Parkinson merupakan manifestasi gangguan ganglia basalia. Pada tahun 1960
Ehringer dan Hornykiewicz mengungkapkan bahwa kemusnahan neuron di pars kompakta
substansia nigra yang dopaminergik itu merupakan lesi utama yang mendasari penyakit
parkinson. Korpus striatum yang dihubungi oleh neuron-neuron substansia nigra itu sebagian
terdiri dari neuron-neuron dopaminergik dan sebagian yang kolinergik. Di antara kedua
komponen itu terdapat keseimbangan yang dinamik. Bilamana kondisi dopaminergik striatal

2
lebih unggul daripada kondisi kolinergik striatal, yang berarti bahwa di dalam striatum
terdapat jumlah dopamin yang jauh lebih banyak daripada jumlag Ach (acetylcholine), maka
timbulah sindrom yang menyerupai korea Huntington, suatu gerakan berlebihan dan tidak
bertujuan, yang tidak dapat dikendalikan. Pada penyakit parkinson, baik yang idiopatik
maupun yang simptomatik, konsentrasi dopamin di dalam korpus striatum dan substansia
nigra sangat mengurang, sehingga kondisi di korpus striatum lebih kolinergik daripada
dopaminergik.Menurunnya jumlah dopamin dan zat metabolismenya yang dinamakan
‘homovanillic acid’ (HVA) di kedua bangunan itu berkorelasi secara relevan dengan derajat
kemusnahan neuron di substansia nigra pars kompakta.3

3
2.5. Manifestasi Klinis

1. Rigiditas
Mungkin hanya terbatas pada satu kelompok otot dan terutama unilateral atau
dapat menyebar dan bilateral. Parkinsonisme menurunkan kekuatan dan
menurunkankecepatan otot, dan merupakan faktor utama dalam terjadinya deformitas akibat
sindrom ini. Gejala pasif yang melibatkan ekstrimitas atau trunkus mengalami resistensi
“traffylike” yang relatif stabil melalui kisaran gerakan. Parkinsonisme telah dibandingkan
dengan pipa saluran yang ditekuk sehingga kadang disebut rigiditas pipa saluran. “Catches “
sering timbul selama gerakan pasif, menyebabkan karakter roda pedati atau “rachetlike”pada
rigiditas yang disebut rigiditas roda pedati. Otot fleksor maupun ekstensor berkontraksi
kuat(tonus meningkat), mengindikasikan adanya gangguan kontrol pada kelompok otot yang
bersebrangan.
Jika rigiditas melibatkan trunkus, rigiditas itu bertanggungjawab terhadap gaya
berjalan dan masalah posisi tubuh akibat Parkinson. Pasien membungkuk ketika mereka
berdiri sehingga dagu maju jauh ke depan daripada ibu jarinya. Mereka berjalan sambil
menyeret kakinya terburu-buru, langkah yang semakin cepat bila tersandung ke depan dan
mencoba untuk cepat mengembalikan kaki mereka pada keadaan semula (festinating gait)7,8,9

4
2.Tremor
Akibat parkinsonisme timbul pada saat istirahat dan disebut tremor istirahat.
Ketika otot menegang untuk melakukan tindakan yang bertujuan, biasanya tremor akan
berhenti. (sekitar sepertiga pasien mengalami tremor yang hebat bersamaan dengan tremor
istirahat, namun seperti yang telah disebutkan, tremor hebat biasanya berkaitan dengan
disfungsi serebelum). Tremor yang melibatkan tangan dijelaskan sebagai pill rolling dan
mengakibatkan gerakan ritmis ibu jari pertama dan kedua. Tremor adalah akibat dari
kontraksi bergantian yang regular (4 hingga 6 siklus per detik) pada otot yang berlawanan.
Tremor sepertinya akan memburuk jika pasien lelah, di bawah tekanan emosi, atau terfokus
pada tremor. Dasar tremor tidak jelas. Degenerasi ganglia basalis menyebabkan hilangnya
pengaruh inhibitor dan menigkatkan timbal balik berbagai sirkuit yang berakibat dalam
osilasi. Tidak semua pasien memiliki tremor yang jelas. Bila pasien secara tidak sengaja
mengalami kejadian serebrovaskular (CVA, stroke) dan timbul hemiplegia, tremor akan
hilang pada bagian yang paralisis.
Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian sehingga tanda
akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi serba lambat. Dalam pekerjaan
sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang semakin mengecil, sulit
mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga
penderita bisa menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa ekspresi.
Kedipan dan lirikan mata berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan berkurang,
sehingga sering keluar air liur.7
3. Gerakan volunter menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif misalnya sulit
untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lambat mengambil suatu obyek, bila
berbicara gerak lidah dan bibir menjadi lambat. Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya
ekspresi muka serta mimik dan gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti
topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah sering
keluar dari mulut.7,8,9
4.Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa kasus hal ini
merupakan gejala dini, berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat
(marche a petit pas), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu membengkok ke depan,
punggung melengkung bila berjalan.7

5
5.Sering pula terjadi bicara monoton karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita
suara, otot laring, sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton dengan
volume suara halus ( suara bisikan ) yang lambat. 7
6.Demensia, adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya dengan defisit
kognitif. Gangguan Behavioral, lambat-laun menjadi dependen ( tergantung kepada orang
lain ), mudah takut, sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon terhadap
pertanyaan lambat (bradifrenia) biasanya masih dapat memberikan jawaban yang betul, asal
diberi waktu yang cukup, dan gejala lain yaitu kedua mata berkedip-kedip pada pengetukan
diatas pangkal hidungnya (tanda Myerson positif) 7,8,

Ada pula gejala non motorik yaitu :


1.Disfungsi otonom
a.Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia, dan
adanya hipotensi ortostatik.
b.Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic
c.Pengeluaran urin yang banyak
d.Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat seksual,
perilaku, orgasme.

2. Gangguan afek penderita sering mengalami depresi


3.Ganguan kognitif, lamban menanggapi rangsangan
4.Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)
5. Gangguan sensasi,
a. kepekaan kontras visual lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna
b.penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension orthostatic,
suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk melakukan penyesuaian tekanan darah sebagai
jawaban atas perubahan posisi badan
c.berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra penciuman ( microsmia atau anosmia).

Gambaran tambahan parkinsonisme adalah


1.Gangguan okulomotorius : Pandangan yang kabur bila melihat suatu titik akibat
ketidakmampuan untuk mempertahankan kontraksi otot okular. Gejala ini seringkali tidak
dapat dibedakan dari gejala awal gangguan gerak neurodegeneratif yang jarang terjadi dan
secara terpisah disebut palsi supranuklear progressive (PSP).

6
2.Krisis okuligirik : spasme otot mata untuk berkonjugasi dengan mata yang terfiksasi
biasanya pada pandangan ke atas, selama beberapa menit hingga beberapa jam; berkaitan
dengan parkinsonisme yang berasal dari eksogen, seperti penggunaan obat atau
pascaensefalitis.
3.Kelelahan dan nyeri otot yang akibat rigiditas.
4.Hipotensipostural akibat efek samping pengobatan
5.Gangguan fungsi pernapasan yang berkaitan dengan hipoventilasi, aspirasi makanan atau
saliva, dan berkurangnya bersihan jalan napas.

TABEL 2 TEMUAN NEUROLOGIS UTAMA PADA PD


Temuan Neurologis Keterangan
Tremor istirahat* Gerakan memilin pada jari tangan yang khas;
tremor berkurang dengan gerakan voluntar selama
tidur.
Bradikinesia* Perlahan-lahan dalam memulai dan
mempertahankan gerakan
Rigiditas roda pedati* Gerakan dihalangi dengan “menangkap” ; resistensi
relatif konstan sepanjang rentang gerakan.
Kelainan posisi tubuh Membungkuk, berjalan dengan kaki diseret, cara
dan cara berjalan* berjalan yang capat, berbalik badan secara
bersamaan (en bolic).
Mikrografia Tulisan tangan yang kecil-kecil dan secara
perlahan; tremor dapat jelas terlihat ketika
menggambar lingkaran yang konsentrik.
Wajah seperti topeng Mata yang melotot, tidak berkedip, ekspresi dingin,
berkedip 2 atau 3 kali/menit (kedip normal 12-20
kali/ menit)
Suara datar (monoton) Bicara tanpa ekspresi
Refleks Hiperaktif Sensitivitas yang berlebihan terhadap ketukan jari
glabelar di atas glabela (antara alis mata) menyebabkan
pasien berkedip setiap kali ketukan.

7
8
Hingga saat ini, terdapat beberapa skala penilaian untuk menilai dan mengevaluasi
adanya disfungsi motorik pada pasien penyakit Parkinson. Namun sebagian besar dari skala
penilaian tersebut, tidak memiliki hasil yang valid dan tidak sepenuhnya dapat dipercaya.
Skala menurut Hoehn dan Yahr merupakan skala penilaian yang paling sering
digunakan untuk menggambarkan progresifitas penyakit.

Tabel Skala Hoehn dan Yahr10

9
Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat ringannya penyakit
dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan Hoehn and Yahr (1967) yaitu:
1. Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan, terdapat
gejala yang mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat tremor
pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang terdekat (teman).
2. Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara berjalan
terganggu.
3. Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.
4. Stadium 4: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak
tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat
berkurang dibandingkan stadium sebelumnya.
5. Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak mampu berdiri
dan berjalan walaupun dibantu.

2,6 Diagnosis1
Diagnosis dibuat secara klinis, sejumlah pemeriksaan dilakukan untuk mengekslusi
penyebab lain parkinsonisme dan kondisi lain yang menyebabkan gejala yag serupa.
Kriteria Diagnosis :
A. Possible
Terdapat salah satu gejala utama
1. Tremor Istirahat
2. Rigiditas
3. Bradikinesia
4. Kegagalan reflex postural

B. Probable
Bila terdapat kombinasi dua gejala utama ( termasuk kegagalan reflex postural)
alternative lain : tremor istirahat asimetris, rigiditas asimetris atau bradikinesia asimetris
sudah cukup

C. Definite
Jika terdapat 3 dari 4 gejala atau 2 gejala dengan 1 gejala lain yang tidak simetris (3
tanda cardinal) atau dua dari 3 tanda tersebut , dengan 1 dari ketiga tanda pertama, asimetris.

10
Bila semua tanda-tanda tidak jelas sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulangan beberapa bulan
kemudian.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil klinis, karena tidak
memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk penyakit Parkinson. Pengukuran
kadar NT dopamine atau metabolitnya dalam air kencing, darah maupun cairan otak akan
menurun pada penyakit Parkinson dibandingkan kontrol. Lebih lanjut, dalam keadaan
tidak ada penanda biologis yang spesifik penyakit, maka diagnosis definitive terhadap
penyakit Parkinson hanya ditegakkan dengan otopsi. Dua penelitian patologis terpisah
berkesimpulan bahwa hanya 76% dari penderita memenuhi kriteria patologis aktual,
sedangkan yang 24% mempunyai penyebab lain untuk parkinsonisme tersebut.1
2. EEG (biasanya terjadi perlambatan yang progresif)
3. CT Scan kepala (biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki melebar, hidrosefalua eks
vakuo)
4. Neuroimaging:
a. Magnetik Resonance Imaging (MRI)
Baru-baru ini dalam sebuah artikel tentang MRI, didapati bahwa hanya pasien yang
dianggap mempunyai atropi multi sistem memperlihatkan signal di striatum.1
b. Positron Emission Tomography (PET)
Ini merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan telah memberi kontribusi
yang signifikan untuk melihat kedalam sistem dopamine nigrostriatal dan peranannya
dalam patofisiologi penyakit Parkinson. Penurunan karakteristik pada pengambilan
fluorodopa, khususnya di putamen, dapat diperlihatkan hampir pada semua penderita
penyakit Parkinson, bahkan pada tahap dini. Pada saat awitan gejala, penderita
penyakit Parkinson telah memperlihatkan penurunan 30% pada pengambilan
fluorodopa putamen. Tetapi sayangnya PET tidak dapat membedakan antara penyakit
Parkinson dengan parkinsonisme atipikal. PET juga merupakan suatu alat untuk
secara obyektif memonitor progresi penyakit, maupun secara obyektif
memperlihatkan fungsi implantasi jaringan mesensefalon fetus.9

11
Gambar 4. PET pada penderita Parkinson pre dan prost transplantasi

c. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)


Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre dan post sinapsis oleh
SPECT, suatu kontribusi berharga untuk diagnosis antara sindroma Parkinson plus
dan penyakit Parkinson, yang merupakan penyakit presinapsis murni. Penempelan ke
striatum oleh derivat kokain [123]beta-CIT, yang juga dikenal sebagai RTI-55,
berkurang secara signifikan disebelah kontralateral sisi yang secara klinis terkena
maupun tidak terkena pada penderita hemiparkinson. Penempelan juga berkurang
secara signifikan dibandingkan dengan nilai yang diharapkan sesuai umur yang
berkisar antara 36% pada tahap I Hoehn dan Yahr sampai 71% pada tahap V. Marek
dan yang lainnya telah melaporkan rata-rata penurunan tahunan sebesar 11% pada
pengambilan [123]beta-CIT striatum pada 34 penderita penyakit Parkinson dini yang
dipantau selama 2 tahun. Sekarang telah memungkinkan untuk memvisualisasi dan
menghitung degenerasi sel saraf nigrostriatal pada penyakit Parkinson.
Dengan demikian, imaging transporter dopamin pre-sinapsis yang
menggunakan ligand ini atau ligand baru lainnya mungkin terbukti berguna dalam
mendeteksi orang yang beresiko secara dini. Sebenarnya, potensi SPECT sebagai
suatu metoda skrining untuk penyakit Parkinson dini atau bahkan presimptomatik
tampaknya telah menjadi kenyataan dalam praktek. Potensi teknik tersebut sebagai
metoda yang obyektif untuk memonitor efikasi terapi farmakologis baru, sekarang
sedang diselidiki.9

12
2.8 Diagnosis Banding1
Berdasarkan gejala klinis
1.Tremor : Hipertiroid, anxietas
2. Rigiditas : Lesi system ekstra pyramidal ( spastic dengan fenomena pisau lipat)
3. Bradikinesia : Normal Pressure Hysrocephalus (NPH)

2.9 Penatalaksanaan8
Saat ini, terapi obat terhadap penyakit Parkinson merupakan simptomatis. Mengingat obat-
obat ini mempunyai efek samping jangka pendek dan jangka panjang yang dapat
mengganggu, dianjurkan untuk tidak memulai terapi bila penyakit Parkinson yang diderita
belum mengakibatkan gangguan. Banyak teori yang mengemukakan baik-buruknya obat-obat
tertentu dalam menangani penyakit Parkinson, namun kebanyakan teori ini didasarkan atas
eksperimen dan penelitian di lapangan yang masih terbatas.
a. Medikamentosa
1) Obat dopaminergik
 Prekursor dopamine
Levodopa atau L-dopa merupakan prekursor dopamine. Pada terapi Parkinson, tidak dapat
secara langsung diberikan dopamin eksogen sebab dopamin dalam darah tidak dapat
menembus blood brain barier. Hal ini berbeda dengan levodopa, dimana levodopa yang
diserap dalam saluran cerna melalui transport aktif menuju darah, dan mampu menembus
blood brain barier. Kemudian levodopa dikonversi menjadi dopamine di otak dengan
bantuan enzim dopa dekarboksilase.8 Lebih dari 90% levodopa dimetabolisme menjadi
dopamine oleh dekarboksilase dopa perifer (diluar SSP) dan kadar yang sampai ke otak
kurang dari 2%, sehingga levodopa perlu diberikan dalam dosis tinggi. Akan tetapi, kadar
dopamine yang tinggi di perifer dapat menyebabkan efek samping otonomik yang hebat. Efek
samping otonomik yang hebat ini dapat dikurangi dengan pemberian bersama-sama dengan
inhibitor enzim dopa dekarboksilase perifer, yaitu karbidopa.
Berdasarkan gambaran gejala klinis, pasien dengan PD dikelompokkan ke dalam 3 kategori
dasar yaitu kategori ringan, sedang dan berat. Pada tingkat ringan (3-5 tahun pertama setelah
diagnosis), respon terhadap levodopa masih baik dan efek yang menguntungkan ini menetap
walaupun dosis yang diberikan tidak bersifat individual. Pada tingkat sedang biasanya setelah
5-10 tahun di diagnosa, biasanya 50-70% pasien memperlihatkan komplikasi motorik yang
diinduksi oleh obat (drug induce) berupa periode “on” dan “off”. Waktu periode “on” pasien
tampak berrespon terhadap obat tapi waktu periode “off” gejala parkinson kembali kambuh.8.

13
Pada kategori ketiga (berat) pasien PD yang lanjut sudah terjadi kerusakan motorik yang
progresif meskipun telah mendapat terapi levodopa, dan tidak berespon secara baik terhadap
pengobatan yang menyebabkan timbulnya komplikasi motorik seperti fluktuasi dan
diskinesia dan mungkin sulit diobati, bahkan tidak mungkin dapat dikontrol dengan terapi
obat.Untuk mencegah timbulnya efek samping dari penggunaan levodopa tersebut,saat ini
strategi penundaan pemberian levodopa lebih diterapkan8.
Levodopa diberikan ketika gejala parkinson pada pasien sudah mulai menyebabkan
gangguan fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
 Dopa dekarboksilase inhibitor
Karbidopa dan benserazid merupakan dopadekarboksilase inhibitor pada jaringan perifer,
tetapi tidak masuk susunan saraf pusat. Karena tidak dapat melewati blood brain barier,
sebagai hasilnya karbidopa menurunkan kadar dopamine di perifer, tetapi tidak di susunan
saraf pusat.
 Dopamin agonis
Oleh karena perlunya penundaan pemberian levodopa pada tahap awal penyakit Parkinson,
para ahli parkinsonologist merekomendasikan pemberian obat-obat dopamine agonis sebagai
terapi awal atau inisial dari golongan obat dopaminergik. Obat-obat dopamine agonis bekerja
dengan mengaktivasi reseptor dopamine secara langsung, dimana berdasarkan studi
penemuan klinis dan eksperimental menemukan bahwa aktivasi reseptor dopamin yang
penting adalah reseptor dopamin D2 dalam memediasi efek antiparkinsonian dari dopamine
agonis. Akan tetapi, beberapa penelitian saat ini juga menyatakan bahwa stimulasi reseptor
D1 dan D2 dibutuhkan terhadap peningkatan optimal efek terhadap fungsi fisiologis dan
perilaku.
Dopamine agonis terdiri atas derivat ergot (bromocriptine, cabergoline, lisuride and
pergolide) dan derivat non-ergot (pramipexole and ropinirole). Derivat non-ergot memiliki
resiko komplikasi yang lebih rendah dibandingkan derivat ergot. Komplikasi yang terjadi
dapat berupa ulkus peptikum, efek vasokonstriktif, fibrosis retroperitoneal, penyakit katup
jantung, dan reaksi serosal berupa efusi pleura, perikardial, dan peritoneal. Oleh karena obat-
obat derivat ergot berpotensi cukup kuat terhadap kejadian penyakit jantung katup,
penggunaan obat golongan ini sudah sangat terbatas.
Pramiprexole merupakan obat yang aman dan efektif apabila digunakan sebagai
monoterapi pada tahap awal Parkinson. Pramiprexole juga digunakan sebagai neuroprotektif
dan dapat meningkatkan aktivitas neurotropik pada dopaminergik mesensefali. Penggunaan

14
ropirinole juga merupakan obat yang aman dan efektif pada tahap awal penyakit Parkinson,
hanya saja ropirinole berisko lebih tinggi terhadap kejadian hipotensi dan somnolen.
 MAO-B Inhibitor
Selegilline dan rasagiline merupakan obat golongan MAO-Inhibitor. MAO-B Inhibitor
memblok metabolisme dopamine sehingga kadarnya tetap meningkat di striatum.
 COMT Inhibitor
Entacapon dan tolcapon merupakan obat golongan COMT-Inhibitor. Obat golongan COMT
Inhibitor menghambat degradasi dopamine menjadi 3-O-methyldopa oleh enzim COMT,
terutama di perifer da meningkatkan jumlah levodopa yang melewati sawar darah otak.
12
Tolcapon kini sudah tidak digunakan di negara Eropa setelah 3 pasien meninggal akibat
toksisitas hepar terhadap obat tersebut. Entacapom mengurangi waktu “off” dari dosis
levodopa, dan mengurangi-sedang-gangguan motorik dan disabilitas.
2) Obat Non-dopaminergik
 Antikolinergik
Triheksifenidil dan benztropine merupakan obat antikolinergik. Obat ini menghambat sistem
kolinergik di ganglia basal dengan menghambat aksi neurotransmitter asetilkolin, sehingga
mampu membantu dalam menjaga keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga
dapat mengurangi gejala tremor.
Efek samping obat antikolinergik perifer mencakup pandangan menjadi kabur, mulut kering,
retensi urin. Piridostigmin, sampai 60 mg, 3x sehari, dapat membantu mengatasi mulut kering
dan kesulitan miksi. Efek samping sentral terutama adalah pelupa dan menurunnya memori
jangka pendek. Kadang-kadang dapat dijumpai halusinasi dan psikosis, terutama apda
kelompok usia lanjut, sehingga dapat digunakan obat antikolinergik yang lebih lemah, seperti
difenhidramin (Benadryl), orfenadrin (Norflex), amitriptilin.
 Amantadin
Bekerja dengan membebaskan dopamin dari vesikel prasinaptik.

15
Pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam menangani penyakit Parkinson stadium dini
adalah:
1) Tingkat disabilitas pasien
Bila pasien mengalami hambatan yang signifikan dalam aktivitas kesehariannya, atau
kemampuan kerjanya terganggu, maka levodopa diindikasikan.
2) Prevensi fluktuasi
Penggunaan agonis dopamin sebagai obat inisiasi atau pemula dapat mengurangi resiko
timbulnya diskinesia, wearing off dan on-fluctuations.
3) Usia pasien
Pasien penyakit Parkinson usia muda (<65 tahun) umumnya lebih mampu mentoleransi
medikasi dan resiko terjadinya efek samping lebih rendah. [asoen berusia lanjut mengalami
kesulitan dengan efek samping kognitif fan psikiatrik. Pada kelompok usia lanjyt, obat
antikolinergik dan amantadin digunakan secara hati-hati. Agonis dopamin mungkin juga
disertai efek samping yang lebih banyak pada usia lanut.
4) Profil efek-samping obat
Bila pasien takut akan kemungkinan ia mengantuk dan dapat membahayakan bila ia
mengendarai, atau ia tidak dapat mentolerir gangguan kognisi, maka agonis dopamin
bukanlah pilihan yang baik.

16
Terapi simptomatik didasarkan atas kebutuhan pasien dan harus direevaluasi secara berkala,
sesuai dengan progresivitas penyakit.

b.Non medikamentosa1
1. Perawatan ( dilakukan terapi fisik (ROM, peregangan, latihan jalan, postur tubuh, dan lain-
lain), Terapi okupasi ( dalam hal pelaksanaan aktivitas sehari-hari), Terapi wicara ,
psikoterapi, terapi social medic, dan orthotic prosthetic)
2. Pembedahan : Pallidotomi ( baik untuk menekan gejala akinesia/ bradikinesia, gangguan
jalan, gangguan bicara) dan Thalamotomi ( efektif menekan gejala tremor, rigiditas,
diskinesia karena obat)
3. Stimulasi otak dalam ( deep brain stimulation), member frekuensi rangsangan pada otak
sebesar 130 Hz dengan lebar antara 30-90s. Stimulasi ini menggunakan alat stimulator yang
ditanam di inti GPi dan STN.
4. Transplantasi menggunakan jaringan medulla adrenalis yang menghasilkan dopamine.
Transplantasi yang berhasil dapat mengurangi gejala Parkinson selama 4 tahun, kemudian
efeknya akan menurun 4-6 tahun setelah transplantasi. Teknik transplantasi ini jarang
digunakan.

2.10 Prognosis 1
Tergantung dari etiologi dan adanya Parkinson sekunder, gejala akan berkurang bila
penyakit primer dapat diatasi. Pada Parkinson primer bersifat progresif sesuai dengan tingkat
hilangnya sel-sel pembentuk dopamine. Sehingga terapi digunakan untuk mempertahankan
agar perjalanan penyakit Parkinson tidak terlalu progresif dan fungsi motorik lainnya dapat
dipelihara optimal.

17
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis


progresif, merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada ganglia basalis akibat
penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus palidus/
neostriatum(striatal dopamine deficiency). Di Amerika Serikat, ada sekitar 500.000 penderita
parkinson. Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada
sekitar 200.000-400.000 penderita
Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan
secara holistik meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk menyembuhkan
penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi gejala yang timbul . Obat-obatan
yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu
belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan terus
dialami sepanjang hidupnya.
Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total
disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat
menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-berbeda.
Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya
gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah.

18
DAFTAR PUSTAKA
1. Munir B.2017.Neurologi dasar. Penyakit Parkinson.Jakarta.Sagung Seto. Hal 371-378
2. Longo DL dkk. Harrison’s principles of internal medicine. Edisi 18. New York:
McGraw- Hill company; 2012. Hal 3317- 3327
3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta. Dian Rakyat. Hal 60-69
4. 12.Jankovic. J, Tolosa. E. Parkinson’s Disease And Movements Disorders 4th.
Philadelpia : Lippincott &Wilkins;2002. P 91-99, 39-53
5. Parkinson. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1831191-
overview#a2 Access on August 15th 2015
6. Reichmann H. Clinical criteria for Diagnosis Parkinson Disease. German:9
Neurodegenerative Dis; 2010;7:284–290 DOI: 10.1159/000314478
7.. Zigmond MJ. Pathofisiology of parkinson. Available at:
https://www.google.co.id/search?q=pathophysiology+of+parkinson+disease+pdf&oq
=pathophysiology+of+par&aqs=chrome.1.69i57j0l5.12085j0j7&sourceid=chrome&e
s_sm=93&ie=UTF-8 Access on August 15th 2015
8.. Parkinson disease symptom. Available at: http://www.webmd.com/parkinsons-
disease/tc/parkinsons-disease-symptoms Access on August 15th 2015
9. Jankovic J. Parkinson’s disease: clinical features and diagnosis. USA: J Neurol
Neurosurg Psychiatry; 2008; 79:368-376.
10. Lingorl P, Liman J. Diagnosis and Differential Diagnosis of Parkinson’s Disease .
USA : Intech .

19

Anda mungkin juga menyukai