Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

SISTEM SARAF OTONOM

Oleh:

Betharlitha Maharlika 2012730018

Pembimbing :

dr. H. Dikdik Suparman Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN NEUROLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANJAR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

1
2016

2
KATA PENGANTAR

Puji sukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan Referat ini yang berjudul “Sistem Saraf Otonom”. Referat ini disusun sebagai
salah satu tugas persyaratan kelulusan kepaniteraan klinik Bagian Neurologi RSUD Kota
Banjar.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dikdik Suparman
Sp.S sebagai pembimbing dalam pembuatan referat ini. Tidak lupa terima kasih juga penulis
sampaikan kepada dokter-dokter pembimbing di RSUD Kota Banjar atas bimbingan yang
kami dapat selama kepaniteraan klinik ini.

Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak
kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari dokter
pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan masukan yang
berguna bagi penulis.

Lepas dari segala kekurangan yang ada, kami berharap semoga referat ini membawa
manfaat bagi kita semua.

Banjar, Juli 2016

Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 4

BAB II SISTEM SARAF OTONOM ............................................................................... 5

BAB III KESIMPULAN .................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 21

4
BAB I

PENDAHULUAN

Sistem saraf terbagi menjadi dua, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem
saraf pusat terdiri atas cerebrum, cerebelum dan medula spinalis. Sedangkan sistem saraf tepi
dibagi menjadi saraf somatik dan saraf otonom. Bagian sistem saraf yang mengatur fungsi
viseral tubuh disebut sistem saraf otonom. Sistem ini membantu mengatur tekanan arteri,
motilitas dan sekresi gastrointestinal pengosongan kandung kemih, berkeringat suhu tubuh
dan banyak aktivitas lainnya. Sistem saraf otonom juga berperan pada sistem penglihatan
normal seperti cabang parasimpatis berperan pada fungsi lakrimasi, dan ukuran pupil
dikontrol oleh keseimbangan antara persarafan simpatis untuk otot dilator iris dan
parasimpatis untuk otot sfingter iris.

Sistem saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medula
spinalis, batang otak, dan hipotalamus. Juga, bagian korteks serebri khususnya korteks
limbik, dapat menghantarkan impuls ke pusat-pusat yang lebih rendah sehingga demikian
mempengaruhi pengaturan otonomik. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu
sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan.

Sebenarnya tidak ada penyamarataan yang dapat dipakai untuk menjelaskan apakah
rangsangan simpatis atau parasimpatis dapat menyebabkan timbulnya eksitasi atau inhibisi
pada suatu organ tertentu. Oleh karena itu, untuk dapat mengerti fungsi simpatis dan
parasimpatis, kita harus mempelajari seluruh fungsi kedua sistem saraf ini pada masing-
masing organ.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Saraf Otonom

Secara fungsional sistem saraf perifer terbagi menjadi sistem aferen dan sistem eferen.
a) Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP
b) Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar.
Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua sub divisi :
a) Divisi somatic (volunter) berkaitan dengan perubahan lingkungan eksternal dan
pembentukan respons motorik volunteer pada otot rangka.
b) Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respon involunter pada otot polos,
otot jantung dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui dua jalur
 Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla spinalis
 Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sacral pada medulla spinalis.

Sistem saraf otonom merupakan sistem motorik eferen visceral. Sistem ini
mengendalikan perasaan viseral dan semua gerakan involuntar reflektorik, seperti
vasodilatasi vasokonstriksi, bronkodilatasi bronkokonstriksi, peristaltik, berkeringat, dan
sebagainya. Sistem saraf otonom tidak memiliki input volunteer. Meskipun demikian, sistem
ini dikendalikan oleh pusat dalam hipotalamus, medulla dan korteks serebral serta pusat
tambahan pada formasi reticular batang otak. Mekanisme neuronal pengaruh serebral ini
dilaksanakan oleh neuron yang menghubungkan daerah-daerah korteks serebri tertentu
dengan hipotalamus. Impuls pengarah tersebut kemudian dipancarkan ke perifer melalui
saraf-saraf otak dan saraf spinal. Sebagian dari impuls hipotalamus disalurkan ke hipofisis
dan merupakan input bagi lintasan hipotalamus hipofisis gonada. Sebagian besar organ
internal di bawah kendali otonom memiliki inervasi simpatis dan parasimpatis.

Anatomi sistem saraf simpatis

Sistem saraf simpatis dimulai dari medula spinalis segmen torakolumbal (torak 1 sampai
lumbal 2). Serabut-serabut saraf ini melalui rangkaian paravertebral simpatetik yang berada

6
disisi lateral korda spinalis yang selanjutnya akan menuju jaringan dan organ-organ yang
dipersarafi oleh sistem saraf simpatis. Tiap saraf dari sistem saraf simpatis terdiri dari satu
neuron preganglion dan postganglion. Badan sel neuron preganglion berlokasi di
intermediolateral dari korda spinalis. Serabut saraf simpatis vertebra ini kemudian
meninggalkan korda spinalis melalui rami komunikantes alba dan menuju trunkus simpatikus
menjadi salah satu dari 22 pasang ganglia dari rangkaian paravertebral simpatik yaitu 3
pasang ganglion di daerah servikal, 12 pasang di daerah torakal, 5 pasang di daerah lumbal, 2
pasang di daerah sakral.

Ganglion-ganglion di kedua sisi tulang belakang dinamakan ganglion paravertebrale dan


ganglion-ganglion didekat organ dalam disebut ganglion prevertebrale. Kedua kelompok
ganglion ini menjulurkan serabut postganglionar. Akson-akson neuron preganglion
kebanyakan bermielin, hantarannya lambat (tipe B) dan neuron postganglion kebanyakan
serabut -serabut saraf yang tidak bermielin (tipe C). Di ganglia paravertebral yang lain,
neuron-neuron postganglion kemudian keluar dari ganglia paravertebra menuju ke berbagai
organ-organ perifer. Neuron postganglion kembali ke saraf spinal melalui rami abu-abu,
neuron ini selanjutnya akan mempengaruhi tonus otot pembuluh darah, otot-otot piloerektor,
dan kelenjar keringat.

Serabut-serabut preganglionar simpatetik untuk kepala berasal dari neuron-neuron


intermediolateralis T1 dan T2. Mereka bersinap di ganglion servikal superior. Serabut-serabut
preganglionar dari ganglion tersebut menyusun pleksus di sekeliling arteria karotis. Seberkas
saraf keluar sebagai nervus karotikotimpanikus yang berjalan di dinding depan kavum
timpani. Ia kembali masuk ke dalam tengkorak, dan melalui fisura orbitalis superior serabut-
serabutnya ikut menyusun cabang oftalmikus nervus trigeminalis. Sebagian lain
menggabungkan diri pada nervus siliare yang hanya melalui ganglion siliare untuk langsung
berakhir pada otot dilator pupil. Sebagian lagi menggabungkan diri pada nervus
okulomotorius dan mempersarafi otot-otot polos dari kelompok mata. Ganglion servikale
inferius sering menjadi satu dengan ganglion paravertebrale T1 dan dikenal sebagai ganglion
stelatum. Serabut-serabut postganglionarnya mengikuti arteria subklavia dan mempersarafi
lengan.

Serabut-serabut postganglionar lainnya yang berasal dari ganglion servikale menyusun


nervus kardiakus superior, media dan inferior, yang bersama-sama dengan serabut-serabut
postganglionar yang berasal dari gangliong simpatikua T1,2,3 dan 4 membentuk pleksus
7
kardiakus. Serabut-serabut postganglionar yang berinduk pada ganglion seliakum dan
ganglion-ganglion prevertebrale lainnya berjalan melalui aorta abdominalis dan cabang-
cabangnya dan akhirnya membentuk pleksus simpatikus hepatikus, splenikus, frenikus,
renalis dan lainnya.

Anatomi sistem saraf parasimpatis


8
Bagian parasimpatetik dinamakan juga bagian kraniosakral dari susunan saraf otonom,
karena serabut-serabut preganglionarnya berinduk pada neuron di dalam otak dan bagian
sakral medula spinalis. Bagian kranial dari serabut-serabut preganglionar parasimpatetik
berasal dari inti-inti di dekat inti nervus okulomotorius, fasialis, glosofaringeus dan vagus.
Kira-kira 75% dari seluruh serabut saraf parasimpatis didominasi oleh nervus vagus yang
berakhir di ganglia intramurale dan ganglia postganglionar.

Serabut-serabut postganglionar parasimpatetik nervi vagi mempersarafi otot polos dari


trakea, bronki, esofagus dan seluruh traktus gasterointestinalis kecuali bagian distal dari
kolon. Stimulasi terhadap nervus vagus menimbulkan inhibisi terhadap otot-otot sfinkter dan
sekresi dari kelenjar di dalam traktus gasterointestinalis, hepar dan pankreas.

Serabut saraf parasimpatis nervus III menuju mata, sedangkan kelenjar air mata, hidung,
dan glandula submaksilla menerima innervasi dari saraf kranial VII, dan glandula parotis
menerima innervasi dari saraf kranial IX.

Sistem saraf parasimpatis daerah sakral terdiri dari saraf sakral II dan III serta kadang-
kadang saraf sakral I dan IV. Serabut -serabut saraf ini mempersarafi bagian distal kolon,
rektum, kandung kemih, dan bagian bawah uterus, juga mempersarafi genitalia eksterna yang
dapat menimbulkan respon seksual.

Berbeda dengan sistem saraf simpatis, serabut preganglion parasimpatis menuju ganglia
atau organ yang dipersarafi secara langsung tanpa hambatan. Serabut postganglion saraf
parasimpatis pendek karena langsung berada di ganglia yang sesuai, ini berbeda dengan
sistem saraf simpatis, dimana neuron postganglion relatif panjang, ini menggambarkan
ganglia dari rangkaian paravertebra simpatis yang berada jauh dengan organ yang
dipersarafinya.

9
Fisiologi sistem saraf otonom

Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis mensekresikan salah satu dari kedua
bahan transmiter sinaps, asetilkolin atau norepinefrin. Serabut postganglion sistem saraf
simpatis mengekskresikan norepinefrin sebagai neurotransmitter dan asetilkolin pada serabut
preganglionar. Neuron- neuron yang mengeluarkan norepinefrin ini dikenal dengan serabut
adrenergik. Serabut postganglion dan preganglion sistem saraf parasimpatis mensekresikan
asetilkolin sebagai neurotransmitter dan dikenal sebagai serabut kolinergik.

Aktivitas simpatetik melebarkan diameter pupil, melebarkan fisura palpebralis,


meningkatkan frekuensi denyutan jantung dan memperlancar penyaluran impuls melalui jaras
atrioventikular, menyempitkan lumen (konstriksi) hampir semua pembuluh darah, terutama
yang menuju ke kulit dan visera abdominal, tetapi melebarkan lumen (dilatasi) arteria
koronaria, menghambat oeristaltik saluran pencernaan, mengeratkan sfinkter saluran
pencernaan, menghambat otot detrusor kandung kemih, membangunkan bulu kulit,

10
menggalakan sekresi keringat dan adrenalin (epinefrin) dan meningkatkan gula darah dengan
jalan glikogenolisis di hepar. Melalui efeknya terhadap sekresi adrenalin yang merangsang
susunan saraf simpatetik.

Di pihak lain, aktivitas parasimpatetik menyempitkan diameter pupil, memperlambat


frekuensi denyutan jantung, menghambat lancarnya penghantaran melalui jaras
atrioventrikular, melebarkan lumen pembuluh darah, menyempitkan lumen bronkioli,
menggalakan sekresi air liur dan air mata, menggalakan peristaltik dan melonggarkan sfinkter
saluran pencernaan, menggalakan otot destruksor kandung kemih dan sekresi insulin
sehingga menurunkan gula darah.

Sifat antagonis antara komponen simpatetik dann parasimpatetik dapat dianggap perlu
untuk menjaga homeostasis tubuh. Komponen simpatetik merupakan koordinasi respon tubuh
terhadap stress. Sedangkan komponen parasimpatetik mengatur proses anabolik, sekretorik
dan reproduktif.

RESEPTOR-RESEPTOR NOREPINEFRIN

Efek farmakologi katekolamin merupakan konsep awal dari reseptor-reseptor alfa dan
beta adrenergik. Penelitian dengan memakai obat-obatan yang meniru kerja norepinefrin pada
organ efektor simpatis (disebut sebagai simpatomimetik ) telah memperlihatkan bahwa
terdapat dua jenis reseptor adrenergik, reseptor-reseptor ini dibagi menjadi alfa 1 dan alfa 2.
Selanjutnya reseptor beta dibagi menjadi beta 1 dan beta 2. Norepinefrin dan epinefrin,

11
keduanya disekresikan kedalam darah oleh medula adrenal, mempunyai pengaruh
perangsangan yang berbeda pada reseptor alfa dan beta. Norepinefrin terutama merangsang
reseptor alfa namun kurang merangsang reseptor beta. Sebaliknya, epinefrin merangsang
kedua reseptor ini sama kuatnya. Oleh karena itu, pengaruh epinefrin dan norepinefrin pada
berbagai organ efektor ditentukan oleh jenis reseptor yang terdapatdalam organ tersebut. Bila
seluruh reseptor adalah reseptor beta, maka epinefrin akan menjadi organ perangsang yang
lebih efektif.

Reseptor dopamin juga dibagi menjadi dopamin 1 dan dopamin 2. Presinap alfa dan
dopamin 2 merupakan negative feedback karena bila diaktivasi akan menyebabkan pelepasan
neurotransmitter. Reseptor-reseptor alfa 2 juga terdapat di platelet yang berfungsi sebagai
mediator pada agregasi platelet yang dengan cara mempengaruhi konsentrasi enzim platelet
adenilatsiklase. Pada sistem saraf pusat, stimulasi postsinap alfa 2 dengan menggunakan obat
seperti klonidin atau dexmetomidine akan meningkatkan konduksi dan hiperpolarisasi
membran sehingga kebutuhan zat anestesi akan menurun. Sistem signal transmembran terdiri
dari 3 bagian, yaitu : (a) sisi pengenalan, (b) sisi efektor atau katalitik, dan (c) tranducing
atau coupling protein.

Aktivasi dari reseptor-reseptor beta 1, beta 2, dan dopamin mengakibatkan pembentukan


cycle adenosine monophosphate (cAMP) sebagai messenger kedua. Peningkatan konsentrasi
cAMP intraseluler akan memicu terjadinya proses-proses di intraseluler (cascading protein
phosporilation reaction dan stimulasi pompa sodium potassium) yang mempunyai efek
metabolik dan farmakologi seperti beta adrenergik. Berbeda dengan reseptor beta, kalau pada
reseptor alfa 1 diaktivasi akan menyebabkan fasilitasi ion kalsium bergerak kedalam sel dan
menstimulasi hidrolisis dan poliphospoinositides sedangkan aktivasi reseptor alfa 2 dan
dopamin 2 menghambat adenilat cyclase. Stimulasi atau inhibisi dari protein G dibutuhkan
sebagai perantara untuk menginhibisi adenylate cyclase atau menstimulasi hidrolisis
phospoinositide.

RESEPTOR ASETILKOLIN

Reseptor-reseptor kolinergik dibagi menjadi nikotinik dan muskarinik. Secara fisiologi


masing-masing reseptor dibagi menjadi beberapa subtipe. Reseptor nikotinik dibagi menjadi
2 yaitu reseptor N1 dan N2. N1 terdapat di ganglia otonom sedangkan N2 terdapat di
neuromuscular junction. Hexamethonium memblok reseptor N1 sedangkan blokade ganglia
otonom dalam beberapa tingkatan walaupun efek pada reseptor N2 tetap predominan.
12
Reseptor muskarinik dibagi menjadi M1 dan M2. Reseptor M1 terdapat di ganglia
otonom dan sistem saraf pusat sedangkan reseptor M2 ada di jantung dan kelenjar ludah.
Pirenzepin adalah salah satu contoh obat yang merupakan antagonis selektif pada reseptor
M1 sedangkan atropine merupakan antagonis selektif pada reseptor M1 dan M2. Perbedaan
antara reseptor nikotinik dan muskarinik adalah pada jarak reseptor antara atom-atom dalam
berinteraksi dengan asetilkolin ataupun obat-obat.

Seperti norepinefrin, reseptor-reseptor asetilkolin akan bergabung dengan protein G


dalam kerjanya. Impuls yang datang di akhir saraf kolinergik akan meningkatkan
permeabilitas membran saraf dan menyebabkan influk ion kalsium sehingga terjadi sekresi
asetilkolin kedalam celah sinaptik. Asetilkolin menyebabkan perubahan-perubahan pada
permeabilitas chanel ion protein sehingga dapat melewati membrane sel. Sebagai contoh
reseptor magnesium menurunkan konduksi ion potassium dan mengakibatkan eksitasi
sebaliknya reseptor M2 meningkatkan konduksi ion potassium mengakibatkan hiperpolarisasi
membran sel yang berefek inhibisi.

Kerja eksitasi dan inhibisi akibat perangsangan simpatis dan parasimpatis

Dalam tabel 1 dicantumkan efek-efek yang terjadi pada organ viseral tubuh akibat
terangsangnya saraf simpatis atau parasimpatis. Dari tabel ini dapat terlihat lagi bahwa
perangsangan simpatis menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi menimbulkan
efek inhibisi pada organ lainnya. Demikian pula, perangsangan parasimpatis akan
mengeksitasi beberapa organ namun menghambat organ lainnya. Kebanyakan organ diatur
oleh salah satu dari kedua sistem tersebut.

Organ Efek Perangsangan Simpatis Efek Perangsangan Parasimpatis

Mata

Pupil dilatasi konstriksi

Otot siliaris relaksasi ringan konstriksi

13
Kelenjar

Nasal, Lakrimalis, Parotis, vasokonstriksi dan sekresi rangsangan banyak sekali sekresi
Submandibula, Lambung, ringan
Pankreatik

Kelenjar keringat banyak sekali keringat berkeringat pada telapak tangan


(kolinergik) atau tangan

Kelenjar apokrin tebal,sekresi yang berbau tidak ada

Pembuluh darah seringkali konstriksi seringkali memberi sedikit efek/


tidak sama sekali

Jantung

Otot pengurangan kecepatan peningkatan kecepatan


peningkatan kekuatan kontraksi penurunan kekuatan kontraksi
(khususnya atrium)
Pembuluh koroner dilatasi(α);konstriksi(β) Dilatasi

Paru

Bronkus dilatasi konstriksi

Pembuluh darah konstriksi sedang dilatasi

Usus

Lumen peningkatan peristaltis dan tonus penurunan peristaltis dan tonus


peningkatan tonus

Sfingter relaksasi

Hati pelepasan glukosa sintesa glikogen ringan

Kandung empedu relaksasi Kontraksi

Saluran empedu

Ginjal berkurangnya pengeluaran dan tidak ada


sekresi renin

Kandung kemih

14
Detrusor relaksasi ringan kontraksi

Trigonum kontraksi relaksasi

Penis ejakulasi ereksi

Arteriol sistemik

Viscera abdominal konstriksi tidak ada

Otot konstriksi (adrenergik) tidak ada

Kulit Konstriksi tidak ada

Darah

Koagulasi meningkat tidak ada

Glukosa meningkat tidak ada

Lipid meningkat tidak ada

Metabolisme basal meningkat sampai 100% tidak ada

Sekresi medula adrenal Meningkat tidak ada

Aktivitas mental Meningkat tidak ada

Otot piloerektor Kontraksi tidak ada

Otot skeletal peningkatan glikogenolisis, tidak ada


Peningkatan kekuatan

Sel-sel lemak lipolisis tidak ada

Efek Perangsangan Simpatis dan Parasimpatis pada Organ Spesifik

Mata. Terdapat dua fungsi mata yang diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu dilatasi pupil dan
pemusatan lensa. Perangsangan simpatis membuat serat-serat meridional iris berkontraksi
sehingga pupil menjadi dilatasi, sedangkan perangsangan parasimpatis mengkontraksikan
otot-otot sirkular iris sehingga terjadi konstriksi pupil. Bila ada cahaya yang berlebihan
masuk kedalam mata, serat-serat parasimpatis yang mengatur pupil akan terangsang secara
refleks, dimana refleks ini akan mengurangi pembukaan pupil dan mengurangi jumlah cahaya
yang membentur retina. Sebaliknya selama periode eksitasi, saraf simpatis akan terangsang

15
dan karena itu, pada saat yang bersamaan akan menambah pembukaan pupil. Pemusatan
lensa hampir seluruhnya diatur oleh sistem saraf parasimpatis. Normalnya, lensa
dipertahankan tetap dalam keadaan rata oleh tegangan intrinsik elastik dari ligamen radialnya.
Perangsangan parasimpatis membuat otot siliaris berkontraksi, sehingga melepaskan
tegangan tadi dan menyebabkan lensa menjadi lebih konveks. Keadaan ini membuat mata
memusatkan objeknya dekat tangan.

Patologi:

Pupil yang melebar (midriasis) yang tidak beraksi terhadap penyinaran cahaya dan
akomodasi dapat disebabkan oleh hiperaktivitas simpatetik atau karena lesi di kompartemen
parasimpatetiknya, seperti pada kompresi pada n okulomotorius yang mengandung serabut
parasimpatetik. Dengan penetesan metacholine (2,5%) yang merupakan zat kolinergik pada
pupil yang normal tidak mengakibatkan perubahan pupil. Tetapi penetesan terhadap pupil
midriasis karena lesi nervus okulomotorius mengakibatkan konstriksi pupil.

Miosis atau pupil yang semppit dapat merupakan manifestasi hiperaktivitas komponen
parasimpatik atau blokade aktivitas simpatetik. Test untuk mengungkapkan komponen mana
yang mengakibatkan miosis adalah dengan penetesan homatropin. Jika miosis disebabkan
aktivitas simpatetik yang tertekan maka penetesan tidak akan mengakibatkan perubahan yang
nyata. Tetapi jika miosis disebabkan oleh hiperaktivitas parasimpatetik, maka penetesan pada
pupil yang miosis tersebut akan menimbulkan dilatasi pupil yang nyata.

Kelenjar-kelenjar tubuh. Kelenjar nasalis, lakrimalis, saliva, dan sebagian besar kelenjar
gastrointestinalis terangsang dengan kuat oleh sistem saraf parasimpatis sehingga
mengeluarkan banyak sekali sekresi cairan. Kelenjar-kelenjar saluran pencernaan yang paling
kuat dirangsang oleh parasimpatis adalah yang terletak di saluran bagian atas, terutama
kelenjar di daerah mulut dan lambung. Kelenjar usus halus dan usus besar terutama diatur
oleh faktor-faktor lokal yang terdapat di saluran usus sendiri dan oleh sitem saraf enterik usus
serta sedikit oleh saraf otonom. Perangsangan simpatis mempunyai pengaruh langsung pada
sel-sel kelenjar dalam pembentukan sekresi pekat yang mengandung enzim dan mukus
tambahan. Rangsangan simpatis ini juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang
mensuplai kelejar-kelenjar sehingga seringkali mengurangi kecepatan sekresinya. Bila saraf
simpatis terangsang, maka kelenjar keringat mensekresikan banyak sekali keringat, tetapi
perangsangan pada saraf parasimpatis tidak mengakibatkan pengaruh apapun. Namun, serat-
serat simpatis yang menuju ke sebagian besar kelenjar keringat bersifat kolinergik (kecuali
16
beberapa serat adrenergik yang ke telapak tangan dan telapak kaki ) dimana hal ini berbeda
dengan hampir semua serat simpatis lainnya, yang bersifat adrenergik. Selanjutnya, kelenjar
keringat terutama dirangsang oleh pusat-pusat di hipotalamus yang biasanya dianggap
sebagai pusat parasimpatis. Oleh karena itu, berkeringat dapat dianggap sebagai fungsi
parasimpatis, walaupun hal ini dikendalikan oleh serat-serat saraf yang secara anatomis
tersebar melalui sistem saraf simpatis.

Kelenjar apokrin di aksila mensekresikan sekret yang kental dan berbau sebagi akibat dari
perangsangan simpatis, namun kelenjar ini tidak bereaksi terhadap perangsangan
parasimpatis. Kelenjar apokrin, walaupun embriologisnya berkaitan erat dengan kelenjar
keringat, tetapi lebih banyak diatur oleh pusat simpatis dalam sistem saraf pusat daripada oleh
pusat parasimpatis.

Patologi:

Hiperhidrosis atau berkeringat secara berlebihan, dapat timbul menyeluruh atau setempat.
Mekanismenya belum diketahui. Pada hemiparese, hiperhidrosis dapat dijumpai pada sisi
yang lumpuh. Pada orang tertentu dapat dijumpai hiperhidrosis hemifasialis saat tengah
makan. Dapat juga ditemukan hiperhidrosis pada telapak tangan atau kaki baik dalam
keadaan gelisah maupun santai yang dianggap sebagai manifestasi gangguan keseimbangan
simpatetik dan parasimpatetik.

Sistem gastrointestinal. Sistem gastrointestinal mempunyai susunan saraf intrinsik sendiri


yang dikenal sebagai pleksus intramural atau sistem saraf enterik usus. Namun, baik
perangsangan simpatis maupun parasimpatis dapat mempengaruhi aktivitas gastrointestinal,
terutama oleh peningkatan atau penurunan kerja spesifik dalam pleksus intramural. Pada
umumnya, perangsangan parasimpatis meningkatkan seluruh tingkat aktivitas saluran
gastrointestinal, yakni dengan memicu terjadinya gerakan peristaltik dan relaksasi sfingter,
jadi akan mempermudah pengeluaran isi usus melalui saluran pencernaan dengan cepat.
Pengaruh dorongan ini berkaitan dengan penambahan kecepatan sekresi yang terjadi secara
bersamaan pada sebagian besar kelenjar gastrointestinal, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Fungsi normal dari saluran gastrointestinal tidak terlalu tergantung pada
perangsangan simpatis. Namun bila ada perangsangan simpatis yang sangat kuat, maka akan
timbul penghambatan peristaltik dan peningkatan tonus sfingter. Hasil akhirnya adalah timbul
dorongan yang sangat lemah dalam saluran pencernaan dan kadang-kadang juga mengurangi
sekresi.
17
Patologi:

Defekasi adalah kegiatan voluntar untuk mengosiongkan sigmoid dan rektum yang terbagi
dalam 2 tahap yaitu pendorongan feses ke rektum secara involuntar dan selanjutnya terjadi
secara voluntar. Sfinkter ani dilonggarkan dan dinding perut dikontraksikan sehingga tekanan
intra abdominal yang meningkat mempermudah pengeluaran feses. Kontinensia rektal
merupakan hasil gabungan yang mengurus tonus dan refleks rektal. Selama tonus sfinkter
internus tetap tinggi, kanalis rekti tertutup ketat. Namun ketika tonus sfinkter internus
menjadi rendah akibat inhibisi aktivitas simpatetik, secara reflektorik kanalis rekti menjadi
longgar sehingga mempermudah pengeluran feses.

Jika kontinensia rektal terganggu, timbulah keadaan dimana defekasi tidak dapat dikelola
oleh kemauan (inkontinensia). Kerusakan pada integritas serabut aferen dan eferent (S2-S4)
serta lintasan asenden dan desenden spinal menimbulkan inkontinensia. Hal ini dapat terjadi
akibat kelainan kongenital (mielodispasia, mielomeningokel lumbosakral, siringomielia),
infeksi (mielitis transvers), neoplasma (tumor kauda ekuwina, dermoid sakral, fibroma,
ependimoma), trauma dan gangguan vaskular (oklusi arteri spinalis anterior, hemoragia,
hematomielia, malformasi arteriovenous).

Jantung. Pada umumnya, perangsangan simpatis akan meningkatkan seluruh aktivitas


jantung. Keadaan ini tercapai dengan naiknya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung.
Perangsangan parasimpatis terutama menimbulkan efek yang berlawanan. Akibat atau
pengaruh ini dapat diungkapkan dengan cara lain, yakni perangsangan simpatis akan
meningkatkan keefektifan jantung sebagai pompa yang diperlukan selama kerja berat,
sedangkan perangsangan parasimpatis menurunkan kemampuan pemompaan tetapi
menimbulkan beberapa tingkatan istirahat pada jantung di antara aktivitas kerja yang berat.

Pembuluh darah sistemik. Sebagian besar pembuluh darah sistemik, khususnya yang
terdapat di visera abdomen dan kulit anggota tubuh, akan berkonstriksi bila ada perangsangan
simpatis. Perangsangan parasimpatis hampir sama sekali tidak berpengaruh pada pembuluh
darah, kecuali pada daerah-daerah tertentu malah memperlebar, seperti pada timbulnya
daerah kemerahan di wajah. Pada beberapa keadaan, fungsi rangsangan simpatis pada
reseptor beta akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada rangsangan simpatis yang
biasa, tetapi hal ini jarang terjadi, kecuali setelah diberi obat-obatan yang dapat
melumpuhkan reseptor alfa simpatis yang memberi pengaruh vasokonstriktor, yang biasanya
lebih merupakan efek reseptor beta.
18
Efek perangsangan simpatis dan parasimpatis terhadap tekanan arteri. Tekanan arteri
ditentukan oleh dua faktor, yaitu daya dorong darah dari jantung dan tahanan terhadap aliran
darah ini yang melewati pembuluh darah. Perangsangan simpatis meningkatnya daya dorong
oleh jantung dan tahanan terhadap aliran darah, yang biasanya menyebabkan tekanan menjadi
sangat meningkat. Sebaliknya, perangsangan parasimpatis menurunkan daya pompa jantung
tetapi sama sekali tidak mempengaruhi tahanan perifer. Efek yang umum adalah terjadi
sedikit penurunan tekanan. Ternyata perangsangan parasimpatis vagal yang hampir selalu
dapat menghentikan atau kadang-kadang menghentikan seluruh jantung dan menyebabkan
hilangnya seluruh atau sebagian besar tekanan.

Efek perangsangan simpatis dan parasimpatis terhadap fungsi tubuh lainnya. Karena
begitu pentingnya sistem pengaturan simpatis dan parasimpatis, maka kedua sistem ini
dibicarakan mengingat banyaknya fungsi tubuh yang belum dapat ditentukan secara rinci.
Pada umumnya sebagian besar struktur entodermal, seperti hati, kandung empedu, ureter,
kandung kemih, dan bronkus dihambat oleh perangsangan simpatis namun dirangsang oleh
perangsangan parasimpatis. Perangsangan simpatis juga mempunyai pengaruh metabolik,
yakni menyebabkan pelepasan glukosa dari hati, meningkatkan konsentrasi gula darah,
meningkatkan proses glikogenolisis dalam hati ndan otot, meningkatkan kekuatan otot,
meningkatkan kecepatan metabolisme basal, dan meningkatkan aktivitas mental. Akhirnya,
perangsangan simpatis dan parasimpatis juga terlibat dalam tindakan seksual antara pria dan
wanita.

Patologi :

Uretra dan kandung kemih menerima persarafan simpatetik dan parasimpatetik.


Ganglion-ganglion kedua komponen susunan otonom itu tersebut terletak di dekat bangunan
yang dipersarafinya. Serabut- serabut postganglionar kedua kompinen saraf otonom tersebut
tiba pada target organ melalui dinding pembuluh darah. Peran simpatetik bersifat inhinbisi
terhadap pengaruh eksitasi dari komponen parasimpatetik yang aktif dalam kontraksi otot
destruktor kandung kemih (S3-S4).

Penuhnya kandung kemih terasa karena lintasan asendens menyalurkan impuls yang
dicetuskan oleh ujung serabut aferen perifer akibat teregangnya otot detrusor. Tibanya impuls
tersebut di korteks serebri memberikan kesadaran akan penuhnya kandung kemih.
Terputusnya lintasan impuls tersebut akan menghilangkan perasaan ingin miksi, yang
normalnya timbul saat kandung kemih penuh. Keadaan tersenut mengakibatkan overflow
19
inkontinensia atau miksi tanpa disadari. Pintu yang harusnya terbuka saat otot detrusor
berkontraksi untuk mengeluarkan urin adalah otot sfinkter internus dan eksternus. Aktivitas
parasimpatetik menggiatkan otot detrusor, tetapi sekaligus melemaskna otot sfinkter internus.
Pintu terdepan dari kandung kemih adalah otot sfinkter eksternus yang dipersarafi oleh saraf
motorik somatik (S1 & S2). Lesi pada somatomotorik tersebut menimbulkan inkontinensia.
Keadaan ini sering terjadi setelah partus dimana otot sfinkter eksternus atau saraf pudendus
mengalami jejas.

20
BAB III
KESIMPULAN

Sistem saraf otonom merupakan sistem motorik eferen visceral. Sistem ini
mengendalikan perasaan viseral dan semua gerakan involuntar reflektorik, seperti
vasodilatasi vasokonstriksi, bronkodilatasi bronkokonstriksi, peristaltik,
berkeringat, dan sebagainya. Gangguan pada saraf otonom dapat menyebabkan
manifestasi klinis sesuai dengan lokasi yang dipersarafinya. Diantara lain adalah
pupil midriasis ataupun miosis, hiperhidrosis, inkontinensia rektal, inkontinensia
urin dan lainnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Brain, W.R. Disease of the nervous system. Oxford university Press, 1971.
2. Barret, Kim E; Boitano, Scott; Barman, Susan M; Brooks, Hedden L;
Ganong’s, Review of Medical Physiology; Chap. 33 : 555-557, Twenty-Third
Edition, Mc Graw Hill Medical Co.
3. Brazis PW. Localization in clinical neurology. 2nd ed. London : Little Brown,
1990;p. 128-148
4. Brown, R. Ropper, A. Adam and Victor’s: the principle of neurology. Eight
edition. Mc Graw Hill. Medical Division Publishing.
5. Chusid JG. Correlative neuroanatomy. 12th ed. U.S.: Prentice Hall, 1988:p.
143-151
6. Duus P. Topical diagnosis in neurology. 3rd ed. New York : George Thieme
Verlag, 1983: p.122-126
7. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 1997 edisi 9, hal 957-970.
8. Mitchell, G.A. Anatomy of the autonomic nervous system, E & S.
Livingstone Ltd, Edinburg and London, 1953.
9. Mark Mumenthaler, MD. , Heinrich Mattle, MD. (2004).NEUROLOGY 4th
Edition. Thieme. ISBN 3-13-523904-7.
10. Sherwood, L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem Ed.6. Jakarta: EGC, 2012.
11. Smith, S,A. Disorder of the autonomic nervous system. At Kenneth F.
Swaiman dan Francis S. Wright (editor) The Practice of Pediatric Neurology.
The C.V. Mosby Co., Sain Louis, 1975. Hal.799-821.

21

Anda mungkin juga menyukai