1
sekuler biasanya hanya berupa perayaan festival saja. Di setiap acara Matsuri selalu
bisa ditemukan kegiatan arak-arakkan seperti Mikoshi, Dashi dan Yatai. Dalam
proses keagamaan, pembacaan doa pada kegiatan Matsuri masih tersisa dalam bentuk
Kigansai (permohonan secara individu yang dilakukan di kuil). Norito biasanya
dilakukan oleh pendeta Shinto yang menjadi awal dimulainya Matsuri. Saat ini di
Jepang, Ise Jingu menjadi salah satu kuil agama Shinto yang menyelenggarakan
Matsuri dalam bentuk pembacaan doa sebab sesuai dengan perkembangan zaman,
tujuan penyelenggaraan Matsuri sering melenceng jauh dari makna Matsuri yang
sebenarnya (Plutschow, 1996).
Sumber: https://www.singoutasiae.org/uploads/7/9/8/9/7989349/_7607017.jpeg
Setelah penyelenggaraan Jak Japan Matsuri yang pertama pada tahun 2009
dengan tema ”Langkah awal menuju persahabatan yang abadi”, tahun demi tahun Jak
Japan Matsuri terus dirancang dengan baik dan skalanya semakin besar. Hampir
setiap tahunnya acara ini selalu rutin diselenggarakan, dan setiap tahunnya acara ini
memiliki tema yang berbeda-beda. Pada Jak Japan Matsuri ke 5 di tahun 2013 yang
bertepatan dengan tahun ke-55 sejak berdirinya hubungan diplomatik Indonesia-
Jepang di tahun 1958, skala event ini bertambah besar yang dimana setiap tahun
minat pengunjung untuk datang ke acara ini semakin besar dan bahkan bintang tamu
baik dari dalam maupun luar negeri juga turut berpartisipasi, menyatu dengan para
pengunjung sehingga tampak sangat meriah.
Beragam pertukaran di tengah masyarakat kedua negara terselenggara dengan
sangat aktif. Dari penyelenggaraan Jak Japan Matsuri pertama sampai sekarang pun
pertukaran budaya sedikit banyak telah berkontribusi bagi eratnya persahabatan ini.
Bahkan akhir-akhir ini, pop culture Jepang seperti anime, manga, cosplay pun
dikenal akrab sebagai budaya baru Jepang di seluruh Indonesia termasuk Jakarta.
Selain itu kuliner Jepang yang menjadi trend telah mengarahkan minat orang
Indonesia kepada Jepang. Di tengah arus seperti ini, kegiatan Jak Japan Matsuri ini
menjadi dikenal di antara pihak-pihak terkait perusahaan dan entertainment yang ada
di Jepang sehingga mereka yang ingin memanfaatkan acara ini untuk
memperkenalkan sesuatu hal yang baru dari Jepang kepada masyarakat Indonesia
secara perlahan. Dengan pandai memanfaatkan kesempatan ini maka acara Jak japan
Matsuri ini tidak hanya sekedar memperkenalkan budaya tradisional Jepang, namun
juga dengan memperkenalkan budaya Jepang baru kepada masyarakat Indonesia dan
secara khusus semua yang ada di Jakarta, maka diharapkan acara ini akan
berkontribusi bagi promosi pertukaran masyarakat dan hal inilah yang menjadi
tujuan utama penyelenggaraan acara Jak Japan Matsuri. Selain itu acara ini pun
diselenggarakan dengan mendapat dukungan kerjasama dari pemda DKI Jakarta dan
pemda DKI Jakarta ini sendiri berharap, masyarakat Jepang pun dapat mengetahui
serta memperlajari budaya Jakarta. Pemda DKI juga memikirkan agar acara ini dapat
menyuguhkan kesempatan sebanyak mungkin bagi orang Jepang untuk lebih
bersentuhan dan lebih mengetahui budaya Jakarta (Kobayashi, 2014).
Acara Jak Japan Matsuri ini menjadi pemicu untuk terlaksananya acara-acara
festival kebudayaan lainnya yang seperti sudah penulis jelaskan di paragraf pertama
dan kedua.
Kegiatan Matsuri ini yang terbilang unik ini pada akhirnya dijadikan suatu
diplomasi kebudayaan oleh Pemerintah Jepang, sekaligus sebagai pembentukan citra
bahwa masyarakat Jepang tidak hanya dikenal sebagai masyarakat ekonomi tetapi
juga memiliki sisi yang religius sehingga nilai-nilai tradisional ini dikembangkan
secara sekuler. Matsuri mengalami pergeseran makna tradisional dan dipisahkan dari
makna keagamaan sehingga Matsuri yang digunakan Jepang sebagai alat diplomasi
kebudayaan adalah Matsuri dalam bentuk perayaan atau festival dengan tetap
mengusung adanya nilai-nilai budaya tradisional di dalamnya. Keberhasilan Jepang
dalam menggunakan soft power dengan jalur diplomasi kebudayaan nampaknya
semakin mengangkat Jepang sebagai negara yang sejajar dengan Barat tanpa harus
kehilangan nilai-nilai tradisionalnya. Diplomasi dengan menggunakan kebudayaan
dianggap lebih efektif dibandingkan dengan diplomasi secara militer karena
dilakukan secara damai dan tanpa adanya tekanan. Diplomasi kebudayaan juga dapat
diartikan sebagai diplomasi yang lebih banyak dilakukan oleh non-state actors,
dengan tujuan menarik simpati publik negara lain dengan cara-cara yang lunak, tanpa
kekerasan, melalui sebuah pendekatan kebudayaan, pengenalan dan pertukaran nilai
serta gagasan.