Anda di halaman 1dari 19

FINAL PROJECT ACTIVITY

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

“ Asuhan Keperawatan Anak dengan gangguan Bronkopneumonia “

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak

Disusun oleh : Kelompok 4

1. DHENEL GUSFIRNANDOU 201601014


2. FEBBY GALIH SAPUTRI 201601023
3. JAKA SULISTIYO 201601029
4. TRI ENDAH LESTARI 201601058
5. VINA MERI ANJANI 201601059

PRODI DIII KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
KAMPUS 6
Jl. Ciptomangunkusumo No.82 A Ponorogo
Tahun Ajaran 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “Asuhan Keperawatan Anak dengan gangguan Bronkopneumonia ”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas individu mata kuliah Teknologi dan
Informasi.

Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh bantuan serta bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Dosen mata kuliah Keperawatan Anak Endang Purwaningsih S. Kep Ns, M. Kep
yang telah banyak meluangkan waktu guna memberikan bimbingan kepada kami
dalam penyusunan makalah ini.

2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara moril
maupun materil selama proses pembuatan makalah ini.

3. Teman-teman mahasiswa tingkat III A Program Studi DIII Keperawatan Politeknik


kesehatan kemenkes malang angkatan 2017/2018 yang selalu memberikan
dukungan dan saran serta berbagi ilmu pengetahuan demi tersusunnya makalah ini.

Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak
kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya
makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat, bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya.

Ponorogo, 11 Oktober 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................. i
DAFTAR NAMA KELOMPOK ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 3
D. Manfaat Penulisan ..................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN
A.
B.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................................................. 14
B. Saran ......................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bronkopneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia di bawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak
diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun akibat
pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara (K. N & Wulan,
2017).
Insiden penyakit ini pada negara berkembang termasuk indonesia hampir
30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan risiko kematian yang tinggi,
sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit
pada anak di bawah umur 2 tahun. Insiden pneumonia pada anak ≤5 tahun di negara
maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20
kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun
pada anak balita dinegara berkembang (Samuel, 2014)
Anak dengan daya tahan atau imunitas terganggu akan menderita
bronkopneumonia berulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu
mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor iatrogen
juga memicu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anastesia,
pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna (Samuel, 2014)
Berdasarkan kepustakaan, terapi yang diberikan pada bronkopneumonia
adalah penatalaksanaan berupa tirah baring (bed rest).Sebaiknya pengobatan
diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi, tetapi berhubung tidak selalu
dapat dikerjakan dan makan waktu maka dalam praktek diberikan pengobatan
polifarmasi(Makmuri, 2008).Penisilin diberikan 50.000/kgbb/hari dan ditambah
dengan Chloramphenikol 50 – 75 mg/kgbb/hari atau dapat diberikan antibiotika
spektrum luas. Ampisilin dosis 50 – 100 mg/kgbb/hari tiap 6 jam(Ribeiro et al,
2011). Pengobatan diteruskan sampai anak bebas panas selama 4 – 5 hari.Anak
yang sangat sesak nafasnya memerlukan pemberian cairan intravena dan oksigen.
Jenis cairan yang digunakan ialah campuran glukosa 5 % dan NaCl 0,9 % dalam
perbandingan 3 : 1, ditambah larutan KCl 10 mEq/500 ml botol infus (Gass, 2013)
B. Rumusan masalah

C. Tujuan penulisan

D. Manfaat penulisan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia adalah suatu infeksi akut pada paru – paru yang secara
anatomi mengenai begian lobulus paru mulai dari parenkim paru sampai
perbatasan bronkus yang dapat disebabkan oleh bermacam–macam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing ditandai oleh trias (sesak nafas, pernafasan
cuping hidung, sianosis sekitar hidung atau mulut) (Gass, 2013).
Bronkopneumonia adalah radang paru- paru pada bagian lobularis yang
ditandai dengan adanya bercak–bercak infiltrat yang disebabkan oleh agen infeksius
seperti bakteri,virus, jamur dan benda asing, yang ditandai dengan gejala demam
tinggi,gelisah, dispnue, napas cepat dan dangkal (terdengar adanya ronki basah),
muntah, diare, batuk kering dan produktif (K. N & Wulan, 2017).
Bronkopenumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang terjadi
pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumonia lebih sering dijumpai
pada anak kecil dan bayi, biasanya sering disebabkan oleh bakteri streptokokus
pneumonia dan Hemofilus influenza yang sering ditemukan pada dua pertiga dari
hasil isolasi (Samuel, 2014).
B. Epidemiologi
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek
umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK)
atau di dalam rumah sakit/ pusat perawatan (pneumonia nosokomial/ PN). 8
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.
Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat
penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan
influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang
per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa
di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika
dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab
pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera
diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.6

C. Etiologi
Secara umun individu yang terserang bronkopneumonia diakibatkan oleh
adanya penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme
patogen. Orang yang normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap organ pernafasan yang terdiri atas : reflek glotis dan batuk, adanya lapisan
mukus, gerakan silia yang menggerakkan kuman keluar dari organ, dan sekresi
humoral setempat.

Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan


tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab pneumonia
pada anak bervariasi tergantung :

a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi). 4
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus
grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp.
Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang
lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumoniae.

Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari
data di Negara maju dapat dilihat di tabel 1.4

Faktor Infeksi
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang

Lahir - 20 hari Bakteri Bakteri

E.colli Bakteri anaerob

Streptococcus grup B Streptococcus grup D

Listeria monocytogenes Haemophillus influenza

Streptococcus pneumonie

Virus

CMV

HMV

3 miggu – 3 Bakteri Bakteri


bulan
Clamydia trachomatis Bordetella pertusis

Streptococcus Haemophillus influenza


pneumonia tipe B

Virus Moraxella catharalis

Adenovirus Staphylococcus aureus

Influenza Virus

Parainfluenza 1,2,3 CMV

4 bulan – 5 Bakteri Bakteri


tahun
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza
tipe B

Mycoplasma pneumonia Moraxella catharalis


Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumonia

Virus Neisseria meningitides

Adenovirus Virus

Rinovirus Varisela Zoster

Influenza

Parainfluenza

5 tahun – Bakteri Bakteri


remaja
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza

Mycoplasma pneumonia Legionella sp

Streptococcus Staphylococcus aureus


pneumonia

Virus

Adenovirus

Epstein-Barr

Rinovirus

Varisela zoster

Influenza

Parainfluenza

Faktor Non Infeksi

Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :


1. Bronkopneumonia hidrokarbon dapat terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan
muntah atau pemasangan selang NGT ( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah
dan bensin).
2. Bronkopneumonia lipoid dapat terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung
minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi
horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang
sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi.
Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak
contohnya seperti susu dan minyak ikan.

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang
berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak
merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

D. Manifestasi klinis
Bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinik. Gejala-gejala klinis tersebut
antara lain :
a) Adanya retraksi epigastrik, interkostal, suprasternal
b) Adanya pernapasan yang cepat dan pernapasan cuping hidung
c) Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberapa
hari
d) Demam, dispneu, kadang disertai muntah dan diare
e) Batuk biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk,
beberapa hari yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif
f) Pada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring
g) Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan
predominan PMN
h) Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat interstitial dan
infiltrat alveolar serta gambaran bronkopneumonia.

E. Patofisiologi
Istilah pneumonia mencangkup setiap keadaan radang paru dimana beberapa atau
seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang umum adalah
pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini
dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-
lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah
masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi
terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus
ke alveolus.

Pada keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai
parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh
mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk.
Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen
adalah makrofag yang terdapat di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan
imunoglobulin lain. 4

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui


saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru
yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan
leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel
akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium
ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena
akan tetap normal.4

Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang jalan


napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan obstruksi
jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler. Diameter jalan napas
yang kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis,
edema interstisial, dan ventilation-perfusion mismatch menyebabkan hipoksemia yang
sering disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat
meningkatkan risiko terhadap infeksi bakteri sekunder dengan mengganggu
mekanisme pertahanan normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan memodifikasi
flora bakterial.4

Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik bervariasi
tergantung organisme yang menginvasi. M. pneumoniae menempel pada epitel
respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler dan
memicu respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang
terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan obstruksi jalan napas, dengan
penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang bronkial, seperti pada
pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema lokal yang membantu
proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru lain, biasanya
menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh
lapangan paru.5,6

Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeksi


yang lebih difus dengan pneumonia interstisial. Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi
terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang
compang-camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi.
Proses ini dapat meluas ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa limfatika.
Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi dengan cepat menjelek
yang disertai dengan morbiditas yang lama dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila
diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan penggabungan bronkopneumoni yang
sering unilateral atau lebih mencolok pada satu sisi ditandai adanya daerah nekrosis
perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur.1
F. Pathway

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas


normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000
– 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan
laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah
perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri
secara pasti.

2. C-Reactive Protein (CRP)

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan


antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan
infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan
untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.1,4

Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan


radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan nilai
CRP ≥ 120 mg/l dan prokalsitonin ≥ 5 ng/ml. 6

3. Pemeriksaan Mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin


dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman
ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.4

4. Pemeriksaan serologis

Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara
fase akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia
pneumonia dan Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak
bermakna pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang cepat.

5. Pemeriksaan Roentgenografi

Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis


utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa
takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen
toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya
pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah
pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada
foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan
diagnosis.

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,


peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat terjadi pachy consolidation
karena atelektasis.
 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut
sebagai round pneumonia
 Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus.
Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan
etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung
terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumoni dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.

H. Penatalaksanaan Bronkopneumonia

Pengelolahan pneumonia harus berimbang dan memadai, mencakup :

1. Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit


 Pneumonia ringan
- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3 hari.
Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikan sampai 80-
90 mg/kgBB.
- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB – sulfametoksazol 20 mg/kgBB)
dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari
 Pneumonia berat
- Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam
- Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam
- Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5
mg/kgBB sehari sekali
- Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB
sehari sekali
- Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia tanpa
komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi
antibiotik yang optimal

Pemberian antibiotik berdasarkan umur

 Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :


- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
 Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
 Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
2. Penatalaksaan suportif
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau PaO2
pada analisis gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena dengan dosis awal 0,5 x
0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa ulang analisis gas darah setiap 4-
6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa dilakukan maka dosis awal bikarbonat 0,5
x 2-3 mEq x BB (kg).
- Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam
pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal. Obat
penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau
penderita kelainan jantung.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang
nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai
dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada
tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah
antibiotik tidak efektif).5

3. Penatalaksanaan bedah
Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi komplikasi
pneumotoraks atau pneumomediastinum.

4. Penatalaksanaan rawat pasien


Penatalaksanaan rawat jalan

Pengobatan suportif / simtomatik

1. Istirahat di tempat tidur

2. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi

 Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
 Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
 Pengobatan antibiotik harus diberikan ( sesuai bagan ) kurang dari 4 jam
Penatalaksanaan rawat inap

Pengobatan suportif / simtomatik


1. Pemberian terapi oksigen
2. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
3. Pemberian obat simtomatik antara laim antipiretik, mukolitik
4. Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 4 jam
Penatalaksanaan rawat inap di ruang rawat intensif

Pengobatan suportif / simtomatik

1. Pemberian terapi oksigen


2. Pemasangan infus untuk rehidrasi, koreksi kalori & elektrolit
3. Pemberian obat simtomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang darti 4 jam

Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui yang dimaksud dengan gangguan
neurosis dan dapat mengenali jenis gangguan tersebut dalam diri orang – orang yang
didiagnosa mengalami gangguan mental, dan diharapkan mahasiswa mampu
mengetahui tanda dan gejala, faktor resiko, dan terapi – terapi yang dapat diberikan
terhadap penderita neurosis tersebut dengan tepat.

Anda mungkin juga menyukai