Anda di halaman 1dari 3

Hubungan Diabetes Melitus dan TB

Beberapa waktu lalu saya mengikuti seminar epidemiologi di Fakultas


Kesehatan Masyarakat Universitas Dipenogoro Semarang, kemudian para
narasumber sering sekali membahas tentang penyakit TB dan DM di Indonesia,
dan 2 penyakit tersebut menjadi salah satu target dari SDGs untuk dapat
dilakukan penurunan jumlah penyakitnya. Oh iya, bagi yang belum tau, SDGs
adalah kepanjangan dari Sustainable Develompment Goals. SDGs merupakan
pengganti dari MDGs (Milenium Development Goals ). SDGs merupakan program
program yang memuat masalah prioritas kesehatan di Indonesia yang di
targetkan untuk angka penurunannya untuk tahun 2015 sampai dengan Tahun 2030.
Namun, kali ini saya tidak membahas mengapa program MDGs di ganti dengan
program SDGs. Kali ini saya akan membahas apakah ada hubungan antara
penyakit Diabetes Melitus (DM) dan Tuberkulosis (TB). Mengapa 2 penyakit ini
saling mempengaruhi satu sama lain.

Pasien TB di Indonesia pada Tahun 2013 mencapai 1 juta orang per tahun. Untuk penemuan
kasus ada peningkatan walaupun tidak signifikan yaitu 200.000 orang di tahun 2003 menjadi
300.000 orang di Tahun 2013. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat dan merupakan negara dengan penderita ke 5 terbanyak di dunia setelah India, Cina,
Afrika Selatan, dan Nigeria.
Meskipun program pengendalian TB nasional berhasil mencapai target MGD’S akan tetapi
pelaksanaan TB terutama di sebagian rumah sakit, klinik dan praktek swasta belum sesuai
dengan strategi DOTS ataupun standar pelayanan sesuai International Standards for Tuberculosis
Care (ISTC). Demikian pula ketersediaan fasilitas laboraturium, penerapan standar pencegahan
infeksi nosokomial kolaborasi TB-DM yang belum optimal berkonstribusi terhadap munculnya
tantangan penyebaran TB di Indonesia.

Diabetes melitus didefinisikan sebagai hiperglikemia yang tidak lazim, yang dihasilkan dari
kurangnya prosudksi insulin, kerja insulin atau keduanya dengan terjadinya penurunan
karbohidrat, protein dan metabolisme lemak dan komplikasi vascular jangka panjang secara terus
menerus. Jumlah pasien diabetes mellitus (DM) di dunia diperkirakan meningkat menjadi 366
juta orang pada tahun 2030 dengan peningkatan tercepat pada negara berpendapatan rendah dan
menengah. Lebih dari 80% kematian DM terjadi di negara berpendapatn rendah dan menengah.
Prevalensi DM secara global diperkirakan meningkat 50% pada tahun 2030 dan di Indonesia
mencapai 6,6% pada laki laki dan 7,1% pada perempuan (Chim, 2000).

Pada tahun 2009, para pakar menemukan bukti yang menunjukkan hubungan antara pasien
diabetes mellitus (DM) dan tuberculosis (TB), dan sejak tahun 2011 diluncurkan kerangka kerja
untuk pengobatan kolaborasi TB dan DM salah satunya adalah deteksi dini dan pengelolaan TB
pada pasien dengan penyakit DM (Cahyadi, 2011). WHO juga menunjukkan bahwa pasien DM
dapat meningkatkan risiko 3 kali lebih besar terinfeksi TB daripada masyarakat umum (Sidibe
dan Sankale, 2007), penelitian lain menyatakan bahwa DM adalah salah satu faktor risiko yang
dapat memperburuk kejadian TB (Prakash dan et all, 2004). Pasien DM meningkatkan risiko TB
Pasien DM menyumbang sebanyak 14,8% kasus TB baru, dan sebanyak 20,2% ditemukan kasus
TB dengan BTA positif (Harries danet all, 2013).
Diabetes Mellitus merupakan suatu kondisi kronik dimana tubuh tidak dapat memproduksi
insulin yang cukup atau tidak efektif untuk dipergunakan yang akhirnya menyebabkan penderita
tidak dapat mempergunakan glukosa dengan sebaik baiknya. Hal ini menimbulkan tingginya
kadar glukosa di dalam darah (hipergliemia) sehingga dapat mengakibatkan kerusakan
jaringan. keadaan hiperglikemia pada penderita DM menciptakan lingkungan yang mendukung
untuk tumbuh kembang mikrobakterium tuberkulosis. Beberapa peneliti juga menyatakan bahwa
fungsi perlindungan sel yang berkurang meningkatkan kemungkinan timbulnya infeksi ditambah
meningkatnya kadar gliserol dan nitrogen yang menjadi faktor pertumbuhan bakteri
mikrobakterium tuberkulosis. Disamping itu Paru pada penderita DM akan mengalami
perubahan patofisiologis, seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang
merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangopati (sama seperti retinopati dan
nefropati) dan memberikan dampak yaitu penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas
difusi karbon monoksida, dan peningkatan endogen produksi karbonmonoksida (Jeon
et all, 2010).

Diabetes mellitus juga memberikan komplikasi serius salah satunya infeksi TB. Peningkatan
risiko terjadinya TB aktif pada penderita DM diduga akibat gangguan sitem imun, peningkatan
daya lekat kuman microbacterium Tuberculosis pada sel penderita DM, mikroangopati, dan
neuropati. Terjadinya infeksi sangat tergantung dari faktor luar akan tetapi reaktivasi kuman juga
dapat terjadi dalam keadaaan imun rendah. Pada penderita diabetes, imunitas selular berkurang
yang berdampak pada berkurangnya limfosit Th1 termasuk produksi TNFa, IL 1β dan IL6.
Marker ini berfungsi sebagai pertahanan terhadap microbakterium tuberkulosis. Disamping itu
kontrol gula darah yang buruk menjadi faktor risiko timbulnya TB pada pasien DM. Penelitian
yang dilakukan di Hongkong menyatakan bahwa pasien dengan nilai HbA1C >7 memiliki risiko
7 kali untuk mendapatkan TB aktif dibandingkan kelompok pasien dengan HbA1C <7.

Untuk mengetahui seorang yang DM terinfeksi kuman TB atau tdk diperlukan diagnosis melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik (suara nafas bronkial melemah, ronki basah, dan retraksi
interkostal atau diafragma), dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan bakteriologi dan
radiologi. Gejala TB pada psien DM sama seperti pasien TB pada umumnya seperti :

1. Batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih (dahak dapat bercampur darah, batuk darah)
2. Sesak nafas
3. Badan lemas
4. Nafsu makan menurun
5. Berat badan menurun
6. Berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik
7. Demam meriang lebih dari 1 bulan

Jika mengalami gejala tersebut diatas, pasien DM hendaknya langsung memeriksakan diri ke
Dokter di Puskesmas atau Rumah Sakit wilayah domisili. Biasanya dokter akan melakukan
diagnosis utama dengan menegakkan temuan kuman TB (BTA) melalui pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan bakteriologi penting untuk menemukan Mikrobakterium TB pada
semua pasien dicurigai TB paru diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari, sewaktu-pagi-sewaktu
(SPS). Pasien DM dikatakan terinfelsi TB jika :
1. Sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
2. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran
TB
3. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif

Secara radiologis, TB paru pada pendrita DM sering menunjukkan gambaran dan distribusi
radiografi yang atipikal; pada penderita TB tanpa DM kavitas atau infiltrat banyak ditemukan
pada lobus atas, sedangkan pada penderita TB paru disertai DM, lapangan paru bawah
lebihsering terlibat (29% pada kasus dengan DM, 4,5% pada kasus non-DM), diikuto lobus atas
kemudian tengah. Keterlibatan paru bilateral sebesar 50%, 33% berkaitan efusi pleura, dan 30%
terdapat kavitas. Gambaran radiologi termasuk fibrosis, konsolidasi, opasitas homogenus dan
heterogenus.

Reference :
1. Chin James, MD,. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular .Ed
17. Editor Kandun Nyoman.
2 2. Cahyadi A, Venty. Tuberculosis paru pada pasien Diabetes Mellitus.
Majalah Kedokteran Indonesia. 2011;61(4): 173-8.
3 3. Sidibe EH, Sankale M. 2007. Diabetes and pulmonary tuberculoisP
Epidemiology, Pathophysiology and symtomatology. J French Stu Res Health,
2007;17:29-32.
4 4. Harries AD, Satyanarayana S, Kumar AMV, Nagaraja B, Isaakidis P dkk.
Epidemiology and interaction Diabetes Mellitus and Tuberculosis and
Challenges for care: a review. Public Health Action. 2013;3:3-9
1 5. Jeon CY, Harries AD, Baker MA,Hart JE,Kapur A, Lonroth K, Ottmani SE,
Goonesekera S, Murray MB. Bi-directional Screening for tuberculosis and
diabetes.Trop Med Int Health. 2010;15(11):1300-14.

Anda mungkin juga menyukai