Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor penting untuk mewujudkan kemajuan bangsa
dan negara. Hal ini sesuai dengan pendapat Joesoef (2011) yang menyatakan bahwa
pendidikan merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, pemerintah
membuat aturan tentang hak dan kewajiban warga negara untuk memperoleh
pendidikan. Aturan tersebut diatur dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (1), (2), dan (3)
yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah mengusahakan serta
menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional. Dalam menyelenggarakan
sistem pendidikan nasional, terdapat tujuan pendidikan nasional yang harus dicapai.
Tujuan pendidikan nasional tersebut dijelaskan dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003,
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional tersebut maka di sekolah-sekolah diadakan suatu proses pembelajaran, salah
satunya adalah pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika merupakan
pembelajaran yang sangat penting diberikan di sekolah.
Pendidikan matematika merupakan salah satu fondasi dari kemampuan sains
dan teknologi. Pemahaman terhadap matematika, dari kemampuan yang bersifat
keahlian sampai kepada pemahaman yang bersifat apresiatif akan berhasil
mengembangkan kemampuan sains dan teknologi yang cukup tinggi. Mengingat
pentingnya matematika dalam pengembangan generasi melalui kemampuan
mengadopsi maupun mengadakan inovasi sains dan teknologi di era globalisasi, maka
tidak boleh dibiarkan adanya anak-anak muda yang buta matematika. Kebutaan
matematika yang dibiarkan menjadi suatu kebiasaan, membuat masyarakat kehilangan
kemampuan berpikir secara disipliner dalam menghadapi masalah-masalah nyata.
Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang sangat penting untuk
dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Karena matematika dapat membantu

1
memecahkan masalah. Dalam dunia pendidikan, matematika dapat membantu siswa
berfikir logis, jelas dan, kreatif. Risnawati mengutip pendapat Paling dalam bukunya
mengatakan: “Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap
masalah yang dihadapi manusia yaitu suatu cara menggunakan informasi,
menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menghitung dan yang paling
penting adalah memikirkan dari diri manusia itu sendiri”1
Dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 dirumuskan tujuan pembelajaran
matematika yaitu (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan penalaran pada pola
dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun
bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4)
mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah, serta (5) memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat
dalam mempelajari Matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika tersebut, kemampuan
memahami konsep matematis yang baik, akan membantu siswa dalam mencapai
tujuan pembelajaran matematika lainnya. Karena pemahaman konsep merupakan
salah satu dasar dan tahapan penting dalam rangkaian pembelajaran matematika.
Cooney yang dikutip oleh Thoumasis dalam Gunawan (2007:15) mengatakan
kemampuan siswa untuk belajar matematika berhubungan langsung dengan
pemahamannya mengenai konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika. Sementara
itu menurut Shaw dalam Syarifah (2010), konsep merupakan pondasi atau bangunan
dasar dari ide-ide kompleks yang disusunnya. Ide-ide yang disusun tersebut
merupakan dasar bagi proses berpikir siswa agar dapat memahami konsep dan dapat
menyelesaikan persoalan yang diberikan dengan baik.
Pemahaman merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki dan
dikembangkan oleh siswa dalam belajar matematika. Hal ini memberikan pengertian

1
Risnawati, Strategi Penbelajaran Matematika, (Pekanbaru:Suska Press, 2008) hlm. 2

2
bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya sekedar hafalan.
Namun, dengan pemahaman siswa dapat lebih mengerti konsep matematika yang
dipelajari. Jadi dapat dikatakan bahwa pemahaman konsep merupakan bagian yang
penting dalam pembelajaran matematika. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh
Zulkardi (2003: 7) bahwa mata pelajaran matematika menekankan pada konsep,
artinya dalam mempelajari matematika siswa harus memahami konsep matematika
terlebih dahulu agar dapat menyelesaikan soal-soal dan mampu mengaplikasikan
pembelajaran tersebut ke dunia nyata.
Namun, pada kenyataannya di Indonesia masih banyak siswa yang mengalami
kesulitan dalam memahami konsep-konsep matematika. Hal ini dapat dilihat dari hasil
survei studi internasional tentang prestasi matematika dan sains TIMSS (Trends in
International Mathematics and Science Study) pada tahun 2011, yaitu Indonesia
berada di urutan ke 38 dari 45 negara. Hasil survei TIMSS ini menunjukkan bahwa
posisi Indonesia relatif rendah dengan rata-rata 386 dibandingkan dengan negara-
negara lain yang berpartisipasi dalam TIMSS dan rata-rata skor internasional yaitu
613. Pada tahun 2015 Indonesia berada di urutan ke-44 dari 49 negara dengan skor
397 (TIMSS, 2015). Hal ini karena siswa di Indonesia kurang terbiasa menyelesaikan
soal-soal dengan karakteristik seperti soal-soal pada TIMSS, yang subtansinya
kontekstual, menuntut penalaran, argumentasi dan kreativitas dalam penyelesaian
(Wardhani & Rumiati, 2011: 1).
Pitajeng (2006:1), menyatakan bahwa banyak orang yang tidak menyukai
matematika. Sebagian orang menganggap bahwa matematika sulit dipelajari, tidak
menyenangkan, membosankan, dan menakutkan. Anggapan ini menyebabkan
sebagian orang enggan untuk belajar matematika. Sikap ini tentu saja mengakibatkan
prestasi belajar matematika mereka menjadi rendah sehingga hasil belajar matematika
mereka semakin merosot. Anggapan ini perlu mendapat perhatian khusus dari para
guru serta calon guru untuk melakukan suatu upaya agar matematika mudah
dipelajari, menyenangkan, tidak membosankan, dan menarik. Pembelajaran
matematika menjadi tidak bermakna karena selama pembelajaran berlangsung siswa
hanya mendengar penjelasan dari guru dan tidak terlibat aktif dalam pebelajaran,
artinya pembelajaran hanya terpusat pada guru. Paradigma pembelajaran
konvensional yang hanya berpusat pada guru hendaknya diubah menjadi
pembelajaran yang berpusat pada siswa yang berarti bahwa siswa menjadi lebih
parsitipatif dalam pembelajaran. Pembelajaran yang diharapkan adalah adanya
3
interaksi edukatif antara siswa dengan guru. Seperti yang tertuang pada Standar
Nasional Pendidikan (SNP) pasal 19 (2007:14) bahwa: ”proses pembelajaran pada
satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, dan memotivasi peserta didik untuk ikut berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.”
Kemampuan pemahaman konsep matematis siswa yang rendah juga terjadi di
MAS Al-Washliyah Deli Serdang pada tanggal 23 Agustus 2017. Hal ini dapat dilihat
dari hasil belajar kelas XI IPA yang masih tergolong rendah. Yang mana perolehan
nilai yang didapat dari perolehan nilai yang didapat siswa pada saat ujian semester
tahun 2017 lalu, nilai asli yang diperoleh siswa masih banyak yang belum mencapai
Kriteria Ketuntasan Kurikulum (KKM). Hal tersebut disebabkan karena kebanyakan
siswa masih belum bisa memahami soal yang diberikan oleh guru, dan kurangnya
perhatian siswa akan pentingnya mata pelajaran matematika. Mayoritas siswa masih
merasa kesulitan untuk menyelesaikan soal berbentuk cerita. Hal ini disebabkan pada
proses pembelajaran matematika, siswa hanya menghafal rumus dan kurang mampu
untuk mengidentifikasi apa saja yang diketahui dari soal yang diberikan. Siswa tidak
mampu mengeksplorasi jawabannya sendiri, kurang mampu memahami maksud dan
tujuan dari soal yang diberikan sehingga tidak bisa memilih prosedur yang harus
digunakan dalam menyelesaikan soal cerita tersebut, serta kurang mampu untuk
mengaplikasikan konsep dengan benar. Selain itu siswa juga masih merasa takut
untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas ataupun menjawab
pertanyaan dari guru. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman konsep
matematis dan self confidence siswa masih rendah.
Trianto (2009:103) menyebutkan bahwa fakta di lapangan menunjukkan
fenomena yang memprihatinkan yaitu murid-murid mengalami kesulitan memahami
konsep akademik (seperti konsep Matematika) saat mereka diajar dengan metode
tradisional, padahal mereka sangat perlu untuk memahami konsep-konsep saat mereka
berhubungan dengan dunia kerja dimana mereka akan hidup. Berdasarkan fenomena
di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan pendekatan, metode, model pembelajaran
yang kurang tepat bisa menjadi salah satu penyebab kesulitan siswa dalam memahami
konsep. Oleh sebab itu, diperlukan pembelajaran yang cocok untuk mengembangkan
kemampuan pemahaman konsep matematis siswa.

4
Salah satu pembelajaran yang berpeluang untuk mengatasi masalah
kemampuan pemahaman konsep matematis siswa adalah pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang menghubungkan pembelajaran dengan benda atau hal nyata. Menurut Sardiman
(2011:222) bahwa pendekatan kontekstual dalam pembelajaran atau Contextual
Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru
untuk mengaitkan antara materi ajar dengan situasi dunia nyata siswa, yang dapat
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dengan
penerapannya dalam kehidupan para siswa sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Menurut Depdiknas (2007), pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen
utama pembelajaran, yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat
belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian otentik.
Menurut Trianto (2009:107) pendekatan kontekstual ini mengasumsikan
bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata
lingkungan seseorang, dan itu dapat terjadi melalui pencarian hubungan yang masuk
akal dan bermanfaat. Sehingga, belajar dengan mempelajari suatu pokok bahasan
dengan langsung mengaitkan dengan situasi nyata akan membantu siswa lebih mudah
memahami konsep dari materi pembelajaran dan pembelajaran bisa berlangsung lebih
bermakna. Dalam penerapan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual guru
diharuskan mampu membimbing dan mengarahkan siswa untuk mampu mengaitkan
pembelajaran dengan konteks nyata. Dengan demikian siswa akan mudah memahami
konsep yang diajarkan karena dengan mengaitkan pembelajaran dengan konteks nyata
siswa tidak merasa pembelajaran tersebut hanya padat materi sehingga membosankan.
Dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, mengajar bukan
transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa dengan menghapal sejumlah
konsepkonsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan nyata, akan tetapi lebih
ditekankan pada upaya memfasilitasi siswa untuk mencari kemampuan untuk bisa
hidup (life skill) dari apa yang dipelajari (Rusman, 2010: 189). Peran guru dalam
pembelajaran kontekstual tidak langsung memberikan rumus atau penjelasan rinci
mengenai suatu pokok bahasan yang dipelajari melainkan guru hanya bertindak
sebagai fasilitator. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama
untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses pembelajaran lebih diwarnai
student centered dari pada teacher centered. Hal ini sejalan dengan Trianto
(2009:104) yang menyatakan bahwa fungsi dan peranan guru hanya sebagai mediator,
5
siswa lebih proaktif untuk merumuskan sendiri tentang fenomena yang berkaitan
dengan fokus kajian secara kontekstual bukan tekstual. Penjelasan tersebut diperkuat
dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan yang menunjukkan bahwa
pendekatan kontekstual berpengaruh terhadap kemampuan pemahaman konsep
matematis siswa. Pada penilitian yang dilakukan oleh Widyaningrum, dkk (2013)
disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual berpengaruh terhadap pemahaman konsep
matematis siswa. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Agustyaningrum dan
Widjajanti (2013) menyimpulkan bahwa pendekatan kontekstual berpengaruh
terhadap kepercayaan diri siswa. Dari pemaparan tersebut, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai pengaruh pendekatan kontekstual terhadap kemampuan
pemahaman konsep matematis siswa.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka peneliti akan mencoba melakukan penelitian
dengan judul Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan
Pemahaman Matematis Siswa di Kelas XI IPA MAS Al-Washliyah Deli Serdang.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat
mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Pemahaman konsep matematika siswa masih rendah, terlihat dari hasil belajarnya
masih rendah.
2. Proses belajar mengajar masih didominasi oleh guru.
3. Siswa cenderung pasif dalam pembelajaran.
4. Guru lebih menekankan siswa untuk menghapal konsep-konsep dan jarang
mengaitkan materi yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang ada dalam
kehidupan sehari-hari.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah , maka dibuat rumusan masalah yaitu
“Apakah pendekatan kontekstual berpengaruh terhadap hasil belajar siswa kelas XI di
MAS Al-Washliyah Deli Serdang tahun pelajaran 2018/2019?”

6
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbedaan yang signifikan antara pemahaman konsep matematika siswa
yang menggunakan model pembelajaran kontekstual dan siswa yang tidak
menggunakan model pembelajaran kontekstual Kelas XI IPA MAS Al-Washliyah
Deli Serdang.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Guru, penerapan pembelajaran kontekstual dalam kegiatan belajar mengajar
yang akan dilakukan pada penelitian ini diharapkan sebagai salah satu alternatif untuk
meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa kelas XI MAS Al-Washliyah
Deli Serdang.
2. Bagi siswa, penerapan pembelajaran kontekstual dalam kegiatan belajar mengajar
diharapkan dapat mempengaruhi pemahaman konsep matematika siswa XI IPA MAS
Al-Washliyah Deli Serdang.
3. Bagi kepala sekolah, apa yang dilakukan pada penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan salah satu bahan masukan dalam rangka meningkatkan hasil belajar
matematika siswa MAS Al-Washliyah Deli Serdang.
4. Bagi peneliti, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi landasan berpijak untuk
meneliti lebih lanjut tingkat keberhasilan siswa dengan menggunakan metode atau
teknik yang bervariasi dalam proses belajar mengajar.

7
BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Konsep Teoritis
Dalam kerangka teori akan dimuat teori-teori yang relevan dalam menjelaskan
masalah yang sedang diteliti. Kemudian kerangka teori ini digunakan sebagai
landasan teori atau dasar pemikiran dalam penelitian yang dilakukan. Karena itu
dalam penelitian ini peneliti menyusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok
pemikiran.
1. Hakikat Belajar
Belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha
pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan.2
Setiap orang yang menjalani pendidikan pasti pernah mengalami proses belajar,
baik pendidikan secara formal maupun informal. Tanpa adanya belajar, maka
pendidikan itu dianggap tidak pernah ada.
Belajar adalah istilah yang sudah lama sekali sering terdengar, kata belajar
bahkan sudah tidak asing lagi. Namun masing – masing ahli juga memiliki
pendapat yang berbeda tentang pengertian belajar. Agar menghindari pemahaman
yang beragam tersebut, maka berikut ini akan dikemukakan bebrapa hasil belajar
menurut para ahli.
Skinner (1985) berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi
atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Pendapat ini
diungkapkan dalam pernyataan ringkasnya bahwa belajar adalah a process of
progressive behavior adaptation. Berdasarkan eksperimennya, B.F. Skinner
percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal
apabila ia diberi penguat (rein f orcer).3
Hintzman dalam bukunya The Psychology of Learing and Memory
berpendapat Learning is a change in organisme due to experience which can
affect the organism’s behavior. Artinya belajar adalah suatu perubahan yang
terjadi dalam diri organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman
yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Jadi, dalam

2
Bisri Mustofa, (2015), Psikologi Pendidikan, Yogyakarta : Penerbit Parama Ilmu, hal. 137
3
Ibid, hal.128

8
pandangan Hintzman, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru
dapat dikatakan belajar apabila memengaruhi organisme.4
Menurut R. Gagne, belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di
mana suatu organisme berubah perilakunya. 5 Belajar dan mengajar merupakan
dua konsep yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dua konsep ini menjadi
dua terpadu dalam satu kegiatan dimana terjadi interaksi antara guru dengan
siswa, serta siswa dengan siswa pada saat pembelajaran berlangsung.
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat
fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini
berarti berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat
bergantungpada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di
sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri.6
2. Hakikat Pembelajaran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembelajaran berarti proses,
cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Pembelajaran menurut UU
Sisdiknas No. 20/2003, Bab I Pasal 1 Ayat 20 adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sementara,
menurut Gagne, instruction atau pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan
untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang
dirancang, disusun sedemikian rupa untuk memengaruhi dan mendukung
terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal
Kata atau istilah pembelajaran dan penggunaannya masih tergolong baru,
yang mulai populer semenjak lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003. Menurut Undang-Undang ini, pembelajaran
diartikan sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar.7 Hakikat pembelajaran adalah suatu sistem
atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajaran yang direncanakan atau
didesain, dilaksanakan dan dievaluasi secara sistematis agar subjek
didik/pembelajaran dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan
efisien.

4
Ibid, hal.129
5
Ahmad Susanto, (2013), Op.cit. hal. 1.
6
Bisri Mustofa, Op.cit, hal. 127
7
Ahmad Susanto, Op.cit, hal.19

9
3. Hakikat Matematika
Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam
penyelesaian masalah sehari-hari dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebutuhan akan aplikasi
matematika saat ini dan masa depan tidak hanya untuk keperluan sehari-hari,
tetapi terutama dalam dunia kerja, dan untuk mendukung perkembangan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu matematika sebagai ilmu dasar perlu dikuasai
dengan baik oleh siswa, terutama sejak usia sekolah dasar.
Kata matematika berasal dari bahasa latin, manthanein atau mathema
yang berarti ‘belajar atau hal yang dipelajari’, sedangkan dalam bahasa belanda,
matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan
penalaran.8 Begle menyatakan bahwa, sasaran atau obyek penelaahan matematika
adalah fakta, konsep, operasi dan prinsip. Obyek penelaahan tersebut
menggunakan simbol-simbol yang kosong dari arti. Ciri ini yang memungkinkan
matematika dapat memasuki wilayah bidang studi/cabang ilmu lain.9 Matematika
memiliki bahasa dan aturan yang terdefenisi dengan baik, penalaran yang jelas
dan sistematis, dan struktur atau keterkaitan antar konsep yang kuat.
Matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan serta
operasi-operasinya, melainkan juga unsur ruang sebagai sasarannya. Namun
penunjukan suantitas seperti itu belum memenuhi sasaran matematika yang lain,
yaitu yang ditujukan kepada hubungan, pola, bentuk dan struktur.10
4. Hasil Belajar
Aronson mengemukakan bahwa hasil belajar adalah perilaku yang dapat
diamati dan menunjukkan kemampuan yang dimiliki seseorang. Hasil belajar ini
sering dinyatakandalam bentuk-bentuk tujuan pembelajaran.11 Menurut Anderson
dan Krathwohl, hasil belajar dalam ranah kognitif memiliki dua dimensi, yaitu
dimensi pengetahuan dan dimensi kognitif.12

8
Ahmad Susanto, op.cit hal.184
9
Herman Hudojo, (2013), Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika Malang:
IKIP Malang, hal. 38
10
Ibid, hal.37
11
Syafaruddin, (2009), Pendidikan dan Transformai Sosial, Bandung : Citapustaka Media
Perintis, hal. 120
12
Ibid, hal. 121

10
Tokoh lain, yaitu Romiszowski menekankan hasil belajar pada dua aspek,
yaitu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dibedakn menjadi empat jenis,
yaitu fakta, prosedur, konsep, dan prinsip. Sedangkan keterampilan dibagi juga ke
dalam empat jenis, yaitu kofnitif, motorik, reaktif, dan interaktif. 13 Nawawi
dikutip K. Brahim menyatakan bahwa hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat
keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang
dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi
pelajaran tertentu.14
Menurut Gagne, hasil belajar berupa :
a. Informasi verbal, yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk
bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespons secara spesifik
terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan
manipulasi simbol, pemecahan masalah maupun penerapan aturan.
b. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan
lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi,
kemampuan analisis, sintesis, fakta, konsep dan mengembangkan prinsip-
prinsip keilmuan. Keterampilan intelektual merupakan kemampuan
melakukan aktivitas kognitif bersifat khas.
c. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas
kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah
dalam memecahkan masalah.
d. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak
jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak
jasmani.
e. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian
terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisi dan
eksternalisasi niai – nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai
sebagai standar perilaku.
Kesimpulannya, hasil belajar adalah sebuah perilaku yang didapatkan
dari pengamatan terhadap kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dan

13
Ibid, hal 122
14
Ahmad Susanto. Op.cit, hal. 5

11
dinyatakan dalam bentuk-bentuk tujuan pembelajaran dan juga menjadi tolak
ukur atas tingkat keberhasilan siswa.

5. Hakikat Model Pembelajaran


Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru
mengembangkan model-model pembelajaran yang berorentasi pada peningkatan
intensitas keterlibatan siswa secara efektif di dalam proses pembelajaran.
Pengembangan model pembelajaran yang tepat pada dasarnya bertujuan untuk
menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat meraih hasil
belajar dan prestasi yang optimal.15
Model pembelajaran dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman
bagi para perancang pembelajaran dan para guru untuk merencanakan dan
melaksanakan aktivitas pembelajaran. ”Model pembelajaran juga dapat dimaknai
sebagai perangkat rencana atau pola yang dapat dipergunakan untuk merancang
bahan-bahan pembelajaran serta membimbing aktivitas pembelajaran di kelas atau
di tempat-tempat lain yang melaksanakan aktivitas-aktivitas pembelajaran”16
6. Pembelajaran Kontekstual
CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-
bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka
akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya
secara terpisah. Seperti halnya biola, clarinet, dan alat musik lain di dalam sebuah
orkhestra yang menghasilkan bunyi yang berbeda-beda yang secara bersama-sama
menghasilkan musik, demikian juga bagian-bagian CTL yang terpisah melibatkan
proses-proses yang berbeda, yang ketika digunakan secara bersama-sama,
memampukan para siswa membuat hubungan yang menghasilkan makna. Setiap
bagian CTL yang berbeda-beda ini memberikan sumbangan dalam menolong
siswa memahami tugas sekolah. Secara bersama-sama, mereka membentuk suatu
sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya dan
mengingat materi akademik17

15
Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran (Bandung: Alfabeta, 2009) hlm. 140
16
Ibid. hlm. 146
17
Elaine B. Johnson, CTL Contextual Teaching & Learning Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar
Mengasyikkan dan Bermakna ( Bandung: Kaifa, 2010) hlm.65

12
CTL merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses
pembelajaran. Siswa didorong untuk beraktivitas mempelajari materi pelajaran
sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya. Belajar dalam konteks CTL bukan
hanya sekadar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses
berpengalaman secara langsung. Melalui proses berpengalaman itu diharapkan
perkembangan siswa terjadi secara utuh, yang tidak hanya berkembang dalam
aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan juga psikomotor. Belajar melalui
CTL diharapkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang
18
dipelajarinya4 Belajar dengan model pembelajaran CTL akan mampu
mengembangkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah serta
mengambil keputusan secara objektif dan rasional. Disamping itu juga akan
mampu mengembangkan kemampuan berfikir kritis, logis, dan analitis. Karena itu
siswa harus benar-benar dilatih dan dibiasakan berfikir secara kritis dan mandiri.
Dengan menggunakan model pembelajaran CTL diharapkan siswa mampu
menyelesaikan soal–soal matematika dengan baik. Terdapat lima karekteristik
penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL yaitu19:
a. Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan
yang sudah ada (activating knowledge), artinya apa yang akan dipelajari
tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian
pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh
yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
b. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh
dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge).
c. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan
yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.
d. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying
knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus
dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan
perilaku siswa.
e. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi
pengembangan pengetahuan.

18
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan ( Jakarta: Kencana, 2009)
hlm.255
19
Ibid . hlm.255

13
Keterkaiatan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pengajaran
dan pembelajaran konstektual. Ketika murid dapat mengaitkan isi dari mata
pelajaran akademik seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, atau sejarah
dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna
memberi mereka alasan untuk belajar. Mengaitkan pembelajaran dengan
kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah
inti dari CTL 20 . CTL mungkin paling dikenal sebagai sistem pengajaran yang
menghubungkan sekolah dengan dunia kerja. Mengaitkan pekerjaan dengan
sekolah memberi para siswa alasan praktis untuk belajar berbagai hal, ilmu
pengetahuan, pemasaran, atau matematika. CTL tidak hanya memberi siswa
dorongan dari dunia nyata untuk menguasai mata pelajaran akademik, tetapi juga
kesempatan untuk mengembangkan diri sendiri21.
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas
ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan
pendekaan CTL. Sering kali asas ini disebut juga komponen-komponen CTL.
Selanjutnya ketujuh asas dijelaskan di bawah ini22:
a. Kontruktivisme
Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman.
b. Inkuiri
Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya, proses
pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses
berpikir secara sistematis.
c. Bertanya (Questioning )
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu,
sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam
berpikir.
d. Masyarakat Belajar ( Learning Community )
Konsep masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil
pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu

20
Elaine B. Johnson, op.cit 90
21
Ibid hlm 121
22
Wina, op.cit hlm.253

14
dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dalam kelompok belajar secara formal
maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah.
e. Pemodelan ( Modeling )
Yang dimaksud dengan asas modeling adalah proses pembelajaran dengan
memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.
f. Refleksi
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari
yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau
peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.
g. Penilaian Nyata ( Authentic Assessment )
Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh
perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh
aspek. Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan
informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.

Ada beberapa kelebihan & kekurangan Contextual Teaching and Learning


yaitu23:
a. Kelebihan
1) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk
dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan
materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi
itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya
akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan.
2) Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep
kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran
konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa
diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
b. Kelemahan

23
Wijaya, Pembelajaran CTL, tersedi pada http: //www.ncte.org/publications/infosyntesis/highlight, diakses
pada tanggal 20 januari 2011

15
1) Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak
lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai
sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan
yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang
berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian,
peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa
kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar
sesuai dengan tahap perkembangannya.
2) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan
sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar
menggunakan strategi– strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam
konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra
terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan
semula.
7. Hubungan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pemahaman Konsep
Matematika
Model pembelajaran merupakan salah satu komponen utama dalam
menciptakan suasana belajar yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan.Untuk
mengembangkan model pembelajaran kreatif maka Guru harus pula mampu
mengikuti tuntutan perkembangan dunia pendidikan terkini. Guru harus berani
berinovasi dan beradaptasi dengan model pembelajaran yang bagus, salah satu model
pembelajaran tersebut adalah Model Pembelajaran Kontekstual.
Menurut Balanchard pendekatan kontekstual merupakan konsepsi yang
membantu guru mengaitkan isi mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan
memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga
kerja. 24 Sedangkan menurut Johnson dalam bukunya, CTL merupakan suatu proses
pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran
yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan
mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan

24
Agus, Pembelajaran Matematika dengn Pendekatan Kontekstual,Tersedia pada
http://j3sra3l.wordpress.com/2010/11/27/pembelajaran-matematika-denganpendekatan-
kontekstual/, diakses pada tanggal 21 Maret 2011

16
budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL akan menuntun siswa
melalui kedelapan komponen utama CTL : melakukan hubungan yang bermakna,
mengerjakan pekerjaan yang berarti, bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif,
memelihara pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan asesmen
autentik25.
Pengajaran matematika mempunyai tujuan yang sangat luas, salah satu
tujuannya adalah agar siswa memiliki keterampilan menghubungkan matematika
dengan kehidupan sehari-hari dan menerapkannya dalam soal-soal. Dengan demikian
penggunaan model pembelajaran CTL perlu diberikan oleh guru dalam proses belajar,
agar dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik. Demikian pula Owens menyatakan
bahwa pengajaran konteksual secara praktis menjanjikan peningkatan minat,
ketertarikan belajar siswa dari berbagai latar belakang serta meningkatkan partisipasi
siswa dengan mendorong secara aktif dalam memberikan kesempatan kepada mereka
untuk mengkoneksikan dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka
peroleh26.
Belajar dengan model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan
kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalahmasalah serta mengambil keputusan
secara objektif dan rasional. Disamping itu juga akan mampu mengembangkan
kemampuan berfikir kritis, logis, dan analitis. Karena itu siswa harus benar-benar
dilatih dan dibiasakan berfikir secara kritis dan mandiri. Dengan menggunakan model
pembelajaran CTL diharapkan siswa mampu menyelesaikan soal–soal matematika.
Penerapan model pembelajaran CTL dalam pembelajaran matematika
khususnya pada materi garis singgung lingkaran melibatkan siswa untuk dapat
berperan aktif dengan bimbingan guru, agar peningkatan kemampuan siswa dalam
memahami konsep dapat terarah lebih baik.
8. Materi Ajar Peluang
Kaidah pencacahan
a. Aturan perkalian
Jika kejadian pertama dapat terjadi dalam m cara dan kejadian kedua
dapat terjadi dalam n cara maka dua kejadian tersebut dapat terjadi bersama-
sama dalam m x n cara.
25
Elaine, op. cit. hlm. 67
26
Joko Sulianto, Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan berpikir Kritis
pada siswa Sekolah Dasar, Tersedia pada http://kafeilmu,co,cc/tema/contextual lerning/diakses pada tanggal 21
maret 2011

17
n = n1 x n2 x n2 x .. x nk
contoh :
kiki mempunyai 3 celana berwarna hitam, biru dan merah serta
mempunyai 4 kaos berwarna biru,kuning,merah dan merah muda. Berapa
banyak pasang cara kiki memilih celana dan kaos?
Jawab
n = n1 x n2
= 3 x 4 = 12 cara
b. Factorial
Perkalian n bilangan asli pertama disebut n factorial, dinotasikan
dengan n
n = n x (n-1) x (n-2)x (n-3)x…x2x1
8 = 8 x 7 x6 x5x4x3x2x1
c. Permutasi
Permutasi adalah cara membentuk susunan terurut (yang mana urutan
diperhatikan) dari sebagian atau seluruh anggota himpunan yang disediakan.
1) Permutasi dengan unsur berbeda

Banyaknya permutasi dari n unsure yang tersedia diambil r unsur


dirumuskan sebagai berikut

𝑛
nPr = (𝑛−𝑟)

dengan

n= banyak unsur yang tersedia

r = banyak unsur yang diambil

contoh

Menjelang pergantian kepengurusan BEMSTMIK Tasikmalaya akan


dibentuk panitia inti sebanyak 2 orang (terdiri dari ketua dan wakil ketua),
calon panitia tersebut ada 6 orang yaitu :a, b, c, d, e dan f. ada berapa pasang
calon yang dapat duduk sebagai panitia inti tersebut ?

Jawaban

18
6 6.5.4.3.2.1
6P2 = (6−2) = 4.3.2.1

720
= = 30 cara
24

2) Permutasi dengan beberapa unsur sama


Banyaknya permutasi n unsure yang memuat a,b, dan c yang sama
dirumuskan sebgai berikut
𝑛
P = 𝑎bc

Dengan
P= banyak permutasi
n= banyak unsur seluruhnya
a,b,c = unsur yang sama
contoh
berapa banyak kata yang terbentuk dari kata “STMIK”
Jawab
5= 5.4.3.2.1
= 120 kata
3) Permutasi Siklis (melingkar)
Permutasi siklis adalah banyaknya susunan melingkar dari n unsur
yang berbeda. Permutasi siklis dirumuskan sebagai berikut
P = (n-1) 
Dengan
P = banyaknya permutasi siklis
n= banyaknya unsure
contoh
sekelompok mahasiswa terdiri dari 10 orang akan mengadakan rapat
dan duduk mengelilingi sebuah meja, ada berapa carakah kelima
mahasiswa tersebut dapat diatur pada sekeliling meja tersebut ?
Jawaban :
P= (10-1) 
= 9.8.7.6.5.4.3.2.1
= 362.880 cara
d. Kombinasi

19
Kombinasi adalah cara membentuk susunan (urutan tidak diperhatikan)
drai sebagian atau seluruh anggota himpunan yang disediakan. Banyaknya
kombinasi dari n unsur yang berbeda dengan setiap pengambilan dengan r
unsur dirumuskan sebagai berikut
𝑛
nCr = (𝑛−𝑟)r

dengan
n = banyak unsur yang tersedia
r =banyak unsur yang diambil
Rumus :
Contoh :
Misalkan dalam 5 buah data akan diambil 2 data. Dengan
urutan tidak diperhatikan (misal : data 1 dan 2 sama dengan data 2 dan
1), berapa cara yang dapat dilakukan untuk mengambil 2 data ter
sebut?
5
5C2 = (5−2)2
5.4.3.2.1
= (3.2.1)(2.1)

= 10 cara

B. Penelitian yang Relevan


Belajar dengan model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan
kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambil keputusan
secara objektif dan rasional. Disamping itu juga akan mampu mengembangkan
kemampuan berfikir kritis, logis, dan analitis. Karena itu siswa harus benar-benar
dilatih dan dibiasakan berfikir secara kritis dan mandiri. Dengan menggunakan model
pembelajaran CTL diharapkan siswa mampu menyelesaikan soal–soal matematika
dengan baik27.
Penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Leli Supiani,
yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VIII
SMP Negeri 7 Bengkalis. Hasil prestasi belajar matematika dengan menggunakan
model pembelajaran CTL lebih baik daripada prestasi belajar matematika dengan
27
Syamsudin, Model Pembelajaran Kontekstual, Tersedia pada http://nadhirin.blogspot.com/2010/03/model-
pembelajaran-contextual-teaching.html, diakses pada tanggal 09 Desember 2010

20
menggunakan model pembelajaran ceramah. Hal ini dapat dilihat dari analisis
ketuntasan secara individual dari 34 siswa. 30 siswa dinyatakan tuntas dan 4 siswa
yang belum tuntas, dengan rata-rata ketuntasan klasikal adalah 86,7%. Penelitian yang
dilakukan oleh Leli Supiani merupakan Penelitian Tindakan Kelas dan bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, sedangkan
penelitian ini merupakan penelitian Eksperimen dan bertujuan untuk mengetahui
pengaruh model pembelajaran terhadap pemahaman konsep matematika siswa.

C. Konsep Operasional
Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu:
1. Model Pembelajaran Kontekstual Merupakan Variabel Bebas (Independen)
CTL merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses
pembelajaran. Siswa didorong untuk beraktivitas mempelajari materi pelajaran
sesuai dengan topik yang dipelajarinya. Belajar dalam konteks CTL bukan hanya
sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses berpengalaman
secara langsung. Adapun langkah-langkah pembelajaran Kontekstual yang akan
dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
a. Pendahuluan, peneliti membangkitkan motivasi belajar peserta didik,
menjelaskan penerapan model pembelajaran kontekstual, menyampaikan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai, mengkondisikan kesiapan peserta
didik untuk belajar.
b. Kegiatan inti,
1) Peneliti membagi siswa menjadi beberapa kelompok (tiap kelompok terdiri
dari 5-6 anak)
2) Peneliti memberikan sebuah permasalahan matematika
3) Peneliti membimbing siswa membuat kalimat matematika dari soal cerita
tersebut.
4) Peneliti menerangakan lebih jelas tentang materi
5) Peneliti memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya.
6) Peneliti memberikan permasalahan matematika yang kedua
7) Siswa menyelesaikan permasalahan tersebut secara berdiskusi dengan
kelompoknya. Peneliti membimbing kelompok-kelompok yang mengalami
kesulitan. Peneliti membiarkan siswa membangun (mengkonstruksi)
pengetahuannya sendiri berdasarkan konsep materi yang telah diterimanya.
21
8) Setelah selesai berdiskusi, peneliti memberi kesempatan kepada salah satu
kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya.
c. Penutup, peneliti melakukan evaluasi dan memberi penghargaan kepada
kelompok dan individu, kemudian peneliti bersama peserta didik
menyimpulkan materi yang telah di pelajari.
2. Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa Merupakan Variabel Terikat
(Dependen)
Keberhasilan proses belajar mengajar khususnya pada pembelajaran
matematika dapat dilihat dari tingkat pemahaman dan penguasaan materi.
Keberhasilan pembelajaran matematika dapat diukur dari kemampuan siswa
dalam memahami dan menerapkan berbagai konsep untuk memecahkan masalah.
Noraini Idris mengatakan ciri-ciri yang menunjukkan kepahaman para pelajar
terhadap sesuatu adalah28:
a. Dapat menerangkan.
b. Dapat menggunakan dalam situasi lain
c. Dapat memberikan anggaran untuk menyimak kesesuaian jawaban.
d. Dapat menyelesaikan soal.
Adapun langkah-langkah penerapan pencapain konsep adalah sebagai berikut29:
a. Guru memberikan motivasi kepada siswa dengan menyatakan materi ini
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dan sering kita jumpai, maka
siswa semuanya harus benar-benar memperhatikan materi dengan baik.
b. Guru menanyakan kepada siswa mengenai pelajaran
c. Guru menyajikan data dalam bentuk contoh positif dan negatif.
d. Siswa diminta untuk mengidentifikasi karekteristik yang dimiliki setiap contoh
dan membandingkan atribut yang ada pada contoh positif dan contoh negatif.
e. Siswa diminta untuk memberi nama pada konsep dan membuat rangkuman.
f. Guru menguji kemampuan siswa dalam pencapaian konsep dalam menyajikan
contoh-contoh tambahan yang diberi label.
g. Guru memberi soal kepada siswa sebagai evaluasi dari materi yang diajarkan.
Untuk mengetahui pemahaman konsep matematika siswa akan dilihat dari tes
yang dilakukan sesudah menggunakan Model Pembelajaran Kontekstual.

28
Noraini Idris, Pedagogi dalam Pendidikan Matematika, (Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributor
SDN BHN, 2005) hlm. 81
29
Risnawati, op. cit., hlm. 64

22
Penelitian dilakukan di dua kelas yang salah satu kelas digunakan Model
Pembelajaran Kontekstual, dan hasil dari tes inilah baru dapat disimpulkan ada
atau tidaknya pengaruh pemahaman konsep matematika terhadap kedua kelas
tersebut.
D. Asumsi dan Hipotesis
Asumsi dari penelitian di atas adalah pemahaman konsep matematika siswa
masih sangat rendah karena strategi yang digunakan belum tepat. Dan hipotesis dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ha = Ada perbedaan yang signifikan antara pemahaman konsep matematika
siswa yang menggunakan model pembelajaran kontekstual dan siswa yang tidak
menggunakan model pembelajaran kontekstual
Ho = Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemahaman konsep
matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran kontekstual dan siswa
yang tidak menggunakan model pembelajaran kontekstual

23
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di MAS Al-Washliyah Deli Serdang yang beralamat
di jalan Besar Tembung, Deli Serdang. Adapun alasan peneliti memilih sekolah
tersebut adalah:
1. Peneliti mau menerapkan paradigma baru pembelajaran di mana selama ini
pembelajaran yang dilakukan cenderung bersifat konvensional dan belum pernah
menerapkan Model pembelajaran yang inovatif.
2. Sekolah tersebut sangat terbuka bagi penelitian yang dapat memperbaiki
pembelajaran.
Kegiatan penelitian dilakukan pada semester I Tahun Ajaran 2018-2019,
Penetapan jadwal penelitian disesuaikan dengan jadwal yang ditetapkan oleh kepala
sekolah. Adapun materi pelajaran yang dipilih dalam penelitian ini adalah ”Peluang”
yang merupakan materi pada silabus kelas XI yang sedang dipelajari pada semester
tersebut.

B. Jenis dan Metode Penelitan


Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu yaitu penelitian
yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari sesuatu yang dikenakan
pada subjek yaitu siswa dan dikatakan eksperimen semu sebab semua kondisi-kondisi
siswa di lapangan tidak dapat terkontrol secara keseluruhan. Pelaksaanaannya
melibatkan kelompok eksperimen, yaitu siswa yang diajarkan dengan menggunakan
model pembelajaranKontekstual.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya 30.

30
Sugiyono, Statistik untuk Penelitian,(Bandung:Alfabeta, 2010) hlm. 61

24
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA MAS Al-
Washliyah Deli Serdang yang berjumlah 155 siswa dari 5 kelas.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Apa yang dipelajari dari sampel, kesimpulannya akan dapat
diberlakukan untuk populasi harus betul-betul representative (mewakili)31
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Simple
Random Sampling dengan memilih siswa sebagai sampel.
Berdasarkan jumlah siswa 155 siswa akan di ambil sampelnya untuk
diajarkan dengan model pembelajaran Kontekstual, dan kelas yang
menggunakan model konvensional ( metode ceramah). Maka jumlah sampel
yang diambil 30% dari jumlah keseluruhan yaitu 46 siswa.

Penentuan Sampel :
Gender
Laki – Laki : 30% x 46 = 14 siswa
Perempuan : 70 % x 46 = 32 siswa
Jumlah : = 46 siswa

D. Desain Penelitian
Model desain quasi eksperimen ini merupakan salah satu desain eksperimen dua
variabel, maka desainnya meliputi :

Kelompok Pretes Perlakuan Postes


Eksperimen A O1 X1 O2
Keterangan :

O1 = Hasil pretes yang telah diberikan kepada kelas eksperimen A

X1 = Perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual (CTL)

X2 = Hasil belajar siswa

O2 = Hasil postes yang telah diberikan kepada kelas eksperimen

E. Instrumen Pengumpulan Data

31
Ibid. hlm. 62

25
Adapun bentuk instrumen yang di pakai adalah berbentuk tes. Hal ini
dikarenakan yang ingin dilihat adalah hasil belajar siswa dengan model pembelajaran
kooperatif tipe problem base learning (PBL). Tes adalah seperangkat rangsangan
yang diberikan kepada seseorang dengan maksud untuk mendapat jawaban yang
dapat dijadikan dasar bagi penetapan skor angka. 32 Tes yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tes untuk meningkatkan hasil belajar yang berbentuk pilihan
berganda berjumlah 50 butir soal. Persyaratan pokok bagi tes adalah validitas dan
reliabilitas.

e. Pengujian Validitas
Perhitungan validitas butir tes menggunakan rumus product
moment angka kasar yaitu:

N  xy   x  y 
rxy 
N  x   x N  y   y 
2 2 2 2

Keterangan:
x = Skor butir
y = Skor total
rxy = Koefisien korelasi antara skor butir dan skor total
N = Banyak siswa
Kriteria pengujian validitas adalah setiap item valid apabila rxy  rtabel (
33
rtabel diperoleh dari nilai kritis r product moment)

f. Perhitungan Reliabilitas
Untuk menguji reliabilitas tes bebentuk uraian, digunakan rumus alpha
yang dikemukakan oleh Arikunto yaitu :

 n    i 2 
r11    1  
 n  1   t2 

( X ) 2
X  2

t2  N
N

32
Margono. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta, hal. 170
33
Indra Jaya, 2010.Statistik Penelitian Untuk Pendidikan. Bandung: Citapustaka Media
Perintis, hal. 122.

26
(∑ 𝑌)2
∑ 𝑌2−
𝜎𝑡2 = 𝑁
𝑁

Keterangan :

r11 : Reliabilitas yang dicari

∑𝜎i2 : Jumlah varians skor tiap-tiap item

𝜎 t2 : Varians total

n : Jumlah soal

N : Jumlah responden

Dengan kriteria reliabilitas tes :


r11≤0,20 reliabilitas sangat rendah (SR)
0,20<r11≤0,40 reliabilitas rendah (RD)
0,40<r11≤0,60 reliabilitas sedang (SD)
0,60<r11≤0,80 reliabilitas tinggi (TG)
0,80<r11≤1,00 reliabilitas sangat tinggi (ST)34
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pegumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dalam
bentuk tes. Tes tersebut digunakan sebagai alat pengukur kemampuan siswa dan
sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi tertentu. Dalam tes ini, siswa
diberikan 45 butir soal pilihan berganda. Tes yang digunakan berupa pre-test dan
post-test. Pre-test diberikan kepada siswa pada saat belum diterapkan model
pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini, sedangkan post-test diberikan
kepada siswa pada saat selesai pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran
pada penelitian. Soal dibuat berdasarkan kurikulum dan tujuan pembelajaran yang
akan dicapai.

G. Teknik Analisis Data


Untuk melihat perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan model
kooperatif tipe Problem base learning (PBL), data dianalisis dengan statistik
deskriptif dan statistik inferensial.
1. Analisis Statistik Deskriptif

34
Suharsimi Arikounto.2007. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara, hal.109

27
Setelah data diperoleh kemudian diolah dengan teknik analisis data sebagai
berikut:
a. Menghitung rata-rata skor dengan rumus:

X 
X
N
Keterangan :
X = rata-rata skor

 X = jumlah skor
N = Jumlah sampel
b. Menghitung standar deviasi
Standar deviasi dapat dicari dengan rumus:
2

 X   X 
2

SD   
N
 N 
Keterangan :
SD = standar deviasi

X
2

 tiap skor dikuadratkan lalu dijumlahkan kemudian dibagi N.


N
2
X 
  = semua skor dijumlahkan, dibagi N kemudian dikuadratkan.
 N 
2. Analisis Statistik Inferensial
a. Prasyarat Inferensial
1) Uji Normalitas
Untuk menguji apakah sampel berdistribusi normal atau tidak
digunakan uji normalitas liliefors. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
a) Mencari bilangan baku
Untuk mencari bilangan baku, digunakan rumus:

X X
Z 1
 1

S
Keterangan :
X  rata-rata sampel
S = simpangan baku (standar deviasi)

28
b) Menghitung Peluang S z  1

c) Menghitung Selisih F z   S Z  , kemudian harga mutlaknya


1 1

d) Mengambil L 0
, yaitu harga paling besar diantara harga mutlak.

Dengan kriteria H ditolak jika L L


0 0 tabel
2) Uji Homogenitas
Uji Homogenitas sampel berasal dari populasi yang berdistribusi
normal. Uji homogenitas varians dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan Uji Barlett. Hipotesis statistik yang diuji dinyatakan sebagai
berikut:

H0 : σ12 = σ 22 = σ 32 = σ 24 =  52
H1 : paling sedikit satu tanda sama dengan tidak berlaku
Formula yang digunakan untuk uji Barlett:
2 = (ln 10) {B – Σ (db).log si2 }
B = (Σ db) log s2
Keterangan :
db = n – 1
n = banyaknya subyek setiap kelompok.
si2= Variansi dari setiap kelompok
s2 = Variansi gabungan
Dengan ketentuan :
1) Tolak H0 jika 2hitung>2 tabel (Tidak Homogen)
2) Terima H0 jika 2hitung<2 tabel (Homogen )
2 tabel merupakan daftar distribusi chi-kuadrat dengan db = k – 1 ( k =
banyaknya kelompok) dan α = 0,05.35
b. Uji Hipotesis
Untuk mengetahui perbedaan kemampuan siswa yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran tipe problem base learning (PBL) pada
materi Integral dilakukan dengan teknik analisis varians (ANAVA) pada taraf
signifikan   0,10 . Apabila di dalam analisis ditemukan adanya interaksi,
maka dilanjutkan dengan Uji Tukey karena jumlah sampel setiap kelas sama.

35
Indra Jaya, Op cit., hal. 206

29
30

Anda mungkin juga menyukai