Anda di halaman 1dari 14

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 leiomioma Geburt

3.1.1 Definisi
Leiomioma uteri adalah tumor jinak yang berasal dari otot polos uterus
yang terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid dan kolagen.
Leiomioma uteri yang disebut juga dengan leioleiomioma uteri atau
fibroleiomioma uteri, merupakan neoplasma jinak yang paling umum dan sering
dialami oleh wanita. Leiomioma uteri merupakan tumor jinak yang struktur utama
yaitu otot polos rahim. Leiomioma uteri berasal dari miometrium dan
klasifikasinya dibuat berdasarkan lokasinya yaitu: 1,4,5
1. leiomioma submukosa, yaitu leiomioma yang menempati lapisan di bawah
endometrium dan menonjol ke dalam kavum uteri. Hal ini dapat
menyebabkan dismenore, namun ketika telah keluar dari servik dan
menjadi nekrotik, aka member gejala pelepasan darah yang tidak regular
dan dapat disalah artikan menjadi kanker serviks. Leiomioma jenis ini
dapat tumbuh bertangkai panjang menjadi polip dan apabila keluar melalui
ostium uteri eksterna disebut leiomioma geburt.
2. leiomioma intramural, yaitu leiomioma yang berkembang diantara
miometrium. Jika ukurannya masih kecil akan membentuk multipel, dan
tidak rubah bentuk uterus, akan tetapi jika ukuran bertambah besar akan
menyebabkan uterus berbenjol-benjol, akan menyebabkan uterus
bertambah besar dan dapat menyebabkan perubahan bentuk dari uterus.
3. leiomioma subserosa, yaitu leiomioma yang tumbuh dibawah lapisan
serosa uterus dan dapat bertumbuh ke arah luar dan bertangkai.

3.1.2 Epidemiologi
Leiomioma memiliki prevalensi sebesar 70% - 80% pada usia 50 tahun
namun kejadiannya bervariasi yang dipengaruhi oleh usia, ras, dan lokasi
geografis. Leiomioma uteri terjadi pada 20% - 25% perempuan di usia
reproduktif, tetapi oleh faktor yang tidak diketahui secara pasti. Insidensinya 3-9

1
kali lebih banyak pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih.
Selama 5 dekade terakhir, ditemukan 50% kasus leiomioma uteri terjadi pada ras
kulit berwarna. Leiomioma uteri dapat bermanifestasi secara klinis pada 25%
kasus. Leiomioma uteri bersifat asimptomatik pada 20-70% wanita dan lebih dari
80% wanita kulit hitam. Sebesar 7,8% wanita berusia 33 sampai 40 tahun di
Skandinavia dilaporkan memiliki leiomioma uteri asimptomatik. Secara global,
leiomioma uteri adalah indikasi paling sering untuk dilakukan histerektomi yaitu
sebesar 21,7% di Australia, sebesar 27% di Amerika dan sebesar 50% di
Finlandia.1,2,6
3.1.3 Etiologi
Etiologi leiomioma yang tepat belum diketahui pasti. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa leioleiomioma berasal dari satu sel batang neoplastik dari
jaringan otot polos miometrium. Meskipun faktor pasti yang memicu neoplasia
leiomiomatosa tidak diketahui, estrogen, progestin dan faktor pertumbuhan
(epidermal growth factor (EGF) dan insulin-like growth factor (IGF)) tampak
berperan dalam pertumbuhan fibroid. Beberapa literatur menunjukkan
peningkatan bukti bahwa faktor genetik baik primer maupun sekunder
menyebabkan leiomioma uteri. Perubahan kromosom pertama yang menunjukkan
kelainan spesifik adalah 1 (12; 14) (q14-q15;q23-q24) translokasi, pada tahun
1988. Pada tahun-tahun berikutnya banyak publikasi telah melaporkan data
keterkaitan sitogenetik, molekuler dan genetika yang mendukung bukti
predisposisi genetik yang telah ditemukan sebelumnya termasuk family clustering.
Sindrom klinis penting yang terjadi pada leiomioma adalah penyakit autosom
dominan hereditary disease hereditary leiomyomatosis and renal cell carcinoma
(HLRCC).4

3.1.4 Faktor resiko


Adapun faktor resiko terjadinya leiomioma uteri adalah sebagai berikut7:
a. Usia
Risiko terjadinya leiomioma uteri meningkat selama usia reproduktif.
Leiomioma uteri tidak terjadi sebelum usia pubertas dan angka
kejadiannya menurun pada usia menopause. Miom uteri pada usia

2
reproduktif sebanyak 20% - 25% dan pada usia diatas 40 tahun sebanyak
30% - 40%. Wanita dengan usia menarche dini memiliki risiko lebih tinggi
terkena leiomioma uteri, hal ini sejalan dengan usia menopause yang lama.
b. Ras
Leiomioma uteri lebih banyak terjadi pada ras kulit hitam dan jarang pada
orang Asia. Wanita kulit hitam biasanya didiagnosis pada usia lebih muda,
dengan jumlah leiomioma yang lebih banyak, lebih besar dan disertai
gejala yang lebih parah daripada kelompok etnis lain. Regresi leiomioma
uteri setelah kehamilan lebih sering terjadi pada wanita kulit putih
daripada kulit hitam. Selain itu, tingkat pertumbuhan leiomioma lebih
lambat pada wanita kulit putih daripada wanita kulit hitam.Alasan yang
tepat terhadap perbedaan ras dalam terjadinya leiomioma belum diketahui.
Dalam literatur, kemungkinan penyebabnya adalah adanya perbedaan ras
dalam biosintesis dan/atau metabolisme estrogen. Perbedaan dalam
ekspresi dan / atau fungsi reseptor hormon steroid pada kedua ras tersebut
juga dapat dianggap sebagai kemungkinan lain terjadinya perbedaan etnis
pada kejadian leiomioma.
c. Genetik
Faktor genetik dapat menjadi peran penting terhadap terjadinya
leiomioma. Pertumbuhan leiomioma dengan jumlah multiple dalam rahim
merupakan bukti bahwa faktor keturunan memegang peranan penting
terhadap peningkatan risiko leiomioma.
d. Faktor reproduktif
Hubungan antara risiko leiomioma dengan jumlah paritas belum diketahui
dan peningkatan jumlah kehamilan cukup bulan menurunkan risiko
leiomioma. Hubungan keduanya dapat terjadi melalui mekanisme
hormonal dan non hormonal. Yang dimaksud dengan persalinan adalah
terjadinya penurunan siklus menstruasi dan yang dimaksud dengan
kehamilan cukup bulan adalah terjadinya perubahan hormone ovarium,
faktor pertumbuhan dan jumlah reseptor estrogen dan perubahan jaringan
uterus.Di antara wanita multipara terdapat hubungan terbalik antara risiko
leiomioma dan pemberian ASI eksklusif yang telah dibuktikan oleh Terry

3
et al. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa laktasi menekan hormon
ovarium.
e. Hormon endogen
Leiomioma hanya terjadi selama masa reproduksi yang dibuktikan dengan
ketergantungannya dengan hormon steroid ovarium. Fakta bahwa estrogen
dan progesteron signifikan terhadap onset dan pertumbuhan leiomioma
terbukti pada studi klinis dan eksperimen. Menarche yang lebih dini
menyebabkan peningkatan risiko leiomioma seiring dengan paparan
hormone steroid ovarium yang lebih lama. Estrogen dipercaya dapat
meningkatkan pertumbuhan leiomioma.
f. Obesitas
Hubungan antara obesitas dan leiomioma pada beberapa literatur berbeda-
beda. Beberapa studi menunjukkan bahwa peningkatan risiko leiomioma
berhubungan dengan obesitas dan diabetes mellitus. Faktor utama yang
memegang peranan penting berhubungan dengan resistensi insulin dimana
dipercaya yang berperan besar untuk terjadinya risiko leiomioma pada
wanita dengan obesitas bersamaan dengan elevasi IGF-1 dan kadar
androgen.
g. Gaya hidup
Faktor gaya hidup seperti diet, konsumsi kafein, konsumsi alcohol,
merokok, aktifitas fisik dan stress menjadi pemicu terbentuknya
leiomioma dan pertumbuhannya.
h. Faktor lain
Faktor lain yang dapat memicu terbentuknya leiomioma adalah hipertensi
dan diabetes mellitus. Beberapa penelitian menemukan bahwa terjadi
peningkatan risiko leiomioma pada wanita dengan hipertensi dan diabetes
mellitus. Penelitian ini menjelaskan bahwa stimulasi oleh IGF-1
menyebabkan proliferasi sel leiomioma pada kultur.

3.1.5 Patogenesis
Leiomioma adalah istilah yang identik yang menjelaskan tumor
monoklonal yang timbul dari lapisan otot rahim. Secara anatomi, rahim manusia

4
terdiri dari 3 dasar lapisan, endometrium, miometrium, dan visceral peritoneum
atau serosa. Sehingga pada saat didiagnosis, leiomioma dibagi menjadi
submukosa, intramural, atau subserosa. Atas dasar topografi, histokimia, dan
respons terhadap steroid gonad, kemungkinan leiomioma submukosa berasal di
junctional zone (JZ) dari miometrium. Telah diamati bahwa ketebalan JZ berubah
sepanjang siklus haid bersamaan dengan ketebalan endometrium, dan miosit JZ
menunjukkan perubahan siklik pada estrogen dan reseptor progesteron seperti saat
menstruasi. Selanjutnya, ekspresi reseptor estrogen dan progesteron secara
signifikan lebih tinggi pada leiomioma submukosa dibandingkan dengan
leiomioma subserosa. Selain itu, leiomioma submukosa memiliki penyimpangan
kariotipe yang jauh lebih sedikit daripada leiomioma diluar miometrium,
berapapun ukurannya, yang mana mungkin penting dalam memperlambat
pertumbuhan dan seluler mereka respon terhadap steroid gonad.2

3.1.6 Klasifikasi leiomioma uteri submukosa menurut FIGO dan ESGE untuk
kepentingan terapi
Klasifikasi leiomioma submukosa bertujuan untuk mempertimbangkan
pilihan terapeutik, termasuk pendekatan pilihan pembedahan. Sistem yang paling
banyak digunakan untuk mengkategorikan leiomioma submukosa menjadi tiga
subtipe sesuai dengan proporsi diameter lesi yang ada di dalam miometrium,
biasanya seperti yang ditentukan oleh saline infusion sonography (SIS) atau
histeroskopi. Sistem ini dikelompokkan menurut European Society of
Ginecological Endoscopy (ESGE). Sedangkan International Federation of
Gynecology and Obstetrics (FIGO) menggunakan sistem untuk
mengklasifikasikan penyebab abnormal uterine bleeding (AUB) pada wanita
reproduktif menggunakan sistem yang sama untuk mengklasifikasikan leiomioma
submukosa namun menambahkan sejumlah kategori lainnya, termasuk lesi tipe 3
yang berbatasan dengan endometrium tanpa mendistorsi rongga endometrium.
Kedua sistem klasifikasi ini dapat diguakan dalam praktik klinis. Berikut ini
merupakan klasifikasi leiomioma submukosa menurut ESGE dan FIGO.2

5
Gambar 3.1 Klasifikasi leiomioma submukosa menurut ESGE2

Gambar 3.2 Klasifikasi leiomioma submukosa menurut ESGE4

6
Gambar 3.3 Klasifikasi leiomioma submukosa menurut FIGO2

3.1.7 Gejala dan tanda


Hampir separuh kasus leiomioma uteri ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang timbul
sangat tergantung pada tempat sarang leiomioma ini berada, besarnya tumor,
perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala yang mungkin timbul yaitu8-12:

a. Perdarahan abnormal yaitu dapat berupa hipermenore, menoragia dan


dapat juga terjadi metroragia merupakan yang paling banyak terjadi.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain adalah:
 Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia endometrium
sampai adenokarsinoma endometrium
 Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa
 Atrofi endometrium di atas leiomioma submukosum
 Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang
leiomioma di antara serabut miometrium, sehingga tidak dapat
menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik
b. Rasa nyeri yang mungkin timbul karena gangguan sirkulasi darah pada
sarang leiomioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada

7
leiomioma submukosum yang akan dilahirkan, pula pertumbuhannya yang
menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga dismenore.
Namun gejala-gejala tersebut bukanlah gejala khas pada leiomioma uteri.
c. Gejala dan tanda penekanan yang tergantung pada besar dan tempat
leiomioma uteri. Gejala yang timbul dapat berupa poliuri, retention urine,
obstipasi serta edema tungkai dan nyeri panggul.
Pada Leiomioma Geburt gejala yang menonjol berupa perdarahan per
vaginam di antara siklus haid yang bervariasi mulai dari perdarahan bercak hingga
perdarahan masif. Darah yang keluar berupa darah segar dan kadang disertai nyeri
sehingga dapat diduga sebagai haid yang memanjang. Selain itu, leiomioma
submukosa juga dapat menyebabkan perdarahan intermenstrual, perdarahan post
coital, perdarahan vaginal terus-menerus atau dismenore.11,13

3.1.8 Diagnosis
Diagnosis Leiomioma Geburt ditegakkan atas beberapa hal yaitu13:
1. Anamnesis, teraba massa menonjol keluar dari jalan lahir yang dirasakan
bertambah panjang serta adanya riwayat perdarahan per vaginam terutama
pada perempuan diatas 40 tahun, kadang dikeluhkan juga perdarahan
kontak.
2. Pemeriksaan Fisis
a. Pada pemeriksaan abdomen luar kemungkinan tidak didapatkan
kelainan, namun dapat juga ditemukan pada palpasi bimanual
uterus yang bentuknya tidak regular, tidak lunak atau penonjolan
yang berbenjol-benjol yang keras pada palpasi.12,13
b. Pada pemeriksaan ginekologik teraba massa yang keluar dari OUE
(kanalis servikalis), lunak, mudah digerakkan, bertangkai serta
mudah berdarah. Melalui pemeriksaan inspekulo
terlihat massa keluar OUE (kanalis servikalis) berwarna pucat

3. Pemeriksaan Penunjang

8
a. USG untuk menentukan ukuran, lokasi dan jumlah tumor. USG
dapat dilakukan transabdominal dan transvaginal. USG
transvaginal lebih akurat untuk menentukan lokasi tumor.
b. USG doppler untuk menentukan vaskularisasi leiomioma uteri
c. Histerografi untuk menilai pasien leiomioma submukosa dengan
infertilitas
d. Laboratorium : darah lengkap, urine lengkap, tes kehamilan

3.1.9 Diagnosis banding


Leiomioma Geburt dapat didiagnosis banding dengan polip serviks dan
inversio uteri. Polip serviks merupakan suatu adenoma ataupun adenofibroma
yang berasal dari mukosa endoserviks. Tangkainya dapat panjang hingga keluar
dari OUE. Epitel yang melapisi biasanya adalah epitel endoserviks yang dapat
juga mengalami metaplasia menjadi semakin kompleks. Bagian ujung polip dapat
mengalami nekrosis sehingga membuatnya mudah berdarah. Hal inilah yang
membedakannya dari Leiomioma Geburt dimana bagian yang mudah berdarah
bukan merupakan ujung leiomioma tapi merupakan endometrium yang
mengalami hiperplasia akibat pengaruh ovarium, selain itu juga terjadi atropi
endometrium di atas leiomioma submukosa.13Inversio uteri didefinisikan sebagai
kondisi terbaliknya posisi uterus dimana bagian fundus masuk ke dalam rongga
rahim. Inversi uterimerupakan kasus kegawatdaruratan obstetrik yang jarang
terjadi. Penaganan syok yang cepat dan reposisi manual uterus dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Gejalanya meliputi sakit perut yang berat, serangan
jantung yang mendadak dan perdarahan post partum. Tanda lain yaitu termasuk
adanya benjolan di vagina disertai nyeri tekan pada abdomendan fundus uteri
tidak teraba. Biasanya terdapat polip berwarna kemerahan di vagina dengan
plasenta yang menempel.14

3.1.10 Penatalaksanaan
Penanganan leiomioma uteri tergantung pada umur, status fertilitas,
paritas, lokasi dan ukuran tumor, sehingga biasanya leiomioma yang ditangani
yaitu yang membesar secara cepat dan bergejala serta leiomioma yang diduga
menyebabkan fertilitas. Secara umum, penanganan leiomioma uteri terbagi atas

9
penanganan konservatif dan operatif.11Penanganan konservatif bila leiomioma
berukuran kecil pada pra dan post menopause tanpa gejala. Cara penanganan
konservatif sebagai berikut9:
a. Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan
b. Bila anemi (Hb < 8gr/dl) à transfusi PRC
c. Pemberian zat besi
d. Pemberian agonis hormon pelepas gonadotropin (GnRHa) yaitu Leuprolid
asetat 3,75 mg intramuscular pada hari 1-3 menstruasi setiap minggu
sebanyak 3 kali
Manajemen simtomatik leiomioma uteri biasanya diberikan demi
kenyamanan pasien dan menunda pengobatan bisa dimengerti pada pasien yang
tidak bergejala atau dengan gejala ringan yang dapat ditoleransi. Meskipun
pengobatan non-operatif biasanya tidak memberikan kesembuhan permanen,
namun terapi dengan obat-obatan seperti NSAID, pil kontrasepsi oral, progestin,
androgen dan analog GnRH biasanya diberikan.10 Analog GnRH menyebabkan
keadaan hipogonadotropik-hipogonadal; jadi obat-obatan ini menghasilkan
menopause kimiawi yang temporer dan reversibel yang dapat mengecilkan
volume leiomioma hingga 50% dengan cara menurunkan konsentrasi estrogen
yang beredar dalam darah dengan hasil maksimal setelah tiga bulan terapi. Analog
GnRH juga memiliki beberapa kegunaan sebelum tindakan operatif dilakukan11,12:
a. Mengurangi jumlah darah yang terbuang pada saat operasi dan perlunya
transfusi darah
b. Meningkatkan kemungkinan operasi dengan cara insisi suprapubik
transversal dibandingkan insisi midline
c. Mengurangi resiko histerektomi ketika miomektomi direncanakan
Penanganan operatif bila:
a. Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus pada kehamilan 12-14
minggu
b. Pertumbuhan tumor cepat
c. Leiomioma subserosa bertangkai dan torsi
d. Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya
e. Hipermenorea pada leiomioma submukosa

10
f. Penekanan pada organ sekitarnya
Jenis operasi yang dilakukan berupa11,12,13,15:
1. Miomektomi, dilakukan pada penderita infertil atau yang masih
menginginkan anak. Pendekatan pada tumor dilakukan melalui dinding
uterus dimana leiomioma dibuka dengan diseksi tajam dan tumpul,
pseudokapsul dapat mengakibatkan diseksi sulit untuk dilakukan.
Leiomioma diangkat dengan bantuan obeng leiomioma, rongga yang
terbentuk akibat leiomioma kemudian dijahit dan dinding uterus dilipat
untuk membawa garis jahitan serendah mungkin sehingga mengurangi
resiko perlekatan dengan vesika urinaria.
2. Histerektomi, dilakukan pada pasien yang tidak menginginkan anak lagi,
terbagi atas 2 macam, yaitu:
a. Histerektomi abdominal, dilakukan bila tumor besar terutama
leiomioma intraligamenter, torsi dan akan dilakukan ooforektomi
b. Histerektomi vaginal, dilakukan bila tumor kecil (ukuran < uterus
gravid 12 minggu) atau disertai dengan kelainan di vagina
misalnya rektokel, sistokel atau enterokel
Embolisasi arteri uterus kini semakin banyak digunakan untuk menangani
leiomioma dengan pendekatan yang kurang invasif. Tujuannya adalah untuk
mengurangi suplai darah ke leiomioma sehingga menyebabkan degenerasi dan
nekrosis.13

3.1.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada leiomioma uteri secara umum yaitu2,4:
1. Degenerasi ganas
Leiomioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-
0,6% dari seluruh leiomioma; serta merupakan 50-75% dari semua
sarcoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan
histopatologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan
uterus apabila leiomioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi
pembesaran sarang leiomioma dalam menopause.
2. Torsi (putaran tangkai)

11
Sarang leiomioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul
gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian
terjadi sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan
akut tidak terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu keadaan
dimana terdapat banyak sarang leiomioma dalam rongga peritoneum.
Sarang leiomioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang
diperkirakan karena gangguan sirkulasi darah padanya. Misalnya terjadi
pada leiomioma yang dilahirkan hingga perdarahan berupa metroragia atau
menoragia disertai leukore dan gangguan-gangguan yang disebabkan oleh
infeksi dari uterus sendiri.

3.1.12 Prognosis
Terapi bedah bersifat kuratif. Kehamilan di masa yang akan datang tidak
akan dibahayakan oleh miomektomi, walaupun seksio sesarea akan diperlukan
setelah diseksi lebar untuk masuk ke dalam rongga uterus.11

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawiroharjo S. Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Bina Pustaka;


2011.

2. American Assosiation of Gynecology Laparoscopists (AAGL): Advancing


Minimally Invasive Gynecology Worldwide. AAGL practice report: Practice
guidelines for the diagnosis and management of submucous leiomyomas. J
Minim Invasive Gynecol. 2012;19(2):152-71.

3. Konsensus Tatalaksana Pendarahan Uterus Abnormal Karena Efek Samping


Kontrasepsi. Himpunan Endokrinologi Reproduksi Dan Fertilitas Indonesia
(HIFERI). Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia (POGI).

4. Thurkow AL, Admiraal CF, Emanuel MH, Kesteren PJ, Veersema S.


Submucous myomas: diagnosis and therapy. Gynecol Surg. 2008;5(2):93-
102.

5. Hoffman BL et al. Williams Gynecology. 2nd ed. United States: The Mc


Graw-Hill Companies; 2012.

12
6. Dutch Society of Obstetrics and Gynecology. Submucous myoma-Diagnosis
and therapy. 2006 Sept 20. [cited 2018 Jan 20]. Available at :
http://www.aquilex.co.uk/resources/Fluid_Management_Guidelines.pdf

7. Sparic R, Mirkovic L, Tinelli A. Epidemiology of uterine myomas : A


review. International Journal of Fertility & Sterility. 2016; 9(4): 424-35.

8. Hongkong College of Obstetricians and Gynecologist. Guidelines for the


management of uterine leiomyoma. 2009 November. [cited 2018 Jan 20].
Available at :
http://www.hkcog.org.hk/hkcog/Download/Guidelines_for_the_Management
_of_Uterine_Leiomyoma_2009.pdf

9. Brolmann and Huirne. Current treatment options and emerging strategies for
fibroid management. The Internet Journal of Gynecology and Obstetrics.
2008;10(1).

10. Lumsdens MA. Benign disease of the uterus In : Dewhurst’s textbook of


obstetrics ang gynecology. 7th ed. London: Blackwell publishing; 2007.

11. Benson and Pernoll’s. Handbook of obstetrics and gynecology. 10th ed.
Kansas: Kansas university school of medicine;2001.

12. Berek JS. Novak’s gynecology. 13th ed. Philadelphia: Lippincot williams and
wilkins;2002.

13. Evans P, Brunsell S. Uterine fibroid tumour diagnosis and treatment.


American family physician. 2007;15;75(10):1503-8.

14. Basu D, Mondal TK, Saboo V. Acute inversion of uterus in obstetrics. Indian
Medical Gazette. 2014:233-36.

15. Lefebvre G, Vilos G, Allaire C, et al. The management of uterine


leiomyomas. Society obstetrics and gynecology of canada clinical practical
guidelines. 2003;128:1-10.

16. Unkels R. Uterine fibroids In : A textbook of gynecology for less resourced


locations: Sapiens publishing; 2012.

17. Ciavattini A, Giuseppe JO, Stortoni P, et al. Uterine fibroids: pathogenesis


and interactions with endometrium and endomyometrial junction. Obstetrics
and gynecology interanational. 2013; 13: 1-12.

18. Obed JY, et al. Uterine fibroids : Risk of recurence after myomectomy in
nigerian population. Arch Gynecol Obstet. 2011;283(2):311-5.

19. Sarah M. Myomectomy. 2015 July 29. [cited 2018 Jan 22]. Available at :

13
https://www.webmd.com/women/uterine-fibroids/myomectomy-17717

14

Anda mungkin juga menyukai