Anda di halaman 1dari 73

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


INKONTINENSIA URIN & NEUROGENIC BLADDER
KEPERAWATAN PERKEMIHAN

Disusun oleh:
Kelompok 1 Kelas A-2
1. Eva Surya Oktaviana 131411131092
2. Farida Rohmawati 131411131095
3. Novela Ikko 131411131101
4. Shindy Ariatna A 131411131104
5. Putri Nandani Alifah 131411133003
6. Nadhia Putri Ulva Sari 131411133006
7. Oktaviana Ristya A 131411133009

Fasilitator: Iqlima Dwi Kurnia S.Kep., Ns., M.Kep

PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Keperawatan Perkemihan yang membahas tentang
Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Inkontinensia Urin & Neurogenic
Bladder. Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami, sehingga paper ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Ucapan terima
kasih kami ucapkan kepada :
1. Bu Iqlima Dwi Kurnia S.Kep., Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing
dalam pembuatan makalah Keperawatan Perkemihan
2. Teman – teman yang ikut membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan ilmu baru bagi insan
keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan yang lebih baik. Sebagai
penulis kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dari penampilan dan
penyajian paper ini, oleh karena itu kami menginginkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Kami berharap makalah yang kami susun dapat
bermanfaat bagi setiap pembaca.

Surabaya, 24 Maret 2017

Penyusun

ii
Daftar Isi
Cover........................................................................................................................i

Kata Pengantar......................................................................................................ii

Daftar Isi.................................................................................................................ii

INKONTINENSIA URIN

BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................2

1.1 Latar belakang...........................................................................................2

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3 Tujuan.......................................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria.....................................................2

2.2 Definisi......................................................................................................2

2.3 Klasifikasi..................................................................................................2

2.4 Etiologi......................................................................................................2

2.5 Patofisiologi...............................................................................................2

2.6 Manifestasi Klinik.....................................................................................2

2.7 Pemeriksaan Diagnostik............................................................................2

2.8 Penatalaksanaan.........................................................................................2

2.9 Komplikasi................................................................................................2

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN.....................................................................2

BAB 4 KESIMPULAN........................................................................................40

NEUROGENIC BLADDER

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................2

1.1 Latar Belakang..........................................................................................2

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3 Tujuan........................................................................................................2

iii
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2

2.1 Anatomi dan Fisiologis...................................................................................2

2.2 Definisi dan Klasifikasi..................................................................................2

2.3 Etiologi...........................................................................................................2

2.4 Manifestasi Klinis...........................................................................................2

2.5 Pemeriksaan Diagostik...................................................................................2

2.6 Penatalaksanaan dan Pengobatan...................................................................2

2.7 Patofisiologis dan WOC.................................................................................2

2.8 Komplikasi.....................................................................................................2

2.9 Prognosis........................................................................................................2

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN.....................................................................2

BAB 4 KESIMPULAN........................................................................................68

Daftar Pustaka......................................................................................................74

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak terkendali dan tanpa melihat frekuensi maupun jumlahnya yang
mana keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial, dan
higienis bagi penderitanya (Martin & Frey, 2005). Inkontinensia urin merupakan
masalah kesehatan yang sangat sering terjadi pada wanita terutama usia lanjut,
namun secara keseluruhan inkontinensia dapat terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, baik anak-anak, dewasa maupun orang tua. Inkontinensia urin juga
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa,
malui atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap
sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urin sendiri bukanlah suatu
penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial,
psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Soetojo, 2009).

Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran


kemih bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi
secara terkordinasi dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-
buli. Secara fisiologis dalam setiap proses miksi diharapkan empat syarat
berkemih yang normal terpenuhi, yaitu kapasitas buli-buli yang adekuat,
pengosongan buli-buli yang sempurna, proses pengosongan berlangsung di bawah
kontrol yang baik serta setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak berakibat
buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan ginjal. Bila salah satu atau beberapa
aspek tersebut mengalami kelainan, maka dapat timbul gangguan miksi yang
disebut inkontinensia urin

Prevalensi inkontinensia urin pada wanita di dunia berkisar antara 10-58%.


Menurut Asia Pasific Continence Advisor Board (APCAB) menetapkan prevalensi
inkontinensia urin pada wanita asia adalah 14,6% sedangkan wanita indonesia
5,8%. Prevalensi pada pria Asia menurut APCAB sekitar 6,8% sedangkan pada
pria Indonesia 5%. Survey inkontinensia urin yang dilakukan oleh Departemen

1
Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSU Dr. Soetomo tahun
2008 terhadap 793 penderita, prevalensi inkontinensia urin pada pria 3,02%
sedangkan pada wanita 6,79%. Survey ini menunjukkan bahwa prevalensi
inkontinensia urin pada wanita lebih tinggi daripada pria (Soetojo, 2009). Di
Indonesia data tentang lansia dengan masalah inkontinensia urin belum ada,
sehingga prevalensi pasti tentang hal tersebut tidak diketahui. Hal ini mungkin
disebabkan kurangnya laporan dari lansia tentang masalah ini sehingga petugas
kesehatan tidak menyadari adanya masalah ini. Inkontinensia urin seringkali tidak
dilaporkan oleh pasien ataupun keluarganya, hal ini mungkin karena adanya
anggapan bahwa masalah tersebut merupakan hal yang sangat memalukan atau
tabu untuk diceritakan. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang
lain juga terkadang tidak mamahami penatalaksanaan pasien dengan inkontinensia
urin dengan baik. Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan pada usia
lanjut yang dapat diselesaikan (Setiadi & Pramantara, 2007 dalam Fernandes,
2010). Inkontinensia urin mempunyai dampak medik, psikososial, dan ekonomik.
Dampak medik dari inkontinensia urin antara lain dikaitkan dengan infeksi
saluran kemih, urosepsis, gagal ginjal. Dampak psikososial dari inkontinensia urin
adalah kehilangan percaya diri, depresi, menurunnya aktifitas sosial dan
pembatasan aktifitas sosial (Darmojo & Hadi Martono, 2010).

Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres,


artinya keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain
dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan
keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga
sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis
inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih.
Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai
penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering
didapati inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut


mengneai inkontinensia urin, faktor penyebab, gejala, dan penatalaksanaan nya.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi system urinaria?
2. Apa definisi inkontinensia urin?
3. Apa klasifikasi inkontinensia urin?
4. Apa etiologi inkontinensia urin?
5. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin?
6. Apa manifestasi klinik inkontinensia urin?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostik inkontinensia urin?
8. Bagaimana penatalaksanaan inkontinensia urin?
9. Apa komplikasi yang terjadi pada inkontinensia urin?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan inkontinensia urin?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umun

Mahasiswa dapat menjelaskan dan membuat Asuhan Keperawatan tentang


inkontinensia urin.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi system urinaria


2. Menjelaskan tentang definisi inkontinensia urin
3. Menjelaskan etiologi inkontinensia urin
4. Menjelaskan klasifikasi inkontinensia urin
5. Menjelaskan patofisiologi inkontinensia urin
6. Menjelaskan manifestasi inkontinensia urin
7. Menjelaskan tentang pemeriksaan diagnostik
8. Menjelaskan penatalaksanaan inkontinensia urin
9. Menjelaskan komplikasi yang terjadi pada inkontinensia urin
10. Menjelaskan Asuhan Keperawatan inkontinensia urin

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria
Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan
oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-
zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan
berupa urine (air kemih).

3
2.1.1 Ginjal
Gambar 1.1

Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum


abdominalis di belakang peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III,
melekat langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti
biji kacangm jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih
besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang
dari ginjal wanita.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula
renalis yang terdiri dari jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar
terdapat lapisan korteks (substansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam
bagian medulla (substansia medularis) berbentuk kerucut yang disebut
renal pyramid. Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari
lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Masing-masing pyramid
saling dilapisi oleh kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah.
Garis-garis yang terlihat pada pyramid di sebut tubulus nefron
yang merupakan bagian terkecil dari ginjal yang terdiri dari glomerolus,
tubulus proksimal (tubulus kontorti satu), ansa Henie, tubulus distal
(tubuli kontorti dua) dan tubulus urinarius (papilla vateri).
Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24
jam dapat menyaring darah 170 liter. Arteri renalis membawa darah murni
dari aorta ke ginjal, lubang-lubang yang terdapat pada pyramid renal
masing-masing membentuk simpul dan kapiler satu badan malfigi yang
disebut glomerolus. Pembutuh aferen yang bercabang mebentuk kapiler

4
menjadi vena renalis yang membawa darah drai ginjal ke vena kava
inferior.
Fungsi ginjal adalah sebagai berikut :
a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam
tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang
encer dalam jumlah besar, kekurangan air (kelebihan keringat)
menyebabkan urine yang diekskresikan berkurang dan
konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan
tubuuh dapat dipertahankan relative normal.
b. Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan
keseimbangan ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan
elektrolit). Bila terjadi pemasukan/pengeluaran yang abnormal
ion-ion akibat pemasukan garam yang berlebihan/penyakit
perdarahan (diare, muntah) ginjal akan meningkatkan ekskresi
ion-ion yang penting (mis na, K, Cl, Ca dan fosfat).
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada
apa yang dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang
bersifat agak asam, pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir
metabolism protein. Apabila banyak makan sayur-sayuran, urine
akan bersifat basa. pH urine bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal
menyekresi urine sesuai dengan perubahan pH darah.
d. Ekskresi sisa hasil metabolism (ureum, asam urat, kreatinin) zat-
zat toksik, obat-obatan, hasil metabolism hemoglobin dan bahan
kimia asing (peptisida).
e. Fungsi hormonal dan metabolism. Ginjal menyekresi hormone
rennin yang mempunyai perananpenting mengatur tekanan darah
(system rennin angiotensin aldesteron) membentuk eritropoiesis
mempunyai peranan penting untuk memproses pembentukan sel
darah merah (eritropoiesis). Di samping itu ginjal juga membentuk
hormone dihidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang
diperlukan untuk absorbsi ion kalsium di usus.
Proses pembentukan urin
Glomerolus berfungsi sebagai ultrafiltrasi pada simpai Bowman,
berfungsi untuk menampung hasil filtrasi dari glomerolus. Pada tubulus
ginjal akan terjadi penyerapan kembali zat-zat yang sudah disaring pada

5
glomerolus, sisa cairan akan diteruskan ke piala ginjal terus berlanjut ke
ureter.
Urine berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam
ginjal, darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian
plasma darah. Ada tiga tahap pembentukan urine :
a. Proses filtrasi

Gambar 1.2

Terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferen


lebih besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai Bowman yang
terjadi dari glukosa, air, natrium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, yang
diteruskan ke tubulus ginjal.

b. Proses reabsopsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara
pasif yang dikenal dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus
atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali
penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan diserap
kembali ke dalam tubulus bagian bawah. Penyerapannya terjadi
secara aktif dikenal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya dialirkan
pada papilla renalis.
c. Proses sekresi

6
Sisanya penyerapan urine kembali yang terjadi pada tubulus dan
diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke
vesika urinaria.

2.1.2 Ureter

Gambar 2.1
Terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari ginjal
ke kandung kemih (vesika urinaria), panjangnya kurang lebih 25-30 cm,
dengan penampang kurang lebih 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam
rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis.

Lapisan dinding ureter terdiri dari:

a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)

b. Lapisan tengah lapisan otot polos

c. lapisan sebelah dalam lapisa mukosa

Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic


tiap 5 menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam
kandung kemih (vesika urinaria). Gerakan peristaltic mendorong urine
melalui ureter yang diekskresikan oleh ginjal dan disemprotkan dalam
bentuk pancaran, melalui osteum uretralis masuk ke dalam kandung
kemih.

Ureter berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia muskulus


psoas dan dilapisi oleh peritoneum. Penyempitan ureter terjadi pada
tempat ureter meninggalkan pelvis renalis, pembuluh darah, saraf, dan

7
pembuluh limfe berasal dari pembuluh sekitarnya mempunyai saraf
sensorik.

Pars abdominalis ureter dalam kavum abdomen ureter terletak di


belakang peritonium sebelah media anterior m. psoas mayor dan ditutupi
oleh fasia subserosa. Vasa spermatika/ovarika interna menyilang ureter
secar oblique, selanjutnya ureter akan mencapai kavum pelvis dan
menyilang arteri iliaka ekterna.

Ureter kanan terletak pada pars desendens duodenum. Sewaktu


turun ke bawah terdapat di kanan bawah dan disilang oleh kolon dekstra
dan vosa iliaka iliokolika, dekat apertum pelvis akan dilewati oleh bagian
bawah mesenterium dan bagian akhir ilium. Ureter kiri disilang oleh vasa
koplika sisintra dekat aperture pelvis superior dan berjalan di belakang
kolon sigmoid dan mesenterium.

Pars pelvis ureter berjalan pada bagian dinding lateral dari kavum
pelvis sepanjang tepi anterior dari insisura iskhiadika mayor dan tertutup
oleh peritoneum. Ureter dapat ditemukan di depan arteri hipogastrika
bagian dalam nervus obturatoris arteri vasialia anterior dan arteri
hemoroidalis media. Pada bagian bawah insisura iskhiadika mayor, ureter
agak miring ke bagian medial untuk mencapai sudut lateral dari vesika
urinaria.

Ureter pada pria terdapat di dalam visura seminalis atas dan


disilang oleh duktus deferens dan dikelilingi oleh pleksus vesikalis.
Selanjutnya ureter berjalan obloque sepanjang 2 cm di dalam dinding
vesika urinaria pada sudut lateral dari trigonum vesika. Sewaktu
menembus vesika urinaria, dinding atas dan dinding bawah ureter akan
tertutup dan pada waktu vesika urinaria penuh akan membentuk katup
(valvula) dan mencegah pengembalian dari vesika urinaria.

Ureter pada wanita terdapat di belakang fossa ovarika dan berjalan


ke bagian medial dan ke depan bagian lateralis serviks uteri bagian atas,
vagina untuk mencapai fundus vesika urinaria. Dalam perjalanannya,

8
ureter didampingi oleh arteri uterine sepanjang 2,5 cm dan selanjutnya
arteri ini menyilang ureter dan menuju ke atas di antara lapisan
ligamentum. Ureter mempunyai 2 cm dari sisi serviks uteri. Ada tiga
tempat yang penting dari ureter yang mudah terjadi penyumbatan yaitu
sambungan ureter pelvis diameter 2 mm, penyilangan vosa iliaka
diameter 4 mm dan pada saat masuk ke vesika urinaria yang berdiameter
1-5 mm.

2.1.3 Vesika Urinaria

Gambar 3.1
Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan
mengempis seperti balon karet, terletak di belakang simfisis pubis di
dalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti kerucut yang
dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan dengan ligamentum vesika
umbilicus medius. Bagian vesika urinaria terdiri dari:
1) Fundus yaitu, bagian yang menghadap kea rah belakang dan
bawah, bagian ini terpisah dari rectum oleh spatium
rectovesikale yang terisi oleh jaringan ikat duktus deferen,
vesika seminalis, dan prostat.
2) Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.

9
3) Verteks, bagian yang memancung ke arah muka dan
berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikalis.
Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar
(peritonium), tunika muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan
lapisa mukosa (lapisan bagian dalam). Pembuluh limfe vesika urinaria
mengalirkan cairan limfe ke dalam nodi limfatik iliaka interna dan
eksterna.

2.1.4 Uretra

Gambar 4.1
a. Uretra pria
Pada laki-laki ureta berjalan berkelok-kelok melalui tengah
tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus
tulang pubis ke bagian penis panjangnya kurang lebih 20 cm. Uretra
pada laki-laki terdiri dari:
1. Uretra prostatia
2. Uretra membranosa
3. Uretra kavernosa

Lapisan uretra laki-laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan


paling dalam), dan lapisan submukosa. Uretra pria mulai dari
orifisium uretra interna di dalam vesika urinaria sampai orifisium
uretra ekterna. Pada penis panjangnya 17,5-20 cm yang terdiri dari
bagian-bagian berikut :

1) Uretra prostatika

10
Uretra prostatika merupakan saluran terlebar, panjangnya 3
cm, berjalan hamper vertikulum melalui glandula prostat, mulai
dari basis sampai ke apeks dan lebih dekat ke permukaan anterior.
Bentuk salurannya seperti kumparan yang bagian tengahnya lebih
luas dan makin ke bawah makin dangkal kemudian bergabung
dengan pars membrane. Potongan transversal saluran ini
menghadap ke depan.
Pada dinding posterior terdapat Krista uretralis yang
berbentuk kulit yang dibentuk oleh penonjolan membrane mukosa
dan jaringan di bawahnya dengan panjang 15-17 cm dan tinggi 3
cm. pada kiri dan kanan Krista uretralis terdapat sinus prostatikus
yang ditembus oleh orifisium duktus prostatikus dari lobus lateralis
glandula prostate dan duktus dari lobus medial glandula prostate
bermuara di belakang Krista uretralis.
Bagian depan dari Krista uretralis terdapat tonjolan yang
disebut kolikus seminalis. Pada orifisium utrikulus, prostatikus
berbentuk kantong sepanjang 6 cm yang berjalan ke atas dan ke
belakang di dalam substansia prostate di belakang lobus medial.
Dindingnya terdiri dari jaringan ikat, lapisan muskularis dan
membrane mukosa. Beberapa glandula kecil terbuka ke permukaan
dalam.
2) Uretra pars membranasea
Uretra pars membranasea ini merupakan saluran yang
paling pendek dan paling dangkal, berjalan mengarah ke bawah
dank e depan di antara apeks glandula prostate dan bulbus uretra.
Pars membranasea menembus diafragma urogenitalis, panjngnya
kira-kira 2,5 cm, di bawah belakang simfisis pubis diliputi oleh
jaringan sfingter uretra membranasea, di depan saluran ini terdapat
vena dorsalis penis yang mencapai pelvis diantara ligamentum
transversal pelvis dan ligamentum equarta pubis.
3) Uretra pars kavernosus
Uretra pars kavernosus merupakan saluran terpanjang dari
uretra dan terdapat di dalam korpus kavernosus uretra, panjangnya
kira-kira 15 cm, mulai dari pars membranasea sampai ke orifisium

11
dari difragma urogenitalis. Pars kavernosus yratra berjalan ke
depan dan ke atas menuju bagian depan simfisis pubis. Pada
keadaan penis berkontraksi, pars kavernosus akan membelok ke
bawah dan ke depan. Pars kavernosus ini dangkal sesuai dengan
korpus penis 6 mm dan berdilatasi ke belakang. Bagian depan
berdilatasi di dalam gland penis yang akan membentuk fossa
navikularis uretra.
Orifisium uretra eksterna merupakan bagian erector yang
paling berkontraksi berupa sebuah celah vertikal di tutupi oleh
kedua sisi bibir kecil dan panjangnya 6 mm. glandula uretralis yang
akan bermuara ke dalam uretra dibagi dalam dua bagian, yaitu
glandula dan lacuna. Glandula terdapat di bawah tunika mukosa di
dalam korpus kavernosus uretra (glandula pars uretralis). Lacuna
bagian dalam epithelium. Lacuna yang lebih besar di permukaan
atas disebut lacuna magma orifisium dan lacuna ini menyebar ke
depn sehingga dengan mudah menghalangi ujung kateter yang
dilalui sepanjang saluran.
b. Uretra wanita
Uretra pada wanita, terletak di belakang simfisis pubis berjalan
miring sedikitke arah atas, panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Lapisan
uretra wanita terdiri dari tunika muskularis (sebelah luar), lapisan
spongiosa merupakan pleksusu dari vena-vena, dan lapisan mukosa
(lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak di sebelah
atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan urtra di sini hanya sebagai
saluran ekskresi. Apabila tidak berdilatsi diameternya hanya 6 cm.
uretra ini menembus fasia diafragma urogenitalis dan orifisium
eksterna langsung di depan permukaan vagina, 2,5 cm di belakang
gland klitoris. Glandula uretra bermuara ke uretra, yang terbesar
diantaranya adalah glandula pars uretralis (skene) yang bermuara ke
dalam orifisium uretra yang hanya berfungsi sebagai saluran ekskresi.

Diafragma urogenitalis dan orifisium eksterna langsung di depan


permukaan vagina dan 2,5 cm di belakang gland klitoris. Uretra
wanita jauh lebih pendek daripada uretra pria dan terdiri lapisan otot

12
polos yang diperkuat oleh sfingter otot rangka pada muaranya
penonjolan berupa kelenjar dan jarongan ikat fibrosa longgar yang
ditandai dengan banyak sinus venosa mirip jaringan kavernosus.

2.2 Definisi
Inkontinensia urin merupakan eliminasi uin dari kandung kemih yang
tidak tekendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner & Suddart. 2002).
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter
(tanpa kontrol) (Grace & Borley, 2006). Inkontinensia urine adalah
ketidakmampuan otot sfingter eksternal yang bersifat sementara atau
permanen untuk mengontrol aliran urine dari kandung kemih. (Kozier, 2009).
Inkontinensia urin adalah keadaan hilangnya kontrol urin involunter yang
secara objektif dapat terlihat jelas dan cukup berat sehingga menjadi masalah
sosial atau masalah higiene seperti yang telah didefisinikan oleh International
Incotinence Society (Geri dan carole, 2009).
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan. Jika inkontinensia urin terjadi
akibat kelainan inflamasi (sistisis), mungkin sifatnya hanya sementara.
Namun jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologi yang serius
(paraplegia), kemungkinan besar sifatnya akan permanen.
Inkontinensia urin secara umum adalah kegagalan kontrol secara
volunter vesika urinaria dan sfingter uretra sehingga terjadi pengeluaran urin
secara involunter yang konstan/frekuen meskipun pasien berusaha sekuat
mungkin menahannya, urin bisa menetes dan terjadi seketika.
2.3 Klasifikasi
Menurut Hidayat, 2006 berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin
dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
1. Inkontinensia urin akut ( Transient incontinence )
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari
6 bulan dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem
iatrogenic dimana menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya
dikenal dengan akronim DIAPPERS yaitu : delirium, infeksi dan
inflamasi, atrophic vaginitis, psikologi dan pharmacology, excessive urin

13
production (produksi urin yang berlebihan), restriksi mobilitas dan stool
impaction (impaksi feses).
2. Inkontinensia urin kronik ( Persisten )
Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan
berlangsung lama ( lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan
mendasar yang melatar belakangi Inkontinensia urin kronik (persisten)
yaitu : menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena
kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot
detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi
beberapa tipe (stress, urge, overflow, mixed). Berikut ini adalah penjelasan
dari masing-masing tipe Inkontinensia urin kronik atau persisten :
a. Inkontinensia urin tipe stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol
keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot
dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Gejalanya antara lain
kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal
lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat
dilakukan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan
beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.

Gambar 2.3.1
Perbandingan Normal Stress dan Stress Inkontinensia
Inkontinesia urin tipe stress dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu:
1) Tipe 0 :pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat
dibuktikan melalui pemeriksaan
2) Tipe 1 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stress dan
adanya sedikit penurunan uretra pada leher vesika urinaria

14
3) Tipe 2 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra
pada leher vesika urinaria 2 cm atau lebih
4) Tipe 3 :uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa
kontraksi kandung kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik
(riwayat trauma atau bedah sebelumnya) dengan gangguan
neurologic atau keduanya. Tipe ini disebut juga defisiensi
sfingter intrinsik
b. Inkontinensia urin tipe urge
Timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak
stabil, yang mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia
urin ini ditandai dengan ketidak mampuan menunda berkemih setelah
sensasi berkemih muncul. Manifestasinya dapat berupa perasaan ingin
kencing yang mendadak ( urge ), kencing berulang kali ( frekuensi )
dan kencing di malam hari ( nokturia ).
c. Inkontinensia urin tipe overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah
terlalu banyak di dalam kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor
kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan
saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang,
atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas
setelah kencing ( merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih ),
urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah. Inkontinensia tipe
overflow ini paling banyak terjadi pada pria dan jarang terjadi pada
wanita.
d. Inkontinensia tipe campuran (Mixed)
Merupakan kombinasi dari setiap jenis inkontinensia urin di atas.
Kombinasi yangpaling umum adalah tipe campuran inkontinensia tipe
stress dan tipe urgensi atau tipe stress dan tipe fungsional.

15
Gambar 2.3.2
Tipe Inkontinensia Urin

2.4 Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi
dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejang yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan abnormal) dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Menurut Mark et al (2006), etiologi inkontinensia urin adalah :
a. Inkontinensia urgensi. Pengeluaran urin involunter yang disebabkan oleh
dorongan dan keinginan mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan
dengan kontraksi detrusor seca involunter. Penyebab gangguan neurologik
serta infeksi saluran kemih.
b. Inkontinensia stres. Pengeluaran urin involunter selama batuk, bersin,
tertawa, atau peningkatan tekanan intraabdomen lainnya. Inkontinensia
stres biasanya disebabkan saluran keluar kandung kemih inkompeten
akibat kelemahan otot dasar panggul yang menyangga dan insufisiensi
sfingter uretra. Wanita yang mengalami kondisi ini biasanya disebabkan
oleh kelahiran, sedangkan pada pria, kondisi ini dapat terjadi setelah
pembedahan prostat.

16
c. Inkontinensia overflow. Pengeluaran urin involunter akibat distensi
kandung kemih yang berlebihan. Bisa terdapat penetesan urin yang sering
atau berupa inkontinensia dorongan atau tekanan. Dapat diserta dengan
kandung kemih, obat’’an, impaksi feses, nefropati diabetic, atau defisiensi
vitamin B12
d. Inkontinensia fungsional. Imobilitas, deficit kognitif, paraplegia, atau daya
kembang kandung kemih yang buruk.
Secara umum, faktor resiko berkembangnya inkontinensia urin adalah
sebagai berikut:
1) Wanita
Wanita akan cenderung lebih sering mengalami stress penyebab
inkontinensia. Kehamilan, proses melahirkan, dan menopause. Namun pria
dengan kondisi prostat akan meningkat resikonya untuk mengalami
inkontinensia urin.
2) Bertambahnya usia
Otot kandung kemih & uretra kehilangan sebagian kekuatan nya seiring
dengan bertambahnya usia. Perubahan usia mengurangi kapasitas kandung
kemih dan meningkatkan resiko proses berkemih yang tidak terkontrol.
3) Kelebihan berat badan (Overweight)
Seseorang dengan berat badan berlebih akan meningkatkan tekanan pada
kandung kemih dan otot-otot yang ada di sekitarnya, melemahkan otot-
otot tersebut dan membuat urin keluar (bocor) dengan adanya rangsangan
stress (contoh: stress yang disebabkan karena batuk atau bersin).
4) Merokok
Batuk kronis disertai merokok dapat memunculkan inkontinensia atau
bahkan inkontinensia yang lebih parah yang disebabkan oleh penyebab
lain. Batuk yang terus menerus menimbulkan stress pada sfingter urin,
menyebabkan stress inkontinensia. Perokok juga beresiko tinggi
mengalami kandung kemih yang bekerja berlebihan.
5) Infeksi
Infeksi traktus urinarius yang simptomatik sering menjadi penyebab
timbulnya keadaan inkontinensia (Isselbacher et al.,1999). Gejala yang
berkaitan dengan infeksi traktur urinarius meliputi sering kencing, rasa
panas waktu kencing, disuria, dan mungkin demam. Apabila pengosongan
terjadi scara spontan tanpa disertai berbagai sensasi atau kerja spesifik,

17
kemungkinan kandung kemih neurogenik perlu dipertimbangkan. (Taber,
1994)
6) Penyakit lainya.
Penyakit ginjal atau diabetes melitus dapat meningkatkan resiko
inkontinensia karena perubahan fungsi ginjal dan distribusi persyarafan.
2.5 Patofisiologi
Kandung kemih memiliki kapasitas normal 350-400 ml. Saat kandung
kemih terisi oleh urin, otot detrusor mengalami relaksasi untuk
memungkinkan peningkatan volume tanpa meningkatkan tekanan
(plastisitas). Ketika kandung kemih penuh, reseptor regangan dalam dinding
kandung kemih memulai kontraksi refleks (melalui S3,4) pada otot detrusor
dan relaksasi sfingter urin untuk mengosongkan kandung kemih. Refleks
spinal ini dikontrol oleh mekanisme inhibisi kortikal yang memungkinkan
kontrol secara sadar sepanjang berkemih. Kontrol secara sadar terbentuk pada
masa kanak-kanak awal (Grace & Borley, 2006).
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk
kronis, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan
operasi vagina. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan kencing. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab inkontinensia
urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek
obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa
karena infeksi. (Januadi,2008).
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga
dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50
tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu

18
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia
urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat
operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia.
Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami
inkontinensia urin karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan
otot dasar panggul.

2.6 Manifestasi Klinik


Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :
1. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering
dari normal bila di bandingkan denga pola yang lazim di miliki
seseorang atau lebih sering dari normal yang umumnya di terima, yaitu
setiap 3-6 jam sekali.
2. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali
dalam waktu 24 jam.
3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk
berkemih.
4. Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih
walaupun penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih
belum terisi penuh seperti keadaan normal.
5. Urge inkontinensia yaitu dorongan yang kuat sekali unuk berkemih
dan tidak dapat ditahan sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke
toilet urine telah keluar lebih dulu.
Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak teratur
pada kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge
inkontinensia merupakan gejala akhir pada inkontinensia urine. Jumlah urine
yang keluar pada inkontinensia urine biasanya lebih banyak daripada kapasitas
kandung kemih yang menyebabkan kandung kemih berkontraksi untuk
mengeluarkan urine. Pasien dengan inkontinensia urine pada mulanya
kontraksi otot detrusor sejalan dengan kuatnya keinginan untuk berkemih,
akan tetapi pada beberapa pasien mereka menyadari kontraksi detrusor ini
secara volunter berusaha membantu sfingter untuk menahan urine keluar serta
menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan yang menonjol hanya
urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir ditemukan 70
% pada kasus inkontinensia urine dan simptom nokturia sangat erat

19
hubungannya dengan nokturnal enuresis. Keluhan urge inkontinensia
ditemukan hanya pada sepertiga kasus inkontinensia urine.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis, kultur urine dan kalau perlu sitologi urine
digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses
inflamasi/infeksi atau keganasan pada saluran kemih. Menilai elektrolit
serum, terutama kadar kalium. Cek kadar glukosa pada pasien diabetes
dengan poliuria dan polidipsi.
b. Postvoid Residual Volume Urine
Postvoid residual (PVR) uji volume urin untuk mengukur jumlah urine
yang tersisa setelah buang air kecil. Sekitar 50 mL atau kurang dari. Lebih
dari 200 mL adalah abnormal. Jumlah antara 50-200 mL mungkin
memerlukan tes tambahan untuk interpretasi. Metode yang paling umum
untuk mengukur PVR adalah dengan kateter, sebuah pipa kecil yang
dimasukkan ke dalam uretra dalam beberapa menit buang air kecil. USG,
yang non invasif, juga dapat digunakan.
c. Cystometry
Cystometry juga disebut filling cystometry, mengukur seberapa
banyak urin yang dapat ditahan kandung kemih dan tekanan yang
terbentuk di dalam kandung kemih saat terisi. Cystometry dapat
dilakukan pada waktu yang sama seperti tes PVR. Prosedur
menggunakan beberapa kateter kecil , dengan cara :
Sebuah kateter double-channel dimasukkan melalui uretra dan
masuk ke kandung kemih. Hal ini digunakan untuk mengisi kandung
kemih dengan air dan untuk mengukur tekanan. Kateter lain dimasukkan
ke dalam rektum atau vagina, hal ini digunakan untuk mengukur tekanan
perut. Selama prosedur pasien diminta untuk memberitahu bagaimana
tekanan mempengaruhi kebutuhan untuk buang air kecil. Pasien mungkin
diminta untuk batuk atau strain (regangan) untuk mengevaluasi
perubahan tekanan kandung kemih dan tanda-tanda kebocoran.
Otot detrusor dari kandung kemih normal tidak akan berkontraksi
selama pengisian kandung kemih. Kontraksi yang keras pada jumlah

20
rendah cairan menunjukkan inkontinensia. Stress Incontinence dicurigai
ketika tidak ada peningkatan yang signifikan dalam tekanan kandung
kemih atau otot detrusor kontraksi selama mengisi, tapi pasien
mengalami kebocoran jika tekanan perut meningkat.
d. Uroflowmetry
Untuk menentukan apakah kandung kemih terhambat, tes
elektronik yang disebut uroflowmetry mengukur kecepatan aliran urin.
Untuk melakukan tes ini, pasien kencing ke dalam alat pengukur khusus.
e. Cystoscopy
Cystoscopy, juga disebut urethrocystoscopy, dilakukan untuk
memeriksa masalah pada saluran kemih bawah, termasuk uretra dan
kandung kemih. Dokter dapat menentukan adanya masalah struktural
termasuk pembesaran prostat, obstruksi uretra atau leher kandung kemih,
kelainan anatomi, atau batu kandung kemih. Tes ini juga dapat
mengidentifikasi kanker kandung kemih, dan menyebabkan darah dalam
urin dan infeksi.
Dalam prosedur ini , tabung tipis dengan cahaya di ujung
(cytoscope) dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui uretra.
kemudian disisipkan instrumen kecil melalui cytoscope untuk mengambil
sampel jaringan kecil (biopsi) . Sitoskopi biasanya dilakukan sebagai
prosedur rawat jalan. Pasien dapat diberikan anestesi lokal , tulang
belakang, atau umum.
f. Electromyography
Electromyography, juga disebut electrophysiologic sphincter
testing, dilakukan jika dokter menduga bahwa masalah saraf atau otot
mungkin menyebabkan inkontinensia. Tes menggunakan sensor khusus
untuk mengukur aktivitas listrik di saraf dan otot di sekitar sphincter. Tes
ini mengevaluasi fungsi saraf yang membantu sfingter dan otot dasar
panggul serta kemampuan pasien untuk mengendalikan otot-otot ini.
g. Video Urodynamic Tests
Video urodynamic testing menggabungkan uji urodynamic dengan
tes penggambaran seperti USG atau tipe khusus prosedur x-ray yang

21
disebut fluoroscopy.Fluoroskopi melibatkan mengisi kandung kemih
dengan pewarna kontras sehingga dokter dapat memeriksa apa yang
terjadi ketika kandung kemih penuh dan dikosongkan.
h. Ultrasound
Ultrasound adalah tes yang tidak menyakitkan yang menggunakan
gelombang suara untuk menghasilkan gambar. Dengan USG, kandung
kemih diisi dengan air hangat dan sensor ditempatkan pada perut atau di
dalam vagina untuk mencari masalah struktural atau kelainan lainnya.
2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Tonagho&Anuch (2008)


meliputi modifikasi lingkungan, terapi perilaku, terapi farmakologi,terapi
pembedahan dan alat bantu.
1. Modifikasi Lingkungan
Bertujuan untuk memudahkan klien dalam melakukan urinasi, meliputi:
a) Pemasangan bel di ruangan yang mudah dijangkau klien
b) Penerangan yang cukup
c) Toilet duduk portable, urinal dan bedpan atau pispot
d) Hindari penggunaan restrain karena akan mempersulit klien ketika ingin
berkemih
e) Melatih ROM pasif dan aktif untuk meningkatkan kekuatan otot
2. Terapi perilaku (behavioral training)
Mempelajari dan mempraktekkan cara-cara untuk mengontrol kandung
kemih dan otot-otot stingfer dengan cara latihan kandung kemih (bladder
training) cara latihan otot dasar panggul (pelvic floor exercise).
Teknik Terapi Perilaku
a) Latihan kandung kemih (bladder training). Bladder training
mengikuti suatu jadwal yang ketat untuk ke kamar kecil/berkemih.
Jadwal dimulai dengan ke kamar kecil tiap dua jam, dan waktunya
makin ditingkatkan. Makin lama waktu yang dicapai untuk
berkemih, makin memberikan peningkatan kontrol terhadap kandung
kemih. Latihan kandung kemih terbukti efektif baik untuk
inkontinensia tipe stress maupun urgensi.

22
Tujuan :
a. Memperpanjang waktu untuk ke kamar kecil
b. Meningkatkan jumlah urin yang ditahan oleh kandung kemih
c. Meningkatkan kontrol pada dorongan/rangsangan berkemih
menurut jadwal, dan tidak begitu saja saat dorongan berkemih
datang
d. Mengurangi atau menghilangkan inkontinensia
Cara melakukan :
a. Buat catatan harian untuk berkemih
b. Minggu I gunakan kamar kecil ketat menurut jadwal
c. Tiap minggu tingkatkan jadwal berkemih 15 – 30 menit sesuai
yang dapat ditoleransi
d. Catat jumlah urin
b) Latihan menahan dorongan berkemih. Untuk mendapatkan kontrol
atas kandung kemih, cara berikut dapat dipakai saat datang dorongan
berkemih.Berdiri tenang atau duduk diam, lebih baik jika kaki
disilangkan. Tindakan ini mencegah rangsang berlebihan dari
kandung kemih.Tarik napas teratur dan relaks.Kontraksikan otot-otot
dasar panggul beberapa kali (senam kegel). Ini akan membantu
menutup urethra dan menenangkan kandung kemih.Alihkan pikiran
ke hal lain, untuk menjauhkan perhatian dari dorongan
berkemih.Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet
sebelum jadwal berkemih.
c) Latihan otot dasar panggul. Latihan ini berguna untuk memperkuat
otot-otot yang lemah sekitar kandung kemih. Untuk identifikasi otot
yang tepat, bayangkan kita sedang menahan untuk tidak flatus. Otot
yang diapaki untuk menahan flatus itulah yang akan digunakan.
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine,
flavoxate,Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic
agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada

23
saat sfingter relakasasi dapat diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol ataualfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi
kontraksi, danterapi diberikan secara singkat.
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
danurgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan
untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor,
batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
5. Terapi Modalitas lain
Beberapa alat bantu bagilansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pembalut urinal, kateter,dan alat bantu toilet seperti
urinal, komod dan bedpan.
6. Health Education pada Pasien
Pasien dengan inkontinensia urin sebaiknya:
a) Mengurangi konsumsi makanan/minuman yang bisa meningkatkan
kejadian inkontinensia seperti coklat (kandungan theobromin,
methilxantine yang menyerupai kafein), makanan manis, minuman
berkarbonasi, kopi dan teh (kecuali teh hijau) dan mengurangi
kelebihan asupan cairan. Kafein dapat meningkatkan frekuensi
berkemih (natural diuretik yang bekerja menstimulasi otot bladder)
(Cameron et al, 2013)
b) Memperhatikan waktu untuk konsumsi obat-obatan diuretik. Tidak
dikonsumsi pada malam hari untuk meminimalkan pengeluaran urin
pada malam hari
c) Penjadwalan waktu untuk berkemih sesuai dengan kapasitas kandung
kemih dalam menampung urin
d) Menghentikan kebiasaan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
inkontinensia misalnya merokok dan konsumsi alkohol
e) Pengeluaran feses secara teratur untuk mencegah terjadinya stooli
impaction yang dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia urin

Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi Urinary Incontinence:


1. Inkontinensia Urgensi

24
a. Terapi medikamentosa, modifikasi asupan cairan, hindari kafein,
tangani penyebab (infeksi, tumor, batu), latihan berkemih/bladder
training, antikolinergik/relaksan otot polos (oksibutinin, tolterdin)
b. Terapi pembedahan: sistoskopi dan distensi kandung kemih, sistoplasti
augmentasi.
2. Inkontinensia Stres
a. Terapi medikamentosa, latihan otot-otot dasar panggul/kegel exercise,
terapi estrogen (dapat menurunkan obstruksi aliran urin sehingga aliran
urin menjadi lebih lancar dan dapat menyimpan urin di dinding
mukosa sehingga urin tidak menumpuk di bladder)
b. Terapi pembedahan: uretropeksi retropubik atau endoskopik, perbaikan
vagina, sfingter buatan.
3. Inkontinensia Overflow
a. Jika terdapat obstruksi: obati penyebab obstruksi
b. Jika tidak terdapat obstruksi: drainase jangka pendek dengan kateter
untuk memungkinkan otot detrusor pulih dari peregangan berlebihan,
kemudian penggunaan stimulan otot detrusor jangka pendek
(bethanekol: distigmin). Jika semuanya gagal, kateterisasi intermiten
yang dilakukan sendiri (inkontinensia overflow neurogenik) (Grace &
Borley, 2006). Selain itu juga dengan terapi perilaku penjadwalan
waktu berkemih.
2.9 Komplikasi
1. Dampak dari segi emosi

Inkontinensia urin memiliki pengaruh emosional penderita cukup besar.


Karena tanpa disadari urin keluar secara tidak sadar membuat penderita
merasa bahwa ia sedang ngompol. Penderita merasa dirinya
menyebabkan bau yang tidak sedap sehingga penderita sering
menyalahkan dirinya sendiri, lalu menyendiri, dan akhirnya menarik diri
dari pengaulan. Depresi adalah sangat umum pada wanita dengan
inkontinensia.
Inkontinensia juga memiliki efek emosional pada laki-laki. Sejumlah
penelitian pasien dengan kanker prostat menunjukkan bahwa
inkontinensia dapat efek samping yang jauh lebih berat bagi laki-
laki daripada disfungsi ereksi (juga efek samping dari pengobatan
kanker prostat).

25
2. Pengaruh Spesifik pada Kehidupan Sehari-hari

Pada inkontinensia yang berat penderita memerlukan pemasangan


kateter permanen, sehingga mobilitas penderita terganggu. Inkontinensia
juga akan membuat penderita tidak bisa hidup bebas dan terikat dengan
orang lain. Untuk mencegah basah atau bau, orang-orang dengan
inkontinensia dapat mengubah cara hidup mereka.
a. Tugas menjadi sangat sulit dan perlu perencanaan lanjutan.
b. Kamar mandi umum mungkin sulit untuk ditemukan atau tidak
tersedia sehingga memperberat bagi mereka dengan inkontinensia
desakan yang memiliki sedikit waktu untuk mencapai kamar mandi
dan memiliki tumpahan volume besar. Pada penderita sering
mengalami jatuh dan kecelakaan. Hal ini berkaitan dengan keadaan
di mana penderita tergesa-gesa untuk mencapai toilet sehingga bila
tidak hati-hati bisa jatuh dan mengalami kecelakaan.
3. Pengaruh Spesifik pada Usia Tua
Efek Spesifik Inkontinensia di Usia
Inkontinensia sangat serius pada orang dewasa yang lebih tua:
a. Orang dewasa yang lebih tua yang sehat mungkin berhenti
berolahraga karena kebocoran, yang dapat meningkatkan gangguan
mereka.
b. Inkontinensia dapat mengakibatkan hilangnya independensi dan
kualitas hidup.Ini adalah alasan utama untuk penempatan panti
jompo.
c. Inkontinensia yang parah mungkin memerlukan kateterisasi.Ini
adalah penyisipan tabung yang memungkinkan urin untuk terus
masuk ke kantong mengumpulkan eksternal. Kateter dapat
meningkatkan risiko infeksi saluran kemih dan komplikasi lainnya.
d. Ada hubungan yang kuat antara inkontinensia, jatuh dan cedera yang
mungkin sebagian karena terburu-buru ke toilet di tengah malam.
4. Gangguan Rasa nyaman
Gangguan rasa nyaman ini disebabkan karena tanpa disadari urin keluar
secara tiba-tiba. Hal ini juga akan mengganggu pola tidur klien

26
WOC

Ketika batuk, bersin, Obstruksi Pembedahan Lansia Lesi spinal cord


tertawa, mengejan kandung kemih dibawah S2

Komplikasi Kehilangan
Tekanan kandung Otot detrusor  otot detrusor
post op fungsi kognitif
kemih > uretra tidak stabil

Otot detrusor  fungsi otot Tidak dapat


 tekanan Tekanan melemah mengontrol keluaran
detrusor
intraabdominal intravesika  urin
Inkontinensia MK:
Otot sfingter Kontraksi kandung
pasca trauma Inkontinensia Inkontinensia
uretra melemah kemih involunter
refleks

Inkontinensia Inkontinensia
stres urgensi

Inkontinensia urin Status MK:


kesehatan Ansietas
berubah
Urin tersisa di Genitalia
celana eksterna basah

Urin bersifat asam Keluar


mengiritasi kulit malam/siang hari

MK: Gangg. Mengganggu


integritas kulit aktifitas, tidur

MK: Gangg.
pola tidur

27
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus

Tn X 63 tahun beragama islam sudah menikah. Istrinya telah meninggal tiga


tahun yang lalu. Dan pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang
sudah lama tidak berhubungan lagi dengan keluarganya sejak pasien merantau ke
jakarta. Pasien merantau ke jakarta sejak tahun 2000 dan bekerja sebagai
pengamen yang kemudian dibawa pihak Kamtibmas ke panti sosial tresna werda.
Dua tahun lalu Tn X didiagnosa diabetes melitus dengan nilai gula darah waktu
itu 235 mg/dl. Saat ini Tn X rutin mengonsumsi obat. Pasien mengatakan sering
terbangun di malam hari, ketika bangun pagi tiba-tiba celananya sudah basah dan
tidak terasa sudah mengompol dan mengatakan ketidakmampuan mencapai toilet
pada saat berkemih. Pasien mengatakan lecet-lecet pada kulit sekitar paha serta
pantat dan tidak memberitahu petugas panti akan keadaannya karena menurutnya,
dia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Berdasarkan pola minum pasien
terlihat sering minum kopi biasanya 1 gelas perhari, sedangkan minum air putih
sekitar tujuh gelas sehari, pasien mengatakan sering merasa haus. Pasien tampak
tidak antusias dan tidak termotivasi ketika melakukan aktivitas sehari-hari di panti
Pasien dengan keadaan umum tampak cemas dan gelisah, suhu 36⁰C, nadi
88x/menit, tekanan darah 130/80 mmHg, RR 18x/menit. Pada saat dilakukan
pemeriksaan bladder, jumlah urin output 1000ml, warna kuning, pasien terlihat
banyak kencing dan pada saat pemeriksaan kandung kemih tidak adanya tanda
pembesaran dan tidak ada nyeri tekan. Hasil pengkajian dan rekam medis juga
didapatkan keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit DM, Stroke dan
masalah pernafasan.

1. Pengkajian
1.1 Anamnesis
a. Identitas
Nama : Tn. X
Umur : 63 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan: Sudah menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Pengamen
Suku : Jawa
b. Keluhan utama
Pasien mengatakan ketika bangun pagi tiba-tiba celananya sudah basah
dan tidak terasa sudah mengompol dan mengatakan ketidakmampuan
mencapai toilet pada saat berkemih.
c. Riwayat penyakit saat ini

28
Tn X Pasien mengatakan ketika bangun pagi tiba-tiba celananya sudah
basah dan tidak terasa sudah mengompol dan mengatakan
ketidakmampuan mencapai toilet pada saat berkemih. Pasien tampak
tidak antusias dan tidak termotivasi ketika melakukan aktivitas sehari-
hari di panti
d. Riwayat penyakit dahulu
Dua tahun lalu Tn X didiagnosa diabetes melitus dengan nilai gula
darah waktu itu 235 mg/dl
e. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit DM, Stroke dan
masalah pernafasan.
f. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Tn X tampak tidak antusias dan tidak termotivasi melakukan aktivitas
sehari-hari di panti
g. Pemeriksaan fisik (ROS)

a) B1 (breath) : paien mengatakan tidak sesak nafas, sasa


tidak nyeri, pernafasan pasien normal 18x/menit
b) B2 (blood) : TD 130/80 mmHg, nadi 88x/menit, suhu
36⁰C
c) B3 (brain) :-
d) B4 (bladder) : jumlah urin output 1000ml, warna kuning,
pasien terlihat banyak kencing
e) B5 (bowel) :-
f) B6 (bone) :-

2. Analisa Data

No. Data Etiologi Masalah


1. DS: Pasien mengatakan Inkontinensia urin Gangguan integritas

ketika bangun pagi tiba- kulit
Genitalia eksterna
tiba celananya sudah
basah
basah dan tidak terasa ↓
Urin mengiritasi
sudah mengompol dan
kulit
mengatakan lecet-lecet

pada kulit sekitar paha Gangguan integritas
dan pantat. kulit
DO: jumlah urin output
1000ml, nampak

29
kemerahan pada kulit
sekitar paha dan bokong
2. DS: pasien mengatakan Inkontinensia urin Gangguan pola tidur

sering bangun tidur pada
Keluar saat malam
saat malam
hari

DO: Pasien terlihat
Mengganggu
banyak kencing, terlihat
aktifitas tidur
mata pasien merah ↓
Gangguan pola tidur
3. DS: Pasien mengatakan Inkontinensia urin Ansietas

sering ngompol dan
Status kesehatan
cemas akan kondisinya
berubah

DO: pasien tampak
Ansietas
cemas dan gelisah
4. DS: Pasien mengatakan Usia lanjut Inkontinensia

ketika bangun pagi tiba-
Kehilangan fungsi
tiba celananya sudah
kognitif
basah dan tidak terasa ↓
sudah mengompol dan  fungsi otot
detrusor
mengatakan

ketidakmampuan
Inkontinensia
mencapai toilet pada
saat berkemih

DO: Output urin


1000ml, warna kuning,
pasien terlihat banyak
kencing

3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelembapan area perianal
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering terbangun karena
ikontinensia

30
c. Ansietas berhubungan dengan kondisi fisik dan adaptasi penyakit
d. Inkontinensia behubungan dengan penurunan fungsi otot detrusor

4. Intervensi

No Diagnosa Rencana Keperawatan


NOC NIC
Domain 11 Tissue integrity: skin and Pressure Management (3500)
Class 2. Physical
mucous membrane (1101) 1. Anjurkan klien untuk
Injury (00046)
Kriteria hasil: menggunakan pakaian yang
Gangguan
1. Jumlah bakteri < longgar
integritas kulit bd
2. Jaga kebersihan kulit agar tetap
100.000/ml
kelembapan area
2. Kulit perianal tetap utuh bersih dan kering
perianal 3. Tidak ada kerusakan 3. Observasi luka di sekitar paha dan
1. pantat, pantau tanda-tanda infeksi
integritas kulit
4. Suhu 37⁰ 4. Mobilisasi klien akan adanya
kemerahan
5. Ajarkan keluarga tentang luka
dan perawatan luka
6. Kolaborasi ahli gizi pemberian
diet TKTP

2. Domain 4 Kriteria hasil: Sleep Enhancement (1850)


1. Determinasi efek-efek medikasi
Class I Sleep/rest 1. jumlah jam tidur dalam batas
terhadap pola tidur
(00198) normal (7-8 jam per hari)
2. Jelaskan pentingnya tidur
2. pola tidur 8 jam per hari
Gangguan pola tidur
3. mampu menilai hal-hal yang adekuat
bd sering terbangun 3. Pertahankan aktivitas sebelum
meningkatkan tidur
karena ikontinensia tidur
4. Ciptakan lingkungan yang
nyaman

3. Domain 9 Anxiety self control (1402) Anxiety reduction (5820)


Kriteria hasil: 1. Identifikasi tingkat kecemasan
Class 2. Coping
1. Mampu mengidentifikasi dan
pasien
responses (00146)
mengungkapkan gejala 2. Dorong keluarga untuk
Ansietas bd
cemas menemani pasien
kondisi fisik dan 2. Mengungkapkan dan 3. Dengarkan keluhan pasien
4. Gunakan suasana yang tenang
adaptasi penyakit menunjukkan teknik untuk

31
mengontrol gejala cemas dan pendekatan yang
3. Tanda-tanda vital normal
meyakinkannya
5. Bantu pasien mengenal situasi
yang menimbulkan kecemasan
6. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
7. Instruksikan pasien
menggunakan teknik relaksasi
8. Memberikan aktivitas
pengalihan untuk mengurangi
kecemasan

4. Domain 2 Urinary Continence (0502) Urinary Incontinence care (1610)


1. Pantau masukan dan
Class F. Urinary Kriteria hasil:
pengeluaran, pastikan klien
Continence (0502) 1. Inkontinensia berkurang
mendapat masukan cairan
Inkontinensia /hilang
2. Klien dapat menjelaskan 2000ml, kecuali harus dibatasi
behubungan dengan
2. Pantau eliminasi urin termasuk
penyebab inkontinensia dan
penurunan fungsi
frekuensi, konsistensi, bau,
penatalaksanaannya
otot detrusor
3. Lingkungan yang nyaman volume, dan warna
3. Bersihkan daerah kulit kelamin
untuk pasien melakukan buang
secara berkala
air kecil dapat dipertahankan
4. Batasi konsumsi minuman yng
dapat mengiritasi kandung
kemih, seperti cola, kopi, teh,
dan coklat
5. Modifikasi lingkungan dan
pakaian yang nyaman untuk
menyediakan akses mudah
pasien ke toilet
6. Tawarkan pemakaian
pampers/diapers
7. Kolaborasi dengan dokter dalam
mengkaji efek medikasi dan
tentukan kemungkinan
perubahan obat, dosis/jadwal

32
pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi
inkontinensia.

BAB IV

33
KESIMPULAN

Inkontinensia Urin merupakan salah satu keluhan utama pada penderita


lanjut usia. Terjadinya inkontinensia urin ini dilatar belakangi oleh bebrapa hal
yang terjadi yang kemudian akan menyebabkan inkontinensia terjadi. Diantara hal
tersebut adalah faktor degeneratif yangdapat terjadi perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih. Gejala yang timbul dapat diketahui jika seseorang mengalami
tekanan intraabdominal, kontraksi otot kemih yang tidak terkendali, tekanan urin
dikandung kemih berlebih, ada tanda stress yang mengawali proses berkemih.
Inkontinensia urin mempunyai klasifikasi yaitu, stress incontinence, urge
incontinence, overflow incontinence, reflex incontinence dan fuctional
incontinence. Perubahan yang dialami oleh penderita ini akan memberikan
masalah yang serius, masalah yang muncul dapat dimasukkan dalam kategori
masalah keperawatan yaitu gangguan integritas kulit, ansietas, inkontinensia
stress, gangguan pola tidur. Masalah keperawatan tersebut harus mendapatkan
penanganan yang lebih lanjut. Apabila tidak segera untuk ditangani akan
memberikan dampak komplikasi yang dapat menggangu status fungsional
kehidupan penderita. Diantara komplikasi tersebut adalah, dampak emosional,
pengaruh spesifik, gangguan rasa nyaman. Prognosis dari inkontinensia urin
bergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi tipe
inkontinensia, usia klien, jumlah faktor penyebab, dan respon klien terhadap
pengobatan yang telah diberikan

34
NEUROGENIC BLADDER

35
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah Neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis
spesifik ataupun menunjukkan etiologinya, melainkan lebih
menunjukkan suatu gangguan fungsi urologi akibat kelainan
neurologis. Fungsi kandung kemih normal memerlukan aktivitas
yang terintegrasi antara sistem saraf otonomi dan somatik. Jaras neural
yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari
lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab
neurogenik dari gangguan vesica urinaria dapat diakibatkan oleh lesi pada
berbagai derajat. Banyak penyebab yang mendasari timbulnya Neurogenic
bladder sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum
diagnosis ditegakkan (Peter,2012).

Prevalensi dan perjalanan penyakit Neurogenik Bladder pada tahun


2004, diperkirakan bahwa 247.000 orang Amerika hidup dengan cedera
sumsum tulang belakang. Perkiraan insidence dari cedera tulang belakang
bervariasi dari 21,2 per juta penduduk menjadi 60 per juta, sekitar 85%
dari cedera ini mempengaruhi segmen tulang belakang terletak di atas
vertebra toraks kedua belas dan lesi ini biasanya menghasilkan refleks
inkotinensia urin. Reflex inkontinensia urin juga dapat terjadi antara
orang-orang dengan penyakit dengan gangguan intervetebral, stenosis
tulang belakang, dan spondylosis serviks. Th eprevalence kondisi ini tidak
diketahui, tapi kejadian tahunan intervensi bedah untuk masalah ini telah
diperkirakan 52,3 per 100.000 penduduk. (Dorothy,2006)

Neurogenik bladder berkisar antara kurang berfugsi hingga


overaktivitas, tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter
urinarius mungkin terpengaruhi, menyebabkan spincter menjadi kurang
berfungsi atau overaktivitas dan kehilangan koordinasi dengan fungsi
kandung kemih. Terapi yang cocok ditentukan dari diagnosis yang tepat
dengan perawatan medis yang bagus dan perawatan bersama dengan

36
bermacam pemeriksaan klinis, meliputi urodinamik dan pemeriksaan
radiologi terpilih.

Neurogenik bladder akan meningkat jumlahnya pada kondisi


neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic bladder ini
telah ditemukan pada 40%-90% pasien dengan multiple sclerosis, 37%-
72% pada pasien dengan parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke
(Langsang, 2004). Diperkirakan bahwa 70%-84% pasien dengan spinal
cord injury paling tidak mempunyai gangguan di kandung kermih
(Manack,2011)

Terapi optimal untuk Neurogenik Bladder tergantung pada


evaluasi menyeluruh, diikuti terapi semua penyebab yang ada dan faktor
yang berperan. Timbulnya gejala biasanya multifaktor, dan terapi
multimodal yang meliputi konservatif dan operatif dapat diberikan.
(Dorothy,2006)

Bisa disimpulkan neurogenik bladder adalah disfungsi kandung kemih


karena kerusakan atau penyakit pada sistem saraf pusat ataupun sistem
saraf perifer. Pada kandung kemih neurogenik terjadi gangguan pengisian
dan pengosongan urin sehingga timbul gangguan miksi yang disebut
inkontinensia urin dan apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan
kerusakan pada ginjal. Kelainan tersebut dapat merupakan bagian kelainan
kongenital ataupun didapat.

Oleh karena itu, dibutuhkan tenaga keperawatan yang professional


dalam memberikan asuhan keperawatan di rumah sakit pada pasien
maupun keluarga pasien.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi neurogenic bladder?
2. Apa etiologi neurogenic bladder?
3. Apa klasifikasi neurogenic bladder?
4. Bagaimana patofisiologi neurogenic bladder?
5. Apa manifestasi klinik neurogenic bladder?

37
6. Bagaimana penatalaksanaan neurogenic bladder?
1.3 Tujuan
1.3.1 TujuanUmum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan
Perkemihan I diharapkan mahasiswa semester 6 mampu menjelaskan
tentang konsep penyakit neurogenic bladder serta pendekatan asuhan
keperawatannya.

1.3.2 TujuanKhusus
1. Mengidentifikasi anatomi fisiologi dari kandung kemih.
2. Menjelaskan definisi dari Neurogenic Bladder.
3. Mengidentifikasi definisi dari neurogenic bladder.
4. Mengidentifikasi etiologi neurogenic bladder.
5. Mengidentifikasi manifestasi klinis neurogenic bladder.
6. Menguraikan patofisiologi neurogenic bladder.
7. Mengidentifikasi penatalaksaan serta pencegahan pada neurogenic
bladder.
8. Mengidentifikasi komplikasi dari neurogenic bladder.
9. Mengidentifikasi prognosis dari neurogenic bladder

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologis


1. Kandung Kemih (Bladder)

38
Dasar dari neuroanatomy dan neurofisiologis dari saluran kencing atas
dan saluran kencing bawah harus dimengerti sebelum menentukan
management kasus kandung kemih. Fungsi normal berkemih pada kantung
bladder adalah pengisian bladder, penyimpanan urin, dan pengosongan
bladder (A.J. Wein, 2007).
Ginjal menerima setidaknya 25% dari curah jantung, memfilter 180 L
darah perharinya dan mengekskresikann urin 1 L perharinya. Filter urin
akan melewati ureter dan akan disimpan di dalam kandung empedu.
Panjang ureter kurang lebih 25-30 cm. Terdapat uretrovesikular yang
merupakan katup untuk mencegah reflux urine dari kandung kemih
menuju ke ginjal.
Kandung kemih memiliki kapasitas normal 400-500 cc higga tekanan
di dalam bladder 4060 mmHg, secara anatomi kandung empedu terrsusun
dari otot destrusor yaitu oto polos. Pada masa kanak-kanak , kandung
kemih ditemukan dalam perut. Pada masa remaja dan sampai dewasa
,kandung kemih posisinya dalam panggul sejati (Smeltzer & Bare, 2004).

Gambar 1. Lokasi Bladder Gambar 2. Lokasi


pada wanita Blader pada lelaki

Gambar 3. Female Bladder

39
Gambar 4. Male Bladder
2. Struktur otot destrusor dan sfingter
Kandung kemih tersusun atas otot polos dan apabila berkontraksi
menyebabkan pengosongan kandung kemih. Kandung kemih memiliki 2
spincter uretra yaitu, spincter internal (otot polos) terdapat pada leher dan
bagian atas kandung kemih dan juga spincter external (otot lurik) yang
volunter terdapat di membran uretra pada wanita, dan pada lelaki terletak
pada distal dari prostat.
Spincter internal mencegah terjadinya ejakulasi retrograde dan
spincter external akan berelaksasi pada awal proses miksi dan berada di
bawah kendali volunter oleh sistem saraf dan dapat mencegah miksi secara
sadar.

Gambar 4. Struktur Bladder

3. Persyarafan dari vesica urinaria dan sfingter (Faiz and


Moffat, 2004; Snell, 2006; Waxman, 2010)

a. Persarafan parasimpatis (Nervus Pelvikus)


Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal
dari serabut preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada
kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Serabut
preganglioner keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior

40
dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis di
pelvis.
Serabut saraf sensorik akan mendeteksi peregangan dalam kandung
kemih, sinyal regangan ini akan berperan utama untuk memicu refleks
pengosonga kandung kemih.
Serabut saraf motorik merupakan serabut saraf parasimpatis dan
berakhir di sel ganglion yag terletak dikandung kemih kemudian akan
mempersarafi otot destrusor untuk pengosongan kandung kemih.
b. Persarafan Simpatis (Nervus Hipogastrik dan rantai simpatis sakral)
Kandung kemih juga mendapatkan persarafan simpatis dari
rangakain simpatis nervus hipogastrik, berhungan dengansegmen L2
medula spinalis. Serabut simpatis ini merangsang pembuluh darah dan
memberi sedikit efek terhadap kontraksi kandung kemih. (Guyton,
2012)
Saat ejakulasi pada seorang pria, aktivasi saraf simpatis akan
menyebabkan penutupan dari leher kandung kemih untuk mencegah
ejakulasi retrogade atau masuknya cairan seminalis ke vesica urinaria
(Japardi, 2002)
c. Persarafan Somatik (Nervus Pudendus)
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari
traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz
menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada
S2, S3, dan S4.

Serabut motorik skeletal yang dibawa melalui saraf pudendus ke


sfingter eksterna kandung kemih. Saraf ini merupakan serabut saraf
somatic yang mempersarafi dan mengatur otot lurik volunter pada sfinter
tersebut.
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari
traktur urinarius yang mendapat persarafan somatis, tidak hanya
menginnervasi sfingter uretra akan tetapi sfingter anal juga terinnervasi
oleh saraf ini./

d. Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah

41
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir
pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus.
Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau
calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat mengubah
eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf
sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer
(simpatis torakolumbal, parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung
serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan
membawa sensasi dari distensi vesica urinaria tampaknya merupakan hal
yang terpenting pada fungsi vesica urinaria yang normal. Akson aferen
terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut A bermyelin
kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini menyampaikan
beberapa sensasi dari distensi vesica urinaria dan nyeri.

4. Hubungan dengan susunan saraf pusat (Faiz and Moffat, 2004; Snell,2006)

a. Pusat Miksi Pons

Pons merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-


bulbospinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan
bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana
refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan
pengisian atau pengosongan vesica urinaria. Pusat miksi pons berperan sebagai
pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah
lain di otak.

b. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial


dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi,
inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine.
Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya vesica urinaria yang
hiperrefleksi.

42
3. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter vesica urinaria (Guyton, 2007;
Sherwood, 2001)

a. Pengisian urine

Refleks berkemih terpicu ketika reseptor regang di dalam dinding kandung


kemih terangsang, semakin besar tegangan semakin besar tingkat pengaktifan
reseptor. Impuls berjalan ke medula spinalis dan akhirnya merangsang saraf
parasimpatis dan menghambat neuron motorik ke sfingter eksternus.
Stimulasi saraf parasimpatis kandung kemih menyebabkan kandung kemih
ini berkontraksi. Kontraksinya kandung kemih akan secara mekanis membuka
sfingter internus. Secara bersamaan sfingter eksternus berelaksasi (membuka)
karena neuron motoriknya dihambat. Kini kedua sfingter terbuka dan urin
terdorong melalui uretra oleh gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi kandung
kemih.

b. Kontrol Volunter Berkemih


Selain memicu refleks berkemih, pengisian kandung kemih juga
menyadarkan yang bersangkutan akan keinginan untuk berkemih. Persepsi
penuhnya kandung kemih muncul sebelum sfingter eksternus relaksasi.
Akibatnya kontrol volunter berkemih yang dipelajari selama toilet training
pada masa anak-anak dapat mengalahkan refleks berkemih sehingga
pengosongan kandung kemih dapat berlangsung sesuai keinginan yang
bersangkutan
Jika waktu refleks miksi tersebut dinilai kurang sesuai untuk berkemih,
maka yang bersangkutan dapat dengan sengaja mencegah pengosongan
kandung kemih dengan mengencangkan sfingter eksternus dan diafragma
pelvis. Impuls eksitaktorik volunter dari korteks serebri mengalahkan sinyal
inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron motorik yang terlibat
sehingga otot sfingter eksternus tetap berkontraksi dan tidak ada urin yang
keluar.
Berkemih tidak dapat ditahan selamanya karena kandung kemih akan terus
terisi maka sinyal refleks dari reseptor regang meningkat seiring waktu,
akhirnya sinyal inhibitorik refleks ke neuron motorik sfingter eksternus
menjadi sedemikian kuat dan tidak dapat diatasi lagi oleh sinyal eksitaktorik

43
volunter sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara tak terkontrol
mengosongkan isinya.

2.2 Definisi dan Klasifikasi


Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat
kerusakan sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian
berkemih. Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi
dengan baik untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih
terlalu aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks
yang tak terkendali (overactive bladder) (Rackley, 2009; Waxman, 2010)

Dengan menggunakan sistem ini maka neurogenic bladder


diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Lesi diatas pusat miksi pons, contoh: stroke atau tumor otak
2. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis, contoh:
trauma medula spinalis, atau multiple sclerosis medula spinalis
3. Lesi di sacral medula spinalis
4. Lesi di sacral medula spinalis dan kerusakan nervus pudendus
5. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Neurogenic Bladder juga dikelompokkan dalam 3 besar oleh Saputra
(2002), yaitu:
1. Neurogenic Bladder Spastik: lesi diatas pusat miksi di sakral
medula spinalis
2. Neurogenik Bladder Flassid: Lesi dibawah pusat miksi di sakral
medula spinalis
3. Neurogenik Bladder Campuran: Lesi terdapat di atas dan di bawah
pusat miksi di sakral medula spinalis
Berikut klasifikasi neurogenic bladder menurut Carpenitto (2009):
a. Neurogenic Bladder otonom
Merupakan hasil dari kerusakandaripusatkandung kemihdi sumsum
tulang belakang sacralpada atau di bawahT12-L1. klien merasa ada
sensasi sadar untuk membatalkan dan tidak memiliki refleks
berkemih.
b. Neurogenic Bladder reflex
Kerusakan antara sumsum tulang belakang sakral dan korteks
serebral , di atas T12 - L1 . Klien tidak memiliki sensasi untuk

44
membatalkan dan tidak bisa membatalkan atas keinginannya . The
constractions detrusor unhibited mungkin buruk dipertahankan
dengan pengosongan kandung kemih tidak efisien . Jika refles
berkemih busur utuh , refleks berkemih dapat terjadi . Jika ada
detrusor - spincter dyssynergy , akan ada peningkatan tekanan
kandung kemih dan urine sisa yang tinggi .
c. Neurogenic Bladder kelumpuhan motorik
Terjadi ketika ada kerusakan pada sel-sel tanduk anterior dari akar
ventral S2 - S4 dan kerusakan reflek berkemih . Klien memiliki
sensasi utuh , tetapi mengalami hilangnya sebagian atau seluruh
fungsi motorik. Kapasitas kandung kemih dapat meningkat dengan
urin residual yang besar . kemuungkinan ada inkontinensia
overflow.
d. Neurogenic Bladder kelumpuhansensorik
Terjadi ketika akar dorsal S2-S4 atau jalur sensorik ke korteks
serebral mengalami kerusakan. Klien kehilangan sensasi, tetapi
dapat mengontrol kapasitas kandung kemih.
e. Neurogenic Bladder uninhibitited
hasil dari kerusakan pada kandung kemih pusat di korteks serebral .
Klien memiliki sensasi terbatas terhadap distensi kandung kemih ,
tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menghambat buang air
kecil . Urgensi yang merupakan hasil dari waktu yang singkat
antara sensasi yang terbatas untuk membatalkan dan kandung
kemih berkontraksi tanpa hambatan . Kandung kemih biasanya
dalam kondisi kosong sepenuhnya.

2.3 Etiologi
Berdasarkan penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :
a. Struktur uretra kongenital
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars
membranase, sifat striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul
terpisah atau bersamaan dengan anomalia sakuran kemih yang lain.
b. Struktur uretra traumatik
Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena
instrumen, infeksi, spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh
struktur sambungan atau oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya

45
terjadi pada daerah kemaluan dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul
striktur traumatik dalam waktu 1 bulan. Striktur akibat trauma lebih
progresif daripada striktur akibat infeksi. Pada ruftur ini ditemukan adanya
hematuria gross.
c. Struktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih
lambat daripada striktur traumatik

2.4 Manifestasi Klinis


1.Pancaran air kencing lemah

2. Pancaran air kencing bercabang

Pada pemeriksaan sangat penting untuk ditanyakan bagaimana pancaran


urinnya. Normalnya, pancaran urin jauh dan diameternya besar. Tapi kalau
terjadi penyempitan karena striktur, maka pancarannya akan jadi turbulen.

3. Frekuensi

Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal, yaitu lebih dari
tujuh kali. Apabila sering krencing di malam hari disebut nocturia.
Dikatakan nocturia apabila di malam hari, kencing lebih dari satu kali, dan
keinginan kencingnya itu sampai membangunkannya dari tidur sehingga
mengganggu tidurnya.

4. Overflow incontinence (inkontinensia paradoxal)

Terjadi karena meningkatnya tekanan di vesica akibat penumpukan urin


yang terus menerus. Tekanan di vesica menjadi lebih tinggi daripada
tekanan di uretra. Akibatnya urin dapat keluar sendiri tanpa terkontrol. Jadi
disini terlihat adanya perbedaan antara overflow inkontinensia
(inkontinesia paradoksal) dengan flow incontinentia. Pada flow
incontinenntia, misalnya akibat paralisis musculus spshincter urtetra, urin
keluar tanpa adanya keinginan untuk kencing. Kalau pada overflow
incontinence, pasien merasa ingin kencing (karena vesicanya penuh),

46
namun urin keluar tanpa bisa dikontrol. Itulah sebabnya disebut
inkontinensia paradoxal.

5. Dysuria dan hematuria

6. Keadaan umum pasien baik

2.5 Pemeriksaan Diagostik


Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
1. Pemeriksaan urodinamika : terdiri dari sistometri, uroflometri, profil
tekanan uretra dan elektromielografi sfingter; mengevaluasi kerja kandung
kemih untuk penyimpanan urin, pengosongan kandung kemih dan
kecepatan aliran urin keluar darikandung kemih pada saat buang air kecil.
2. Retrograde urethroghraphy : mengungkapkan keberadaan striktur dan
divertikulum.
3. Pemeriksaan aliran urine : berkurangnya atau terganggunya aliran urine.
(Saputra, 2012)

Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan tergantung pada kondisi


seseorang. Penelitian yang lebih rinci dari saluran kemih ( misalnya,
cystography, cystoscopy, dan cystometrography) dapat dilakukan untuk
memeriksa fungsi kandung kemih atau untuk membantu menentukan
durasi dan penyebab kandung kemih neurogenik. (Shenot, 2012)

47
2.6 Penatalaksanaan dan Pengobatan
Penatalaksanaan serta pengobatan yang tepat ditentukan oleh gejala,
jenis, dan tingkat kerusakan saraf, dan mendiskusikannya dengan klien dapat
membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan kandung kemih.
Prioritas tata laksana kandung kemih neurogenik adalah pemeliharaan fungsi
ginjal. Tata laksananya meliputi pengosongan kandung kemih dengan baik,
penurunan tekanan intravesika, pencegahan infeksi saluran kemih, serta
penanganan inkontinensia, yang dilakukan dengan terapi medikamentosa atau
tindakan urologik antara lain clean intermittent catheterization (CIC),
sistoplastik, atau pemasangan sfingter artifisial. (Febriyanto 2012)

Pada sepertiga anak dengan kelainan mielomeningokel didapatkan


otot detrusor yang arefleksia dan sebagian besar disertai dis-sinergi kandung
kemih dan sfingter. Hal ini menyebabkan anak tersebut rentan mengalami
hidronefrosis sehingga pilihan terapi pada kasus ini adalah kombinasi antara
CIC dan pemberian antikolinergik oral. Pada Gambar, disajikan jenis kandung
kemih neurogenik dan tata laksananya. (Febriyanto 2012)

Pada sepertiga anak dengan kelainan mielomeningokel didapatkan


otot detrusor yang arefleksia dan sebagian besar disertai dis-sinergi kandung
kemih dan sfingter. Hal ini menyebabkan anak tersebut rentan mengalami
hidronefrosis sehingga pilihan terapi pada kasus ini adalah kombinasi antara
CIC dan pemberian antikolinergik oral. Pada Gambar, disajikan jenis kandung
kemih neurogenik dan tata laksananya. (Febriyanto 2012)

48
a. Clean intermittent catheterization

Pilihan tata laksana awal penanganan kandung kemih neurogenik


adalah dengan cara clean intermittent catheterization (CIC). Tindakan
tersebut bertujuan untuk mengosongkan kandung kemih secara adekuat
dan aman. Keluarga dan pasien harus memahami bahwa kelainan terjadi
pada kandung kemih dan sfingternya, alasan penggunaan CIC, dan mereka
harus belajar cara melakukan kateterisasi yang benar. Beberapa institusi
menyarankan penggunaan CIC dini pada bayi dengan kandung kemih
neurogenik yang disertai disfungsi sfingter karena untuk memulai pada
usia yang lebih dewasa akan lebih sulit. Tindakan tersebut juga bertujuan
untuk meningkatkan kepatuhan dan membantu keluarga agar lebih siap
dalam membantu anak menghadapi penyakitnya. (Febriyanto 2012)

Beberapa faktor yang mempengaruhi frekuensi tindakan CIC


perhari, di antaranya asupan cairan perhari, kapasitas kandung kemih, dan
tekanan intra-vesika pada saat pengisian dan pengosongan kandung kemih.
Biasanya, pada bayi CIC dilakukan enam kali sehari sedangkan pada anak
usia sekolah dilakukan sebanyak lima kali. Risiko infeksi akibat tindakan
CIC rendah asalkan pengosongan kandung kemih tercapai sempurna.
Pencegahan terjadinya striktur terutama pada anak lelaki dapat dikurangi
dengan penggunaan lubrikan dan meminimalisir manipulasi saat
pemasangan kateter. Konstipasi merupakan penyulit proses pengisian dan
pengosongan kandung kemih sehingga perlu diatasi untuk menunjang
keberhasilan terapi. Tindakan CIC juga mengurangi angka dilakukannya
augmentasi pada leher kandung kemih (level of evidence: 2, rekomendasi
derajat B). (Febriyanto 2012)

49
b. Medikamentosa

Terapi medikamentosa yang sering digunakan adalah oksibutinin,


tolterodin, trospium, dan propiverin. Sebagian besar studi yang dilakukan
terhadap oksibutinin menunjukkan hasil memuaskan, meskipun
validitasnya masih rendah karena tidak terdapat kelompok kontrol (level
of evidence: 3, Grade B recommendation). Oksibutinin lebih banyak
diberikan secara intra vesika dibandingkan per oral karena lebih dapat
ditolerir. Dosisnya antara 0,3 – 0,6 mg/kgbb perhari terbagi dalam 2 – 3
dosis, yang dapat ditingkatkan hingga 0,9 mg/kgbb perhari. Terapi
medikamentosa lainnya adalah obat penghambat reseptor alfa-adrenergik
yang juga memberikan respons yang baik, namun penelitian mengenai
penggunaan obat itu belum menggunakan kelompok kontrol dan belum
ada laporan pemantauan jangka panjang (level of evidence: 4, grade C
recommendation). Angka keberhasilan pengobatan kombinasi oksibutinin
dan CIC cukup tinggi yakni sebesar 90%.(Febriyanto 2012)

Antidepresan seperti amitryptiline (Elavil) juga membantu


mengurangi kontraksi dengan relaksasi otot polos kandung kemih.
Estrogen (Premarin) dapat digunakan oleh wanita pasca-menopause untuk
mengobati ringan sampai sedang inkontinensia stres. Alpha- adrenergic
blocker: terazosin (hytrin), doksazosin (cardura). Antikolinergic :
memperbaiki fungsi penampungan air kemih olehkandung kemih. Misal,
darifenasin (enablex), hiosiamin (levbid). (Febriyanto 2012)

Pada kandung kemih neurogenik yang refrakter terhadap


antikolinergik, ada pengobatan alternatif yaitu injeksi toksin Botulinum.
Pada pasien dewasa terapi ini memberikan hasil yang menjanjikan namun
pada anak masih jarang dilakukan. Sejauh ini penelitian yang ada bersifat
terbuka (open trials) dan kurang menggunakan kelompok kontrol. Toksin
Botulinum disuntikkan langsung pada otot detrusor dan hasilnya aman
serta efektif pada kelompok dewasa. Pada orang dewasa toksin Botulinum
dapat diberikan berulangkali namun pada anak belum ada penelitian

50
mengenai frekuensi pemberian yang aman dan efektif (level of evidence:
3) (Febriyanto 2012)

c. Operasi

Aksesoris buatan seperti sfingter buatan terdiri dari manset yang


sesuai di sekitar leher kandung kemih, balon tekanan yang mengatur, dan
pompa yang mengembang manset. Balon ditempatkan di bawah otot perut.
Pompa ini ditempatkan di labia pada wanita dan dalam skrotum untuk pria.
Mengaktifkan pompa mengirimkan cairan dari manset untuk balon, yang
memungkinkan otot sphincter untuk bersantai dan urin untuk lulus. Manset
otomatis mengembang kembali dalam tiga sampai lima menit. Stent uretra,
yang mirip dengan kateter internal dapat dimasukkan melalui otot sfingter
untuk memperluas dan memungkinkan urin untuk dikeringkan.
(Febriyanto 2012)

Kegagalan terapi medikamentosa dalam mengembalikan fungsi


kandung kemih merupakan indikasi tindakan bedah. Ada beberapa teknik
pembedahan yang bergantung pada permasalahan yang dihadapi. Bila
masalahnya terletak pada kontraksi otot detrusor lemah dan kapasitas
kandung kemih yang rendah pasca terapi medikamentosa, maka tindakan
pembedahan yang dilakukan adalah menambah kapasitas kandung kemih
dengan sistoplasti. Tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan usus
halus yang kemudian digabungkan dengan kandung kemih. Syarat
dilakukannya tindakan ini adalah fungsi sfingter harus baik dan uretra
yang paten untuk tindakan kateterisasi. (Febriyanto 2012)

Koreksi terhadap jalur keluar kandung kemih dilakukan jika


detrusor dan sfingter memiliki aktivitas yang lemah. Ada beberapa teknik
tindakan untuk meningkatkan tahanan pada sfingter namun hal ini jarang
dikerjakan oleh ahli bedah. Mereka lebih memilih untuk tetap melakukan
tindakan konservatif dan membiarkan leher kandung kemih dan uretra
posterior dalam keadaan intak. Pemasangan stoma menetap dilakukan jika
tindakan bedah pada jalan keluar kandung kemih gagal. Hal ini terutama

51
dilakukan pada penderita spina bifida yang tergantung dengan kursi roda
yang memiliki kesulitan dalam melakukan kateterisasi dan tergantung
dengan orang lain. (Febriyanto 2012)

d. Pemantauan

Pasien kandung kemih neurogenik pada dasarnya membutuhkan


pemantauan jangka panjang terutama pemantauan fungsi ginjal.
Pengawasan ditekankan pada gejala kelainan saluran kemih atas, fungsi
ginjal, dan kandung kemih. Pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan secara
berkala, tes urodinamik perlu diulang setiap tahun. Pemeriksaan pencitraan
dilakukan untuk mendeteksi hidronefrosis atau refluks vesiko ureter. Pada
Tabel 3 ditampilkan pemeriksaan serta waktu untuk melakukan evaluasi
terhadap terapi yang telah diberikan. (Febriyanto 2012)

e. Managemen medis (Saputra,2012)

Terapi manuver valsava pada pemasangan kateter urin yang


intermitten. Seperti manuver crede, produk inkontinensia, alat oklusi
ureter, bladder training (untuk memperbaiki fungsi kandung kemih)

Terapi fisik-psikologis. Terapi ini disebut juga dengan berkemih


waktunya, menggabungkan kekuatan kemauan dan latihan. Cara yang
dapat dilakukan yaitu dengan membuat catatan jumlah dan waktu minum
cairan, berapa kali buang air kecil setiap hari, dan apakah pernah bocor
urin harus dituliskan. Catatan ini (voiding diary) dapat membantu

52
menentukan waktu hari Anda harus dekat kamar mandi, dan saat-saat
harus berusaha untuk buang air kecil. Hal ini akan melatih kontrol buang
air kecil.

Terapi listrik-stimulasi. Penggunaan elektroda dan stimulator kecil


ditempatkan di dekat saraf tertentu selama prosedur bedah minor.
Stimulator ditempatkan di bawah kulit dan memberikan impuls listrik
seperti yang disampaikanoleh saraf yang normal. Perangkat ini telah
disetujui oleh US Food and Drug Administration untuk mengobati
inkontinensia dan retensi urin pada klien yang terapi lain gagal.

f. Monitoring
Tanda vital dan asupan atau keluaran cairan.

g. Diet
menghindari stimulant seperti makanan yang berbumbu pedas, kuat
rempah-rempah (kari, cabai, dan cabai rawit) dan panas berkontribusi
untuk inkontinensia. Buah-buahan yang kaya kalium dapat memperburuk
dorongan inkontinensia seperti anggur dan jeruk. Selain itu coklat yang
mengandung kafein harus dihindari karena memperburuk gejala iritasi
kandung kemih. Kafein adalah diuretik alami, dan memiliki efek rangsang
langsung pada otot polos kandung kemih. Penelitian telah menunjukkan
bahwa minum minuman berkarbonasi, jeruk buah minuman, dan jus asam
dapat memperburuk berkemih iritasi atau mendesak gejala. Konsumsi
pemanis buatan juga telah berteori untuk berkontribusi inkontinensia .
Begitu pula asupan cairan harus yang terkendali sesuai kebutuhan setiap
tubuh manusia.

2.7 Patofisiologis dan WOC


Neurogenic Bladder dapat terjadi akibat dari kerusakan saraf yang
terjadi pada sistem persarafan manusia. Sistem saraf pada pada manusia
terdapat sistem saraf pusat dan tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan
sumsum tulang belakang (saraf parasimpatis dan simpatis) sedangkan sistem
saraf perifer terdiri atas sistem saraf somatik dan otonom.

53
Proses berkemih membutuhkan sistem persarafan yang cukup
komplek, pada sistem saraf pusat terdapat Pusat miksi Pons yang mengatur
miksi melalui refleks pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kemih
dan daerah kortikal serta daerah subkortikal di lobus frontal otak yang
memberikan rangsang yang akan berpengaruh pada sfingter eksternal uretra.
Sedangkan pada sistem persarafan perifer terdapat persarafan otonom yang
akan mengatur refleks berkemih secara volunter.

Lebih spesifik lagi, sistem saraf pusat yang mengatur reflek berkemih
terdapat pada saraf parasimpatik dan saraf simpatik. Pada saraf parasimpatik
terdapat pada kolumna medula spinalis antara S2 dan S4, terdapat 2 bentuk
persarafan yaitu serabut saraf sensorik dan serabut saraf motorik, pada serabut
sensorik akan mendeteksi peregangan kandung kemih sehingga akan memicu
refleks pengosongan kandung kemih, sedangkan pada serabut motorik akan
memicu kontraksi otot detrusor pada kandung kemih. Pada saraf simpatik
terletak pada L2 medula spinalis, serabut saraf simpatis ini merangsang
pembuluh darah dan memberi sedikit efek terhadap kontraksi kandung kemih.

Sehingga apabila terjadi cidera atau lesi pada lobus frontal otak, pons,
medula spinalis dan saraf perifer maka akan mengakibatkan gangguang
persarafan pada proses miksi sehingga menimbulkan gangguan perkemihan
yang kita sebut Neurogenic Bladder. Sebuah kondisis disfungsi menghasilkan
gejala yang berbeda, berkisar antara retensi urin akut hingga overaktivitas
kandung kemih atau kombinasi keduanya.

Karena terdapat beberpa daerah atau organ yang terlibat dalam


persarafan proses bermiksi maka ditentukan klasifikasi yang berdasarkan
pada letak cidera atau lesi yang akan membantu menuntun terapis untuk
memberikan penatalaksanan, klasifikasinya dan patofisiologinya adalah
sebagai berikut:

1. Lesi di otak

Contoh penyebab lesi otak adalah, stroke, tumor otak, parkinson,


hidrosepahlus, cerebal palsy, dan Shy-Drager syndrome (progressive dan

54
degeneratif system). Lesi otak diatas pons merusak pusat kontrol dan
menyebabkan hilangnya kontrol ekskresi secara keseluruhan akan tetapi refleks
ekskresi masih tetap utuh atau ada. Klien memiliki sensasi terbatas terhadap
distensi kandung kemih, tetapi tidakmemiliki kemampuan untuk menghambat
buang air kecil. Individu hanya mengeluhkan ketidakmampuan mengendalikan
ekskresi yang parah karena pengosongan kandung kemih yang terlalu cepat
dengan jumlah urin yang sedikit. Biasanya, orang dengan masalah lesi otak
akan berlari cepat ke kamar mandi akan tetapi urin keluar sebelum mereka
mencapai kamar mandi.

2. Lesi di antara pons hingga sakral medula spinalis (Upper Motor Neuron)

Contoh penyebab lesi diantara pons hingga sakral (di atas T12 – L1) ini
adalah spinal cord injury, multiple sclerosis, myelomeningocele / spina bifida.
Lesi di Upper Motor Neuron ini memiliki karakteristik Disinergia Detrussor –
Spingter (DDS), pada keadaan fisiologis miksi, sfingter eksterna akan
berelaksasi mendahului kontraksi destrusor, akan tetapi pada DDS ini terjadi
kontraksi bersamaan antara sfingter eksterna dan otot detrusor, hail ini
mengakibatkan miksi terhambat sehingga meningkatkan tekanan intravesikal
dan dapat mengakibatkan vesikoureteral reflux yang dapat mengakibatkan
kerusakan ginjal.

Pengosongan kandung kemih sangat cepat dan sering begitu juga


kontraksi sfingter eksterna yang bersamaan dengan kontraksi otot detrussor
mengakibatkan klien merakan ingin berkemih akan tetapi urin yang
dikeluarkan sangat sedikit, karena kandung kemih ingin mengeluarkan urinnya
akan tetapi kontraksinya sfingter eksterna membuat terhalangnya urin keluar
sehingga pengosongan kandung kemih tidak efisien dan tidak menimbulkan
kepuasaan karena terdapat sisa urin yang tinggi pada kandung kemih.

3. Lesi di akar ventral di S2 – S4 (the Mixed Type A Bladder)

55
Lesi di tempat ini mengakibatkan kelumpuhan motorik, klien memiliki
sensasi utuh untuk berkemih akan tetapi mengalami hilangnya sebagian atau
seluruhnya fungsi motorik yaitu klien tidak bisa mengeluarkan urinnya
sehingga meninmbulkan retensi urin. Adanya retensi urin ini akan
mengakibatkan volume urin residual meingkat pada kandung kemih sehingga
memungkinkan terjadinya inkontinensia overflow

4. Lesi di akar dorsal di S2 – S4 (the Mixed Type B Bladder)

Lesi ditempat ini mengakibatkan kelumpuhan sensorik, klien tidak


memiliki sensasi untuk berkemih akan tetapi fungsi motoriknya masih bagus
sehingga klien mengeluarkan urin tanpa didahului rasa ingin berkemih.. hal ini
akan menimbulkan inkontinensia urin pada umumnya.

5. Lesi di Lower Motor Neuron (dibawah T12 – L1) dan saraf perifer

Lesi di Lower Motor Neuron mengakibatkan klien merasa ada sensasi


sadar untuk membatalkan akan tetapi tidak memiliki refleks untuk berkemih
karena hilangnya sensibilitas kandung kemih. Proses miksi secara volunter juga
menghilang dan mekanisme untuk kontraksi detrusor hilang dan hal ini
mengakibatkan hipokontraktil pada kandung kemih. Compliance kandung
kemih juga hilang.

Pada saraf perifer, Diabetes melitus dan AIDS adalah 2 kondisi yang
mengakibatkan periferal neuropathy yang menyebabkan retensi urin. Penyakit
ini merusak saraf kandung kemih, distensi kandung kemih akan tetapi terasa
tidak nyeri. Pada pasien diabetes kronis akan kehilangan sensasi dari kandung
kemih

2.8 Komplikasi
Komplikasi utama kandung kemih neurogenik adalah infeksi yang
terjadi akibat stasis urin dan kateterisasi yang dilakukan kemudian. Hipertrofi
dinding kandung kemih juga terjadi dan akhirnya menimbulkan refluks
vesikouretral (kembalinya urin dari kandung kemih ke dalam ureter) dan
hidronefrosis (dilatasi struktur internal ginjal dengan meningkatnya tekanan

56
dari urin yang mengalir balik). Pada klien dengan neurogenic bladder juga
memungkinkan untuk meningkatkan resiko gangguan saluran keluar kandung
kemih (bladder outlet obstruction). (Ginsberg 2013).

Urolitiasis (batu dalam saluran kemih) dapat terjadi akibat stasis serta
infeksi kemih dan demineralisasi tulang karena tirah baring yang lama. Pada
klien dengan neurogenic bladder , jika mereka tidak diobati secara optimal
maka juga bisa menyebabkan batu buli, sepsis dan gagal ginjal Gagal ginjal
merupakan penyebab utama kematian pada pasien gangguan neurologik
vesika urinaria (Smeltzer & Bare, 2010).

2.9 Prognosis
Prognosis baik jika segera ditangani dan tidak sampai terjadi gagal
ginjal. Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen
dan kerusakan ginjal. (Patrick J. Shenot, MD,2012)

57
Gangguan serebral, Penyakit medulla spinalis, Trauma,
Gangguan metabolic, Penyakit infeksi akut, Toksisitas

WOC logam berat, Alkoholisme kronik , Penyakit kolagen,


Penyakit vascular, Herpes zoster

Neurogenic Bladder

Neurologic bladder Flasid Neurologic Bladder Spastik

Adanya lesi lower neuron Adanya lesi neuron


motorik atas

Refleks spina terganggu Memicu reaksi spontan


Menyebabkan hilangnya
dalam mengendalikan muskulus detrusor
pengontrolan saraf
mukturisi
motorik secara sadar

Penurunan tekanan Peningkatan tekanan


intravesika urinasi intravesikel

Peningkatan pengisian
Penurunan kapasitas
kandung kemih
kandung kemih

Hipertrofi kandung kemih


Kandung kemih terisi Terjadi
terus menerus pembesaran
kandung kemih Memicu adanya
trabekulasi
Retensi residual urine,
distensi dan inkontinensi
Spasme sfingter urinarius
Nyeri
Kerusakan kontraksi
muskulus detrusor Pengeluaran urine yang
spontan dan tidak
terkendali
Kandung kemih tidak bisa
kosong spontan
Urine yang dikeluarkan Perubahan pola
sedikit tapi sering eliminasi urine
Pengeluaran urine
berlebihan
Inkontinensi uine
refleks 58
Inontinensia urine
berlebihan
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN
STUDI KASUS

Tn. A 60 tahun dirawat di RSUA sejak tanggal 20 Maret 2017. Tn. A


mengeluh nyeri jika perutnya tertekan dan saat kencing. Sebelum terpasang
kateter Tn. A mengalami keluhan berkemih terus-menerus tetapi urine yang keluar
hanya sedikit. Keluarga klien mengatakan bahwa Tn. A memiliki riwayat penyakit
stroke. Pemeriksaan TTV pasien di temukan adanya distensi kandung kemih dan
suara dullness ketika dilakukan perkusi, suhu 39°C, nadi 96x/menit, tekanan darah
120/80 mmHg, RR 23x/menit.

A. Pengkajian
1) Identitas
a) Nama : Tn A
b) Jenis kelamin : Laki-laki
c) Umur : 60 tahun
d) Agama : Islam
e) Pendidikan : SMA
f) Pekerjaan : Petani
g) Alamat : Surabaya
h) Tanggal masuk : 20 Maret 2017 jam 12.00 WIB
2) Riwayat Kesehatan
a) Alasan masuk rumah sakit
Sejak terpeleset di kamar mandi, Tn A mengeluh sering kencing
namun keluarnya sedikit-sedikit.
b) Keluhan Utama
Merasa sakit di perut bagian bawah ketika kencing dan ketika ditekan.
c) Riwayat penyakit sekarang
Seminggu sebelum MRS, klien jatuh terpeleset di kamar mandi. Klien
duduk terjatuh. Beberapa hari setelahnya klien kencing terus-menerus
namun keluar sedikit-sedikit disertai rasa sakit di perut bawah.
d) Riwayat penyakit dahulu
Stroke
e) Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal seperti klien.
3) Pemeriksaan Fisik
a) Status kesehatan umum
Kesadaran : compos mentis
Suhu : 39°C
Nadi : 90/menit
Tekanan Darah : 120/80 mm/Hg

59
RR : 23x/menit
b) Review of System
 B1 (Breathing)
Respirasi rate klien 23x/menit
 B2 (Blood)
Tekanan darah klien 120/80 mmHg
 B3 (Brain)
GCS = 456
 B4 (Bladder)
Kandung kemih penuh, sering berkemih tapi sedikit, distensi bladder.
Jumlah urin 500 ml/hari.
 B5 (Bowel)
Tidak ditemukan masalah.
 B6 (Bone)
Tidak ditemukan masalah.
4) Pemeriksaan Penunjang
Belum dilakukan
5) Pemeriksaan Laboraturium
Belum dilakukan

No. Data Etiologi Masalah keperawatan

1. DS: klien mengeluh Neurologic bladder spastic Nyeri akut


nyeri perut bagian
bawah ketika kencing

DO: Adanya lesi neuron motorik


atas
P: nyeri kandung
kemih

Q: nyeri seperti Memicu reaksi spontan


tertusuk jarum muskulus detrusor

R: perut bagian
bawah (kandung Peningkatan tekanan urina
kemih) intravesikel
S: 7

T: ketika ditekan Peningkatan pengisian


kandung kemih

60
Terjadi pembesaran kandung
kemih

Nyeri

2. DS: klien mengaku Neurologic bladder spastic Inkontinensia urine


sering kencing, refleks
namun hanya sedikit

DO: pada Adanya lesi neuron motorik


pemeriksaan fisik, di atas
temukan adanya
distensi kandung
kemih dan suara Spastik
dullness ketika
dilakukan perkusi
Urge

Memicu reaksi spontan


muskulus detrusor

Peningkatan tekanan urina


intravesikel

Peningkatan pengisian
kandung kemih

Hipertrofi kandung kemih

Memicu adanya trabekulasi

61
Spasme sfingter urinarius

Pengeluaran yang spontan dan


tidak terkendali

Urune yang dikeluarkan


sedikit tetapi sering

Inkontinensia urine refleks

3. DS: klien mengaku Neurologic bladder spastic Retensi urine


kencingnya hanya
sedikit

DO: pada Adanya lesi neuron motorik


pemeriksaan fisik, atas
ditemukan adanya
distensi kandung
kemih Memicu reaksi spontan
muskulus detrusor
Perkusi kandung
kemih ditemukan
suara dullnes
Peningkatan tekanan urina
intravesikel

Peningkatan pengisian
kandung kemih

Ada sensasi untuk berkemih,


tapi urin yang dikeluarkan
sedikit

Retensi Urin

4. DS: klien mengeluh Retensi urine Hipertermi


badannya lemas, dan

62
panas

DO: Pemeriksaan Media pertumbuhan virus


TTV pasien
menunjukkan suhu
39°C Respon inflamasi

Diagnosa Keperatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi yang disebabkan gangguan


neurologis
2. Inkontinensia urin refleks berhubungan dengan gangguan neurologis di
atas tingkat pusat berkemih pontine.
3. Retensi urine berhubungan dengan status neurologi: fungsi motorik.
4. Hipertermi berhubungan dengan infeksi.

Intervensi

N Diagnosa NOC NIC


O

1. Nyeri akut yang Setelah dilakukan tindakan Pain management (1400)


berhubungan keperawatan nyeri pasien
denganinfeksi 1. Gunakan skala nyeri
berkurang, dengan kriteria hasil :
yang disebabkan sebelum nyeri bertambah
gangguan
a. Pain level (2102) parah
neurologis
Melaporkan jika nyeri 2. Melakukan penilaian
berkurang : 5 yang komprehensif dari
Tujuan : nyeri Ekspresi wajah nyeri : 5
rasa sakit meliputi lokasi,
yang dirasakan Lamanya episode nyeri : 5
pasien b. Pain Control (1605) karakteristik, onset /
berkurang. Mengetahui timbulnya nyeri :
durasi, frekuensi,
5
kualitas, intensitas atau
keparahan nyeri, dan
mempercepat efektif
3. Gunakan strategi
komunikasi terapeutik
agar pasien mengatakan
rasa nyeri dan
menyampaikan respon

63
nyeri klien.
4. Ajarkan teknik non-
farmakologi (seperti
hypnosis, relaksasi,
imaginasi terbimbing,
terapi music, terapi
aktivitas, distraksi, terapi
bermain, terapi aktivitas).
5. Berikan obat analgesik
untuk mengurangi nyeri.
6. Mengontrol faktor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon
pasien terhadap
ketidaknyamanan seperti
suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan.
2. Inkontinensia Setelah dilakukan tindakan Urinary Incontinence Care
urin refleks keperawatan pasien dapat buang
berhubungan 1. Identifikasi faktor-faktor
air kecil dengan normal , dengan yang menyebabkan
dengan
inkontinensia (trauma,
gangguan kriteria hasil :
jumlah pngeluaran urin
neurologis di sedikit tapi sering)
atas tingkat Urinary elimination 2. Monitor jumlah
pusat berkemih 1. Urine amount : 5 pengeluaran urin,
2. Urine color : 5 frekuensi BAK,
pontine.
3. Pain with urination : 5 konsistensi dan warna
4. Urinary incontinence : 5 urin.
Tujuan : klien
dapat berkemih 3. Anjurkan pasien untuk
minum minimal 1500 ml
dengan lancar.
per hari.
4. Bersihkan organ
genitalia pasien.
5. Anjurkan kepada
keluarga untuk mencatat
pengeluaran urin pasien.
6. Monitor kebiasaan BAB
pasien.
3. Retensi urine Setelah dilakukan tindakan Perawatan retensi urine

64
berhubungan keperawatan, tidak ada distensi (0620)
dengan status kandung kemih, dengan kriteria
neurologi: hasil : 1. Dorong pasien untuk
fungsi motorik. berkemih tiap 2-4 jam dan
1. Dapat berkemih >100-200 ml bila tiba-tiba dirasakan.
Tujuan : tidak (050210) 2. Tanyakan pasien tentang
ada distensi 2. Tidak mengalami infeksi inkontinensia stres.
kandung kemih. kandung kemih (050214) 3. Observasi aliran urin,
3. Dapat berkemih secara adekuat
perhatikan ukuran dan
(050216) ketakutan.
4. Berkemih >150 ml setiap
4. Awasi dan catat waktu
waktu (050206)
dan jumlah tiap berkemih.
5. Perkusi / palpasi area
suprapubik.
6. Diskusikan penggunaan
kateter

4. Hipertermi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu


berhubungan keperawatan, suhu tubuh dalam sesering mungkin
dengan infeksi. batas normal, dengan kriteria 2. Monitor warna dan
suhu kulit
hasil:
Tujuan : Suhu 3. Monitor tekanan
tubuh
0
dalam 1. Suhu 36 – 37 C darah, nadi dan RR
4. Monitor penurunan
batas normal 2. Nadi dan RR dalam rentang
tingkat kesadaran
(36.50C). normal
5. Monitor WBC, Hb,
3. Tidak ada perubahan warna
dan Hct
kulit dan tidak ada pusing, 6. Monitor intake dan
merasa nyaman output
7. Berikan anti piretik
8. Selimuti pasien
9. Berikan cairan
intravena
10. Kompres pasien
pada lipat paha dan
aksila
11. Tingkatkan sirkulasi
udara
12. Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
13. Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR
14. Catat adanya
fluktuasi tekanan darah
15. Monitor hidrasi
seperti turgor kulit,

65
kelembaban membran
mukosa)

BAB 4

KESIMPULAN

Neurologic bladder adalah disfungsi yang dihasilkan dari lesi sistem saraf.
Hal ini mungkin disebabkan oleh cedera tulang belakang, tumor tulang belakang,
multiple sclerosis, anomali bawaan (spina bifida atau mielomeningokel), infeksi,
atau diabetes mellitus (Peter,2012). Pada kandung kemih neurogenik terjadi
gangguan pengisian dan pengosongan urin sehingga timbul gangguan miksi yang
disebut inkontinensia urin dan apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan
kerusakan pada ginjal. Kelainan tersebut dapat merupakan bagian kelainan
kongenital ataupun didapat.

66
DAFTAR PUSTAKA

A. J. Wein, (2007)“Lower urinary tract dysfunction in neurologic injury and


disease,” in Campbell-Walsh Urology, A. J. Wein, L. R. Kavoussi, A. C.
Novick, A.W. Partin, and C. A. Peters, Eds., pp. 2011–2045, Saunders, New
York, NY, USA, 9th edition,
A. Manack, S. P. Motsko, C. Haag-Molkenteller et al., (2011) .“Epidemiology and
healthcare utilization of neurogenic bladder patients in a US claims
database,” Neurourology and Urodynamics, vol. 30, no. 3, pp. 395–401,.
Benevento B.T. and Marca L. Sipski. 2002.Neurogenic Bladder, Nuerogenic
Bowel, and Sexual

Black, J. M. Medical-Surgical Nursing Ed.8th. Philadelphia: Saunders Elsevier.


2009
Carpenito, Lynda Juall. (2009). Nursing Care Plan & Documentation edisi 5.
China: Library of Catloging
Charlene J. reeves at all. Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica,
2001.

Dorsher, Peter T.; McIntosh, Peter M., (2011). ‘Neurogenic Bladder’. Review
articer, Advance in Urology, volume 2012, ID 816274, pg 16. Hindawi
Publishing Corporation

67
Dysfunction in People With Spinal Cord Injury. Phys Ther. 82 (6): 601-612. Faiz
and Moffat. 2004. At a Glance ANATOMI. Jakarta : Erlangga

Elsevier. 2012. Nursing Diagnosis : Urinary Tracty Infection. Saunders : Elsevier

Ginsberg, D. (2013). The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic


Bladder. The American Journal of Managed Care, Volume 19, pp. 191-194.
Guyton, Arthur C dan Hall John. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC.

Japaradi, D. I. (2002). Manifestasi neurologis gangguan miksi. Medan: USU


digital Library , 4-6.
Lemone, Priscilla, Burke, Karen, (2008). Medical Surgical Nursing : Critical
Thinking in Client Care, 4th edition. Pearson Education, Inc.,
M. Verhoef, M. Lurvink, H. A. Barf et al., (2005) “High prevalence of
incontinence among young adults with spina bifida: description, prediction
and problem perception,” Spinal Cord, vol. 43, no. 6, pp. 331–340,
Morton, Patricia Gonce, fontaine, Dorrie, C., (2013). Essential of Critical Care
Nursing : a Holistic Approach. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Nursalam. (2008). Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik .
Jakarta: Salemba Medika.
Petrou SP, Baract F. Evaluation of urinary incontilence in women. Braz J Urol,
2O0L27:165-0.

R. S. Lansang and A. C. Krouskop, (2004). “Bladder management,” in eMedicine,


T. L. Massagli et al., Ed.,
Rackley R. 2009. Neurogenic Bladder. Medscape reference. In :
http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7 (Diakses 3
April 2011

Saputra, Dr. Lyndon. (2012). Buku Saku Kpererawatan Klien dengan Gangguan
Fungsi Renal dan Urologi Disertai Contoh Kasus Klinik. Tanggerang: Bina
rupa Aksara Publisher.

Shenot,Patrick J. (2012). Merck Manual Home Health Handbook Neurogenic


Bladder.

68
http://www.merckmanuals.com/home/kidney_and_urinary_tract_disorders/d
isorders_of_urination/neurogenic_bladder.html Diakses pada 22 Maret
2017 pukul 9:11 WIB

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2004). Brunner & Suddarth’s Textbook
of Medical Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins
The American Journal of Managed Care, Volume 19, pp. 191-194
(2013).NeurogenicBladder.

69

Anda mungkin juga menyukai