Disusun oleh:
Kelompok 1 Kelas A-2
1. Eva Surya Oktaviana 131411131092
2. Farida Rohmawati 131411131095
3. Novela Ikko 131411131101
4. Shindy Ariatna A 131411131104
5. Putri Nandani Alifah 131411133003
6. Nadhia Putri Ulva Sari 131411133006
7. Oktaviana Ristya A 131411133009
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Keperawatan Perkemihan yang membahas tentang
Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Inkontinensia Urin & Neurogenic
Bladder. Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami, sehingga paper ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Ucapan terima
kasih kami ucapkan kepada :
1. Bu Iqlima Dwi Kurnia S.Kep., Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing
dalam pembuatan makalah Keperawatan Perkemihan
2. Teman – teman yang ikut membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan ilmu baru bagi insan
keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan yang lebih baik. Sebagai
penulis kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dari penampilan dan
penyajian paper ini, oleh karena itu kami menginginkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Kami berharap makalah yang kami susun dapat
bermanfaat bagi setiap pembaca.
Penyusun
ii
Daftar Isi
Cover........................................................................................................................i
Kata Pengantar......................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................ii
INKONTINENSIA URIN
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................2
1.3 Tujuan.......................................................................................................2
2.2 Definisi......................................................................................................2
2.3 Klasifikasi..................................................................................................2
2.4 Etiologi......................................................................................................2
2.5 Patofisiologi...............................................................................................2
2.8 Penatalaksanaan.........................................................................................2
2.9 Komplikasi................................................................................................2
BAB 4 KESIMPULAN........................................................................................40
NEUROGENIC BLADDER
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
iii
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2
2.3 Etiologi...........................................................................................................2
2.8 Komplikasi.....................................................................................................2
2.9 Prognosis........................................................................................................2
BAB 4 KESIMPULAN........................................................................................68
Daftar Pustaka......................................................................................................74
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak terkendali dan tanpa melihat frekuensi maupun jumlahnya yang
mana keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial, dan
higienis bagi penderitanya (Martin & Frey, 2005). Inkontinensia urin merupakan
masalah kesehatan yang sangat sering terjadi pada wanita terutama usia lanjut,
namun secara keseluruhan inkontinensia dapat terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, baik anak-anak, dewasa maupun orang tua. Inkontinensia urin juga
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa,
malui atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap
sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urin sendiri bukanlah suatu
penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial,
psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Soetojo, 2009).
1
Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSU Dr. Soetomo tahun
2008 terhadap 793 penderita, prevalensi inkontinensia urin pada pria 3,02%
sedangkan pada wanita 6,79%. Survey ini menunjukkan bahwa prevalensi
inkontinensia urin pada wanita lebih tinggi daripada pria (Soetojo, 2009). Di
Indonesia data tentang lansia dengan masalah inkontinensia urin belum ada,
sehingga prevalensi pasti tentang hal tersebut tidak diketahui. Hal ini mungkin
disebabkan kurangnya laporan dari lansia tentang masalah ini sehingga petugas
kesehatan tidak menyadari adanya masalah ini. Inkontinensia urin seringkali tidak
dilaporkan oleh pasien ataupun keluarganya, hal ini mungkin karena adanya
anggapan bahwa masalah tersebut merupakan hal yang sangat memalukan atau
tabu untuk diceritakan. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang
lain juga terkadang tidak mamahami penatalaksanaan pasien dengan inkontinensia
urin dengan baik. Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan pada usia
lanjut yang dapat diselesaikan (Setiadi & Pramantara, 2007 dalam Fernandes,
2010). Inkontinensia urin mempunyai dampak medik, psikososial, dan ekonomik.
Dampak medik dari inkontinensia urin antara lain dikaitkan dengan infeksi
saluran kemih, urosepsis, gagal ginjal. Dampak psikososial dari inkontinensia urin
adalah kehilangan percaya diri, depresi, menurunnya aktifitas sosial dan
pembatasan aktifitas sosial (Darmojo & Hadi Martono, 2010).
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi system urinaria?
2. Apa definisi inkontinensia urin?
3. Apa klasifikasi inkontinensia urin?
4. Apa etiologi inkontinensia urin?
5. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin?
6. Apa manifestasi klinik inkontinensia urin?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostik inkontinensia urin?
8. Bagaimana penatalaksanaan inkontinensia urin?
9. Apa komplikasi yang terjadi pada inkontinensia urin?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan inkontinensia urin?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umun
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria
Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan
oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-
zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan
berupa urine (air kemih).
3
2.1.1 Ginjal
Gambar 1.1
4
menjadi vena renalis yang membawa darah drai ginjal ke vena kava
inferior.
Fungsi ginjal adalah sebagai berikut :
a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam
tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang
encer dalam jumlah besar, kekurangan air (kelebihan keringat)
menyebabkan urine yang diekskresikan berkurang dan
konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan
tubuuh dapat dipertahankan relative normal.
b. Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan
keseimbangan ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan
elektrolit). Bila terjadi pemasukan/pengeluaran yang abnormal
ion-ion akibat pemasukan garam yang berlebihan/penyakit
perdarahan (diare, muntah) ginjal akan meningkatkan ekskresi
ion-ion yang penting (mis na, K, Cl, Ca dan fosfat).
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada
apa yang dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang
bersifat agak asam, pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir
metabolism protein. Apabila banyak makan sayur-sayuran, urine
akan bersifat basa. pH urine bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal
menyekresi urine sesuai dengan perubahan pH darah.
d. Ekskresi sisa hasil metabolism (ureum, asam urat, kreatinin) zat-
zat toksik, obat-obatan, hasil metabolism hemoglobin dan bahan
kimia asing (peptisida).
e. Fungsi hormonal dan metabolism. Ginjal menyekresi hormone
rennin yang mempunyai perananpenting mengatur tekanan darah
(system rennin angiotensin aldesteron) membentuk eritropoiesis
mempunyai peranan penting untuk memproses pembentukan sel
darah merah (eritropoiesis). Di samping itu ginjal juga membentuk
hormone dihidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang
diperlukan untuk absorbsi ion kalsium di usus.
Proses pembentukan urin
Glomerolus berfungsi sebagai ultrafiltrasi pada simpai Bowman,
berfungsi untuk menampung hasil filtrasi dari glomerolus. Pada tubulus
ginjal akan terjadi penyerapan kembali zat-zat yang sudah disaring pada
5
glomerolus, sisa cairan akan diteruskan ke piala ginjal terus berlanjut ke
ureter.
Urine berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam
ginjal, darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian
plasma darah. Ada tiga tahap pembentukan urine :
a. Proses filtrasi
Gambar 1.2
b. Proses reabsopsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara
pasif yang dikenal dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus
atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali
penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan diserap
kembali ke dalam tubulus bagian bawah. Penyerapannya terjadi
secara aktif dikenal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya dialirkan
pada papilla renalis.
c. Proses sekresi
6
Sisanya penyerapan urine kembali yang terjadi pada tubulus dan
diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke
vesika urinaria.
2.1.2 Ureter
Gambar 2.1
Terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari ginjal
ke kandung kemih (vesika urinaria), panjangnya kurang lebih 25-30 cm,
dengan penampang kurang lebih 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam
rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis.
7
pembuluh limfe berasal dari pembuluh sekitarnya mempunyai saraf
sensorik.
Pars pelvis ureter berjalan pada bagian dinding lateral dari kavum
pelvis sepanjang tepi anterior dari insisura iskhiadika mayor dan tertutup
oleh peritoneum. Ureter dapat ditemukan di depan arteri hipogastrika
bagian dalam nervus obturatoris arteri vasialia anterior dan arteri
hemoroidalis media. Pada bagian bawah insisura iskhiadika mayor, ureter
agak miring ke bagian medial untuk mencapai sudut lateral dari vesika
urinaria.
8
ureter didampingi oleh arteri uterine sepanjang 2,5 cm dan selanjutnya
arteri ini menyilang ureter dan menuju ke atas di antara lapisan
ligamentum. Ureter mempunyai 2 cm dari sisi serviks uteri. Ada tiga
tempat yang penting dari ureter yang mudah terjadi penyumbatan yaitu
sambungan ureter pelvis diameter 2 mm, penyilangan vosa iliaka
diameter 4 mm dan pada saat masuk ke vesika urinaria yang berdiameter
1-5 mm.
Gambar 3.1
Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan
mengempis seperti balon karet, terletak di belakang simfisis pubis di
dalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti kerucut yang
dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan dengan ligamentum vesika
umbilicus medius. Bagian vesika urinaria terdiri dari:
1) Fundus yaitu, bagian yang menghadap kea rah belakang dan
bawah, bagian ini terpisah dari rectum oleh spatium
rectovesikale yang terisi oleh jaringan ikat duktus deferen,
vesika seminalis, dan prostat.
2) Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.
9
3) Verteks, bagian yang memancung ke arah muka dan
berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikalis.
Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar
(peritonium), tunika muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan
lapisa mukosa (lapisan bagian dalam). Pembuluh limfe vesika urinaria
mengalirkan cairan limfe ke dalam nodi limfatik iliaka interna dan
eksterna.
2.1.4 Uretra
Gambar 4.1
a. Uretra pria
Pada laki-laki ureta berjalan berkelok-kelok melalui tengah
tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus
tulang pubis ke bagian penis panjangnya kurang lebih 20 cm. Uretra
pada laki-laki terdiri dari:
1. Uretra prostatia
2. Uretra membranosa
3. Uretra kavernosa
1) Uretra prostatika
10
Uretra prostatika merupakan saluran terlebar, panjangnya 3
cm, berjalan hamper vertikulum melalui glandula prostat, mulai
dari basis sampai ke apeks dan lebih dekat ke permukaan anterior.
Bentuk salurannya seperti kumparan yang bagian tengahnya lebih
luas dan makin ke bawah makin dangkal kemudian bergabung
dengan pars membrane. Potongan transversal saluran ini
menghadap ke depan.
Pada dinding posterior terdapat Krista uretralis yang
berbentuk kulit yang dibentuk oleh penonjolan membrane mukosa
dan jaringan di bawahnya dengan panjang 15-17 cm dan tinggi 3
cm. pada kiri dan kanan Krista uretralis terdapat sinus prostatikus
yang ditembus oleh orifisium duktus prostatikus dari lobus lateralis
glandula prostate dan duktus dari lobus medial glandula prostate
bermuara di belakang Krista uretralis.
Bagian depan dari Krista uretralis terdapat tonjolan yang
disebut kolikus seminalis. Pada orifisium utrikulus, prostatikus
berbentuk kantong sepanjang 6 cm yang berjalan ke atas dan ke
belakang di dalam substansia prostate di belakang lobus medial.
Dindingnya terdiri dari jaringan ikat, lapisan muskularis dan
membrane mukosa. Beberapa glandula kecil terbuka ke permukaan
dalam.
2) Uretra pars membranasea
Uretra pars membranasea ini merupakan saluran yang
paling pendek dan paling dangkal, berjalan mengarah ke bawah
dank e depan di antara apeks glandula prostate dan bulbus uretra.
Pars membranasea menembus diafragma urogenitalis, panjngnya
kira-kira 2,5 cm, di bawah belakang simfisis pubis diliputi oleh
jaringan sfingter uretra membranasea, di depan saluran ini terdapat
vena dorsalis penis yang mencapai pelvis diantara ligamentum
transversal pelvis dan ligamentum equarta pubis.
3) Uretra pars kavernosus
Uretra pars kavernosus merupakan saluran terpanjang dari
uretra dan terdapat di dalam korpus kavernosus uretra, panjangnya
kira-kira 15 cm, mulai dari pars membranasea sampai ke orifisium
11
dari difragma urogenitalis. Pars kavernosus yratra berjalan ke
depan dan ke atas menuju bagian depan simfisis pubis. Pada
keadaan penis berkontraksi, pars kavernosus akan membelok ke
bawah dan ke depan. Pars kavernosus ini dangkal sesuai dengan
korpus penis 6 mm dan berdilatasi ke belakang. Bagian depan
berdilatasi di dalam gland penis yang akan membentuk fossa
navikularis uretra.
Orifisium uretra eksterna merupakan bagian erector yang
paling berkontraksi berupa sebuah celah vertikal di tutupi oleh
kedua sisi bibir kecil dan panjangnya 6 mm. glandula uretralis yang
akan bermuara ke dalam uretra dibagi dalam dua bagian, yaitu
glandula dan lacuna. Glandula terdapat di bawah tunika mukosa di
dalam korpus kavernosus uretra (glandula pars uretralis). Lacuna
bagian dalam epithelium. Lacuna yang lebih besar di permukaan
atas disebut lacuna magma orifisium dan lacuna ini menyebar ke
depn sehingga dengan mudah menghalangi ujung kateter yang
dilalui sepanjang saluran.
b. Uretra wanita
Uretra pada wanita, terletak di belakang simfisis pubis berjalan
miring sedikitke arah atas, panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Lapisan
uretra wanita terdiri dari tunika muskularis (sebelah luar), lapisan
spongiosa merupakan pleksusu dari vena-vena, dan lapisan mukosa
(lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak di sebelah
atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan urtra di sini hanya sebagai
saluran ekskresi. Apabila tidak berdilatsi diameternya hanya 6 cm.
uretra ini menembus fasia diafragma urogenitalis dan orifisium
eksterna langsung di depan permukaan vagina, 2,5 cm di belakang
gland klitoris. Glandula uretra bermuara ke uretra, yang terbesar
diantaranya adalah glandula pars uretralis (skene) yang bermuara ke
dalam orifisium uretra yang hanya berfungsi sebagai saluran ekskresi.
12
polos yang diperkuat oleh sfingter otot rangka pada muaranya
penonjolan berupa kelenjar dan jarongan ikat fibrosa longgar yang
ditandai dengan banyak sinus venosa mirip jaringan kavernosus.
2.2 Definisi
Inkontinensia urin merupakan eliminasi uin dari kandung kemih yang
tidak tekendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner & Suddart. 2002).
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter
(tanpa kontrol) (Grace & Borley, 2006). Inkontinensia urine adalah
ketidakmampuan otot sfingter eksternal yang bersifat sementara atau
permanen untuk mengontrol aliran urine dari kandung kemih. (Kozier, 2009).
Inkontinensia urin adalah keadaan hilangnya kontrol urin involunter yang
secara objektif dapat terlihat jelas dan cukup berat sehingga menjadi masalah
sosial atau masalah higiene seperti yang telah didefisinikan oleh International
Incotinence Society (Geri dan carole, 2009).
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan. Jika inkontinensia urin terjadi
akibat kelainan inflamasi (sistisis), mungkin sifatnya hanya sementara.
Namun jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologi yang serius
(paraplegia), kemungkinan besar sifatnya akan permanen.
Inkontinensia urin secara umum adalah kegagalan kontrol secara
volunter vesika urinaria dan sfingter uretra sehingga terjadi pengeluaran urin
secara involunter yang konstan/frekuen meskipun pasien berusaha sekuat
mungkin menahannya, urin bisa menetes dan terjadi seketika.
2.3 Klasifikasi
Menurut Hidayat, 2006 berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin
dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
1. Inkontinensia urin akut ( Transient incontinence )
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari
6 bulan dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem
iatrogenic dimana menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya
dikenal dengan akronim DIAPPERS yaitu : delirium, infeksi dan
inflamasi, atrophic vaginitis, psikologi dan pharmacology, excessive urin
13
production (produksi urin yang berlebihan), restriksi mobilitas dan stool
impaction (impaksi feses).
2. Inkontinensia urin kronik ( Persisten )
Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan
berlangsung lama ( lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan
mendasar yang melatar belakangi Inkontinensia urin kronik (persisten)
yaitu : menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena
kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot
detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi
beberapa tipe (stress, urge, overflow, mixed). Berikut ini adalah penjelasan
dari masing-masing tipe Inkontinensia urin kronik atau persisten :
a. Inkontinensia urin tipe stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol
keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot
dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Gejalanya antara lain
kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal
lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat
dilakukan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan
beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.
Gambar 2.3.1
Perbandingan Normal Stress dan Stress Inkontinensia
Inkontinesia urin tipe stress dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu:
1) Tipe 0 :pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat
dibuktikan melalui pemeriksaan
2) Tipe 1 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stress dan
adanya sedikit penurunan uretra pada leher vesika urinaria
14
3) Tipe 2 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra
pada leher vesika urinaria 2 cm atau lebih
4) Tipe 3 :uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa
kontraksi kandung kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik
(riwayat trauma atau bedah sebelumnya) dengan gangguan
neurologic atau keduanya. Tipe ini disebut juga defisiensi
sfingter intrinsik
b. Inkontinensia urin tipe urge
Timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak
stabil, yang mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia
urin ini ditandai dengan ketidak mampuan menunda berkemih setelah
sensasi berkemih muncul. Manifestasinya dapat berupa perasaan ingin
kencing yang mendadak ( urge ), kencing berulang kali ( frekuensi )
dan kencing di malam hari ( nokturia ).
c. Inkontinensia urin tipe overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah
terlalu banyak di dalam kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor
kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan
saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang,
atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas
setelah kencing ( merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih ),
urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah. Inkontinensia tipe
overflow ini paling banyak terjadi pada pria dan jarang terjadi pada
wanita.
d. Inkontinensia tipe campuran (Mixed)
Merupakan kombinasi dari setiap jenis inkontinensia urin di atas.
Kombinasi yangpaling umum adalah tipe campuran inkontinensia tipe
stress dan tipe urgensi atau tipe stress dan tipe fungsional.
15
Gambar 2.3.2
Tipe Inkontinensia Urin
2.4 Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi
dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejang yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan abnormal) dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Menurut Mark et al (2006), etiologi inkontinensia urin adalah :
a. Inkontinensia urgensi. Pengeluaran urin involunter yang disebabkan oleh
dorongan dan keinginan mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan
dengan kontraksi detrusor seca involunter. Penyebab gangguan neurologik
serta infeksi saluran kemih.
b. Inkontinensia stres. Pengeluaran urin involunter selama batuk, bersin,
tertawa, atau peningkatan tekanan intraabdomen lainnya. Inkontinensia
stres biasanya disebabkan saluran keluar kandung kemih inkompeten
akibat kelemahan otot dasar panggul yang menyangga dan insufisiensi
sfingter uretra. Wanita yang mengalami kondisi ini biasanya disebabkan
oleh kelahiran, sedangkan pada pria, kondisi ini dapat terjadi setelah
pembedahan prostat.
16
c. Inkontinensia overflow. Pengeluaran urin involunter akibat distensi
kandung kemih yang berlebihan. Bisa terdapat penetesan urin yang sering
atau berupa inkontinensia dorongan atau tekanan. Dapat diserta dengan
kandung kemih, obat’’an, impaksi feses, nefropati diabetic, atau defisiensi
vitamin B12
d. Inkontinensia fungsional. Imobilitas, deficit kognitif, paraplegia, atau daya
kembang kandung kemih yang buruk.
Secara umum, faktor resiko berkembangnya inkontinensia urin adalah
sebagai berikut:
1) Wanita
Wanita akan cenderung lebih sering mengalami stress penyebab
inkontinensia. Kehamilan, proses melahirkan, dan menopause. Namun pria
dengan kondisi prostat akan meningkat resikonya untuk mengalami
inkontinensia urin.
2) Bertambahnya usia
Otot kandung kemih & uretra kehilangan sebagian kekuatan nya seiring
dengan bertambahnya usia. Perubahan usia mengurangi kapasitas kandung
kemih dan meningkatkan resiko proses berkemih yang tidak terkontrol.
3) Kelebihan berat badan (Overweight)
Seseorang dengan berat badan berlebih akan meningkatkan tekanan pada
kandung kemih dan otot-otot yang ada di sekitarnya, melemahkan otot-
otot tersebut dan membuat urin keluar (bocor) dengan adanya rangsangan
stress (contoh: stress yang disebabkan karena batuk atau bersin).
4) Merokok
Batuk kronis disertai merokok dapat memunculkan inkontinensia atau
bahkan inkontinensia yang lebih parah yang disebabkan oleh penyebab
lain. Batuk yang terus menerus menimbulkan stress pada sfingter urin,
menyebabkan stress inkontinensia. Perokok juga beresiko tinggi
mengalami kandung kemih yang bekerja berlebihan.
5) Infeksi
Infeksi traktus urinarius yang simptomatik sering menjadi penyebab
timbulnya keadaan inkontinensia (Isselbacher et al.,1999). Gejala yang
berkaitan dengan infeksi traktur urinarius meliputi sering kencing, rasa
panas waktu kencing, disuria, dan mungkin demam. Apabila pengosongan
terjadi scara spontan tanpa disertai berbagai sensasi atau kerja spesifik,
17
kemungkinan kandung kemih neurogenik perlu dipertimbangkan. (Taber,
1994)
6) Penyakit lainya.
Penyakit ginjal atau diabetes melitus dapat meningkatkan resiko
inkontinensia karena perubahan fungsi ginjal dan distribusi persyarafan.
2.5 Patofisiologi
Kandung kemih memiliki kapasitas normal 350-400 ml. Saat kandung
kemih terisi oleh urin, otot detrusor mengalami relaksasi untuk
memungkinkan peningkatan volume tanpa meningkatkan tekanan
(plastisitas). Ketika kandung kemih penuh, reseptor regangan dalam dinding
kandung kemih memulai kontraksi refleks (melalui S3,4) pada otot detrusor
dan relaksasi sfingter urin untuk mengosongkan kandung kemih. Refleks
spinal ini dikontrol oleh mekanisme inhibisi kortikal yang memungkinkan
kontrol secara sadar sepanjang berkemih. Kontrol secara sadar terbentuk pada
masa kanak-kanak awal (Grace & Borley, 2006).
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk
kronis, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan
operasi vagina. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan kencing. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab inkontinensia
urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek
obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa
karena infeksi. (Januadi,2008).
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga
dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50
tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu
18
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia
urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat
operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia.
Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami
inkontinensia urin karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan
otot dasar panggul.
19
hubungannya dengan nokturnal enuresis. Keluhan urge inkontinensia
ditemukan hanya pada sepertiga kasus inkontinensia urine.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis, kultur urine dan kalau perlu sitologi urine
digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses
inflamasi/infeksi atau keganasan pada saluran kemih. Menilai elektrolit
serum, terutama kadar kalium. Cek kadar glukosa pada pasien diabetes
dengan poliuria dan polidipsi.
b. Postvoid Residual Volume Urine
Postvoid residual (PVR) uji volume urin untuk mengukur jumlah urine
yang tersisa setelah buang air kecil. Sekitar 50 mL atau kurang dari. Lebih
dari 200 mL adalah abnormal. Jumlah antara 50-200 mL mungkin
memerlukan tes tambahan untuk interpretasi. Metode yang paling umum
untuk mengukur PVR adalah dengan kateter, sebuah pipa kecil yang
dimasukkan ke dalam uretra dalam beberapa menit buang air kecil. USG,
yang non invasif, juga dapat digunakan.
c. Cystometry
Cystometry juga disebut filling cystometry, mengukur seberapa
banyak urin yang dapat ditahan kandung kemih dan tekanan yang
terbentuk di dalam kandung kemih saat terisi. Cystometry dapat
dilakukan pada waktu yang sama seperti tes PVR. Prosedur
menggunakan beberapa kateter kecil , dengan cara :
Sebuah kateter double-channel dimasukkan melalui uretra dan
masuk ke kandung kemih. Hal ini digunakan untuk mengisi kandung
kemih dengan air dan untuk mengukur tekanan. Kateter lain dimasukkan
ke dalam rektum atau vagina, hal ini digunakan untuk mengukur tekanan
perut. Selama prosedur pasien diminta untuk memberitahu bagaimana
tekanan mempengaruhi kebutuhan untuk buang air kecil. Pasien mungkin
diminta untuk batuk atau strain (regangan) untuk mengevaluasi
perubahan tekanan kandung kemih dan tanda-tanda kebocoran.
Otot detrusor dari kandung kemih normal tidak akan berkontraksi
selama pengisian kandung kemih. Kontraksi yang keras pada jumlah
20
rendah cairan menunjukkan inkontinensia. Stress Incontinence dicurigai
ketika tidak ada peningkatan yang signifikan dalam tekanan kandung
kemih atau otot detrusor kontraksi selama mengisi, tapi pasien
mengalami kebocoran jika tekanan perut meningkat.
d. Uroflowmetry
Untuk menentukan apakah kandung kemih terhambat, tes
elektronik yang disebut uroflowmetry mengukur kecepatan aliran urin.
Untuk melakukan tes ini, pasien kencing ke dalam alat pengukur khusus.
e. Cystoscopy
Cystoscopy, juga disebut urethrocystoscopy, dilakukan untuk
memeriksa masalah pada saluran kemih bawah, termasuk uretra dan
kandung kemih. Dokter dapat menentukan adanya masalah struktural
termasuk pembesaran prostat, obstruksi uretra atau leher kandung kemih,
kelainan anatomi, atau batu kandung kemih. Tes ini juga dapat
mengidentifikasi kanker kandung kemih, dan menyebabkan darah dalam
urin dan infeksi.
Dalam prosedur ini , tabung tipis dengan cahaya di ujung
(cytoscope) dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui uretra.
kemudian disisipkan instrumen kecil melalui cytoscope untuk mengambil
sampel jaringan kecil (biopsi) . Sitoskopi biasanya dilakukan sebagai
prosedur rawat jalan. Pasien dapat diberikan anestesi lokal , tulang
belakang, atau umum.
f. Electromyography
Electromyography, juga disebut electrophysiologic sphincter
testing, dilakukan jika dokter menduga bahwa masalah saraf atau otot
mungkin menyebabkan inkontinensia. Tes menggunakan sensor khusus
untuk mengukur aktivitas listrik di saraf dan otot di sekitar sphincter. Tes
ini mengevaluasi fungsi saraf yang membantu sfingter dan otot dasar
panggul serta kemampuan pasien untuk mengendalikan otot-otot ini.
g. Video Urodynamic Tests
Video urodynamic testing menggabungkan uji urodynamic dengan
tes penggambaran seperti USG atau tipe khusus prosedur x-ray yang
21
disebut fluoroscopy.Fluoroskopi melibatkan mengisi kandung kemih
dengan pewarna kontras sehingga dokter dapat memeriksa apa yang
terjadi ketika kandung kemih penuh dan dikosongkan.
h. Ultrasound
Ultrasound adalah tes yang tidak menyakitkan yang menggunakan
gelombang suara untuk menghasilkan gambar. Dengan USG, kandung
kemih diisi dengan air hangat dan sensor ditempatkan pada perut atau di
dalam vagina untuk mencari masalah struktural atau kelainan lainnya.
2.8 Penatalaksanaan
22
Tujuan :
a. Memperpanjang waktu untuk ke kamar kecil
b. Meningkatkan jumlah urin yang ditahan oleh kandung kemih
c. Meningkatkan kontrol pada dorongan/rangsangan berkemih
menurut jadwal, dan tidak begitu saja saat dorongan berkemih
datang
d. Mengurangi atau menghilangkan inkontinensia
Cara melakukan :
a. Buat catatan harian untuk berkemih
b. Minggu I gunakan kamar kecil ketat menurut jadwal
c. Tiap minggu tingkatkan jadwal berkemih 15 – 30 menit sesuai
yang dapat ditoleransi
d. Catat jumlah urin
b) Latihan menahan dorongan berkemih. Untuk mendapatkan kontrol
atas kandung kemih, cara berikut dapat dipakai saat datang dorongan
berkemih.Berdiri tenang atau duduk diam, lebih baik jika kaki
disilangkan. Tindakan ini mencegah rangsang berlebihan dari
kandung kemih.Tarik napas teratur dan relaks.Kontraksikan otot-otot
dasar panggul beberapa kali (senam kegel). Ini akan membantu
menutup urethra dan menenangkan kandung kemih.Alihkan pikiran
ke hal lain, untuk menjauhkan perhatian dari dorongan
berkemih.Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet
sebelum jadwal berkemih.
c) Latihan otot dasar panggul. Latihan ini berguna untuk memperkuat
otot-otot yang lemah sekitar kandung kemih. Untuk identifikasi otot
yang tepat, bayangkan kita sedang menahan untuk tidak flatus. Otot
yang diapaki untuk menahan flatus itulah yang akan digunakan.
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine,
flavoxate,Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic
agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada
23
saat sfingter relakasasi dapat diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol ataualfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi
kontraksi, danterapi diberikan secara singkat.
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
danurgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan
untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor,
batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
5. Terapi Modalitas lain
Beberapa alat bantu bagilansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pembalut urinal, kateter,dan alat bantu toilet seperti
urinal, komod dan bedpan.
6. Health Education pada Pasien
Pasien dengan inkontinensia urin sebaiknya:
a) Mengurangi konsumsi makanan/minuman yang bisa meningkatkan
kejadian inkontinensia seperti coklat (kandungan theobromin,
methilxantine yang menyerupai kafein), makanan manis, minuman
berkarbonasi, kopi dan teh (kecuali teh hijau) dan mengurangi
kelebihan asupan cairan. Kafein dapat meningkatkan frekuensi
berkemih (natural diuretik yang bekerja menstimulasi otot bladder)
(Cameron et al, 2013)
b) Memperhatikan waktu untuk konsumsi obat-obatan diuretik. Tidak
dikonsumsi pada malam hari untuk meminimalkan pengeluaran urin
pada malam hari
c) Penjadwalan waktu untuk berkemih sesuai dengan kapasitas kandung
kemih dalam menampung urin
d) Menghentikan kebiasaan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
inkontinensia misalnya merokok dan konsumsi alkohol
e) Pengeluaran feses secara teratur untuk mencegah terjadinya stooli
impaction yang dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia urin
24
a. Terapi medikamentosa, modifikasi asupan cairan, hindari kafein,
tangani penyebab (infeksi, tumor, batu), latihan berkemih/bladder
training, antikolinergik/relaksan otot polos (oksibutinin, tolterdin)
b. Terapi pembedahan: sistoskopi dan distensi kandung kemih, sistoplasti
augmentasi.
2. Inkontinensia Stres
a. Terapi medikamentosa, latihan otot-otot dasar panggul/kegel exercise,
terapi estrogen (dapat menurunkan obstruksi aliran urin sehingga aliran
urin menjadi lebih lancar dan dapat menyimpan urin di dinding
mukosa sehingga urin tidak menumpuk di bladder)
b. Terapi pembedahan: uretropeksi retropubik atau endoskopik, perbaikan
vagina, sfingter buatan.
3. Inkontinensia Overflow
a. Jika terdapat obstruksi: obati penyebab obstruksi
b. Jika tidak terdapat obstruksi: drainase jangka pendek dengan kateter
untuk memungkinkan otot detrusor pulih dari peregangan berlebihan,
kemudian penggunaan stimulan otot detrusor jangka pendek
(bethanekol: distigmin). Jika semuanya gagal, kateterisasi intermiten
yang dilakukan sendiri (inkontinensia overflow neurogenik) (Grace &
Borley, 2006). Selain itu juga dengan terapi perilaku penjadwalan
waktu berkemih.
2.9 Komplikasi
1. Dampak dari segi emosi
25
2. Pengaruh Spesifik pada Kehidupan Sehari-hari
26
WOC
Komplikasi Kehilangan
Tekanan kandung Otot detrusor otot detrusor
post op fungsi kognitif
kemih > uretra tidak stabil
Inkontinensia Inkontinensia
stres urgensi
MK: Gangg.
pola tidur
27
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus
1. Pengkajian
1.1 Anamnesis
a. Identitas
Nama : Tn. X
Umur : 63 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan: Sudah menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Pengamen
Suku : Jawa
b. Keluhan utama
Pasien mengatakan ketika bangun pagi tiba-tiba celananya sudah basah
dan tidak terasa sudah mengompol dan mengatakan ketidakmampuan
mencapai toilet pada saat berkemih.
c. Riwayat penyakit saat ini
28
Tn X Pasien mengatakan ketika bangun pagi tiba-tiba celananya sudah
basah dan tidak terasa sudah mengompol dan mengatakan
ketidakmampuan mencapai toilet pada saat berkemih. Pasien tampak
tidak antusias dan tidak termotivasi ketika melakukan aktivitas sehari-
hari di panti
d. Riwayat penyakit dahulu
Dua tahun lalu Tn X didiagnosa diabetes melitus dengan nilai gula
darah waktu itu 235 mg/dl
e. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit DM, Stroke dan
masalah pernafasan.
f. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Tn X tampak tidak antusias dan tidak termotivasi melakukan aktivitas
sehari-hari di panti
g. Pemeriksaan fisik (ROS)
2. Analisa Data
29
kemerahan pada kulit
sekitar paha dan bokong
2. DS: pasien mengatakan Inkontinensia urin Gangguan pola tidur
↓
sering bangun tidur pada
Keluar saat malam
saat malam
hari
↓
DO: Pasien terlihat
Mengganggu
banyak kencing, terlihat
aktifitas tidur
mata pasien merah ↓
Gangguan pola tidur
3. DS: Pasien mengatakan Inkontinensia urin Ansietas
↓
sering ngompol dan
Status kesehatan
cemas akan kondisinya
berubah
↓
DO: pasien tampak
Ansietas
cemas dan gelisah
4. DS: Pasien mengatakan Usia lanjut Inkontinensia
↓
ketika bangun pagi tiba-
Kehilangan fungsi
tiba celananya sudah
kognitif
basah dan tidak terasa ↓
sudah mengompol dan fungsi otot
detrusor
mengatakan
↓
ketidakmampuan
Inkontinensia
mencapai toilet pada
saat berkemih
3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelembapan area perianal
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering terbangun karena
ikontinensia
30
c. Ansietas berhubungan dengan kondisi fisik dan adaptasi penyakit
d. Inkontinensia behubungan dengan penurunan fungsi otot detrusor
4. Intervensi
31
mengontrol gejala cemas dan pendekatan yang
3. Tanda-tanda vital normal
meyakinkannya
5. Bantu pasien mengenal situasi
yang menimbulkan kecemasan
6. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
7. Instruksikan pasien
menggunakan teknik relaksasi
8. Memberikan aktivitas
pengalihan untuk mengurangi
kecemasan
32
pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi
inkontinensia.
BAB IV
33
KESIMPULAN
34
NEUROGENIC BLADDER
35
BAB 1
PENDAHULUAN
36
bermacam pemeriksaan klinis, meliputi urodinamik dan pemeriksaan
radiologi terpilih.
37
6. Bagaimana penatalaksanaan neurogenic bladder?
1.3 Tujuan
1.3.1 TujuanUmum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan
Perkemihan I diharapkan mahasiswa semester 6 mampu menjelaskan
tentang konsep penyakit neurogenic bladder serta pendekatan asuhan
keperawatannya.
1.3.2 TujuanKhusus
1. Mengidentifikasi anatomi fisiologi dari kandung kemih.
2. Menjelaskan definisi dari Neurogenic Bladder.
3. Mengidentifikasi definisi dari neurogenic bladder.
4. Mengidentifikasi etiologi neurogenic bladder.
5. Mengidentifikasi manifestasi klinis neurogenic bladder.
6. Menguraikan patofisiologi neurogenic bladder.
7. Mengidentifikasi penatalaksaan serta pencegahan pada neurogenic
bladder.
8. Mengidentifikasi komplikasi dari neurogenic bladder.
9. Mengidentifikasi prognosis dari neurogenic bladder
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
38
Dasar dari neuroanatomy dan neurofisiologis dari saluran kencing atas
dan saluran kencing bawah harus dimengerti sebelum menentukan
management kasus kandung kemih. Fungsi normal berkemih pada kantung
bladder adalah pengisian bladder, penyimpanan urin, dan pengosongan
bladder (A.J. Wein, 2007).
Ginjal menerima setidaknya 25% dari curah jantung, memfilter 180 L
darah perharinya dan mengekskresikann urin 1 L perharinya. Filter urin
akan melewati ureter dan akan disimpan di dalam kandung empedu.
Panjang ureter kurang lebih 25-30 cm. Terdapat uretrovesikular yang
merupakan katup untuk mencegah reflux urine dari kandung kemih
menuju ke ginjal.
Kandung kemih memiliki kapasitas normal 400-500 cc higga tekanan
di dalam bladder 4060 mmHg, secara anatomi kandung empedu terrsusun
dari otot destrusor yaitu oto polos. Pada masa kanak-kanak , kandung
kemih ditemukan dalam perut. Pada masa remaja dan sampai dewasa
,kandung kemih posisinya dalam panggul sejati (Smeltzer & Bare, 2004).
39
Gambar 4. Male Bladder
2. Struktur otot destrusor dan sfingter
Kandung kemih tersusun atas otot polos dan apabila berkontraksi
menyebabkan pengosongan kandung kemih. Kandung kemih memiliki 2
spincter uretra yaitu, spincter internal (otot polos) terdapat pada leher dan
bagian atas kandung kemih dan juga spincter external (otot lurik) yang
volunter terdapat di membran uretra pada wanita, dan pada lelaki terletak
pada distal dari prostat.
Spincter internal mencegah terjadinya ejakulasi retrograde dan
spincter external akan berelaksasi pada awal proses miksi dan berada di
bawah kendali volunter oleh sistem saraf dan dapat mencegah miksi secara
sadar.
40
dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis di
pelvis.
Serabut saraf sensorik akan mendeteksi peregangan dalam kandung
kemih, sinyal regangan ini akan berperan utama untuk memicu refleks
pengosonga kandung kemih.
Serabut saraf motorik merupakan serabut saraf parasimpatis dan
berakhir di sel ganglion yag terletak dikandung kemih kemudian akan
mempersarafi otot destrusor untuk pengosongan kandung kemih.
b. Persarafan Simpatis (Nervus Hipogastrik dan rantai simpatis sakral)
Kandung kemih juga mendapatkan persarafan simpatis dari
rangakain simpatis nervus hipogastrik, berhungan dengansegmen L2
medula spinalis. Serabut simpatis ini merangsang pembuluh darah dan
memberi sedikit efek terhadap kontraksi kandung kemih. (Guyton,
2012)
Saat ejakulasi pada seorang pria, aktivasi saraf simpatis akan
menyebabkan penutupan dari leher kandung kemih untuk mencegah
ejakulasi retrogade atau masuknya cairan seminalis ke vesica urinaria
(Japardi, 2002)
c. Persarafan Somatik (Nervus Pudendus)
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari
traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz
menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada
S2, S3, dan S4.
41
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir
pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus.
Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau
calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat mengubah
eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf
sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer
(simpatis torakolumbal, parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung
serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan
membawa sensasi dari distensi vesica urinaria tampaknya merupakan hal
yang terpenting pada fungsi vesica urinaria yang normal. Akson aferen
terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut A bermyelin
kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini menyampaikan
beberapa sensasi dari distensi vesica urinaria dan nyeri.
4. Hubungan dengan susunan saraf pusat (Faiz and Moffat, 2004; Snell,2006)
42
3. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter vesica urinaria (Guyton, 2007;
Sherwood, 2001)
a. Pengisian urine
43
volunter sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara tak terkontrol
mengosongkan isinya.
44
membatalkan dan tidak bisa membatalkan atas keinginannya . The
constractions detrusor unhibited mungkin buruk dipertahankan
dengan pengosongan kandung kemih tidak efisien . Jika refles
berkemih busur utuh , refleks berkemih dapat terjadi . Jika ada
detrusor - spincter dyssynergy , akan ada peningkatan tekanan
kandung kemih dan urine sisa yang tinggi .
c. Neurogenic Bladder kelumpuhan motorik
Terjadi ketika ada kerusakan pada sel-sel tanduk anterior dari akar
ventral S2 - S4 dan kerusakan reflek berkemih . Klien memiliki
sensasi utuh , tetapi mengalami hilangnya sebagian atau seluruh
fungsi motorik. Kapasitas kandung kemih dapat meningkat dengan
urin residual yang besar . kemuungkinan ada inkontinensia
overflow.
d. Neurogenic Bladder kelumpuhansensorik
Terjadi ketika akar dorsal S2-S4 atau jalur sensorik ke korteks
serebral mengalami kerusakan. Klien kehilangan sensasi, tetapi
dapat mengontrol kapasitas kandung kemih.
e. Neurogenic Bladder uninhibitited
hasil dari kerusakan pada kandung kemih pusat di korteks serebral .
Klien memiliki sensasi terbatas terhadap distensi kandung kemih ,
tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menghambat buang air
kecil . Urgensi yang merupakan hasil dari waktu yang singkat
antara sensasi yang terbatas untuk membatalkan dan kandung
kemih berkontraksi tanpa hambatan . Kandung kemih biasanya
dalam kondisi kosong sepenuhnya.
2.3 Etiologi
Berdasarkan penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :
a. Struktur uretra kongenital
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars
membranase, sifat striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul
terpisah atau bersamaan dengan anomalia sakuran kemih yang lain.
b. Struktur uretra traumatik
Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena
instrumen, infeksi, spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh
struktur sambungan atau oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya
45
terjadi pada daerah kemaluan dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul
striktur traumatik dalam waktu 1 bulan. Striktur akibat trauma lebih
progresif daripada striktur akibat infeksi. Pada ruftur ini ditemukan adanya
hematuria gross.
c. Struktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih
lambat daripada striktur traumatik
3. Frekuensi
Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal, yaitu lebih dari
tujuh kali. Apabila sering krencing di malam hari disebut nocturia.
Dikatakan nocturia apabila di malam hari, kencing lebih dari satu kali, dan
keinginan kencingnya itu sampai membangunkannya dari tidur sehingga
mengganggu tidurnya.
46
namun urin keluar tanpa bisa dikontrol. Itulah sebabnya disebut
inkontinensia paradoxal.
47
2.6 Penatalaksanaan dan Pengobatan
Penatalaksanaan serta pengobatan yang tepat ditentukan oleh gejala,
jenis, dan tingkat kerusakan saraf, dan mendiskusikannya dengan klien dapat
membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan kandung kemih.
Prioritas tata laksana kandung kemih neurogenik adalah pemeliharaan fungsi
ginjal. Tata laksananya meliputi pengosongan kandung kemih dengan baik,
penurunan tekanan intravesika, pencegahan infeksi saluran kemih, serta
penanganan inkontinensia, yang dilakukan dengan terapi medikamentosa atau
tindakan urologik antara lain clean intermittent catheterization (CIC),
sistoplastik, atau pemasangan sfingter artifisial. (Febriyanto 2012)
48
a. Clean intermittent catheterization
49
b. Medikamentosa
50
mengenai frekuensi pemberian yang aman dan efektif (level of evidence:
3) (Febriyanto 2012)
c. Operasi
51
dilakukan pada penderita spina bifida yang tergantung dengan kursi roda
yang memiliki kesulitan dalam melakukan kateterisasi dan tergantung
dengan orang lain. (Febriyanto 2012)
d. Pemantauan
52
menentukan waktu hari Anda harus dekat kamar mandi, dan saat-saat
harus berusaha untuk buang air kecil. Hal ini akan melatih kontrol buang
air kecil.
f. Monitoring
Tanda vital dan asupan atau keluaran cairan.
g. Diet
menghindari stimulant seperti makanan yang berbumbu pedas, kuat
rempah-rempah (kari, cabai, dan cabai rawit) dan panas berkontribusi
untuk inkontinensia. Buah-buahan yang kaya kalium dapat memperburuk
dorongan inkontinensia seperti anggur dan jeruk. Selain itu coklat yang
mengandung kafein harus dihindari karena memperburuk gejala iritasi
kandung kemih. Kafein adalah diuretik alami, dan memiliki efek rangsang
langsung pada otot polos kandung kemih. Penelitian telah menunjukkan
bahwa minum minuman berkarbonasi, jeruk buah minuman, dan jus asam
dapat memperburuk berkemih iritasi atau mendesak gejala. Konsumsi
pemanis buatan juga telah berteori untuk berkontribusi inkontinensia .
Begitu pula asupan cairan harus yang terkendali sesuai kebutuhan setiap
tubuh manusia.
53
Proses berkemih membutuhkan sistem persarafan yang cukup
komplek, pada sistem saraf pusat terdapat Pusat miksi Pons yang mengatur
miksi melalui refleks pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kemih
dan daerah kortikal serta daerah subkortikal di lobus frontal otak yang
memberikan rangsang yang akan berpengaruh pada sfingter eksternal uretra.
Sedangkan pada sistem persarafan perifer terdapat persarafan otonom yang
akan mengatur refleks berkemih secara volunter.
Lebih spesifik lagi, sistem saraf pusat yang mengatur reflek berkemih
terdapat pada saraf parasimpatik dan saraf simpatik. Pada saraf parasimpatik
terdapat pada kolumna medula spinalis antara S2 dan S4, terdapat 2 bentuk
persarafan yaitu serabut saraf sensorik dan serabut saraf motorik, pada serabut
sensorik akan mendeteksi peregangan kandung kemih sehingga akan memicu
refleks pengosongan kandung kemih, sedangkan pada serabut motorik akan
memicu kontraksi otot detrusor pada kandung kemih. Pada saraf simpatik
terletak pada L2 medula spinalis, serabut saraf simpatis ini merangsang
pembuluh darah dan memberi sedikit efek terhadap kontraksi kandung kemih.
Sehingga apabila terjadi cidera atau lesi pada lobus frontal otak, pons,
medula spinalis dan saraf perifer maka akan mengakibatkan gangguang
persarafan pada proses miksi sehingga menimbulkan gangguan perkemihan
yang kita sebut Neurogenic Bladder. Sebuah kondisis disfungsi menghasilkan
gejala yang berbeda, berkisar antara retensi urin akut hingga overaktivitas
kandung kemih atau kombinasi keduanya.
1. Lesi di otak
54
degeneratif system). Lesi otak diatas pons merusak pusat kontrol dan
menyebabkan hilangnya kontrol ekskresi secara keseluruhan akan tetapi refleks
ekskresi masih tetap utuh atau ada. Klien memiliki sensasi terbatas terhadap
distensi kandung kemih, tetapi tidakmemiliki kemampuan untuk menghambat
buang air kecil. Individu hanya mengeluhkan ketidakmampuan mengendalikan
ekskresi yang parah karena pengosongan kandung kemih yang terlalu cepat
dengan jumlah urin yang sedikit. Biasanya, orang dengan masalah lesi otak
akan berlari cepat ke kamar mandi akan tetapi urin keluar sebelum mereka
mencapai kamar mandi.
2. Lesi di antara pons hingga sakral medula spinalis (Upper Motor Neuron)
Contoh penyebab lesi diantara pons hingga sakral (di atas T12 – L1) ini
adalah spinal cord injury, multiple sclerosis, myelomeningocele / spina bifida.
Lesi di Upper Motor Neuron ini memiliki karakteristik Disinergia Detrussor –
Spingter (DDS), pada keadaan fisiologis miksi, sfingter eksterna akan
berelaksasi mendahului kontraksi destrusor, akan tetapi pada DDS ini terjadi
kontraksi bersamaan antara sfingter eksterna dan otot detrusor, hail ini
mengakibatkan miksi terhambat sehingga meningkatkan tekanan intravesikal
dan dapat mengakibatkan vesikoureteral reflux yang dapat mengakibatkan
kerusakan ginjal.
55
Lesi di tempat ini mengakibatkan kelumpuhan motorik, klien memiliki
sensasi utuh untuk berkemih akan tetapi mengalami hilangnya sebagian atau
seluruhnya fungsi motorik yaitu klien tidak bisa mengeluarkan urinnya
sehingga meninmbulkan retensi urin. Adanya retensi urin ini akan
mengakibatkan volume urin residual meingkat pada kandung kemih sehingga
memungkinkan terjadinya inkontinensia overflow
5. Lesi di Lower Motor Neuron (dibawah T12 – L1) dan saraf perifer
Pada saraf perifer, Diabetes melitus dan AIDS adalah 2 kondisi yang
mengakibatkan periferal neuropathy yang menyebabkan retensi urin. Penyakit
ini merusak saraf kandung kemih, distensi kandung kemih akan tetapi terasa
tidak nyeri. Pada pasien diabetes kronis akan kehilangan sensasi dari kandung
kemih
2.8 Komplikasi
Komplikasi utama kandung kemih neurogenik adalah infeksi yang
terjadi akibat stasis urin dan kateterisasi yang dilakukan kemudian. Hipertrofi
dinding kandung kemih juga terjadi dan akhirnya menimbulkan refluks
vesikouretral (kembalinya urin dari kandung kemih ke dalam ureter) dan
hidronefrosis (dilatasi struktur internal ginjal dengan meningkatnya tekanan
56
dari urin yang mengalir balik). Pada klien dengan neurogenic bladder juga
memungkinkan untuk meningkatkan resiko gangguan saluran keluar kandung
kemih (bladder outlet obstruction). (Ginsberg 2013).
Urolitiasis (batu dalam saluran kemih) dapat terjadi akibat stasis serta
infeksi kemih dan demineralisasi tulang karena tirah baring yang lama. Pada
klien dengan neurogenic bladder , jika mereka tidak diobati secara optimal
maka juga bisa menyebabkan batu buli, sepsis dan gagal ginjal Gagal ginjal
merupakan penyebab utama kematian pada pasien gangguan neurologik
vesika urinaria (Smeltzer & Bare, 2010).
2.9 Prognosis
Prognosis baik jika segera ditangani dan tidak sampai terjadi gagal
ginjal. Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen
dan kerusakan ginjal. (Patrick J. Shenot, MD,2012)
57
Gangguan serebral, Penyakit medulla spinalis, Trauma,
Gangguan metabolic, Penyakit infeksi akut, Toksisitas
Neurogenic Bladder
Peningkatan pengisian
Penurunan kapasitas
kandung kemih
kandung kemih
ASUHAN KEPERAWATAN
STUDI KASUS
A. Pengkajian
1) Identitas
a) Nama : Tn A
b) Jenis kelamin : Laki-laki
c) Umur : 60 tahun
d) Agama : Islam
e) Pendidikan : SMA
f) Pekerjaan : Petani
g) Alamat : Surabaya
h) Tanggal masuk : 20 Maret 2017 jam 12.00 WIB
2) Riwayat Kesehatan
a) Alasan masuk rumah sakit
Sejak terpeleset di kamar mandi, Tn A mengeluh sering kencing
namun keluarnya sedikit-sedikit.
b) Keluhan Utama
Merasa sakit di perut bagian bawah ketika kencing dan ketika ditekan.
c) Riwayat penyakit sekarang
Seminggu sebelum MRS, klien jatuh terpeleset di kamar mandi. Klien
duduk terjatuh. Beberapa hari setelahnya klien kencing terus-menerus
namun keluar sedikit-sedikit disertai rasa sakit di perut bawah.
d) Riwayat penyakit dahulu
Stroke
e) Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal seperti klien.
3) Pemeriksaan Fisik
a) Status kesehatan umum
Kesadaran : compos mentis
Suhu : 39°C
Nadi : 90/menit
Tekanan Darah : 120/80 mm/Hg
59
RR : 23x/menit
b) Review of System
B1 (Breathing)
Respirasi rate klien 23x/menit
B2 (Blood)
Tekanan darah klien 120/80 mmHg
B3 (Brain)
GCS = 456
B4 (Bladder)
Kandung kemih penuh, sering berkemih tapi sedikit, distensi bladder.
Jumlah urin 500 ml/hari.
B5 (Bowel)
Tidak ditemukan masalah.
B6 (Bone)
Tidak ditemukan masalah.
4) Pemeriksaan Penunjang
Belum dilakukan
5) Pemeriksaan Laboraturium
Belum dilakukan
R: perut bagian
bawah (kandung Peningkatan tekanan urina
kemih) intravesikel
S: 7
60
Terjadi pembesaran kandung
kemih
Nyeri
Peningkatan pengisian
kandung kemih
61
Spasme sfingter urinarius
Peningkatan pengisian
kandung kemih
Retensi Urin
62
panas
Diagnosa Keperatan
Intervensi
63
nyeri klien.
4. Ajarkan teknik non-
farmakologi (seperti
hypnosis, relaksasi,
imaginasi terbimbing,
terapi music, terapi
aktivitas, distraksi, terapi
bermain, terapi aktivitas).
5. Berikan obat analgesik
untuk mengurangi nyeri.
6. Mengontrol faktor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon
pasien terhadap
ketidaknyamanan seperti
suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan.
2. Inkontinensia Setelah dilakukan tindakan Urinary Incontinence Care
urin refleks keperawatan pasien dapat buang
berhubungan 1. Identifikasi faktor-faktor
air kecil dengan normal , dengan yang menyebabkan
dengan
inkontinensia (trauma,
gangguan kriteria hasil :
jumlah pngeluaran urin
neurologis di sedikit tapi sering)
atas tingkat Urinary elimination 2. Monitor jumlah
pusat berkemih 1. Urine amount : 5 pengeluaran urin,
2. Urine color : 5 frekuensi BAK,
pontine.
3. Pain with urination : 5 konsistensi dan warna
4. Urinary incontinence : 5 urin.
Tujuan : klien
dapat berkemih 3. Anjurkan pasien untuk
minum minimal 1500 ml
dengan lancar.
per hari.
4. Bersihkan organ
genitalia pasien.
5. Anjurkan kepada
keluarga untuk mencatat
pengeluaran urin pasien.
6. Monitor kebiasaan BAB
pasien.
3. Retensi urine Setelah dilakukan tindakan Perawatan retensi urine
64
berhubungan keperawatan, tidak ada distensi (0620)
dengan status kandung kemih, dengan kriteria
neurologi: hasil : 1. Dorong pasien untuk
fungsi motorik. berkemih tiap 2-4 jam dan
1. Dapat berkemih >100-200 ml bila tiba-tiba dirasakan.
Tujuan : tidak (050210) 2. Tanyakan pasien tentang
ada distensi 2. Tidak mengalami infeksi inkontinensia stres.
kandung kemih. kandung kemih (050214) 3. Observasi aliran urin,
3. Dapat berkemih secara adekuat
perhatikan ukuran dan
(050216) ketakutan.
4. Berkemih >150 ml setiap
4. Awasi dan catat waktu
waktu (050206)
dan jumlah tiap berkemih.
5. Perkusi / palpasi area
suprapubik.
6. Diskusikan penggunaan
kateter
65
kelembaban membran
mukosa)
BAB 4
KESIMPULAN
Neurologic bladder adalah disfungsi yang dihasilkan dari lesi sistem saraf.
Hal ini mungkin disebabkan oleh cedera tulang belakang, tumor tulang belakang,
multiple sclerosis, anomali bawaan (spina bifida atau mielomeningokel), infeksi,
atau diabetes mellitus (Peter,2012). Pada kandung kemih neurogenik terjadi
gangguan pengisian dan pengosongan urin sehingga timbul gangguan miksi yang
disebut inkontinensia urin dan apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan
kerusakan pada ginjal. Kelainan tersebut dapat merupakan bagian kelainan
kongenital ataupun didapat.
66
DAFTAR PUSTAKA
Dorsher, Peter T.; McIntosh, Peter M., (2011). ‘Neurogenic Bladder’. Review
articer, Advance in Urology, volume 2012, ID 816274, pg 16. Hindawi
Publishing Corporation
67
Dysfunction in People With Spinal Cord Injury. Phys Ther. 82 (6): 601-612. Faiz
and Moffat. 2004. At a Glance ANATOMI. Jakarta : Erlangga
Saputra, Dr. Lyndon. (2012). Buku Saku Kpererawatan Klien dengan Gangguan
Fungsi Renal dan Urologi Disertai Contoh Kasus Klinik. Tanggerang: Bina
rupa Aksara Publisher.
68
http://www.merckmanuals.com/home/kidney_and_urinary_tract_disorders/d
isorders_of_urination/neurogenic_bladder.html Diakses pada 22 Maret
2017 pukul 9:11 WIB
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2004). Brunner & Suddarth’s Textbook
of Medical Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins
The American Journal of Managed Care, Volume 19, pp. 191-194
(2013).NeurogenicBladder.
69