Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang

Penyakit jantung katub adalah penyakit yang sering didapat dan seringkali
memerlukan intervensi. Akibat dominasi dari penyakit jantung katub degeneratif, stenosis
katub aorta (AS= Aortic Stenosis) dan regurgitasi katub mitral (MR= Mitral Regurgitation)
menjadi ua penyakit jantung katub terbanyak saat ini, sedangkan regurgitasi katub aorta (AR=
Aortic Regurgitation) dan stenosis katub mitral (MS= Mitral Stenosis) lebih jarang ditemui.
Meningkatnya usia pasien-pasien penyakit jantung katub dihubungkan dengan frekuensi
komorbiditas yang lebih tinggi, sehingga resiko operasi juga meningkat dan pengambilan
keputusan untuk melakukan intervensi menjadi lebih kompleks. Aspek penting lainnya dari
penyakit jantung katub saat ini adalah meningkatnya proporsi paien-pasien dengan riwayat
intervensi sebelumnya yang datang dengan masalah-masalah lebih lanjut (Perhimpunan
dokter spesialis kardiovaskuler Indonesia, 2009).
Stenosis mitral merupakan kelainan katup yang paling sering diakibatkan oleh
penyakit jantung reumatik. Diperkirakan 99 % stenosis mitral didasarkan atas penyakit
jantung reumatik. Walaupun demikian, sekitar 30 % pasien stenosis mitral tidak dapat
ditemukan adanya riwayat penyakit tersebut sebelumnya. Pada semua penyakit jantung
valvular stenosis mitral lah yang paling sering di temukan, yaitu 40% seluruh penyakit
jantung reumatik, dan menyerang wanita lebih banyak dari pada pria dengan perbandingan
kira-kira 4 : 1 dengan gejala biasanya timbul antara umur 20 sampai 50 tahun. Gejala dapat
pula nampak sejak lahir, tetapi jarang sebagai defek tunggal. MS kongenital lebih sering
sebagai bagian dari deformitas jantung kompleks pada bayi.
Stenosis Katup Aorta (Aortic Stenosis) adalah penyempitan pada lubang katup aorta,
yang menyebabkan meningkatnya tahanan terhadap aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta.
Di Amerika Utara dan Eropa Barat, stenosis katup aorta merupakan penyakit utama pada
orang tua, yang merupakan akibat dari pembentukan jaringan parut dan penimbunan kalsium
di dalam daun katup. Stenosis katup aorta seperti ini timbul setelah usia 60 tahun, tetapi
biasanya gejalanya baru muncul setelah usia 70-80 tahun. Di wilayah lainnya, kerusakan
katup akibat demam rematik masih sering terjadi. Untuk mengatasi penyakit ini, medikasi
dan pembedahan/ insisi adalah upaya yang terbaik. Dengan demikian, katup yang mengalami
kelainan itu dapat disembuhkan ataupun dikurangi risiko tinggi semakin parahnya penyakit

1
Didalam makalah ini akan membahas lebih dalam mengenai penyakit katup jantung,
terutama stenosis mitral dan aorta. Untuk itu kita akan membahas bagaimana mekanisme dari
penyaki katup jantung terutama yang membuat membuat katup stenosis.

1.3 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan penyakit katup jantung itu ?


2. Apa saja yang menyebabkan terjadinya penyakit katup jantung ?
3. Bagaimana mekanisme terjadinya stenosis mitral ?
4. Bagaimana asuhan keperawatan teori pada pasien stenosis mitral ?
5. Bagaimana menkanisme terjadinya stensosi aorta ?
6. Bagaimana asuhan keperawatan teori pada pasien stenosis aorta ?
7. Bagaimana mekanisme terjadinya insufisiensi katub aorta ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan teori pada pasien insufisiensi aorta ?

1.4 Tujuan

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan penyakit katup jantung.


2. Mengetahui yang menyebabkan terjadinya penyakit katup jantung.
3. Menjelaskan mekanisme terjadinya stenosis mitral.
4. Menjelaskan asuhan keperawatan teori pada pasien stenosis mitral.
5. Menjelaskan menkanisme terjadinya stensosi aorta.
6. Menjelaskan asuhan keperawatan teori pada pasien stenosis aorta.
7. Menjelaskan mekanisme terjadinya insufisiensi aorta
8. Menjelaskan asuhan keperawatan teori pada pasien insufisiensi aorta

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Penyakit Katup Jantung

2.1.1 Definisi

Penyakit katup jantung adalah kelainan pada jantung yang menyebabkan kelainan-
kelainan pada aliran darah yang melintasi katup jantung. Katup yang terserang penyakit dapat
mengalami dua jenis gangguan fungsional :
1. Regurgitasi daun katup tidak dapat menutup rapat sehingga darah dapat mengalir balik
(sinonim dengan insufisiensi katup dan inkompetensi katup)

2. Stenosis katup lubang katup mengalami penyempitan sehingga aliran darah mengalami
hambatan.

Insufisiensi dan stenosis dapat terjadi bersamaan pada satu katup, dikenal sebagai lesi
campuran atau terjadi sendiri yang disebut sebagai lesi murni . Disfungsi katup akan
meningkatkan kerja jantung. Insufisiensi katup memaksa jantung memompa darah lebih
banyak untuk menggantikan jumlah darah yang mengalami regurgitasi atau mengalir balik
sehingga meningkatkan volume kerja jantung. Stenosis katup memaksa jantung meningkatkan
tekanannya agar dapat mengatasi resistensi terhadap aliran yang meningkat, karena itu akan
meningkatkan tekanan kerja miokardium. Respon miokardium yang khas terhadap
peningkatan volume kerja dan tekanan kerja adalah dilatasi ruang dan hipertrofi otot. Dilatasi

3
miokardium dan hipertrofi merupakan mekansime kompensasi yang bertujuan meningkatkan
kemampuan pemompaan jantung. (ODonnell MM, 2002).

2.1.2 Etiologi

Penyakit katup jantung dahulu dianggap sebagai penyakit yang hampir selalu
disebabkan oleh reumatik, tetapi sekarang telah banyak ditemukan penyakit katup jenis baru.
Meskipun terjadi penurunan insiden penyakit demam reumatik, namun penyakit demam
reumatik masih merupakan penyebab lazim deformitas katup yang membutuhkan koreksi
bedah. (ODonnell MM, 2002)
Demam reumatik akut merupakan sekuele faringitis akibat streptokokus B-hemolitikus
group A. Demam reumatik timbul hanya jika terjadi respon antibodi atau imunologis yang
bermakna terhadap infeksi streptokokus sebelumnya. Sekitar 3% infeksi steptokokus pada
faring diikuti dengan serangan demam reumatik (dalam 2 hingga 4 minggu). Serangan awal
demam reumatik biasanya dijumpai pada masa anak dan awal masa remaja. (ODonnell MM,
2002)
Patogenesis pasti demam reumatik masih belum diketahui. Dua mekanisme dugaan
yang telah diajukan adalah (1). respon hiperimun yang bersifat autoimun maupun alergi dan
(2). efek langsung organisme streptokokus atau toksinnya. Reaksi autoimun terhadap infeksi
streptokokus secara teori akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam
reumatik, dengan cara :
1. Streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi faring.

2. Antigen streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibodi pada penjamu yang


hiperimun.

3. Anitibodi akan bereaksi dengan antigen streptokokus, dan dengan jaringan penjamu
yang secara antigenik sama seperti streptokokus (dengan kata lain : antibodi tidak dapat
membedakan antara antigen streptokokus dengan antigen jaringan jantung).
4
4. Autoantibodi tersebut bereaksi dengan jaringan penjamu sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan.

Apapun patogenesisnya, manifestasi demam rematik akut berupa peradangan difus yang
menyebabkan jaringan ikat berbagai organ, terutama jantung, sendi dan kulit. Gejala dan
tandanya tidak khas, dapat berupa demam, artritis yang berpindah-pindah, artralgia, ruam
kulit, korea dan takikardi. Terserangnya jantung merupakan keadaan yang sangat penting,
karena dua alasan berikut (1). kematian pada fase akut, walaupun sangat rendah, tetapi hampir
seluruhnya disebabkan oleh gagal jantung dan (2). kecacatan residual yang terutama
disebabkan oleh deformitas katup
Demam reumatik akut dapat menyebabkan peradangan pada semua lapisan jantung yang
disebut pankarditis. Peradangan endokardium biasanya mengenai endotel katup,
mengakibatkan pembengkakan daun katup dan erosi pinggir daun katup. Vegetasi seperti
manik-manik akan timbul disepanjang pinggir daun katup. Perubahan akut ini dapat
mengganggu penutupan katup yang efektif, mengakibatkan regurgitasi katup. (ODonnell
MM, 2002).
Serangan awal karditis reumatik biasanya akan mereda tanpa meninggalkan kerusakan
berarti. Namun serangan berulang akan menyebabkan gangguan progresif pada bentuk katup.
Perubahan patologis penyakit katup reumatik kronis timbul akibat proses penyembuhan yang
disertai pembentukan jaringan parut, proses radang berulang, dan deformitas progresif yang
disertai stres hemodinamik dan proses penuaan. (ODonnell MM, 2002).
Deformitas akhir yang menyebabkan stenosis katup ditandai oleh penebalan dan penyatuan
daun katup disepanjang komisura (tempat persambungan antara duan daun katup). Perubahan
ini mengakibatkan penyempitan lubang katup dan mengurangi pergerakan daun katup
sehingga menghambat majunya aliran darah. Korda tendinae katup atrioventrikularis dapat
juga menebal dan menyatu sehingga membentuk terowongan fibrosa dibawah daun katup dan
semakin menghambat aliran darah. (ODonnell MM, 2002).
Lesi yang berkaitan dengan insufisiensi katup terdiri atas daun katup yang menciut dan
retraksi yang menghambat kontak dan pemendekan antar daun katup, menyatukan korda
tendinae yang menghalangi gerak daun katup. Perubahan ini akan mengganggu penutupan
katup sehingga menimbulkan aliran balik melalui katup tersebut. (ODonnell MM, 2002).
Kalsifikasi dan sklerosis jaringan katup akibat usia lanjut juga berperan dalam perubahan
bentuk katup akibat demam reumatik. Penyakit kronis yang disertai kegagalan ventrikel serta
pembesaran ventrikel juga dapat mengganggu fungsi katup atrioventrikularis. Bentuk
ventrikel mengalami perubahan sehingga kemampuan otot papilaris untuk mendekatkan daun-
daun katup pada waktu katup menutup akan berkurang. Selain itu lubang katup juga melebar,
5
sehingga semakin mempersulit penutupan katup dan timbul insufisiensi katup. (ODonnell
MM, 2002).
Selain penyakit reumatik, dikenal beberapa penyebab lain yang semakin sering
menimbulkan perubahan bentuk dan malfungsi katup : (1). dekstruksi katup oleh endokarditis
bakterialis (2). defek jaringan penyambung sejak lahir (3) disfungsi atau ruptura otot papilaris
karena aterosklerosis koroner dan (4). malformasi kongenital. (ODonnell MM, 2002).
Endokarditis infektif dapat disebabkan oleh banyak organisme, termasuk bakteri, jamur,
dan ragi. Infeksi bakteri merupakan penyebab tersering. Akibatnya, keadaan ini sering disebut
sebagai endokarditis bakterialis. Endokarditis menimbulkan vegetasi disepanjang pinggir
daun katup, vegetasi-vegetasi ini dapat meluas dan menyerang seluruh katup, bahkan
moikardium. Akibatnya, daun katup dapat mengalami fibrosis, erosi dan perforasi sehingga
menimbulkan suatu disfungsi katup regurgitan yang khas. (ODonnell MM, 2002).
Disfungsi atau ruptura otot papilaris dapat menimbulkan berbagai macam disfungsi katup.
Gangguan otot papilaris dapat bersifat intermitan (yaitu akibat iskemia) dan hanya
menimbulkan regurgitasi episodik yang ringan. Tetapi, apabila terjadi ruptura otot papilaris
nekrotik setelah infrak miokardium, dapat terjadi insufisiensi mitralis akut. (ODonnell MM,
2002).
Malformasi kongenital dapat terjadi pada setiap katup. Misalnya, sekitar 1% sampai 2%
katup aorta adalah katup bikuspidalis dan bukan trikuspidalis.
Lesilesi katup tertentu sangat menunjukan penyebab disfungsi. Misalnya, stenosis mitralis
murni biasanya disebabkan oleh rematik, sedangakan stenosis aorta murni biasanya
disebabkan oleh kalsifikasi prematur dan degenerasi katup bikuspidalis kengenital. Lesi katup
pulmonalis atau trikuspidalis murni hampir pasti disebabkan oleh cacat kongenital. Lesi katup
gabungan biasanya disebabkan oleh rematik. (ODonnell MM, 2002)

6
2.2 Mitral Stenosis

2.2.1 Definisi

Mitral Stenosis adalah kondisi dimana terjadi hambatan aliran darah dari
atrium kiri ke ventrikel kiri pada fase diastolic akibat akibat penyempitan katup.
Penyebab Mitral stenosis paling sering demam rematik, penyebab lain adalah
karsinoid, sistemik lupus eritematosus, rheumatoid artitis, mukopoli-sakharidosis dan
kelainan bawaan, (Rilantono, 2013).
7
Stenosis mitral (MS) adalah merupakan penyempitan pada lubang katup mitral
yang akan menyebabkan meningkatnya tahanan aliran darah dari atrium kiri ke
ventrikel kiri. (Kasron, 2012)
Jadi dapat disimpulkan bahwa mitral stenosis atau yang kerap disebut MS
merupakan penyempitan katup mitral yang menyebabkan katup tidak terbuka dengan
tepat dan menghambat aliran darah antara ruang-ruang jantung kiri. Ketika katup
mitral menyempit (stenosis), darah tidak dapat dengan efisien melewati jantung.
Kondisi ini menyebabkan seseorang menjadi lemah dan nafas menjadi pendek serta
gejala lainnya. (Kasron, 2012)

2.2.2 Etiologi

Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang progresif


dari demam reumatik oleh infeksi streptokokus. Penyebab lain walaupun jarang dapat
juga stenosis mitral kongenital, systemic lupus erythematosus (SLE), karsinosis
sistemik, deposit amiloid. Akibat obat fenfluramin/phentermin, rhematoid arthritis
(RA), dan atrial myxoma. Selain itu, virus seperti coxsackie diduga memegang
peranan pada timbulnya penyakit katup jantung kronis. Gejala dapat dimulai dengan
suatu episode atrial fibrilasi atau dapat dicetuskan oleh kehamilan dan stress lainya
terhadap tubuh misalnya infeksi (padajantung, paru-paru, etc) atau gangguan jantung
yang lain. (Kasron, 2012)
Stenosis katup mitral hampir selalu disebabkan oleh demam rematik, yang
pada saat ini sudah jarang ditemukan di Amerika Utara dan Eropa Barat. Karena itu di
wilayah tersebut, stenosis katup mitral terjadi terutama pada orang tua yang pernah
menderita demam rematik pada masa kanak-kanak dan mereka tidak mendapatkan
antibiotic. Di bagian dunia lainya, demam rematik sering terjadi dan menyebabkan
stenosis katup mitral pada dewasa, remaja dan kadang pada anak-anak. Yang khas
adalah jika penyebabnya demam rematik, daun katup mitral sebagian bergabung
menjadi satu. Stenosis katup mitral juga bisa merupakan suatu kelainan bawaan. Bayi
8
yang lahir dengan kelainan ini jarang bisa bertahan hidup lebih dari 2 tahun, kecuali
jika telah menjalani pembedahan. Miksoma (tumor jinak di atrium kiri) atau bekuan
darah dapat menyumbat aliran darah ketika melewati katup mitral dan menyebabkan
efek yang sama seperti stenosis katup mitral. (Kasron, 2012)

2.2.3 Patofisiologi

Proses perusakan katup mitral pada demam rematik sebetulnya adalah adalah
suatu proses antigen-antibodi atas infeksi kuman streptokokus beta hemotilikus grup
A. Antibodi yang terbentuk ternyata tidak hanya menyerang kuman tersebut, tetapi
juga menyerang katup mitral, dan merusak katup tersebut.
Proses perusakan/ perubahan yang terjadi tidak hanya melibatkan daun katup
mitral saja, tetapi juga anulus katup. Katup mitral yang terkena rematik akan menebal,
mengalami fibrosis dan terjadi perlengketan pada tepi katup. Hasil akhir dari proses
patologis ini adalah penyempitan area katup mitral. Proses ini juga tidak jarang
melibatkan aparatus subvalvar, seperti pemendekan chorda tendineae yang akan lebih
menghambat gerakan katup mitral. Hambatan aliran darah pada katup mitral ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri diikuti dilatasi atrium kiri maupun vena
pulmonalis yang kemudian akan menyebabkan peningkatan tekanan vena pulmonalis.
Proses ini bila berlangsung lama dapat menyebabkan peningkatan tekanan arteri
pulmonalis, sehingga akhirnya dapat menyebabkan hipertensi pulmoner.
Pada area katup mitral < 2,5 cm2 biasanya mulai timbul keluhan cepat lelah
atau sesak nafas. Pada MS berat dapat terjadi penurunan isi sekuncup dan curah
jantung, sehingga tekanan darah turun terutama pada saat aktivitas. Di samping itu,
terjadi pula peningkatan gradien tekanan diastolik antara atrium kiri dengan ventrikel
kiri yang menyebabkan sesak nafas.
Pada saat aktivitas fisik meningkat, frekuensi denyut jantung (apalagi bila
irama jantung atrial fibriasi/ AF) juga meningkat, sehingga fase diastolik memendek
dan waktu yang diperlukan untuk mengosongkan atrium kiri pendek. Akibat dari
kondisi ini, terjadilah peningkatan tekanan di atrium kiri dan vena pulmonalis, yang
akhirnya menimbulkan edema paru. (Rilantono, 2013)

2.2.4 WOC
(Terlampir)

9
2.2.5 Manifestasi Klinis

1. Sesak nafas (dispnea)


2. Ortopnea atau proxymal nocturnal dyspnea terutama pada pasien mitral yang
sedang atau berat.
3. Hemoptisis yang timbul akibat refleksi hipertensi vena pulmonal ke dalam vena
bronchial.
4. Palpitasi biasanya muncul apabila stenosis mitral sudah disertai adanya fibrilasi
atrial.
5. Nyeri dada juga sering dikeluhkan oleh pasien stenosis mitral.
(Rilantono. 2013)

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik

1. EKG : gambaran EKG tidak spesifik; jika pasien memiliki irama sinus,
gelombang P bifasik yang lebar didapatkan pada 90% pasien dengan stenosis
mitral. Morfologi gelombang P berkaitan dengan dilatasi atrium kiri bukannya
hipertrofi.
2. Radiografi thoraks : Pada stenosis mitral murni, ukuran jantung pada radiografi
thoraks normal.
3. Ekokardigrafi : Baik ekokardiografi M-mode maupun ekokardiografi potongan
melintang menunjukkan penebalan katup dan penurunan laju penutupan mid-
diastolik pada daun katup anterior. Daun katup posterior juga mengalami tethering
dan bergerak ke anterior selama diastole. Dimensi atrium kiri meningkat dan
kadang dapat dilihat trombus pada apendik atrium kiri.
(Gray, Huon. 2005)

2.2.7 Penatalaksanaan

Pendekatan Klinis Pasien dengan Stenosis Mitral


Pada setiap pasien stenosis mitral anamnesis dan pemeriksaan fisik
lengkap harus dilakukan. Prosedur penunjang EKG, foto toraks, ekokardiografi
seperti yang telah disebutkan diatas harus dilakukan secara lengkap. Pada
kelompok pasien stenosis mitral yang asimtomatik, tindakan lanjutan sangat
tergantung dengan hasil pemeriksaan eko. Sebagai contoh pasien aktif
asimtomatik dengan area >1,5 cm2, gradien <5 mmHg, maka tidak perlu
dilakukan evaluasi lanjutan, selain pencegahan terhadap kemungkinan
endokarditis. Lain halnya bila pasien tersebut dengan area mitral <l.5 cm2.
1. Pendekatan Medis
10
Stenosis mitral merupakan kelainan mekanik, oleh karena itu obat bersifat
suportif atau simtomatik terhadap gangguan fungsional jantung, atau
pencegahan terhadap infeksi. Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan
penisilin, eritromisin, sulfa, sefalosporin untuk demam reumatik atau
pencegahan ekdokarditis sering dipakai. Obat-obat inotropik negatit seperti -
blocker atau Ca-blocker, dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama
sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi jantung meningkat seperti
pada latihan. Retriksi garam atau pemberian diuretik secara intermiten
bermanfaat jika terdapat bukti adanya kongesti vaskular paru. Pada stenosis
mitral dengan irama sinus, digitalis tidak bermanfaat, kecuali terdapat disfungsi
ventrikel baik kiri atau kanan. Latihan fisik tidak dianjurkan, kecuali ringan
hanya untuk menjaga kebugaran, karena latihan akan meningkatkan frekuensi
jantung dan memperpendek fase diastole dan seterusnya akan meningkatkan
gradient transmitral.
2. Fibrilasi Atrium.
Prevalensi 30-40%, akan muncul akibat hemodinamik yang bermakna
karena hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi
ventrikel yang cepat. Pada keadaan ini pemakaian digitalis merupakan indikasi,
dapat dikombinasikan dengan penyekat beta atau antagonis kalsium. Penyekat
beta atau anti aritmia juga dapat dipakai untuk mengontrol frekuensi jantung.
atau pada keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya fibrilasi atrial
paroksismal. Bila perlu pada keadaan tertentu di mana terdapat gangguan
hemodinamik dapat dilakukan kardioversi elektrik, dengan pemberian heparin
intravenous sebelum pada saat ataupun sesudahnya.
3. Pencegahan Embolisasi Sistemik.
Antikoagulan warfarin sebaiknya dipakai pada stenosis mitral dengan
fibrilasi atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan trombus
untuk mencegah fenomena tromboemboli.
4. Valvotomi Mitral Perkutan dengan Balon.
Pertama kali diperkenalkan oleh Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun
1994 ditermia sebagai prosedur klinik. Mulanya dilakukan dengan dua balon,
tetapi akhir-akhir ini dengan perkembangan dalam teknik pembuatan balon,
prosedur valvotomi cukup memuaskan dengan prosedur 1 balon.

11
5. Intervensi Bedah, Reparasi atau Ganti Katup.
Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukan secara terbuka karena
adanya mesin jantung-paru. Dengan cara ini katup terlihat dengan jelas,
pemisahan komisura, atau korda, otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi
dapat dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan tindakan yang akan
diambil apakah itu reparasi atau penggantian katup mitral dengan protesa.
Perlu diingat bahwa sedapat mungkin diupayakan operasi bersifat reparasi oleh
karena dengan protesa akan timbul risiko antikoagulasi, trombosis pada katup,
infeksi endokarditis, malfungsi protesa serta kejadian trombo emboli.

12
2.2.8 Komplikasi
1. Emboli paru rekuren, adalah penyebab penting morbiditas dan mortalitas lanjut
dalam perjalanan stenosis mitral, terjadi paling sering pada pasien dengan gagal
ventrikel kanan.
2. Endokarditis infektif, jarang pada stenosis mitral murni tetapi tidak jarang pada
pasien dengan gabungan stenosis dan regurgitasi.
(Isselbacher, Kurt. 2000)

2.2.9 Asuhan Keperawatan Teori

1) Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, Pusing, rasa berdenyut, Dispnea karena kerja,
palpitasi, Gangguan tidur (Ortopnea, dispnea paroksimal nokturnal,
nokturia,keringat malam hari).
Tanda : Takikardi, gangguan pada TD, Pingsan karena kerja, Takipnea, dispnea
2) Sirkulasi
Gejala : Riwayat kondisi pencetus, contoh demam reumatik,
endokarditis bakterial subakut, infeksi streptokokal; hipertensi, kondisi
kongenital (contoh kerusakan atrial-septal, sindrom marfan), trauma
dada, hipertensi pulmonal.Riwayat murmur jantung, palpitasi, Serak,
hemoptisis, batuk dengan/tanpa produksi sputum.
Tanda : Nadi apikal : PMI kuat dan terletak di bawah dan ke kiri (IM)
Getaran : Getaran diastolik pada apek (SM)
Bunyi jantung : S1 keras, pembukaan yang keras (SM).
Penurunan atau tak ada S1, bunyi robekan luas, adanya S3, S4 (IM
berat)
Kecepatan : Takikardi pada istirahat (SM).
Irama : Tak teratur, fibrilasi atrial (SM dan IM).
Bunyi rendah, murmur diastolik gaduh (SM)
DVJ : Mungkin ada pada adanya gagal ventrikel kanan
(IA,SA,IM,IT,SM).

13
3) Integritas Ego
Gejala : Tanda kecemasan, contoh gelisah, pucat, berkeringat, fokus menyempit,
gemetar.
4) Makanan/Cairan
Gejala : Disfagia (IM kronis), Perubahan berat badan, Penggunaan diuretik.
Tanda : Edema umum atau dependen.
Hepatomegali dan asites (SM,IM,IT)
Pernapasan payah dan bising dengan terdengar krekels dan mengi.
5) Neurosensori
Gejala : Episode pusing/pingsan berkenaan dengan bahan kerja.
6) Pernapasan
Gejala : Dispnea (kerja, ortopnea, paroksismal, noktural). Batuk menetap atau
noktural (sputum mungkin/tidak produktif)
Tanda : Takipnea, Bunyi napas adventisius (krekels dan mengi), Sputum banyak
dan bercak darah (edema pulmonal)
Gelisah/ketakutan (pada adanya edema pul monal)
7) Keamanan
Gejala : Proses infeksi/sepsis, kemoterapi radiasi.
Tanda : Adanya perawatan gigi (pembersihan, pengisian, dan sebagainya). Perlu
perawatan gigi/mulut.

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang sering ditemukan pada pasien stenosis mitralis antara lain :
1. Penurunan curah jantung b/d adanya hambatan aliran darah dari atrium kiri ke
ventrikel kiri, adanya takikardi ventrikel, pemendekan fase distolik
2. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian
aliran arteri-vena; penurunan aktifitas.
3. Intoleran aktifitas b/d adanya penurunan curah jantung, kongestif pulmunal.
4. Resiko kelebihan volume cairan b/d adanya perpindahan tekanan pada kongestif
vena pulmonal; Penurunan perfusi organ (ginjal); peningaktan retensi natrium/air;
peningakatn tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma (menyerap cairan
dalam area interstitial/jaringan).
5. Resiko kerusakan pertukaran gas b/d perubahan membran kapiler-alveolus
(perpindahan cairan ke dalam area interstitial/alveoli

Rencana Keperawatan
1) Penurunan curah jantung b/d adanya hambatan aliran darah dari atrium kiri ke
ventrikel kiri, adanya takikardi ventrikel, pemendekan fase distolik.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari, penurunan
curah jantung dapat diminimalkan.
Kriteria hasil : Vital sign dalam batas normal, Gambaran ECG normal, bebas
gejala gagal jantung, urine output adekuat 0,5-2 ml/kgBB, klien
ikut serta dalam aktifitas yang mengurangi beban kerja jantung.
Intervensi :
a. Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara teratur setiap 4 jam.
14
R : Memonitor adanya perubahan sirkulasi jantung sedini mungkin.
b. Catat bunyi jantung.
R : Mengetahui adanya perubahan irama jantung.
c. Kaji perubahan warna kulit terhadap sianosis dan pucat.
R : Pucat menunjukkan adanya penurunan perfusi perifer terhadap tidak
adekuatnya curah jantung. Sianosis terjadi sebagai akibat adanya obstruksi
aliran darah pada ventrikel.
d. Pantau intake dan output setiap 24 jam.
R : Ginjal berespon untuk menurunkna curah jantung dengan menahan
produksi cairan dan natrium.
e. Batasi aktifitas secara adekuat.
R : Istirahat memadai diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kontraksi
jantung dan menurunkan komsumsi O2 dan kerja berlebihan.

f. Berikan kondisi psikologis lingkungan yang tenang.


R : Stres emosi menghasilkan vasokontriksi yang meningkatkan TD dan
meningkatkan kerja jantung.

2) Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian


aliran arteri-vena; penurunan aktifitas..w
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari perfusi
jaringan adekuat
Kriteria hasil : Vital sign dalam batas yang dapat diterima, intake output
seimbang, akral teraba hangat, sianosis (-), nadi perifer kuat,
pasien sadar/terorientasi, tidak ada oedem, bebas
nyeri/ketidaknyamanan.
Intervensi :
a. Monitor perubahan tiba-tiba atau gangguan mental kontinu (camas, bingung,
letargi, pinsan).
R : Perfusi serebral secara langsung berhubungan dengan curah jantung,
dipengaruhi oleh elektrolit/variasi asam basa, hipoksia atau emboli sistemik.
b. Observasi adanya pucat, sianosis, belang, kulit dingin/lembab, catat kekuatan
nadi perifer.
R : Vasokonstriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin
dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi.
c. Kaji tanda Homan (nyeri pada betis dengan posisi dorsofleksi), eritema, edema.
R : Indikator adanya trombosis vena dalam.
d. Dorong latihan kaki aktif/pasif.
R : Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan
resiko tromboplebitis.
e. Pantau pernafasan.
R : Pompa jantung gagal dapat mencetuskan distres pernafasan. Namun dispnea
tiba-tiba/berlanjut menunjukkan komplikasi tromboemboli paru.
f. Kaji fungsi GI, catat anoreksia, penurunan bising usus, mual/muntah, distensi
abdomen, konstipasi.

15
R : Penurunan aliran darah ke mesentrika dapat mengakibatkan disfungsi GI,
contoh kehilangan pristaltik.

g. Pantau masukan dan pey rubahan keluaran urine.


R : Penurunan pemasukan/mual terus-menerus dapat mengakibatkan penurunan
volume sirkulasi, yang berdampak negatif pada perfusi dan organ.

3) Intoleran aktifitas b/d adanya penurunan curah jantung, kongestif pulmunal


Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari, klien dapat
beraktifitas sesuai batas toleransi yang dapat diukur.
Kriteria hasil : menunjukkan peningaktan dalam beraktifitas, dengan frekuensi
jantung/irama dan TD dalam batas normal, kulit hangat, merah
muda dan kering.
Intervensi :
a. Kaji toleransi pasien terhadap aktifitas menggunakan parameter berikut: nadi
20/mnt di atas frek nadi istirahat, catat peningaktan TD, dispnea, nyeri dada,
kelelahan berat, kelemahan, berkeringat, pusing atau pinsan.
R : Parameter menunjukkan respon fisiologis pasien terhadap stres aktifitas dan
indikator derajat penagruh kelebihan kerja jnatung.
b. Tingkatkan istirahat dan batasi aktifitas.
R : Menghindari terjadinya takikardi dan pemendekan fase distole.
c. Pengunjung atau kunjungan oleh pasien.
R : Pembicaraan yang panjang sangat mempengaruhi pasien, naum periode
kunjungan yang tenang bersifat terapeutik.
d. Kaji kesiapan untuk meningaktkan aktifitas contoh: penurunan
kelemahan/kelelahan, TD stabil/frek nadi, peningaktan perhatian pada aktifitas
dan perawatan diri.
R : Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk menunjukkan tingkat
aktifitas individu.
e. Dorong memajukan aktifitas/toleransi perawatan diri.
R : Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktifitas dapat meningkatkan
jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktifitas bertahap mencegah peningkatan
tiba-tiba pada kerja jantung.
f. Berikan bantuan sesuai kebutuhan (makan, mandi, berpakaian, eleminasi).
R : Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan membantu
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.7

g. Anjurkan pasien menghindari peningkatan tekanan abdomen, mangejan saat


defekasi.
R : Aktifitas yang memerlukan menahan nafas dan menunduk (manuver valsava)
dapat mengakibatkan bradikardia, menurunkan curah jantung, takikardia dengan
peningaktan TD.
16
h. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari aktifitas, contoh: posisi duduk ditempat
tidur bila tidak pusing dan tidak ada nyeri, bangun dari tempat tidur, belajar
berdiri dst.
R : Aktifitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningaktkan regangan
dan mencegah aktifitas berlebihan.

4) Resiko kelebihan volume cairan b/d adanya perpindahan tekanan pada kongestif
vena pulmonal, Penurunan perfusi organ (ginjal); peningaktan retensi
natrium/air; peningakatn tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma
(menyerap cairan dalam area interstitial/jaringan).
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari kelebihan
volume cairan tidak terjadi.
Kriteria hasil : balance cairan masuk dan keluar, vital sign dalam batas yang dapat
diterima, tanda-tanda edema tidak ada, suara nafas bersih.
Intervensi
a. Auskultasi bunyi nafas untuk adanya krekels.
R : Mengindikaiskan edema paru skunder akibat dekompensasi jantung.
b. Catat adanya DVJ, adanya edema dependen.
R : Dicurigai adanya gagal jantung kongestif.kelebihan volume cairan.
c. Ukur masukan/keluaran, catat penurunan pengeluaran, sifat konsentrasi. Hitung
keseimbnagan cairan.
R : Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi
cairan/Na, dan penurunan keluaran urine. Keseimbangan cairan positif berulang
pada adanya gejala lain menunjukkan klebihan volume/gagal jantung.
d. Pemasukan total cairan 2000 cc/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler.
R : Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang dewasa tetapi memerlukan
pembatasan pada adanya dekompensasi jantung.
e. Berikan diet rendah natrium/garam.
R : Na meningkatkan retensi cairan dan harus dibatasi.

f. Delegatif pemberian diiretik.


R : Mungkin perlu untuk memperbaiki kelebihan cairan.
5) Resiko kerusakan pertukaran gas b/d perubahan membran kapiler-alveolus
(perpindahan cairan ke dalam area interstitial/alveoli).
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari pertukaran gas
adekuat.
Kriteria hasil: sianosis tidak ada, edema tidak ada, vital sign dalam batas dapat
diterima, akral hangat, suara nafas bersih, oksimetri dalam rentang
normal.
Intervensi
a. Auskultasi bunyi nafas, catat krekels, mengii.
R : Menyatakan adanya kongesti paru/pengumpulan sekret menunjukkan
kebutuhan untuk intervensi lanjut.
b. Anjurkan pasien batuk efektif, nafas dalam.
R : Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.

17
c. Dorong perubahan posisi sering.
R : Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.
d. Pertahankan posisi semifowler, sokong tangan dengan bantal.
R : Menurunkan komsumsi oksigen/kebutuhan dan meningkatkan ekspansi paru
maksimal.
e. Pantau GDA (kolaborasi tim medis), nadi oksimetri.
R : Hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru.
f. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
R : Meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar, yang dapat
memperbaiki/menurunkan hipoksemia jaringan.
g. Delegatif pemberian diuretik.
R : Menurunkan kongesti alveolar, meningkatkan pertukaran gas.

2.3 Aorta Stenosis

2.3.1 Definisi
Stenosis aorta adalah penyempitan katup aorta. Paling sering terjadi akibat
klasifikasi progresif dari suatu katup yang degeneratif atau bikuspidalis (Gleadel,
2007).
Stenosis aorta merupakan suatu penyakit yang progresif. Meningkatnya
kekesaran bising dan menghilangnya bunyi klik dapat menunjukkan peningkatan
gradien di sepanjang katup aorta (William, Schwartz M, 2005)

18
Stenosis aorta adalah penyempitan pada jalan keluar ventrikel kiri pada katup
aorta atapun area tepat di bawah atau atas katup aorta mengakibatkan perbedaan
tekanan antara ventrikel kiri dan aorta (Wahab, Samik A. 2009)
2.3.2 Etiologi
Menurut (Noer, Sjaifoellah. 2002) penyebab terjadinya stenosis aorta adalah :
1. Konginetal
a. Aorta unikuspid, menyebabkan obstruksi berat pada saat bayi dan merupakan
penyebab kematian pada umur kurang dari 1 tahun.
b. Aorta bicuspid, dapat menyebabkan stenosis pada saat lahir, tetapi kadang-
kadang juga tidak. Struktur abnormal ini akan menyebabkan turbelensi
sehingga katup akhirnya menjadi kaku, fibrosis dan klasifikasi pada umur
dewasa. Kelainan ini dapat diperberat oleh endokarditis bakteriliasis dan
menimbulkan reguritasi.
c. Aorta tricuspid dapat juga mengalami abnormalitasda dalam bentuk maupun
besarnya sehingga menimbulkan turbulensi, fibrosis dan klasifikasi.
2. Penyakit Jantung Reumatik
Kelainan akibat penyakit jantung reumatik pada katup aorta jarang muncul
tersendiri, tapi selalu disertai kelainan pada katup lainnya.
3. Stenosis aorta akibat klasifikasi senilis
Kelainan ini merupakan akibat arteriosklerosis, dimana terjadi sklerosis dan
klasifikasi katup pada usia lanjut dan jarang mengakibatkan stenosis berat.
4. Stenosis aorta pada arthritis rheumatoid
Terjadi penebalan nodular daun katup dan proksimal aorta. Kelainan ini jarang
sekali terjadi.

2.3.3 Patofisiologi
Ukuran normal orifisium aorta 2-3 cm2. Stenosis aorta menyebabkan tahanan
dan perbedaan tekanan selama sistolik antara ventrikel kiri dan aorta. Peningkatan
tekanan ventrikel kiri menghasilkan tekanan yang berlebihan pada ventrikel kiri, yang
dicoba diatasi dengan meningkatkan ketebalan dinding ventrikel kiri (hipertrofi
ventrikel kiri). Pelebaran ruang ventrikel kiri terjadi sampai kontraktilitas miokard
menurun. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat. Kontraksi atrium
menambah volume darah diastolik ventrikel kiri. Hal ini akan mengakibatkan
pembesaran atrium kiri. Akhirnya beban ventrikel kiri yang terus menerus akan
menyebabkan pelebaran ventrikel kiri dan menurunkan kontraktilitas miokard.
Iskemia miokard timbul timbul akibat kurangnya aliran darah koroner ke miokard
yang hipertrofi.

19
Area katup aorta normal berkisar 2-4cm2,Gradien ventrikel kiri dengan aorta
mulai trlihat bila area katup aorta <1.5cm2. Bila area katup mitral <1cm2,maka stenosis
aorta sudah disebut berat. Kemampuan adaptasi miokard menghadapi stenosis aorta
meyebabkan manifestasi baru muncul bertahun tahun kemudian. Hambatan aliran
darah pada stenosis katup aorta(progressive pressure overload of left ventricle akibat
stenosis aorta) akan merangtsang mekanisme RAA(Renin-Angiotensin-Aldosteron)
beserta mekanisme lainnya agar miokard mengalami hipertrofi.Penambahan massa
otot ventrikel kiri ini akan menigkatkan tekanan intra-ventrikel agar dapat melampaui
tahanan stenosis aorta tersebut dan mempertahankan wall stress yang normal
berdasarkan rumus Laplace: Stress= (pressurexradius): 2xthickness. Namun bila
tahanan aorta bertambah,maka hipertrofi akan berkembang menjadi patologik disertai
penambahan jaringan kolagen dan menyebabkan kekakuan dinding
ventrikel,penurunan cadangan diastolic,penigkatan kebutuhan miokard dan iskemia
miokard .Pada akhirnya performa ventrikel kiri akan tergangu akibat dari asinkroni
gerak dinding ventrikel dan after load mismatch. Gradien trans-valvular
menurun,tekanan arteri pulmonalis dan atrium kiri meningkat menyebabkan sesak
nafas.Gejala yang mentolok adalah sinkope,iskemia sub-endokard yang menghasilkan
angina dan berakhir dengan gagal miokard (gagal jantung kongestif). Angina timbul
karena iskemia miokard akibat dari kebutuhan yang meningkat hipertrofi ventrikel
kiri, penurunan suplai oksigen akibat dari penurunan cadangan koroner, penurunan
waktu perfusi miokard akibat dari tahanan katup aorta.
Sinkop umumnya timbul saat aktifitas karena ketidak mampuan jantung
memenuhi peningkatan curah jantung saat aktifitas ditambah dengan reaksi penurunan
resistensi perifer. Aritmia supra maupun ventricular, rangsangan baroreseptor karena
peningkatan tekanan akhir diastolik dapat menimbulkan hipotensi dan sinkop.
Gangguan fungsi diastolic maupun sistolik ventrikel kiri dapat terjadi pada stenosis
aorta yang dapat diidentifikasi dari pemeriksaan jasmani,foto toraks dan enongkatan
Peptida Natriuretik. Hipertrofi ventrikel akan menigkatkan kekakuan seluruh dinding
jantung. Deposisi kolagen akan menambah kekauan miokard dan menyebabkan
gisfungsi diastolik. Setelah penebalan miokard maksimal, maka wall stress tidak lagi
dinormalisasi sehingga terjadi peninggian tekanan diastolic ventrikel kiri
menghasilkan penurunan fraksi ejeksi dan penurunan curah jantung yang disebut
sebagai disfungsi sistolik

20
2.3.4 WOC
(Terlampir)

2.3.5 Manifestasi Klinis


Perjalanan penyakit yang lambat dan bertahap menyebabkan pasien stenosis
aorta baru mengeluh sesak nafas sinkope dan sakit dada selama bertahun-tahun
menderita penyakit ini, yaitu pada saat fungsi jantung sudah mulai menurun dan
obstruksi aorta sudah sangat berat.
Pemeriksaan jasmani pasien stenosis sedang atau berat biasanya ditemukan
nadi tardus atau parvus dan bising sistolik di sela iga 2 kiri atau kanan yang menjalar
ke leher dan apeks. Bunyi jantung II biasanya terdiri atas komponen pulmoner.
(Noer, Sjaifoellah. 2002)

2.3.6 Pemeriksaan Diagnostik


1. EKG menunjukkan hipertrofi LV dengan strain (ST depresi, T inversi) dan
perlambatan atrium kiri. Fibrilasi atrium dan aritmia ventrikular sering kali tampak
saat fungsi LV telah memburuk.
2. Radiografi thoraks : Pada stenosis aorta tanpa komplikasi, ukuran jantung normal,
namun didapatkan dilatasi pasca stenosis pada aorta desenden pada 80% pasien.
3. Ekokardiografi menunjukkan pembukaan katup yang menurun dan kalsifikasi
daun katup, dan memungkinkan penghitungan area katup.
4. Pencitraan doppler memungkinkan penghitungan gradien tekanan antara LV dan
aorta.
(Aaronson, 2007)
2.3.7 Penatalaksanaan
1. Pembedahan untuk mengganti katup, yang sebaiknya dilakukan sebelum terjadinya
kerusakan ventrikel kiri yang menetap. Katup pengganti dapat berupa katup
mekanik. Untuk mencegah infeksi katup jantung, setiap penderita dengan katup
pengganti harus mengkonsumsi antibiotik sebelum menjalani tindakan gigi atu
pembedahan.

2. Valvuloplasti balon, suatu kateter yang ujungnya terpasang balon, dimasukkan ke


dalam katup dan balonnya digelembungkan untuk melebarkan lubang katup.
(Kasron. 2012)

21
2.3.8 Komplikasi
1. Gagal ventrikel kiri
2. Aritmi-dapat mati mendadak
3. Fibrilasi atrium
4. Endokarditis infektif
5. Sinkop

2.3.9 Asuhan Keperawatan Teori


PENGKAJIAN
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : kelelahan, kelemahan
Tanda : takikardi, penurunan tekanana darah, dispnea dengan aktivitas
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat demam rematik, penyakit jantung congenital, bedah jantung,
palpitasi, jatuh pingsan
Tanda : takikardi, disritmia, perpindahan titik impuls maksimal
c. Eliminasi
Gejala : riwayat penyakit ginjal/gagal ginjal; penurunan frekuensi/jumlah urine
Tanda : urine pekat gelap
d. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang sampai berat/tajam) diperberat oleh
inspirasi, batuk, gerakan menelan, berbaring
Tanda : perilaku distraksi, misalnya gelisah
e. Pernapasan
Gejala : napas pendek
Tanda : dispnea, batuk, pernapasan dangkal

f. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum pasien tampak lemas dan wajahnya pucat
TD : 110/90 mmHg, suhu : 38C, RR : 26X/menit, nadi : 110X/menit
2. Pemeriksaan kepala
Pada kepala berbentuk mesochepal, rambut klien tidak rontok, tidak lesi pada
kulit, idak berketombe dan tidak terdapat nyeri tekan pada kepala klien
3. Pemeriksaan muka
Muka klien terlihat pucat, tidak lesi pada wajah klien
4. Pemeriksaan mata
Bentuk mata simetris, sclera non ikterik, kornea jernih, pupil isokor,
konjungtiva anemis, palpebra normal tidak ada nyeri tekan
5. Pemeriksaan hidung
Hidung klien berbentuk simetris, tulang hidung tidak septum deviasi, tidak ada
lesi, tidak terdapat hematom, tidak ada polip dan epitaksis
6. Pemeriksaan mulut
Mulut klien lembab, tidak ada stomatitis, tidak ada lesi
7. Pemeriksaan leher klien
Tidak ada pembesaran tyroid, tidak ada kaku kuduk, reflek menelan baik
8. Pemeriksaan dada
Inspeksi : pergerakan pernapasan meningkat,tampak kelelahan
22
Palpasi : terdapat thrill
Perkusi : terdapat keredupan padadaerah yang terinfeksi
Auskultasi : terdapat bunyi murmur yang khas dan melemah pada bunyi
jantung kedua
9. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : warna kulit abdomen normal yaitu kecoklatan lebih terang dari
warna kulit lain, terlihat adapembengkakan di perut
Auskultasi : peristaltic usus 20 kali
Perkusi : terdengar timpani
10. Pengkajian ekstermitas
Tidak ada edema, kekuatan otot lemah
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan tekanan atrium dan
kongesti vena.
2. Kelebihan volume cairan berhubunag dengan peningkatan retensi cairan dan natrium
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
dan kebutuhan (penurunan / terbatasnya curah jantung)

INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Penurunan curah Bebas dari gejala - Pantau tekanan - Indikator klinis
jantung dekompensasi jantung darah dan nadi dari keadekuatan
berhubungan Kriteria hasil apikal dan curah jantung.
dengan perubahan a. Melaporkan / perifer Pemantauan
tekanan atrium dan menunjukkan memungkinkan
kongesti vena episode dipsnea, deteksi dini /
nyeri dada dan - Pantau irama tindakan terhadap
disritmia jantung sesuai dekompensasi
b. Berpartisipasi indikasi - Disritmia umum
dalam aktivitas pada pasien
yang menurunkan dengan penyakit
beban kerja jantung katup. Disritmia
c. Mendemonstrasikan atrium paling
peningkatan umum, berkenaan
toleransi aktivitas dengan
d. Mengidentifikasi peningkatan
tanda dini dan tekanan dan
dekompensasi volume atrium.
jantung, cara untuk Abnormalitas
mengubahaktivitas konduksi dapat
dan kapan mencari juga terjadi,
bantuan seperti pada
penyakit katup
aortik, karena
- Tingkatkan penurunan perfusi
tirah baring arteri koroner
dengan posisi - Menurunkan
23
semi fowler volume darah
yang kembali ke
jantung, yang
memungkinkan
oksigenasi,
menurunkan
- Bantu aktivitas dipsnea dan
sesuai indikasi regangan jantung
- Melakukan
kembali aktivitas
secara bertahap
dapat mencegah
pemaksaan
- Diskusikan / terhadap cadangan
demonstrasika jantung
n teknik - Reduksi ansietas
manajemen dapat menurunkan
stres stimulasi jantung
simpatis dan
beban kerja
- Kolaborasi jantung
pemberian - Memberikan
oksigen. oksigen untuk
pantau BGA ambilan miokard
dalam upaya
untuk
mengkompensasi
peningkatan
kebutuhan
- Kolaborasi oksigen
pemberian - Pengobatan
obat-obatan disritmia atrial
sesuai indikasi dan ventrikuler
(antidisritmia, khususnya
inotropik, mendasari kondisi
vasodilator, dan simtomatologi
deuretik) tapi ditunjukkan
pada
berlangsungnya /
meningkatnya
curah jantung.
Vasodilator
digunakan untuk
menurunkan
hiprtensi dan
tahanan vaskuler
sistemik.
Penurunan ini
mengembalikan
dan
menghilangkan
tahanan. Deuretik
24
menrunkan
volume sirkulasi.,
yang menurunkan
tekanan darah
lewat katupyang
tak berfungsi,
meskipu
memperbaiki
fungsi jantung dan
menurunkan
kongesti vena.
Kelebihan volume Balance cairan adekuat - Pantau - Penting pada
cairan berhubunag kriteria hasil masukan dan pengkajian
dengan a. menunjukkan pengeluaran jantung dan fungsi
peningkatan retensi keseimbangan cairan, catat ginjal dan
cairan dan natrium masukan dan keseimbangan kefektifan terapi
haluaran, berat cairan (positif / deuretik,
badan stabil, tanda ngatif), keseimbangan
vital dalam rentang timbang bb cairan positif
normal dan tidak tiap hari berlanjut( pemasu
ada edema kan lebih besar
b. menyatakan dari pengeluaran)
pemahaman diet dan berat badan
individu / mengkat
pembatasan cairan - Auskultasi menunjukkan
bunyi nafas makin buruknya
dan jantung gagal jantung
- Tambahan bunyi
nafas (krakles)
dapat
menimbulkan
timbulnya edema
paru akut atau
GJK kronis.
Terdengarnya S3
adalah salah satu
temuan klinik
pertama
sehubungan
dengan
k=dekompensasi.
Ini mungkin
- Kaji adanya sementara. (gagal
distensi vena paru kongestif
jugular / akut) atau
peninggian permanen (gagal
CVP jantung luas atau
kronis
sehubungan
dengan penyakit
katup berat)
- Indikator klinik
25
gagal jantung sisi
kandan dan
kongesti sistemik
pada perluasan
penyakit katup (2
3 katup)
- Hipertensi umum
sebagai akibat
gangguan katup,
contoh stenosis
aorta. Namun
peninggian TD
diatans normal
dapat
- Pantau TD menunjukkan
kelebihan cairan,
khususnya bila
terjadi tiba-tiba
sepanjang tanda
- Catat laporan kongesti pulmonal
dipsnea,
ortopnea. - Terjadinya /
Evaluasi teratasinya gejala
adanya / menunjukkan
detajat edema status
keseimbangan
cairan dan
- Jelaskan tujuan keefektifan terapi
pembatasan - Dapat
cairan / meningkatkan
natrium pada kerja sama psaien.
pasie / orang Memberikan
terdekat. beberapa rasa
Libatkan kontrol dalam
dalam rencana menghadapi
jadwal upaya pembatasan
pemasukan /
pilihan diet
yang tepat

Kolaborasi
- Berikan
deuretik
(furosemid, - Menghambat
asam reabsorbsi
etakrinik) Natrium / Klorida
sesuai indikasi yang meingkatkan
ekskresi cairan
dan menunjukkan
kelebihan cairan
- Pantau total tubuh dan
eddema paru
26
elektrolit - Nilai elektrolit
serum berubah sebagai
khususnya K. respon deuresis
Berikan K dan gangguan
pada diet dan oksigenasi dan
K tambahan metabolisme.
bila Hipokalemi
diindikasikan mencetus pasien
pada gangguan
- Berikan cairan irama jantung
IV melalui alat - Pompa IV
pengontrol mencegah
kelebihan
- Batasi cairan pemberian cairan
sesuai indikasi - Dapat diperlukan
untuk
menurunkan
volume cairan
- Berikan ekstra sel / edema.
batasan diet - Menurunkan
natrium sesuai retensi cairan
indikasi
Intoleransi Perbaikan toleransi - Kaji toleransi - Parameter
aktivitas aktifitas pasien menunjukkan
berhubungan Kriteria hasil terhadap respon fisiologis
dengan a. Menunjukkan aktivitas pasien terhadap
ketidakseimbangan peningkatan yang mengguanakan stress aktivitas
antara suplai dapat diukur dalam parameter dan indikator
oksigen dan toleransi aktivitas berikut : HR derajat pengaruh
kebutuhan b. Mengidentifikasi 20 kali/ min kelebihan kerja /
(penurunan / faktor yang diatas jantung
terbatasnya curah mempengaruhi frekuensi
jantung) toleransi aktivitas istirahat, cacat
dan penurunannya peningkatan
dengan efek negatif TD, dipsnea
atau nyeri
dada,
kelelahan berat - Stabilitas
dan fisiologis pada
kelemahan, istirahat penting
berkeringat, untuk memajukan
pusing atau tingkat aktivitas
pingsan individual
- Kaji kesiapan
untuk
meningkatkan
aktivitas
contoh - Konsumsi oksigen
penurunan miokardia selama
kelemahan / berbagai aktvitas
kelelahan, TD dapat

27
stabil/ HR, meningkatkan
peningkatan jumlah oksigen
perhatian pada yang ada.
aktivitas dan Kemajuan
perawatan diri aktivitas bertahap
- Dorong mencegah
memajukan peningkatan tiba-
aktivitas / tiba pada kerja
toleransi jantung
aktivitas - Teknik
penghematan
energi
menurunkan
pengguanaan
energi dan
sehingga
membantu
keseimbangan
suplai dan
- Berikan kebutuhan
bantuan sesuai oksigen
kebutuhan dan - Seperti jadwal
anjurkan meningkatkan
pengguanaan toleransi terhadap
kursi mandi, kemajuan
menyikat gigi / aktivitas dan
rambut dengan mencegah
duduk dsb kelemahan

- Dorong pasien
untuk
berpartisipasi
dalam memilih
periode
aktivitas

2.4 Insufisiensi Mitral

28
2.4.1 Definisi
Insufisiensi mitral terjadi bilah- bilah katup mitral tidak dapat saling menutup
selama systole. Chordate tendineae memendek, sehingga bilah katup tidak dapat
menutup dengan sempurna, akibatnya terjadilah regurgitasi aliran balik dari ventrikel
kiri ke antrium kiri.Pemendekan atau sobekan salah satu atau kedua bilah katup mitral
mengakibtakan penutupan lumen mitral tidak sempurna saat ventrikel kiri dengan kuat
mendorong darah ke aorta, sehingga setiap denyut, ventrikel kiri akan mendorong
sebagaian darah kembali ke antrium kiri. Aliran balik darah ini ditambah dengan darah
yang masuk dari paru, menyebabkan antrium kiri mengalami pelebaran dan hipertrofi.
Aliran darah balik dari ventrikel akan menyebabkan darah yang mengalir dari
paru ke antrium kiri menjadi berkurang. Akibatnya paru mengalami kongesti, yang
pada giliranya menambah beban ke ventrikel kanan. Maka meskipun kebocoran mitral
hanya kecil namun selalu berakibat terhadap kedua paru dan ventrikel kanan.
2.4.2 Etiologi
Berdasarkan etiologinya insufisiensi atau regurgitasi mitral dapat dibagi atas
reumatik dan non reumatik(degeneratif, endokarditis, penyakit jantung koroner,
penyakit jantung bawaan, trauma dan sebagainya). Di negara berkembang seperti
Indonesia, penyebab terbanyak insufisiensi mitral adalah demam reumatik.
2.4.3 Patofisiologi
Insufisiensi mitral akibat reumatik terjadi karna katup tidak biasa menutup
sempurna waktu sistolik. Perubahan pada katup meliputi klasifikasi, penebalan dan
distorsi daun katup. Hal ini mengakibatkan koaptasi yang tidak sempurna waktu
sistolik. Selain pemendekan kordatendinea mengakibatkan katup tertarik ke ventrikel
terutama bagian posterior, dapat juga terjadi dilatasi annulus atau rupture korda
tendinea. Selam fase sistolik, terjadi aliran regurgitasi ke atrium kiri, mengakibatkan
gelombang v yang tinggi di atrium kiri, sedangkan aliran ke aorta berkurang pada saat
diastolik,darah mengalir dari atrium kiri ke ventrikel.darah tersebut selain yang
berasal dari paru-paru melalui vena pulmonalis,jika terdapat darah regurgidan dari
ventrikel kiri waktu sistolik sebelumnya.ventrikel kiri cepat distensi,apeks bergerak ke
bawah secara mendadak,menarik katup korda dan otot kapilaris,hal ini menimbulkan

29
vibrasi membentuk bunyi jantung ke tiga.pada insufisiensi mitral kronik,regurgitasi
sistolik ke atrium kiri dan vena-vena pulmonalis dapat ditoleransi tanpa meningkatnya
tekanan baji dan aorta pulmonal.
2.4.4 WOC
(Terlampir)
2.4.5 Manifestsi klinis
Sangat capi, lemah, kehabisan tenaga, berat badan turun, napas sesak bial
terjadi kegiatan fisik, ortopneu, paroxysma noktural dipsneu rales
Tingkat lanjut : edema paru-paru, kegagalan jantung sebelah kanan.
Auskultasi : terasa getaran pada raba apex, S1 tidak ada, lemah, murmur.
Murmur : bernada tinggi, menghembus, berdesis, selam systoll(pada
apex) S3 nada rendah.
2.4.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Murmur jantung sistolik dapat didengar pada saat darah mendorong dengan
kuat melewati katup.
2. Ekokardiografi dapat digunakan untuk mendiagnosa adanya struktur dan
gerakan katup yang abnormal.
3. Pada MR akut yang berat, murmur sitolik bersifat decrescendo, yang
menggambarkan adanya keseimbangan antara tekanan ventrikel dan atrium
kiri saat sitolik.
4. Terdapat denyut S3, yang menggambarkan adanya peningkatann volume
darah yang menuju ventrikel kiri pada diastolic awal
5. Pada MR kronik, terdapat pulsasi apeks jantung yang biasanya dapat teraba
di sekitar aksila karena adanya pembesran ventrikel kiri
6. Chest radiograph, menunjukan adanya edema paru pada MR akut,
sedangkan pada MR kronik, menunjukan adanya pembesaran atrium dan
ventrikel kiri tanpa keterlibatan sirkulasi pulmonal
7. EKG, menunjukkan adanya pembesaran atrium kiri dn tanda hipertrofi
ventrikel kiri pada MR kronik
8. Ecocardiografi dapat digunakan untuk mencari sebab dari MR dan
menentukan derajat MR menggunakan ecocardiografi dopler. Selain itu,
dapat juga ditentukan ukuran dan fungsi dari ventrikel kiri.
9. Kateterisasi jantung, yng berguna untuk mengidentifikasi penyebab iskemi
korener dan menenttukan derajat MR

30
10. Foto polos jantung, yng mmperlihatkan pembesaran dari atrium dn
ventrikel kiri pada MR kronik. Trdapat kongesti vena pulmonal, edema
intersisial, danadanya garis Kerley B. Klasifikasi dapat terlihat terutama
pada pasien dengan MS dan MR yang lama. Klasifikasi yang terdapat pada
annulus mitral terlihat pada proyeksi lateral.
2.4.7 Penatalaksanan
Jika Regurgitasi ringan, tidak memerlukan perawatan spesifik namun pasien
mungkin erlu dievaluasi secara berkala dan mungkin perlu minum antibiotic sebelum
tindakan medis. Berikut daftar antibiotic yng dapat digunakan
Golongan Nama Generik Obat
Sefalosporin Cephalexin
Cefazolin
Cefadroxil
Makrolid Clarithromycin
Azithromycin
Erythromycin
Aminoglikosida Gentamicin
Penisilin Amoxicillin
Ampicillin
Antibiotika golongan lain Vancomycin
Clindamycin

Terapi yang diberikan pada MR bertujuan untuk memperbaiki curah jantung


mengurangi regurgitasi, dan memperbaiki edema pulmonal. Pada MR akut, dapat
diberikan
1. Diuretik IV : memperbaiki edema pulmonal
2. Vasodilator (Na Nitroprussida) : memperbaiki curah jantung
3. Warfarin : memperbaiki fibrilasi atrial
4. Pengobatan untuk menangani gagal jantung, seperti diuretic, beta-blocker,
ACE-1, dan digitalis, dapat menangani MR yang terdapat kardiomyopati
Sedangkan, pemberian vasodilator pada MR kronik tidak disarankan
karena tidak memberikan prognosis yang baik. Karena MR kronik dapat menyebabkan
gangguan fungsi kontaktilitas jantung dan gagal jantung, disarakan penanganan
dengan pembedahan katup mitral.
Regurgitasi yang lebih serius dapat diobati dengan inhibitor angiotensin-
comforting (ACE) enzim, seperti captropil, enalapril atau lisinopril, dengan atau tanpa
digoksin.Kadang-kadang operasi diperlukan bagi mereka dengan regurgitasi berat.
Permukaan katup jantung yang rusak mudah tterkena infeksi serius
(endocarditis infeksius). Karena itu untuk mencegah terjadinya infeksi, seseorang
engan katup yang rusak atau katup buatan harus mengkonsumsi antibiotic (seperti
sebelum menjalani tindakan pencabutan gigi atau pembedahan).
Operasi harus dilakukan sebelum ventrikel kiri menjadi lemah dan tidak bis
kembali. Oleh karena tu, eokardiografi dilakukan secara berkala untuk menentukan

31
seberapa cepat ventrikel kiri membesar. Pembedahan mungkin dilakukan untuk
memperbaiki katup atau mnggantinya dengan katup (Prospetik buatan).
Pembedahan ini termasuk :
a. Perbaikan katup mitral (mitral valve repair), yaitu rekonstruksi katup mitral yang
menyebabkan regurgitasi, seperti penyambungan kembali daun katup ke annulus
mitral, atau penyambungan korda tendenia.
b. Penggantian katup mitral (mitral valve replacement)

2.5 Insufisiesi Aorta

2.5.1 Definisi
Insufisiensi aorta adalah kembalinya darah ke ventrikel kiri dari aorta selama
diastole (vanvid, 2011).
Insufisiensi aorta adalah suatu keadaan dimana terjadi refluk (aliran balik)
darah dari aorta ke dalam ventrikel kiri sewaktu relaksasi (wajan, 2010).
Insufisiensi aorta adalah penyakit katup jantung dimana katup aorta atau balon
melemah, mencegah katup menutup erat-erat. Hal ini menyebabkan mundurnya aliran
darah dari aorta (pembuluh darah terbesar) ke dalam ventrikel kiri (evan, 2010).
Insufisiensi katub Aorta (Regurgitasi ) adalah kembalinya darah ke ventrikel
kiri dari aorta selama diastol ( relaksasi ). Insufisiensi aorta adalah suatu keadaan
dimana terjadi refluk ( aliran balik ) darah dari aorta ke dalam ventrikel kiri sewaktu
relaksasi. Insufisiensi aorta adalah penyakit katub jantung di mana katub aorta atau
balon melemah, mencegah katub menutup erat-erat. Hal ini menyebabkan mundur
aliran darah dari aorta (pembuluh darah terbesar) ke dalam ventrikel kiri (ruang bawah
kiri jantung).
2.5.2 Etiologi
Penyebab terbanyak adalah demam rematik . Kelainan katub dan pangkal aorta
juga bisa menimbulkan insufisiensi aorta. Pada insufisiensi aorta kronik terlihat

32
fibrosis dan retraksi daun-daun katub atau tanpa kalsifikasi, yang umumnya
merupakan sekuele dari demam rematik.
Insufisiensi darah dari aorta ke ventrikel kiri dapat terjadi dalam 3 macam
kelainan artifisial, yaitu:
1. Dilatasi pangkal aorta seperti yang ditemukan pada:
a. Penyakit kolagen
b. Aortitis sifilitika
c. Diseksi aorta
2. Penyakit katup artifisial
a. Penyakit jantung reumatik
b. Endokarditis bakterialis
c. Aorta artificial congenital
d. Ventricular septal defect (VSD)
e. Ruptur traumatik
f. Aortic left ventricular tunnel
3. Genetik
a. Sindrom marfan
Mukopolisakaridosis
1. Demam reumatik
Rheumatic fever (demam rhematik) adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh
infeksi oleh kelompok streptococcal bacteria yang tidak dirawat . Kerusakan pada
kelopak-kelopak klep akibat dari demam rhematik menyebabkan pergolakan yang
meningkat di seluruh klep dan lebih banyak kerusakan. Penyempitan dari demam
rhematik terjadi dari peleburan dari tepi-tepi (commissures) dari kelopak-kelopak
klep.
Dalam keadaan normal, katub aorta menutup untuk mencegah darah di aorta dari
mengalir balik ke ventricle kiri. Pada aortic regurgitation, klep yang sakit
mengizinkan kebocoran dari darah balik ke dalam ventricle kiri ketika otot-otot
ventricle mengendur derajat dari kerusakan rhematik pada klep mitral. Penyakit
jantung rhematik adalah suatu kejadian yang relatif tidak umum di Amerika, kecuali
pada orang-orang yang telah berimigrasi dari negara-negara kurang maju.

2. Kelainan bawaan (kongenital)


Kelainan bawaan yang dibawa bayi sejak lahir, misalnya kelainan katub yang
tidak bisa menutup secara sempurna saat dalam kandungan, menyebabkan aliran
darah dari ventrikel kiri tidak bisa mengalir secara sempurna.
3. Proses penuaan
Dengan penuaan, protein collagen dari kelopak-kelopak klep dihancurkan, dan
kalsium mengendap pada kelopak-kelopak. Pergolakan diseluruh klep-klep
33
meningkatkan penyebab luka parut, dan penebalan. Penyakit yang progresif yang
menyebabkan kalsifikasi aorta tidak ada sangkut pautnya dengan pilihan-pilihan gaya
hidup yang sehat, tidak seperti kalsium yang dapat mengendap pada arteri koroner
untuk menyebabkan serangan jantung.
2.5.3 Patofisiologi
Insufisiensi aorta disebabkan oleh lesi peradangan yang merusak bentuk bilah
katub aorta, sehingga masing-masing bilah tidak bisa menutup lumen aorta dengan
rapat selama diastole dan akibatnya menyebabkan aliran balik darah dari aorta ke
ventrikel kiri .
Karena kebocoran katub aorta saat diastole, maka sebagian darah dalam aorta,
yang biasanya bertekanan tinggi, akan mengalir ventrikel kiri, sehingga ventrikel kiri
harus mengatasi keduanya, yaitu mengirim darah yang secara normal diterima dari
atrium kiri maupun darah yang kembali dari aorta. Ventrikel kiri kemudian melebar
dan hipertrofi untuk mengakomodasi peningkatan volume ini, demikian juga akibat
tenaga mendorong yang lebih dari normal untuk memompa darah, menyebabkan
tekanan darah sistolik meningkat. Sistem kardiovaskuler berusaha mengkompensasi
melalui refleks dilatasi pembuluh darah dan arteri perifer melemas, sehingga tahanan
perifer menurun dan tekanan diastolik turun drastis .
Perubahan hemodinamik keadaan akut dapat dibedakan dengan keadaan
kronik. Kerusakan akut timbul pada pasien tanpa riwayat insufisiensi sebelumnya.
Ventrikel kiri tidak punya cukup waktu untuk beradaptasi terhadap insufisiensi aorta.
Peningkatan secara tiba-tiba dari tekanan diastolik akhir ventrikel kiri bisa timbul
dengan sedikit dilatasi ventrikel.
2.5.4 WOC
(Terlampir)
2.5.5 Manifestasi klinis
Klien datang dengan keluhan dengan adanya pulsasi arteri karotis yang nyata
serta denyut pada apeks pada saat klien berbaring ke sebelah kiri. Bisa juga timbul
denyut jantung prematur, oleh karena isi sekuncup besar setelah sistolik yang panjang.
Pada klien insufisiensi aorta kronik bisa timbul gejala gejala gagal jantung, termasuk
dypsnea saat beraktifitas, ortopnea, dypsnea noptural paroksimal, edema paru dan
kelelahan. Angina cenderung timbul waktu istirahat saja timbulnya bradikardi dan
lebih lama menghilang dari pada angina akibat penyakit koroner saja.
Pada pemeriksaan fisik ditemukandenyut arteri karotis yang cepat dan
perbedaan tekanan darah yang besar bisa timbul pada keadaan hiperdinamik dengan
34
pulsus bisferiens. Jika insufisiensi berat, timbul efek nyata pada pulsasi arteri perifer.
Jika gagal jantung berat, tekanan diastolik bisa normal akibat peningkatan tekanan
diastolik pada ventrikel kiri. Jantung bisa berukuran normal jika bila insufisiensi aorta
kronik ringan atau jika insufisensinya akut. Pada klien dengan insufisiensi sedang atau
berat,jantung tampak membesar, impuls apeks bergeser ke inferolateral dan bersifal
hiperdinamik.
Bunyi jantung yang pertama menurunkan intesitasnya terutama jika interval
PR memanjang. Bunyi ejeksi sistolik bisa terdengar sepanjang perbatasan sternum kiri
akibat distensi tiba-tiba dari aorta. Sekunder dan insufisiensi bisa timbul bising
diastolik aorta di sela iga 2 kiri, bising sistolik di apeks, bising austi flint (diastolic
rumble/Bising diastolis pada apeks mirip pada stenosis mitral) di apeks dan bising
sisitolik trikuspid. Karakteristik bising diastoliknya adalah bunyi bernada tinggi,
paling jelas terdengar diperbatasan sternum kiri, menggunakan diafragma stetoskop
dengan penekanan yang cukup dan klien condong ke depan setelah ekspirasi. Jika
terdapat penyakit pangkal aorta, bising paling jelas terdengan di sternum kanan.
Bisisng diastolik nada tinggi bisa terdengar jika daun katubitu terbuka, timbul lubang
karena endokarditis. Bising tersebut sering terdengar pada insufisiensi aorta akut.
Biasanya bunyi melemah karena penutupan dini katub mitral. Irama derap ventrikel
yang terdengar di apeks biasanya merupakan tanda disfungsi ventrikel kiri. Bising
austin flint timbul akibat pergeseran aliran balik aorta terhadap daun katub interior dari
katub mitral, yang menimbulkan stenosis mitral fungsional.
Selama mekanisme kompensasi ventrikel kiri masih baik, gejala bersifat
asimtomatik Adapun tanda dan gejala insufisiensi aorta adalah:
1. Dyspnea saat aktivitas
2. Palpitasi, fatigue
3. Orthopena akibat edema paru
4. Rasa Lelah
5. Noktural angina dan diaforosis
6. Angina dengan hipertropi ventrikel kiri
7. Palpasi:
a. Pulsus seller/denyut nadi meloncat
b. Tekanan nadi melebar (tekanan sistolik meningkat dan tekanan diastolik
menurun)
c. Denyut apeks bergeser dan kuat
8. EKG
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Sinus takikardia
9. Auskultasi
a. Murmur diastolik, suara angin ribut (blowing)
b. Intensitas murmur tinggi karena peningkatan volume ejeksi
35
2.5.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektrokardiogram
EKG jarang normal pada regurgitasi aorta kronis dan sering
menunjukkan perubahan repolarisasi bermakna. Pada regurgitasi aorta akut
EKG dapat normal. Terlihat gambaran hipertropi ventrikel kiri, amplitude QRS
meningkat, ST-T berbentuk tipe diastolic overload artinya vector rata-rata
menunjukkan ST yang besar dan dan gelombang T paralel dengan vector rata-
rata kompleks QRS. Gambar menunjukkan interval P-R memanjang.
2. Radiografi Thorax
Menunjukkan terjadinya pembesaran jantung progresif. Yaitu adanaya
pembesaran ventrikel kiri, atrium kiri, serta dilatasi aorta. Bentuk dan ukuran
jantung tidak berubah pada insufisiensi akut tapi terlihat edema paru.
3. Eko Transtorasik (TTE) : Memperlihatkan bagian proximal pangkal
aortapada pencitraan.
4. Aortography : Mencitrakan keadaan dilatasi pangkal aorta sehingga terlihat
adanya flap intima
5. Peningkatan cardiac iso enzim (cpk & ckmb)
6. Kateterisasi jantung : Ventrikel kiri tampak opag selama penyuntikan bahan
kontras kedalam pangkal aorta.
7. Eko Transesofageal (TEE) : Memvisualisasikan seluruh aorta.
2.5.7 Penatalaksanaan
1. Terapi Umum
a. Istirahat
b. Medikamentosa
Obat pertama:
1) Obat gagal ginjal
2) Diuretika
3) vasolidator hidralazin
4) ACE inhibitor
2. Obat Alternatif
Antibiotik preventif menjelang tindakan invasif
3. Operasi
Penggantian katup aorta adalah terapi pilihan, tetapi kapan waktu yang
tepat untuk penggantian katup masih kontroversial. Pilihan untuk katup buatan
ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontraindikasi untuk koagulan, serta
36
lamanya umur katup. Pembedahan dianjurkan pada semua pasien dengan hipertropi
ventrikel kiri tanpa memperhatikan ada atau tidaknya gejala lain. Bila pasien
mengalami gejala gagal jantung kongestif, harus diberikan penatalaksanaan medis
sampai dilakukan pembedahan.
Penggantian katub aorta adalah terapi pilihan, tetapi kapan waktu yang
tepat untuk penggantian katub masih kontroversial. Pilihan untuk katub buatan
ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontraindikasi untuk koagulan, serta
lamanya umur katub. Pembedahan dianjurkan pada semua pasien dengan hipertrofi
ventrikel kiri tanpa memperhatikan ada atau tidaknya gejala lain. Bila pasien
mengalami gejala gagal jantung kongestif, harus diberikan penatalaksanaan medis
sampai dilakukannya pembedahan.
Penggantian katub prostetik dimulai pada tahum 1960-an, bila
valvuloplasti atau perbaikan katub tidak bisa dilakukan seperti misalnya pada
kalsifikasi, maka perlu dilakukan penggantian katub. Semua penggantian katub
memerlukan anestesia umum dan pintasan kardiopulmonal. Kebanyakan prosedur ini
dilakukan melalui sternotomi median ( insisi melalui sternum).
Begitu katub terlihat, bilah-bilah dan struktur katub lainnya seperti chordae
dan otot papilaris diangkat. Jahitan dilakukan di seputar anulus dan kemudian ke katub
protesis. Katub pengganti ditekan ke bawah sesuai letak yang tepat dan jahitan
dikencangkan. Insisi ditutup dan dokter bedah mengevaluasi fungsi jantung dan
kualitas perbaikan protetik. Pasien mulai dilepaskan dari pintasan jantung paru dan
pembedahan selesai. Komplikasi yang khas pada penggantian katub adalah yang
berhubungan dengan perbahan tekanan intrakardial yang mendadak akibat
kompensasi jantung yang telah secara bertahap menyesuaikan dengan kelianan yang
terjadi, namun dengan tiba-tiba aliran darah dalam jantung membaik setelah dilakukan
pembedahan.
2.5.7 Komplikasi
Perubahan hemodinamika yang mendadak, selain prosedurnya sendiri,
menyebabkan pasien dapat mengalami komplikasi setelah pembedahan. Komplikasi
tersebut meliputi perdarahan, tromboembolisme, infeksi, gagal jantung kongestif,
hipertensi, disritmia, hemolisis, dan sumbatan mekanis.
2.5.8 Asuhan keperawatan teori pada insufisiensi Mitral dan Aorta
1. Data dasar pasien
a. Aktivitas/istirahat

37
Gejala: Kelemahan, kelelahan, pusing, rasa berdenyut, dispnea karena kerja,
palpitasi, gangguan tidur (ortopnea, dispnea paroksismal nokturnal, nokturia,
keringat malam hari).
Tanda: Takikardi, gangguan pada TD, pingsan karena kerja, takipnea, dispnea.
b. Sirkulasi
Gejala: Riwayat kondisi pencetus, contoh demam reumatik, endokarditis
bakterial subakut, infeksi streptokokal; hipertensi, kondisi kongenital (contoh
kerusakan atrial-septal, sindrom Marfan), trauma dada, hipertensi pulmonal,
riwayat murmur jantung, palpitasi, serak, hemoptisis, batuk dengan/tanpa
produksi sputum.
Tanda: Sistolik TD menurun (AS lambat). Tekanan nadi: penyempitan (SA);
luas (IA). Nadi karotid: lambat dengan volume nadi kecil (SA); bendungan
dengan pulsasi arteri terlihat (IA). Nadi apikal: PMI kuat dan terletak di bawah
dan ke kiri (IM); secara lateral kuat dan perpindahan tempat (IA). Getaran:
Getaran diastolik pada apek (SM), getaran sistolik pada dasar (SA), getaran
sistolik sepanjang batas sternal kiri; getaran sistolik pada titik jugular dan
sepanjang arteri karotis (IA). Dorongan: dorongan apikal selama sistolik (SA).
Bunyi jantung: S1 keras, pembukaan yang keras (SM). Penurunan atau tak ada
S1, bunyi robekan luas, adanya S3, S4 (IM berat). Bunyi ejeksi sistolik (SA).
Bunyi sistolik, ditonjolkan oleh berdiri/jongkok (MVP). Kecepatan: takikardi
(MVP); takikardi pada istirahat (SM). Irama: tak teratur, fibrilasi atrial (SM
dan IM). Disritmia dan derajat pertama blok AV (SA). Murmur: bunyi rendah,
murmur diastolik gaduh (SM). Murmur sistolik terdengar baik pada dasar
dengan penyebaran ke leher (SA). Murmur diastolik (tiupan), bunyi tinggi dan
terdengar baik pada dasar (IA). DVJ: mungkin ada pada adanya gagal ventrikel
kanan. Warna/sianosis: kulit hangat, lembab, dan kemerahan (IA). Kapiler
kemerahan dan pucat pada tiap nadi (IA).
c. Integritas ego
Tanda : kecemasan, contoh gelisah, pucat, berkeringat, fokus menyempit,
gemetar.
d. Makanan/cairan
Gejala: Disfagia (IM kronis), perubahan berat badan, penggunaan diuretik.
Tanda: Edema umum atau dependen, hepatomegali dan asites (SM, IM),
hangat, kemerahan dan kulit lembab (IA), pernapasan payah dan bising dengan
terdengar krekels dan mengi.
38
e. Neurosensori
Gejala: Episode pusing/pingsan berkenaan dengan beban kerja.
f. Nyeri/kenyamanan
Gejala: Nyeri dada, angina (SA, IA), nyeri dada non-angina/tidak khas (MVP).
g. Pernapasan
Gejala: Dispnea (kerja, ortopnea, paroksismal, nokturnal). Batuk menetap atau
nokturnal (sputum mungkin/tidak produktif).
Tanda: Takipnea, bunyi napas adventisius (krekels dan mengi), sputum banyak
dan berbercak darah (edema pulmonal), gelisah/ketakutan (pada adanya edema
pulmonal).
h. Keamanan
Gejala: Proses infeksi/sepsis, kemoterapi radiasi, adanya perawatan gigi
(pembersihan, pengisian, dan sebagainya).
Tanda: Perlu perawatan gigi/mulut.
i. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Penggunaan obat IV (terlarang) baru/kronis.
Pertimbangan pemulangan: DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 4,9 hari.
Bantuan dengan kebutuhan perawatan diri, tugas-tugas rumah
tangga/pemeliharaan, perubahan dalam terapi obat, susunan perabot di rumah
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Keadaan umum pasien tampak lemas dan wajahnya pucat.
TD : 110/90 mmHg, suhu : 380C, RR : 26x/menit, nadi : 110x/menit.
b. Pemeriksaan kepala
Pada kepala berbentuk mesochepal, rambut klien tidak rontok, tidak lesi pada
kulit kepala, tidak berketombe, dan tidak terdapat nyeri tekan pada kepala
klien.
c. Pemeriksaan muka
Muka klien terlihat pucat, tidak lesi pada wajah klien.
d. Pemeriksaan mata
Bentuk mata simetris, sclera non ikterik, kornea jernih, pupilnya ishokor,
konjungtiva anemis, palpebra normal tidak ada nyeri tekan.
e. Pemeriksaan hidung
Hidung klien berbentuk simetris, tulang hidung tidak septum deviasi, tidak ada
lesi, tidak terdapat hematom, tidak ada polip dan epistaksis.
f. Pemeriksaan mulut
Mulut klien lembab, tidak ada stomatitis, tidak ada lesi.
g. Pemeriksaa leher klien
Tidak ada pembesaran thyroid, tidak ada kaku kuduk, reflek menelan baik.
h. Pemeriksaan dada

39
Inspeksi : Pergerakan pernafasan meningkat, tampak kelelahan.
Palpasi : Terdapat thriil
Perkusi : Terdengar keredupan pada daerah yang terinfeksi.
Auskultasi : Terdapat bunyi murmur yang khas dan melemah pada bunyi
jantung ke 2
i. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : warna kulit abdomen normal yaitu kecoklatan lebih
terang dari warna kulit lain, terlihat ada pembengkakan di
perut
Auskultasi : peristaltik usus 20 kali
Palpasi : Saat dipalpasi tidak ada nyeri tekan.
Perkusi : terdengar timpani
g. Pengkajian ekstremitas
Tidak ada edema, kekuatan otot lemah
3. Diagnosa Keperawata
a. Penurunan curah jantung b/d perubahan dalam preload/peningkatan
tekanan
atrium dan kongesti vena.
b. Risiko kelebihan volume cairan b/d gangguan filtrasi glomerulus.
c. Nyeri akut b/d iskemia jaringan miokard.
d. Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan.
e. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.
4. Intervensi
a. Penurunan curah jantung b/d perubahan dalam preload/peningkatan tekanan
atrium dan kongesti vena.
Tujuan : Menunjukkan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.
Intervensi :
1) Pantau TD, nadi apikal, nadi perifer.
R/ Indikator klinis dari keadekuatan curah jantung. Pemantauan
memungkinkan deteksi dini/tindakan terhadap dekompensasi.

2) Pantau irama jantung sesuai indikasi.


R/ Disritmia umum pada pasien dengan penyakit katup.

3) Tingkatkan/dorong tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 45


derajat.
R/ Menurunkan volume darah yang kembali ke jantung (preload), yang
memungkinkan oksigenasi, menurunkan dispnea dan regangan jantung.

4) Bantu dengan aktivitas sesuai indikasi (mis: berjalan) bila pasien mampu
turun dari tempat tidur.
R/ Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan
terhadap cadangan jantung.
5) Berikan oksigen suplemen sesuai indikasi. Pantau DGA/nadi oksimetri.

40
R/ Memberikan oksigen untuk ambilan miokard dalam upaya untuk
mengkompensasi peningkatan kebutuhan oksigen.

6) Berikan obat-obatan sesuai indikasi. Mis: antidisritmia, obat inotropik,


vasodilator, diuretik.

b. Risiko kelebihan volume cairan b/d gangguan filtrasi glomerulus.


Tujuan : Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil,
tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.
Intervensi :
1) Pantau pemasukan dan pengeluaran, catat keseimbangan cairan (positif atau
negatif), timbang berat badan tiap hari.
R/ Penting pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dan keefektifan terapi
diuretik. Keseimbangan cairan positif berlanjut (pemasukan lebih besar dari
pengeluaran) dan berat badan meningkat menunjukkan makin buruknya gagal
jantung.

2) Catat laporan dispnea, ortopnea. Evaluasi adanya/derajat edema


(dependen/umum).
R/ Terjadinya/teratasinya gejala menunjukkan status keseimbangan cairan dan
keefektifan terapi.

3) Berikan diuretik contoh furosemid (Lazix), asam etakrinik (Edecrin) sesuai


indikasi.
R/ Menghambat reabsorpsi natrium/klorida, yang meningkatkan ekskresi cairan,
dan menurunkan kelebihan cairan total tubuh dan edema paru.

4) Pantau elektrolit serum, khususnya kalium. Berikan kalium pada diet dan
kalium tambahan bila diindikasikan.
R/ Nilai elektrolit berubah sebagai respons diuresis dan gangguan oksigenasi dan
metabolisme. Hipokalemia mencetus pasien pada gangguan irama jantung.

5) Berikan cairan IV melalui alat pengontrol.


R/ Pompa IV mencegah kelebihan pemberian cairan.

6) Batasi cairan sesuai indikasi (oral dan IV).


R/ Dapat diperlukan untuk menurunkan volume cairan ekstrasel/ edema.

7) Berikan batasan diet natrium sesuai indikasi.


R/ Menurunkan retensi cairan.

c. Nyeri akut b/d iskemia jaringan miokard.


41
Tujuan : Nyeri hilang/terkontrol.
Intervensi :
1) Selidiki laporan nyeri dada dan bandingkan dengan episode sebelumnya.
Gunakan skala nyeri (0-10) untuk rentang intensitas. Catat ekspresi verbal/non
verbal nyeri, respons otomatis terhadap nyeri (berkeringat, TD dan nadi berubah,
peningkatan atau penurunan frekuensi pernapasan).
R/ Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. Perilaku dan
perubahan tanda vital membantu menentukan derajat/ adanya ketidaknyamanan
pasien khususnya bila pasien menolak adanya nyeri.

2) Berikan lingkungan istirahat dan batasi aktivitas sesuai kebutuhan.


R/ Aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokardia (contoh kerja tiba-
tiba, stres, makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.

3) Anjurkan pasien berespons tepat terhadap angina (contoh berhenti aktivitas


yang menyebabkan angina, istirahat, dan minum obat antiangina yang tepat).
R/ Penghentian aktivitas menurunkan kebutuhan oksigen dan kerja jantung dan
sering menghentikan angina.

4) Berikan vasodilator, contoh nitrogliserin, nifedipin (Procardia) sesuai


indikasi.
R/ Obat diberikan untuk meningkatkan sirkulasi miokardia (vasodilator)
menurunkan angina sehubungan dengan iskemia miokardia.

d. Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan


kebutuhan.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
Intervensi :
1) Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut:
frekuensi nadi 20/menit diatas frekuensi istirahat; catat peningkatan TD, dispnea
atau nyeri dada; kelelahan berat dan kelemahan; berkeringat; pusing; atau pingsan.
R/ Parameter menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stres aktivitas dan
indikator derajat pengaruh kelebihan kerja/jantung.

2) Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh penurunan


kelemahan/kelelahan, TD stabil/frekuensi nadi, peningkatan perhatian pada
aktivitas dan perawatan diri.
R/ Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas
individual.

3) Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.


42
R/ Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan
jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan
tiba-tiba pada kerja jantung.

4) Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi,


menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/ Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi sehingga
membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

5) Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.


R/ Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan
mencegah kelemahan.

e. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.


Tujuan : Menunjukkan penurunan ansietas/terkontrol.
Intervensi :
1) Pantau respons fisik, contoh palpitasi, takikardi, gerakan berulang, gelisah.
R/ Membantu menentukan derajat cemas sesuai status jantung. Penggunaan
evaluasi seirama dengan respons verbal dan non verbal.

2) Berikan tindakan kenyamanan (contoh mandi, gosokan punggung, perubahan


posisi).
R/ Membantu perhatian mengarahkan kembali dan meningkatkan relaksasi,
meningkatkan kemampuan koping.

3) Dorong ventilasi perasaan tentang penyakit-efeknya terhadap pola hidup dan


status kesehatan akan datang. Kaji keefektifan koping dengan stressor.
R/ Mekanisme adaptif perlu untuk mengkoping dengan penyakit katup jantung
kronis dan secara tepat mengganggu pola hidup seseorang, sehubungan dengan
terapi pada aktivitas sehari-hari.

4) Libatkan pasien/orang terdekat dalam rencana perawatan dan dorong


partisipasi maksimum pada rencana pengobatan.
R/ Keterlibatan akan membantu memfokuskan perhatian pasien dalam arti positif
dan memberikan rasa kontrol.

5) Anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi, contoh napas dalam, bimbingan


imajinasi, relaksasi progresif.
R/ Memberikan arti penghilangan respons ansietas, menurunkan perhatian,
meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.

5. Evaluasi
43
a. Menunjukkan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.
b. Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil,
tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.
c. Nyeri hilang/terkontrol.
d. Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
e. Menunjukkan penurunan ansietas/terkontrol.

BAB III
STUDI KASUS

44
Ny. G usia 45 tahun. Dirawat di ruang jantung dengan keluhan nafas terasa sesak dan
semakin berat saat digunakan naik tangga ke lantai dua, bdan lemah, dan terkadang muncul
batuk. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan : Berat badan 75 Kg, tinggi badan 155 cm. Tekanan
darah 130/90 mmHg, Nadi 100 x/menit, pernafasan 25 x/menit. Hasil pemeriksaan penunjang,
ECG ditemukan Irama Takikardi 110 x/menit, hipertrofi atrium kiri dan atrial vibrilasi.
Riwayat penyakit masa lalu demam rematik dengan pengobatan yang tidak tuntas. Pasien
didiagnosis Mitral Stenosis

1. Apakah penyebab/faktor resiko yang ada pada Ny.G ?


a. Riwayat Demam Rematik
b. Pengobatan RHD tidak tuntas
c. Aktivitas Berlebih
Demam Rematik Kronis ditambah dengan pengobatan tidak tuntas mengakibatkan
peradangan pada pankarditis (endokarditis, miokarditis, perikarditis) semakin parah.
Demam rematik ini lebih menyerang ke jantung bagian kiri. Keparahan dapat terjadi
sampai ke katup mitral. Peradangan pada pankarditis ini menyebabkan pembesaran
(reaksi radang) hingga ke katup mitral. Peradangan ini menjadikan katup menebal dan
edem. Ketika peradangan selesai akan menimbulkan bekas yang menjadikan katup
menjadi nekrosis fibrinoid. Nekrosis ini akan menjadi jaringan parut yang menjadi
tebal, lekat, dan kaku dan menjadi cikal bakal stenosis mitral.
(Robbin et, al. 2010)
2. Bagaimana fisiologi terjadinya
a. Sesak
Katup mitral yang tidak mau terbuka (mitral stenosis) ini menyebabkan volume di
atrium menumpuk dan menjadikan tekanan atrium kiri naik. Ketika terjadi
peningkatan tekanan atrium kiri ini secara otomatis aliran darah yang akan menuju ke
atrium kiri (vena pulmonalis) kembali lagi ke vena pulmonalis. Hal ini yang
menjadikan hipertensi paru. Jika hal ini terjadi, vena pulmonalis dan kapiler paru juga
mengalami peningkatan tekanan dan akhirnya terbentuk bendungan. Karena tidak
cukupnya pembuluh darah kapilerparu membendung aliran darah yang kembali tadi,
maka cairan berpindah ke area interstisial kemudian mungkin ke alveolar. Hal inilah
yang menyebabkan batuk nokturnal dan batuk ini akan menjadi sesak nafas (dispnea
nokturnal). Lama kelamaan bendungan pembuluh darah tadi juga akan mejadi pecah
dan menjadikan pasien hemoptosis.
(Mansjoer, et, al. 2009)
(Gray, et, al. 2003)
b. Badan Lemah
Stenosis mitral mengakibatkan aliran darah dari atrium ke ventrikel menurun saat
diastol. Volume darah di ventrikel yang akan di distribusikan ke seluruh tubuh melalui
45
aorta juga berkurang. Jika volume darah ke seluruh tubuh berkurang, jantung akan
berkompensasi dengan cara mempercepat dengutnya (takikardi) agar curah untuk ke
seluruh tubuh terutama jantung terpenuhi. Saat jantung memenuhi kompensasi ini
akan terasa lelah.
(Black & Hawks, 2009)
(Gray, et, al. 2003)

c. Batuk
Katup mitral yang tidak mau terbuka (mitral stenosis) ini menyebabkan volume di
atrium menumpuk dan menjadikan tekanan atrium kiri naik. Ketika terjadi
peningkatan tekanan atrium kiri ini secara otomatis aliran darah yang akan menuju ke
atrium kiri (vena pulmonalis) kembali lagi ke vena pulmonalis. Hal ini yang
menjadikan hipertensi paru. Jika hal ini terjadi, vena pulmonalis dan kapiler paru juga
mengalami peningkatan tekanan dan akhirnya terbentuk bendungan. Karena tidak
cukupnya pembuluh darah kapilerparu membendung aliran darah yang kembali tadi,
maka cairan berpindah ke area interstisial kemudian mungkin ke alveolar. Hal inilah
yang menyebabkan batuk nokturnal dan batuk ini akan menjadi sesak nafas (dispnea
nokturnal). Lama kelamaan bendungan pembuluh darah tadi juga akan mejadi pecah
dan menjadikan pasien hemoptosis.
(Mansjoer, et, al. 2009)
(Gray, et, al. 2003)

3. Bagaimanakah fisiologi terjadinya mitral stenosis yang dialami Ny.G ?

Demam Rematik Kronis ditambah dengan pengobatan tidak tuntas


mengakibatkan peradangan pada pankarditis (endokarditis, miokarditis, perikarditis)
semakin parah. Demam rematik ini lebih menyerang ke jantung bagian kiri.
Keparahan dapat terjadi sampai ke katup mitral. Peradangan pada pankarditis ini
menyebabkan pembesaran (reaksi radang) hingga ke katup mitral. Peradangan ini
menjadikan katup menebal dan edem. Ketika peradangan selesai akan menimbulkan
bekas yang menjadikan katup menjadi nekrosis fibrinoid. Nekrosis ini akan menjadi
jaringan parut yang menjadi tebal, lekat, dan kaku dan menjadi cikal bakal stenosis
mitral. (Robbin et, al. 2010)

46
Katup mitral yang tidak mau terbuka (mitral stenosis) ini menyebabkan
volume di atrium menumpuk dan menjadikan tekanan atrium kiri naik. Ketika terjadi
peningkatan tekanan atrium kiri ini secara otomatis aliran darah yang akan menuju ke
atrium kiri (vena pulmonalis) kembali lagi ke vena pulmonalis. Hal ini yang
menjadikan hipertensi paru. Jika hal ini terjadi, vena pulmonalis dan kapiler paru juga
mengalami peningkatan tekanan dan akhirnya terbentuk bendungan. Karena tidak
cukupnya pembuluh darah kapilerparu membendung aliran darah yang kembali tadi,
maka cairan berpindah ke area interstisial kemudian mungkin ke alveolar. Hal inilah
yang menyebabkan batuk nokturnal dan batuk ini akan menjadi sesak nafas (dispnea
nokturnal). Lama kelamaan bendungan pembuluh darah tadi juga akan mejadi pecah
dan menjadikan pasien hemoptosis. (Mansjoer, et, al. 2009) (Gray, et, al. 2003)
Stenosis mitral mengakibatkan aliran darah dari atrium ke ventrikel menurun
saat diastol. Volume darah di ventrikel yang akan di distribusikan ke seluruh tubuh
melalui aorta juga berkurang. Jika volume darah ke seluruh tubuh berkurang, jantung
akan berkompensasi dengan cara mempercepat dengutnya (takikardi) agar curah untuk
ke seluruh tubuh terutama jantung terpenuhi. Saat jantung memenuhi kompensasi ini
akan terasa lelah. (Black & Hawks, 2009)(Gray, et, al. 2003

4. Bagaimana Web of Caution pada kasus Mitral stenosis?


(Terlampir)

5. Diagnosa keperawatan yang muncul pada Ny.G ?


Susunlah diagnosa keperawatan, tujuan, intervensi, dan rasional yang tepat untuk Ny.
G

Resiko penurunan curah jantung b/d adanya hambatan aliran darah dari atrium kiri
ke ventrikel kiri, adanya takikardi ventrikel, pemendekan fase distolik.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari, penurunan curah
jantung tidak terjadi.
Kriteria hasil :
Vital sign dalam batas normal
a. TD: 110/70 mmHg - 130/90 mmHg
b. RR: 16-20 x/menit
c. N: 60-80 x/menit
Gambaran ECG normal
Suara jantung normal
urine output adekuat 37,5 - 75 cc/jam,
47
Intervensi Rasional
1. Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara 1. Memonitor adanya perubahan sirkulasi
teratur setiap 4 jam. jantung sedini mungkin.
2. Auskultasi bunyi jantung. 2. Mengetahui adanya perubahan irama
jantung.
3. Kaji perubahan warna kulit terhadap 3. Pucat menunjukkan adanya penurunan
perfusi perifer terhadap tidak adekuatnya
sianosis dan pucat.
curah jantung. Sianosis terjadi sebagai
akibat adanya obstruksi aliran darah pada
ventrikel..
4. Pantau intake dan output setiap 24 4. Ginjal berespon untuk menurunkna curah
jam. jantung dengan menahan produksi cairan
dan natrium.
5. Batasi aktifitas secara adekuat. 5. Istirahat memadai diperlukan untuk
memperbaiki efisiensi kontraksi jantung
dan menurunkan komsumsi O2 dan kerja
berlebihan.
6. Berikan kondisi psikologis 6. Stres emosi menghasilkan vasokontriksi
lingkungan yang tenang. yang meningkatkan TD dan meningkatkan
kerja jantung.

Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian


aliran arteri-vena; penurunan aktifitas..w
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari perfusi
jaringan adekuat
Kriteria hasil : Vital sign dalam batas yang dapat diterima, intake output
seimbang, akral teraba hangat, sianosis (-), nadi perifer kuat, pasien sadar/terorientasi,
tidak ada oedem, bebas nyeri/ketidaknyamanan.

Intervensi Rasional
1. Monitor perubahan tiba-tiba atau 1. Perfusi serebral secara langsung
gangguan mental kontinu (camas, berhubungan dengan curah jantung,
bingung, letargi, pingsan) dipengaruhi oleh elektrolit/variasi
asam basa, hipoksia atau emboli
sistemik.
2. Observasi adanya pucat, sianosis, 2. Vasokonstriksi sistemik diakibatkan oleh
belang, kulit dingin/lembab, catat penurunan curah jantung mungkin dibuktikan
kekuatan nadi perifer. oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan
nadi.
3. Kaji tanda Homan (nyeri pada betis 3. Indikator adanya trombosis vena dalam.
dengan posisi dorsofleksi), eritema,
edema.
4. Dorong latihan kaki aktif/pasif. 4. Menurunkan stasis vena, meningkatkan
aliran balik vena dan menurunkan resiko
tromboplebitis.
5. Pantau pernafasan. 5. Pompa jantung gagal dapat mencetuskan
48
distres pernafasan. Namun dispnea tiba-
tiba/berlanjut menunjukkan komplikasi
tromboemboli paru.
6. Kaji fungsi GI, catat anoreksia, 6. Penurunan aliran darah ke mesentrika
penurunan bising usus, mual/muntah, dapat mengakibatkan disfungsi GI, contoh
distensi abdomen, konstipasi. kehilangan pristaltik.
7. Pantau masukan dan pey rubahan 7. Penurunan pemasukan/mual terus-menerus
keluaran urine. dapat mengakibatkan penurunan volume
sirkulasi, yang berdampak negatif pada
perfusi dan organ.

Intoleransi aktivitas b.d. penurunan curah jantung ke jaringan


ditandai dengan badan lemah, sesak semakin berat saat digunakan naik tangga, nadi
100x/menit, RR 25x/menit, TD 130/90 mmHg.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam aktivitas klien sehari-hari terpenuhi dan
meningkatnya kemampuan beraktivitas.
Kriteria hasil :
Klien menunjukan peningkatan kemampuan
beraktivitas/mobilisasi di tempat tidur.
Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-
20x/menit)
Nadi dalam batas normal (60-100x/menit)
Intervensi dan rasional :
Intervensi Rasional
1. Catat frekuensi jantung, irama, dan 1. Respon klien terhadap aktivitas dapat
perubahan tekanan darah selama mengindikasikan penurunan oksigen
dan sesudah aktivitas. miokardium.
2. Tingkatkan istirahat, batasi 2. Menurunkan kerja miokardium/konsumsi
aktivitas, dan berikan aktivitas oksigen.
senggang yang tidak berat.
3. Anjurkan menghindari 3. Mengejan mengakibatkan kontraksi otot dan
penignkatan tekanan abdomen vasokonstriksi yang dapat meingkatkan
seperti mengejan saat defekasi preload, tahanan vaskuler sistemis, dam
beban jantung.
4. Jelaskan pola peningkatan 4. Aktivitas yang maju memberikan kontrol
bertahap dari tingkat aktivitas, jantung, meningkatkan regangan dan
contoh bangun dari kursi, bila mencegah aktivitas berlebihan.
tidak ada nyeri, ambulasi, dan
istirahat selama 1 jam setelah
makan.
5. Pertahankan klien tirah baring 5. Untuk mengurangi beban jantung.
sementara sakit akut.
6. Tingkatkan klien duduk di kursi 6. Untuk meningkatkan aliran balik vena.
dan tinggikan kaki klien.
7. Pertahankan rentang gerak pasif 7. Meningkatkan kontraksi otot sehingga
selama sakit kritis. membantu aliran balik vena.
8. Evaluasi tanda vital saat kemajuan 8. Untuk mengetahui aktivitas fungsi jantung.

49
aktivitas terjadi.
9. Pertahankan penambahan oksigen 9. Untuk meningkatkan oksigenasi jaringan.
sesuai instruksi.
10. Selama aktivitas kaji EKG, 10. Melihat dampak dari aktivitas terhadap fungsi
dispnea, sianosis, kerja napas, dan jantung.
frekuensi napas, serta keluhan
subjektif.
11. Berikan diet sesuai pesanan 11. Mencegah retensi cairan dan edema akibat
(pembatasan cairan dan natrium). penurunan kontraktilitas jantung.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Stenosis mitral adalah sumbatan katup mitral yang menyebabkan penyempitan aliran
darah ke ventrikel, sedangkan insufisiensi mitral adalah keadaan dimana terdapat refluks
darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri pada saat sistolik sebagai akibat dari tidak
sempurnanya penutupan katup mitral.
Penyebab tersering terjadinya stenosis mitral adalah demam reumatik (lebih dari
90%). Berdasarkan guidelines American College of Cardiology 1998 tentang manajemen
penyakit jantung katup, hanya 40% yang merupakan MS murni, sisanya MS akibat penyakit
jantung rheumatik. Dan penyebab tersering terjadinya insufisiensi katub mitral adalah
penyakit jantung rematik (PJR/RHD). PJR merupakan salah satu penyebab yang sering dari
insufisiensi mitral berat.
Manifestasi klinis dari stenois dan insufisiensi mitral hampir sama diantaranya ialah
dispnea, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, hemoptisis, palpitasi, dan nyeri dada.

50
DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, Philip I. 2007. At a Glance Sistem Kardiovaskular. Jakarta : Penerbit Erlangga

Arif Muttaqin. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika
.
Baradero, Mari dkk. 2008. Klien Gangguan Kardivaskuler. Jakarta : EGC

Black, Yoyce. M and Hawks, Jane. H. 2009. Medical-Surgical Nursing:Clinical Surgical


Nursing. Eight Edition. St. Louis, Missouri:Elsevier.

Brunner dan Suddarth.2002. Keperwatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi ketiga. Jakarta: EGC

Gray, Huon, dkk. 2005. Lecture Notes Kardiologi. Jakarta : Penerbit Erlangga

Gleadel, Jonathan. 2007. At a Glance Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta :


Penerbit

Isselbacher, Kurt, dkk. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3.
Jakarta :EGC

Kasron. 2012. Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta : Nuha Medika

Noer, Sjaifoellah. 2002. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FK UI

Robbin, et. Al. 2010. Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta : EGC,

Suzanne, Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Erlangga.

51
Wahab, Samik A. 2009. Kardiologi Anak: Penyakit Jantung Konginetal Yang Tidak
Sianotik. Jakarta : EGC

William, Schwartz M.2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M. 2005. Nursing Diagnosis Handbook With NIC Intervention And
NOC Outcomes. USA : Pearson Prentice Hall

ODonnell MM dan Carleton PF, 2002. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit Volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC

52

Anda mungkin juga menyukai