Anda di halaman 1dari 61

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya
dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu
penyakit yang biasa terjadi. Penyakit BPH ini belum diketahui secara pasti,
namun kemungkinan berhubungan dengan ketidakseimbangan antara hormon
estrogen dan progesteron di dalam prostat. (Elizabeth, 2009). Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH) menurut Marilyn (2000) merupakan pembesaran progresif
pada kelenjar prostat yang terjadi pada pria berusia diatas 50 tahun,
menyebabkan derajat obstruktif uretral dan pembatasan aliran urinarius.
(Rudi, 2012). Oleh karena itu sebagai tenaga kesehatan perawat mempunyai
peran yang penting dalam pencegahan dan pengobatan pasien BPH.
Menurut data WHO (2013), memperkirakan terdapat sekitar 70 juta
kasus degeneratif. Salah satunya adalah BPH, dengan insidensi di negara
maju sebanyak 19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak 5,35%
kasus. Yang ditemukan pada pria dengan usia lebih dari 65 tahun dan
dilakukan pembedahan setiap tahunnya. Tingginya kejadian BPH di
Indonesia telah menempatkan BPH sebagai penyebab angka kesakitan nomor
2 terbanyak setelah penyakit batu pada saluran kemih. Tahun 2013 di
Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, diantaranya diderita pada pria berusia
di atas 60 tahun. Di Jawa Timur tepat 672.502 kasus BPH pada tahun 2013.
Di Ngawi jumlah klien yang ada di ruang bedah pada tahun 2013 sebanyak
70 kasus. Pada tahun 2014 sebanyak 45 kasus BPH (Riskesdas, 2013).
Menurut Mansjoer Arif (2000) umumnya pembesaran prostat terjadi
setelah usia pertengahan akibat proses penuaan dan perubahan hormonal. Jika
penyakit BPH ini tidak segera di tangani maka akan mengalami pembesaran
secara perlahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran
prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi
uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan
kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih

1
tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat
seperti balok. Penonjolan serat detrusor yang terlihat seperti balok yang
tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa
vesika dapat menerobos keluar diantara serat detrusor sehngga terbentuk
tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar
disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang
apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi, dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urine yang akan berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas (Rudi, 2012).
Pencegahan penyakit BPH itu sendiri dapat diterapkan dengan
membudidayakan pola hidup sehat seperti mengkonsumsi buah yang
mengandung antioksidan, makanan rendah lemak dan kaya serat, olahraga
teratur serta melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Tidak semua
pasien yang mengalami hiperplasia prostat harus menjalani operasi atau
tindakan medik. Terkadang merekan hanya mengeluh (Lower Urinary Tract
Symptoms) atau LUTS ringan, namun dapat sembuh sendiri tanpa terapi.
Tetapi jika keadaan klien tersebut sudah parah maka harus segera dilakukan
tindakan medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endroulogi. Sebagai
perawat dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien BPH dalam
upaya kuratif yaitu memberikan obat sesuai dengan petunjuk, pemberian
antikolinergik bertujuan untuk mengurangi spasme kandung kemih serta
pemberian cairan infus dan cairan oral untuk pengeluaran urine. Sedangkan
dalam upaya rehabilitatif diperlukan agar klien mampu memelihara
kesehatannya sendiri dan mampu beraktivitas kembali dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari seperti gangguan eliminasi dengan cara pemantauan
dalam pemasangan kateter, perawatan kateter menggunakan teknik aseptik,
dan mencegah distensi kandung kemih yang menyebabkan perdarahan.
Sangat diperlukan peran serta keluarga dalam pemberian asuhan keperawatan
klien dengan post prostatektomy baik di rumah sakit maupun di rumah karena
ini merupakan peran perawat sebagai edukator (Nursalam & Fransisca, 2006).

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari vesika urinaria, kelenjar prostat,
dan uretra pada laki-laki?
2. Apakah definisi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
3. Bagaimana klasifikasi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
4. Bagaimana etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
5. Bagaimana patofisiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostik dari Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH)?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
9. Apa saja komplikasi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
10. Bagaimana prognosis dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
11. Bagaimana pencegahan dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
12. Bagaimana WOC dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
13. Bagaimana asuhan keperawatan umum untuk Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH)?
14. Bagaimana asuhan keperawatan kasus untuk Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH)?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini agar mahasiswa mengetahui,
mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH).
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa
mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan :
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi dari vesika urinaria, kelenjar
prostat dan uretra pada laki-laki
2. Mengetahui definisi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
3. Mengetahui klasifikasi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

3
4. Mengetahui penyebab Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
5. Mengetahui patofisiologi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
6. Mengetahui manifestasi klinis Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
7. Mengetahui pemeriksaan diagnostik Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH)
8. Mengetahui penatalaksanaan dari Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH)
9. Mengetahui komplikasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
10. Mengetahui prognosis Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
11. Mengetahui pencegahan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
12. Mengetahui WOC Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
13. Mengetahui asuhan keperawatan umum pada Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH)
14. Mengetahui asuhan keperawatan kasus pada Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH)

1.4 Manfaat
1. Memperoleh pengetahuan tentang konsep dari Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH).
2. Memperoleh pengetahuan dan dapat melakukan asuhan keperawatan pada
pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH).

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.1 Vesika Urinaria
Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan
mengempis seperti balon karet, terletak di belakang simfisis pubis di
dalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti kerucut yang
dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan dengan ligamentum
vesika umbilikalis medius.

Gambar Vesika Urinaria

https://ilper.wordpress.com/2012/04/19/sistem-perkemihan-urinaria/

Bagian vesika urinaria terdiri dari:

1. Fundus yaitu, bagian yang menghadap ke arah belakang dan


bawah, bagian ini terpisah dari rektum oleh spatium rectovesikale
yang terisi oleh jaringan ikat duktus deferen, vesika seminalis dan
prostat.
2. Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.
3. Verteks, bagian yang mancung ke arah muka dan berhubungan
dengan ligamentum vesika umbilikalis.

5
Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar
(peritonium), tunika muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan
lapisan mukosa (lapisan bagian dalam). Pembuluh limfe vesika
urinaria mengalirkan cairan limfe ke dalam nadi limfatik iliaka interna
dan eksterna.

Lapisan otot vesika urinaria terdiri dari otot polos yang tersusun
dan saling berkaitan dan disebut m. detrusor vesikae. Peredaran darah
vesika urinaria berasal dari arteri vesikalis superior dan inferior yang
merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Venanya membentuk
pleksus venosus vesikalis yang berhubungan dengan pleksus
prostatikus yang mengalirkan darah ke vena iliaka interna.

Persarafan vesika urinaria berasal dari pleksus hipogastrika


inferior. Serabut ganglion simpatikus berasal dari ganglion lumbalis
ke-1 dan ke-2 yang berjalan turun ke vesika urinaria melalui pleksus
hipogastrikus. Serabut preganglion parasimpatis yang keluar dari
nervus splenikus pelvis yang berasal dari nervus sakralis 2, 3 dan 4
berjalan melalui hipogastrikus inferior mencapai dinding vesika
urinaria.

Sebagian besar serabut aferen sensoris yan g keluar dari vesika


urinaria menuju sistem susunan saraf pusat melalui nervus splanikus
pelvikus berjalan bersama saraf simpatis melalui pleksus hipogastrikus
masuk kedalam segmen lumbal ke-1 dan ke-2 medula spinalis.

Berkemih pada dasarnya merupakan reflek spinal yang akan


difasilitasi dan dihambat oleh pusat-pusat susunan syaraf yang lebih
tinggi. Urin yang memasuki kandung kemih tidak begitu
meningkatkan tekanan intravesika sampai terisi penuh. Pada kandung
kemih ketegangan akan meningkat dengan meningkatnya isi organ
tersebut, tetapi jari-jaripun bertambah, oleh karena itu peningkatan
tekanan hanya akan sedikit saja, sampai organ tersebut relatif penuh.
Selama proses berkemih otot-otot perinium dan sfingter uretra eksterna

6
relaksasi, otot detrusor berkontraksi dan urin akan mengalir melalui
uretra. Kontraksi otot-otot perinium dan sfingter eksterna dapat
dilakukan secara volunter, sehingga mencegah urin mengalir melewati
uretra atau menghentikan aliran urin saat sedang berkemih (Guyton,
2006).

Proses pengosongan kandung kemih terjadi bila kandung kemih


terisi penuh. Proses miksi terdiri dari dua langkah utama:

1. Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di


dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian
mencetuskan langkah kedua. Terjadinya distensi atau peningkatan
tegangan pada kandung kemih mencetuskan refleks I yang
menghasilkan kontraksi kandung kemih dan refleks V yang
menyebabkan relaksasi uretra.
2. Timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih)
yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal
setidaknya menimbulkan kesadaran dan keinginan untuk berkemih.
Ketika uretra proksimal mengalirkan urin maka akan mengaktifkan
refleks II yang akan menghasilkan kontraksi kandung kemih dan
IV sehingga sfingter eksternal dan uretra akan berelaksasi,
sehingga urin dapat keluar. Jika tejadi distensi pada uretra yang
bisa disebabkan karena sumbatan, atau kelemahan sfingter uretra
maka akan mengaktifkan refleks III, sehingga kontraksi kandung
kemih melemah.

Reflek berkemih adalah refleks medulla spinalis yang seluruhya


bersifat autonomik, tetapi dapat dihambat atau dirangsang di otak.
Pusat yang lebih tinggi dapat mencegah berkemih, bahkan ketika
refleks berkemih muncul, yaitu dengan membuat kontraksi tonik terus
menerus pada sfingter eksternus kandung kemih sampai waktu yang
tepat untuk berkemih. Jika sudah tiba saat berkemih, pusat cortical
dapat merangsang pusat berkemih sacral untuk membantu
mencetuskan refleks berkemih dan dalam waktu yang bersamaan
7
menghambat sfingter eksternus kandung kemih sehingga peristiwa
berkemih dapat terjadi (Guyton, 2006). Pada kondisi tertentu, proses
berkemih tidak dapat terjadi secara normal, oleh karenanya diperlukan
tindakan khusus untuk tetap dapat mengeluarkan urin dari kandung
kemih, yaitu dengan pemasangan kateter. Pola eliminasi urin sangat
tergantung pada individu, biasanya berkemih setelah bekerja, makan
atau bangun tidur. Normalnya dalam sehari sekitar lima kali. Jumlah
urin yang dikeluarkan tergantung pada usia, intake cairan, dan status
kesehatan. Pada orang dewasa sekitar 1200 sampai 1500 ml per hari
atau 150-600 ml per sekali berkemih.

2.1.2 Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung
kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar.

Gambar Uretra Pria


https://ilper.wordpress.com/2012/04/19/sistem-perkemihan-urinaria/

Lapisan uretra laki-laki terdiri lapisan mukosa (lapisan paling


dalam), dan lapisan submukosa. Uretra mulai dari orifisium uretra
interna di dalam vesika urinaria sampai orifisium eksterna. Pada penis
panjangnya 17,5-20 cm yang terdiri dari bagian-bagian berikut:
1. Uretra pars prostatika
8
Uretra pars prostatika merupakan saluran terlebar panjangnya 3
cm, berjalan hampir vertikulum melalui glandula prostat , mulai
dari basis sampai ke apaks dan lebih dekat ke permukaan anterior.
2. Uretra pars membranosa
Uretra pars membranosa ini merupakan saluran yang paling pendek
dan paling dangkal, berjalan mengarah ke bawah dan ke depan di
antara apaks glandula prostata dan bulbus uretra. Pars
membranesea menembus diagfragma urogenitalis, panjangnya
kira-kira 2,5 cm, di belakang simfisis pubis diliputi oleh jaringan
sfingter uretra membranasea. Di depan saluran ini terdapat vena
dorsalis penis yang mencapai pelvis di antara ligamentum
transversal pelvis dan ligamentum arquarta pubis.
3. Uretra pars kevernosa
Uretra pars kavernosus merupakan saluran terpanjang dari uretra
dan terdapat di dalam korpus kavernosus uretra, panjangnya kira-
kira 15 cm, mulai dari pars membranasea sampai ke orifisium dari
diafragma urogenitalis. Pars kavernosus uretra berjalan ke depan
dan ke atas menuju bagian depan simfisis pubis. Pada keadaan
penis berkontraksi, pars kavernosus akan membelok ke bawah dan
ke depan. Pars kavernosus ini dangkal sesuai dengan korpus penis
6 mm dan berdilatasi ke belakang. Bagian depan berdilatasi di
dalam glans penis yang akan membentuk fossa navikularis uretra.
4. Orifisium uretra eksterna
Orifisium uretra eksterna merupakan bagian erektor yang paling
berkontraksi berupa sebuah celah vertikal ditutupi oleh kedua sisi
bibir kecil dan panjangnya 6 mm. glandula uretralis yang akan
bermuara ke dalam uretra dibagi dalam dua bagian, yaitu glandula
dan lakuna. Glandula terdapat di bawah tunika mukosa di dalam
korpus kavernosus uretra (glandula pars uretralis). Lakuna bagian
dalam epitelium. Lakuna yang lebih besar dipermukaan atas di
sebut lakuna magma orifisium dan lakuna ini menyebar ke depan

9
sehingga dengan mudah menghalangi ujung kateter yang dilalui
sepanjang saluran.
2.1.3 Kelenjar Prostat
Prostat merupakan kelenjar terbesar yang diselubungi oleh capsula
prostatica (lapisan tebal berisi pleksus vena dan syaraf) dan vagina
prostatica (suatu jaringan fibrosa bagian dari fascia endopelvica atau
lamina viseral pascia pelvis) serta secara embriologi memiliki muasal
yang sama (homolog) dengan glandula paraurehtrales pada perempuan.
Dimensi ukuran prostat yakni memiliki panjang sekitar 3 cm, lebar 4
cm, dan kedalaman AP 2 cm. Prostat memiliki basis yang terletak
dekat fundus vesica urinaria dan apex yang bersentuhan dengan
sfingter uretra eksterna serta m. perinei profundus. Bagian anterior
prostat berupa lapisan otot, yang disebut juga isthmus prostat atau
dulunya disebut lobus anterior, dan merupakan bagian dari sfingter
uretra eksterna.
Prostat dipisahkan dari simfisis pubis di anterior oleh lemak
peritoneal di dalam spatium retropubis. Pada masa intrauterin, prostat
fetus dibagi menjadi 5 lobus: 1 lobus anterior (merupakan isthmus
prostat saat dewasa), 2 lobi laterales, 1 lobus posterior, dan 1 lobus
medius. Sementara di bagian posterior, antara prostat dan rektum
terdapat suatu jaringan ikat pemisah yakni fascia Denonvillier atau
septum recovesicalis yang berguna mencegah invasi karsinoma prostat
ke rektum.
Struktur-struktur pemfiksasi prostat diantaranya: ligamentum
puboprostaticum yang merupakan lanjutan anterolateral dari vagina
prostatica, diafragma urogenital, dan M. levator prostat. Vaskularisasi:
pasokan darah arteri prostat berasal dari r. Prostaticus a. vesicalis
inferior dan r. Prostaticus a. rectalis media. Aliran vena: darah dari
prostat akan terdrainasi ke pleksus venosus prostaticus yang terletak di
antara capsula prostatica dan vagina prostatica. Darah dari pleksus
venosus prostaticus akan mengalir ke v. iliaca interna. Pleksus venosus

10
prostaticus berhubungan di superior dengan pleksus venosus vesicalis
dan di posterior dengan pleksus venosus vertebralis interna.
Inervasi: prostat mendapat persyarafan dari pleksus prostaticus
tempat prostat menerima impuls baik rangsang simpatis maupun
parasimpatis. Impuls simpatis prostat bermula dari: nucleus
intermediolateralis L1—L3 –> n. sphlanicus lumbalis –> ganglion
mesenterica inferior –> pleksus hipogastricus superior –> n.
hipogastrikus dekstra et sinistra –> plekus hipogastricus inferior (atau
pleksus hemorroidalis medius) –> pleksus prostaticus. Sementara itu,
jalaran parasimpatis prostat bermula dari: nucleus intermedius S2—S4
–> Nn. Errigentes (Nn. Sphlanchnici Pelvic) –> pleksus plekus
hipogastricus inferior (atau pleksus hemorroidalis medius) –> pleksus
prostaticus. Nodi limfatik pada prostat yakni: lnn. Iliaci interni dan lnn.
Sacrales.
Secara anatomis, meskipun kurang begitu jelas terlihat, lobus-lobus
prostat dibagi menjadi beberapa bagian:
1. Isthmus prostat: disebut juga lobus anterior dan sesuai namanya
berada di anterior urethra, berisi jaringan fibromuskuler lanjutan m.
sfingter uretra eksterna dan sedikit jaringan glandular
2. Lobus dekstra dan sinistra prostat, yakni lobus selain bagian dari
isthmus prostat, yang dibagi lagi menjadi 4 lobulus berdasarkan
hubungannya dengan urethra dan ductus ejaculatori
3. Lobulus inferoposterior: berada di posterior urethra dan inferior
ductus ejaculatori
4. Lobulus inferolateral: berada langsung di lateral urethra dan
merupakan bagian terbesar dari lobus dekstra dan sinistra prostat
5. Lobulus superomedial: berada di dalam dari lobulus infero
posterior, mengelilingi ductus ejaculatori
6. Lobulus anteromedial: berada di dalam lobulus inferolateral, dan
secara langsung di lateral dari uretra prostatica proksimal

11
Gambar Kelenjar Prostat

https://sasetiawan.wordpress.com/2014/06/20/kajian-histologi-anatomi-fisiologi-
dan-patologi-prostat/

Secara klinis, parenkim prostat dewasa dibagi menjadi 4 zona:

1. Zona sentral
Zona sentral disebut juga lobus medius, mengelilingi ductus
ejakulatorius saat memasuki glandula prostat. Zona ini menyusun
25% jaringan kelenjar dan resisten mengalami keganasan
karsinoma dan peradangan. Sel-sel pada zona sentral memiliki ciri
lebih mencolok dan sitoplasma sedikit basofilik dengan nukleus
lebih besar yang terletak pada level berbeda pada tiap-tiap sel.
Kemungkinan zona ini secara embriologik berasal dari inklusi
ductus mesonefrikus saat prostat berkembang.
2. Zona perifer
Zona perifer menyusun 70% kelenjar prostat dan mengelilingi zona
sentral yakni terletak pada bagian posterior dan lateral glandula
prostat. Kebanyakan carcinoma muncul dari zona perifer prostat
dan akan terpalpasi saat tes colok dubur. Selain itu, zona ini
merupakan zona paling rentan terkena radang.
3. Zona transisional
Zona transisional menyusun 5% komponen kelenjar, terdiri dari
glandula mucosal, dan terletak di sekitar urethra prostatica. Pada
lansia, sel parenkim pada zona ini seringkali mengalami
hiperplasia (penambahan jumlah sel) dan membentuk massa
12
nodular sel epitel yang dapat menekan urethra prostatica,
menyebabkan gangguan urinasi. Kondisi tersebut
dinamakan benign prostatic hyperplasia (BPH).
4. Zona periurethra
Zona periurethra tersusun atas glandula mukosa dan submukosa.
Zona ini dapat mengalami pertumbuhan abnormal pada fase BPH
lanjutan, terutama pertumbuhan dari komponan stroma. Bersama
dengan nodul glandular pada zona transisional, keduanya akan
meningkakan kompresi urethra dan retensi lebih parah dari urin di
vesica urinaria.
5. Zona lain selain komponen glandular yakni stroma fibromuskular
yang terletak pada permukaan anterior glandula prostat, anterior
dari urethra.

Gambar Zona Prostat

https://sasetiawan.wordpress.com/2014/06/20/kajian-histologi-anatomi-fisiologi-
dan-patologi-prostat/

Uretra dari vesica urinaria akan memasuki prostat dan bagian


uretra yang masuk di dalam prostat tersebut dinamakan uretra pars
prostatika (panjang sekitar 3-4 cm). Uretra ini merupakan bagian yang
paling lebar, paling dapat berdilatasi, dan merupakan tempat
bersatunya tractus urinarius dan tractus reproduktivus. Pada uretra ini
glandula prostat akan berkontribusi mengeluarkan sekretnya menuju
suatu ruangan yang disebut sinus prostaticus, yakni suatu muara dari
lubang-lubang kecil yang bernama ductuli prostatici. Struktur-struktur
13
lain yang juga ada pada uretra pars prostatica yakni, colliculus
seminalis yang homolog dengan hymen pada wanita dan merupakan
suatu tonjolan dengan 3 lubang: 2 ductuli ejaculatorii dan 1 utriculus
prostaticus. Dua ductuli ejaculatorii merupakan saluran gabungan
antara ampulla ductus deferentis yang berasal dari vas deferens sebagai
saluran pengangkut spermatozoa dan ductus excretorius
glandula/vesicula seminalis tempat dikeluarkannya produk sekresi dari
vesicula seminalis. Kedua sekresi tersebut akan masuk ke uretra
prostatica dan bergabung dengan produk sekresi dari prostat. Utriculus
prostaticus merupakan lubang buntu yang homolog dengan vagina
pada wanita.

Pertumbuhan epithelium glandula prostat dipengaruhi oleh hormon


tertentu yakni dihidrotestosteron (DHT). Hormon tersebut diperoleh
dari konversi testoteron dan androgen adrenal yang memasuki sel
sekretorik epithelium glandular untuk kemudian diubah menjadi
dihidrotestosteron oeh enzim 5alfa-reduktase. DHT memilliki aktivitas
30 kali lebih kuat dari testosteron dan ikatan DHT dengan reseptor
androgen (AR) akan menyebabkan perubahan konformasional reseptor
menuju nukleus yang pada akhirnya mempengaruhi transkripsi gen
yang menstimulasi pertumbuhan normal epithelium prostat selain itu
juga dapat membuat pertumbuhan benign prostatic hyperplasia (BPH)
bahkan dapat menjadi kanker prostat yang dependen terhadap
androgen.

Telah sedikit dijelaskan sebelumnya pada pembahasan mengenai


histologi prostat bahwa kelenjar ini bersama dengan kelenjar aksesoris
lainnya akan menghasilkan cairan sekretorik yang akan bercampur
dengan spermatozoa membentuk semen. Penjelasan yang lebih detail
lagi, yakni prostat akan menghasikan cairan sedikit asam, tipis, cair,
dan berkontribusi sebesar 20% volume total semen dengan sekretnya
yang kaya akan asam sitrat, spermin, kolestrol, fosfolipid, fibrinolisin,

14
fibrinogenase, seng, prostatic acid phosphatase (PAP), amilase,
dan prostate-specific antigen (PSA).

PSA merupakan enzim protease 33-kD yang secara klinis


digunakan sebagai perasat tumor dan kadar normal PSA dalam darah
biasanya dibawah 4 ng/mL. PSA disekresikan baik oleh epitel normal
maupun abnormal ke dalam asinus prostat lalu menuju cairan
seminalis dan memiliki fungsi menghidrolisis suatu inhibitor motilitas
sperma yakni semenogelin yang ada pada semen, namun fungsi
pastinya pada sirkulasi darah belum diketahui secara pasti. Bila terjadi
peningkatan kadar serum PSA menjadi 4—10 ng/mL, risiko ditemukan
kanker sebesar 25%, sementara kadarnya di atas 10 ng/mL maka risiko
terdeteksi kanker yakni 67%. Selain itu PSA juga digunakan untuk
melihat progresi dan prognosis penyakit. PSA ditemukan di jaringan
non-prostat misalnya mammae, ovarium, glandula saliva, liver, dan
tumor lainnya. Peningkatan PSA juga terjadi pada kondisi non-kanker
seperti prostatitis, BPH, atau kondisi interupsi aliran darah ke prostat.

Prostatic acid phosphatase atau PAP merupakan enzim yang


meregulasi pertumbuhan sel dan metabolisme epithelium glandula
prostat. Peningkatan kadarnya dalam serum dapat menunjukkan
metastasis kanker prostat. Enzim fibrinolisin yang ada pada cairan
sekresi prostat mampu mencairkan semen pasca-ejakulasi.

Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang


mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan
profibrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi
sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti
susu yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen
lebih banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit basa mungkin
penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens
relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme
sperma, dan sebagai akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma.
Selain itu, sekret vagina bersifat asam (pH 3,5−4). Sperma tidak dapat
15
bergerak optimal sampai pH sekitarnya meningkat menjadi 6−6,5.
Akibatnya, cairan prostat yang sedikit basa mungkin dapat
menetralkan sifat asam cairan 12 seminalis lainnya selama ejakulasi,
dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma (Guyton & Hall,
2008; Sherwood, 2011).

2.2 Definisi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH
atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis,
yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar
prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran
urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter
(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare,
2002).
BPH merupakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian
periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra
parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan
Wilson, 2006).
BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50
tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu
prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa
bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit,
dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan
oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas,
yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.

16
Gambar BPH
http://www.prestasisiswa.com/2016/11/makalah-asuhan-keperawatan-pada-
benigna.html?m=1

2.3 Klasifikasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


Derajat berat BPH dibedakan menjadi 4 grade:
1. Grade I
Gejala prostatismus, ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu
mengeluarkan urine sampai habis.
2. Grade II
Gejala prostatismus, ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu
mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira
> 50 ml. Ada rasa tidak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Grade III
Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas, sisa
urin > 150 ml

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan
miksi yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International
Prostatic Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan
yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan
keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
17
Gambar Stadium BPH

2.4 Etiologi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


Hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi,
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat
adalah :
1. Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian
dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan
terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG).
Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas
inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati
membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel,
testosteron direduksi oleh enzim 5α-reductase menjadi 5-
dihidrotestosteron, yang kemudian bertemu dengan reseptor yang ada di
dalam sitoplasma sel prostat menjadi kompleks DHT-reseptor. Kemudian
DHT-reseptor ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear
receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada kromatin
18
dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan
sintesis protein menyebabkan terjadinya proliferasi sel kelenjar prostat
2. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen
pada usia lanjut. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan
keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon
estrogen. Karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan
pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang
terjadinya hiperplasia pada stroma. Hiperplasia stomal pada jaringan
prostat periuretral adalah satu temuan mikroskopis awal pada pria dengan
BPH. Pada suatu saat, estrogen menginisiasi hiperplasia stromal, yang juga
menginduksi hiperplasia epithelial. Kemungkinan lain ialah perubahan
konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi
dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan
terjadinya pembesaran prostat.
3. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Basic Fibroblast Growth Faktor (b-
FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi
lebih besar pada pasien dengan BPH.
4. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati (apoptosis).
5. Teori sel stem, prostat pada orang dewasa dalam hal ini kelenjar
periuretral pada keadaan normal berada dalam keadaan keseimbangan
“steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati. Sel baru
biasanya tumbuh dari stem cell. Keseimbangan ini disebabkan adanya
kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat
mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Oleh karena suatu
sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormone dan faktor
pencetus lain, maka jumlah stem cell ini dapat bertambah sehingga terjadi
proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal stem cell sehingga
menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar
periuretral prostat menjadi berlebihan.

19
2.5 Patofisiologi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan, efek perubahan juga
terjadi perlahan. Pada tahap awal pembesaran prostat menyebabkan
penyempitan lumen uretra pars prostatika. Keadaan ini menyebabkan tekanan
intravesikal meningkat, sehingga untuk mengeluarkan urin, kandung kemih
harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan tersebut. Kontraksi yang
terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik yaitu hipertrofi otot
detrusor. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi dinding
otot. Apabila keadaan berlanjut, otot detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi. Apabila
kandung kemih menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada
akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul
rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat
akan terjadi obstruksi total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi.
Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat kandung kemih tidak
mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat.
Apabila tekanan kandung kemih menjadi lebih tinggi daripada tekanan
sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia overflow. Retensi kronik
menyebabkan refluks vesikoureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi,
penderita seringkali mengedan sehingga lama-kelamaan bisa menyebabkan
hernia atau hemoroid (Rodrigues, 2008). Biasanya ditemukan gejala dan tanda
obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi saluran kemih adalah
penderita harus menunggu keluarnya kemih pertama miksi terputus, menetes
pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis
miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor yaitu
bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria.
Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi
atau pembesaran prostat merangsang kandung kemih sehingga sering
berkontraksi meskipun belum penuh. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat

20
terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah
keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis
(Samira, 2011).

2.6 Manifestasi Klinis Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan di luar saluran kemih. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract
Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
1. Gejala iritatif meliputi:
1) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya
dapat terjadi pada malam hari (nokturia) dan pada siang hari
dan nyeri pada saat miksi.
2) Terbangun untuk miksi pada malam hari.
3) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
2. Gejala obstruktif meliputi:
1) Rasa tidak puas sehabis miksi.

21
2) Hesitancy yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali
disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot
destrussor bulibuli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
3) Harus mengejan
4) Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi
dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi
retensi urine dan inkontinensia karena overflow.

Menurut Brown (1982), Blandy (1983), Burkit (1990), Forrest (1990), dan
Weinerth (1992) dalam Furqan (2003) gejala-gejala klinik BPH dapat berupa:

1. Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah penurunan


kekuatan pancaran dan kaliber aliran urin, oleh karena lumen uretra
mengecil dan tahanan di dalam uretra meningkat, sehingga kandung kemih
harus memberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat mengeluarkan
urin.
2. Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya pemanjangan
periode laten, sebelum kandung kemih dapat menghasilkan tekanan
intravesika yang cukup tinggi.
3. Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung kemih,
jika kandung kemih tidak dapat mempertahankan tekanan yang tinggi
selama berkemih, aliran urin dapat berhenti dan dribbling (urine menetes
setelah berkemih) bisa terjadi. Untuk meningkatkan usaha berkemih
pasien biasanya melakukan menauver valvasa sewaktu berkemih.
4. Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal
mengosongkan urin secara sempurna, sejumlah urin tertahan dalam
kandung kemih sehingga menimbulkan sering berkemih (frequency) dan
sering berkemih malam hari (nocturia).

22
5. Infeksi yang menyertai residual urin akan memperberat gejala karena akan
menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan edema.
6. Residual urin juga dapat sebagai predisposisi terbentuknya batu kandung
kemih.
7. Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat menyebabkan
pembuluh darahnya menjadi rapuh.
8. Bladder outlet obstruction juga dapat menyebabkan refluk vesikoureter
dan sumbatan saluran kemih bagian atas yang akhirnya menimbulkan
hidroureteronefrosis.
9. Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal (renal failure)
dan gejala-gejala uremia berupa mual, muntah, somnolen atau disorientasi,
mudah lelah dan penurunan berat badan. Gejala dan tanda ini dievaluasi
menggunakan International Prostate Symptom Score (IPSS) untuk
menentukan beratnya keluhan klinis (Furqan, 2003).
Pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala, antara lain:
1) Hemorogi.
2) Hematuri
3) Peningkatan nadi
4) Tekanan darah menurun
5) Gelisah
6) Kulit lembab
7) Temperatur dingin
8) Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat

Gejala intoksikasi air secara dini, antara lain:

1) Bingung
2) Agitasi
3) Kulit lembab
4) Anoreksia
5) Mual dan muntah

23
2.7 Pemeriksaan Diagnostik Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1. Laboratorium
1) Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan
untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan
kultur urin berguna untuk mengetahui kuman penyebab infeksi dan
sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
2) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar
ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolic.
3) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila
nilai PSA < 4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai
PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD)
lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
2. Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan
volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
1) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu
opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya
bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya
retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal.
2) Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui
kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa
hidroureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar

24
prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan
buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang
berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-
belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya
trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.

Gambar Tampak fish hook appearance (ditandai dengan anak


panah)

3) Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat,


memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine,
menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal,
divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin
ada dalam buli-buli.

Gambar Tampak ukuran prostat membesar

3. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, kandung kemih dapat teraba atau terdeteksi lewat
perkusi. Pembesaran prostat dengan permukaan yang licin dapat
ditemukan pada pemeriksaan colok dubur (rectal toucher).
25
Gambar Pemeriksaan Colok Dubur
1) Menentukan konsistensi dari prostat
Konsistensi prostat benigna seperti kalau kita menekan ujung hidung
kita dan permukaan seluruh kelenjar biasanya rata (halus). Bila
konsistensi prostat berdungkul atau terdapat bagian yang lebih keras,
seperti kalau menekan daerah tulang hidung atau sendi jari maka harus
dipikirkan adanya karsinoma, prostatitis kalkulosa, tbc prostat atau
prostatitis granulomatosa.
2) Menentukan besarnya prostat
Besarnya prostat normal tersebut ditandai dengan batas batas yang
jelas, yaitu sulcus lateralis mudah diraba, batas atas juga mudah diraba.
Dan ditengahnya terdapat sulkus mediana yang juga mudah diraba.
3) Besarnya prostat dibedakan :
1) grade (derajat ) I : perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
2) grade (derajat) II : perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
3) grade (derajat) III : perkiraan beratnya lebih dari 40 gram
4) Menentukan sistem persyarafan unit vesiko urtetra.
Tonus sphinter yang normal, tidak longgar waktu jari telunjuk
dimasukkan dan refleks bulbo kaverosa (BCR) yang positif
menandakan bahwa persyarafan unit vesiko uretra tidak intake. Bila
dengan mendadak glans penis ditekan dengan tangan kiri dan pada jari
telunjuk yang di rektum terasa kontarksi dari sphinter ani maka
dikatakan bahwa BCR positif
4. Pemeriksaan lain
1) Uroflowmetri

26
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan puncak
laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju
pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar
11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah
pancaran urin yang dihasilkan.

Gambar Hasil Uroflowmetri


2) IPSS Score
Nilai skala beratnya keluhan dalam tujuh kategori (pengosongan
lengkap, frekuensi, intermittensi, urgensi, pancaran lemah, mengejan,
nokturia) dengan total skor 35 menunjukkan gejala terberat. Ada juga
skala enam poin untuk menilai kualitas hidup. Dengan demikian,
pedoman AUA baru ini diterbitkan merekomendasikan untuk pasien
dengan gejala ringan (skor gejala dari 0 hingga 7). Manajemen medis
umumnya rekomendasi pertama untuk pasien dengan skor gejala lebih
besar dari 7, jika mereka terganggu oleh gejalanya (Vaughan, 2003).

27
28
Gambar International Prostate Symptoms Score (IPSS) dalam Bahasa Indonesia
(Modifikasi dari IAUI Guidelines, 2003)

IPSS mempunyai manfaat untuk :


a Menilai tingkat keparahan gejala. Tujuh index gejala IPSS masing-
masing mempunyai skala 0 sampai 5, sehingga skor total yang
diperoleh berkisar antara 0-35. Dinyatakan dengan IPSS ringan :
skor 0-7. IPSS sedang : skor 8-19, IPSS berat : skor 20-35,
sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi
nilai dari 1 hingga 7. Timbulnya gejala LUTS merupakan
manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk mengeluarkan urin.

29
Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatigue)
sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan
dalam bentuk retensi urin akut. Timbulnya dekompensasi bulibuli
biasanya didahului oleh beberapa faktor pencetus, antara lain: a.
Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh, yaitu pada cuaca dingin,
menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau
minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi), minum air
dalam jumlah yang berlebihan. b. Massa prostat tiba-tiba
membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut. c. Setelah mengkonsumsi obat-
obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang
dapat mempersempit leher buli-buli (Purnomo, 2011).
b Menentukan cara penanganan.

Gambar Algoritme pengelolaan BPH (Nugroho, 2012)


c Evaluasi perkembangan penyakit pada penderita yang menjalani
pengawasan (watchful waiting). Menurut Netto (1999) dalam
penelitiannya terhadap 479 pasien, mendapati 50 pasien dengan
IPSS berat dimana 16 pasien (32%) diantaranya dengan Bladder
Outlet Obstruction (BOO). Setetah menjalani pengawasan
(watchfull waiting) selama periode 9-22 bulan, 16 pasien tersebut
dievaluasi. 13 pasien (81%) stabil, dan 3 pasien (l9%) mengalami
peningkatan IPSS menjadi sedang dimana dua pasien memilih
terapi medikamentosa dan 1 pasien menjalani TURP.
d Menilai hasil terapi. Index gejala pada IPSS telah terbukti sensitif
terhadap suatu perubahan, Barry (1992) melaporkan terdapat

30
penurunan IPSS preoperative rata-rata 17,6 menjadi 7,1 pasca
prostatektomi (p<0,001)
e Menilai pengaruh gejala yang dialami penderita terhadap kualitas
hidup.
f Sebagai alat pengukuran yang konsisten dan telah teruji,
memungkinkan untuk membandingkan satu penderita dengan
penderita lain (Nugroho, 2002). Cara pengisian kuesioner IPSS ada
2, yaitu pasien atau responden mengisi sendiri (self administered)
atau dengan cara wawancara, dimana keduanya mempunyai
keuntungan dan kerugian. Apabila mengisi sendiri keuntungannya
adalah : lebih efisien karena memerlukan waktu lebih singkat,
mengurangi bias pewawancara memungkinkan pasien menjawab
pertanyaan yang bersifat pribadi (sensitif). Sedangkan
kekurangannya adalah kesulitan dalam memahami setiap
pertanyaan. Jika dilakukan dengan cara wawancara keuntungan
dan kerugiannya adalah sebaliknya yang tersebut di atas (Schoor,
2004)
3) Volume residu urin (PVR)
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan
cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur
berapa volume urin yang masih tinggal atau ditentukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi. Pada orang normal sisa urin
biasanya 0 mL atau kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin
dapat melebihi kapasitas normal vesika. Besar PVR > 25-30 mL
menandakan kegagalan pengosongan kandung kemih dan beresiko
munculnya infeksi saluran kemih. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya
dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada
penderita prostat hipertrofi

2.8 Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


Tujuan dari perawatan pada BPH adalah untuk mengurangi LUTS dan
kualitas hidup pasien seperti halnya mencegah komplikasi terkait BPH

31
(Oelke, et al., 2005). Prinsip terapi pada BPH ialah pengambilan keputusan
terapi yang didasarkan pada tingkat keparahan dari gejala, derajat gangguan
yang ditimbulkan dan berdasarkan pilihan pasien (Nicket, et al., 2010).
1. Watchful waiting (WW)
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan, atau
sedang hingga berat namun tidak memiliki dampak atau berdampak
minimal pada kualitas hidup pasien. Tindakan yang dilakukan adalah
observasi saja tanpa pengobatan. Pasien yang sedang menjalani WW
secara periodik mengunjungi dokter untuk dilakukan monitoring
(Nicket, et al., 2010). Penenteraman hati pasien, pemberian pemahaman
mengenai penyakit ini, dan modifikasi gaya hidup direkomendasikan
untuk mengoptimalkan WW (Oelke, et al., 2005). Modifikasi gaya hidup
yang dapat dilakukan diantaranya buang air kecil sebelum tidur,
menghindari konsumsi kafein dan alkohol, pengosongan kandung kemih
yang lebih sering ketika tidak sedang tidur
2. Terapi obat
Terapi farmakologi BPH dapat dikategorikan menjadi 3 tipe, yaitu agen
yang bekerja merelaksasi otot polos prostate (menurunkan faktor
dinamik), agen yang mengganggu efek stimulasi testosterone pada
kelenjar prostate yang membesar (menurunkan faktor static), dan
kombinasi terapi dari keduanya.
1) α-blockers
Semua α-blocker memiliki kemanjuran klinik yang mirip. Terapi
dengan α-blocker brdasarkan hipotesis bahwa LUTS sebagian
disebabkan oleh kontraksi otot polos prostate dan leher kandung
kencing yang dimediasi oleh α1-adrenergik yang menghasilkan
tersumbatnya saluran kemih. Agen ini merelaksasi sfingter intrinsik
uretral dan otot polos prostate namun tidak mengecilkan ukuran
prostate.
Tiga generasi α-blockers telah digunakan dalam terapi BPH,
namun efek antagonis pada reseptor α2-adrenergik presinaptik yang
menyebabkan takikardi dan aritmia membuat generasi pertama agen

32
ini digantikan dengan generasi kedua antagonis α1-adrenergik
postsinaptik dan generasi ketiga α1-adrenergik uroselektif.
Yang termasuk kedalam generasi kedua adalah prazosin, terazosin,
doxazosin dan alfuzosin. Terapi dengan obat – obat tersebut harus
diawali dengan dosis rendah, untuk meningkatkan toleransi terhadap
kemungkinan terjadinya efek samping seperti hipotensi ortostatik dan
pening.
Tamsulosin adalah satu-satunya α-blocker generasi ketiga yang
tersedia di Amerika. obat ini bekerja secara selektif pada reseptor α1-
adrenergik prostate yang menyusun kurang lebih 70% dari reseptor
adrenergic dari kelenjar prostate. Blockade pada reseptor tersebut
menghasilkan relaksasi otot polos dari prostate dan kandung kemih
tanpa menyebabkan relaksasi otot polos vaskuler perifer.

Waktu mencapai

Obat Dosis lazim per hari efek puncak pada
(jam)
gejala BPH
2-10 mg dalam 2 atau 3 dosis
Prazosin 2–3 2 – 6 minggu
terbagi

1-10 mg dosis tunggal,


Terazosin 11 – 14 2 – 6 minggu
maksimum 20 mg

1 – 4 mg dosis tunggal,
Doxazosin 15 – 19 2 – 6 minggu
maksimum 8 mg

Doxazosin 4 atau 8 mg dosis tunggal,


15 – 19 Beberapa hari
GTS maksimum 8 mg

Alfuzosin 10 mg dosis tunggal Beberapa hari

Tamsulosin 14 – 15 0,4 atau 0,8 mg dosis tunggal Beberapa hari

33
2) 5α-reductase-inhibitors (finasteride atau dutasteride),
Merupakan obat pilihan untuk pasien dengan LUTS sedang/berat
dan prostate membesar (>40 g). kedua obat tersebut menurunkan
volume prostate hingga 20-30% dan memiliki kemanjuran klinik yang
mirip. 5α-reductase-inhibitors dapat mencegah perkembangan BPH,
meningkatkan skor gejala hingga 15% dan juga dapat menyebabkan
peningkatan yang lumayan pada aliran berkemih yaitu 1,3 – 1,6 mL/s
(Rosette, et al., 2004).
Finasteride lebih efektif diberikan kepada pasien dengan prostat
lebih besar dari pada 40 mL. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
finasteride secara signifikan dapat mengurangi retensi urin akut dan
pembedahan pada penderita BPH. Finasteride juga mampu menurunkan
tingkat PSA dalam serum (Rosette, et al., 2004). Finasteride memiliki
efek samping yang berkaitan dengan fungsi seksual. Pada sebuah
penelitian, dilaporkan terjadinya efek samping penurunan libido (6,4%),
impoten (8,1%), penurunan ejakulat (3,7%) dan kurang dari 1% pasien
mengalami keluhan lain seperti kemerahan, pembesaran dan
pelembekan payudara (Rosette, et al., 2004).
Dutasteride merupakan 5α-reductase-inhibitors nonselektif yang
menekan isoenzin tipe 1 dan 2, dan sebagai konsekuensinya lebih cepat
dan lebih efektif dalam menurunkan produksi DHT intraprostat dan
tingkat DHT serum hingga 90%.
Kombinasi terapi α1-adrenergic antagonist dengan 5α –
reductase – inhibitors ideal diberikan kepada pasien dengan gejala
berat, yang juga mengalami pembesaran prostat lebih dari 40 g dan
tingkat PSA sedikitnya 1,4 ng/mL. kekurangan dari terapo kombinasi
ini adalah meningkatnya biaya pengobatan, dan peningkatan kejadian
munculnya efek yang tidak diharapkan.
3. Terapi pembedahan
Indikasi pembedahan menurut Agency for Health Care Policy and
Research guidelines, indikasi absolut pembedahan pada BPH adalah
sebagai berikut :

34
1) Retensi urine yang berulang.
2) Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat.
3) Gross hematuria berulang.
4) Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli.
5) Kerusakan permanen buli atau kelemahan buli-buli.
6) Divertikulum yang besar pada buli yang menyebabkan pengosongan
buli terganggu akibat pembesaran prostat.

Macam-macam Pembedahan

1) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)

Dilakukan pada pasien baik dengan LUTS sedang atau pun berat,
yang menginginkan perawatan secara aktif, atau yang mengalami
kegagalan terapi atau tidak menginginkan terapi dengan obat.
Menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang menimbulkan
obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter. TURP
dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop dengan suatu
lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi
selapis dan dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan
dirawat dengan memakai diathermi, biasanya dilakukan dalam waktu
30 sampai 120 menit, tergantung besarnya prostat. Selama operasi
dipakai irigan akuades atau cairan isotonik tanpa elektrolit. Prosedur
ini dilakukan dengan anastesi regional (Blok Subarakhnoidal / SAB /
Peridural ). Setelah itu dipasang kateter nomer Ch. 24 untuk beberapa
hari. Sering dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran untuk
spoel yang mencegah terjadinya pembuntuan oleh pembekuan darah.
Balon dikembangkan dengan mengisi cairan NaCl atau akuades
sebanyak 30 – 50 ml yang digunakan sebagai tampon daerah prostat
dengan cara traksi selama 6 – 24 jam. Traksi dapat dikerjakan dengan
merekatkan ke paha klien atau dengan memberi beban (0,5 kg) pada
kateter tersebut melalui katrol. Traksi tidak boleh lebih dari 24 jam
karena dapat menimbulkan penekanan pada uretra bagian penoskrotal

35
sehingga mengakibatkan stenosis buli – buli karena iskemi. Setelah
traksi dilonggarkan fiksasi dipindahkan pada paha bagian proximal
atau abdomen bawah. Antibiotika profilaksis dilanjutkan beberapa jam
atau 24 – 48 jam pasca bedah. Setelah urin yang keluar jernih kateter
dapat dilepas. Kateter biasanya dilepas pada hari ke 3 – 5. Untuk
pelepasan kateter, diberikan antibiotika 1 jam sebelumnya untuk
mencegah urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik,
satu atau dua hari setelah kateter dilepas.

Cairan Irigasi untuk operasi TUR dapat dipakai beberapa macam


cairan irigasi. Normal salin tidak dapat dipakai karena cairan ini
merupakan penghantar listrik dan akan mengganggu proses
pemotongan dan kauterisasi. Di samping itu arus listrik dapat
dihantarkan ke alat resektoskop dan dapat mengenai luka bedah.
Belakangan ini telah ditemukan mesin resektoskop yang lebih modern
yang dapat menggunakan normal salin sebagai cairan irigasinya tapi
alat tersebut masih sangat mahal. Cairan lain yang dapat dipakai
adalah air steril, glysin 1,2%, 1,5%, atau 2,2%. Cairan lain yang dapat
dipakai adalah sorbitol atau manitol 3%. Di negara maju air steril
sudah jarang dipakai karena jika diserap dalam jumlah besar dapat
menyebabkan hiponatremia, hemolisis intra vaskuler dan hiperkalemia.
Karena itu sorbitol, manitol, atau glisin lebih banyak dipakai.
Sorbitol/manitol atau glisin dapat mencegah hemolisis intravaskuler
tetapi tidak dapat mencegah hiponatremia dilusional karena bisa terjadi
penyerapan cairan dalam jumlah besar tanpa penambahan natrium.
Cairan yang banyak dipakai di luar negeri adalah glisin. Tetapi
penyerapan glisin dalam jumlah besar dapat menyebabkan beberapa
akibat dan sebenarnya cairan sorbitol dan manitol lebih baik
dibandingkan dengan glisin. Tetapi harganya lebih mahal. Cairan non
ionik yang dapat dipakai adalah larutan glukose 2,5%-4%. Untuk
negara yang sedang berkembang, Collins dan kawan-kawannya
menganjurkan pemakaian dektrose 5% yang lebih ekonomik
dibandingkan dengan cairan glisin dan lebih jarang menimbulkan
36
hemolisis serta lebih aman dibandingkan air steril. Tetapi larutan
dextrose tidak disukai karena dapat menyebabkan hipoglikemi tissue
charring pada tempat reseksi dan menimbulkan rasa lengket pada
sarung tangan ahli bedah dan peralatan. Di Amerika Serikat, cairan
irigasi yang paling banyak dipakai adalah Cytal yang merupakan
campuran antara sorbitol 2,7% dan manitol 0,54%.

2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)


Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan
dengan ukuran prostat kecil (<30 gram)
3) Open Prostatectomy
Diindikasikan untuk pasien dengan prostat terlalu besar untuk
dilakukan TURP karena takut penyembuhan tidak sempurna,
perdarahan yang signifikan, atau risiko dilusi natremia.
4) Transurethral electrovaporization (TUVP)
Merupakan alternative lain untuk TURP khususnya untuk pasien
beresiko tinggi dengan prostate kecil.
5) Laser Prostatectomy
Tekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy
(TULIP) yang dilakukan dengan bantuan USG, Visual coagulative
necrosis, Visual laser ablation of the prostate (VILAP), dan interstitial
laser therapy.
6) Prostatic stents
Hanya diberikan kepada pasien yang memiliki resiko tinggi, yang
ditunjukkan dengan kekambuhan retensi urin sebagai alternatif
kateterisasi, dan bagi mereka yang tidak dapat menjalani terapi yang
lainnya
7) Emerging techniques
Meliputi High-intensity focused ultrasound (HIFU), chemoablation of
the prostate, water induced thermotherapy (WIT) dan plasma energy
in a saline environment (PlasmaKinetic®) yang hanya digunakan
dalam percobaan klinis saja.

37
8) Obsolete techniques
Transurethral baloon dilatation : dilakukan dengan memasukkan
kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher kandung
kemih. Dilatasi balon dan transrektal/hipertermi transurethral tidak lagi
direkomendasikan untuk mengatasi BPH.
4. Terapi Hormonal
Terapi hormon diberikan pada pria usia pertengahan dan lanjut usia untuk
mengatasi keluhan andropause. Selama pengobatan oleh dokter,
testosteron diberikan dalam bentuk senyawa undarkanoat (4 mg/kapsul).
Tujuan terapi hormone adalah mengontrol keseimbangan hormon
testosteron sehingga dapat membantu mengatasi keluhan gangguan
Prostat.
5. Fitoterapi (Pygeum africanum, Serenoa Repens)
Agen ini terdiri atas berbagai macam ekstrak tanaman dan selalu sulit
dalam mengidentifikasi komponen mana yang memiliki aktifitas biologis
utama (Rosette, et al., 2004). Meskipun fitoterapi digunakan secara luas di
Eropa dalam pengelolaan BPH, data publikasi mengenai penggunaan agen
herbal masih belum meyakinkan dan banyak pertentangan.

2.9 Komplikasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin
yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi.
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk
batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu

38
tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat
mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.
Komplikasi yang dapat timbul pasca pembedahan, antara lain:
1. Perdarahan pascaoperasi dan retensi bekuan darah
2. Infeksi saluran kemih
3. Ejakulasi retrograde, impotensi
4. Sindrom TURP
Pada 2% pasien penyerapan cairan irigasi melalui sinus vena pada
prostat menyebabkan hiponatremia, hipotensi dan asidosis metabolik.
Komplikasi yang terjadi pada pasien post operasi TURP yang
didefinisikan dengan kelebihan volume cairan selama irigasi yang
menyebabkan hiponatremia dan hipervolemia (Gravenstein, 1997;
Moorthy, 2002; Hawary, 2009; dan Hawary, 2009). Karakteristik dari
sindrom TURP syndrome adalah kebingungan mental, mual dan muntah,
hipertensi, bradikardi dan gangguan pengelihatan. Hal itu dikarenakan
dilusi hiponatremia (serum natrium <125 mEq/l) yang awalnya muncul
saat terjadinya perforasi kapsular atau sinus yang kemudian dilanjutkan
dengan irigasi cairan. Pasien dengan anestesi spinal menunjukkan tidak
bisa tenang, gangguan cerebral dan gemetaran. Ketiga hal ini adalah
tanda dan gejala minimal sampai jika kurang mendapatkan intervensi
spesifik dapat mengakibatkan kolap kardiovaskuler, kegagalan multi
organ dan bahkan kematian (Marszalek, 2009; Claybon, 2009; dan
Hawary, 2009). Kejadian sindrom TURP sangat cepat, dapat terjadi 15
menit setelah operasi selesai hingga 24 jam (Swaminathan dan Tormey,
1981). Sehingga apabila tidak dilakukan pemeriksaan post operasi TURP
secara dini, maka dikuatirkan telah sindrom TURP yang mengakibatkan
kematian.
Tanda dan gejala pasien sindrom TURP adalah gelisah, penurunan
kesadaran, hipotensi, bradikardi, kreatinin meningkat, hiponatremia,
hipokalemia. Pasien sindrom TURP mengalami gangguan kesadaran

39
(koma), hiponatremia bahkan sampai kejang dan meninggal dunia
(Demirel, 2012). Hal ini terjadi karena cairan irigasi masuk ke pembuluh
darah melalui area yang direseksi sehingga menganggu kadar natrium
dalam darah. Literatur lain mengatakan bahwa operasi TURP akan
meningkatkan resiko hiponatremia dan sindrom TURP (Issa, 2004). Di
samping itu, pasien dengan hiponatrema juga mengalami mual dan
muntah sebagai efek negatif dari kadar natrium di bawah 125 – 130
mmol/liter (Reynolds et al, 2006).
5. Inkontinensia urin
6. Striktur uretra

2.10 Prognosis Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang
tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat
berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat
merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru.
BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang
cukup merugikan bagi penderita. Sebagian besar pasien memiliki kualitas
hidup yang sangat baik setelah prostatektomi (baik endoskopik maupun
terbuka).

40
2.11 WOC BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

Perubahan usia (usia


lanjut)

Ketidakseimbangan produksi hormon estrogen dan


progesteron

Kadar testosterone Kadar estrogen tetap


menurun

Mempengaruhi RNA dalam Hiperplasia sel stoma pada


inti sel jaringan

Poliferasi sel prostat &


apoptosis ↓

BPH

Penyempitan lumen Kurang informasi terhadap Operasi/pembeda


uretra penyakit han
Ancaman
Peningkatan tekanan MK: Kurang perubahan Insisi Resiko
intravesikel pengetahuan status prostatektomi impotensi
kesehatan
Otot detrusor MK: Krisis Terputusnya MK:
hipertrofi (fase Ansietas situasi kontinuitas Perubahan
kompensasi) jaringan disfungsi
seksual
MK: Resti Pelepasan mediator
Bila keadaan berlansung infeksi kimiawi nyeri
lama
MK: Resiko MK: Nyeri akut
Dekompensasi otot detrusor perdarahan
(otot melemah, tdk mampu
kontraksi lagi)
41
Dekompensasi otot detrusor
(otot melemah, tdk mampu
kontraksi lagi)

Perubahan kualitas kontraksi


kandung kemih

Akumulasi urin di vesika


urinaria

Sukar berkemih, Peregangan vesika Penumpukan urin


berkemih tidak urinaria melebihi yang lama di vesika
lancar kapasitas urinaria

MK: Retensi Pertumbuhan


urin Spasme otot Refluk urin ke mikroorganisme
sfingter ginjal

MK: Nyeri akut Hidroureter,


hidronefrosis
MK:
Resiko
Gagal ginjal infeksi

42
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 ASUHAN KEPERAWATAN UMUM
A. Pengkajian
1) Identitas klien
Nama, umur, agama, alamat, suku bangsa, status perkawinan,
pendidikan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan
diagnosa keperawatan.
2) Keluhan utama
Tidak bisa buang air kecil, nyeri pada pinggang dan pada saat BAK
harus mengejan. Kencing menetes tanpa disadari. Hematuria.
3) Riwayat kesehatan
a Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti infeksi
saluran kemih, vesicholithiasis atau sindrom nefrotik.
b Riwayat kesehatan sekarang
Perubahan pola eliminasi urin BAK tidak lancar, penurunan
dorongan aliran urin, penurunan kemampuan berkemih,
nyeri daerah suprapubis, retensi urin, urinnya berwarna
kemerahan (hematuria), ketika BAK harus mengejan, air
kencingnya macet total, abdomen bagian bawah semakin
membesar dan menegang (distensi) serta pasien merasa
sangat nyeri. Urin menetes tanpa disadari (inkontinensia
overflow).
c Riwayat kesehatan keluarga
Jika ada keluarga yang menderita penyakit BPH maka
resiko semakin tinggi terjadinya BPH.
4) Pemeriksaan Fisik
d Dilakukan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital yaitu
tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat
pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut,

43
dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis
sampai syok - septik.
e Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik
bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan
pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan
retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya
ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
f Buli-buli penuh, teraba massa di daerah kistus karena
retensi urin.
g Pemeriksaan penis dan uretra untuk mendeteksi
kemungkinan stenosis meatus, striktur uretra, batu
uretra, karsinoma maupun fimosis.
h Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya
epididimitis
i Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk
menentukan konsistensi dan derajat pembesaran prostat.
Perhatikan tonus sfingter ani, refleks bulbokavernosa,
mukosa rektum, dan keadaan prostat tidak adanya nodul,
krepitasi, konsistensi prostat teraba kenyal seperti ujung
hidung, simetris antar lobus dan batas prostat. Sedangkan
pada karsinoma prostat konsistensi teraba keras/teraba
nodul dan tidak simetris amtar lobus prostat.

B. Diagnosa Keperawatan
1) Pre Operasi
 Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor dan
ketidakmapuan kandung kemih untuk berkontraksi secara
adekuat.
 Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli –
buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.

44
 Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan
pasca obstruksi diuresis.
 Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
atau menghadapi prosedur bedah.
 Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya
informasi.
2) Post Operasi
 Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan
insisi sekunder pada TUR-P.
 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung
kemih sering.
 Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan
tindakan pembedahan
 Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan
ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
 Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek
pembedahan

C. Intervensi Keperawatan
1) Pre Operasi
Tujuan dan Kriteria
Diagnosa Intervensi
Hasil
Nyeri ( akut ) NOC : NIC :
berhubungan Pain level a. Lakukan pengkajian
dengan iritasi Pain control nyeri secara
mukosa buli – KH : komprehensif
buli, distensi a. Mampu termasuk lokasi,
kandung kemih, mengontrol nyeri karakteristik, durasi,
kolik ginjal, b. Melaporkan frekuensi, kulitas, dan
infeksi urinaria. bahwa nyeri factor presipitasi
45
berkurang dgn b. Observasi reaksi
menggunakan nonverbal
manajemen nyeri c. Kaji kultur yang
c. Mampu mempengaruhi nyeri
mengenali nyeri d. Evaluasi pengalaman
d. Menyatakan rasa nyeri masa lampau
nyamansetelah e. Kontrol lingkungan
nyeri berkurang yang dapat
mempengaruhi nyeri
f. Kaji tipe dan sumber
nyeri
g. Berikan analgetik
h. Lakukan pengobatan
non farmakologik
Retensi urin NIC NIC:
berhubungan urinary elimination a. Memenatau
dengan obstruksi urinary continuece asupan dan
mekanik, kriteria hasil: keluaran
pembesaran a. intake cairan b. Memantau tingkat
prostat, dalam rentang distensi kandung
dekompensasi normal. kemih dengan
otot destrusor dan b. kantung kemih palpasi dan
ketidakmapuan secara penuh. perkusi untuk
kandung kemih c. tidak ada residu merangsang reflex
untuk urine > 100-200cc kandung kemih.
berkontraksi d. balance cairan c. Memasang kateter
secara adekuat. seimbang d. Menyediakan
penghapusan
privasi

46
2) Post Operasi
Resiko tinggi NOC NIC: Infection
infeksi Setelah dilakukan intervensi Control
berhubungan keperawatan selama 2x24 1. Pertahankan
dengan prosedur jam klien menunjukkan teknik aseptic.
invasif: alat kontrol diri terhadap risiko 2. Cuci tangan
selama infeksi dengan kriteria hasil: setiap sebelum
pembedahan, a. Identifikasi risiko dan sesudah
kateter, irigasi infeksi tindakan
kandung kemih b. Menjaga kebersihan keperawatan
sering. lingkungan 3. Gunakan baju,
c. Menggunakan sarung tangan
universal precaution sebagai alat
dalam melakukan perlindung
tindakan 4. Gunakan kateter
keperawatan intermiten untuk
d. Melakukan strategi menurunkan
control infeksi infeksi kandung
kemih
5. Tingkatkan
intake nutrisi.
6. Kolaborasi:
Berikan terapi
antibiotik

47
3.2 ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
Tn. T berusia 63 tahun masuk rumah sakit pada tgl 24 juli 2016. Tn T
telah menjalankan operasi hypertropi prostat beberapa hari yang lalu.
Klien mengeluh nyeri pada daerah supra pubic (daerah operasi) dengan
nyeri yang hilang timbul dan nyeri nya akan meningkat bila digunakan
untuk bergerak. Klien tampak terpasang kateter urin dan terpasang infus
Dext 5%, 28 tetes/menit pada tangan kiri. Dalam pemeriksaan fisik
ditemukan TD: 110/60mmHg, Nadi: 80x/menit, RR: 16x/menit, Suhu:
370C

1. PENGKAJIAN
1) Biodata
Identitas:
A. Nama : Tn T
B. Umur : 63 tahun
C. Jenis kelamin : laki laki
D. Status : Menikah
E. Agama : Kristen
F. Pekerjaan : Pensiunan
G. Alamat : Makasar

2) Riwayat kesehatan
(1) Riwayat kesehatan sekarang
a) Keluhan utama : nyeri pada supra pubic (daerah operasi)
b) Riwayat kesehatan utama : keluhan dialami setelah klien
menjalani operasi hypertropi prostat
a. Lokasi : klien mengatakan nyeri di supra
pubic
b. Sifat keluhan : klien mengatakan nyeri hilang
timbul
c. Klien mengatakan nyeri bila bergerak
(2) Riwayat kesehatan masa lalu
1. Klien tidak pernah menderita penyakit yang sama
2. Klien tidak pernah dirawat di rumah sakit
3. Klien tidak ada riwayat DM, hipertensi dan penyakit
jantung
4. Klien tidak merokok
5. Klien pernah minum minuman beralkohol saat masih muda
(3) Riwayat kesehatan keluarga : tidak ada anggota keluarga yang
pernah menderita penyakit yang sama

48
(4) Genogram 3 generasi

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Meninggal

: Klien

: Tinggal serumah

3) Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : nampak sakit sedang
- Kesadaran : compocmentis
- TTV:
T : 110/60 mmHg, N : 80x/menit, RR : 16x/menit, S : 370C
- Kepala
Inspeksi :
Rambut sudah beruban, keadaan rambut dan kulit kepala
bersih, penyebaran rambut merata, tidak ada lesi
Palpasi :
Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan
- Muka
Inspeksi :
Simetris kiri kanan, bentuk wajah oval, tidak tampak
refleks/gerakan abnormal, ekspresi wajah meringis bila nyeri
- Mata
Inspeksi :
Palpebra tidak oedema, sclera tidak icterus, konjungtiva tidak
pucat, pupil isokor, miosis pada refleks cahaya, posisi bola
mata simetris kiri/kanan, gerakan bola mata ke segala arah,
lapang pandang luas, kelopak mata dapat membuka dan
menutup, bulu mata merata
Palpasi :
Tidak ada nyeri tekan pada kedua bola mata, kedua bola mata
teraba lunak

49
- Telinga
Inspeksi :
Simetris kiri dan kanan, tidak ada serumen, klien tidak
memakai alat bantu pendengaran
Palpasi :
Tidak ada nyeri tekan pada tragus, pinna dan daerah mastoid,
tidak teraba adanya massa
Data lain:
Klien mengatakan ada gangguan pendengaran (sedikit tuli)
- Hidung
Inspeksi :
Simetris kiri dan kanan, tidak nampak adanya septum deviasi,
tidak ada pengeluaran sekret
Palpasi :
Tidak ada nyeri tekan pada hidung, sinus maksilaris, frontalis
dan etmoidalis, tidak ada benjolan
- Mulut
Inspeksi :
a) Gigi : gigi depan tercabut 2 dan gigin rahang atas tercabut 2
b) Gusi : tidak ada peradangan
c) Lidah : agak berwarna putih
d) Bibir : tampak basah dan tidak sianosis
- Tenggorokan
Inspeksi :
Warna mukosa merah muda, tidak ada nyeri menelan, tidak
tampak pembesara tonsil (T0/T0)
- Leher
Inspeksi :
Tidak tampak pembesaran kelenjar tyroid dan kelenjar limfe,
tidak pembesaran vena jugularis
Palpasi :
Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba pembesaran kelenjar tyroid
dan kelenjar limfe
- Dada
Inspeksi :
Bentuk dada normal chest, frekuensi nafas 16 x/menit.
Tipe pernafasan : thoraco abdominalis.
Irama pernafasan : eupneu.
Pengembangan dada ikut gerak nafas
Palpasi :
Ekspansi dada : seimbang kiri dan kanan.
Vokal fremitus : getaran teraba di seluruh dada.
Perkusi :

50
Sonor pada semua lapang paru, tidak terdengar adanya
penimbunan cairan.
Auskultasi :
Bunyi nafas vesikuler, tidak terdengar bunyi nafas tambahan.
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak tampak
Perkusi : Pekak pada area jantung
Auskultasi :
- BJ I : terdengar murni dan teratur pada ICS 4 garis
midcalvicularis kiri
- BJ II : terdengar murni dan teratur pada ICS 2 para sternalis
kiri dan kanan
- Abdomen
Inspeksi :
Warna kulit sama dengan daerah sekitarnya, perut tampak datar
Auskultasi :
Peristaltik usus 10x/menit, tidak terdengar bising usus
Perkusi :
Terdengar bunyi tympani kecuali pada daerah kuadran kanan
atas, pekak pada daerah hepar
Palpasi :
Nyeri tekan pada daerah supra pubic, tidak teraba adanya
massa
- Status urologi
- Klien mengeluh nyeri bila berkemih.
- Klien mengeluh nyeri pada daerah supra pubic.
- Urine warna kemerahan, jumlah  1500 cc
- Terpasang catheter tersambung ke urine bag
- Nyeri tekan daerah suprapubic
- Terpasang NaCl 0,9 % untuk spul catheter
- Genetalia dan anus
Inspeksi :
Tampak terpasang kateter, tersambung ke urin bag, tidak
tampak adanya kelainan
- Ekstremitas
a. Ekstremitas atas
1) Motorik
Klien dapat menggerakkan eksremitas kiri dan kanan,
tapi terbatas karena terpasang infus pada tangan kiri
dengan Dextrose 5 % 28 tts/menit, tonus otot kanan/kiri
baik, kekuatan otot nilai 5/5
2) Refleks
51
Biceps kiri/kanan : normal (+/+), Triceps kiri/kanan :
normal (+/+)
3) Sensori
Tidak ada nyeri tekan, sensitif terhadap rangsang
suhu/raba
b. Ekstremitas bawah
a. Motorik
Kekuatan otot nilai 5/5, tonus otot baik, klien dapat
melakukan pergerakan
b. Refleks
- Patella kanan/kiri : (+/+)
- Achilles kanan/kiri : (+/+)
- Babinsky kanan/kiri : ( -/- )
c. Sensori
Tidak ada nyeri tekan, sensitif terhadap rangsang
suhu/raba
- Status neurologis
Tingkat kesadaran : Composmentis
1) N. I (Olfaktorius) : klien dapat membedakan bau
2) N II (opticus) : klien dapat melihat dengan jelas
3) N III, IV, VI (oculomotorius, trochlearis dan abducens)
Kontriksi pupil bila ada cahaya, kelopak mata dapat membuka
dan menutup, pergerakan bola mata ke segala arah.
4) N V (trigeminus)
Cornea refleks : berespon terhadap sentuhan kapas
5) N. VII (Fascialis)
Gerakan mimik sesuai dengan perasaan (meringis – nyeri),
pengecapan 2/3 lidah bagian depan dapat mempersepsikan rasa
manis.
6) N. VIII (acusticus)
Fungsi pendengaran terganggu, klien kurang dapat mendengar
dengan jelas
7) N. IX, X (Glossofaringeus dan vagus)
Refleks menelan baik, pengecapan 2/3 lidah bagian belakang,
dapat mempersepsikan rasa pahit.
8) N XI (Assesoris)
Klien dapat memalingkan muka ke kiri dan ke kanan, klien
dapat mengangkat bahu
9) N XII (hypoglosus) : tidak ada deviasi lidah, kaku kuduk ( - )
- Reviews Of System
B1 ( Breathing)

52
Frekuensi nafas 16x/menit, irama teratur, tidak terlihat adanya
pernafasan cuping hidung, tidak terlihat cyanosis
B2 (Blood)
110/60mmHg, Suhu: 370C, Muka pucat
B3 (Brain)
Kesadaran kompos mentis, orientasi verbal baik, GCS: 456
B4 (Bladder)
- Klien mengeluh nyeri bila berkemih.
- Klien mengeluh nyeri pada daerah supra pubic.
- Urine warna kemerahan, jumlah  1500 cc
- Terpasang catheter tersambung ke urine bag
- Nyeri tekan daerah suprapubic
- Terpasang NaCl 0,9 % untuk spul catheter
B5 (Bowel)
- Peristaltik normal, tidak terdapat obstipasi maupun diare
B6 (Bone)
- Tidak terdapat kontraktur maupun dekubitus
4) Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium 23 Juli 2003 Normal
Hb : 12,6 gr% (11 – 0 – 18,0 gr)
Leucosit : 10.700 rb/mm3 (4000 – 10.000mm3)
LED : 85 mm/jam (0 – 20 mm/jam)
Trombocyte : 361.000 (150-400 rb/mm3)
Basofil :0% (0 – 2 %)
Eosinofil :5% (0 – 5 %)
Netrofil batang: 2 % (2 – 4 %)
Netrofil segmen: 68 % (50 – 80 %)
Limfosit : 23 % (25 – 50 %)
Monosit :2% (2 – 10 %)
Waktu perdarahan: 2 menit (1 – 3 menit)
Glukosa sewaktu: 109 mg/dl (80 – 180 mg/dl)
Ureum : 32,3 mg/dl (10 – 50 mg/dl)
Creatinin : 0,84 mg/dl (0,50 – 0,9 mg/dl)
b. Radiologi. Tgl 23 Juli 2003
Kesan Hypertensi prostat
5) Pola Kegiatan Sehari-hari
a. Nutrisi
1) Kebiasaan
- Pola makan teratur yang terdiri dari : nasi, sayur, lauk dan
buah.
- Frekwensi 3 kali sehari.
- Nafsu makan baik.
-Tidak ada makanan tertentu yang disukai.
53
- Makanan pantang tidak ada.
- Banyaknya diminum/hari : 8 gelas/2500 cc/hari.
2) Perubahan selama sakit
- Pola makan teratur yang terdiri dari : nasi, sayur, lauk dan
buah.
- Frekuensi makan 3 x sehari.
- Kurang nafsu makan, porsi makan tidak dihabiskan ½ porsi.
b. Eliminasi
1) BAB
a) Kebiasaan
- Frekuensi : 1 – 2 x /hari
- Warna : kuning
- Konsistensi : lembek
b) Perubahan selama sakit
- Frekuensi : 1 x /2 hari
- Warna : kuning
- Konsistensi : lembek
2) BAK
a) Kebiasaan
- Frekuensi : 4 – 5 x /hari
- Warna : kuning jernih
- Jumlah : 1500 cc
b) Perubahan selama sakit
- Frekuensi : terpasang catheter tetap.
- Warna : warna agak merah
- Bau : pesing
- Jumlah : 1500 cc
- Terpasang NaCl untuk spul catheter.
- Klien menggunakan catheter dengan jumlah 1500cc.
- Ada nyeri saat berkemih.
c. Olahraga dan aktivitas
Klien tidak suka berolahraga, perubahan selama sakit : klien
tidak beraktivitas
d. Istirahat dan tidur
1) Kebiasaan
- Tidur malam mulai jam 23.00 s.d jam 05.00 (6 jam).
- Tidur siang mulai jam 14.00 s.d 15.30 (1 ½ jam)
- Klien tidak mudah terbangun.
- Yang menolong klien untuk tertidur nyenyak adalah
suasana tenang dan membaca
2) Perubahan selama sakit
- Klien mengatakan tidur malam 4 jam dari 24.00-04.00.
54
- Klien mengatakan tidur siang 1 jam.
- Klien sering terbangun.
- Klien mengeluh sulit tidur.
e. Personal hygiene
1) Kebiasaan
- Mandi 2 x sehari menggunakan sabun mandi.
- Menyikat gigi 2 x sehari.
- Mencuci rambut 2 x/seminggu.
2) Perubahan selama sakit
- Mandi 1 x sehari dan dibantu oleh keluarga.
- Menyikat gigi 2 x/hari.
- Belum pernah cuci rambut.
6. Pola Interaksi Sosial
- Orang yang paling dekat dengan klien adalah istri.
- Bila ada masalah klien membicarakan dengan istri.
- Klien menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah.
- Interaksi dalam keluara baik.
- Klien mudah bergaul.
7. Keadaan psikologis selama sakit
- Klien berharap agar dapat cepat sembuh
- Interaksi dengan petugas kesehatan baik
- Klien mengatakan kebutuhan sehari-harinya dilayani di tempat
tidur.
8. Kegiatan keagamaan
Klien beragama kristen, rajin mengikuti kebaktian.
9. Perawatan dan Pengobatan
a. Perawatan : bedrest dengan anjuran mobilisasi ringan
b. Pengobatan :
- Broadced 1 gr/12 jam.
- Transamin 1 amp/18 jam.
- Toradol 1 amp/8 jam.
- Cemitidin 1 amp.
- Diazepam 1 tab kalau perlu
- Ciprofloxacin 500 mg 3 x 1 tablet.
- Asam mefenamat 500 mg 3 x 1 tablet

55
2. ANALISA DATA
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
KEPERAWATAN
1. DS : Tindakan operasi (TURP) Nyeri

1. Klien mengeluh nyeri pada 


Iritasi mukosa kandung
daerah operasi (supra
kemih
pubic) 

2. Klien mengatakan nyeri Merangsang pembentukan


zat histamin dan bradikinin
meningkat bila klien

bergerak Merangsang nociceptor
3. Klien mengeluh nyeri bila (serabut saraf nyeri)

berkemih
Inpuls dihantarkan ke

DO : medulla spinalis

e. Ekspresi wajah meringis
Corteks cerebri
f. TTV : 
T : 110/60 mmHg Nyeri

N : 80 x/menit

P : 16 kali/menit

S : 37o C

2. DS : Prosedur bedah (TURP) Perubahan pola


berkemih
Klien mengeluh nyeri bila 
Iritasi mukosa buli-buli
berkemih

Nyeri saat berkemih
DO :

4) Terpasang catheter
Klien takut untuk
tersambung ke urine bag. berkemihberkemih

56
5) Terpasang NaCl 0,9% 
Pola berkemih berubah
untuk spul catheter.

6) Urine warna kemerahan.

7) Jumlah urine  1500 cc

3. DS : Tindakan bedah (TURP) Gangguan pola tidur

1. Klien mengeluh sulit tidur. 


Nyeri pada daerah suprapubic
2. Klien mengatakan jumlah 
Peningkatan stimulus internal
jam tidur malam 4 jam,

siang 1 jam. Peningkatan respon pusat
jaga di otak
DO : -

Tidur menurun

Gangguan pola tidur
4. DS : - Tindakan invasif Resiko infeksi

DO : 
Media masuknya kuman
1. Terpasang catheter

tersambung ke urine bag. Resiko infeksi

2. Terpasang NaCl 0,9%

untuk spul catheter.

3. Urine warna kemerahan.

4. Terpasang infus Dext 5 %

28 tetes/menit pada tangan

kiri

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
57
1. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih
2. Perubahan pola berkemih berhubungan dengan prosedur
pembedahan
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan peningkatan stimulus
eksternal
4. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif

4. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA NOC NIC
1. Nyeri Nyeri teratasi dengan kri-teria : 1. Kaji karakteristik nyeri.
6. Klien mengatakan nyeri 2. Pertahankan posisi kateter
berhubungan
berkurang. 3. Ajarkan teknik relaksasi dan
dengan iritasi
7. Tidak ada nyeri tekan. distraksi
mukosa 8. Ekspresi wajah rileks 4. Observasi tanda-tanda vital.
9. TTV dalam batas normal : 5. Penatalaksanaan pemberian
kandung
T : 100-120/70-90 mm Hg. obat analgetik Toradol 1
kemih
N : 60 – 80 x/menit ampul/8 jam/iv
S : 36,5 – 37,20 C
P : 16 – 24 x/menit

2. Perubahan Klien dapat berkemih dengan - Kaji haluaran urine dan sistem
jumlah dan cara yang normal cateter.
pola berkemih
tanpa retensi dengan kriteria : - Anjurkan klien minum 3000
berhubungan
10.Disuria tidak ada ml/sesuai toleransi.
dengan 11.Urine warna kuning jernih. - Ajarkan pasien untuk latihan

prosedur Urine  1500 cc/hari memulai dan menghentikan


aliran kencing
pembedahan
- Penatalaksanaan pemberian
NaCl spul untuk spul.

3. Gangguan pola Gangguan pola tidur ter-atasi a. Kaji ulang pola tidur klien.
dengan kriteria : b. Ciptakan lingkungan yang
tidur
12.Klien mengatakan tidur tenang dan nyaman.

58
berhubungan cukup, sesuai kebutuhan. c. Batasi pengunjung dan pe-
Pasien tampak segar. nunggu klien.
dengan

peningkatan

stimulus

eksternal

4. Resiko infeksi Infeksi tidak terjadi dengan 1. Pertahankan sterilitas kateter


kriteria : 2. Periksa tanda-tanda vital.
berhubungan
13.Tidak ditemukan tanda- 3. Kaji tanda-tanda infeksi.
dengan
tanda infeksi (tumor, dolor, 4. Beri HE tentang sterilitas
tindakan color) 5. Penatalaksanaan pemberian
14.Vital sign dalam batas Antibiotik
invasif
normal :
T : 120/80 mmHg
N : 60 – 80 x/menit
S : 36 – 370 C
P : 16 – 24 x/menit

59
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
BPH adalah penyakit akibat hiperplasia dari kelenjar periurethral yang
kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Dalam penerapan
asuhan keperawatan pada pasien dengan BPH perlu melibatkan anggota
keluarga terutama penanganan intervensi yang diharapkan dapat dilakukan
sendiri oleh pasien atau keluarga dalam mengatasi masalahnya.
Risiko terjadinya infeksi pada penderita BPH sangat besar selama pasien
menggunakan kateter tetap. Penerapan proses keperawatan pada klien dengan
hipertrofi prostat mutlak diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan
dan mencegah terjadinya komplikasi.

4.2 Saran-saran

1. Motivasi kepada pasien/keluarga agar dapat berperan dalam mengatasi

masalah-masalah yang mungkin timbul, baik sebelum operasi maupun

setelah operasi nanti.

2. Diharapkan semua petugas dapat memberikan HE (Health Education)

kepada pasien dan keluarga untuk tetap memperhatikan

kebersihan/kesterilan dari daerah pemasangan kateter, untuk mencegah

terjadinya kontaminasi dengan mikroorganisme.

3. Diharapkan semua petugas kesehatan agar selalu memperhatikan tehnik

aseptic dan antiseptik guna mencegah timbulnya komplikasi/cross infeksi.

4. Sebaiknya dalam perawatan klien dengan BPH, menerapkan proses

keperawatan sehingga setiap tindakan yang dilaksanakan dapat

dipertanggungjawabkan dan dipertanggung gugatkan dan lebih bersifat

ilmiah dan rasional.

60
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E, (1998), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa


Keperawatan, alih bahasa, I Made Kariasa ; editor, setiawan. Edisi 2,
EGC; Jakarta.
Doenges, Marilynn E, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan – Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Alih Bahasa : I
Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Editor : Monica Ester, Yasmin Asih,
Edisi : Ketiga, EGC ; Jakarta,.
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, Arthur C, (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor, Irawati. S,
Edisi: 9, EGC ; Jakarta.
Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University
Press: Surabaya
Jong, Wim de, (1998), Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : R. Syamsuhidajat, Wim De
Jong, Edisi revisi : EGC ; Jakarta.
Leslie SW. Transurethral Resection of the Prostate. Taken from
www.emedicine.com/MED/topic3071.htm Accessed on 22 May 2017.

Long, Barbara C, (1996), Perawatan Medikal Bedah, Volume 3, Yayasan Ikatan


Alumni Pendidikan Padjajaran. Bandung.
Moorthy HK, Philip S. TURP Syndrome, Current Concepts In The
Pathophysiology And Management. Indian J Urol 2001;17:97-102.

NANDA. 2011. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. 2009-2011.


Jakarta: EGC.
Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto
Schwartz, dkk, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom
Shires dkk, EGC ; Jakarta.
Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC

Sylvia A. Price. dkk. 2006 “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit” Edisi. 6 Volume. 2. Jakarta: EGC

Uliyah, Musrifatul dan Alimun, Aziz, 2008. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik.
Jakarta: Selemba Medika

61

Anda mungkin juga menyukai