PENDAHULUAN
1
tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat
seperti balok. Penonjolan serat detrusor yang terlihat seperti balok yang
tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa
vesika dapat menerobos keluar diantara serat detrusor sehngga terbentuk
tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar
disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang
apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi, dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urine yang akan berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas (Rudi, 2012).
Pencegahan penyakit BPH itu sendiri dapat diterapkan dengan
membudidayakan pola hidup sehat seperti mengkonsumsi buah yang
mengandung antioksidan, makanan rendah lemak dan kaya serat, olahraga
teratur serta melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Tidak semua
pasien yang mengalami hiperplasia prostat harus menjalani operasi atau
tindakan medik. Terkadang merekan hanya mengeluh (Lower Urinary Tract
Symptoms) atau LUTS ringan, namun dapat sembuh sendiri tanpa terapi.
Tetapi jika keadaan klien tersebut sudah parah maka harus segera dilakukan
tindakan medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endroulogi. Sebagai
perawat dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien BPH dalam
upaya kuratif yaitu memberikan obat sesuai dengan petunjuk, pemberian
antikolinergik bertujuan untuk mengurangi spasme kandung kemih serta
pemberian cairan infus dan cairan oral untuk pengeluaran urine. Sedangkan
dalam upaya rehabilitatif diperlukan agar klien mampu memelihara
kesehatannya sendiri dan mampu beraktivitas kembali dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari seperti gangguan eliminasi dengan cara pemantauan
dalam pemasangan kateter, perawatan kateter menggunakan teknik aseptik,
dan mencegah distensi kandung kemih yang menyebabkan perdarahan.
Sangat diperlukan peran serta keluarga dalam pemberian asuhan keperawatan
klien dengan post prostatektomy baik di rumah sakit maupun di rumah karena
ini merupakan peran perawat sebagai edukator (Nursalam & Fransisca, 2006).
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari vesika urinaria, kelenjar prostat,
dan uretra pada laki-laki?
2. Apakah definisi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
3. Bagaimana klasifikasi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
4. Bagaimana etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
5. Bagaimana patofisiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostik dari Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH)?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
9. Apa saja komplikasi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
10. Bagaimana prognosis dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
11. Bagaimana pencegahan dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
12. Bagaimana WOC dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
13. Bagaimana asuhan keperawatan umum untuk Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH)?
14. Bagaimana asuhan keperawatan kasus untuk Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH)?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini agar mahasiswa mengetahui,
mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH).
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa
mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan :
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi dari vesika urinaria, kelenjar
prostat dan uretra pada laki-laki
2. Mengetahui definisi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
3. Mengetahui klasifikasi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
3
4. Mengetahui penyebab Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
5. Mengetahui patofisiologi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
6. Mengetahui manifestasi klinis Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
7. Mengetahui pemeriksaan diagnostik Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH)
8. Mengetahui penatalaksanaan dari Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH)
9. Mengetahui komplikasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
10. Mengetahui prognosis Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
11. Mengetahui pencegahan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
12. Mengetahui WOC Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)?
13. Mengetahui asuhan keperawatan umum pada Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH)
14. Mengetahui asuhan keperawatan kasus pada Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH)
1.4 Manfaat
1. Memperoleh pengetahuan tentang konsep dari Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH).
2. Memperoleh pengetahuan dan dapat melakukan asuhan keperawatan pada
pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH).
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
https://ilper.wordpress.com/2012/04/19/sistem-perkemihan-urinaria/
5
Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar
(peritonium), tunika muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan
lapisan mukosa (lapisan bagian dalam). Pembuluh limfe vesika
urinaria mengalirkan cairan limfe ke dalam nadi limfatik iliaka interna
dan eksterna.
Lapisan otot vesika urinaria terdiri dari otot polos yang tersusun
dan saling berkaitan dan disebut m. detrusor vesikae. Peredaran darah
vesika urinaria berasal dari arteri vesikalis superior dan inferior yang
merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Venanya membentuk
pleksus venosus vesikalis yang berhubungan dengan pleksus
prostatikus yang mengalirkan darah ke vena iliaka interna.
6
relaksasi, otot detrusor berkontraksi dan urin akan mengalir melalui
uretra. Kontraksi otot-otot perinium dan sfingter eksterna dapat
dilakukan secara volunter, sehingga mencegah urin mengalir melewati
uretra atau menghentikan aliran urin saat sedang berkemih (Guyton,
2006).
2.1.2 Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung
kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar.
9
sehingga dengan mudah menghalangi ujung kateter yang dilalui
sepanjang saluran.
2.1.3 Kelenjar Prostat
Prostat merupakan kelenjar terbesar yang diselubungi oleh capsula
prostatica (lapisan tebal berisi pleksus vena dan syaraf) dan vagina
prostatica (suatu jaringan fibrosa bagian dari fascia endopelvica atau
lamina viseral pascia pelvis) serta secara embriologi memiliki muasal
yang sama (homolog) dengan glandula paraurehtrales pada perempuan.
Dimensi ukuran prostat yakni memiliki panjang sekitar 3 cm, lebar 4
cm, dan kedalaman AP 2 cm. Prostat memiliki basis yang terletak
dekat fundus vesica urinaria dan apex yang bersentuhan dengan
sfingter uretra eksterna serta m. perinei profundus. Bagian anterior
prostat berupa lapisan otot, yang disebut juga isthmus prostat atau
dulunya disebut lobus anterior, dan merupakan bagian dari sfingter
uretra eksterna.
Prostat dipisahkan dari simfisis pubis di anterior oleh lemak
peritoneal di dalam spatium retropubis. Pada masa intrauterin, prostat
fetus dibagi menjadi 5 lobus: 1 lobus anterior (merupakan isthmus
prostat saat dewasa), 2 lobi laterales, 1 lobus posterior, dan 1 lobus
medius. Sementara di bagian posterior, antara prostat dan rektum
terdapat suatu jaringan ikat pemisah yakni fascia Denonvillier atau
septum recovesicalis yang berguna mencegah invasi karsinoma prostat
ke rektum.
Struktur-struktur pemfiksasi prostat diantaranya: ligamentum
puboprostaticum yang merupakan lanjutan anterolateral dari vagina
prostatica, diafragma urogenital, dan M. levator prostat. Vaskularisasi:
pasokan darah arteri prostat berasal dari r. Prostaticus a. vesicalis
inferior dan r. Prostaticus a. rectalis media. Aliran vena: darah dari
prostat akan terdrainasi ke pleksus venosus prostaticus yang terletak di
antara capsula prostatica dan vagina prostatica. Darah dari pleksus
venosus prostaticus akan mengalir ke v. iliaca interna. Pleksus venosus
10
prostaticus berhubungan di superior dengan pleksus venosus vesicalis
dan di posterior dengan pleksus venosus vertebralis interna.
Inervasi: prostat mendapat persyarafan dari pleksus prostaticus
tempat prostat menerima impuls baik rangsang simpatis maupun
parasimpatis. Impuls simpatis prostat bermula dari: nucleus
intermediolateralis L1—L3 –> n. sphlanicus lumbalis –> ganglion
mesenterica inferior –> pleksus hipogastricus superior –> n.
hipogastrikus dekstra et sinistra –> plekus hipogastricus inferior (atau
pleksus hemorroidalis medius) –> pleksus prostaticus. Sementara itu,
jalaran parasimpatis prostat bermula dari: nucleus intermedius S2—S4
–> Nn. Errigentes (Nn. Sphlanchnici Pelvic) –> pleksus plekus
hipogastricus inferior (atau pleksus hemorroidalis medius) –> pleksus
prostaticus. Nodi limfatik pada prostat yakni: lnn. Iliaci interni dan lnn.
Sacrales.
Secara anatomis, meskipun kurang begitu jelas terlihat, lobus-lobus
prostat dibagi menjadi beberapa bagian:
1. Isthmus prostat: disebut juga lobus anterior dan sesuai namanya
berada di anterior urethra, berisi jaringan fibromuskuler lanjutan m.
sfingter uretra eksterna dan sedikit jaringan glandular
2. Lobus dekstra dan sinistra prostat, yakni lobus selain bagian dari
isthmus prostat, yang dibagi lagi menjadi 4 lobulus berdasarkan
hubungannya dengan urethra dan ductus ejaculatori
3. Lobulus inferoposterior: berada di posterior urethra dan inferior
ductus ejaculatori
4. Lobulus inferolateral: berada langsung di lateral urethra dan
merupakan bagian terbesar dari lobus dekstra dan sinistra prostat
5. Lobulus superomedial: berada di dalam dari lobulus infero
posterior, mengelilingi ductus ejaculatori
6. Lobulus anteromedial: berada di dalam lobulus inferolateral, dan
secara langsung di lateral dari uretra prostatica proksimal
11
Gambar Kelenjar Prostat
https://sasetiawan.wordpress.com/2014/06/20/kajian-histologi-anatomi-fisiologi-
dan-patologi-prostat/
1. Zona sentral
Zona sentral disebut juga lobus medius, mengelilingi ductus
ejakulatorius saat memasuki glandula prostat. Zona ini menyusun
25% jaringan kelenjar dan resisten mengalami keganasan
karsinoma dan peradangan. Sel-sel pada zona sentral memiliki ciri
lebih mencolok dan sitoplasma sedikit basofilik dengan nukleus
lebih besar yang terletak pada level berbeda pada tiap-tiap sel.
Kemungkinan zona ini secara embriologik berasal dari inklusi
ductus mesonefrikus saat prostat berkembang.
2. Zona perifer
Zona perifer menyusun 70% kelenjar prostat dan mengelilingi zona
sentral yakni terletak pada bagian posterior dan lateral glandula
prostat. Kebanyakan carcinoma muncul dari zona perifer prostat
dan akan terpalpasi saat tes colok dubur. Selain itu, zona ini
merupakan zona paling rentan terkena radang.
3. Zona transisional
Zona transisional menyusun 5% komponen kelenjar, terdiri dari
glandula mucosal, dan terletak di sekitar urethra prostatica. Pada
lansia, sel parenkim pada zona ini seringkali mengalami
hiperplasia (penambahan jumlah sel) dan membentuk massa
12
nodular sel epitel yang dapat menekan urethra prostatica,
menyebabkan gangguan urinasi. Kondisi tersebut
dinamakan benign prostatic hyperplasia (BPH).
4. Zona periurethra
Zona periurethra tersusun atas glandula mukosa dan submukosa.
Zona ini dapat mengalami pertumbuhan abnormal pada fase BPH
lanjutan, terutama pertumbuhan dari komponan stroma. Bersama
dengan nodul glandular pada zona transisional, keduanya akan
meningkakan kompresi urethra dan retensi lebih parah dari urin di
vesica urinaria.
5. Zona lain selain komponen glandular yakni stroma fibromuskular
yang terletak pada permukaan anterior glandula prostat, anterior
dari urethra.
https://sasetiawan.wordpress.com/2014/06/20/kajian-histologi-anatomi-fisiologi-
dan-patologi-prostat/
14
fibrinogenase, seng, prostatic acid phosphatase (PAP), amilase,
dan prostate-specific antigen (PSA).
16
Gambar BPH
http://www.prestasisiswa.com/2016/11/makalah-asuhan-keperawatan-pada-
benigna.html?m=1
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan
miksi yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International
Prostatic Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan
yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan
keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
17
Gambar Stadium BPH
19
2.5 Patofisiologi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan, efek perubahan juga
terjadi perlahan. Pada tahap awal pembesaran prostat menyebabkan
penyempitan lumen uretra pars prostatika. Keadaan ini menyebabkan tekanan
intravesikal meningkat, sehingga untuk mengeluarkan urin, kandung kemih
harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan tersebut. Kontraksi yang
terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik yaitu hipertrofi otot
detrusor. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi dinding
otot. Apabila keadaan berlanjut, otot detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi. Apabila
kandung kemih menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada
akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul
rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat
akan terjadi obstruksi total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi.
Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat kandung kemih tidak
mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat.
Apabila tekanan kandung kemih menjadi lebih tinggi daripada tekanan
sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia overflow. Retensi kronik
menyebabkan refluks vesikoureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi,
penderita seringkali mengedan sehingga lama-kelamaan bisa menyebabkan
hernia atau hemoroid (Rodrigues, 2008). Biasanya ditemukan gejala dan tanda
obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi saluran kemih adalah
penderita harus menunggu keluarnya kemih pertama miksi terputus, menetes
pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis
miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor yaitu
bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria.
Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi
atau pembesaran prostat merangsang kandung kemih sehingga sering
berkontraksi meskipun belum penuh. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
20
terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah
keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis
(Samira, 2011).
21
2) Hesitancy yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali
disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot
destrussor bulibuli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
3) Harus mengejan
4) Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi
dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi
retensi urine dan inkontinensia karena overflow.
Menurut Brown (1982), Blandy (1983), Burkit (1990), Forrest (1990), dan
Weinerth (1992) dalam Furqan (2003) gejala-gejala klinik BPH dapat berupa:
22
5. Infeksi yang menyertai residual urin akan memperberat gejala karena akan
menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan edema.
6. Residual urin juga dapat sebagai predisposisi terbentuknya batu kandung
kemih.
7. Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat menyebabkan
pembuluh darahnya menjadi rapuh.
8. Bladder outlet obstruction juga dapat menyebabkan refluk vesikoureter
dan sumbatan saluran kemih bagian atas yang akhirnya menimbulkan
hidroureteronefrosis.
9. Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal (renal failure)
dan gejala-gejala uremia berupa mual, muntah, somnolen atau disorientasi,
mudah lelah dan penurunan berat badan. Gejala dan tanda ini dievaluasi
menggunakan International Prostate Symptom Score (IPSS) untuk
menentukan beratnya keluhan klinis (Furqan, 2003).
Pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala, antara lain:
1) Hemorogi.
2) Hematuri
3) Peningkatan nadi
4) Tekanan darah menurun
5) Gelisah
6) Kulit lembab
7) Temperatur dingin
8) Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
1) Bingung
2) Agitasi
3) Kulit lembab
4) Anoreksia
5) Mual dan muntah
23
2.7 Pemeriksaan Diagnostik Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1. Laboratorium
1) Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan
untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan
kultur urin berguna untuk mengetahui kuman penyebab infeksi dan
sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
2) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar
ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolic.
3) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila
nilai PSA < 4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai
PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD)
lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
2. Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan
volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
1) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu
opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya
bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya
retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal.
2) Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui
kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa
hidroureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar
24
prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan
buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang
berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-
belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya
trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.
3. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, kandung kemih dapat teraba atau terdeteksi lewat
perkusi. Pembesaran prostat dengan permukaan yang licin dapat
ditemukan pada pemeriksaan colok dubur (rectal toucher).
25
Gambar Pemeriksaan Colok Dubur
1) Menentukan konsistensi dari prostat
Konsistensi prostat benigna seperti kalau kita menekan ujung hidung
kita dan permukaan seluruh kelenjar biasanya rata (halus). Bila
konsistensi prostat berdungkul atau terdapat bagian yang lebih keras,
seperti kalau menekan daerah tulang hidung atau sendi jari maka harus
dipikirkan adanya karsinoma, prostatitis kalkulosa, tbc prostat atau
prostatitis granulomatosa.
2) Menentukan besarnya prostat
Besarnya prostat normal tersebut ditandai dengan batas batas yang
jelas, yaitu sulcus lateralis mudah diraba, batas atas juga mudah diraba.
Dan ditengahnya terdapat sulkus mediana yang juga mudah diraba.
3) Besarnya prostat dibedakan :
1) grade (derajat ) I : perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
2) grade (derajat) II : perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
3) grade (derajat) III : perkiraan beratnya lebih dari 40 gram
4) Menentukan sistem persyarafan unit vesiko urtetra.
Tonus sphinter yang normal, tidak longgar waktu jari telunjuk
dimasukkan dan refleks bulbo kaverosa (BCR) yang positif
menandakan bahwa persyarafan unit vesiko uretra tidak intake. Bila
dengan mendadak glans penis ditekan dengan tangan kiri dan pada jari
telunjuk yang di rektum terasa kontarksi dari sphinter ani maka
dikatakan bahwa BCR positif
4. Pemeriksaan lain
1) Uroflowmetri
26
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan puncak
laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju
pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar
11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah
pancaran urin yang dihasilkan.
27
28
Gambar International Prostate Symptoms Score (IPSS) dalam Bahasa Indonesia
(Modifikasi dari IAUI Guidelines, 2003)
29
Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatigue)
sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan
dalam bentuk retensi urin akut. Timbulnya dekompensasi bulibuli
biasanya didahului oleh beberapa faktor pencetus, antara lain: a.
Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh, yaitu pada cuaca dingin,
menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau
minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi), minum air
dalam jumlah yang berlebihan. b. Massa prostat tiba-tiba
membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut. c. Setelah mengkonsumsi obat-
obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang
dapat mempersempit leher buli-buli (Purnomo, 2011).
b Menentukan cara penanganan.
30
penurunan IPSS preoperative rata-rata 17,6 menjadi 7,1 pasca
prostatektomi (p<0,001)
e Menilai pengaruh gejala yang dialami penderita terhadap kualitas
hidup.
f Sebagai alat pengukuran yang konsisten dan telah teruji,
memungkinkan untuk membandingkan satu penderita dengan
penderita lain (Nugroho, 2002). Cara pengisian kuesioner IPSS ada
2, yaitu pasien atau responden mengisi sendiri (self administered)
atau dengan cara wawancara, dimana keduanya mempunyai
keuntungan dan kerugian. Apabila mengisi sendiri keuntungannya
adalah : lebih efisien karena memerlukan waktu lebih singkat,
mengurangi bias pewawancara memungkinkan pasien menjawab
pertanyaan yang bersifat pribadi (sensitif). Sedangkan
kekurangannya adalah kesulitan dalam memahami setiap
pertanyaan. Jika dilakukan dengan cara wawancara keuntungan
dan kerugiannya adalah sebaliknya yang tersebut di atas (Schoor,
2004)
3) Volume residu urin (PVR)
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan
cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur
berapa volume urin yang masih tinggal atau ditentukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi. Pada orang normal sisa urin
biasanya 0 mL atau kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin
dapat melebihi kapasitas normal vesika. Besar PVR > 25-30 mL
menandakan kegagalan pengosongan kandung kemih dan beresiko
munculnya infeksi saluran kemih. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya
dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada
penderita prostat hipertrofi
31
(Oelke, et al., 2005). Prinsip terapi pada BPH ialah pengambilan keputusan
terapi yang didasarkan pada tingkat keparahan dari gejala, derajat gangguan
yang ditimbulkan dan berdasarkan pilihan pasien (Nicket, et al., 2010).
1. Watchful waiting (WW)
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan, atau
sedang hingga berat namun tidak memiliki dampak atau berdampak
minimal pada kualitas hidup pasien. Tindakan yang dilakukan adalah
observasi saja tanpa pengobatan. Pasien yang sedang menjalani WW
secara periodik mengunjungi dokter untuk dilakukan monitoring
(Nicket, et al., 2010). Penenteraman hati pasien, pemberian pemahaman
mengenai penyakit ini, dan modifikasi gaya hidup direkomendasikan
untuk mengoptimalkan WW (Oelke, et al., 2005). Modifikasi gaya hidup
yang dapat dilakukan diantaranya buang air kecil sebelum tidur,
menghindari konsumsi kafein dan alkohol, pengosongan kandung kemih
yang lebih sering ketika tidak sedang tidur
2. Terapi obat
Terapi farmakologi BPH dapat dikategorikan menjadi 3 tipe, yaitu agen
yang bekerja merelaksasi otot polos prostate (menurunkan faktor
dinamik), agen yang mengganggu efek stimulasi testosterone pada
kelenjar prostate yang membesar (menurunkan faktor static), dan
kombinasi terapi dari keduanya.
1) α-blockers
Semua α-blocker memiliki kemanjuran klinik yang mirip. Terapi
dengan α-blocker brdasarkan hipotesis bahwa LUTS sebagian
disebabkan oleh kontraksi otot polos prostate dan leher kandung
kencing yang dimediasi oleh α1-adrenergik yang menghasilkan
tersumbatnya saluran kemih. Agen ini merelaksasi sfingter intrinsik
uretral dan otot polos prostate namun tidak mengecilkan ukuran
prostate.
Tiga generasi α-blockers telah digunakan dalam terapi BPH,
namun efek antagonis pada reseptor α2-adrenergik presinaptik yang
menyebabkan takikardi dan aritmia membuat generasi pertama agen
32
ini digantikan dengan generasi kedua antagonis α1-adrenergik
postsinaptik dan generasi ketiga α1-adrenergik uroselektif.
Yang termasuk kedalam generasi kedua adalah prazosin, terazosin,
doxazosin dan alfuzosin. Terapi dengan obat – obat tersebut harus
diawali dengan dosis rendah, untuk meningkatkan toleransi terhadap
kemungkinan terjadinya efek samping seperti hipotensi ortostatik dan
pening.
Tamsulosin adalah satu-satunya α-blocker generasi ketiga yang
tersedia di Amerika. obat ini bekerja secara selektif pada reseptor α1-
adrenergik prostate yang menyusun kurang lebih 70% dari reseptor
adrenergic dari kelenjar prostate. Blockade pada reseptor tersebut
menghasilkan relaksasi otot polos dari prostate dan kandung kemih
tanpa menyebabkan relaksasi otot polos vaskuler perifer.
Waktu mencapai
T½
Obat Dosis lazim per hari efek puncak pada
(jam)
gejala BPH
2-10 mg dalam 2 atau 3 dosis
Prazosin 2–3 2 – 6 minggu
terbagi
1 – 4 mg dosis tunggal,
Doxazosin 15 – 19 2 – 6 minggu
maksimum 8 mg
33
2) 5α-reductase-inhibitors (finasteride atau dutasteride),
Merupakan obat pilihan untuk pasien dengan LUTS sedang/berat
dan prostate membesar (>40 g). kedua obat tersebut menurunkan
volume prostate hingga 20-30% dan memiliki kemanjuran klinik yang
mirip. 5α-reductase-inhibitors dapat mencegah perkembangan BPH,
meningkatkan skor gejala hingga 15% dan juga dapat menyebabkan
peningkatan yang lumayan pada aliran berkemih yaitu 1,3 – 1,6 mL/s
(Rosette, et al., 2004).
Finasteride lebih efektif diberikan kepada pasien dengan prostat
lebih besar dari pada 40 mL. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
finasteride secara signifikan dapat mengurangi retensi urin akut dan
pembedahan pada penderita BPH. Finasteride juga mampu menurunkan
tingkat PSA dalam serum (Rosette, et al., 2004). Finasteride memiliki
efek samping yang berkaitan dengan fungsi seksual. Pada sebuah
penelitian, dilaporkan terjadinya efek samping penurunan libido (6,4%),
impoten (8,1%), penurunan ejakulat (3,7%) dan kurang dari 1% pasien
mengalami keluhan lain seperti kemerahan, pembesaran dan
pelembekan payudara (Rosette, et al., 2004).
Dutasteride merupakan 5α-reductase-inhibitors nonselektif yang
menekan isoenzin tipe 1 dan 2, dan sebagai konsekuensinya lebih cepat
dan lebih efektif dalam menurunkan produksi DHT intraprostat dan
tingkat DHT serum hingga 90%.
Kombinasi terapi α1-adrenergic antagonist dengan 5α –
reductase – inhibitors ideal diberikan kepada pasien dengan gejala
berat, yang juga mengalami pembesaran prostat lebih dari 40 g dan
tingkat PSA sedikitnya 1,4 ng/mL. kekurangan dari terapo kombinasi
ini adalah meningkatnya biaya pengobatan, dan peningkatan kejadian
munculnya efek yang tidak diharapkan.
3. Terapi pembedahan
Indikasi pembedahan menurut Agency for Health Care Policy and
Research guidelines, indikasi absolut pembedahan pada BPH adalah
sebagai berikut :
34
1) Retensi urine yang berulang.
2) Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat.
3) Gross hematuria berulang.
4) Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli.
5) Kerusakan permanen buli atau kelemahan buli-buli.
6) Divertikulum yang besar pada buli yang menyebabkan pengosongan
buli terganggu akibat pembesaran prostat.
Macam-macam Pembedahan
Dilakukan pada pasien baik dengan LUTS sedang atau pun berat,
yang menginginkan perawatan secara aktif, atau yang mengalami
kegagalan terapi atau tidak menginginkan terapi dengan obat.
Menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang menimbulkan
obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter. TURP
dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop dengan suatu
lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi
selapis dan dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan
dirawat dengan memakai diathermi, biasanya dilakukan dalam waktu
30 sampai 120 menit, tergantung besarnya prostat. Selama operasi
dipakai irigan akuades atau cairan isotonik tanpa elektrolit. Prosedur
ini dilakukan dengan anastesi regional (Blok Subarakhnoidal / SAB /
Peridural ). Setelah itu dipasang kateter nomer Ch. 24 untuk beberapa
hari. Sering dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran untuk
spoel yang mencegah terjadinya pembuntuan oleh pembekuan darah.
Balon dikembangkan dengan mengisi cairan NaCl atau akuades
sebanyak 30 – 50 ml yang digunakan sebagai tampon daerah prostat
dengan cara traksi selama 6 – 24 jam. Traksi dapat dikerjakan dengan
merekatkan ke paha klien atau dengan memberi beban (0,5 kg) pada
kateter tersebut melalui katrol. Traksi tidak boleh lebih dari 24 jam
karena dapat menimbulkan penekanan pada uretra bagian penoskrotal
35
sehingga mengakibatkan stenosis buli – buli karena iskemi. Setelah
traksi dilonggarkan fiksasi dipindahkan pada paha bagian proximal
atau abdomen bawah. Antibiotika profilaksis dilanjutkan beberapa jam
atau 24 – 48 jam pasca bedah. Setelah urin yang keluar jernih kateter
dapat dilepas. Kateter biasanya dilepas pada hari ke 3 – 5. Untuk
pelepasan kateter, diberikan antibiotika 1 jam sebelumnya untuk
mencegah urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik,
satu atau dua hari setelah kateter dilepas.
37
8) Obsolete techniques
Transurethral baloon dilatation : dilakukan dengan memasukkan
kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher kandung
kemih. Dilatasi balon dan transrektal/hipertermi transurethral tidak lagi
direkomendasikan untuk mengatasi BPH.
4. Terapi Hormonal
Terapi hormon diberikan pada pria usia pertengahan dan lanjut usia untuk
mengatasi keluhan andropause. Selama pengobatan oleh dokter,
testosteron diberikan dalam bentuk senyawa undarkanoat (4 mg/kapsul).
Tujuan terapi hormone adalah mengontrol keseimbangan hormon
testosteron sehingga dapat membantu mengatasi keluhan gangguan
Prostat.
5. Fitoterapi (Pygeum africanum, Serenoa Repens)
Agen ini terdiri atas berbagai macam ekstrak tanaman dan selalu sulit
dalam mengidentifikasi komponen mana yang memiliki aktifitas biologis
utama (Rosette, et al., 2004). Meskipun fitoterapi digunakan secara luas di
Eropa dalam pengelolaan BPH, data publikasi mengenai penggunaan agen
herbal masih belum meyakinkan dan banyak pertentangan.
38
tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat
mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.
Komplikasi yang dapat timbul pasca pembedahan, antara lain:
1. Perdarahan pascaoperasi dan retensi bekuan darah
2. Infeksi saluran kemih
3. Ejakulasi retrograde, impotensi
4. Sindrom TURP
Pada 2% pasien penyerapan cairan irigasi melalui sinus vena pada
prostat menyebabkan hiponatremia, hipotensi dan asidosis metabolik.
Komplikasi yang terjadi pada pasien post operasi TURP yang
didefinisikan dengan kelebihan volume cairan selama irigasi yang
menyebabkan hiponatremia dan hipervolemia (Gravenstein, 1997;
Moorthy, 2002; Hawary, 2009; dan Hawary, 2009). Karakteristik dari
sindrom TURP syndrome adalah kebingungan mental, mual dan muntah,
hipertensi, bradikardi dan gangguan pengelihatan. Hal itu dikarenakan
dilusi hiponatremia (serum natrium <125 mEq/l) yang awalnya muncul
saat terjadinya perforasi kapsular atau sinus yang kemudian dilanjutkan
dengan irigasi cairan. Pasien dengan anestesi spinal menunjukkan tidak
bisa tenang, gangguan cerebral dan gemetaran. Ketiga hal ini adalah
tanda dan gejala minimal sampai jika kurang mendapatkan intervensi
spesifik dapat mengakibatkan kolap kardiovaskuler, kegagalan multi
organ dan bahkan kematian (Marszalek, 2009; Claybon, 2009; dan
Hawary, 2009). Kejadian sindrom TURP sangat cepat, dapat terjadi 15
menit setelah operasi selesai hingga 24 jam (Swaminathan dan Tormey,
1981). Sehingga apabila tidak dilakukan pemeriksaan post operasi TURP
secara dini, maka dikuatirkan telah sindrom TURP yang mengakibatkan
kematian.
Tanda dan gejala pasien sindrom TURP adalah gelisah, penurunan
kesadaran, hipotensi, bradikardi, kreatinin meningkat, hiponatremia,
hipokalemia. Pasien sindrom TURP mengalami gangguan kesadaran
39
(koma), hiponatremia bahkan sampai kejang dan meninggal dunia
(Demirel, 2012). Hal ini terjadi karena cairan irigasi masuk ke pembuluh
darah melalui area yang direseksi sehingga menganggu kadar natrium
dalam darah. Literatur lain mengatakan bahwa operasi TURP akan
meningkatkan resiko hiponatremia dan sindrom TURP (Issa, 2004). Di
samping itu, pasien dengan hiponatrema juga mengalami mual dan
muntah sebagai efek negatif dari kadar natrium di bawah 125 – 130
mmol/liter (Reynolds et al, 2006).
5. Inkontinensia urin
6. Striktur uretra
40
2.11 WOC BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)
BPH
42
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 ASUHAN KEPERAWATAN UMUM
A. Pengkajian
1) Identitas klien
Nama, umur, agama, alamat, suku bangsa, status perkawinan,
pendidikan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan
diagnosa keperawatan.
2) Keluhan utama
Tidak bisa buang air kecil, nyeri pada pinggang dan pada saat BAK
harus mengejan. Kencing menetes tanpa disadari. Hematuria.
3) Riwayat kesehatan
a Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti infeksi
saluran kemih, vesicholithiasis atau sindrom nefrotik.
b Riwayat kesehatan sekarang
Perubahan pola eliminasi urin BAK tidak lancar, penurunan
dorongan aliran urin, penurunan kemampuan berkemih,
nyeri daerah suprapubis, retensi urin, urinnya berwarna
kemerahan (hematuria), ketika BAK harus mengejan, air
kencingnya macet total, abdomen bagian bawah semakin
membesar dan menegang (distensi) serta pasien merasa
sangat nyeri. Urin menetes tanpa disadari (inkontinensia
overflow).
c Riwayat kesehatan keluarga
Jika ada keluarga yang menderita penyakit BPH maka
resiko semakin tinggi terjadinya BPH.
4) Pemeriksaan Fisik
d Dilakukan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital yaitu
tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat
pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut,
43
dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis
sampai syok - septik.
e Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik
bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan
pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan
retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya
ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
f Buli-buli penuh, teraba massa di daerah kistus karena
retensi urin.
g Pemeriksaan penis dan uretra untuk mendeteksi
kemungkinan stenosis meatus, striktur uretra, batu
uretra, karsinoma maupun fimosis.
h Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya
epididimitis
i Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk
menentukan konsistensi dan derajat pembesaran prostat.
Perhatikan tonus sfingter ani, refleks bulbokavernosa,
mukosa rektum, dan keadaan prostat tidak adanya nodul,
krepitasi, konsistensi prostat teraba kenyal seperti ujung
hidung, simetris antar lobus dan batas prostat. Sedangkan
pada karsinoma prostat konsistensi teraba keras/teraba
nodul dan tidak simetris amtar lobus prostat.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Pre Operasi
Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor dan
ketidakmapuan kandung kemih untuk berkontraksi secara
adekuat.
Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli –
buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
44
Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan
pasca obstruksi diuresis.
Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
atau menghadapi prosedur bedah.
Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya
informasi.
2) Post Operasi
Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan
insisi sekunder pada TUR-P.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung
kemih sering.
Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan
tindakan pembedahan
Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan
ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek
pembedahan
C. Intervensi Keperawatan
1) Pre Operasi
Tujuan dan Kriteria
Diagnosa Intervensi
Hasil
Nyeri ( akut ) NOC : NIC :
berhubungan Pain level a. Lakukan pengkajian
dengan iritasi Pain control nyeri secara
mukosa buli – KH : komprehensif
buli, distensi a. Mampu termasuk lokasi,
kandung kemih, mengontrol nyeri karakteristik, durasi,
kolik ginjal, b. Melaporkan frekuensi, kulitas, dan
infeksi urinaria. bahwa nyeri factor presipitasi
45
berkurang dgn b. Observasi reaksi
menggunakan nonverbal
manajemen nyeri c. Kaji kultur yang
c. Mampu mempengaruhi nyeri
mengenali nyeri d. Evaluasi pengalaman
d. Menyatakan rasa nyeri masa lampau
nyamansetelah e. Kontrol lingkungan
nyeri berkurang yang dapat
mempengaruhi nyeri
f. Kaji tipe dan sumber
nyeri
g. Berikan analgetik
h. Lakukan pengobatan
non farmakologik
Retensi urin NIC NIC:
berhubungan urinary elimination a. Memenatau
dengan obstruksi urinary continuece asupan dan
mekanik, kriteria hasil: keluaran
pembesaran a. intake cairan b. Memantau tingkat
prostat, dalam rentang distensi kandung
dekompensasi normal. kemih dengan
otot destrusor dan b. kantung kemih palpasi dan
ketidakmapuan secara penuh. perkusi untuk
kandung kemih c. tidak ada residu merangsang reflex
untuk urine > 100-200cc kandung kemih.
berkontraksi d. balance cairan c. Memasang kateter
secara adekuat. seimbang d. Menyediakan
penghapusan
privasi
46
2) Post Operasi
Resiko tinggi NOC NIC: Infection
infeksi Setelah dilakukan intervensi Control
berhubungan keperawatan selama 2x24 1. Pertahankan
dengan prosedur jam klien menunjukkan teknik aseptic.
invasif: alat kontrol diri terhadap risiko 2. Cuci tangan
selama infeksi dengan kriteria hasil: setiap sebelum
pembedahan, a. Identifikasi risiko dan sesudah
kateter, irigasi infeksi tindakan
kandung kemih b. Menjaga kebersihan keperawatan
sering. lingkungan 3. Gunakan baju,
c. Menggunakan sarung tangan
universal precaution sebagai alat
dalam melakukan perlindung
tindakan 4. Gunakan kateter
keperawatan intermiten untuk
d. Melakukan strategi menurunkan
control infeksi infeksi kandung
kemih
5. Tingkatkan
intake nutrisi.
6. Kolaborasi:
Berikan terapi
antibiotik
47
3.2 ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
Tn. T berusia 63 tahun masuk rumah sakit pada tgl 24 juli 2016. Tn T
telah menjalankan operasi hypertropi prostat beberapa hari yang lalu.
Klien mengeluh nyeri pada daerah supra pubic (daerah operasi) dengan
nyeri yang hilang timbul dan nyeri nya akan meningkat bila digunakan
untuk bergerak. Klien tampak terpasang kateter urin dan terpasang infus
Dext 5%, 28 tetes/menit pada tangan kiri. Dalam pemeriksaan fisik
ditemukan TD: 110/60mmHg, Nadi: 80x/menit, RR: 16x/menit, Suhu:
370C
1. PENGKAJIAN
1) Biodata
Identitas:
A. Nama : Tn T
B. Umur : 63 tahun
C. Jenis kelamin : laki laki
D. Status : Menikah
E. Agama : Kristen
F. Pekerjaan : Pensiunan
G. Alamat : Makasar
2) Riwayat kesehatan
(1) Riwayat kesehatan sekarang
a) Keluhan utama : nyeri pada supra pubic (daerah operasi)
b) Riwayat kesehatan utama : keluhan dialami setelah klien
menjalani operasi hypertropi prostat
a. Lokasi : klien mengatakan nyeri di supra
pubic
b. Sifat keluhan : klien mengatakan nyeri hilang
timbul
c. Klien mengatakan nyeri bila bergerak
(2) Riwayat kesehatan masa lalu
1. Klien tidak pernah menderita penyakit yang sama
2. Klien tidak pernah dirawat di rumah sakit
3. Klien tidak ada riwayat DM, hipertensi dan penyakit
jantung
4. Klien tidak merokok
5. Klien pernah minum minuman beralkohol saat masih muda
(3) Riwayat kesehatan keluarga : tidak ada anggota keluarga yang
pernah menderita penyakit yang sama
48
(4) Genogram 3 generasi
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal
: Klien
: Tinggal serumah
3) Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : nampak sakit sedang
- Kesadaran : compocmentis
- TTV:
T : 110/60 mmHg, N : 80x/menit, RR : 16x/menit, S : 370C
- Kepala
Inspeksi :
Rambut sudah beruban, keadaan rambut dan kulit kepala
bersih, penyebaran rambut merata, tidak ada lesi
Palpasi :
Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan
- Muka
Inspeksi :
Simetris kiri kanan, bentuk wajah oval, tidak tampak
refleks/gerakan abnormal, ekspresi wajah meringis bila nyeri
- Mata
Inspeksi :
Palpebra tidak oedema, sclera tidak icterus, konjungtiva tidak
pucat, pupil isokor, miosis pada refleks cahaya, posisi bola
mata simetris kiri/kanan, gerakan bola mata ke segala arah,
lapang pandang luas, kelopak mata dapat membuka dan
menutup, bulu mata merata
Palpasi :
Tidak ada nyeri tekan pada kedua bola mata, kedua bola mata
teraba lunak
49
- Telinga
Inspeksi :
Simetris kiri dan kanan, tidak ada serumen, klien tidak
memakai alat bantu pendengaran
Palpasi :
Tidak ada nyeri tekan pada tragus, pinna dan daerah mastoid,
tidak teraba adanya massa
Data lain:
Klien mengatakan ada gangguan pendengaran (sedikit tuli)
- Hidung
Inspeksi :
Simetris kiri dan kanan, tidak nampak adanya septum deviasi,
tidak ada pengeluaran sekret
Palpasi :
Tidak ada nyeri tekan pada hidung, sinus maksilaris, frontalis
dan etmoidalis, tidak ada benjolan
- Mulut
Inspeksi :
a) Gigi : gigi depan tercabut 2 dan gigin rahang atas tercabut 2
b) Gusi : tidak ada peradangan
c) Lidah : agak berwarna putih
d) Bibir : tampak basah dan tidak sianosis
- Tenggorokan
Inspeksi :
Warna mukosa merah muda, tidak ada nyeri menelan, tidak
tampak pembesara tonsil (T0/T0)
- Leher
Inspeksi :
Tidak tampak pembesaran kelenjar tyroid dan kelenjar limfe,
tidak pembesaran vena jugularis
Palpasi :
Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba pembesaran kelenjar tyroid
dan kelenjar limfe
- Dada
Inspeksi :
Bentuk dada normal chest, frekuensi nafas 16 x/menit.
Tipe pernafasan : thoraco abdominalis.
Irama pernafasan : eupneu.
Pengembangan dada ikut gerak nafas
Palpasi :
Ekspansi dada : seimbang kiri dan kanan.
Vokal fremitus : getaran teraba di seluruh dada.
Perkusi :
50
Sonor pada semua lapang paru, tidak terdengar adanya
penimbunan cairan.
Auskultasi :
Bunyi nafas vesikuler, tidak terdengar bunyi nafas tambahan.
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak tampak
Perkusi : Pekak pada area jantung
Auskultasi :
- BJ I : terdengar murni dan teratur pada ICS 4 garis
midcalvicularis kiri
- BJ II : terdengar murni dan teratur pada ICS 2 para sternalis
kiri dan kanan
- Abdomen
Inspeksi :
Warna kulit sama dengan daerah sekitarnya, perut tampak datar
Auskultasi :
Peristaltik usus 10x/menit, tidak terdengar bising usus
Perkusi :
Terdengar bunyi tympani kecuali pada daerah kuadran kanan
atas, pekak pada daerah hepar
Palpasi :
Nyeri tekan pada daerah supra pubic, tidak teraba adanya
massa
- Status urologi
- Klien mengeluh nyeri bila berkemih.
- Klien mengeluh nyeri pada daerah supra pubic.
- Urine warna kemerahan, jumlah 1500 cc
- Terpasang catheter tersambung ke urine bag
- Nyeri tekan daerah suprapubic
- Terpasang NaCl 0,9 % untuk spul catheter
- Genetalia dan anus
Inspeksi :
Tampak terpasang kateter, tersambung ke urin bag, tidak
tampak adanya kelainan
- Ekstremitas
a. Ekstremitas atas
1) Motorik
Klien dapat menggerakkan eksremitas kiri dan kanan,
tapi terbatas karena terpasang infus pada tangan kiri
dengan Dextrose 5 % 28 tts/menit, tonus otot kanan/kiri
baik, kekuatan otot nilai 5/5
2) Refleks
51
Biceps kiri/kanan : normal (+/+), Triceps kiri/kanan :
normal (+/+)
3) Sensori
Tidak ada nyeri tekan, sensitif terhadap rangsang
suhu/raba
b. Ekstremitas bawah
a. Motorik
Kekuatan otot nilai 5/5, tonus otot baik, klien dapat
melakukan pergerakan
b. Refleks
- Patella kanan/kiri : (+/+)
- Achilles kanan/kiri : (+/+)
- Babinsky kanan/kiri : ( -/- )
c. Sensori
Tidak ada nyeri tekan, sensitif terhadap rangsang
suhu/raba
- Status neurologis
Tingkat kesadaran : Composmentis
1) N. I (Olfaktorius) : klien dapat membedakan bau
2) N II (opticus) : klien dapat melihat dengan jelas
3) N III, IV, VI (oculomotorius, trochlearis dan abducens)
Kontriksi pupil bila ada cahaya, kelopak mata dapat membuka
dan menutup, pergerakan bola mata ke segala arah.
4) N V (trigeminus)
Cornea refleks : berespon terhadap sentuhan kapas
5) N. VII (Fascialis)
Gerakan mimik sesuai dengan perasaan (meringis – nyeri),
pengecapan 2/3 lidah bagian depan dapat mempersepsikan rasa
manis.
6) N. VIII (acusticus)
Fungsi pendengaran terganggu, klien kurang dapat mendengar
dengan jelas
7) N. IX, X (Glossofaringeus dan vagus)
Refleks menelan baik, pengecapan 2/3 lidah bagian belakang,
dapat mempersepsikan rasa pahit.
8) N XI (Assesoris)
Klien dapat memalingkan muka ke kiri dan ke kanan, klien
dapat mengangkat bahu
9) N XII (hypoglosus) : tidak ada deviasi lidah, kaku kuduk ( - )
- Reviews Of System
B1 ( Breathing)
52
Frekuensi nafas 16x/menit, irama teratur, tidak terlihat adanya
pernafasan cuping hidung, tidak terlihat cyanosis
B2 (Blood)
110/60mmHg, Suhu: 370C, Muka pucat
B3 (Brain)
Kesadaran kompos mentis, orientasi verbal baik, GCS: 456
B4 (Bladder)
- Klien mengeluh nyeri bila berkemih.
- Klien mengeluh nyeri pada daerah supra pubic.
- Urine warna kemerahan, jumlah 1500 cc
- Terpasang catheter tersambung ke urine bag
- Nyeri tekan daerah suprapubic
- Terpasang NaCl 0,9 % untuk spul catheter
B5 (Bowel)
- Peristaltik normal, tidak terdapat obstipasi maupun diare
B6 (Bone)
- Tidak terdapat kontraktur maupun dekubitus
4) Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium 23 Juli 2003 Normal
Hb : 12,6 gr% (11 – 0 – 18,0 gr)
Leucosit : 10.700 rb/mm3 (4000 – 10.000mm3)
LED : 85 mm/jam (0 – 20 mm/jam)
Trombocyte : 361.000 (150-400 rb/mm3)
Basofil :0% (0 – 2 %)
Eosinofil :5% (0 – 5 %)
Netrofil batang: 2 % (2 – 4 %)
Netrofil segmen: 68 % (50 – 80 %)
Limfosit : 23 % (25 – 50 %)
Monosit :2% (2 – 10 %)
Waktu perdarahan: 2 menit (1 – 3 menit)
Glukosa sewaktu: 109 mg/dl (80 – 180 mg/dl)
Ureum : 32,3 mg/dl (10 – 50 mg/dl)
Creatinin : 0,84 mg/dl (0,50 – 0,9 mg/dl)
b. Radiologi. Tgl 23 Juli 2003
Kesan Hypertensi prostat
5) Pola Kegiatan Sehari-hari
a. Nutrisi
1) Kebiasaan
- Pola makan teratur yang terdiri dari : nasi, sayur, lauk dan
buah.
- Frekwensi 3 kali sehari.
- Nafsu makan baik.
-Tidak ada makanan tertentu yang disukai.
53
- Makanan pantang tidak ada.
- Banyaknya diminum/hari : 8 gelas/2500 cc/hari.
2) Perubahan selama sakit
- Pola makan teratur yang terdiri dari : nasi, sayur, lauk dan
buah.
- Frekuensi makan 3 x sehari.
- Kurang nafsu makan, porsi makan tidak dihabiskan ½ porsi.
b. Eliminasi
1) BAB
a) Kebiasaan
- Frekuensi : 1 – 2 x /hari
- Warna : kuning
- Konsistensi : lembek
b) Perubahan selama sakit
- Frekuensi : 1 x /2 hari
- Warna : kuning
- Konsistensi : lembek
2) BAK
a) Kebiasaan
- Frekuensi : 4 – 5 x /hari
- Warna : kuning jernih
- Jumlah : 1500 cc
b) Perubahan selama sakit
- Frekuensi : terpasang catheter tetap.
- Warna : warna agak merah
- Bau : pesing
- Jumlah : 1500 cc
- Terpasang NaCl untuk spul catheter.
- Klien menggunakan catheter dengan jumlah 1500cc.
- Ada nyeri saat berkemih.
c. Olahraga dan aktivitas
Klien tidak suka berolahraga, perubahan selama sakit : klien
tidak beraktivitas
d. Istirahat dan tidur
1) Kebiasaan
- Tidur malam mulai jam 23.00 s.d jam 05.00 (6 jam).
- Tidur siang mulai jam 14.00 s.d 15.30 (1 ½ jam)
- Klien tidak mudah terbangun.
- Yang menolong klien untuk tertidur nyenyak adalah
suasana tenang dan membaca
2) Perubahan selama sakit
- Klien mengatakan tidur malam 4 jam dari 24.00-04.00.
54
- Klien mengatakan tidur siang 1 jam.
- Klien sering terbangun.
- Klien mengeluh sulit tidur.
e. Personal hygiene
1) Kebiasaan
- Mandi 2 x sehari menggunakan sabun mandi.
- Menyikat gigi 2 x sehari.
- Mencuci rambut 2 x/seminggu.
2) Perubahan selama sakit
- Mandi 1 x sehari dan dibantu oleh keluarga.
- Menyikat gigi 2 x/hari.
- Belum pernah cuci rambut.
6. Pola Interaksi Sosial
- Orang yang paling dekat dengan klien adalah istri.
- Bila ada masalah klien membicarakan dengan istri.
- Klien menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah.
- Interaksi dalam keluara baik.
- Klien mudah bergaul.
7. Keadaan psikologis selama sakit
- Klien berharap agar dapat cepat sembuh
- Interaksi dengan petugas kesehatan baik
- Klien mengatakan kebutuhan sehari-harinya dilayani di tempat
tidur.
8. Kegiatan keagamaan
Klien beragama kristen, rajin mengikuti kebaktian.
9. Perawatan dan Pengobatan
a. Perawatan : bedrest dengan anjuran mobilisasi ringan
b. Pengobatan :
- Broadced 1 gr/12 jam.
- Transamin 1 amp/18 jam.
- Toradol 1 amp/8 jam.
- Cemitidin 1 amp.
- Diazepam 1 tab kalau perlu
- Ciprofloxacin 500 mg 3 x 1 tablet.
- Asam mefenamat 500 mg 3 x 1 tablet
55
2. ANALISA DATA
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
KEPERAWATAN
1. DS : Tindakan operasi (TURP) Nyeri
DO : medulla spinalis
e. Ekspresi wajah meringis
Corteks cerebri
f. TTV :
T : 110/60 mmHg Nyeri
N : 80 x/menit
P : 16 kali/menit
S : 37o C
56
5) Terpasang NaCl 0,9%
Pola berkemih berubah
untuk spul catheter.
DO :
Media masuknya kuman
1. Terpasang catheter
tersambung ke urine bag. Resiko infeksi
kiri
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
57
1. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih
2. Perubahan pola berkemih berhubungan dengan prosedur
pembedahan
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan peningkatan stimulus
eksternal
4. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif
4. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA NOC NIC
1. Nyeri Nyeri teratasi dengan kri-teria : 1. Kaji karakteristik nyeri.
6. Klien mengatakan nyeri 2. Pertahankan posisi kateter
berhubungan
berkurang. 3. Ajarkan teknik relaksasi dan
dengan iritasi
7. Tidak ada nyeri tekan. distraksi
mukosa 8. Ekspresi wajah rileks 4. Observasi tanda-tanda vital.
9. TTV dalam batas normal : 5. Penatalaksanaan pemberian
kandung
T : 100-120/70-90 mm Hg. obat analgetik Toradol 1
kemih
N : 60 – 80 x/menit ampul/8 jam/iv
S : 36,5 – 37,20 C
P : 16 – 24 x/menit
2. Perubahan Klien dapat berkemih dengan - Kaji haluaran urine dan sistem
jumlah dan cara yang normal cateter.
pola berkemih
tanpa retensi dengan kriteria : - Anjurkan klien minum 3000
berhubungan
10.Disuria tidak ada ml/sesuai toleransi.
dengan 11.Urine warna kuning jernih. - Ajarkan pasien untuk latihan
3. Gangguan pola Gangguan pola tidur ter-atasi a. Kaji ulang pola tidur klien.
dengan kriteria : b. Ciptakan lingkungan yang
tidur
12.Klien mengatakan tidur tenang dan nyaman.
58
berhubungan cukup, sesuai kebutuhan. c. Batasi pengunjung dan pe-
Pasien tampak segar. nunggu klien.
dengan
peningkatan
stimulus
eksternal
59
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
BPH adalah penyakit akibat hiperplasia dari kelenjar periurethral yang
kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Dalam penerapan
asuhan keperawatan pada pasien dengan BPH perlu melibatkan anggota
keluarga terutama penanganan intervensi yang diharapkan dapat dilakukan
sendiri oleh pasien atau keluarga dalam mengatasi masalahnya.
Risiko terjadinya infeksi pada penderita BPH sangat besar selama pasien
menggunakan kateter tetap. Penerapan proses keperawatan pada klien dengan
hipertrofi prostat mutlak diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan
dan mencegah terjadinya komplikasi.
4.2 Saran-saran
60
DAFTAR PUSTAKA
Uliyah, Musrifatul dan Alimun, Aziz, 2008. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik.
Jakarta: Selemba Medika
61