PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Udang merupakan salah satu komoditas ekspor sub sektor perikanan yang memiliki
perikanan terus berusaha meningkatkan dan mengembangkan usaha budidaya udang untuk
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan kenaikan terhadap produksi udang
sebesar 74,75% di tahun 2010–2014, yaitu dari 400.000 ton menjadi 699.000 ton. Dalam
pencapaian target tersebut, peningkatan produksi udang akan diarahkan pada udang windu
Salah satu sumber daya hayati perairan bernilai ekonomis penting dan telah
dibudidayakan secara komersial adalah udang putih (Litopenaeus vannamei). Udang putih
beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan cukup pesat dan diharapkan dapat
menggantikan sementara udang windu dan memberikan andil terhadap perolehan devisa negara
setelah menurunnya produksi udang windu. Pada penerapan teknologi sederhana sampai
intensif dalam produksi udang putih di wilayah tropis telah menunjukkan bahwa udang putih
memiliki keunggulan dibandingkan dengan jenis udang yang lain. Udang putih
pertumbuhannya lebih cepat, dapat dibudidayakan dengan padat tebar yang tinggi, serta lebih
Salah satu masalah yang timbul akibat intensifikasi budidaya udang adalah penurunan
kualitas air yang berujung pada penurunan produksi. Demikian juga pakan dengan kadar
protein tinggi dan sisa pakan yang tidak dimakan akan menjadi amoniak dan nitrit yang bersifat
toksit. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu sistem budidaya efektif untuk memecahkan
permasalahan tersebut melalui sistem budidaya berbasis teknologi bioflok yang menggunakan
Namun kendala dalam usaha pembesaran udang putih seringkali terbentur pada kurang
terkontrolnya aspek-aspek teknis budidaya salah satunya adalah aspek pemanfaatan pakan
(Haliman dan Adijaya, 2005). Penurunan kualitas lingkungan disebabkan limbah organik dari
sisa pakan dan kotoran, limbah umumnya didominasi oleh senyawa nitrogen anorganik yang
beracun. Hal tersebut disinyalir lebih banyak diproduksi oleh pakan buatan (Stickney, 2005).
kurangnya peneyediaan pakan alami. Penyedian pakan alami yang berkualitas dan mencukupi
sangat penting untuk pemeliharaan larva berbagai biota perairan seperti ikan dan udang.
Pentingnya penyediaan pakan alami sangat dirasakan pada pembenihan organisme laut maupun
tawar, karena saat ini belum ada pakan buatan yang dapat menggantikan peranan pakan alami
secara sempurna, disamping itu pakan buatan yang juga diketahui terlalu mahal dan beresiko
karena lebih banyak memberi pengaruh buruk terutama dalam hal menghasilkan limbah
pertumbuhan ikan atau udang serta penurunan limbah kegiatan akuakultur (pengembangan
kualitas air) dapat diaplikasikan melalui teknologi bioflok (Bioflocs Technology) (Avnimelech,
2007).
Teknologi bioflok merupakan teknologi alternatif dalam budidaya udang yang sedang
populer saat ini. Bioflok merupakan istilah umum dari istilah bahasa baku “Activated Sludge”
(Lumpur Aktif) yang diadopsi dari proses pengolahan biologis air limbah (biological
wastewater treatmen). Teknik ini mencoba memproses limbah budidaya secara langsung di
rasio C/N dalam tingkat tertentu. Salah satu probiotik yang dapat membentuk bioflok adalah
genera Bacillus sp (Aiyushirota, 2009). Probiotik berperan positif pada organisme yang
Bioflok yang pada dasarnya didominasi oleh mikroalga baik zooplankton maupun
fitoplankton dan bakteri. Salah satu fitoplankton yang berpotensi dikembangkan dalam bidang
akuakultur yang biasa digunakan sebagai pakan udang putih yaitu Thalassiosira sp., dan
Chaetoceros sp. Spesies tersebut sudah dapat dikultur secara besar-besaran sebagai pakan dan
memberikan nutrisi berkualitas secara optimum untuk organisme seperti larva udang sesuai
dimanfaatkan untuk pakan karena kandungan protein, karbohidrat, dan asam lemaknya yang
kualitas air tambak, sedangkan konsep bioflok diharapkan mampu merangsang tumbuhnya
bakteri probiotik dalam bentuk flocs sehingga mampu memperbaiki kualitas air, flok yang
terbentuk juga dapat mengurangi permasalahan pemenuhan kebutuhan protein serta mampu
mengurangi ketergantungan udang terhadap pakan buatan (Febrianti, 2010). Probiotik berperan
daya cerna, system kekebalan dan kualitas air (Rangka dan Gunarto, 2012).
fitoplankton maupun bakteri menguntungkan tersebut harus dijaga dominasinya agar dapat
membentuk gumpalan flok yang banyak. Berdasarkan hasil penelitian Widianingsih dkk
(2008), Media Walne merupakan media kultur yang baik bagi fitoplankton yang memiliki
kandungan nutrient yang baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan variasi pada media kultur walne
sebagai media pertumbuhan fitoplankton yang diikuti oleh penambahan probiotik yang
mengandung bakteri-bakteri menguntungkan yang juga menunjang dalam pembentukan
bioflok.
Adanya masalah yang timbul akibat intensifikasi budidaya udang adalah penurunan
kualitas air yang berujung pada penurunan produksi. Demikian juga pakan dengan kadar
protein tinggi dan sisa pakan yang tidak dimakan akan menjadi amoniak dan nitrit yang bersifat
toksit (limbah budidaya). Untuk itu, perlu dikembangkan suatu system budidaya efektif untuk
fitoplankton maupun bakteri dalam upayanya membentuk flok, maka diperlukan kondisi yang
baik untuk menunjang proses pembentukan bioflok itu sendiri dengan menciptakan kondisi
lingkungan optimum bagi mikroorganisme pembentuk flok. Faktor lingkungan selain suhu,
pH, intensitas cahaya, maupun laju aerasi dibutuhkan pula salinitas dalam upaya pembentukan
bioflok sehingga perlu adanya penelitian dalam mengkaji dan mencari salinitas yang optimum