Anda di halaman 1dari 23

MUDHARABAH

MAKALAH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah
MATEMATIKA KEUANGAN SYARIAH
Dosen pengampu :
Risa Fitria, M.Si.

Disusun oleh :
Iif Zufidatul Inayah (17204163105)
Emy Jayanti (17204163128)
Diah Ayu Rohana (17204163176)
TMT – 5E

JURUSAN TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
NOVEMBER 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa
atas berkat, rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik walaupun masih banyak kekurangan di
dalamnya. Makalah ini membahas mengenai “Mudharabah”.

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas


matakuliah “Matematika Keuangan Syariah”. Kami juga berharap semoga
pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah
wawasan dan pengetahuan.

Dalam pembuatan makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan


berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Risa Fitria. M.Si.
selaku dosen pengampu. Serta pihak-pihak lain yang turut membantu memberikan
referensi buku.

Tiada gading yang tak retak. Pepatah tersebut memberikan makna bahwa
tiada satu pun manusia yang luput dari kesalahan, oleh karena itu kami meminta
maaf yang sebesar-besarnya. Atas kekurangan dan kesalahan, baik yang di sengaja
maupun tidak di sengaja. Saran dan kritik sangat kami harapkan agar kami dapat
memperbaiki makalah-makalah selanjutnya.

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................
i

KATA PENGANTAR......................................................................................................
ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................
iii

BAB I : PENDAHULUAN
1.1...................................................................................................................
Latar Belakang
........................................................................................................................
1
1.2...................................................................................................................
Rumusan Masalah
........................................................................................................................
2
1.3...................................................................................................................
Tujuan Penulisan
........................................................................................................................
2

BAB II : PEMBAHASAN
2.1...................................................................................................................
Pengertian Mudharabah
........................................................................................................................
3
2.2...................................................................................................................
Landasan Hukum Mudharabah
........................................................................................................................
5

3
2.3...................................................................................................................
Rukun dan Persyaratan Mudharabah
........................................................................................................................
10
2.4...................................................................................................................
Bentuk-bentuk Mudharabah
........................................................................................................................
10
2.5...................................................................................................................
Manfaat Mudharabah
........................................................................................................................
10
2.6...................................................................................................................
Ketentuan Mudharabah
........................................................................................................................
10
2.7...................................................................................................................
Hukum Perselisihan Antara Pemilik Modal dan Mudharib
........................................................................................................................
10
2.8...................................................................................................................
Hal-Hal Yang MembatalkanMudharabah
........................................................................................................................
10
2.9...................................................................................................................
Penerapan Mudharabah Pada Bank Syari’ah
........................................................................................................................
10

BAB III : PENUTUP


3.1...................................................................................................................
Kesimpulan
........................................................................................................................
13

4
3.2...................................................................................................................
Saran
........................................................................................................................
13

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................
14

5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mudharabah adalah suatu perjanjian antara pemilik modal dengan
pengelola modal,dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi di antara mereka
dengan kesepakatan yang telah mereka tetapkan bersama. Didalam pembiayaan
mudharabah pemilik modal membiayai sepenuhnya suatu usaha tertentu.
Sedangkan nasabah bertindak sebagaipengelola usaha (Mudharib).
Pada prinsipnya akad mudharabah diperbolehkandalam agama Islam, karena
untuk salingmembantu antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam
mengelola uang. Dalam Islam banyak pemilik modal yang tidak memiliki
keahlian dalam mengelola uangnya.Sementara banyak pula para pakar dalam
berdagang yang tidak memiliki modal untuk berdagang.Oleh karena itu, atas
dasar saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling
berkerja sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil dalam mengelola
dan memproduktifkan modal itu.
Akad mudharabah berbeda dengan akad pembiayaan yang ada pada
perbankan pada umumnya (perbankan konvensional).Perbankan
konvensional pada umumya menawarkan pembiayaan dengan menentukan suku
bunga tertentu dan pengembalian modalyang telah digunakan mudharib
dalamjangkawaktu tertentu.Namun mudharabah tidak menentukan suku bunga
tertentu pada mudharib yang menggunakan pembiayaan mudharabah,melainkan
mewajibkan mudharibmemberikan bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh
mudharib. Pembiayaan mudharabah pada dasarnya diperuntukan untuk jenis
usaha tertentu atau bisnis tertentu. Oleh karena itu, kami sebagai pemakalah akan
mencoba membahas tentang mudharabah ini serta permasalahan yang ada
didalamnya.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan mudharabah?
1.2.2 Apa landasan hukum mudharabah?
1.2.3 Apa rukun dan persyaratan dalam mudharabah?
1.2.4 Apa saja bentuk-bentuk mudharabah?
1.2.5 Apa manfaat mudharabah?

6
1.2.6 Apa saja ketentuan dalam mudharabah?
1.2.7 Bagaimana hukum perselisihan antara pemilik modal dan
mudharib?
1.2.8 Apa saja hal-hal yang membatalkan mudharabah?
1.2.9 Bagaimana penerapan mudharabah pada bank syari’ah?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui pengertian mudharabah.
1.3.2 Untuk mengetahui landasan hukum mudharabah.
1.3.3 Untuk mengetahui rukun dan persyaratan mudharabah.
1.3.4 Untuk mengetahui bentuk-bentuk mudharabah.
1.3.5 Untuk mengetahui manfaat mudharabah.
1.3.6 Untuk mengetahui ketentuan dalam mudharabah.
1.3.7 Untuk mengetahui hukum perselisihan antara pemilik
modal dan mudharib.
1.3.8 Untuk mengetahui hal-hal yang membatalkan
mudharabah.
1.3.9 Untuk mengetahui penerapan mudharabah pada bank
syari’ah.

BAB II
PEMABAHASAN
1. Pengertian Mudharabah
Al-Mudharabat berasal dari kata al-dharb yang berarti al-safar
(perjalanan), al-mitsl (seimbang), dan al-shinf (bagian). Kata “al-
mudharabat” bersepadan dengan kata “al-qiradh”.Perbedaan penyebutan
kedua kata tersebut karena factor geografis.Kata al-mudharabat digunakan

7
oleh ahli (penduduk) Irak, sedangkan ahli (penduduk) Hijaz menggunakan
kata “al-qiradh”.1
Menurut Wahbah Zuhaili, secara istilah mudharabah adalah akad
penyerahan modal oleh si pemilik kepada pengelola untuk diperdagangkan
dan keuntungan dimiliki bersama antara keduanya sesuai dengan persyaratan
yang mereka buat. Sedangkan menurut Sayid Sabiq, mudharabah adalah
suatu akad antara dua pihak di mana salah satu pihak memberikan uang
(modal) kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan ketentuan bahwa
keuntungan dibagi antara mereka berdua sesuai dengan kesepakatan mereka.2
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa mudharabah adalah suatu
akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih, di mana pihak pertama
memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain menyediakan tenaga dan
keahlian, dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi di antara mereka sesuai
dengan kesepakatan yang mereka tetapkan bersama.
2. Landasan Hukum Mudharabah
Para ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya
dibolehkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas.

2.1. Al-Qur’an
Adapun dari Al-Qur’an antara lain Surah Al-Muzammil (73) ayat 20:
‫و أخرون يضر بون في ال ر ض يبتغو ن من فضل ا‬

Artinya: dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian


karunia Allah.

2.2. Hadis
Hadis yang menjelaskan tentang mudharabah antara lain yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh Shuhaib bahwa Nabi bersabda: Ada tiga perkara yang
di dalamnya terdapat keberkahan: (1) jual beli tempo, (2) muqaradhah,
(3) mencampur gandum dengan jagung untuk makanan di rumah bukan
untuk dijual.
2.3. Ijma’
Landasan hukum dari ijma’ menyebutkan bahwa para ulama fiqih telah
sepakat tentang keberadaan praktek mudharabah ini.3
1Atang Abd.Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hlm. 213.

2Ahmad Wardi, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013),hlm. 365.

3Ibid, hal 114

8
3. Rukun Dan Persyaratan Mudharabah
3.1. Rukun Mudharabah4
Rukun akad mudharabah menurutHanafiah adalah ijab dan qabul, dengan
menggunakan lafal yang menunjukkan kepada arti mudharabah. Apabila
ijab dan qabul telah terpenuhi maka akad mudharabah telah sah.
Menurut jumhur ulama, rukun mdharabah ada tiga, yaitu:
a. Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola (amil/mudharib).
b. Ma’qud ‘alaih, yaitu modal, tenaga (pekerjaan) dan
keuntungan.
c. Shighat, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syafi’iyah menyatakan bahwa rukun mudharabah ada lima,
yaitu:
a. Modal
b. Tenaga (pekerjaan)
c. Keuntungan
d. Shighat
e. Aqidain
3.2. Syarat-syarat mudharabah5
Untuk keabsahan mudharabah harus dipenuhi beberapa syaarat yang
berkaitan dengan ‘aqaid, modal, dan keuntungan.
3.2.1. Syarat yang berkaitan dengan ‘aqaid
Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘aqaid adalah bahwa
‘aqaid baik pemilik modal maupun pengelola (mudharib) harus
orang yang memiliki kecakapan untuk memberikan kuasa dan
melaksanakan wakalah. Hal itu dikarenakan mudharib melakukan
tasarruf atas perintah pemilik modal, dan ini mengandung arti
pemberian kuasa. Akan tetapi, tidak disyaratkan aqidain harus
muslim. Dengan demikian, mudharabah bisa dilaksanakan antara
muslim dan dzimmi atau musta’man yang ada di negeri Islam. Di
samping itu juga disyaratkan aqidain harus cakap melakukan
tasarruf. Oleh karena itu, mudharaba tidak sah dilakukan oleh anak
yang masih dibawah umur, orang gila, atau orang yang dipaksa.
3.2.2. Syarat yang berkaitan dengan modal.
Syarat-syarat yang berkaitan dengan modal adalah sebagai berikut:

4Ibid, hal 370

5Ibid, hal 373

9
3.2.2.1. Modal harus berupa uang tunai, seperti
dinar, dirham, rupiah, atau dolar dan sebagainya,
sebagaimana halnya yang berlaku dalam syirkah ‘inan.
3.2.2.2. Modal harus jelas dan diketahui ukurannya.
Apabila modal tidak jelas maka mudharabah tidak sah.
3.2.2.3. Modal harus ada dan tidak boleh berupa
utang tetapi tidak berarti harus ada di majelis akad.
3.2.2.4. Modal harus diserahkan kepada pengelola,
agar dapat digunakan untuk kegiatan usaha.
3.2.3. Syarat yang berkaitan dengan keuntungan
Adapun syarat yang berkaitan dengan keuntungan adalah sebagai
berikut:
3.2.3.1. Keuntungan harus diketahui kadarnya.
3.2.3.2. Keuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki
bersama dengan pembagian secara nisbah atau presentase,
misalnya setengah setengah, sepertiga dan dua pertiga, atau
40% : 60%, 35% : 65%, dan seterusnya.

4. Bentuk-Bentuk Mudharabah
Pada dasarnya bentuk mudharabah terbagi menjadi dua, yakni mudharabah
muqayyadah dan mudharabah mutlaqah.
4.1. Mudharabah Mutlaqah (Unrestricted Investment Account)
Pada prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak di mana shahib al-
mal tidak menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada si
mudharib.
4.2. Mudharabah Muqayyadah (Restriced Investment Account)
Shahib al-maal boleh menetapkan batasan-batasan atau syarat-
syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya dari resiko
kerugian.Syarat-syarat atau batasan ini harus dipenuhi oleh si mudharib.
Apabila mudharib melanggar batasan-batasan ini, ia harus bertanggung
jawab atas kerugian yang timbul. Dalam praktik perbankan syari’ah
modern, kini dikenal dua bentuk mudharabah muqayyah, yakni on
balance sheet dan off balancesheet.
4.2.1. Mudharabah muqayyah on balance sheet
Dalam mudharabah muqayyah on balance sheet, aliran dana
terjadi dari satu nasabah investor ke sekelompok pelaksana usaha

10
dalam beberapa sektor terbatas, misalnya pertanian, manufaktur,
dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya
hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor pertambangan,
property, dan pertanian. Selain berdasarkan sektor, nasabah investor
dapat saja mensyaratkan berdasarkan jenis akad yang digunakan,
misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan akad penjualan
cicilan saja, atau penyewaan cicilan saja, atau kerja sama usaha
saja. Skema ini disebut on balance sheet karena dicatat dalam
neraca bank.
4.2.2. Mudharabah muqayyah off balance sheet
Dalam mudharabah muqayyah off balance sheet, aliran dana
berasal dari satu nasabah pembiayaan (yang dalam bank
konvensional disebut debitur). Disini bank syari’ah bertindak
sebagai arranger saja.Pencatatan transaksinya di bank syari’ah
dilakukan secara off balance sheet.Sedangkan bagi hasilnya hanya
melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha saja.Besar bagi
hasil tergantung kesepakatan antara nasabah investor dan nasabah
pembiayaan.Bank hanya memperoleh arranger fee.Skema ini
disebut off balance sheet karena transaksi ini tidak dicatat dalam
neraca bank, tetapi hanya dicatat dalam rekening adsministrasi saja.
5. Maanfaat Mudharabah
Salah satu keistimewaan dari sistem mudharabah adalah pada peran
ganda dari mudharib, yakni sebagai wakil (agen) sekaligus mitra. Mudharib
adalah wakil dari rabb al-mal dalam setiap transaksi yang ia lakukan pada
harta mudharabah. Mudharib kemudian menjadi mitra dari rabb al-mal ketika
ada keuntungan, karena mudharabah adalah sebuah kemitraan dalam
keuntungan.6
Ada beberapa maanfaat sekaligus menjadi keunggulan dari konsep al-
mudharabah yag diterapkan dalam bank berdasarkan perinsip-prinsip
syari’ah:
5.1. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan
usaha nasabah meningkat.

6 Ibid., hlm. 212.

11
5.2. Bank tidak berkewajban membayar bagi hasil kepada nasabah
pendanaan secara tetap.7 Tetapi, disesuaikan dengan penapatan/hasil usaha
bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
5.3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flow/arus kas usaha nasabah, sehinga tidak memberatkan nasabah.
5.4. Bank akan lebih selektif dan prudent “hati-hati” mencari usaha
yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Karena keuntungan
yang konkret dan terjadi itulah yang akan dibagikan.

Dalam mendukung mudharabah, para ahli fiqh menekankan perlu


menggunakan metode-metode ini demi kesejahteraan umat manusia.Karena
sering terjadi seseorang memiliki modal tapi tidak mampu menjalankan
usaha, atau sebaliknya memiliki keinginan untuk berusaha tapi tidak ada
modal yang dapat digunakan. Melalui sistem mudharabah, kedua pihak ini
memungkinkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dengan jalan saling
bekerja sama. Demikian pula hal ini memungkinkan apabila ada dua orang
yang memiliki modal, daripada melakukan usaha sendiri, akan lebih efektif
dan menguntungkan apabila bergabung dan bekerja sama. Juga apabila satu
pihak yang memiliki modal tersebut tidak mampu untuk berusaha sendiri, tapi
bahkan tidak mampu memikirkan dengan tepat untuk memilih seorang mitra
kerja yang baik, maka orang kedua dengan pengetahuan, pengalaman, dan
keahliannya dalam berusaha memungkinkan untuk dapat lebih tepat
bergabung dalam perjanjian usaha dengan mitra kerja lainnya berdasarkan
mudharabah.

6. Ketentuan Mudharabah
6.1. Modal
Untuk menghindari perselisihan, dalam kontrak mudharabah secara
khusus ditentukan jumlah modal yang disertakan.Modal ini dapat
direalisasikan dalam bentuk sejumlah mata uang yang bererdar.Modal
dalam kontrak mudharabah tidak dapat dijadikan sebagai utang bagi
pihak mudharib pada waktu terjadinya kontrak. Modal jika dipandang
atau dianggap sebagai utang maka dimungkinkan akan menggunakannya

7Syafi’I Antonio, Asuransi Syariah (Life and General), (Jakarta : Bumi Aksara, 2010), hlm. 337.

12
sebagai tujuan untuk memperoleh keuntungan darinya.8 Sedangkan
mengambil keuntungan dari utang termasuk riba yang dilarang oleh
hokum islam.
Dalam proses kontrak mudharabah, investor dapat menyerahkan
modal mudharabah kepada mudharib, yang dilakukannya sesuai dengan
koridor aturan yang sah. Mudharib bebas mengelola dan menggunakan
modal tersebut dengan bentuk bisnis yang dijalankan, masa usahanya,
dan tempat mudharib menjalankan aktifitas bisnisnya.

6.2. Manajemen
Mudharib mulai mengelola kontrak mudharabah sejak menerima
modal untuk aktifitas usahanya.9 Mudharib memiliki kebebasan dalam
mengelola usahanya dan semua keputusan yang berkaitan dengan
kontrak tersebut.Mazhab hanafi yang mungkin merupakan salah satu
mazhab yang memberikan kebebasan yang luas pada mudharib dalam
mengelola kontrak tersebut, membagi kontrak mudharabah kedalam dua
bentuk.Yaitu, kontrak mudharabah yang tidak terlarang dan mudharabah
yang terlarang.
6.3.1. Kontrak mudharabah yang tidak terlarang
Kontrak dimana pihak mudharib diberi kebebasan yang luas
dalam mengelola usahanya serta menentukan keputusan yang
menurutnya dianggap paling tepat.Dia boleh menjalankan usaha
dengan modal tersebut. Bahkan dibolehkan memberikan modal
tersebut kepihak ketiga untuk dijalankan dalam lapangan usaha.
Atau mengadakan kerjasama dengan pihak lain. Mudharib juga
diperbolehkan mencampur modal kontrak mudharabah dengan
barang miliknya sendiri.10 Dia diperbolehkan membelanjakan
modal tersebut ke dalam kepentingan lapangan usaha yang
dianggapnya tepat.
6.3.2. Kontrak mudharabah yang terlarang

8 Syafi’i Antonio, Asuransi Syariah (Life and General), (Jakarta : Bumi Aksara, 2010), hlm. 341.

9 Ibid., 341.

10 Ibid., 343.

13
Mudharib bebas menjalankan usahanya sesuai dengan
praktik yang umumnya berlaku dalam perdagangan.Campur
tangan investor dalam mengelola kontrak mudharabah
akanmengahalangi efektivitas kerja mudharib dan hal tersebut
harus dihindari.Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i (w.204
H/820 M), jika pihak investor menetapkan persyaratan kepada
mudharib untuk tidak boleh menjual produknya hanya kepada
seseorang atau menentukan produk khusus yang harus dikelola
dalam bentuk mudharabah, maka kontrak tersebut tidak berlaku.
6.3. Masa berlakunya kontrak
Kontrak mudharabah tidak memuat aturan khusus mengenai batas
berlakunya kontrak. Pengikut mazhab maliki dan syafi’i berpendapat,
adanya batasan masa berlakunya kontrak akan membuat kontrak batal.
Namun, pengikut mazhab hanafi dan hambali tetap memperkenankan
klasula tersebut. Para ulama yang berpegang pada pendapat pertama yang
beranggapan bahwa batasan waktu yang terdapat pada kontrak
mudharabah kemungkinan akan menyebabkan lepasnya kesempatan
emas bagi pihak mudharib untuk dapat mengembangkan usahanya atau
merusak rencana-rencananya. Akibatnya, mudharib tidak dapat
merealisasikan tujuan utama dari kontrak tersebut, yaitu mendapatkan
keuntungan (profit) dari usaha yang dijalankan.
6.4. Jaminan
Investor tidak dapat menjamin dari pihak mudharib untuk
memastikan kembalinya modal yang diberikan atau modal beserta
keuntungan (profit).Karena dalam kontrak mudharabah, hubungan antara
investor dan mudharib terikat dalam satu gadaian yang saling
mempercayakan.Pihak investor melalui modalnya dan pihak mudharib
melalui mengelola usahanya.
6.5. Ketentuan bagi hasil
Esensi dari kontrak mudharabah adalah kerja sama untuk mencapai
keuntungan. Apabila terjadi kerugian maka pihak investor menanggung
resiko kerugian dari modal yang diberikan. 11 Sedangkan pihak mudharib
menanggung resiko tidak mendapatkan keuntungan dari hasil pekerjaan

11 Ibid., 343.

14
dan usaha yang dijalankan.Apabila memperoleh keuntungan, sebelum
mencapai pembagian keuntungan, usaha mudharabah harus diubah
menjadi uang sedangkan modal harus dipisah sendiri.Mudharib berhak
mengambil semua biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan bisnis dari
pemodalan mudharabah.
Dengan demikian, mudharabah dapat ditentukan melalui ketentuan
dalam kontrak, dimana investor memiliki tanggungjawab yang terbatas
tidak seperti mudharib yang tidak terbatas tanggungjawabnya.Sehingga,
apabila terjadi kerugian dalam usaha, maka pihak mudharib hanya tidak
mendapatkan keuntungan, sedangkan investor harus menanggung resiko
kerugian tersebut.Dengan catatan, mudharib dalam menjalankan
usahanya sesuai dengan aturan yang telah mereka setujui, tidak
menyalahgunakan yang dipercayakan kepadanya.
7. Hukum Perselisihan Antara Pemilik Modal Dan Mudharib
Antara pemilik modal dan mudharib terkadang terjadi perselisihan dalam
berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan mudharabah, seperti dalam
tasarruf yang umum atau khusus, kerusakan harta, pengembalian modal,
kadar keuntungan yang disyaratkan, dan besarnya modal muudharabah.12
7.1. Perselisihan dalam tasarruf
Apabila perselisihan terjadi dalam tasarruf yang umum atau
khusus, maka yang diterima adalah perkataan pihak yang menyatakan
tasarruf yang umum. Sebagai contoh, apabila salah satu pihak
menyatakan mudharabah dalam usaha perniagaan, tempat dan mitra yang
umum, sedangkan pihak lain menyatakan usaha, tempat dan mitra yang
khusus, maka yang diterima adalah perkataan yang menyatakan umum
karena hal itu sesuai dengan tujuan dilaksanakannya akad mudharabah,
yaitu memperoleh keuntungan.
7.2. Perselisihan dalam kerusakan harta
Apabila pemilik modal dan mudharib berselisih tentang kerusakan
harta, dimana mudharib mengakui tetapi pemilik modal mengingkarinya,
atau mereka berselisih dimana pemilik modal menyatakan bahwa
kerusakan karena sengaja, tetapi mudharab menyatakan tidak sengaja
maka para ulama sepakat yang diterima adalah perkataan mudharib. Hal

12 Ahmad Wardi, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013),hlm. 385.

15
itu dikarenakan mudharib adalah pemegang amanah (amin), sama halnya
dalam wadi’ah.
7.3. Perselisihan dalam pengembalian modal
Apabila pemilik modal dan mudharib berselisih dalam hal
pengembalian modal, dimana mudharib menyatakan sudah dikembalikan,
tetapi pemilik modal menyatakan belum maka menurut hanafiah dan
hanabilah yang dipegang adalah pernyataan pemilik modal. Sedangkan
menurut malikiyah dan syafi’iyah dalam qaul yang paling shahih, yang
dipegang adalah pernyataan mudharib, karena ia adalah pemegang
amanah (al-amin).
7.4. Perselisihan dalam besarnya modal
Apabila terjadi perselisihan antara pemilik modal dan mudharib
tentang besarnya modal yang diberikan maka menurut kesepakatan para
fuqaha, yang diterima adalah pernyataan mudharib. Misalnya, pemilik
modal menyatakan “saya telah memberikan modal kepada anda sebesar
Rp.5.000.000,00”, sedangkan mudharib mengatakan, “Kamu telah
memberikan kepada saya modal sebesar Rp.3.000.000,00”, maka yang
diterima adalah ucapan mudharib sebagai orang yang menerima modal.
7.5. Perselisihan dalam kadar keuntungan
Apabila pemilik modal dan mudharib berselisih tentang besarnya
keuntungan yang ditetapkan dalam akad maka menurut hanafiah dan
pendapat yang rajah dari hanabilah, yang diterima adalah ucapan pemilik
modal. Misalnya mudharib mengatakan, “engkau menentukan bagiku
keuntungan 50%”, sedanngkan pemilik modal mengatakan hanya 35%
maka yang diterima adalah ucapan pemilik modal karena ia (pemilik
modal) sebagai orang yang ingkar atas kelebihan dari 35% dan
pendapatnyalah yang diterima. Hal tersebut sesuai dengan sabda
Nabi,yangdiriwayatkan dari Baihaqi, yakni dari hadis ibnu Abbas dengan
sanad yang shahih: keterangan (saksi) adalah hak penuntut, sedangkan
sampah merupakan hak orang yang ingkar.
Menurut Malikiyah dalam kasus perselisihan megenai besarnya
keuntungan, yang diterima adalah ucapan mudharib disertai dengan
sumpahnya, karena ia statusnya sebagai orang yang dipercaya (amin),
dengan syarat :

16
7.5.1. Tindakannya sesuai kebiasaan manusia yangberlaku dalam
mudharabah;
7.5.2. Harta masih dipegang oleh mudharib.

Menurut syafi’iyah, apabila dua pihak berselisih tentang besarnya


bagian keuntungan untuk mudharib maka keduanya bersumpah, seperti
bersumpahnya penjual dan pembeli dalam kadar harga barang. Akan
tetapi, akad mudharabah tidak bisa fasakh dengan cara bersumpah,
melainkan harus dengan tindakan pembatalan oleh kedua belah pihak,
atau salah satunya atau oleh hakim. Dalam kondisi seperti itu maka
mudharib (pengelola) berhak atas upaya yang sepadan (ujratul mitsli)
sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya.

7.6. Perselisihan dalam sifat modal


Ulama hanafiah dan hanabillah berpendapat bahwa apabila dua
pihak berselisih mengenai sifat modal, maka yang diterima adalah
pernyataan pemilik modal.Misalnya, sipemilik modal mengatakan, “saya
serahkan kepadamu harta (modal) untuk mudharabah, wadi’ah atau
bidha’ah, agar digunakan untuk berdagang”, tetapi mudharib menyatakan
“anda memberi utang kepadaku, dan keuntungan hanya untukku”.Dalam
contoh ini, yang diterima adalah ucapan pemilik modal, bukan ucapan
mudharib.Hal tersebut dikarenakan harta yang diberikannya itu adalah
miliknya, dan pernyataan yang diterima dan diakui berkaitan dengan
keluarnya harta itu dari tangannya adalah pernyataan si pemilik harta itu.
8. Hal-Hal Yang Membatalkan Mudharabah
Mudharabah dapat batal karena beberapa hal sebagai berikut:13

1. Pembatalan, Larangan Tasarruf, dan Pemecatan


Mudharabah dapat batal karena dibatalkan oleh para pihak, dihentikan
kegiatannya, atau diberhentikan oleh pemilik modal. Hal ini apabila
terdapat syarat pembetalan dan penghentian kegiatan atau pemecatan
tersebut, yaitu sebagai berikut:
a. Pihak yang bersangkutan (mudharib) menegtahui pembatalan dan
penghentian kegiatan tersebut. Apabila mudharib tidak tau tentang

13 Ahmad Wardi, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013),hlm. 389.

17
pembatalan dan pemecatannya, lalu ia melakukan tasarruf maka
tasarrufnya hukumnya sah.
b. Pada saat pembatalan dan penghentian kegiatan usaha atau
pemecatan tersebut, modal harus dalam keadaan tunai sehinga jelas
ada atau tidak adanya keuntungan yang menjadi milik bersama antara
pemilik modal dan mudharib. Apabila modal masih berbentuk barang
maka pemberhentian hukumnya tidak sah.
2. Meninggalnya salah satu pihak
Apabila salah satu pihak baik pemilik modal maupun mudharib meninggal
dunia, maka menurut jumhur ulama, muudharabah menjadi batal. Hal
tersebut karena dalam mudharabah terkandung unsur wakalah, dan
wakalah batal karena meninggalnya orang mewakilkan atau wakil.
Sedangkan menurut Malikiyah, mudharabah tidak batal karena
meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Dalam hal ini
apabila yang meninggal itu mudharib maka ahli warisnya bisa
menggantikan untuk melaksanakan kegiatan usahanya, jika mereka itu
orang yang dapat dipercaya.
3. Salah satu pihak terserang penyakit gila
Menurut jumhur ulama selain Syafi’iyah, apabila salah satu pihak
terserang penyakit gila yang terus-menerus, maka mudharabah menjadi
batal. Hal ini dikarenakan gila menghilangkan kecakapan (ahliyah).
4. Pemilik modal murtad
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari Islam), lalu ia meninggal, atau
dihukum mati karena riddah, atau ia berpindah ke negeri bukan Islam (dar
al-harb) maka mudharabah menjadi batal, semenjak hari ia keluar dari
Islam, menurut Abu Hanifah. Akan tetapi, apabila mudharib yang murtad
maka akad mudharabah tetap berlaku karena ia memiliki kecakapan
(ahliyah).
5. Harta mudharabah rusak di tangan mudharib
Apabila modal rusak atau hilang di tangan mudharib sebelum ia membeli
sesuatu maka mudharabah menjadi batal. Hal tersebut dikarenakan sudah
jelas modal telah diterima oleh mudharib untuk kepentingan akad
mudharabah. Dengan demikian, akad mudharabah menjadi batal karena
modalnya rusak atau hilang. Demikian pula halnya, mudharabah dianggap

18
batal, apabila modal diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga
tidak ada sedikit pun untuk dibelanjakan.
9. Penerapan Mudharabah Pada Bank Syari’ah
Sejauh ini, skema mudharabah yang telah kita bahas antara dua pihak saja
secara langsung, yakni shahib al-mal berubungan langsung dengan mudharib.
Skema ini adalah skema standar yang dapat dijumpai dalam kitab-kitab klasik
fiqih islam. Dan inilah sesungguhnya praktik mudharabah yang dilakukan
oleh Nabi dan para sahabat serta umat muslim sesudahnya. Dalam khasus ini,
yang terjadi adalah investasi langsung (direct financing) antara shahib al-mal
(sebagai surplus unit) dengan mudharabah (sebagai deficit unit). Dalam
direct financing seperti ini, peran bank sebagai lembaga perantara
(intermediary) tidak ada.

Mudharabah klasik seperti ini memiliki ciri-ciri khusus, yakni bahwa


biasanya hubungan antara shahib al-mal dengan mudharabah merupakan
hubungan personal dan lansung serta dilandasi oleh rasa saling percaya
(amanah). Shahib al-mal hanya mau menyerahkan modalnya kepada orang
yang ia kenal dengan baik profesional maupun karakternya.

Modus mudharabah seperti itu tidak efisien lagi dan kecil kemungkinan untuk
dapat diterapkan oleh bank, karena bebrapa hal :

1. Sistem kerja pada bank adalah investasi berkelompok, di mana


mereka tidak saling mengenal. Jadi kecil sekali kemungkinannya terjadi
hubungan yang langsung dan personal.
2. Banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah
besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratusan ribuan al-mal untuk
sama-sama menjadi penyandang dana untuk satu proyek tertentu.
3. Lemahnya disiplin terhadap ajaran islam menyebabkan sulitnya
bank memperoleh jaminan keamanan atas modal yang disalurkan.

Untuk mengatasi hal diatas, khususnya masalah pertama dan kedua, maka
ulama konteporer melakukan inovasi baru diatas skema mudharabah, yakni
mudharabah yang melibatkan tiga pihak.tambahan satu pihak ini diperkirakan
oleh bank syariah sebagai lembaga perantara yang mempertemukan shahib al-

19
mal dengan mudharib. Jadi, terjadi evolusi dari konsep direct financing
menjadi indirect financing.

Dalam skema indirect financing diatas, bank menerima dana dari shahib al-
mal dalam bentuk dana pihak ketiga (DP-3) sehingga sumberdananya. Dana-
dana ini dapat berbentuk tabungan atau simpanan deposito mudharabah
dengan jangka waktu yang bervariasi. Selanjutnya, dana-dana yang sudah
terkumpul ini disalurkan kembali oleh bank ke dalam bentuk pembiayaan-
pembiyaan yang menghasilkan (earning assets). Nah, keuntungan dari
penyaluran pembiayaan inilah yang akan dibagi hasilkan antara bank dengan
pemilik DP-3.

Proses inilah yang dipotret dalam neraca bank syarah, sehingga neraca dari
bank syariah pada dasarnya akan tampak sebagai berikut.

Aktiva Pasiva
Penyaluran dana (financing & Sumber dana (funding)
investment)
Non-Earning Assets : Current liabilites
Kas
Giro pada BI

Earning Assents : Dana pihak ketiga :


Surat berharga Giro wadiah
Pembayaran : Tabungan mudharabah
1. Mudharabah Deposito mudharabah
2. Ijarah
3. IMBT
4. Mudharabah
5. Musyarakah
Fixed assets Stockholder’s Equity

Contoh :

Misalnya Ny. Conny hendak melakukan usaha dengan modal Rp.50.000.000,-.


Diperkirakan dari usaha tersebut akan memperoleh pendapatan

20
Rp.10.000.000,- per bulan dan modal disediakan seluruhnya oleh Bank
Syariah Makassar. Dari keuntungan ini disisihkan dulu untuk mengembalikan
modal, misalnya Rp.4.000.000,-. Selebihnya dibagikan antara Bank syariah
Makassar dengan nasabah sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, yaitu
60:40, sehingga diperoleh (60% x Rp.6.000.000,- = Rp.3.600.000,-) untuk
Bank syariah Makassar dan 40% (40% x Rp.6.000.000,- = 2.400.000,-) untuk
Ny. Conny

21
BAB III
KESIMPULAN
1. Mudharabah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih,
di mana pihak pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain
menyediakan tenaga dan keahlian, dengan ketentuan bahwa keuntungan
dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan yang mereka tetapkan
bersama.
2. Ada tiga landasan hukum yang melandasi mudharabah yaitu Al-Qur’an
pada Surah Al-Muzammil ayat 73, hadis, dan ijma’.
3. Rukun mudharabah ada lima yaitu modal, tenaga (pekerjaan), keuntungan,
shighat, dan aqidain. Sedangkan syarat mudharabah ada tiga yaitu syarat yang
berkaitan dengan ‘aqaid, syarat yang berkaitan dengan modal, dan Syarat
yang berkaitan dengan keuntungan.
4. Pada dasarnya bentuk mudharabah terbagi menjadi dua, yakni mudharabah
muqayyadah dan mudharabah mutlaqah. Dalam praktik perbankan syari’ah
modern, kini dikenal dua bentuk mudharabah muqayyah, yakni on balance
sheet dan off balance sheet.
5. Ada beberapa maanfaat sekaligus menjadi keunggulan dari konsep al-
mudharabah yag diterapkan dalam bank berdasarkan perinsip-prinsip
syari’ah:
5.1. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan
usaha nasabah meningkat.
5.2. Bank tidak berkewajban membayar bagi hasil kepada nasabah
pendanaan secara tetap. Tetapi, disesuaikan dengan penapatan/hasil usaha
bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
5.3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flow/arus kas usaha nasabah, sehinga tidak memberatkan nasabah.
5.4. Bank akan lebih selektif dan prudent “hati-hati” mencari usaha
yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Karena keuntungan
yang konkret dan terjadi itulah yang akan dibagikan.
6. Ketentuan mudharabah terletak pada 5 pilar penting, yakni modal,
manajemen, masa berlakunya kontrak, jaminan dan ketentuan bagi hasil.
7. Antara pemilik modal dan mudharib terkadang terjadi perselisihan dalam
berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan mudharabah, seperti :

22
7.1. Dalam tasarruf yang umum atau khusus : yang diterima adalah
perkataan yang menyatakan umum karena hal itu sesuai dengan tujuan
dilaksanakannya akad mudharabah, yaitu memperoleh keuntungan
7.2. Kerusakan harta : yang diterima adalah perkataan mudharib
7.3. Pengembalian modal :menurut hanafiah dan hanabilah yang
dipegang adalah pernyataan pemilik modal. Sedangkan menurut
malikiyah dan syafi’iyah dalam qaul yang paling shahih, yang dipegang
adalah pernyataan mudharib
7.4. Kadar keuntungan yang disyaratkan : menurut hanafiah dan
pendapat yang rajah dari hanabilah, yang diterima adalah ucapan pemilik
modal, Menurut Malikiyah dalam kasus perselisihan megenai besarnya
keuntungan, yang diterima adalah ucapan mudharib disertai dengan
sumpahnya, karena ia statusnya sebagai orang yang dipercaya (amin),
Menurut syafi’iyah, apabila dua pihak berselisih tentang besarnya bagian
keuntungan untuk mudharib maka keduanya bersumpah.
7.5. Besarnya modal mudharabah :Ulama hanafiah dan hanabillah
berpendapat bahwa apabila dua pihak berselisih mengenai sifat modal,
maka yang diterima adalah pernyataan pemilik modal.
8. Mudharabah dapat batal karena beberapa hal, antara lain yaitu karena
pembatalan, larangan tasarruf, dan pemecatan, meninggalnya salah satu pihak,
salah satu pihak terserang penyakit gila, pemilik modal murtad, dank arena
harta mudharabah rusak di tangan mudharib.
9. KESIMPULAN PENERAPAN MUDHARABAH PADA BANK
SYARI’AH

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Syafi’i. 2010. Asuransi Syariah (Life and General). Jakarta : Bumi Aksara.
Hakim, Atang Abd, 2011. Fiqih Perbankan Syariah. Bandung : PT Refika
Aditama.
Wardi, Ahmad. 2013. Fiqih Muamalat. Jakarta : Amzah.

23

Anda mungkin juga menyukai