Anda di halaman 1dari 12

A.

Konsep Penyakit

1. Anatomi dan Fisiologi

2. Definisi Penyakit
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis
dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah,
jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak,
perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan
kerusakan pembuluh darah. (Brunner and Suddarth, 2001).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung
pada sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada
orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku
kekerasan. (Marilyn, E. Doengoes, 1999).
Fraktur adalah deformasi atau dekontinuitas dari tulang oleh tenaga yang melebihi
kekuatan tulang (http://www.medicastore.com/med/detail=patah;tulang/).
Dari ketiga pengertian diatas penulis menyimpulkan fraktur lumbal adalah kerusakan
pada tulang belakang berakibat trauma, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki
yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan.

3. Etiologi
Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai
berikut :
a. Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur
tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras.
b. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat
mengakibatkan dislokasi atau fraktur.
c. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas dan sebagainya.
d. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
e. Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan “Body Mekanik” yang salah seperti
mengangkat benda berat.
4. Manefestasi klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi.kerusakan, gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik dari
tempat kerusakan disertai shock spinal. Shock spinal terjadi pada kerusakan
mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari
pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.
Tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, gangguan fungsi rectum dan
kandung kemih, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih kembali, akan
terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit
kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi
kandung kemih dan gangguan defekasi (Price &Wilson.2006).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik
dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya,
sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson.2006).
Tanda – tanda dan Gejala
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas yang bisa diketahui dengan ekstermitas normal.
c. Terjadi pemendekan tulang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah
tempat fraktur.
d. Saat ekstermitas diperiksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat
gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. e. Pembengkakan dan
perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.
5. Patway

5.

6. Patofisologi
a. Perjalanan Penyakit
Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus vertebra
yang saling berdekatan. Diantaranya korpus vertebra mulai dari vertebra sevikalis
kedua sampai vertebra sakralis terdapat discus intervertebralis. Discus-discus ini
membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus pulposus ditengah dan
annulus fibrosus di sekelilingnya. Nucleus pulposus merupakan rongga
intervertebralis yang terdiri dari lapisan tulang rawan dalam sifatnya semigelatin,
mengandung berkas-berkas serabut kolagen, sel – sel jaringan penyambung dan
sel-sel tulang rawan.
Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang
berdekatan, selain itu juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan
antara discus dan pembuluhpembuluh kapiler.
Apabila kontuinitas tulang terputus, hal tersebut akan mempengaruhi
berbagai bagian struktur yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh darah.
Akibat yang terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe, dan luas
fraktur. Pada umumnya terjadi edema pada jaringan lunak, terjadi perdarahan pada
otot dan persendian, ada dislokasi atau pergeseran tulang, ruptur tendon, putus
persyarafan, kerusakan pembuluh darah dan perubahan bentuk tulang dan
deformitas. Bila terjadi patah tulang, maka sel – sel tulang mati. Perdarahan
biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalaman jaringan lunak disekitar
tulang tersebut dan biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat
timbul setelah fraktur.
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil,
jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis,
Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada
medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi
karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi
dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek.
Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang
belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun
torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat
kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi,
menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan
yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap. Akibat
trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk
sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri
vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis
yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan
/menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa
medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah perdarahan dalam
medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma
ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri,
jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla
spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan
kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra
meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang
terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama
dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam
kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis
dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7
dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler
spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau
neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma
tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah
radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang
akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema anastomosis anterial anterior spinal.
7. Pemeriksaan penunjang
a. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
b. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
c. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
d. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
e. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Tucker,Susan Martin . 2008)
8. Penatalaksanaan
a. Primary Survey
Disini dilakukan identifikasi keadaan yang membahayakan klien dan segera
ditanggulangi.
A = “Airway”
Menjamin kelancaran jalan nafas dan kontrol vertebrae servikalis. Jalan
nafas dipertahankan dengan melakukan “chin lift” atau “jaw thrust” dapat juga
dengan memasang “guedel” pada klien dengan multiple trauma dan trauma tumpul
di atas klavikula kita harus mengagap dan memperlakukan seakan ada fraktur dari
vertebra servikalis dengan memasang “neck collar” sampai dibuktikan negatif.
Hasil pemeriksaan neurologi yang negatif tidak menyingkirkan ada cedera servikal.
Karena itu sebaiknya dibuat X-ray crosstable lateral cervical spino atau swimmer
view dan menilai ketujuh vetebra servikal.
B = “Breathing dan Ventilasi”
Sebaiknya thoraks harus dapat dilihat semuanya untuk melihat ventilasi.
Jalan nafas yang bebas tidak menjamin ventilasi yang cukup, pertukaran udara
yang cukup diperlukan untuk oksigenisasi yang cukup. Bila ada gangguan
instabilitas kardiovaskuler, respirasi atau kelainan neurologis. Maka kita harus
melakukan ventilasi dengan alat “bag valve” yang disambungkan pada masker atau
pipa endrokeal. Oksigenisasi atau ventilasi yang cukup pada klien trauma
termasuk memberikan volume dan konsentrasi oksigen (12 liter per menit) yang
cukup. Pernafasaan yang melebihi 20 kali / menit menandakan gangguan respirasi.
C = “Circulation”
Salah satu penyebab kematian di rumah sakit adalah pendarahan yang segera
tidak diatasi, ditandai dengan hipotensi yaitu:
a. kesadaran menurun
b. warna kulit pucat,kelabu menandakan kehilangan darah lebih dari 30%
c. nadi cepat dan lemah,ireguler merupakan pertanda hipovolume
Pendarahan bagian luar diatasi dengan balit tekan, jangan peke torniket
karena akan mengakibatkan metabolisme anaerobe.sedangkan pada
pendarahan tungkai atau abdomend diatasi dengan memakai MAST.
D = “ Disability”
Pada akhir primary survey dilakukan pemeriksaan neurologis untuk
menentukan:
a. Kesadaran, ditentukan dengan metode AVPU:
A-“Alert”
V-“bereaksi pada vokal stimuli”
P-“bereaksi pada pain stimuli”
U-“unresponsive”
b. Pupil
c. Reaksi reflek
Glascow Coma Scale (GCS) dilakukan pada “primary survey” atau
“seconder survey”. Perubahan pada neurologis atau kesadaran klien
menunjukkan kelainan intrakranial, dengan demikian kita harus menilai
ulang : Oksigenisasi; Ventilasi; Perfusi
E = “Eksposure”
Klien harus ditelanjangi untuk pemeriksaan lebih lengkap dan harus diselimuti
untuk menghindari hipotermi.
b. Pemeriksaan Secondary Survey
Secondary survey tidak dimulai bila primery survey belum selesai.
Resusitasi sudah dilakukan dari evaluasi ABC direvaluasi. Yang dilakukan dalam
secondary survey adalah anamnese yang lengkap termasuk biomekanik kecelakaan
dan pemeriksaan fisik dari kepala sampai ke ujung kaki. (Carpenito dan Doenges
at al.2000)
Pengkajian secondary survey meliputi :
Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
1. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
2. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltik hilang
3. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri
4. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
5. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
6. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flasid, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil, ptosi
7. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma,
dan mengalami deformitas pada daerah trauma
8. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
9. Keamanan : suhu yang naik turun
Penatalaksanaan medis
1. Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
2. Konservatif
Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dapat
berlangsung lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti disektomi
dengan peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus spinosus
vertebra; tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus detektif,
menstabilkan tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy
mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis,
menghilangkan kompresi medulla dan radiks. Microdiskectomy atau
percutaeneus diskectomy untuk menggambarkan penggunaan operasi dengan
mikroskop, melihat potongan yang mengganggu dan menekan akar syaraf.
B. Rencana Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Merupakan tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan dilakukan secara
sistematika mencakup aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual. Langkah awal dari
pengkajian ini adalah pengumpuln data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
klien dan keluarga, observasi pemeriksaan fisik, konsultasi dengan anggota tim
kesehatan lainnya dan meninjau kembali catatan medis ataupun catatan keperawatan.
Pengkajian fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien fraktur menurut Brunner and
Suddarth, 2002 adalah sebagai berikut :
a. Data demografi/ identitas klien
Antara lain nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan alamat
klien.
b. Keluhan utama
Adanya nyeri dan sakit pada daerah punggung
c. Riwayat kesehatan keluarga
Untuk menentukan hubungan genetik perlu diidentifikasi misalnya adanya
predisposisi seperti arthritis, spondilitis ankilosis, gout/ pirai (terdapat pada fraktur
psikologis).
d. Riwayat spiritual
Apakah agama yang dianut, nilai-nilai spiritual dalam keluarga dan bagaimana
dalam menjalankannya.
e. Aktivitas kegiatan sehari-hari
Identifikasi pekerjaan klien dan aktivitasnya sehari-hari, kebiasaan membawa benda-
benda berat yang dapat menimbulkan strain otot dan jenis utama lainnya. Orang
yang kurang aktivitas mengakibatkan tonus otot menurun. Fraktur atau trauma dapat
timbul pada orang yang suka berolah raga dan hockey dapat menimbulkan nyeri
sendi pada tangan.

Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran tinggi badan
2) Pengukuran tanda-tanda vital
3) Integritas tulang, deformitas tulang belakang
4) Kelainan bentuk pada dada
5) Adakah kelainan bunyi pada paru-paru, seperti ronkhi basah atau kering, sonor atau
vesikuler, apakah ada dahak atau tidak, bila ada bagaimana warna dan produktivitasnya.
6) Kardiovaskuler: sirkulasi perifer yaitu frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian
kapiler, warna kulit dan temperatur kulit.
7) Abdomen tegang atau lemas, turgor kulit, bising usus, pembesaran hati atau tidak,
apakah limpa membesar atau tidak.
8) Eliminasi: terjadinya perubahan eliminasi fekal dan pola berkemih karena adanya
immobilisasi.
9) Aktivitas adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur
10) Apakah ada nyeri, kaji kekuatan otot, apakah ada kelainan bentuk tulang dan
keadaan tonus otot.
Tes Diagnostik
Pada klien dengan trauma tulang belakang, biasanya dilakukan beberapa tes
diagnostik untuk menunjang diagnosa medis, yaitu :
1) Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada
tulang belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan
patologis lain seperti tumor, osteomielitis.
2) Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang
terkena.
3) Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram
terbatas.
4) Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi
adanya darah.
5) Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung
diagnosa awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki
posterior.
6) CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi
discus intervetebralis.
7) MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya
perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi discus.
8) Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan “penyempitan” dari
ruang discus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.
2. Diagnosa keperawatan
a) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
b) Nyeri akut b.d adanya cedera
c) Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
d) Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
3. Intervensi
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul (Doenges at al (2014)
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil:
1. Ventilasi adekuat
2. PaO2 > 80, PaCo2 < 45, RR = 16-20 x/mt,
3. Tidak ada tanda sianosis

Intervensi (Mandiri) Rasional


Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa pasien dengan cedera cervicalis akan
gerak membutuhkan bantuan untuk mencegah
aspirasi/ mempertahankan jalan nafas
Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jika batuk tidak efektif, penghisapan
jumlah, jenis dan karakteristik sekret dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan
mengurangi resiko infeksi pernapasan
Kaji fungsi pernapasan trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya
fungsi pernapasan secara partial, karena otot
pernapasan mengalami kelumpuhan
Auskultasi suara napas hipoventilasi biasanya terjadi atau
menyebabkan akumulasi sekret yang
berakibat pnemonia.
Observasi warna kulit menggambarkan adanya kegagalan pernapasan
yang memerlukan tindakan segera

Pantau analisa gas darah untuk mengetahui adanya kelainan fungsi


pertukaran gas sebagai contoh :
hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2
meningkat
Bantu klien untuk melaksanakan latihan Memperkuat otot abdomen dan fleksor
rentang gerak aktif dan pasif tulang belakang, memperbaiki mekanika
tubuh.
Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian Stimulasi sir vena atau arus balik vena
bawah dan lutut menurunkan keadaan vena yang statis dan
kemungkinan terbentuknya trombus
Bantu klien dalam melakukan ambulasi Keterbatasan aktivitas tergantung pada
progresif kondisi yang khusus, tapi biasanya
berkembang dengan lambat sesuai toleransi

b. Nyeri akut b.d adanya cedera


Tujuan : Nyeri hilang atau terkontrol
Kriteria hasil :
1) Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
2) Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik seperti
keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri.
Intervensi (Mandiri) Rasional
Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, Membantu menentukan intervensi dan
lama serangan, faktor pencetus atau memberikan dasar untuk perbandingan dan
memperberat. Minta klien untuk evaluasi terhadap terapi
mendapatkan skala nyeri 1 – 10
Pertahankan tirah baring selama fase akut. Tirah baring dalam posisi yang nyaman
Letakkan klien dalam posisi semi fowler memungkinkan klien untuk menurunkan
dengan tulang spinal, pinggang dan lutut penekanan pada bagian tubuh tertentu dan
dalam keadaan fleksi; posisi telentang intervertebralis.
dengan atau tanpa meninggikan kepala 10° -
30° atau pada posisi lateral
Batasi aktivitas selama fase akut sesuai Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang
kebutuhan dapat menghilangkan spasme otot dan
menurunkan edema dan tekanan pada
struktur sekitar discus intervertebralis yang
terkena
Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi Memfokuskan perhatian klien dan
membantu menurunkan tegangan otot dan
meningkatkan proses penyembuhan
Instruksikan atau anjurkan klien untuk Menghilangkan stress pada otot dan
melakukan mekanisme tubuh atau gerakan mencegah trauma lebih lanjut.
yang tepat.
Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri
otot seperti Diazepam
Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi Memfokuskan perhatian klien dan
membantu menurunkan tegangan otot dan
meningkatkan proses penyembuhan
Instruksikan atau anjurkan klien untuk Menghilangkan stress pada otot dan
melakukan mekanisme tubuh atau gerakan mencegah trauma lebih lanjut.
yang tepat.
Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri
otot seperti Diazepam

c. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra


Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.
Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan
individu.
Intervensi (Mandiri) Rasional
Observasi dan catat jumlah frekuensi
Menentukan apakah kandung kemih
berkemih dikosongkan dan saat kapan intervensi itu
diperlukan.

Lakukan palpasi terhadap adanya distensi Menandakan adanya retensi urine


kandung kemih
Tingkatkan pemberian cairan Mempertahankan fungsi ginjal

d. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan


Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat teratasi
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi
2) Mempertahankan posisi fungsional
3) Meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
4) Menunjukan teknik aktivitas
Intervensi (Mandiri) Rasional
Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan
cedera dan perhatikan persepsi pasien dari persepsi diri tentang keterbatasan
terhadap imobilisasi. fungsi actual, memerlukan informasi untuk
meningkatkan kemajuan kesehatan
Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/ Memberikan kesempatan untuk
rekreasi mengeluarkan energi, memfokuskan
kembali perhatian dan membantu
menurunkan isolasi sosial
Intruksikan pasien untuk dibantu dalam Meningkatkan aliran darah ke otot dan
rentang gerak aktif dan pasif pada tulang untuk meningkatkan tonus otot.
ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi Memfokuskan perhatian klien dan
membantu menurunkan tegangan otot dan
meningkatkan proses penyembuhan
Instruksikan atau anjurkan klien untuk Menghilangkan stress pada otot dan
melakukan mekanisme tubuh atau gerakan mencegah trauma lebih lanjut.
yang tepat.
Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri
otot seperti Diazepam
Dorong penggunaan latihan isometik tanpa Kontraksi otot isometik tanpa menekuk
menekuk sendi atau menggerakan tungkai, sendi membantu kekuatan otot
dan mempertahankan masa otot.
Konsul dengan ahli terapi fisik/ okupais, Berguna dalam membuat aktifitas individual
rehabilitasi spesial latihan

Daftar Pustaka

http://fielope-nursing.com/2009/03/asuhan-keperawatandengan-fraktur.html
http://www.zimbio.com/member/bedahumum/articles/5089347/PEN
ANGANAN+KONSERVATIF+FRAKTUR+KOMPRESI+VERTEBRA
http://www.scribd.com/doc/12748213/Fraktur-Vertebra
http://www.scribd.com/doc/33615745/fraktur-torakolumbal
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2014), Rencana Asuhan
Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai