Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

HIFEMA TRAUMATIKA

Pembimbing :
dr. Riana Azmi Bastari, Sp.M
dr. Mohammad Reza Mossadeq H, Sp.M

Disusun oleh :
Wijdani Sharfina (2014730097)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RSUD SEKARWANGI
SUKABUMI
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’ alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, Puji Syukur penyusun panjatkan kehadiran ALLAH SWT


atas terselesaikannya laporan kasus yang berjudul Hifema. Laporan ini disusun
dalam rangka meningkatkan pengetahuan sekaligus memenuhi tugas kepaniteraan
klinik Stase Ilmu Penyakit Mata di RSUD Sekarwangi. Semoga dengan adanya
laporan ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan berguna bagi
penyusun maupun peserta didik lainnya. Penyusun menyadari bahwa laporan ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, saran kritik yang membangun sangat
dibutuhkan untuk membuat laporan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Terima kasih.

Wassalamu’ alaikum Wr. Wb.

Sukabumi, Februari 2019

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN

Hifema merupakan keadaan di mana terdapat darah di dalam bilik mata


depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul
yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan aquous
humor (cairan mata) yang jernih. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di
bawah bilik mata depan atau pun dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan.
Hifema traumatik merupakan hifema sebagai komplikasi umum dari trauma tumpul
dan trauma tembus pada mata yang menyebabkan gangguan penglihatan.

Insiden hifema traumatik diperkirakan 12 kasus per 100.000 populasi, dengan


frekuensi pada laki-laki adalah tiga dari lima kasus lebih sering dari pada wanita.
Lebih dari 70% hifema traumatik terjadi pada anak-anak, dengan insiden puncak pada
usia antara 10 hingga 20 tahun. Pada Amerika Serikat, insiden hifema traumatik
adalah 17 hingga 20 kasus per 100.000 orang per tahun.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Bilik Mata Depan dan Vaskularisasi Mata


Bilik mata depan terletak antara persambungan kornea perifer dengan iris.
Sudut bilik mata depan terletak pada pertautan antara kornea perifer dan pangkal iris.
Ciri-ciri anatomi sudut ini adalah garis Schwalbe, jalinan trabekula (yang terletak di
atas kanalis Sclemm), dan taji-taji sklera. Garis Schwalbe menandai berakhirnya
endotel kornea. Jalinan trabekula berbentuk segitiga pada potongan melintang, yang
dasarnya mengarah ke korpus siliaris. Garis ini tersusun dari lembar-lembar
berlobang jaringan kolagen dan elastik, yang membentuk suatu filter dengan
memperkecil ukuran pori ketika mendekati kanalis Schlemm. Bagian dalam jalinan
ini, yang menghadap ke bilik mata depan dikenal sebagai jalinan uvea, bagian luar,
yang berada di dekat kanalis Schlemm disebut jalinan korneoskleral.
Serat- serat longitudinal otot siliaris menyisip ke dalam jalinan trabekula
tersebut. Taji sklera merupakan penonjolan sklera ke arah dalam di antara korpus
siliaris dan kanalis Schlemm, tempat iris dan korpus siliaris menempel. Saluran-
saluran eferen dari kanalis Schlemm (sekitar 300 saluran pengumpul, 12 vena
aquous) berhubungan dengan sistem vena episklera.

4
Gambar 1. Sudut Kamera Okuli Anterior
Pemasok utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri oftalmika,
yaitu cabang besar pertama dari arteri karotis interna bagian intrakranial. Cabang ini
berjalan di bawah nervus optikus dan bersamanya melewati kanalis optikus menuju
ke orbita. Cabang intraorbital pertama adalah arteri sentralis retina, yang memasuki
nervus optikus sebesar 8-15 mm di belakang bola mata.
Cabang-cabang lain arteri oftalmika adalah arteri lakrimalis, yang
memvaskularisasi glandula lakrimalis dan kelopak mata atas, cabang-cabang
muskularis ke berbagai otot orbita, arteri siliaris posterior longus dan brevis, arteri
palpebra medialis ke kedua kelopak mata, dan arteri supra orbitalis serta supra
troklearis. Arteri siliaris posterior brevis memperdarahi koroid dan bagian nervus
optikus. Kedua arteri siliaris posterior longus memperdarahi korpus siliaris dan saling
beranastomosis satu sama lain serta dengan arteri siliaris anterior membentuk circulus
arterialis mayor iris.
Aliran vena orbita terutama melewati vena oftalmika superior dan inferior
yang juga menampung darah dari vena siliaris anterior dan vena retina sentralis. Vena
oftalmika berhubungan dengan sinus kavernosus melalui fissura orbitalis superior dan
dengan pleksus venosus pterigoideus melalui fissura orbitalis inferior.

5
Gambar 2. Vaskularisasi Bola Mata

2. Definisi
Hifema merupakan keadaan di mana terdapat darah di dalam bilik mata
depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul
yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan aquous
humor (cairan mata) yang jernih. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di
bawah bilik mata depan atau pun dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan.
Hifema traumatik merupakan hifema sebagai komplikasi umum dari trauma tumpul
dan trauma tembus pada mata yang menyebabkan gangguan penglihatan.
Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi:
1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang disebabkan
pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma pada segmen
anterior bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata).
3. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga
pembuluh darah pecah.
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya juvenile
xanthogranuloma).
5. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).
Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu:
1. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.
2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.
Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade
(Sheppard):
1. Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA
2. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA
3. Grade III : darah mengisi hampir total COA
4. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA

6
Gambar 3. Klasifikasi Hifema

3. Epidemiologi
Insiden hifema traumatik diperkirakan 12 kasus per 100.000 populasi, dengan
frekuensi pada laki-laki adalah tiga dari lima kasus lebih sering dari pada wanita.
Lebih dari 70% hifema traumatik terjadi pada anak-anak, dengan insiden puncak pada
usia antara 10 hingga 20 tahun. Pada Amerika Serikat, insiden hifema traumatik
adalah 17 hingga 20 kasus per 100.000 orang per tahun.

4. Etiologi
Hifema traumatik disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena

7
bola, batu, peluru senapan angin, dan lain-lain. Tujuh puluh persen kasus hifema
traumatik terjadi pada usia di bawah 20 tahun dan benda- benda tersebut dilaporkan
sebagai objek penyebab hifema. Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata
dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi
robekan-robekan jaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut
mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan perdarahan.
Selain trauma tumpul, hifema traumatik dapat disebabkan oleh trauma tembus dengan
merusak secara langsung vaskularisasi okuli.

5. Patofisiologi
Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai peregangan
limbus, dan perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan tekanan
intraokuler secara akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan pada sudut mata.
Perdarahan biasanya terjadi karena adanya robekan pembuluh darah, antara lain
arteri-arteri utama dan cabang-cabang dari badan siliar, arteri koroidalis, dan vena-
vena badan siliar.

Gambar 4. Mekanisme Perdarahan akibat Trauma Tumpul Mata


Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin
juga bisa menyebabkan perdarahan pada BMD. Trauma tumpul dapat merobek
pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh
darah iris dan merusak sudut BMD. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada
patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam ruang BMD, mengotori
permukaan dalam kornea.

8
Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya mekanisme
hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular, spasme pembuluh
darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme pembekuan darah yang akan
menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari bilik mata depan ke
bilik mata belakang. Bekuan darah ini biasanya berlangsung hingga 4-7 hari. Setelah
itu, fibrinolisis akan terjadi. Setelah terjadi bekuan darah pada bilik mata depan, maka
plasminogen akan diubah menjadi plasmin oleh aktivator kaskade koagulasi. Plasmin
akan memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang sudah terjadi mengalami disolusi.
Produk hasil degradasi bekuan darah, bersama dengan sel darah merah dan debris
peradangan, keluar dari bilik mata depan menuju jalinan trabekular dan aliran
uveaskleral.7
Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan
primer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan sekunder
biasanya timbul pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya biasanya lebih hebat
daripada yang primer. Oleh karena itu seseorang dengan hifema harus dirawat
sedikitnya 5 hari. Dikatakan perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi
daribekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu
yang cukup untuk regenerasi kembali.
Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari BMD dalam bentuk sel
darah merah melalui sudut BMD menuju kanal schlem sedangkan sisanya akan
diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya
enzim fibrinolitik di daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam
bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke
dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut
hemosiderosis atau imbibisi kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti.
Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai
glaukoma.
Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis yang
berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata. Hal ini
menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari otot siliar. Resesi sudut

9
mata dapat terjadi pada 85 % pasien hifema dan berkaitan dengan timbulnya
glaukoma sekunder di kemudian hari. Iritis traumatik, dengan sel-sel radang pada
bilik mata depan, dapat ditemukan pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi
perubahan pigmen iris walaupun darah sudah dikeluarkan. Perubahan pada kornea
dapat dijumpai mulai dari abrasi endotel kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil
seperti miosis dan midriasis dapat ditemukan pada 10 % kasus. Tanda lain yang dapat
ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil, subluksasi lensa, dan
ruptur zonula zinnii. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan
vitreus, jejas retina (edema, perdarahan, dan robekan), dan ruptur koroid. Atrofi papil
dapat terjadi akibat peninggian tekanan intraokular.

6. Manifestasi Klinis
Keluhan Subjektif:
 Nyeri pada mata
 Penglihatan menurun
 Penglihatan Ganda
Keluhan Objektif:
 Pada gambaran klinik ditemukan adanya tumpukan darah pada COA (dapat
diperiksa dengan flashlight),
 kadang-kadang ditemukan gangguan visus.
 Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan pericorneal, fotofobia
(tidak tahan terhadap sinar), penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra,
midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu
letargic, disorientasi atau somnolen.
 Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi (midriasis), dapat
terjadi pewarnaan darah (blood staining)pada kornea, anisokor pupil.

7. Diagnosis
Anamnesis
Yang perlu di tanyakan saat menganamnesis pasien hifema:

10
o Mekanisme trauma (termasuk arah dan kekuatan trauma).
o Waktu terkena, waktu terjadi penurunan visus, sebelumnya apakah ada
menggunakan pelindung mata. Biasanya penurunan visus terjadi setelah trauma.
Penurunan visus yang juga bisa disebabkan adanya perdarahan sekunder atau
perdarahan yang terus menerus.
o Perlu ditanyakan juga obat-obatan yang dikonsumsi pasien sebelumnya yang
mengandung antikoagulan seperti aspirin, NSAID, warfarin, dan jangan lupa
tanyakan riwayat kleuarga tentang penyakit sickle cell.
Pemeriksaan
Pemeriksaan mata yang lengkap harus dilakukan pada setiap kasus. Curigai
adanya kerusakan mata terbuka sampai terbukti sebaliknya. Setiap kontrol, visus,
kerusakan jaringan, luas hifema dan TIO harus dicatat.
Pemeriksaan yang dilakukan berupa:
Pemeriksaan okuler secara lengkap.
- Pemeriksaan luar dan periokuler harus dilakukan untuk mengevaluasi tingkat
keparahan trauma
- Pemeriksaan segmen posterior mungkin sulit dilakukan karena trauma yang
terjadi dapat menghalangi pemeriksaan segmen posterior.
- Pemeriksaan harus dilakukan dengan sistematis dengan tujuan mengidentifikasi
dan melindungi mata.
- Hindari kerusakan lebih lanjut dan minimalisasi kemungkinan ekstrusi
intraokular.
- Gambarkan luas dan lokasi tempat terjadinya pembekuan
- Ukur Tekanan intraokuler (TIO)
- Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen; visus
dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.
- Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler,
glaukoma.
- Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan iridocorneal
contact, aqueous flare, dan synechia posterior.

11
- Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
- Ketajaman penglihatan dan gerakan bola mata, sangat penting untuk dinilai
 Tentukan ketajaman penglihatan seakurat mungkin pada masingmasing
mata.
 Periksakan pergerakan bola mata, bila terganggu harus dievaluasi apakah
terjadi fraktur pada lantai orbita
- Palpebra
 Palpebra dan trauma kelenjar lakrimal dapat menunjukan adanya trauma
yang dalam pada mata.
 Laserasi pada palpebra dapat menyebabkan perforasi bola mata.
- Konjungtiva
 Laserasi konjungtiva dapat terjadi pada kerusakan sklera yang serius.
 Perdarahan konjungtiva yang berat dapat mengindikasikan ruptur bola
mata.
- Kornea dan sklera
 Laserasi kornea penuh atau yang melibatkan sklera merupakan bagian dari
ruptur bola mata dan harus diperbaiki di kamar operasi. Dapat terjadi
prolapse iris pada laserasi kornea penuh.
- Pupil
 Periksa bentuk, ukuran, refleks cahaya, dan afferent pupillary defect (APD).
 Bentuk lancip, tetesan air, atau ireguler bisa terjadi pada ruptur bola mata.
 Segmen anterior
 Pada pemeriksaan dengan lampu slit, bisa ditemukan defek pada iris,
 laserasi kornea.
 Bilik mata depan dangkal dapat menjadi tanda ruptur bola mata dengan
prognosis yang buruk.
 Pada ruptur posterior dapat ditemukan bilik mata depan dalam pada ekstrusi
vitreous pada segmen posterior.
 Orbita
 Periksa adanya deformitas tulang, benda asing, dan dislokasi bola mata.

12
 Benda asing pada mata yang tertanam atau bila terjadi perforasi harus dijaga
hingga dilakukan pembedahan.
 Temuan lain
 Perdarahan viteous setelah trauma menunjukan adanya robekan retina atau
koroid, avulsi saraf optikus, atau adanya benda asing.
 Robekan retina, edema, ablasio, dan hemoragi dapat terjadi pada ruptur bola
mata.
Pemeriksaan Penunjang
 USG
Dilakukan untuk melihat apakah terdapat kerusakan pada struktur segmen posterior.
 Pemeriksaan Laboratorium
- Dilakukan untuk melihat kemungkinan penyakit sickle cell dengan cara
pemeriksaan slide darah merah, elektroforesis hemoglobin,
- fungsi pembekuan darah,
- fungsi ginjal dan hati (menunda tatalaksana obat-obatan seperti perlunya
pemberian antifibrinolitik atau tidak)
 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik tidak dilakukan secara rutin, namun CT Scan dapat
terindikasi pada kerusakan mata terbuka atau kecurigaan fraktur orbita.

8. Diagnosis Banding
Darah dapat terkumpul di bilik mata depan karena trauma trivial pada kasus -
kasus:
- Rubeosis Iridis
- Neoplasma maligna
- Xanthogranuloma juvenil
- Lensa intraokular (terutama bila bilik mata depan atau iris terfiksasi)
Sebagai tambahan, pada perdarahan spontan, kecurigaan kearah abnormalitas
faktor pembekuan darah dan trauma terbuka tersembunyi harus dipikirkan.

13
9. Tatalaksana
Terapi medis dan suportif harus diarahkan untuk:
- Menurunkan angka kejadian perdarahan ulang (rebleeding)
- Membersihkan hifema
- Memperbaiki kerusakan jaringan yang terkait
- Minimalisasi sequelae jangka panjang
Pembedahan terindikasi pada:
- Peningkatan tekanan intraokuler yang tidak respon terhadap pengobatan
- Pewarnaan kornea oleh darah
Pasien harus difollow up ketat, pasien dengan sickle cell memerlukan manajemen
yang lebih ketat dan agresif.
Rawat jalan v.s Rawat inap
Keuntungan rawat inap:
- Memudahkan pemeriksaan lanjutan (follow-up)
- Meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan
- Suasana lingkungan lebih tenang
- Deteksi komplikasi lebih dini
Panduan manajemen medis dan bedah pada hifema traumatik:

14
Terapi suportif:
- Bedrest. Kebanyakan studi tidak menemukan perbedaan hasil akhir signifikan
pada tirah baring sedang maupun tirah baring total.
- Patching/ proteksi pelindung metal. Biasanya diperlukan untuk mencegah
kerusakan mata lebih lanjut pada 5 hari pertama setelah kejadian.
- Elevasi kepala. Mempercepat sedimentasi darah sehingga memfasilitasi
pemeriksaan segmen posterior dan pemulihan fungsi penglihatan.
Terapi medis:
- Aspirin: efek antiplatelet dan pemanjangan bleeding time.
- Sikloplegik: stabilisasi barier darah-aqueous, meningkatkan kennyamanan
pasien terutama pada iritis traumatik, dan memfasilitasi evaluasi segmen
posterior. Namun atropin topikal tidak memiliki efek benefisial terhadap
rebleeding, resorpsi darah atau perbaikan penglihatan.
- Miotik: dihindari karena cendrung mengeksaserbasi inflamasi dan berakhir
pada pembentukan sinekia.
- Antifibrinolitik (c/o asam aminokaproat, asam traneksamat) berfungsi
melambatkan laju lisis bekuan.
- Fibrinolitik: TPA40 dosis 10 mg injeksi intrakamera, mungkin berperan pada
bekuan yang stagnan.
- Kortikosteroid. Topikal, untuk mencegah terjadinya iritis traumatik dan
memberi kenyamanan. Steroid sistemik kadang lebih disukai, berupa
prednison 40 mg/hari dalam dosis terbagi efektif menurunkan kejadian
rebleeding, namun efek sampingnya harus diperhatikan terutama selain pada
pasien muda dan sehat yang toleransinya baik.

Pembedahan
Dibutuhkan pada 5% kasus. Indikasi tradisionalnya berupa: peningkatan TIO
>50mmHg selama 5 hari atau >35 mmHg selama 7 hari untuk menghindari kerusakan
saraf optik, peningkatan TIO >25 mmHg selama 5 hari pada kasus hifema
total/hampir total untuk mencegah pewarnaan kornea oleh darah, atau bekuan stagnan

15
yang besar dan bertahan ≥10 hari untuk mencegah sinekia anterior perifer.
Saat ini pembedahan direkomendasi bila: TIO tidak respon terhadap terapi medis
dalam 24 jam, pasien memiliki penyakit sickle cell atau sickle trait.
Teknik yang saat ini dipakai:
- Parasentesis/ pembersihan bilik mata depan dari darah. Metode paling
sederhana dan paling aman, dapat mengevakuasi sel darah merah yang
bersirkulasi. Keuntungannya meliputi: kemudahan pengerjaan, dapat diulang-
ulang, aman bagi konjungitfa atau pembedahan filtrasi nantinya, perdarahan
intraoperatif terkontrol, penurunan TIO dengan cepat.
- Expression dan pengeluaran bekuan hifema lewat limbus. Memerlukan insisi
luas di limbus dan luka pada konjungtiva. Waktu yang ideal untuk melakukan
ekspresi limbus adalah pada hari 4-7 (saat konsolidasi dan retraksi bekuan
yang maksimal) Manipulasi cermat untuk menghindari kerusakan epitel
kornea, iris dan lensa.
- Pemotongan bimanual/ aspirasi hifema yang menggumpal menggunakan
probe vitrektomi, efektif dalam mengangkat baik gumpalan hifema dan
maupun sel darah yang tersirkulasi.
Intervensi bedah lainnya yang diperlukan termasuk:
- Iridektomi perifer dan trabekulektomi untuk glaukoma
- Iridektomi perifer dengan atau tanpa trabekulektomi untuk blok pupil.
- Siklodiatermi
- Emulsifikasi dan aspirasi ultrasonik

10. Komplikasi
 Rebleeding/perdarahan ulang.
 Glaukoma Skunder
 Siderosis Bulbi
 Kebutaan

16
11. Prognosis
Prognosis tergantung dari banyak darah yang tertimbun di COA:
 Bonam: Hifema dengan darah sedikit dan tanpa glaukoma
 Dubia: Hifema dengan glaukoma

17
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology. External Disease and Cornea. 2011. Section 8


Basic and Clinical Science Course.
Batalay AY, Ibrahim HR. Traumatic Hyphema: A Study of 40 Cases. 2008. Dobuk
Medical Journal Volume 2.
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta: FKUI Press.
Rastogi S, Garcia-Valenzuela E. Hyphema Postoperative. 2007. Di unduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1189843-overview pada tanggal 23
April 2013.
Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury: Oftalmologi Umum Edisi 17. 2009.
Jakarta: EGC.
Sheppard JD, Crouch ER, Williams PB, Crouch ER. Hyphema. 2006. Di unduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview pada tanggal 23
April 2013.
Shingleton BJ, Kuhl F. Chapter 17: Anterior chamber. In: Kuhn F, Piramici DJ.
Ocular Trauma, Principles and Practice. 2002. New York: Thieme.

18

Anda mungkin juga menyukai