Anda di halaman 1dari 9

SEBUAH UJI KLINIS ACAK MEMBANDINGKAN MIOINOSITOL

DAN METFORMIN PADA SINDROM POLIKISTIK OVARIUM

Latar Belakang : Manajemen medis PCOS cepat berubah dari kombinasi pil hormonal / progesterone
untuk siklus regularization, perawatan kosmetologis jerawat dan hirsutisme untuk manajemen obesitas
dan resistensi insulin. Penelitian ini mengevaluasi efek dari insulin sensitisers dalam meningkatkan
perubahan klinis dan hormonal pada kasus PCOS dan meningkatkan hasil reproduksi.

Metode : Studi komparatif acak prospektif 3 lengan ini dilakukan dari Agustus 2015 hingga Juli 2016
di Departemen Obstetri dan Ginekologi di SCB MCH, Cuttack dimana pasien PCOS dipelajari
berdasarkan pengobatan dengan metformin, myoinositol atau keduanya.

Hasil : Myoinositol membantu dalam kembalinya siklus mentruasi secara spontan pada 66,66% wanita
dengan Sindrom Polikistik Ovarium dengan keluhan menstruasi, sedangkan efek yang sama hanya
terjadi pada 15,78% wanita yang menggunakan metformin, dan hasil ini tidak signifikan. Penggunaan
myoinositol pada wanita infertil dengan sindrom polikistik ovarium menyebabkan terjadinya kehamilan
pada 57,14% wanita tanpa membutuhkan agen induksi ovulasi, sementara penggunaan metformin dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan pada seluruh pasien (9 orang), dengan 5 orang diantaranya
menggunakan klomifen sitrat sebagai induksi ovulasi. Dengan penggunaan myoinositol diperoleh
penurunan berat badan, indeks masa tubuh (IMT/BMI), rasio LH/FSH, jerawat dan hirsutisme.
Sedangkan penggunaan metformin hanya menyebabkan penurunan berat badan, indeks masa tubuh
(IMT/BMI) dan jerawat.

Kesimpulan : Penelitian ini membuktikan bahwa myoinositol berperan dalam mengurangi disgungsi
ovarium pada sindrom polikistik ovarium. Terdapat peningkatan yang signifikan dalam profil gejala,
penurunan berat badan dan perubahan signifikan pada parameter hormonal.

Kata kunci : Resistensi insulin, Metformin, Myoinositol

PENDAHULUAN

Sindrom polikistik ovarium adalah gangguan endokrin yang umumnya terjadi pada wanita usia
reproduktif. Konspe terbaru mendukung bahwa perubahan gaya hidup yang mendorong penurunan
berat badan yang dapat memperbaiki proses penyakit pada Sindrom Polikistik Ovarium. Pensintesis
insulin (metformin, glitazon) dan obat anti obesitas (sibutramin, orlistat, dll) telah banyak dipelajari.

Myoinositol dan berberine merupakan anggota baru dalam kelompok yang menyebabkan
sensitisasi insulin yang tergolong aman. Sementara kriteria diagnostik Sindrom Polikistik Ovarium
telah ditetapkan, terdapat obat-obatan baru yang ditujukan untuk mengoreksi abnormalitas biokimia
dan memulihkan fungsi ovarium; dibandingkan dengan penggunaan hormon tradisional untuk
penekanan ovarium dan pengaturan siklus.

Penelitian ini mengevaluasi efek dari pensintesis insulin dalam memperbaiki perubahan klinis
dan hormonal pada kasus Sindrom Polikistik Ovarium dan meningkatkan keluaran reproduktif.
Penelitian ini membandingkan efek dari metformin dan myoinositol secara tersendiri dengan kelompok
lain yang mengkonsumsi kombinasi dari kedua obat tersebut.

METODE
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 hingga bulan Juli 2016 di Departemen
Obstetri dan Ginekologi di SCB MCH, Cuttack.

Perempuan yang datang dengan siklus iregular atau oligo/amenorea, infertilitas, hirsutisme dan
jerawat berlebih dilakukan evaluasi. Diagnosa Sindrom Polikistik Ovarium ditetapkan berdasarkan
kriteria rotterdam. Seluruh pasien Sindrom Polikistik Ovarium dengan obesitas dan tidak. Pasien yang
telah mendapat diagnosa Sindrom Polikistik Ovarium dan pasien yang sedang dalam pengobatan
dibandingkan dalam penelitian ini.

Penelitian ini merupakan penelitian acak, dimana pasien dikelompokkan menjadi 3 grup yaitu
A, B dan C berdasarkan nomer yang dihasilkan komputer. Pada penelitian ini dilakukan penyetaraan
dengan hipotesis nol adalah bahwa keduanya yaitu myoinositol dan metformin sama efektifnya dalam
Sindrom Polikistik Ovarium. Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus berikut :

n=Z×(p)×(1-p)/∆2 n = jumlah sampel

Z = interval kepercayaan (CI)

∆2 = level kepercayaan

P = jumlah populasi yang menderita penyakit yang diteliti

Berdasarkan perhitungan beriku diperoleh jumlah minimal sampel sebanyak 72

Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

 Pasien dengan oligomenorhea/amenorea


 Pasien dengan polikistik ovarium pada hasil USG
 Pasien dengan atau tanpa hiperandrogenisme dan atau obesitas

Kriteria Eksklusi

 TSH, PRL, AMH abnormal


 Terdapat riwayat penyakit kronik seperti TB, penyakit tiroid, malasorbsi
 Terdapat riwayat menjalani kemoterapi atau radioterapi selama kanak-kanak

Setelah dibagi secara acak, masing-masing grup yang terdiri dari 24 pasien menjalani terapi berikut ini:

 Kelompok A : Myoinositol 1 gram/hari


 Kelompok B : Metformin 1000 mg/day
 Kelompok C : Myoinositol 1 gram/hari + Metformin

Karena terdapat pasien yang telah menjalani pengobatan dengan myoinositol atau metformin yang
disertakan dalam penelitian, terdapat sedikit perbedaan dalam jumlah pasien pada masing-masng grup
dengan grup A terdiri dari 26 pasien, grup B dengan 28 pasien dan grup C dengan 22 pasien. Namun
perbedaan ini tidak memengaruhi hasil secara signifikan.

Pemberian obat dilakukan selama 4 bulan, dan sebelumya pasien mendapatkan penjelasan
tentang cara pemakaian obat, kemungkinan efek samping yang terjadi dan bagaimana cara untuk follow
up atau kontrol.
Secara klinis, dilakukan pengukuran terhadap berat badan, tinggi badan, rasio pinggang/pinggul
dan tekanan darah serta pemeriksaan terhadap hirsutisme.

Pemeriksaan ultrasound (USG) dilakukan untuk mendiagnosa sindrom polikistik ovarium, dan
mencatat volume ovarium serta ketebalan endometrium. Pada bulan ke-3 dan ke-4 dilakukan USG pada
pertengahan siklus untuk melihat adanya ovulasi spontan.

Pada awalnya dilakukan pemeriksaan terhadap FSH, LH, TSH, PRL, gula darah puasa, kadar
insulin puasa dan profil lipid serum. Pemeriksaan FSH dan LH dilakukan pada hari ke-2 atau ke-3 sejak
terjadinya menstruasi spontan atau yang diinduksi.

Pada akhir bulan ke-4, dilakukan pemeriksaan ulang terhadap FSH, LH, FBS dan gula darah
puasa. Pada pemeriksaan di akhir bulan ke-4 ini terdapat perubahan berat badan dan raio
pinggang/pinggul yang terlihat secara klinis.

USG dilakukan pada akhir bulan ke-4 untuk melihat adanya peningkatan pada ovarium dalam
hal jumlah folikel dan volume ovarium. USG transabdominal dilakukan pada pasien muda yang belum
menikah, dan USG transvaginal dilakukan pada pasien yang mengalami infertilitas

HASIL

Pada penelitian ini sebanyak 34,2% termasuk dalam kelompok myoinositol, sebanyak 36,8% termasuk
dalam kelompok metformin dan sebanyak 28,9% termasuk dalam kelompok myoinositol+metformin.

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kategori usia antara 3 kelompok pasien (p value : 0.154),
sehingga memastikan pencocokan usia.

Pada perbandingan gejala yang dilakukan pada inisiasi pengobatan antara 3 kelompok, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada profil gejala subjek pada ketiga kelompok, yang memastikan
kecocokan yang memadai sehubungan dengan gejala (p value: 0.244)

Dari hasil perbandingan gejala hirsutisme sebelum pengobatan dimulai antara ketiga kelompok
didapatkan hasil yang signifikan secara statistik, dengan jumlah subjek yang lebih banyak pada
kelompok myoinositol+metformin (p value: 0,038). Perbandingan jerawat sebelum pengobatan antara
ketiga kelompoj menunjukkan p value sebesar 0.412 memastikan bahwa pasien cukup cocok dalam hal
ini.

Perbandingan FSH, LH, LH/FSH menunjukkan p value >0,05 pada ketiga parameter tersebut. Hal ini
memastikan kecocokan dalam pemilihan subjek sehubungan dengan tingkat hormonal. Didapatkan
mean atau rata-rata kadar insulin puasa lebih tinggi pada kelompok yang menggunakan metformin
daripada dua kelompok lainnya (18,7±7,42).

Didapatkan p value untuk FBS dan rasio FBS/insulin masing-masing sebesar 0.342 dan 0.332 antara
ketiga kelompok. Hal ini memastikan kecocokan dalam pemilihan subjek dengan memperhatikan hal
yang sama.(Tabel 1)
Tabel 1 Perbandingan volume ovarium kiri dan kanan antara ketiga kelompok

Tabel 2 Perbandingan FHS, LH dan FSH/LH dan perbandingan kadar insulin puasa, FBS dan rasio
Tabel 4FBS/insulin
Ringkasan antara
profil pasien
ketigadan antropometri
kelompok

Tabel 3 Hasil Laboratorium dan Ultrasound

Pada perbandingan volume ovarium kanan dan kiri tidak didapatkan hasil yang signifikan (Tabel 2).
Pada perbandingan profil pasien dan antropometri antara ketiga grup hanya p value kategori hirsutisme
yang signifikan secara statistik (0.038). Sedangkan untuk parameter lainnya tidak didapatkan hasil yang
signifikan (Tabel 3). Pada evaluasi hasil laboratorium dan ultrasound antara ketiga kelompok, hanya p
value untuk kategori kadar insulin puasa yang menunjukkan hasil signifikan secara statistik (Tabel 4).
Didapatkan p value <0.001 pada hasil primer dari perbaikan keluhan menstruasi, dan p value <0.001
pada kategori tingkat kehamilan yang menunjukkan hasil signifikan secara statistik (Tabel 5).

Pada kelompok yang menggunakan metformin, didapatkan p value >0.05 untuk kategori keluhan
menstruasi dan p value <0.001 untuk tingkat kehamilan (Tabel 6). Tetapi, 5 dari 9 pasien infertil ada
kelompok yang menggunakan metformin menerima klomifen sitrat yang berfungsi sebagai induksi
ovulasi.
Tabel 5 Hasil pengkuran primer pada kelompok myoinositol (n=26)

Tabel
Tabel 6 Hasil
7 Hasil pengukuran
pengukuran primer
primer pada
pada kelompok
kelompok metformin (n=28)
myoinositol+metformin

Tabel 8 Hasil pengukuran sekunder pada kelompok myoinositol

Tabel 9 Hasil pengukuran sekunder pada kelompok metformin

Tabel 10 Hasil pengukuran sekunder pada kelompok myoinositol+metformin

Pada kelompok yang menggunakan terapi kombinasi, didapatkan p value untuk perbaikan keluhan
menstruasi <0.001 dan p value untuk tingkat kehamilan <0.001, kedua hasil ini bermakna signifikan
secara statistik (Tabel 7).
Pada hasil pengukuran primer pada kelompok myoinositol, didapatkan p value yang signifikan untuk
kategori berat badan, indeks masa tubuh (IMT/BMI) dan LH/FSH. Dan tidak didapatkan efek yang
signifikan pada kategori kadar insulin puasa dan volume ovarium (Tabel 8).

Hasil pengukuran sekunder pada kelompok yang menggunakan metformin menunjukkan p value yang
signifikan untuk kategori berat badan dan indeks masa tubuh (IMT/BMI). Dan tidak terdapat perubahan
pada FH/LSH, kadar insulin puasa serta volume ovarium (Tabel 9).

Hasil pengukuran sekunder pada kelompok dengan terapi kombinasi menunjukkan perbedaan kadar
insulin puasadan berat badan yang signifikan secara statistik. Sedangkan tidak tampak adanya pengaruh
pada indeks masa tubuh (IMT/BMI), rasio LH/FSH dan volume ovarium pada kedua sisi (Tabel 10).

DISKUSI

Pada penelitian ini hasil pengukuran primer berfokus pada i) kembalinya siklus reguler spontan pada
pasien dengan oligo/amenorea dan, ii) tingkat kehamilan pada pasien infertil

Pada hasil pengukuran sekunder dilakukan perbandingan sebelum dan setelah pengobatan pada kategori
:
 Parameter klinis berupa berat badan, indeks masa tubuh (IMT/BMI), jerawat dan hirsutisme
 Parameter laboratorium berupa rasio LH/FSH, kadar gula darah puasa, gambaran ultrasound
ovarium.

Pasien dari ketiga kelompok cukup sesuai dengan usia, gejala dan keluhan jerawat. Seluruh pasien dari
ketiga kelompok ini juga cocok dalam penilaian antropometrik berat badan, tinggi badan, indeks massa
tubuh (IMT/BMI) dan rasio pinggang/pinngul. Selain itu juga terdapat kecocokan pada rasio FSH awal,
LH, rasio LH/FSH, dan kadar gula darah puasa dan volume ovarium.

Satu-satunya parameter klinis yang terdapat disparitas adalah hirsutisme yang terdapat lebih tinggi pada
kelompok C. Dan parameter laboratorium dimana terdapat disparitas/kesenjangan dalam kecocokan
kadar insulin puasa antara ketiga kelompok. Didapatkan rata-rata kadar insulin puasa yang lebih tinggi
pada kelompok B daripada 2 kelompok lain. Namun hasil ini tidak menyebabkan perbedaan dalam
perbandingan akhir karena kadar insulin puasa bukan salah satu hasil utama/primer.

Pada kelompok A (n=26) yang diterapi dengan myoinositol 1 gram/hari, diperoleh sebanyak 66.66% (p
<0.001) pasien yang mengalami perbaikan dari keluhan menstruasi nya dan sebanyak 57.14%
(p<.0.001) pasien infertil yang mengalami kehamilan.

Selanjutnya pada kelompok A, diperoleh penurunan yang signifikan pada berat badan, indeks massa
tubuh (IMT/BMI), rasio LH/FSH, hirsutisme dan jerawat pada pasien yang menjalankan terapi. Dan
tidak didapatkan perubahan pada kadar insulin puasa dan volume ovarium.

Pada kelompok B (n=28) yang diterapi dengan 1 gram metformin per hari, hanya sebanyak 15.78%
(p>0.05) pasien dengan keluhan menstruasi yang mengalami perbaikan, sedangkan semua pasien
dengan gangguan infertil dilaporkan mengalami kehamilan (p<0.001). Tetapi, 5 dari 9 pasien
menggunana klomifen sitrat sebagai induksi ovulasi. Faktor inilah yang membingungkan interpretasi
dari hasil tersebut.
Terdapat penurunan yang signifikan pada berat badan, kadar insulin puasa dan jerawat. Dan tidak
terdapat perubahan pada hirsutisme dan volume ovarium. Serta tidak terdapat pasien yang melaporkan
adanya efek samping mayor dari ketiga kelompok terapi.

Tidak terdapat pasien yang membutuhkan penghentian obat yang disebabkan oleh efek samping yang
tak tertahankan. Biaya perawatan menjadi salah satu kekhawatiran bagi beberapa pasien pada kelompok
A (myoinositol) dan kelompok C (myoinositol+metformin). Keluhan yang dilaporkan oleh 4 pasien
dari kelompok pengguna metformin berupa rasa mual yang dapat diatasi dengan menyarankan pasien
untuk menonsumsi obat dengan makanan. Terdapat 5 pasien dari kelompok pengguna myoinositol yang
melaporkan rasa tidak enak dari bentuk bubuk obat ketika dilarutkan dalam air dan diminum. Kepada
5 pasien tersebut disarankan mengonsumsi obat dalam bentuk tablet.

Penggunaan kombinasi myoinositol dan metformin menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap
gejala-gejala Sindrom Polikistik Ovarium pada penelitian ini, yang mencerminkan bahwa obat-obat ini
menyebabkan perubahan patogenesis. Penggunaan obat secara tunggal ataupun kombinasi pada
penelitian ini menunjukkan penurunan berat badan yang signifikan. Dan sejak saat itu faktor gaya hidup
telah terlibat dalam sindrom polikistik ovarium dan penurunan berat badan telah sangat ditekankan
dalam manajemennya.

Penggunaan myoinositol secara teratur membantu kembalinya siklus menstruasi sponta pada 66,66%
wanita dengan sindroma polikistik ovarium dengan keluhan menstruasi, efek yang sama hanya
ditemukan sebanyak 15,78% pada pengguna metformin, yang tidak signifikan. Penggunaan myoinositol
pada wanita yang infertil dengan sindroma polikistik ovarium menghasilkan kehamilan pada 57.14%
wanita tanpa memerlukan agen induksi ovulasi. Peran myoinositol dama meningkatkan kualitas oosi
tidak dapat dilupakan, fakta ini telah terbukti dalam berbagai penelitian.

Selain itu, risiko yang tidak jaang dari sindrom hiperstimulasi ovarium (OHSS) dan kehamilan ganda
juga tidak ditemukan ketika agen induksi ovulasi tidak digunakan pada sindroma polikistik ovarium.
Penggunaan metformin pada wanita dengan sindroma polikistik ovarium yang infertil pada studi ini
memberikan kehamilan pada kesembilan pasien, namun 5 diantaranya membutuhkan klomifen sitrat
untuk induksi ovulasi. Oleh karena itu, tingkat kehamilan aktual pada kelompok pengguna metformin
saja tidak dapat diniliai, karena klomifen dapat menjadi faktor pengganggu.

Berkaitan dengan hasil pengukuran sekunder, myoinositol telah menyebabkan penurunan yang
signifikan pada lebih banyak parameter daripada metformin. Dengan penggunaan myoinositol
didapatan penurunan berat badan, indeks massa tubuh (IMT/BMI), rasio LH/FSH, jerawat dan
hirsutisme. Sedangkan metformin hanya menghasilkan penurunan berat badan, indeks massa tubuh
(IMT/BMI) dan jerawat saja. Temuan ini mungkin mendukung hipotesis bahwa myoinositol bekerja
pada tingkat ovarium dan membawa perubahan pada hormonal mileu, menurunkan rasio LH/FSH dan
karenanya meningkatkan kualitas oocyte.

Temuan yang telah disebutkan di atas menunjukkan respon yang lebih baik dari wanita dengan
sindroma polikistik ovarium terhadap myoinositol dibandingkan dengan metformin. Tetapi penelitian
dengan ukuran sampel yang lebih besar dan tindak lanjut yang lebih panjang diperlukan untuk
menetapkan hasil yang akurat.
Ketika digunakan dalam infertilitas, rasio optimum dari myoinositol dan D-chiro-inositol sebanyak 40:1
telah direkomendasikan oleh berbagai penelitian terbaru yang dikatakan dapat meningkatkan kualitas
oocyte.

KESIMPULAN

Penelitian ini membuktikan bahwa myoinositol memiliki peran definitif dalam mengurangi disfungsi
ovarium pada sindroma polikistik ovarium. Terdapat peningkatan yang signifikan pada profil gejala,
penurunan berat badan dan perubahan signifikan pada parameter hormonal.

Pada kelompok kombinasi, hasil yang diperoleh mirip dengan kelompok pengguna myoinositol saja.
Dan jika dibandingkan dengan hasil dari pengguna metformin saja, hasil yang diperoleh pada kelompok
kombinasi terlihat seperti disebabkan oleh komponen myoinositol. Hasil yang adil dengan dosis 1 gram
per har. Tidak ada efek samping yang dilaporkan pasien pada penelitian ini.

Myoinositol dapat diuji coba sebagai agen induksi ovulasi pada pasien sindroma polikistik ovarium
yang infertil. Myoinositol meningkatkan perkembangan monofolikular. Ini menghalangi risiko sindrom
hiperstimulasi ovarium (OHSS) dan kehamilan ganda yang dapat terjadi pada penggunaan klomifen,
gonadotropin.
JOURNAL READING

A RANDOMISED CLINICAL TRIAL COMPARING MYOINOSITOL AND


METFORMIN IN POLYCYSTIC OVARIAN SYNDROME (PCOS)

Pembimbing :

dr. Hera Hermawan , Sp.OG

Disusun Oleh :

Farkhan Reza S (2014730029)

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI & GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJUR

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2018

Anda mungkin juga menyukai