Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

UNDANG – UNDANG KESEHATAN

DISUSUN OLEH :
1. Venesya Airriazha L (20144184A)
2. Masyitah Novia Y (20144192A)
3. Rostika I.M (20144203A)
4. Willy Dezizqi B.S (20144229A)

S1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SETIA BUDI

SURAKARTA

2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Industri farmasi merupakan segmen vital pelayanan kesehatan yang melakukan
penelitian, produksi dan pemasaran obat-obatan dan produk biologi dan perangkat obat
yang digunakan untuk diagnosis dan pengobatan penyakit. Kualitas obat yang rendah
bukan hanya membahayakan kesehatan, tetapi juga merupakan pemborosan biaya bagi
industri farmasi maupun konsumen. Oleh karena itu, pemeliharaan kualitas obat dengan
perbaikan terus-menerus (continous improvement) sangat penting di dalam industri
farmasi (Mazumder et al, 2011).
Sediaan obat tidak hanya ditentukan oleh pengawasan kualitas terhadap produk
jadi, tetapi meliputi pengawasan menyeluruh mulai dari pemilihan bahan baku, proses
pembuatan sampai pada produk akhir yang siap diedarkan. Perlindungan masyarakat
terhadap efek negatif penggunaan obat yang tidak memenuhi persyaratan kualitas
memerlukan standar proses pembuatan agar diperoleh produk yang memenuhi syarat
kualitas konsisten dari bets ke bets melalui penerapan Cara Pembuatan Obat yang baik
(CPOB). Produk obat yang berkualitas reproduksibilitasnya terjamin dari batch ke batch
(Soebagyo, 2001).
Tahap produksi merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas suatu
produk obat dan biasanya timbul ketidaksesuaian terhadap spesifikasi. Output proses
produksi yang dihasilkan selalu berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh variabilitas-
variabilitas yang terjadi dalam proses produksi. Variabilitas merupakan perubahan-
perubahan atau perbedaan yang sumbernya berasal dari komponen-komponen penyusun
produksi antara lain sumber daya manusia, mesin, bahan baku, metode, pengukuran, dan
kondisi lingkungan, (McClave dkk., 2011).
Proses produksi yang memiliki variasi dalam operasinya akan menghasilkan
produk yang kualitasnya tidak konsisten dalam memenuhi spesifikasi produk yang telah
ditetapkan. Jenis variasi dalam proses produksi dikelompokkan menjadi dua yaitu variasi
alamiah (natural variation) dan variasi buatan (assignable variation) (Reid, 2005). Variasi
alamiah disebut juga sebab-sebab umum merupakan variasi yang tidak dapat dihilangkan
meskipun suatu produk dan proses produksinya didesain dan dipelihara sebaik apapun
(Montgomery, 2009).
Variasi buatan disebut juga sebab-sebab khusus adalah sumber variasi dalam
sebuah proses yang seharusnya dapat ditelusuri penyebabnya dan dihilangkan agar tidak
mengganggu kualitas produk yang dihasilkan. Variasi ini mengakibatkan suatu proses
berjalan diluar kendali dan berakibat buruk pada kualitas produk (Heizer dan Render,
2006).
Produk harus diproduksi pada proses yang stabil atau dapat diulang agar produk
yang dihasilkan kualitasnya konsisten dan memenuhi spesifikasi karakteristik kualitas
yang ditetapkan (Montgomery, 2009). Semua proses selalu ada variasi alamiah maupun
variasi buatan padahal variasi dalam proses produksi mengakibatkan cacat kualitas dan
produk yang dihasilkan kualitasnya tidak konsisten. Cacat kualitas dapat diminimalkan
dengan cara dilakukan pengawasan kualitas produk yang sedang diproduksi untuk
membangun kualitas ke dalam produk sehingga kualitas produk tidak hanya diperoleh
melalui pengujian terhadap produk akhir, melainkan menanamkan kualitas dalam setiap
proses.
Semakin meningkatnya tuntutan terhadap jaminan khasiat, keamanan, dan kualitas
obat, maka konsep pengawasan mutu yang saat ini masih banyak digunakan di indutri
farmasi yaitu konsep defect detection yaitu bagaimana suatu sistem pengawasan tersebut
dapat mendeteksi kesalahan yang sudah terjadi menjadi sangat tidak memadai lagi di
tengah arus globalisasi. Jaminan terhadap khasiat, kemananan, dan mutu produk industri
farmasi hanya bisa dilakukan jika terdapat sistem yang secara proaktif mencegah sebelum
terjadinya kesalahan atau penyimpangan dalam proses pembuatan obat (Priyambodo,
2007).
Agar proses produksi obat berada dalam rentang kendali kualitas yang ditetapkan,
dibutuhkan metode yang dapat memberikan informasi kinerja sebuah proses bahwa proses
berjalan dengan baik dan terkendali. Metode yang dapat digunakan adalah Statistical
Process Control (SPC) (Reid, 2005).
Statistical Process Control (SPC) merupakan teknik statistik dalam pengendalian
proses yang menunjukkan prosedur dalam mengawasi, mengontrol, menganalisis
mempertahankan, dan memperbaiki standar kualitas proses produksi (Deros dkk., 2010).
Sebuah proses dikatakan terkendali secara statistik bila sumber variasi hanya berasal dari
variasi alamiah atau sebab-sebab umum. Statistical Process Control (SPC) dapat
membedakan variasi alamiah dan variasi buatan, dengan demikian akan memberikan
peringatan secara statistik bila terdapat penyebab variasi buatan (sebab-sebab khusus)
sehingga SPC dapat dijadikan alat untuk mempercepat pengambilan keputusan untuk
mengambil tindakan dalam menghilangkan penyebab timbulnya variasi buatan (Heizer dan
Render, 2006).
Statistical Process Control (SPC) menggunakan alat bagan kendali (control chart)
yang menggambarkan apakah output suatu proses berada dalam rentang variasi alamiah.
Aplikasi SPC dapat dilakukan untuk mengevaluasi proses selama periode tertentu (annual
review) terkait dengan adanya permasalahan pada output produk. Statistical Process
Control (SPC) dapat membantu dalam mengidentifikasi variasi dalam proses untuk dapat
dikurangi sehingga dapat memperbaiki yield. Statistical Process Control (SPC) merupakan
metode yang efektif untuk memperbaiki yield produk, yaitu melalui analisis variasi
karakteristik kualitas pada sebuah proses dan menggunakan hasil analisis tersebut untuk
melakukan perubahan pada proses produksi. Sehingga diperlukan tindakan pengumpulan
data terkait karakteristik kualitas produk, untuk mengetahui bukan hanya proses tersebut
menghasilkan produk yang dapat memenuhi spesifikasi atau dapat diterima (acceptable
product) tetapi proses tersebut dapat diprediksi (predictable) atau tidak dapat diprediksi
(not predictable).
Proses yang predictable berarti proses tersebut secara statistik terkendali dan proses
not predictable berarti proses tersebut secara statistik tidak terkendali. Proses yang
terkendali belum tentu berarti bahwa proses tersebut menghasilkan produk yang memenuhi
spesifikasi kualitas yang ditetapkan, maka perlu menentukan seberapa kemampuan proses
tersebut memenuhi spesifikasi. Berdasarkan hasil metode SPC dengan menggunakan alat
bagan kendali ini, perusahaan dapat melakukan upaya perbaikan berkesinambungan
(continous improvement).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih adanya kesalahan produksi
yang terjadi di bidang industri farmasi. Maka permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah tentang permasalahan kesalahan produksi yang terjadi di bidang
industri farmasi.

C. Tujuan
1. Menjelaskan indikasi obat buvanest
2. Menjelaskan indikasi obat asam traksenamat
3. Menjelaskan ketentuan cpob,dan kasus
BAB II
PEMBAHASAN
1. Buvanest Spinal
Obat injeksi Buvanest mengandung Bupivacaine. Obat injeksi untuk anestesi atau
pembiusan lokal ini diindikasikan untuk anestesi Spinal atau penyuntikan tulang belakang.
Obat anestesi ini biasanya digunakan untuk tindakan bedah urologi, saluran cerna, operasi
kandungan atau anggota gerak bagian bawah.
Bupivacaine diindikasikan untuk infiltrasi lokal, saraf perifer blok, blok saraf
simpatis, dan epidural dan blok ekor. Hal ini kadang-kadang digunakan dalam kombinasi
dengan epinefrin untuk mencegah penyerapan sistemik dan memperpanjang durasi kerja.
Formulasi obat ini digunakan untuk blok retrobulbar. Hal yang paling umum digunakan
dalam anestesi lokal anestesi epidural selama persalinan, serta dalam manajemen nyeri
pasca operasi.
Bupivacaine mengikat bagian intraseluler pada voltage-gated sodium channels dan
blok natrium pada area masuknya dalam sel-sel saraf, yang berfungsi mencegah
depolarisasi. Tanpa depolarisasi, ada inisiasi atau konduksi sinyal nyeri dapat terjadi.
Dalam kajian farmakokinetik tingkat penyerapan sistemik bupivacaine tergantung pada
dosis dan konsentrasi obat yang diberikan, cara pemberian, vaskularisasi dari situs
administrasi, dan ada tidaknya epinefrin dalam persiapan.
Seperti lidokain, bupivakain adalah anestesi amino-amida; kepala aromatik dan
rantai hidrokarbon dihubungkan oleh ikatan amida daripada ester seperti dalam anestesi
lokal sebelumnya. Akibatnya, anestesi amino-amida lebih stabil dan cenderung tidak
menyebabkan reaksi alergi. Tidak seperti lidocaine, bagian amino terminal bupivakain
(Buvanest, mepivacaine, ropivacaine, dan levobupivacaine) yang terkandung dalam cincin
piperidin. Obat ini dikenal sebagai xylidines pipecholyl.
Bupivacaine merupakan kontraindikasi pada pasien dengan reaksi hipersensitivitas
dikenal untuk bupivacaine atau anestesi amino-amida. Hal ini juga kontraindikasi pada
blok paraservikal kandungan dan intravena anestesi regional (Bier block) karena potensi
risiko kegagalan tourniquet dan penyerapan sistemik obat dan serangan jantung.
Kandungan bupicacaine 0,75% merupakan kontraindikasi pada anestesi epidural selama
persalinan pada kasus serangan jantung refrakter.
Dibandingkan dengan anestesi lokal lainnya, bupivakain lebih beresiko menganggu
jantung atau bersifat cardiotoksik. Namun, reaksi obat yang merugikan (ADR: adverse
drug reactions ) jarang terjadi bila diberikan dengan benar. Kebanyakan ADR disebabkan
oleh penyerapan dipercepat dari tempat suntikan, suntikan intravaskular yang tidak
disengaja, atau degradasi metabolik yang lambat. Penggunaan obat ini jarang
mengakibatkan reaksi alergi.
Dampak efek samping biasanya disebabkan karena penyerapan sistemik bupivacaine
terutama melibatkan sistem saraf pusat (SSP) dan sistem kardiovaskular. Efek CNS
biasanya terjadi pada konsentrasi plasma darah. Awalnya, jalur penghambatan kortikal
secara selektif menghambat, menyebabkan gejala eksitasi saraf. Pada konsentrasi plasma
yang lebih tinggi, baik jalur penghambatan dan rangsang terhambat, menyebabkan depresi
SSP dan berpotensi koma. Konsentrasi plasma yang lebih tinggi juga menyebabkan efek
kardiovaskular, meskipun kolaps kardiovaskular juga dapat terjadi dengan konsentrasi
rendah. Efek buruk SSP dapat menunjukkan cardiotoksisitas yang akan datang dan harus
dipantau secara seksama.
 Dampak
 Susunan Saraf Pusat: mati rasa sekitar mulut, kesemutan wajah, vertigo, tinnitus,
gelisah, cemas, pusing, kejang, koma
 Kardiovaskular: hipotensi, aritmia, bradikardi, blok jantung, serangan jantung
 Keracunan juga bisa terjadi dalam pengaturan injeksi subarachnoid selama anestesi
spinal yang tinggi. Efek ini meliputi: parestesia, kelumpuhan, apnea, hipoventilasi,
inkontinensia tinja, dan inkontinensia urin. Selain itu, bupivakain dapat
menyebabkan chondrolysis setelah infus kontinu ke dalam ruang sendi.
 Bupivacaine telah menyebabkan beberapa kematian ketika anestesi epidural ketika
diberikan secara intravena dengan sengaja.
 Pengobatan overdosis. Pada pengalaman klinis dengan bukti hewan menunjukkan
intralipid, emulsi lipid intravena, dapat efektif dalam mengobati cardiotoxicity
parah sekunder overdosis anestesi lokal, dan laporan kasus manusia penggunaan
sukses dengan cara ini. Rencana untuk mempublikasikan perawatan ini secara
lebih luas telah dipublikasikan.
 Kehamilan dan menyusui Bupivacaine dapat melalui plasenta dan merupakan
obat kategori C kehamilan. Namun, telah disetujui untuk digunakan pada istilah
dalam anestesi kandungan. Bupivacaine diekskresikan dalam ASI. Risiko
menghentikan menyusui dibandingkan menghentikan bupivacaine harus
didiskusikan dengan pasien.

2. Asam traneksamat
Asam traneksamat merupakan inhibitor fibrinolitik sintetik bentuk trans dari asam
karboksilat sikloheksana aminometil. Secara in vitro, asam traneksamat 10 kali lebih poten
dari asam aminokaproat. Asam traneksamat merupakan competitive inhibitor dari aktivator
plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan menghancurkan
fibrinogen, fibrin dari faktor pembekuan darah lain, oleh karena itu asam traneksamat dapat
digunakan untuk membantu mengatasi perdarahan akibat fibrinolisis yang berlebihan.
Indikasi obat ini digunakan sebagai fibrinolisis pada menoragia, epistaksis,
traumatic hyphaemia, neoplasma tertentu, komplikasi pada persalinan (obstetric
complications) dan berbagai prosedur operasi termasuk operasi kandung kemih,
prostatektomi atau konisasi serviks. Hemofilia pada pencabutan gigi dan profilaksis pada
angioedema herediter. Obat ini dalam anjuran pemakaian hanya diberikan pemberian
penyuntuikan intravena bukan intra lumbal.
 Persyratan registrasi
Registrasi obat adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapatkan izin
Edar. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau
penyerahan obat, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, atau
pemindahtanganan. lzin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat untuk dapat
diedarkan di wilayah lndonesia.
Obat yang memiliki izin edar harus memenuhi kriteria berikut:
a. Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui percobaan
hewan dan uji klinis atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu
pengetahuan yang bersangkutan. Obat untuk uji klinik harus dapat dibuktikan bahwa
obat tersebut aman penggunaannya pada manusia. Ketentuan lebih lanjut tentang
pelaksanaan uji klinik ditetapkan oleh Kepala Badan.
b. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara Pembuatan
Obat Yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian terhadap semua bahan yang
digunakan serta produk jadi dengan bukti yang sahih
c. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin
penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman;
d. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.
e. Kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan
kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat yang telah
disetujui beredar di Indonesia untuk indikasi yang diklaim.
f. Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya yang akan
ditentukan kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia.

BAB III
PEMBAHASAN
1. Ilustrasi Kasus
Dua orang pasien RS Siloam Karawaci meninggal dunia setelah mendapat injeksi
obat bius yang salah. Dua pasien itu diinjeksi Buvanest Spinal 0,5 persen produksi Kalbe
Farma, untuk kepentingan tindakan operasi. Injeksi diberikan di bagian punggung sebelum
operasi dilakukan. Setelah operasi selesai, pasien tiba-tiba saja kejang dan gatal-gatal.
Sempat dimasukkan ke ruangan ICU, pasien akhirnya mengembuskan napas terakhir . Dua
pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang, meninggal dunia setelah pemberian
obat anastesi Buvanest Spinal. Obat produksi PT Kalbe Farma ini diduga bukan berisi
bupivacaine atau untuk pembiusan, melainkan asam traneksamat yang bekerja untuk
mengurangi pendarahan. Kasus ini terjadi terhadap pasien yang melakukan operasi caesar
dan urologi. Kedua pasien meninggal dalam waktu berdekatan pada tanggal 12 Februari
2015. Sementara itu, pasien lainnya tidak mengalami masalah. Pasien mengalami gatal-
gatal, sampai kejang, kemudian meninggal.

2. pembahasan kasus
Tertukarnya obat anestesi Buvanest Spinal dengan asam traneksamat antara lain
disebabkan karena kedua obat tersebut memiliki amplop yang sangat mirip. Obat produksi
PT Kalbe Farma tersebut kami anggap telah melanggar persyaratan registrasi obat aturan
dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kedua obat tersebut memiliki catch
cover atau amplop yang sama, yakni pembungkus obat yang hanya berwarna putih dan
terdapat gambar heksagonal. Pembeda keduanya hanya berasal dari label yang ditempel
pada ampul. pada catch cover atau amplop Buvanest dan Asam Traneksamat tidak
mencantumkan Informasi Minimal. Informasi minimal ini secara umum terdiri dari nama
obat, besar kemasan, nama bahan-bahan, nama produsen, nomor izin edar, tanggal
produksi, dan batas kadaluarsa. Pada bungkusnya (Buvanest) hanya ada tutup warna putih
dan gambar heksagonal, yang katanya tertukar dengan Asam Traneksamat di sini juga
hanya tertera labelnya, tapi catch cover-nya hanya dasar putih dengan gambar heksagonal.
Sama persis bila dibandingkan. Ini tidak ada bedanya. Ini jelas melanggar peraturan,
harusnya ada semua (informasi minimal obat), Bila diamati, ampul Buvanest dan Asam
Traneksamat sama. Keduanya merupakan botol bening dan isinya bisa terlihat jelas. Tetapi
pada label kedua obat, baru tertera lengkap infomasi minimal termasuk komposisi, nomor
registrasi, tanggal produksi, dan nama produsen. Sementara itu tidak ditemui keterangan
apapun dari catch cover Buvanest dan Asam Traneksamat. Harusnya secara Peraturan
Perundang-Undangan, tidak hanya izin peredaran Buvanest yang ditarik, tetapi juga
dicabut CPOB-nya baik untuk produksi obat ampul di PT Kalbe Farma.
Menurut UU Republik Inonesia No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan , PT kalbe
Farma juga telah melanggar dari ketentuan yang tertera pada UU tersebut sehingga perlu
diberi sanksi dari pemerintah atas kelalaian tersebut. Pada kasus diatas, BPOM
mengeluarkan surat pembatalan izin edar obat anestesi pada 2 Maret 2015 dan sudah
dikirimkan ke pihak Kalbe Farma. PT Kalbe Farma sendiri sudah menghentikan proses
produksi dan peredaran Buvanest Spinal sejak kasus dua pasien meninggal di RS Siloam
Lippo Village.

BAB IV
KESIMPULAN
Tertukarnya obat anestesi Buvanest Spinal dengan asam traneksamat di Rumah Sakit
Siloam Lippo Village ini dapat ditarik kesimpulan bahwa PT. Kalbe farma melanggar persyaratan
registrasi obat aturan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bahwa obat harus
mencantumkan Informasi minimal ini secara umum yang terdiri dari nama obat, besar
kemasan, nama bahan-bahan, nama produsen, nomor izin edar, tanggal produksi, dan batas
kadaluarsa. PT.Kalbe Farma juga telah melanggar UU Republik Inonesia No. 8 tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian seharusnya secara Peraturan Perundang-
Undangan, tidak hanya izin peredaran Buvanest yang ditarik, tetapi juga dicabut CPOB
dari PT. Kalbe farma untuk produksi obat ampul di PT Kalbe Farma.

Daftar Pustaka
1. undang undang republik Indonesia No 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen
2. “bupivacaine hydrochloride (Bupivacaine Hydrochloride) injection, solution”. FDA
3. Bupivacaine Effectiveness and Safety in SABER Trial (BESST);
http://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT01052012 ClinicalTrials.gov Disuting Februari 29, 2012.

Anda mungkin juga menyukai