BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
proses belajar mengajar. Kedua hal ini merupakan satu keutuhan, dimana orientasi
utama perubahan manajemen sekolah ditujukan untuk kepentingan peningkatan
kualitas belajar mengajar (Satori, 2005:2). Manajemen berbasis sekolah menurut
pandangan Eric Digest (1995) merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan
pengelolaan sekolah dalam satu keutuhan entitas sistem yang di dalamnya
terkandung adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk
membuat keputusan. Sekolah sebagai suatu institusi sosial, kewenangan
pengambilan keputusan hendaknya dilihat dalam perspektif peran sekolah yang
sesungguhnya, yaitu melayani anak didik agar mereka memperoleh layanan belajar
sebaik-baiknya. Gagasan penggunaan model MBS sering dipertimbangkan sebagai
upaya memposisikan kembali peran sekolah yang sesungguhnya (back to basic),
yaitu peran sekolah untuk memberikan pelayanan primanya (business core) dalam
penyelenggaraan belajar mengajar. Dalam memenuhi layanan belajar yang
memuaskan, aspirasi masyarakat melalui suatu wadah seperti komite sekolah
diakomodasikan dalam berbagai kepentingan yang ditujukan pada peningkatan
kinerja sekolah, antara lain direfleksikan pada rumusan visi, misi, tujuan, dan
program-program prioritas sekolah.
Dapat ditegaskan bahwa model manajemen berbasis sekolah memiliki potensi
yang besar dalam menciptakan kepala sekolah dan wakil kepala sekolah sebagai
pimpinan di sekolah, guru mata pelajaran sebagai pengelola pembelajaran, tenaga
kependidikan sebagai pelayan teknis pendidikan, konselor membantu meningkatkan
kualitas belajar, personal tata usaha yang memberikan pelayanan ketatausahaan,
dan personal sekolah lainnya yang terkait dengan sistem pendidikan di sekolah akan
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya lebih profesional. Keberhasilan dalam
mencapai kinerja unggul dan profesional akan sangat ditentukan oleh faktor
informasi, pengetahuan, keterampilan, dan insentif yang berorientasi pada mutu,
efisiensi, kemandirian, dan otonomi sekolah melakukan inovasi dan
mengembangkan kreativitas untuk memajukan mutu sekolah.
Kemandirian dan otonomi sekolah menggambarkan bahwa sekolah mempunyai
kendali dan akuntabilitas terhadap lingkungannya serta mengatur rumah tangganya
sendiri. Desentralisasi sistem pendidikan, seperti kebijakan resmi di banyak negara
telah membangkitkan minat yang meningkat terhadap akuntabilitas, responsibilitas,
dan peningkatan diri sekolah. Perkembangan ilmiah menurut Scheerens (2003:112)
mengimbangi kecenderungan ini, pada satu sisi melalui perluasan metodologi
evaluasi pendidikan, dan pada sisi lain melalui konseptualisasi dan penelitian
efektifitas sekolah dalam peningkatan mutu sekolah. Scheerens selanjutnya
mengemukakan evaluasi diri sekolah berkenaan dengan jenis evaluasi pendidikan di
6
tingkat sekolah yang diprakarsai dan setidaknya sebagiannya di kontrol oleh sekolah.
Ada empat kategori utama aktor evaluasi sekolah: (1) kontraktor atau pengguna
meski bukan satu-satunya kategori pengguna, pemberi dana dan pemrakarsa
evaluasi; (2) staf (personal) yang melakukan evaluasi; (3) individu-individu dalam
situasi obyek, yang memberikan data; (4) klien atau pengguna atau audiens hasil
evaluasi. Evaluasi diri sekolah (school self evaluations) adalah jenis evaluasi sekolah
internal dimana kaum profesional yang bertanggungjawab atas program atau
pelayanan inti organisasi sekolah melakukan evaluasi terhadap organisasi mereka
sendiri.
Implementasi evaluasi diri dalam melaksanakan strategi penerapan program
sekolah menggunakan model MBS pihak yang terkait di sekolah yaitu perorangan,
kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, pegawai, dan kondisi sekolah bertitik
tolak pada tujuan, penguasaan keterampilan, sikap dan konsep diri, kebiasaan, hasil,
dan proses. Evaluasi sekolah analog dengan laporan diri (self report) mengacu pada
produk yang dihasilkan oleh teknik pengukuran apa saja yaitu individu diinstruksikan
berperan baik sebagai penilai maupun pengamat sebagai obyek penilaian atau
pengamatan. Oleh karena itu program sekolah dengan menggunakan model MBS
merupakan menu bagi profesional yang membuka ruang kreativitas, inovasi,
penggunaan strategi, evaluasi diri dan mutu bukan untuk para birokrat yang sarat
dengan model petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis).
Pengelolaan sekolah menggunakan model MBS dengan prinsip profesionalisme dan
otonomi pengelolaan dapat meningkatkan mutu pendidikan berbasis sekolah
(PMPBS) dan merespon inovasi dalam konteks profesional menggiring pada berpikir
analisis kritis yang konstektual, serta mengembangkan budaya berpikir analisis dan
budaya mutu.
Uraian di atas menegaskan bahwa konsep manajemen berbasis sekolah adalah
gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah dalam satu
keutuhan entitas sistem untuk membuat keputusan. Sekolah sebagai institusi sosial
memiliki kewenangan pengambilan keputusan dalam perspektif peran sekolah yang
sesungguhnya, dengan memposisikan peran sekolah yang sesungguhnya.
Bentuknya mengakomodasi aspirasi berbagai pihak yang berkepentingan
direfleksikan dalam rumusan visi, misi, tujuan, program prioritas, sasaran-sasaran
yang akan dicapai, sarana dan prasarana, mutu sumber daya manusia, dukungan
biaya bagi pengembangan sekolah, dan dukungan stakeholder. Realisasi gagasan
penerapan model MBS akan melahirkan sikap kepemilikan (ownership) para
stakeholder terhadap sekolah. Sikap kepemilikan ini akan mendukung
pengembangan keunggulan kompetitif dan komparatif masing-masing di sekolah.
7
daerah yaitu sekolah itu berada masih memegang kekuasaan tertinggi dalam
menentukan kebijakan makro daerah khususnya berkaitan dengan sumber-
sumber dana dan fungsi implementasi kebijakan lainnya.
Konsep otonomi sekolah merupakan tindakan dentralisasi yang dilakukan
oleh lembaga tinggi (pemerintah) sampai ke tingkat sekolah (guru kelas) yang
menuntut kesiapan pengelola berbagai level untuk melakukan peran sesuai
dengan kewajiban, kewenangan, dan tanggung jawabnya. Otonomi sekolah
dilaksanakan dalam konteks manajemen berbasis sekolah (School Based
Management) dengan mengikutsertakan masyarakat bertanggungjawab atas
kelancaran pengelolaan sekolah. Sedangkan SDM yang menjadi output
pendidikan adalah semua lulusan persekolahan pada semua jenjang dan jenis
sekolah. Keefektifan MBS akan terwujud jika pengelola pendidikan mampu
memberdayakan sumber daya sekolah dan stakeholders dalam menentukan
kebijakan, pengadministrasian, dan inovasi kurikulum yang dilakukan sekolah.
Otonomi manajemen sekolah dan desentralisasi fungsi manajemen sekolah
dapat digambarkan sebagai berikut:
sebagai upaya memberi pelayanan belajar yang bermutu serta kesamaan dalam
pencapaian tujuan sekolah. Kewenangan Kepala Sekolah yang proporsional
dipandang memiliki efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan seperti
1) kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada
layanan belajar peserta didik, kepuasan orang tua peserta didik, dan kinerja guru
yang lebih profesional; 2) memanfaatkan sumber daya sekolah dan lokal secara
optimal; 3) melakukan pembinaan peserta didik yang efektif seperti kehadiran, hasil
belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah;
dan 4) adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan
guru, manajemen sekolah, rancang ulang program sekolah, dan perubahan
perencanaan.
Esensi pengembangan manajemen berbasis Sekolah menurut Sizer (1992)
pembinaan intelektual pemikiran para peserta didik, tujuan umum dan khusus
pembelajaran kaitannya dengan pembinaan keterampilan peserta didik dan
pengetahuan khusus, hubungan khusus antar peserta didik dan guru, pandangan
peserta didik dalam menerima berbagai informasi, eksibisi para peserta didik dari
skill dan pengetahuan yang telah diperoleh, sikap yang santun penuh kepercayaan
(confident), sifat yang generalis tidak sempit atau picik dan mempunyai kemampuan
spesialis yaitu mendalami ilmu pengetahuan tertentu secara lebih khusus, dan biaya
yang dibutuhkan untuk pengembangan sekolah (Wahlstetter dan Smyer, 1994).
Kualitas pengelolaan sekolah bukan saja pada tertib administrasi, melainkan pada
jaminan adanya kreativitas dan inovatif dari setiap guru dan peserta didiknya. Tertib
administrasi selalu dipandang dari sudut ketatalaksanaan atau tata usaha. Jika dilihat
dari ketatalaksanaan Hal ini dapat dikerjakan oleh siapa saja meskipun
berpendidikan lulusan sekolah menengah atau sarjana berbagai bidang ilmu setelah
mendapat penjelasan seperlunya.
Dilihat dari sudut penerapan fungsi-fungsi administrasi dan manajemen
pendidikan yang berkaitan dengan kebijakan dan keputusan yang dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran, maka hal ini tentu menjadi tanggung jawab
mereka yang berlatar belakang kependidikan. Keefektifan MBS akan terwujud jika
pengelola pendidikan mampu memberdayakan stakeholders dalam menentukan
kebijakan, pengadministrasian dan inovasi kurikulum yang dilakukan sekolah baik
dilihat dari pendekatan maupun penyusunan bahan ajar. Manajemen berbasis
Sekolah menurut Roger Scott (1994) memberikan peluang kepada kepala sekolah
dan guru menjadi lebih efektif karena adanya partisipasi dan rasa kepemilikan dan
keterlibatan yang tinggi dalam membuat keputusan dengan memanfaatkan sumber
daya sumber daya yang ada untuk mengoptimalkan hasil kerja
17
2. Indikator Keberhasilan
Nilai ujian akhir sekolah bagi setiap peserta didik yang menamatkan
sekolahnya pada suatu jenjang dan jenis tertentu bukan satu-satunya indikator
untuk menentukan kualitas sekolah, sebab sekolah yang berhasil juga
ditentukan oleh faktor-faktor yang lainnya, seperti bagaimana kegiatan belajar
mengajar dilaksanakan, bagaimana kompetensi guru, dan tenaga kependidikan
di sekolah tersebut ditingkatkan, bagaimana fasilitas dan perlengkapan
pembelajaran disediakan sekolah Apakah mencukupi dan layak pakai, termasuk
apakah sekolah dapat melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler dengan baik.
Indikator keberhasilan akan berdampak bagi berbagai aspek yaitu:
a. Efektivitas proses pembelajaran bukan sekedar transfer pengetahuan
(transfer of knowledge) atau mengingat dan menguasai pengetahuan
tentang apa yang diajarkan melainkan lebih menekankan kepada
internalisasi mengembangkan aspek aspek kognitif, afektif, psikomotor, dan
kemandirian.
b. Kepemimpinan kepala sekolah yang kuat, merupakan salah satu faktor yang
dapat mendorong sekolah untuk mewujudkan, visi misi, tujuan, sasaran
20
peserta didik dilihat dari angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi murni (
APM), angka pendaftaran peserta didik, angka putus sekolah (APS), angka
mengulang, kelangsungan belajar peserta didik (survival rate), dan presentase
kelulusan; (3) ketenagaan yaitu kinerja personal sekolah, kualifikasi dan keahlian
tenaga guru dan tenaga kependidikan, dan rasio guru dengan peserta didik; (4)
organisasi sekolah yaitu struktur organisasi, personalia, uraian tugas, dan
mekanisme kerja; (5) pembiayaan yaitu ketersediaan anggaran yang bersumber
dari pemerintah dan masyarakat, serta komponen yang harus dibiayai; (6)
sarana dan prasaran yaitu ketersediaan dan perawatan lahan, bangunan,
perabot, peralatan laboratorium dan media, buku teks, sarana dan peralatan
olah raga, sarana dan peralatan seni, infrastruktur, dan sebagainya; (7)
manajemen sekolah yaitu pemahaman visi dan misi sekolah, tingkat kehadiran
guru dan tenaga kependidikan serta personal lainnya, tingkat kehadiran peserta
didik, kinerj sekolah, dan tertib administrasi; dan (8) peran serta masyarakat
yaitu dukungan dan peran serta komite sekolah, perhatian orangtua, peran serta
tokoh masyarakat, peran serta dunia usaha, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA