Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di


hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat
dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang
perang yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan
proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya
proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan
swasta sama-sama telah dan berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai
usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui
pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana
pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan
tenaga kependidikan lainnya. Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya
perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama, strategi
pembangunan pendidikan selama ini lebihh input oriented. Kedua, pengelolaan
pendidikan selama ini lebih bersifat maco-oriented, diatu oleh jajaran birokrasi di tingka
pusat. Akibatnya banyak faktor yang di proyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi
atau tidak berjalam sebagai mana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan
singkat di katakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, kondisi
lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan sisa dalam belajar, serta aspirasi
masyarakat tehadap pendidikan seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat
oleh birokrasi pusat.
2

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan makalah ini adalah:


1. Apa arti dan makna Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
2. Bagaimana Paradigma Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
3. Bagaimana model penyelenggaraan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang
efektif?
4. Bagaimana penerapan model MBS dalam meningkatkan mutu sekolah?
5. Bagaimana Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam penyelenggaraan sekolah?
6. Apa yang dimaksud dari tenaga kependidikan bukan pendidik?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah:


1. Untuk mengetahui arti dan makna dari Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
2. Untuk mengetahui paradigm Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
3. Untuk mengetahui efektifitas model penyelenggaraan MBS
4. Untuk mengetahui penerapan model MBS dalam peningkatan mutu sekolah
5. Untuk mengetahui Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam penyelenggaraan
sekolah
6. Untuk mengetahui arti dari tenaga kependidikan bukan pendidik

D. Manfaat

Manfaat kehadiran makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam


pembelajaran mata kuliah Manajemen Strategi dalam Pendidikan khususnya
pengetahuan tentang Penggunaan Manajemen Berbasis Sekolah dalam Peningkatan
Mutu
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Arti dan Makna Manajemen Berbasis Sekolah


Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) awal muncul di Amerika Serikat.
Latar belakangnya ketika itu masyarakat mempertanyakan tentang relevansi dan
korelasi pendidikan yang diselenngarakan di sekolah dengan tuntutan kebutuhan
masyarakat. Kinerja sekolah pada saat itu dianggap tidak sesuai dengan tuntutan
peserta didik untuk terjun dunia usaha dan sekolah dianggap tidak mampu
memberikan hasil dalam konteks kehidupan ekonomi kompetitif secara global.
Fenomena tersebut segera diantisipasi dengan melakukan upaya perubahan
manajemen sekolah. Masyarakat dan pemerintah sepakat melakukan reformasi
terhadap manajemen sekolah. Bertitik tolak dari kondisi tersebut, dipandang perlu
membangun suatu sistem persekolahan yang mampu memberikan kemampuan
dasar (basic skill) bagi peserta didik. Muncullah penataan sekolah melalui konsep
MBS yang diartikan sebagai wujud dan reformasi pendidikan yang mendesain dan
memodifikasi struktur pemerintah ke sekolah dengan pemberdayaan sekolah dalam
meningkatkan kualitas pendidikan nasional (Sagala, 2004)
Penerapan model manajemen berbasis sekolah di Amerika Serikat menurut
Edward E. Lawler (1994) ternyata dapat meningkatkan kualitas belajar-mengajar,
disebabkan adanya mekanisme yang lebih efektif dan lebih cepat dalam
pengambilan keputusan, memberikan dorongan semangat kinerja baru sebagai
motivasi berprestasi para kepala sekolah dalam melakukan tugasnya sebagai
manajer sekolah. Sedangkan di negara-negara maju selain Amerika seperti Inggris,
Selandia Baru dan sebagainya, penerapan model manajemen berbasis sekolah ini
bukanlah hal yang baru dan hasilnya dapat meningkatkan mutu sekolah. Meskipun di
negara-negara lainnya ada juga yang berbasis sekolah diartikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong
pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga
sekolah (guru, peserta didik, kepala sekolah, karyawan, orang tua peserta didik, dan
masyarakat yang berhubungan dengan program sekolah), sehingga rasa memiliki
warga sekolah dapat meningkat yang mengakibatkan peningkatan rasa tanggung
jawab dan dedikasi warga sekolah.
Pada prinsipnya dengan menggunakan model manajemen berbasis sekolah ini,
sekolah lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan sesuai kondisi
4

dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Hal ini memberi gambaran bahwa,


desentralisasi atau otonomi pengelolaan sekolah memindahkan otoritas pengambilan
keputusan manajemen sekolah oleh pemerintah daerah (local stakeholders) kepada
sekolah yang diatur melalui peraturan yang memungkinkan. Dengan demikian
sekolah-sekolah lebih mandiri, lebih professional, dapat menyusun dan menetukan
strategi penyelenggaraan program sekolah, dan mampu menentukan arah
pembangunan pendidikan di sekolah yang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya
akan kualitas layanan belajar di sekolah. MBS merupakan inovasi pengelolaan
sekolah yang pada dewasa ini sedang menjadi perhatian para pakar pendidikan,
birokrasi pendidikan mulai tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota serta para
pengelola sekolah. Bahkan akhir-akhir ini, telah menjadi perhatian Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap kualitas pendidikan.
Dalam ilmu manajemen pendidikan, pengembangan sebagai suatu entitas
sistem bukan hal baru. Gagasan MBS ini semakin mengemuka setelah
dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan
prinsip desentralisasi pemerintahan dan PP No. 25 tentang kewenangan pemerintah
dan provinsi sebagai daerah otonom yang memberi isyarat terjadinya perubahan
kewenangan dalam pengelolaan pendidikan di daerah provinsi dan kabupaten/kota
maupun di sekolah yang melahirkan wacana akuntabilitas sekolah.
Manajemen berbasis sekolah diselenggarakan melalui beberapa model yaitu
model: (1) peningkatan peranan guru; (2) peningkatan wawasan pengelolaan
pengajaran melalui studi penelitian dan kajian pustaka, dan (3) penyamaan visi
semua pihak dalam proses perubahan untuk memfokuskan arah baru merealisasikan
penyelenggaraan program dengan sistem manajemen berbasis sekolah. Konsep
manajemen berbasis sekolah (MBS) perlu memperhatikan kajian, penelitian, strategi
yang bertujuan agar otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat mempunyai
keterlibatan yang tinggi dengan memberikan kerangka dasar meningkatkan mutu.
Penerapan MBS pun dapat dilakukan pada tiga tingkatan yaitu penuh (tinggi), tingkat
menengah (sedang), dan minimal (rendah). MBS menawarkan untuk menyediakan
pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi para peserta didik. Agen
perubahan adalah guru, tenaga kependidikan dan kepala sekolah, sedangkan objek
perubahan dalah institusi, kurikulum, pembelajaran dan semacamnya.
Model MBS menurut Eric Digest (1995) mengemban dua dimensi pemahaman:
(1) the governance reform in school management yaitu menyangkut reformasi dalam
manajemen sekolah, menyangkut pentingnya membangun otonomi sekolah untuk
merespon aspirasi stakeholder-nya; dan (2) an overall push for curriculum and
instructional reform yaitu menyangkut reformasi pengembangan inovasi dalam
5

proses belajar mengajar. Kedua hal ini merupakan satu keutuhan, dimana orientasi
utama perubahan manajemen sekolah ditujukan untuk kepentingan peningkatan
kualitas belajar mengajar (Satori, 2005:2). Manajemen berbasis sekolah menurut
pandangan Eric Digest (1995) merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan
pengelolaan sekolah dalam satu keutuhan entitas sistem yang di dalamnya
terkandung adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk
membuat keputusan. Sekolah sebagai suatu institusi sosial, kewenangan
pengambilan keputusan hendaknya dilihat dalam perspektif peran sekolah yang
sesungguhnya, yaitu melayani anak didik agar mereka memperoleh layanan belajar
sebaik-baiknya. Gagasan penggunaan model MBS sering dipertimbangkan sebagai
upaya memposisikan kembali peran sekolah yang sesungguhnya (back to basic),
yaitu peran sekolah untuk memberikan pelayanan primanya (business core) dalam
penyelenggaraan belajar mengajar. Dalam memenuhi layanan belajar yang
memuaskan, aspirasi masyarakat melalui suatu wadah seperti komite sekolah
diakomodasikan dalam berbagai kepentingan yang ditujukan pada peningkatan
kinerja sekolah, antara lain direfleksikan pada rumusan visi, misi, tujuan, dan
program-program prioritas sekolah.
Dapat ditegaskan bahwa model manajemen berbasis sekolah memiliki potensi
yang besar dalam menciptakan kepala sekolah dan wakil kepala sekolah sebagai
pimpinan di sekolah, guru mata pelajaran sebagai pengelola pembelajaran, tenaga
kependidikan sebagai pelayan teknis pendidikan, konselor membantu meningkatkan
kualitas belajar, personal tata usaha yang memberikan pelayanan ketatausahaan,
dan personal sekolah lainnya yang terkait dengan sistem pendidikan di sekolah akan
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya lebih profesional. Keberhasilan dalam
mencapai kinerja unggul dan profesional akan sangat ditentukan oleh faktor
informasi, pengetahuan, keterampilan, dan insentif yang berorientasi pada mutu,
efisiensi, kemandirian, dan otonomi sekolah melakukan inovasi dan
mengembangkan kreativitas untuk memajukan mutu sekolah.
Kemandirian dan otonomi sekolah menggambarkan bahwa sekolah mempunyai
kendali dan akuntabilitas terhadap lingkungannya serta mengatur rumah tangganya
sendiri. Desentralisasi sistem pendidikan, seperti kebijakan resmi di banyak negara
telah membangkitkan minat yang meningkat terhadap akuntabilitas, responsibilitas,
dan peningkatan diri sekolah. Perkembangan ilmiah menurut Scheerens (2003:112)
mengimbangi kecenderungan ini, pada satu sisi melalui perluasan metodologi
evaluasi pendidikan, dan pada sisi lain melalui konseptualisasi dan penelitian
efektifitas sekolah dalam peningkatan mutu sekolah. Scheerens selanjutnya
mengemukakan evaluasi diri sekolah berkenaan dengan jenis evaluasi pendidikan di
6

tingkat sekolah yang diprakarsai dan setidaknya sebagiannya di kontrol oleh sekolah.
Ada empat kategori utama aktor evaluasi sekolah: (1) kontraktor atau pengguna
meski bukan satu-satunya kategori pengguna, pemberi dana dan pemrakarsa
evaluasi; (2) staf (personal) yang melakukan evaluasi; (3) individu-individu dalam
situasi obyek, yang memberikan data; (4) klien atau pengguna atau audiens hasil
evaluasi. Evaluasi diri sekolah (school self evaluations) adalah jenis evaluasi sekolah
internal dimana kaum profesional yang bertanggungjawab atas program atau
pelayanan inti organisasi sekolah melakukan evaluasi terhadap organisasi mereka
sendiri.
Implementasi evaluasi diri dalam melaksanakan strategi penerapan program
sekolah menggunakan model MBS pihak yang terkait di sekolah yaitu perorangan,
kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, pegawai, dan kondisi sekolah bertitik
tolak pada tujuan, penguasaan keterampilan, sikap dan konsep diri, kebiasaan, hasil,
dan proses. Evaluasi sekolah analog dengan laporan diri (self report) mengacu pada
produk yang dihasilkan oleh teknik pengukuran apa saja yaitu individu diinstruksikan
berperan baik sebagai penilai maupun pengamat sebagai obyek penilaian atau
pengamatan. Oleh karena itu program sekolah dengan menggunakan model MBS
merupakan menu bagi profesional yang membuka ruang kreativitas, inovasi,
penggunaan strategi, evaluasi diri dan mutu bukan untuk para birokrat yang sarat
dengan model petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis).
Pengelolaan sekolah menggunakan model MBS dengan prinsip profesionalisme dan
otonomi pengelolaan dapat meningkatkan mutu pendidikan berbasis sekolah
(PMPBS) dan merespon inovasi dalam konteks profesional menggiring pada berpikir
analisis kritis yang konstektual, serta mengembangkan budaya berpikir analisis dan
budaya mutu.
Uraian di atas menegaskan bahwa konsep manajemen berbasis sekolah adalah
gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah dalam satu
keutuhan entitas sistem untuk membuat keputusan. Sekolah sebagai institusi sosial
memiliki kewenangan pengambilan keputusan dalam perspektif peran sekolah yang
sesungguhnya, dengan memposisikan peran sekolah yang sesungguhnya.
Bentuknya mengakomodasi aspirasi berbagai pihak yang berkepentingan
direfleksikan dalam rumusan visi, misi, tujuan, program prioritas, sasaran-sasaran
yang akan dicapai, sarana dan prasarana, mutu sumber daya manusia, dukungan
biaya bagi pengembangan sekolah, dan dukungan stakeholder. Realisasi gagasan
penerapan model MBS akan melahirkan sikap kepemilikan (ownership) para
stakeholder terhadap sekolah. Sikap kepemilikan ini akan mendukung
pengembangan keunggulan kompetitif dan komparatif masing-masing di sekolah.
7

Konsep model MBS dalam prakteknya menggambarkan sifat-sifat otonomi


sekolah yang merujuk pada perlunya memperhatikan kondisi dan potensi dalam
mengelola sekolah. Dengan mengakomodasikan kebijakan-kebijakan strategis
pemerintah maupun pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam program
pembangunan pendidikan. Misalnya standar kompetensi peserta didik, standar
kurikulum, standar kelembagaan, standar materi pelajaran pokok, standar
penguasaan minimum, standar pelayanan minimum, standar guru dan tenaga
kependidikan, penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap
semester dan setiap tahun, yang mengacu pada kewenangan pemerintah pusat,
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Dengan
menggunakan model MBS ini, sekolah mampu memberikan respon konstektual
sesuai dengan orientasi pembangunan daerah, aspirasi masyarakat, dan para
pengguna lulusan pendidikan. Perumusan kebijakan dan pembuatan keputusan di
sekolah selalu memperhatikan aspirasi yang berkembang di daerah itu. Dengan
demikian upaya sekolah membuka akses dengan mendekatkan diri dengan para
stakeholder dalam penetapan kebijakan dan keputusan sekolah menyangkut
penyelenggaraan program sekolah sangatlah beralasan. Dengna demikian
penggunaan model MBS dalam manajemen sekolah adalah bagian dari gerakan
jaminan mutu dan akuntabilitas untuk menumbuhkembangkan budaya peduli mutu.

1. Tujuan Penerapan Model Manajemen Berbasis Sekolah


Manajemen berbasis sekolah (School Based Management) menurut
Chapman (1990) adalah suatu pendekatan public yang bertujuan meredesain
pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan dan peningkatan
partisipasi sekolah dan masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah.
Tujuan MBS mewujudkan tata kerja yang lebih baik dalam empat hal: (1)
meningkatnya efisiensi penggunaan sumber daya dan penugasan staf; (2)
meningkatnya profesionalisme guru dan tenaga kependidikan di sekolah; (3)
munculnya gagasan-gagasan baru dalam implementasi kurikulum dan
penggunaan teknologi pembelajaran dan pemanfaatan sumber-sumber belajar;
dan (4) meningkatnya mutu partisipasi masyarakat dan stakeholder.
Desain pengelolaan sekolah menggunakan model MBS ini bertujuan
memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi sekolah memperbaiki
kinerja sekolah mencakup kepemimpinan sekolah, profesionalisme guru,
layanan belajar peserta didik yang bermutu, manajemen sekolah yang bermutu,
partisipasi orang tua peserta didik dan masyarakat. Penerapan model MBS
bertujuan agar otonomi sekolah dan partisipasi msyarakat mempunyai
8

keterlibatan yang tinggi sehingga setiap unsur dapat berperan dalam


meningkatkan kualitas sekolah, efisiensi dan efektifitas manajemen sekolah
dengan memodifikasi struktur pengambilan keputusan dari pemerintah pusat ke
daerah dan seterusnya ke sekolah yang mendorong pemberdayaan sekolah.
Setelah otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan,
penerapan model MBS tersebut, menurut Satori (2001:5) bertujuan untuk: (1)
meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
mengelola dan memberdayakan sumber daya dan potensi yang tersedia; (2)
meningkatkan kepedulian warga sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan
melalui pengambilan keputusan bersama; (3) meningkatkan tanggung jawab
sekolah kepada orang tua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu sekolah; (4)
meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah untuk pencapaian mutu
pendidikan yang diharapkan.
Apabila unsur-unsur yang terlibat di sekolah memahami dan berkontribusi
terhadap keberhasilan sekolah, maka model MBS memberikan peluang pada
guru dan kepala sekolah mengelola sekolah menjadi lebih efektif, karena rasa
memiliki semakin tinggi menimbulkan sikap pemanfaatan yang lebih baik
terhadap sumber daya yang ada untuk mengoptimalkan hasil dan pengelola
sekolah yang mempunyai kendali akuntabilitas terhadap lingkungan sekolah.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa manajemen berbasis sekolah
bertujuan:
a. Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan belajar yang bermutu dan
pemanfaaatan sumber-sumber belajar yang tersedia di sekolah secara
optimal.
b. Meningkatkan kualitas transfer ilmu pengetahuan dan membangun
karakter bangsa yang berbudaya menggunakan strategi dan fasilitas
yang memungkinkan untuk itu.
c. Meningkatkan mutu sekolah dengan mengan memantapkan kemandirian,
kreativitas, inisiatif, dan inovatif dalam mengelola sekolah mengacu pada
kebijakan strategis pemerintah berkaitan dengan standar pendidikan
nasional.
d. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan kedulian masyarakat
maupun stakeholder dalam penyelenggaraan pendidikan melalui
penetapan kebijakan dan pengambilan keputusan dengan
mengakomodasi aspirasi bersama baik internal sekolah maupun
eksternal.
9

e. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat,


dan pemerintah tentang mutu sekolah.
f. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu
pendidikan yang akan dicapai.
Manfaat menggunakan model manajemen berbasis sekolah
sebagaimana yang dikemukakan Satori (2001:6) yakni: (1) sekolah dapat
mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan
sekolahnya, karena bisa lebih mengetahui peta kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman yang mungkin dihadapi; (2) sekolah lebih
mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input dan output
pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses
pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta
didik dan masyarakat luas; (3) pengambilan keputusan partisipatif yang
dilakukan dapat lebih memenuhi kebutuhan sekolah, karena sekolah
lebih tahu apa yang terbaik bagi penyelenggaraan program sekolahnya;
(4) penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif apabila
masyarakat turut serta mengawasi dan membantu memenuhi kebutuhan
sekolah; (5) keterlibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan
sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat; (6)
sekolah bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan di sekolahnya
kepada pemerintah, orang tua, peserta didik, dan masyarakat; (7)
sekolah dapat bersaing dengan sehat untuk meningkatkan mutu
pendidikan; dan (8) sekolah dapat merespon aspirasi masyarakat yang
senantiasa berubah dengan pendekatan yang tepat dan cepat.

2. Prinsip dan Esensi MBS


Prinsip umum yang patut menjadi pedoman dalam pelaksanaan model
manajemen berbasis sekolah menurut Satori (2001:7) adalah:
a. Memiliki visi, misi, dan strategi kea rah pencapaian mutu pendidikan,
khususnya mutu peserta didik sesuai dengan jenjang sekolah masing-
masing.
b. Berpijak pada “power sharing” (berbagi kewenangan), pengelolaan
pendidikan sepatutnya berlandaskan pada keinginan saling mengisi,
saling membantu dan menerima berbagai kekuasaan/kewenangan
sesuai fungsi dan peran masing-masing.
c. Adanya profesionalisme semua bidang dan berbagai komponen baik
para praktisi pendidikan, engelola, dan manajer pendidikan lainnya
10

termasuk profesionalisme Dewan Pendidikan di kabupaten/kota maupun


komite sekolah di satuan pendidikan.
d. Meningkatkan partisipasi masyarakat yang kuat termasuk orang tua
peserta didik.
e. Komite sekolah sebagai institusi dapat menopang keberhasilan visi dan
misi sekolah.
f. Adanya transparansi dan akuntabilitas manajemen sekolah baik dilihat
dari akuntabilitas manajemen maupun akuntabilitas finansial.
Strategi manajemen model MBS memiliki potensi besar dalam menciptakan
kepala sekolah yang visioner dan entrepreneurship, guru dan tenaga
kependidikan sebagai pengelola sistem pendidikan secara profesional.
Seberapa besar kekuasaan kepala sekolah tergantung seberapa jauh strategi
model MBS dapat diimplementasikan di sekolah tersebut. Pemberian kekuasaan
secara utuh kepada sekolah sebagaimana dalam teori MBS tidak mungkin
dilaksanakan dalam seketika. Tentu saja ada proses transisi dari manajemen
dengan sistem dikontrol yang selama ini diterapkan oleh pemerintah menjadi
menggunakan model MBS. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa prinsip
dasar program MBS adalah kebebasan memilih (Freedom of Choice) dan
membutuhkan kecerdasan yaitu memiliki tanggung jawab sosial yang lebih luas
dan mampu melihat fenomena. Jadi ukurannya bukan seberapa besar
kemampuan menghimpun dana atau menumpuk kekayaan sekolah. Melainkan
sekolah mampu menyediakan program-programnya yang lebih baik, karena
pemikiran dan sumber daya sekolah dapat diolah secara langsung sesuai
kebutuhan murid yang dilayani. Partisipasi dan keterlibatan pohak-pihak yang
berkepentingan memungkinkan lahirnya kebijakan dan keputusan yang baik.
Karena itu komunikasi yang intensif dan terbuka antara pihak-pihak yang
berkepentingan seperti komite/dewan pendidikan setempat, orang tua peserta
didik, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru-guru, tenaga kependidikan di
sekolah, karyawan sekolah, peserta didik, dan pihak lain yang berkepentingan.
Manajemen berbasis sekola mempunyai esensi yaitu pada hakikatnya
sekolah memiliki kewenangan (otonomi) yang lebih besar dalam mengelola
sekolah tetapi bukan egois apalagi arogan, sehingga sekolah tersebut lebih
mandiri, inovatif dan kraetif. Dengan kemandirian itu sekolah lebih berdaya
dalam mengembangkan program-program yang lebih sesuai dengan kebutuhan
mutu dan mengoptimalkan potensi sekolah. Hal ini akan dapat dicapai apabila
menggunakan pinsip:
11

a. Meningkatnya efisiensi penggunaan sumber daya dan performansi


personal sekolah.
b. Meningkatnya profesionalisme guru dan tenaga kependidikan.
c. Munculnya gagasan-gagasan baru dan gasan itu diakomodir dalam
program kerja khususnya dalam implementasi kurikulum dan peanfaatn
teknologi pendidikan.
d. Meningkatnya mutu partisipasi masyarakat dalam manajemen sekolah.

3. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah


Manajemen berbasis sekolah memilik karakteristik sama dengan sekolah
yang efektif yaitu:
a. Memiliki output (prestasi pembelajaran dan manajemen sekolah yang
efektif) yang diharapkan oleh visi dan misi.
b. Efektifitas proses belajar mengajar yang tinggi.
c. Peran kepala sekolah yang kuat dalam mengkoordinasikan,
menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang
tersedia.
d. Lingkungan dan iklim belajar yang aman, tertib, dan nyaman (enjoyable
learning) sehingga manajemen sekolah lebih efektif.
e. Analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja,
hubungan kerja, dan imbalan jasa tenaga kependidikan dan guru yang
dapat memenuhi kebutuhan nafkah hidupnya, sehingga mereka mampu
menjalankan tugasnya dengan baik.
f. Pertanggungjawaban (akuntabilitas) sekolah terhadap keberhasilan
program yang telah dilaksanakan.
g. Pengelolaan dan penggunaan anggaran yang sepantasnya dilakukan
oleh sekolah sesuai kebutuhan real untuk meningkatkan mutu layanan
belajar.
Kapasitas sekolah untuk mengahadapi tuntutan yang semakin meningkat
dan lingkungan yang dinamis digambarkan dalam istilah seperti “potensi penentu
sekolah” dan “kapasitas sekolah memperbaharui diri”. Karakteristik sekolah yang
dianggap menyumbang kepada kapasitas ini menurut Scheerens (2003:121)
adalah: (1) kepemimpinan dalam pengertian entrepreneurship; (2) kolegalitas;
(3) kapasitas untuk evaluasi diri dan pembelajaran; (4) kegiatan pemasaran
sekolah yang jelas; (5) keterlibatan orang tua peserta didik yang kuat; (6) posisi
batas jangkauan (boundary spanning); dan (7) dukungan agen perubahan
eksternal.
12

4. Visi dan Misi


Setiap sekolah harus memiliki visi yaitu wawasan atau pandangan jauh ke
depan kemana sekolah akan dibawa yang menjadi sumber arah bagi sekolah
dan digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah. Visi adalah gambaran
masa depan sekolah yang diinginkan agar kelangsungan hidup dan
perkembangan sekolah dapat terjamin. Rumusan visi sekolah harus realistis
berdasar pada kondisi dan potensi yang dapat dikembangkan serta dapat
dicapai sekalipun secara bertahap dalam rentangan waktu yang panjang. Visi
sekolah berfungsi sebagai arah atau pedoman dalam menetapkan kebijakan dan
mengambil keputusan penting sebagai muara setiap kebutuhan sekolah.
Mengembangkan visi adalah pencitraan mengenai bagaimana seharusnya
sekolah bereksistensi, dengan asumsi bahwa sekolah dapat diubah ke arah
yang lebih baik dan memenangkan persaingan.
Sedangkan misi adalah tindakan mewujudkan atau merealisasikan visi
tersebut yaitu memenuhi kepentingan masing-masing kelompok, kepentingan
yang terkait dengan sekolah dalam bentuk layanan memenuhi tuntutan yang
dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya. Misi pada hakikatnya yaitu
suatu tindakan atau kegiatan yang akan dilakukan atau merealisasikan visi.
Karena itu dapat ditegaskan bahwa ruang lingkup misi sekolah antara lain:
a. Memajukan peserta didik melalui pelajaran dan keterampilan yang
diperlukan peserta didik.
b. Memberi pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan sikap yang perlu
bagi peserta didik.
c. Memberi kesempatan peserta didik untuk ikut serta memberikan
sumbangan terhadap kebudayaan peserta didik.
d. Menggalang rasa kepedulian guru, tenaga kependidikan, karyawan
sekolah, peserta didik, orang tua peserta didik, dan masyarakat luas.

5. Otonomi Manajemen Sekolah


Otonomi (swakelola) dapat diartikan sebagai kewenangan atau kemadirian
dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri secara independen menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah. Otonomi sekolah
menyangkut segala kebijakan yang dibutuhkan untuk melaksanakan wewenang
tersebut, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pendanaan, dan evaluasinya.
Startegi administratif dalam konsep otonomi sekolah berupa kebijakan
operasional yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi
pendidikan. Dalam model desentralisasi ini, pemerintah khususnya pemerintah
13

daerah yaitu sekolah itu berada masih memegang kekuasaan tertinggi dalam
menentukan kebijakan makro daerah khususnya berkaitan dengan sumber-
sumber dana dan fungsi implementasi kebijakan lainnya.
Konsep otonomi sekolah merupakan tindakan dentralisasi yang dilakukan
oleh lembaga tinggi (pemerintah) sampai ke tingkat sekolah (guru kelas) yang
menuntut kesiapan pengelola berbagai level untuk melakukan peran sesuai
dengan kewajiban, kewenangan, dan tanggung jawabnya. Otonomi sekolah
dilaksanakan dalam konteks manajemen berbasis sekolah (School Based
Management) dengan mengikutsertakan masyarakat bertanggungjawab atas
kelancaran pengelolaan sekolah. Sedangkan SDM yang menjadi output
pendidikan adalah semua lulusan persekolahan pada semua jenjang dan jenis
sekolah. Keefektifan MBS akan terwujud jika pengelola pendidikan mampu
memberdayakan sumber daya sekolah dan stakeholders dalam menentukan
kebijakan, pengadministrasian, dan inovasi kurikulum yang dilakukan sekolah.
Otonomi manajemen sekolah dan desentralisasi fungsi manajemen sekolah
dapat digambarkan sebagai berikut:

Input Proses Output

Perencanaan dan Evaluasi


Program Sekolah
-Pengayaan kurikulum dan
1. Pelayanan kebutuhan
bahan ajar
mengajar guru
-Pembinaan ketenagaan dan
2. Pelayanan belajar
pertumbuhan jabatan profesi Proses
siswa oleh guru
- Mengelola fasilitas manajemen
3. Prestasi belajar siswa
- Mengelola keuangan dan sekolah dan
dan lulusan yang
anggaran proses belajar
mengajar dalam kompetitif
- Program kesiswaan
- Melakukan hubungan sistem otonomi
sekolah dengan masyarakat sekolah
- Kenyamanan iklim sekolah

Selektif Efektif dan Efisien Berkualitas


14

B. Paradigma Manajemen Berbasis Sekolah


Peningkatan kualitas pengelolaan menggunakan model manajemen berbasis
sekolah (MBS) dalam lingkup negara adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan
meningkatkan kualitas pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan dan
meningkatkan partisipasi sekolah dalam upaya perbaikan kerja di sekolah. Pihak-
pihak yang berpartisipasi dalam manajemen sekolah meliputi guru, peserta didik,
orang tua peserta didik, dan masyarakat dengan memodifikasi struktur pengambilan
keputusan. Dilihat dari dimensi politik, keputusan ini tentu berlingkup pemerintah
mulai dari pemerintah pusat, ke pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan
seterusnya ke satuan pendidikan yaitu sekolah.
Dengan model manajemen berbasis sekolah ini, sekolah lebih mandiri atau
otonom dan mampu menentukan arah pengembangan visi dan misi sesuai dengan
kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Pengelola pendidikan tingkat pusat
hanya berperan melayani kebutuhan standar sekolah, sedangkan pemerintah daerah
berperan memfasilitasi dan melayani kebutuhan sumber daya manusia, anggaran,
sarana dan prasarana, serta anggaran sekolah. Muchlas (1999) mengemukakan
MBS menunjukkan kejelasan karier dan kebijakan yang menjadi wewenang pusat,
daerah, dan sekolah. Perlu menyesuaikan diri terhadap perubahan pola hubungan
subordinasi sekaligus membawa perubahan sikap dan perilaku baik pimpinan jajaran
birokrasi di pemerintah maupun masyarakat, deregulasi aturan, transparansi, dan
akuntabilitas.
Jika manajemen berbasis sekolah di Indonesia dapat dipandang sebagai konsep
dan paradigm baru dalam pelaksanaannya, maka perlu berbagai tahap yang
sistematis. Karena merupakan paradigm baru, implementasinya tentu perlu
memperhatikan kemungkinan-kemungkinan dilihat dari aspek negative maupun
positif bagi sekolah untuk mau mengadopsinya. Pada prinsipnya pelaksanaan
manajemen sekolah menggunakan model manajemen berbasis sekolah dapat
dikategorikan sebagai proses inovasi pendidikan, yaitu keberhasilan pelaksanaan
atau implementasinya masih banyak ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor
tersebut menurut Carison (1965) seperti keuntungan yang diperoleh (Relative
Advantage) yaitu sesuai dengan kuatnya tekanan persaingan, apakah sesuai dengan
budaya (Compatibility) Indonesia yaitu budaya mutu dan etos kerja yang tinggi,
kerumitan (Complexity) pelakasanaannya yaitu menggunakan strategi dengan sistem
perencanaan yang terukur dengan prinsip konsistensi visi dan misi dengan tujuan
dan target, pentahapan (Divisibility) yang dilakukan yaitu proses dan prosedur
kerjanya, dan apakah dapat dikomunikasikan (Communicatibility) (Suyanto, 2001).
15

Selanjutnya Martimore (1991:9) mengemukakan bahwa manajemen berbasis


sekolah jika diterapkan dengan tepat akan dapat membuat sekolah menjadi efektif
yang mampu mendorong belajar bagi semua peserta didik, baik yang “fast learners”
maupun yang “slow learners” (Suyanto, 2001).
Persyaratan manajemen berbasis sekolah menurut Moharman (1993) adalah
adanya kebutuhan untuk berubah dari sebelumnya kea rah yang lebih baik, adanya
redesain organisasi pendidikan, dan proses perubahan sebagai proses belajar serta
berorientasi pada pelibatan aktor sekolah secara lebih luas memperbaiki kinerja
sekolah. Persayaratan ini ditampakkan dalam sistem pemilihan kepala sekolah dan
guru mengacu pada kualifikasi dan profesionalisme baik dari latar belakang
pendidikan maupun pengalaman kerjanya, bentuk partisipasi masyarakat, dukungan
lingkungan dan kemampuan dasar orang tua, kemampuan mengadakan dan
mengelola dana, dan perolehan hasil belajar yang tinggi diukur dari nilai kelulusan
peserta didik atau standar evaluasi lainnya.

C. Efektivitas Model Penyelenggaraan Manajemen Berbasis Sekolah


Dalam pengembangan manajemen berbasis sekolah ada lima komponen
efektivitas yang perlu dikembangkan (1) prinsip kepemimpinan sekolah yang kuat
dan mantap; (2) harapan yang tinggi dari penampilan peserta didik; (3)
mengutamakan dasar kecakapan dan kemampuan; (4) penegasan dan pengawasan
yang tepat terhadap seluruh persoalan sekolah; dan (5) penerapan model dan sistem
evaluasi kemajuan belajar peserta didik yang standar serta penampilan peserta didik.
Sejalan dengan hal itu Patrick Whitaks (1991) mengemukakan bahwa pencapaian
tujuan yang efektif diperlukan kejelasan tujuan baik menyangkut proses maupun
pengembangan dengan melibatkan lingkungan eksternal. Perorangan, kepala
sekolah, guru, pegawai, dan kondisi sekolah yang bertitik tolak pada tujuan,
penguasaan keterampilan, sikap dan konsep diri, kebiasaan, hasil, dan proses.
Agen perubahan adalah guru dan kepala sekolah. Sedangkan objek perubahan
adalah institusi kurikulum pembelajaran dan semacamnya. Penyelenggaraan model
MBS yang efektif menurut Wihlstetter dan Smyer (1994) memvalidasi paradigma
model untuk pengembangannya yaitu dengan memberikan kekuasaan sekolah
menetapkan keputusan, kebijakan, dan arah pengorganisasian sekolah yang
bertumpu pada kekuatan anggaran, sarana, dan personal pengelolanya. Model
manajemen berbasis sekolah yang efektif dapat diukur dari keserasian dan
optimalisasi fungsi tugas semua unsur yang terkait dengan manajemen sekolah,
penampilan guru dan personal sekolah yang profesional, lingkungan dengan
perencanaan yang simultan, dan senantiasa memperbaiki sistem pengajaran
16

sebagai upaya memberi pelayanan belajar yang bermutu serta kesamaan dalam
pencapaian tujuan sekolah. Kewenangan Kepala Sekolah yang proporsional
dipandang memiliki efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan seperti
1) kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada
layanan belajar peserta didik, kepuasan orang tua peserta didik, dan kinerja guru
yang lebih profesional; 2) memanfaatkan sumber daya sekolah dan lokal secara
optimal; 3) melakukan pembinaan peserta didik yang efektif seperti kehadiran, hasil
belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah;
dan 4) adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan
guru, manajemen sekolah, rancang ulang program sekolah, dan perubahan
perencanaan.
Esensi pengembangan manajemen berbasis Sekolah menurut Sizer (1992)
pembinaan intelektual pemikiran para peserta didik, tujuan umum dan khusus
pembelajaran kaitannya dengan pembinaan keterampilan peserta didik dan
pengetahuan khusus, hubungan khusus antar peserta didik dan guru, pandangan
peserta didik dalam menerima berbagai informasi, eksibisi para peserta didik dari
skill dan pengetahuan yang telah diperoleh, sikap yang santun penuh kepercayaan
(confident), sifat yang generalis tidak sempit atau picik dan mempunyai kemampuan
spesialis yaitu mendalami ilmu pengetahuan tertentu secara lebih khusus, dan biaya
yang dibutuhkan untuk pengembangan sekolah (Wahlstetter dan Smyer, 1994).
Kualitas pengelolaan sekolah bukan saja pada tertib administrasi, melainkan pada
jaminan adanya kreativitas dan inovatif dari setiap guru dan peserta didiknya. Tertib
administrasi selalu dipandang dari sudut ketatalaksanaan atau tata usaha. Jika dilihat
dari ketatalaksanaan Hal ini dapat dikerjakan oleh siapa saja meskipun
berpendidikan lulusan sekolah menengah atau sarjana berbagai bidang ilmu setelah
mendapat penjelasan seperlunya.
Dilihat dari sudut penerapan fungsi-fungsi administrasi dan manajemen
pendidikan yang berkaitan dengan kebijakan dan keputusan yang dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran, maka hal ini tentu menjadi tanggung jawab
mereka yang berlatar belakang kependidikan. Keefektifan MBS akan terwujud jika
pengelola pendidikan mampu memberdayakan stakeholders dalam menentukan
kebijakan, pengadministrasian dan inovasi kurikulum yang dilakukan sekolah baik
dilihat dari pendekatan maupun penyusunan bahan ajar. Manajemen berbasis
Sekolah menurut Roger Scott (1994) memberikan peluang kepada kepala sekolah
dan guru menjadi lebih efektif karena adanya partisipasi dan rasa kepemilikan dan
keterlibatan yang tinggi dalam membuat keputusan dengan memanfaatkan sumber
daya sumber daya yang ada untuk mengoptimalkan hasil kerja
17

Strategi manajemen sekolah menggunakan MBS dapat memperkuat strategi


penyusunan rencana penyelenggaraan program sekolah, pengorganisasian tugas
dan tanggung jawab setiap personil sekolah dengan memperkuat alokasi anggaran
dan penyediaan fasilitas belajar, pemberdayaan personal dan memadukan fungsi
organisasi dengan keputusan strategis. Strategi pengetahuan disusun secara
sistematis sesuai dengan kecakapan menyesuaikan masalah kebutuhan sekolah,
sedangkan strategi informasi memperkuat keterampilan untuk memperbaiki berbagai
kegiatan staf dan kemampuan organisasi mengembangkan manajemen berbasis
sekolah.
Formulasi strategi menggunakan model MBS tentu saja lebih dahulu dilakukan
analisis kebijakan ditingkat sekolah, yaitu melakukan problem sensing atau
menganalisis berbagai problematika yang melingkupi manajemen sekolah,
menstrukturkan masalah, menganalisis masalah tersebut dan menentukan prioritas,
dan menetapkan kebijakan jika dipandang telah memenuhi standar yang
dipersyaratkan. Apakah dengan penerapan model MBS ini akan sangat banyak
kaitannya dengan tingkat prestasi, apakah prestasi prestasi yang menonjol akan
tampak dengan jelas, apakah semangat dan moral kerja seluruh personal sekolah
juga meningkat, dan apakah dukungan pemerintah sesuai dengan prinsip
peningkatan kualitas dan otonomi manajemen sekolah meningkat. Tentu hal inilah
yang akan diuji keberhasilannya, dan pada gilirannya penerapan MBS Ini mendapat
pengakuan dan dukungan dari masyarakat luas.

D. Penerapan Model MBS Meningkatkan Mutu Sekolah


1. Mutu Sekolah
Mutu sekolah dengan penilaian Bagaimana suatu produk memenuhi kriteria
standar atau rujukan tertentu. Dalam dunia pendidikan, standar ini menurut
Depdiknas (2001:2) dapat dirumuskan melalui hasil belajar mata pelajaran
skolastik yang dapat diukur secara kuantitatif, dan pengamatan yang bersifat
kualitatif, khususnya untuk bidang bidang pendidikan sosial. Rumusan mutu
pendidikan bersifat dinamis dan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang.
Kesepakatan terhadap konsep mutu dikembalikan pada rumusan acuan atau
rujukan yang ada seperti kebijakan pendidikan, proses belajar mengajar,
kurikulum, sarana prasarana, fasilitas pemberdayaan dan tenaga kependidikan
sesuai dengan kesepakatan pihak pihak yang berkepentingan.
Mutu pendidikan harus diupayakan untuk mencapai kemajuan yang
dilandasi oleh suatu perubahan terencana. Peningkatan mutu pendidikan
diperoleh melalui dua strategi, yaitu peningkatan mutu pendidikan yang
18

berorientasi akademis untuk memberi dasar minimal dalam perjalanan yang


harus ditempuh mencapai mutu pendidikan yang dipersyaratkan oleh tuntutan
zaman, dan peningkatan mutu pendidikan yang berorientasi pada keterampilan
hidup yang esensial yang dicakup oleh pendidikan yang berlandaskan luas,
nyata, dan bermakna. Dalam kaitan dengan strategi yang akan ditempuh,
peningkatan mutu pendidikan sangat terkait dengan relevansi pendidikan dan
penilaian berdasarkan kondisi aktual mutu pendidikan tersebut. Telaah terhadap
situasi aktual merupakan titik berangkat dalam menempuh perjalanan ke situasi
ideal yang didahului oleh suatu batas ambang sebagai landasan minimal, dan
mencakup mutu pendidikan yang dipertanggungjawabkan serta yang ditandai
oleh suatu tolak ukur sebagai norma ideal.
Mutu pendidikan tidak saja ditentukan oleh sekolah sebagai lembaga
pengajaran, tetapi juga disesuaikan dengan apa yang menjadi pandangan dan
harapan masyarakat yang cenderung selalu berkembang seiring dengan
kemajuan zaman. Bertitik tolak pada kecenderungan ini penilaian masyarakat
tentang mutu lulusan sekolah pun terus menerus berkembang. Karena itu
sekolah harus terus menerus meningkatkan mutu lulusan nya dengan
menyesuaikannya dengan perkembangan tuntutan masyarakat menuju pada
mutu pendidikan yang dilandasi tolak ukur norma ideal.
Sistem manajemen berbasis sekolah sebagai wujud reformasi pendidikan
dimaksudkan untuk meningkatkan budaya mutu. Mutu adalah gambaran dan
karakteristik menyeluruh jasa pelayanan pendidikan secara internal maupun
eksternal yang menunjukkan kemampuannya memuaskan kebutuhan yang
diharapkan atau yang tersirat mencakup input, proses, dan output pendidikan.
Sekolah dapat dikatakan bermutu apabila prestasi sekolah khususnya prestasi
peserta didik menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam (1) prestasi akademik
yaitu nilai rapor dan nilai kelulusan memenuhi standar yang ditentukan, (2)
memiliki nilai-nilai kejujuran ketakwaan kesopanan dan mampu mengapresiasi
nilai-nilai budaya; dan (3) memiliki tanggung jawab yang tinggi dan kemampuan
yang diwujudkan dalam bentuk keterampilan sesuai dengan dasar ilmu yang
diterimanya di sekolah.
Memenuhi harapan mutu pendidikan yang tinggi tentu diperlukan
desentralisasi terhadap fungsi-fungsi manajemen di sekolah untuk
mengoptimalkan kebijakan pada tingkat manajemen sekolah dalam
melaksanakan programnya. Desentralisasi fungsi-fungsi administrasi dan
manajemen ini memberi kewenangan kepada kepala sekolah bersama seluruh
personil sekolah untuk menentukan visi dan misi, menyusun perencanaan
19

sekolah, membagi tugas kepada seluruh personal, memimpin penyelenggaraan


program sekolah, melakukan pengawasan dan perbaikan sesuai dengan
keperluan. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa peranan antara para profesional,
orang tua, dan masyarakat saling melengkapi memenuhi tuntutan kualitas
sekolah.
Deskripsi manusia seutuhnya menghendaki agar pendidikan yang diberikan
meliputi berbagai kemampuan yang relevan dengan kebutuhan perkembangan
manusia seutuhnya, yang dilandasi oleh dorongan untuk bertahan dalam hidup
bersama dengan orang lain, maupun dorongan untuk berkembang. Hal ini berarti
bahwa kompetensi yang dimiliki oleh setiap individu Dalam konteks kehidupan
harus selalu dapat diadaptasikan pada perubahan cepat yang terus menerus.
Strategi peningkatan mutu pendidikan yang menuju pada pengembangan
keterampilan yang relevan, nyata dan bermakna itulah yang diperlukan dalam
kehidupan di masyarakat. Keterampilan Hidup bukan saja kompetensi dalam
mengelola dirinya untuk tumbuh kembang, seperti membaca, menulis, dan
berhitung. Namun juga kompetensi menguasai berbagai pengetahuan,
keterampilan, dalam berbagai situasi spesifik di rumah, di tempat kerja, di
masyarakat, dan bagaimana ia mengadakan relasi dengan orang lain.

2. Indikator Keberhasilan
Nilai ujian akhir sekolah bagi setiap peserta didik yang menamatkan
sekolahnya pada suatu jenjang dan jenis tertentu bukan satu-satunya indikator
untuk menentukan kualitas sekolah, sebab sekolah yang berhasil juga
ditentukan oleh faktor-faktor yang lainnya, seperti bagaimana kegiatan belajar
mengajar dilaksanakan, bagaimana kompetensi guru, dan tenaga kependidikan
di sekolah tersebut ditingkatkan, bagaimana fasilitas dan perlengkapan
pembelajaran disediakan sekolah Apakah mencukupi dan layak pakai, termasuk
apakah sekolah dapat melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler dengan baik.
Indikator keberhasilan akan berdampak bagi berbagai aspek yaitu:
a. Efektivitas proses pembelajaran bukan sekedar transfer pengetahuan
(transfer of knowledge) atau mengingat dan menguasai pengetahuan
tentang apa yang diajarkan melainkan lebih menekankan kepada
internalisasi mengembangkan aspek aspek kognitif, afektif, psikomotor, dan
kemandirian.
b. Kepemimpinan kepala sekolah yang kuat, merupakan salah satu faktor yang
dapat mendorong sekolah untuk mewujudkan, visi misi, tujuan, sasaran
20

melalui program yang dilaksanakan secara berencana, bertahap, kreatif,


inovasi, efektif dan mempunyai kemampuan manajerial.
c. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif; guru merupakan salah satu
faktor yang strategis pada satu sekolah, dituntut untuk mempunyai
kreativitas dan keuletan dalam mengelola proses pembelajaran, untuk
menjadikan peserta didik aktif, kreatif melalui pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi (KBK). Tenaga kependidikan sebagai pelayanan teknis
kependidikan mampu merespon isu-isu penting pendidikan sehingga
sekolah itu mampu bersaing dalam hal mutu.
d. Sekolah memiliki budaya mutu. Semua warga sekolah dengan didasari
bahwa profesionalisme di bidangnya masing-masing sesuai dengan fungsi
dan perannya.
e. Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas, dan dinamis;
kebersamaan merupakan karakteristik sekolah, karena out put pendidikan
hasil kolektif warga sekolah bukan hasil individual menjadi persyaratan
penting untuk memperoleh mutu yang kompetitif.
f. Sekolah memiliki kemandirian; yaitu sekolah mempunyai kemampuan dan
kesanggupan kerja secara maksimal dengan tidak selalu bergantung pada
petunjuk atasan dan harus mempunyai sumber daya potensial dan yang
berkompeten di bidangnya masing-masing.
g. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat. Keterkaitan dan keterlibatan
pada sekolah harus tinggi dilandasi rasa memiliki dan rasa tanggung jawab
melalui loyalitas dan dedikasinya sebagai stakeholders.
h. Sekolah memiliki transparansi. Dalam pengelolaan sekolah, merupakan
karakteristik yang ditunjukkan dalam pengambilan keputusan penganggaran
dan perubahan untuk mengembangkan manajemen yang bermutu secara
berkesinambungan.
i. Sekolah memiliki kemampuan perubahan (management change).
Perubahan adalah hal yang mutlak terjadi karena prinsip hidup adalah
kesengsaraan. Perubahan adalah peningkatan yang bermakna positif untuk
lebih baik dengan pengembangannya pada masa mendatang untuk
peningkatan kualitas pendidikan secara responsif dan antisipatif sesuai
dengan kebutuhan.
j. Sekolah melakukan evaluasi perbaikan yang berkelanjutan, dan merupakan
proses penyempurnaan dalam peningkatan mutu , mencakup struktur
organisasi, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya.
21

k. Sekolah memiliki akuntabilitas sustainabilitas. Bentuk pertanggungjawaban


harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang dilaksanakan,
serta untuk meningkatkan kinerja melalui penghargaan dan pemberian
sanksi. Sustainabilitas peningkatan mutu SDM, diverifikasi sumber dana,
pemilikan aset yang menggerakkan income sendiri termasuk eksistensi
sekolah.
l. Output sekolah penekanannya kepada lulusan yang mandiri dan “masagi”
yaitu memenuhi syarat pekerjaan (qualified) yang sehat jasmani rohani,
berakhlak mulia, baik ramah, sopan, benar, jujur, taqwa serta kreatif aktif
inovatif saling mengingatkan, saling mengasihi dan saling menyayangi.
Harapan di atas dapat diwujudkan dengan komitmen bersama dari
pengelola pendidikan dalam merencanakan, melaksanakan serta mengawasi,
fungsi administrasi dan manajemen sebagai ilmu (applied science) dalam
meningkatkan mutu pendidikan, dan sebagai suatu seni (arts) yang perlu
dikembangkan secara terus menerus. Sekolah sebagai institusi pendidikan
merupakan tempat proses pendidikan dilakukan, dengan kegiatan intinya
mengelola SDM serta meningkatkan derajat kehidupan sosial masyarakat.
Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, sekolah merupakan sistem yang
memiliki berbagai perangkat dan unsur yang saling berkaitan yang memerlukan
pemberdayaan. Perangkat dan unsur tersebut berinteraksi satu sama lain
mengarah pada satu tujuan yaitu tujuan sekolah sebagai institusi.
Mengubah pendekatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan
bagus hasilnya (one shot and quick fix). Akan tetapi merupakan proses yang
berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang
bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pendidikan persekolahan. Model
MBS memiliki potensi menciptakan pengelolaan sekolah secara professional
didukung oleh factor informasi, pengetahuan, keterampilan,dan insentif yang
berorientasi pada mutu, efektivitas, efisiensi, dan kemandirian. Manajemen
berbasis sekolah memperkuat strategi pengorganisasian dengan memperkuat
alokasi anggaran, pemberdayaan personal, dan memadukan fungsi organisasi
dengan keputusan strategis. Strategi pengetahuan disusun secara sistematis
sesuai kecakapan menyelesaikan masalah kebutuhan sekolah, sedangkan
strategi informasi memperkuat keterampilan untuk memperbaiki berbagai
kegiatan staf dan kemampuan organisasi mengembangkan manajemen berbasis
sekolah.
22

E. Standar pelayanan Minimal (SPM) Penyelenggaraan Sekolah


Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 053/U/2001 tanggal 19 April
2001 tentang pedoman penyusunan standar pelayanan minimal penyelenggaran
persekolahan bidang pendidikan dasar dan menengah. Standar pelayanan minimal
(SPM) adalah spesifikasi teknis sebagai patokan pelayanan minimal yang wajib
dilakukan oleh daerah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan kegiatan
persekolahan. SPM manajemen sekolah pada berbagai jenjang dan jenis menurut
kepmen tersebut dikemukakan sebagai berikut.

1. Manajemen Taman Kanak-kanak (TK)


Setiap Taman Kanak – Kanak (TK) melaksanakan peningkatan mutu. Dalam
hubungannya dengan manajemen TK, setiap TK perlu (1) merumuskan visi, misi
dan target peningkatan mutu secara berkelanjutan; (2) merencanakan dan
melaksanakan program TK yang ditetapkan; (3) melaksanakan monitoring dan
evaluasi pelaksanaan program; (4) menyusun laporan dan mengevaluasi
keberhasilan program; (5) merumuskan program baru sebagai kelanjutan
program yang telah dilaksanakan; (6) melaporkan kemajuan yang telah dicapai
oleh TK kepada orangtua, masyarakat dan pemerintah (stakeholders
pendidikan); (7) pengawasan dan pengendalian mutu kegiatan di TK
dilaksanakan secara internal dan eksternal, serta transparan dengan prinsip
akuntabilitas publik; dan (8) evaluasi pelaksanaan program TK untuk mengetahui
tingkat efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan, pelaksanaan
kurikulum, dan penilaian kinerja TK sebagai satu kesatuan secara menyeluruh.
Penilaian TK dapat bersifat lokal (TK sendiri atau self assessment dan
pemerintah daerah), bersifat nasional (pemerintah pusat) sesuai dengan tujuan
dan lingkupnya.

2. Manajemen sekolah dasar (SD)


Setiap Sekolah Dasar (SD) menerapkan manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah. Dalam sistem ini kepala sekolah bersama dewan guru dan
warga belajar lainnya secara mandiri, transparan, dan bertanggung jawab
melaksanakan program sekolah untuk mencapai visi, misi, dan target mutu yang
diamanatkan oleh masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan terhadap
pendidikan di sekolah. Dalam hubungan dengan manajeemn sekolah, setiap SD
(1) merumuskan visi dan misi yang yang jelas serta terarah sesuai dengan visi
dan misi dan standar mutu pendidikan nasional; (2) merencanakan dan
melaksanakan program SD yang telah ditetapkan; (3) melaksanakan monitoring
23

dan evaluasi pelaksanaan program; (4) menyusun laporan dan mengevaluasi


keberhasilan program; (5) merumuskan program baru sebagai kelanjutan dari
program yang telah dilaksanakan.
Pengawasan dan pengendalian mutu kegiatan di sekolah dilaksanakan
secara internal dan eksternal, serta transparan dengan prinsip akuntabilitas
publik. Evaluasi pelaksanaan program sekolah untuk mengetahui tingkat
efesiensi dan efektivitas penyelenggaran pendidikan, pelaksanaan kurikulum,
dan penilaian kinerja sekolah sebagai satu kesatuan secara menyeluruh. Pada
waktu-waktu tertentu dilakukan penilaian input, proses, output, dan outcome
pendidikan serta manajemen sekolah sebagai bagian dari kegiatan akreditasi
sekolah. Kepala sekolah bersama dewan guru serta warga sekolah secara
transparan dan bertanggung jawab melaksanakan visi, misi, dan program
sekolah yang diamanatkan oleh masyarakat dan seluruh pihak yang
berkepentingan (stakeholders).

3. Manajemen Sekolah Menengah Pertama (SMP)


Setiap sekolah menengah pertama (SMP) menerapkan manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah. Dalam sistem ini kepala sekolah bersama
dewan guru dan warga sekolah lainnya secara mandiri, transparan, dan
bertanggung jawab melaksanakan program sekolah untuk mencapai visi, misi
dan target mutu yang diamanatkan oleh masyarakat dan semua pihak yang
berkepentingan terhadap pendidikan pendidikan di sekolah yang bersangkutan
(stakeholders pendidikan). Mencapai tujuan tersebut setiap sekolah (1)
merumuskan visi dan misi yang jelas serta terarah sesuai dengan visi dan misi
standar mutu pendidikan nasional; (2) merencanakan dan melaksanakan
program SMP yang telah ditetapkan; (3) melaksanakan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan program; (4) menyusun laporan dan mengevaluasi keberhasilan
program; (5) merumuskan program baru sebagai kelanjutan dari program yang
telah dilaksanakan. Untuk mengawasi tercapainya program dilakukan kontrol
melalui (1) pemantauan dan pengawasan internal dan eksternal; (2) transparansi
manajemen; dan (3) akuntabilitas publik. Penilaian sekolah dilakukan untuk
mengetahui tingkat efisiensin dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan,
pelaksanaan kurikulum, dan penilaian kinerja sekolah sebagai satu kesatuan
secara menyeluruh. Penilaian sekolah dapat bersifat nasional (pemerintah
pusat), lokal (pemerintah daerah), dan sekolah itu sendiri sesuai dengan tujuan
dan lingkupnya sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
24

4. Manajemen Sekolah Menengah Atas (SMA)


Ketenagaan Sekolah Menengah Atas (SMA) menurut Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional RI No. 053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang pedoman
penyusunan standar pelayanan minimal penyelenggaraan persekolahan bidang
pendidikan dasar dan menengah pada pada Sekolah Menengah Atas (SMA)
terdiri dari kepala sekolah berijazah serendah – rendahnya S1 berasal dari LPTK
atau non LPTK dengan akta mengajar, wakil kepala sekolah, kepala urusan tata
usaha, guru mata pelajaran berijazah serendah-rendahnya S1 berasal dari LPTK
atau non LPTK dengan akta mengajar sesuai bidan studi yang menjadi tanggung
jawabnya, guru pembimbing, laboran, pustakawan, dan petugas tata usaha.
Untuk tenaga lainnya tidak dijelaskan latar belakang pendidikan yang diperlukan.
Sedangkan organisasi SMA terdiri dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah,
urusan tata usaha sekolah, unit laboratorium, unit perpustakaan, dan dewan
guru.
Setiap Sekolah Menengah Atas (SMA) menerapkan manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah dalam sistem ini kepala sekolah bersama
dewan guru dan warga sekolah lainnya secara mandiri, transparan, dan
bertanggung jawab melaksanakan program sekolah mencapai visi, misi dan
target mutu yang diamanatkan oleh masyarakat dan semua pihak yang
berkepentingan terhadap pendidikan di sekolah (stakeholders pendidikan).
Mencapai tujuan tersebut, setiap sekolah (1) merumuskan visi dan misi yang
jelas serta terarah sesuai dengan visi dan misi dan standar mutu pendidikan
nasional; (2) merencanakan dan melaksanakan program SMA yang telah
ditetapkan; (3) melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program; (4)
menyusun laporan dan dan mengevaluasi keberhasilan program; (5)
merumuskan program baru sebagai kelanjutan dari program yang telah
dilaksanakan. Untuk mengawasi tercapainya program, maka dilakukan kontrol
melalui (1) pemantauan dan pengawasan internal dan eksternal; (2) transparansi
manajemen; (3) akuntabilitas publik. Penilaian sekolah dilakukan untuk
mengetahui tingkat efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan,
pelaksanaan kurikulum, dan penilaian kinerja sekolah sebagai satu kesatuan
secara menyeluruh.
Penilaian sekolah dapat bersifat nasional (pemerintah pusat), lokal
(pemerintah daerah), dan sekolah itu sendiri sesuai dengan tujuan dan
lingkupnya serta prinsip manajemen berbasis sekolah. Komponen penting
penilaian adalah (1) kurikulum nasional maupun muatan lokal dilihat dari
ketersediaan, persebarannya, keterlaksanaan, dan presentase daya serap; (2)
25

peserta didik dilihat dari angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi murni (
APM), angka pendaftaran peserta didik, angka putus sekolah (APS), angka
mengulang, kelangsungan belajar peserta didik (survival rate), dan presentase
kelulusan; (3) ketenagaan yaitu kinerja personal sekolah, kualifikasi dan keahlian
tenaga guru dan tenaga kependidikan, dan rasio guru dengan peserta didik; (4)
organisasi sekolah yaitu struktur organisasi, personalia, uraian tugas, dan
mekanisme kerja; (5) pembiayaan yaitu ketersediaan anggaran yang bersumber
dari pemerintah dan masyarakat, serta komponen yang harus dibiayai; (6)
sarana dan prasaran yaitu ketersediaan dan perawatan lahan, bangunan,
perabot, peralatan laboratorium dan media, buku teks, sarana dan peralatan
olah raga, sarana dan peralatan seni, infrastruktur, dan sebagainya; (7)
manajemen sekolah yaitu pemahaman visi dan misi sekolah, tingkat kehadiran
guru dan tenaga kependidikan serta personal lainnya, tingkat kehadiran peserta
didik, kinerj sekolah, dan tertib administrasi; dan (8) peran serta masyarakat
yaitu dukungan dan peran serta komite sekolah, perhatian orangtua, peran serta
tokoh masyarakat, peran serta dunia usaha, dan sebagainya.

5. Manajemen Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)


Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 053/U/2001 tanggal 19 April
2001 tentang pedoman penyusunan standar pelayanan minimal
penyelenggaraan persekolahan bidang pendidikan dasar dan menengah pada
sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Menegaskan ketenagaan SMK terdiri dari
kepala sekolah berijazah serendah-rendahnya S1 berasal dari LPTK atau non
LPTK dengan akta mengajar, wakil kepala sekolah, kepala jurusan (program
keahlian), kepala instalasi, kepala urusan tata usaha, guru mata pelajaran
berijazah serendah-rendahnya S1 berasal dari LPTK atau non LPTK dengan
akta mengajar sesuai bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya, guru
pembimbing, guru praktek, teknisi sumber belajar, laboran, pustakawan, ketua
rumpun (bidang keahlian), wali kelas dan petugas tata usaha. Untuk tenaga
lainnya tidak dijelaskan latar belakang pendidikan yang diperlukan. Organisasi
SMK terdiri dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, urusan tata usaha, unit
laboratorium, unit bengkel, instalasi, unit perpustakaan, dan dewan guru. Setiap
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menerapkan manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah.
Dalam sistem ini kepala sekolah bersama dewan guru dan warga sekolah
lainnya secara mandiri, transparan, dan bertanggung jawab melaksanakan
program sekolah untuk mencapai visi, misi dan target mutu yang diamanatkan
26

oleh masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan di


sekolah yang bersangkutan (stakholders pendidikan). Mencapai tujuan tersebut,
maka setiap sekolah (1) merumuskan visi dan misi yang jelas serta terarah
sesuai dengan visi dan misi dan standar mutu pendidikan nasional; (2)
merencanakan dan melaksanakan program SMK yang telah ditetapkan; (3)
melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan progra; (4) menyusun
laporan dan mengevaluasi keberhasilan program; (5) merumuskan program baru
sebagai kelanjutan dari program yang telah dilaksanakan. Untuk mengawasi
tercapainya program, maka dilakukan kontrol melalui (1) pemantauan dan
pengawasan internal dan eksternal; (2) transparansi manajemen; dan (3)
akuntabilitas publik. Penilaian sekolah dilakukan untuk untuk mengetahui tingkat
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan, pelaksanaan kurikulum,
dan penilaian kinerja sekolah sebagai satu kesatuan secara menyeluruh.
Penilaian sekolah dapat bersifat nasional (pemerintah pusat), lokal (pemerintah
daerah), dan sekolah sesuai dengan tujuan dan lingkupnya sesuai dengan
prinsip manajemen berbasis sekolah.

F. Tenaga Kependidikan Bukan Pendidik


Tenaga kependidikan bukan pendidik menurut Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional RI No. 053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang pedoman penyusunan
standar pelayanan minimal penyelenggaraan persekolahan bidang pendidikan dasar
dan menengah adalah Sumber Daya Manusia (SDM) di sekolah yang tidak terlibat
secara langsung dalam pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah,
tetapi sangat mendukung keberhasilannya dalam kegiatan administrasi sekolah.
Tenaga bukan pendidik menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tersebut
adalah (1) kepala bagian tata usaha; (2) pelaksanaan kegiatan kepegawaian; (3)
pelaksanaan urusan keuangan; (4) pelaksanaan urusan perlengkapan dan logistik;
(5) pelaksanaan sekertariat dan keperserta didikan; dan (6) pengemudi dan penjaga
sekolah.
Dilihat dari substansinya personal pendidikan di sekolah terdiri (1) tenaga guru
yang bertugas dan bertanggung jawab dalam hal pelayanan belajar dengan segala
aspek dan kriteria yang menyertainya; (2) tenaga kependidikan bukan guru yang
bertugas dan bertanggung jawab memberikan pelayanan teknis kependidikan
kepada peserta didik, guru, dan kepala sekolah atas dasar dan prinsip ilmiah,
sistematis, dan terukur atas dasar bidang keahlian tertentu dan kriteria yang
menyertainya; dan (3) tenaga administrasi atau ketatausahaan yang bertugas
membantu kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan dalam kelancaran
27

kegiatan administrasi ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan dan


logistik sekretariat dan surat menyurat, kepeserta didikan, transportasi, dan
sebagainya yang bersifat teknis administratif.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa secara spesifik personal pendidikan
di sekolah minimal ada pada empat kategori (1) tenaga guru (bidang studi) sebagai
tenaga pendidik melaksanakan tugas layanan belajar; (2) tenaga kependidikan
sebagai tenaga ahli (bimbingan penyuluhan, ahli kurikulum, teknologi pendidikan,
perencanaan pendidikan, dan psikologi pendidikan) yang bertugas memberikan
layanan teknis kependidikan; (3) tenaga fungsional non guru dan non tenaga
kependidikan serta laboran, arsiparis dan pustakawan yang bertugas memberikan
pelayanan sesuai bidang tugasnya masing-masing; dan (4) tenaga administrasi
ketatausahaan sebagai tenaga administrasi yang bertugas memberikan layanan
teknis administrasi dan ketatausahaan. Semua personal ini di sekolah secara
hierarkhis bertanggung jawab kepada kepala sekolah dan dibina oleh organisasi
vertikal yaitu Dinas Pendidikan pada pemerintah kabupaten/kota. Sebagaimana
ditegaskan Kepmen Diknas No. 162/U/2003 Bab II Pasal 2 guru yang memenuhi
persyaratan tertentu dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Oleh
karena itu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan wali kelas adalah guru atau
tenaga kependidikan yang diberi tugas tambahan untuk memimpin sesuai dengan
tugas yang diberikan kepadanya.
28

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Konsep manajemen berbasis sekolah adalah gagasan yang menempatkan


kewenangan pengelolaan sekolah dalam satu keutuhan entitas sistem untuk membuat
keputusan. Sekolah sebagai institusi sosial memiliki kewenangan pengambilan
keputusan dalam perspektif peran sekolah yang sesungguhnya, dengan memposisikan
peran sekolah yang sesungguhnya. Bentuknya mengakomodasi aspirasi berbagai pihak
yang berkepentingan direfleksikan dalam rumusan visi, misi, tujuan, program prioritas,
sasaran-sasaran yang akan dicapai, sarana dan prasarana, mutu sumber daya manusia,
dukungan biaya bagi pengembangan sekolah, dan dukungan stakeholder. Realisasi
gagasan penerapan model MBS akan melahirkan sikap kepemilikan (ownership) para
stakeholder terhadap sekolah. Sikap kepemilikan ini akan mendukung pengembangan
keunggulan kompetitif dan komparatif masing-masing di sekolah.
Peningkatan kualitas pengelolaan menggunakan model manajemen berbasis
sekolah (MBS) dalam lingkup negara adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan
meningkatkan kualitas pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan dan
meningkatkan partisipasi sekolah dalam upaya perbaikan kerja di sekolah. Pihak-pihak
yang berpartisipasi dalam manajemen sekolah meliputi guru, peserta didik, orang tua
peserta didik, dan masyarakat dengan memodifikasi struktur pengambilan keputusan.
Dilihat dari dimensi politik, keputusan ini tentu berlingkup pemerintah mulai dari
pemerintah pusat, ke pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan seterusnya ke
satuan pendidikan yaitu sekolah.
Dengan model manajemen berbasis sekolah ini, sekolah lebih mandiri atau otonom
dan mampu menentukan arah pengembangan visi dan misi sesuai dengan kondisi dan
tuntutan lingkungan masyarakatnya. Pengelola pendidikan tingkat pusat hanya berperan
melayani kebutuhan standar sekolah, sedangkan pemerintah daerah berperan
memfasilitasi dan melayani kebutuhan sumber daya manusia, anggaran, sarana dan
prasarana, serta anggaran sekolah. Muchlas (1999) mengemukakan MBS menunjukkan
kejelasan karier dan kebijakan yang menjadi wewenang pusat, daerah, dan sekolah.
Perlu menyesuaikan diri terhadap perubahan pola hubungan subordinasi sekaligus
membawa perubahan sikap dan perilaku baik pimpinan jajaran birokrasi di pemerintah
maupun masyarakat, deregulasi aturan, transparansi, dan akuntabilitas.
29

Efektifitas penyelenggaran model MBS adalah dengan memberikan kekuasaan


kepada sekolah untuk menetapkan keputusan, kebijakan dan arah pengorganisasian
sekolah yang bertumpu pada kekuatan anggaran, sarana dan personal pengelolanya.
Penerapan sistem MBS dikatakan dapat meningkatkan mutu sekolah sebab dengan MBS
maka desentralisasi fungsi-fungsi administrasi dan manajemen akan terlaksana.
Desentralisasi fungsi-fungsi administrasi dan manajemen ini akan memberi kewenangan
kepada kepala sekolah bersama seluruh personil sekolah untuk menentukan visi dan
misi, menyusun perencanaan sekolah, membagi tugas kepada seluruh personal,
memimpin penyelenggaraan program sekolah, melakukan pengawasan dan perbaikan
sesuai dengan keperluan yang dimana keterkaitan ini menunjukkan bahwa peranan
antara para profesional, orang tua, dan masyarakat saling melengkapi memenuhi
tuntutan kualitas sekolah mulai dari input, proses dan output pendidikan.
Adapun indikator keberhasilan MBS terdiri dari beberapa aspek yaitu, efektifitas
proses pembelajaran, kepemimpinan kepala sekolah yang kuat, pengelolaan tenaga
kepemimpinan yang efektif, sekolah memiliki budaya mutu, sekolah memiliki team work,
sekolah memiliki kemandirian, terdapat partisipasi warga sekolah dan masyarakat,
sekolah memiliki transparansi, sekolah memiliki kemauan perubahan, sekolah melakukan
evaluasi perbaikan yang berkelanjutan, skolah memiliki akuntabilitas sustainabilitas dan
memiliki lulusan yang mandiri.
Dilihat dari standar pelayanan semua merujuk pada Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional RI No. 053/U/2001 tanggal 19 April 2001. Dari tingkat TK, SD, SMP, SMA
bahkan SMK semua telah merujuk mengikuti alurnya . semua tingkatan telah
menerapkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Dari segi pembuatan visi
misinya hingga monitoring dan evaluasi semua telah merujuk pada Surat Keputusan
Menteri Pendidikan.
Dan telah ditegaskan pula bahwa ketenagaannya telah di atur dalam Keputusan
Menteri Pendidikan. Seperti kepala sekolah berijazah serendah – rendahnya S1 berasal
dari LPTK atau non LPTK dengan akta mengajar, wakil kepala sekolah, kepala urusan
tata usaha, guru mata pelajaran berijazah serendah-rendahnya S1 berasal dari LPTK
atau non LPTK dengan akta mengajar sesuai bidan studi yang menjadi tanggung
jawabnya, guru pembimbing, laboran, pustakawan, kepala jurusan (program keahlian),
kepala instalasi, kepala urusan tata usaha. Untuk tenaga lainnya tidak dijelaskan latar
belakang pendidikan yang diperlukan.
Sedangkan tenaga kependidikan bukan pendidik ialah Sumber Daya Manusia (SDM)
di sekolah yang tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) di sekolah, tetapi sangat mendukung keberhasilannya dalam kegiatan
administrasi sekolah.
30

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai