Anda di halaman 1dari 16

TUGAS REVIEW FARMAKOTERAPI

SISTEM SYARAF RENAL DAN KARDIOVASKULAR


“GAGAL GINJAL AKUT”

FKK 4

Disusun oleh :
WILLY DERIZQI B.S
20144229A

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2017
A. DEFINISI
Gagal ginjal akut (ARF) secara umum didefinisikan sebagai penurunan mendadak
dan berkelanjutan dalam fungsi ginjal yang mengakibatkan ketidakmampuan ginjal
mengeluarkan hasil metabolisme berupa nitrogen, urin yang berkonsentrasi, mengatur
cairan dan keseimbangan elektrolit , dan menjaga homeostasis asam basa. ARF adalah
sindrom beberapa etiologi yang mencakup prerenal, intrinsik, dan penyebab obstruktif.
Gagal ginjal berat yang memerlukan terapi penggantian ginjal, termasuk transplantasi,
disebut penyakit ginjal tahap akhir.
Pada pasien kritis, sistem penilaian prognostatik akut, Age, Chronic Health Evaluation
(APACHE III) mendefinisikan ARF sebagai elevasi SCr lebih besar dari atau sama dengan 0.5
mg / d L / hari dengan output urin kurang dari 410 m L per hari dan tidak ada dialisis kronis
yang sudah ada sebelumnya.

Sinyal pertama dalam mendeteksi ARF adalah adanya perubahan kreatinin serum
(SCr), penanda pengganti zat terlarut clearance oleh ginjal. Salah satu definisi yang luas
adalah peningkatan SCr selama 2 minggu atau kurang dari 0. 5 mg per desiliter (44. 2 μ
mol / L) jika baseline kurang dari 2.5 mg per desiliter (221 μ mol / L) atau peningkatan
SCr oleh lebih dari 20% jika nilai dasar lebih besar dari 2. 5 mg per desiliter ( 221 μ mol
/ L).6 Kriteria lain untuk mengidentifikasi pasien dengan ARF didasarkan pada perubahan
bergradasi di SCr dari baseline nilai (Tabel 42. 1).

Definisi berdasarkan SCr dan output urin (RIFLE dan AKIN) telah diusulkan untuk
divalidasi, meliputi :
1. Kenaikan SCr sebesar 0,3 mg/dl (26.5 lmol/L) dalam waktu 48 jam
2. Kenaikan SCr menjadi 1.5 kali baseline, yang diketahui atau diduga selama7 hari
sebelumnya.
3. Volume urin 0.5 mL/kg/jam selama 6 jam.

B. KLASIFIKASI

ARF diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan mempercepat dan etiologi


faktor: prerenal, intrinsik, dan ARF postrenal. ARF dapat dijelaskan lebih lanjut sesuai
dengan jumlah urin yang diproduksi per hari sebagai anuric ARF (<50 m L / hari), oliguri
ARF (50 ke 400 mL / hari), dan nonoliguric (> 400 mL / hari). Pasien dengan nonoliguric
ARF urin yang tidak berkonsentrasi yang diproduksi dan terus mempertahankan urea,
kreatinin, dan produk sisa lainnya dari metabolisme.

1. Azotemia prerenal

Azotemia prerenal terjadi ketika RBF menurun sampai tingkat yang memadai untuk
mempertahankan sel namun tidak memadai untuk mempertahankan GFR normal. RBF yang
dikurangi dapat menjadi sekunder akibat kejadian yang mengakibatkan penurunan perfusi
ginjal atau vasokonstriksi arteriolar aferen kompensasi berat. Berbagai penyebab azotemia
prerenal tercantum dalam Tabel 42.2
Hipoperfusi ringan, disebabkan oleh penurunan volume, menyebabkan prerenal
azotemia dengan penurunan ringan pada GFR. Ginjal berusaha untuk meningkatkan volume
intravaskular oleh melestarikan garam dan air melalui peningkatan proksimal dan reabsorpsi
distal serta peningkatan hormon antidiuretik (ADH) rilis.

GFR dipertahankan awalnya, tetapi hanya sejumlah kecil urin terkonsentrasi


diproduksi. Dengan demikian, osmolalitas urin dan urin kreatinin: rasio plasma kreatinin yang
tinggi. Karena urea reabsorpsi juga meningkat, peningkatan proporsional dalam nitrogen urea
darah (BUN) relatif terhadap SCr terjadi; oleh karena itu, BUN: rasio SCr sering lebih besar
dari 20: 1. Faktor-faktor lain yang dapat membantu untuk membedakan GGA prerenal dari
intrinsik atau postrenal ARF ditunjukkan pada Tabel 42 .3.

Azotemia prerenal cepat reversibel jika penyebabnya dikoreksi. Restorasi perfusi ginjal
harus membalikkan azotemia prerenal, namun pada beberapa kasus, ARF prerenal dapat
menyebabkan ATN intrarenal dan iskemik.
a. Gagal ginjal akut postrenal

Obstruksi dari sistem pengumpulan umumnya harus melibatkan kedua ginjal (atau satu
ginjal) menyebabkan gagal ginjal yang signifikan.Obstruksi saluran kemih bisa terjadi akibat
obstruksi kandung kemih disebabkan oleh pembesaran prostat, tumor, atau striktur uretra;
obstruksi uretra dari tumor, batu, atau fibrosis; atau bahkan kristal (asam urat, kalsium oksalat)
deposisi dalam tubulus. Beberapa obat dapat menyebabkan crystal diinduksi ARF postrenal,
termasuk asiklovir, sulfonamid, methotrexate, indinavir, dan triamterene. Obstruksi harus
dipertimbangkan pada pasien dengan anuria akut, terutama pada mereka dengan riwayat
poliuria dan oliguria. Azotemia postrenal hanya akumulasi dari hasil metabolisme nitrogen
sekunder untuk obstruksi aliran urin. azotemia postrenal tercantum dalam Tabel 42.4.

Penyebab ini harus disingkirkan awalnya karena mereka sering mudah diperbaiki,
mencegah perkembangan ke arah gagal ginjal akut intrinsik
b. Gagal ginjal akut intrinsik
Intrinsik ARF adalah penurunan fungsi ginjal yang dihasilkan dari iskemik yang lebih
parah atau berkepanjangan, beracun, atau mekanisme imunologi (Tabel 42.5) dan berhubungan
dengan kerusakan struktural glomeruli, tubulus, pembuluh darah pasokan, atau masalah
interstitial. Kerusakan tersebut ke parenkim ginjal sering berikut azotemia prerenal atau
postrenal, dan jika tingkat durasi hipoperfusi atau obstruksi cukup, dan tidak segera reversible.
Pemulihan dari penyakit intrarenal biasanya memakan waktu 10 sampai 14 hari, namun
diperlukan waktu 6 minggu sampai lebih dari satu tahun. iskemik adalah penyebab utama ARF
pada pasien rawat inap. ATN merupakan temuan histologis menandakan kerusakan nekrotik
pada tubulus ginjal.
c. Gagal Ginjal Akut dari Agen Terapeutik
Konsentrasi dari nephrotoxins potensial terjadi di dalam tubulus ginjal melalui sekresi
dan reabsorpsi, sehingga mengekspos lumen tubular dan sel peritubular konsentrasi tinggi
racun potensial. Juga, ginjal adalah organ metabolik sangat aktif mampu mengubah menjadi
zat yang tidak berbahaya, seperti acetaminophen yang metabolitnya sangat reaktif. Lesi yang
terkait dengan nefropati akibat obat dapat dibagi menjadi enam kategori: kegagalan prerenal,
ATN, penyakit tubulointerstitial akut (ATID), ARF terinduksi kristal, glomerulonefritis, dan
mikroangiopati trombotik. ACE inhibitor dan angiotensin II antagonis reseptor memblokir
respon adaptif normal hipoperfusi ginjal melalui dominan eferen vasodilatasi. NSAID dan
vasokonstriktor poten seperti cyclosporine dan tacrolimus peningkatan aferen resistensi
pembuluh darah.Penggunaan obat-obat ini dalam pengaturan menurun efektif volume sirkulasi
(gagal jantung kongestif, sirosis) atau penyakit renovaskular (stenosis arteri renalis) bisa
menyebabkan prerenal kegagalan.
C. PENEGAKAN DIAGNOSIS
 riwayat penyakit pasien & pemeriksaan fisik
 urinalisis
> penampakan fisik & kimia > sel & cast
> PH > ekskresi Na
> kemampuan pemekatan > protein
 Ekskresi protein normal < 150 mg/hari, jika > 3 g/hari, suspect
 Gagal ginjal glomeruler
1+ ( 30 mg/100 ml kemih) 3+ (300 mg/100 ml kemih)
2+ (100 mg/100 ml kemih) 4+ (1g/100 ml kemih)
 Ekskresi Na
FE Na (fraksi Na yg diekskresi) > pedoman penting utk membedakan apakah
kenaikan BUN krn gg perfusi renal (pre renal azotemia):
FE Na < 1% atau ATN (FE Na > 20%)
 Riwayat medis
 Riwayat penggunaan obat
 Pemeriksaan fisik : Jika produksi air kemih berkurang, maka patut dicurigai sebagai
gagal ginjal akut. Banyak pasien mengalami pembengkakan di seluruh tubuh
disebabkan oleh retensi urin.
 Penilaian pada hasil laboratorium:
1. BUN (Blood Urea Nitrogen): Nitrogen urea terbentuk ketika protein rusak. Tes
dilakukan dengan mengukur nitrogen urea dalam darah. Uji BUN dilakukan untuk
menguji fungsi ginjal. Nilai BUN orang normal berkisar 7-20 mg/dL. Gagal ginjal
akut ditandai dengan peningkatan kadar BUN.
2. Creatinine clearance : Mengukur kreatinin dalam darah dalam kurun waktu untuk
mengukur fungsi ginjal (GFR) dalam ekskresi kreatinin. Penurunan nilai kreatinin
klearan mengindikasikan gagal ginjal akut.
Nilai normal : Pria : 97-137 ml/min, Wanita : 88-128 ml/min
3. Creatinine – urine : Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatinin
otot dan kreatinin fosfat (protein), disintese dalam hati, ditemukan dalam otot
rangka dan darah, dan diekskresikan dalam urine. Tes ini dapat digunakan sebagai
tes skrining untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Tes digunakan untuk memberikan
informasi mengenai bahan kimia lain dalam urin seperti albumin atau protein. Nilai
kreatinin dalam urin (sampel 24-jam) berkisar 500-2000 mg / hari, tergantung pada
usia Anda dan jumlah massa tubuh.
4. Serum creatinine ( Blood Creatinine ): Pemeriksaan kreatinin serum berguna untuk
mengevaluasi fungsi glomerolus. Peningkatan kreatinin dalam darah menunjukkan
adanya penurunan fungsi ginjal. Perbandingan normal antara BUN dan kreatinin
adalah 12 : 1 – 20 : 1. Nilai rasio yang lebih tinggi menjadi petunjuk adanya
gangguan prerenal. Nilai normal dalam darah
Pria : 0,6-1,3 mg/dl, atau 45-132,5 umol/L,
Wanita : 0,5-0,9 mg/dl
Anak : 0,4-1,2 mg/dl (27-54 umol/L)
Bayi : 0,7-1,7 mg/dl
Bayi baru lahir: 0,8-1,4 mg/dl
5. Serum potassium (test hiperkalemia): Tes ini mengukur jumlah kalium dalam
darah. Kalium (K +) membantu saraf dan otot berkomunikasi. Hal ini juga
membantu nutrisi pindah ke sel dan produk-produk limbah keluar dari sel. kadar
Kalium dalam tubuh terutama dikendalikan oleh hormon aldosteron. Kadar Kalium
normal berkisar 3,7-5,2 mEq / L (miliekuivalen per liter). Hiperkalemia dapat
terjadi apabila ada gangguan ginjal, oliguri, anuria.
6. Urinalysis: warna urin normal bervariasi dari hampir tidak berwarna hingga kuning
tua. Biasanya glukosa, keton protein, dan bilirubin tidak terdeteksi dalam urin.,
yang ditemukan dalam urin: hemoglobin, nitrit, sel darah putih.
Kisaran nilai normal mungkin sedikit berbeda antara laboratorium yang berbeda
 Studi pensitraan (imaging studies)
 Monitoring pada perubahan UOP
Kriteria RIFLE ditentukan berdasarkan perubahan dari glomerular filtration rate
atau kriteria urine output.
D. TERAPI
 Tujuan Terapi : mencegah ARF. Apabila terjadi ARF, tujuan terapi adalah utnuk
menghindari dan meminimalisasi kerusakan ginjal lebih lanjut yang dapat menghambat
pemulihan dan untuk menyediakan fungsi penujang sampai fungsi ginjal kembali
normal.
 Strategi terapi :meningkatkan output urine & RBF, menjaga keseimbangan cairan &
elektrolit, menghilangkan sampah metabolit, meminimalkan nephrotoxic injury lebih
lanjut.
 Pada terapi GGA, terdapat terapi konservatif, yaitu preventif, suportif dan substitusi
yang berguna untuk mencegah komplikasi GGA, dan jika terapi konservatif ini gagal
maka akan diberlakukan managemen terapi GGA dengan terapi ginjal pengganti atau
dialisa (Dipiro, 2008).
1. Terapi Konservatif
a. Terapi Preventif (Fase Oliguri Awal)
Tujuan :
 mencegah terjadi faktor resiko yang ada baik akibat tindakan di dalam rumah
sakit maupun yang sudah ada sebelumnnya.
 Memperingan keadaan GGA dan mengusahakan agar perfusi renal seoptimal
mungkin sehingga oliguri diubah menjadi non-oliguri.
 Diusahakan pasien memenuhi asupan cairan tiap harinya untuk memenuhi
volume efektif tubuh kurang lebih 2 L/hari untuk mencegah dehidrasi. Cara
mengatasi kehilangan volume cairan tubuh :
b. Pendarahan diberi transfuse
c. Plasma expander bila ada luka peritonitis, trauma
d. Air dan elektrolit yang sesuai :
 Muntah – muntah diberi NaCl 0,45% ditambah kalium (10-20m/mol)
 Kehilangan cairan/gangguan pankrealitis, diberi NaCl 0,9% dtambah
HCO3
 Diare diberi D5% ditambah HCO3 + Kalium
 Bila volume efektif tubuh sudah teratasi/rehidrasi masih tetap oliguri bisa
diberi dieresis osmotik berupa : Manitol 12,5 gr i.v tiap 5 menit, dapat
diulang 30 menit kemudian bila produksi urin <20 cc/jam. Apabila diuresi
>20 cc/jam manitol dapat diteruskan 100 g dalam D5% liter/24 jam.
Furosemid 40 – 80 mg i.v. Penggunaan furosemid secara dini pada saat
belum terjadi kelainan organ sangat membantu mencegah terjadinya
nekrosis tubular akut (NTA). Bila 1 – 2 jam sesudah pemberian dieresis
tidak timbul dilakukan diuresis paksa dengan dosis 250 – 500 mg drip dalam
150 cc D5%/jam.
 Bila tetap oliguri dapat diberikan obat vasoaktif untuk memperbaiki perfusi
ginjal yakni dopamine, natriuretik peptide dari atrium. Pemberian dopamine
dosis rendah 2 – 5 mg/kg/menit dalam 12 jam.
 Untuk mempertahankan integritas sel diberi bahan – bahan sitoprotektif
yang akhir – akhir ini dicoba pada tahap dini (oliguri) yakni obat
penghambat kanal kalsium (nifedipine) , prostaglandin, maupun anti radikal
bebas (n-asetylcystein).
e. Bila semua tindakan tindakan pengobatan 1, 2, 3, 4 gagal diperlukan terapi aktif/
dialisa agar tidak masuk tahap oliguri menetap.

2. Terapi Suportif (Fase Oliguri Menetap)


Fase ini merupakan fase gawat darurat pada GGA/NTA. Komplikasi dapat terjadi
dan berakibat mematikan pada fase ini sehingga harus diobati dengan baik, seperti
hiperkalemi, infeksi/sepsis, kelainan neurologi (koma), kardiovaskuler, gastrointestinal
(hematemesis-melena), respirasi, asidosis metabolik. Tujuan terapi adalah menjaga
agar pasien tetap dapat bertahan hidup sehingga ada kesempatan ginjal lebih baik.
Terapi secara suportif homeostatis mengatasi gangguan keseimbangan, antara lain:
a. Pendekatan non-farmakologis :
 Perawatan suportif yang bertujuan untuk memelihara curah jantung/output
jantung dan tekanan darah dalam mengoptimalkan perfusi jaringan selama
restorasi/pemulihan fungsi ginjal.
 Tidak menggunakan/menghentikan obat-obatan yang dapat mempengaruhi
penurunan aliran darah ginjal
 Dialisis atau terapi pengganti ginjal : dialisis dilakukan dengan indikasi ureum
darah >200mg%, hiperkalemia >7,5 mEq/L, bikarbonat serum <12 mEq/l,
adanya gejala overhidrasi (edema paru – paru, dekompensasi jantung, dan
hipertensi yang tidak dapat diatasi dengan obat – obatan), uremia dengan
penurunan kesadaran. Pengobatan pengganti ginjal secara kontinyu dengan
CAVH (continous arterivenous hemofiltrstion) yang tidak memerlukan mesin
pompa sederhana. CAVH dan CVVH (continuous venovenous hemofiltration)
berdasarkan prinsip pengeluaran cairan bersama solutnya melalui membrane
semipermeable oleh hemofilter oleh karena perbedaan tekanan (convective
clearance).
b. Gangguan keseimbangan Asam-Basa
Terapi gangguan keseimbangan asam basa dibagi menjadi dua antara lain :
1. Terapi asidosis respiratorik
 Diberikan cairan yang mengandung bikarbonat dengan pH < 7, 10 segera
diberikan bikarbonat 2-4mEq/kgBB
 Bila mungkin lakukan pemeriksaan analisis gas darah dengan memakai
rumus berikut :
Bikarbonat yang diperlukan (mEq) = BE x 0,3 BB
 Keadaan terkompensasi (pH normal) berikan setengah cairan secara cepat
dan sisanya dengan infuse. Keadaan tak terkompensasi (pH < 7,140)
berikan koreksi penuh secara cepat.
 Bila terdapat gangguan fungsi ginjal pemberian natrium bikarbonat harus
berhati – hati, karena natrium dapat meningkatkan volume cairan
ekstraseluler.
c. Terapi alkalosis respiratorik
Pengobatan alkalosis metabolic atau respiratorik adalah dengan pemberian
ammonium klorida dengan dosis menurut rumus :
Ammonium klorida yang diperlukan (mEq) = (kons. Na bikarbonat yang
diinginkan – kons. Na bikarbonat yang diukur) x BB (kg) x faktor distribusi dalam
tubuh (untuk ammonium klorida adalah 0,2-0,3).
d. Nutrisi
Pada GGA kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya.
GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang amat komplek, tidak hanya
mengatur air, asam basa, elektrolit, tetapi asam amino atau protein, karbohidrat dan
lemak.
Pengaturan karbohidrat : untuk mencegah pemecahan jaringan endogen dan
starvation ketoasidosis harus diberikan cukup kalori, yaitu 35 – 50 kal/kgBB.
Pengaturan protein : keperluannya ditentukan oleh hiperkatabolisme penderita,
sebaiknya diberikan protein hewani sebanyak 0,5g/kgBB/hari bila
hiperkatabolisme ringan; bila berat protein dapat ditolerir diberikan 1-
1,5g/kgBB/hari. Protein yang diberikan kombinasi asam amino essensial dan non
essensial. Lemak dapat diberikan dalam bentuk non essensial dengan jumlah lebih
kecil (maksimal 1/3 jumlah kalori).
f. Pendekatan Farmakologi
Bila ada overdehidrasi, dapat diberikan furosemid 40-80 mg/i.v. Bila tetap
gagal dapat dilakukan dialisa. Terapi penggantian ginjal (Renal Replacement
Therapy/RRT), seperti hemodialisis dan dialysis perotonial berfungsi untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit saat dilakukan eksresi produk
buangan untuk indikasi bagi RRT pada penderita ARF. AEIOU Sebagai dasar
Indikasi Untuk Terapi Penggantian ginjal.

g. Diuretik loop
Tidak menunjukkan peningkatan pemulihan pada pasien ARF. Namun Diuretik
dapat memfasilitasi pengaturan kelebihan cairan. Diuretic yang paling efektif adalah
manitol dan diuretic loop (furosemid).
a. Manitol 20% diberikan pada dosis 12.5-25 g secara iv selama 3-5 menit. Kerugian
: harus diberikan secara iv, risiko hiperosmolaritas, dan kebutuhan yang tinggi akan
pengawasan karena manitol dapat berkontribusi pada terjadinya ARF.
b. Diuretic loop (furosemid, bumetanid, torsemid, asam etakrinat) memiliki efikasi
yang mirip. Asam etakrinat digunakan khusus untuk pasien dengan alergi obat
golongan sulfa. Pemberian diuretic secara kontinu melalui infuse terlihat lebih
efektif dan memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan pemberian
bolus secara intermiten.
c. Dosis permulaan (loading dose) iv (setara dengan 40/80 mg furosemid) sebaikanya
diberikan sebelum memulai pemberian infus kontinu (setara dengan pemberian
furosemid 10-20 mg/jam).
d. Beberapa strategi dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
umum pada pasien ARF yakni resistansi diuretic. Gologan obat diuretic bekerja
pada tubulus distal (tiazida) atau pada duktus pengumpul (amilorida, triamteren,
spinorolakton) yang dapat bekerja sinergis apabila digunakan bersamaan dengan
diuretic loop. Etolazon umum digunakan karena berbeda dengan tiazida lain.
Metolazone dapat memberikan hasil dieresis yang positif pada pasien dengan GFR
kurang dari 20 ml/menit (Dipiro, 2008).
Penyebab Umum Resistensi Diuretik Pada Pasien Gagal Ginjal Akut

3. Terapi Substitusi (Fase dieresis dan Penyembuhan)


Pada Fase ini yang perlu diperhatikan adanya poluri (sampai 4000-5000 cc/hari)
yang mungkin berakibat dehidrasi, asidosis, bahkan hipokalemi. Terapi dengan
substitusi cairan, garam, bikarbonat, kalium, dicoba per oral bila tidak mungkin bisa
parenteral 3 – 5 hari. Fase poliuri ini berhenti dan pelan – pelan normal bila BUN
menurun sampai <45 mg%.

Anda mungkin juga menyukai