Sistematika dasar selalu digunakan dalam mempelajari ilmu hukum, tanpa terlepas dari
bagaimana tata hukum yang ada didalam ilmu hukum itu sendiri. Sistematika umum yang
digunakan adalah sebagai berikut:
HK TATA TANTRA/
HK TATA NEGARA
HUKUM TANTRA/
HUKUM NEGARA
HK ADM TANTRA/
HK ADM NEGARA
HUKUM PERDATA
(B.W)
HUKUM PERDATA
MATERIAL
HUKUM HUKUM
HUKUM PERDATA
PERDATA
(W.V.K)
HUKUM PERDATA
FORMAL
HUKUM PIDANA
MATERIAL
HUKUM PIDANA
HUKUM PIDANA
FORMAL
Melihat sistematika dasar hukum diatas, maka letak Hukum Pajak berada dalam tata
hukum nasional kita. Dalam literature, ternyata Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum
Administrasi Negara, yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara
kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga Negara serta aparaturnya dalam
melaksanakan tugas adminisrasi Negara.
Sekalipun kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi Negara,
dalam pengaturan materinya banyak memiliki kesamaan dengan hukum perdata dan hukum
pidana, istilah-istilah yang digunakan, penafsiran yang digunakan, dan sanksi-sanksi yang
digunakan banyak mengambil dari hukum perdata dan hukum pidana, sebagaimana dijelaksan
dibawah ini:
HUKUM PIDANA
Hukum perdata merupakan hubungan hukum yang terjadi antara sesame anggota
masyarakat, sedangkan hukum pajak merupakan hukum publik (bagian dari hukum Administrasi
Negara) yang mengatur hubungan hukum (khususnya masalah pemungutan pajak) antara
Pemerintah cq. Direktorat Jenderal Pajak dengan masyarakat (disebut Wajib Pajak). Hubungan
yang jelas tampak adalah bahwa dalam hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan
pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata, misalnya berupa perjanjian-perjanjian,
hal pendapatan (penghasilan), kekayaan, dan warisan. Seseorang yang melakukan perjanjian jual
beli suatu barang, merupakan dasar bagi hukum pajak untuk melakukan pemungutan
pajak/pengenaan pajak, misalnya transaksi pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai); transaksi
penjualan tanah dan bangunan antara pihak terjual dan pihak pembeli, merupakan perbuatan
hukum perdata. Perbuatan hukum ini merupakan sasaran atau objek dikenakannya pemungutan
pajak atas transaksi tersebut.
Hubungan lain, misalnya mengenai pengertian dalam hukum pajak, banyak dipengaruhi
oleh hukum perdata seperti pengertian Wajib Pajak yang dalam hukum perdata sering disebut
subjek hukum walaupun pengertian subjek hukum sebenarnya lebih luas daripada pengertian
Wajib Pajak. Pengertian Wajib Pajak dalam hukum pajak tentunya dipengaruhi oleh hukum
perdata pada umumnya.
Hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum public merupakan hubungan hukum
yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah yang berkaitan dengan masalah tindak pidana.
Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
banyak digunakan dalam peraturan undang-undang pajak. Paling mudah bila kita lihat ketentuan
yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 yang dengan jelas sekali
menyebutkan adanya sanksi pidana (berupa kealpaan dan kesengajaan) terhadap Wajib Pajak
yang melanggar ketentuan dibidang perpajakan. Bahkan ancaman-ancaman pidana dalam hukum
pajak selalu mengacu pada ketentuan hukum pidana, misalnya terhadap Wajib Pajak yang
memindahtangankan atau memindahkan hak atau merusak barang yang telah disita karena tidak
melunasi utang pajaknya akan diancam Pasal 231 KUH Pidana.
Demikian juga apabila terjadi tindak pidana pajak, maka proses penyidikan dan
penuntutan tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan KUHP. Termasuk misalnya dalam hal
pembuktian tindak pidana pajak mengacu pada Pasal 184 KUHAP.
b. Syarat Yuridis
Pembayaran pajak harus seimbang dengan kekuatan membayar wajib pajak
berdasarkan UU. Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi : "Pajak dan
pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang - undang", ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut
harus dijamin kelancarannya.
Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum.
Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak.
c. Syarat Ekonomis
Pemungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi dan tidak
boleh mengganggu kehidupan ekonomis dari si wajib pajak. Artinya pemungutan pajak
ini hendaknya diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi
perekonomian, baik itu dalam kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Jangan
sampai terjadi pemungutan pajak yang tidak sesuai, karena dapat merugikan kepentingan
masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama
masyarakat kecil dan menengah.
d. Syarat Finansial
Dimana pajak yang dipungut cukup untuk pengeluaran Negara dan hendaknya
pemungutan pajak tidak memakan biaya yang terlalu besar. Biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak
yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu,
sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan
demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari
segi penghitungan maupun dari segi waktu
Contohnya :
Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan
maupun perseorangan (pribadi).