Anda di halaman 1dari 10

1.

4 Kedudukan hukum pajak dalam tata hukum nasional

Sistematika dasar selalu digunakan dalam mempelajari ilmu hukum, tanpa terlepas dari
bagaimana tata hukum yang ada didalam ilmu hukum itu sendiri. Sistematika umum yang
digunakan adalah sebagai berikut:

HK TATA TANTRA/
HK TATA NEGARA
HUKUM TANTRA/
HUKUM NEGARA
HK ADM TANTRA/
HK ADM NEGARA
HUKUM PERDATA
(B.W)
HUKUM PERDATA
MATERIAL
HUKUM HUKUM
HUKUM PERDATA
PERDATA
(W.V.K)
HUKUM PERDATA
FORMAL

HUKUM PIDANA
MATERIAL
HUKUM PIDANA

HUKUM PIDANA
FORMAL

Melihat sistematika dasar hukum diatas, maka letak Hukum Pajak berada dalam tata
hukum nasional kita. Dalam literature, ternyata Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum
Administrasi Negara, yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara
kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga Negara serta aparaturnya dalam
melaksanakan tugas adminisrasi Negara.
Sekalipun kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi Negara,
dalam pengaturan materinya banyak memiliki kesamaan dengan hukum perdata dan hukum
pidana, istilah-istilah yang digunakan, penafsiran yang digunakan, dan sanksi-sanksi yang
digunakan banyak mengambil dari hukum perdata dan hukum pidana, sebagaimana dijelaksan
dibawah ini:

HK. TATA NEGARA


HUKUM NEGARA

HK. ADM NEGARA HUKUM PAJAK

HUKUM HUKUM PERDATA

HUKUM PIDANA

Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata

Hukum perdata merupakan hubungan hukum yang terjadi antara sesame anggota
masyarakat, sedangkan hukum pajak merupakan hukum publik (bagian dari hukum Administrasi
Negara) yang mengatur hubungan hukum (khususnya masalah pemungutan pajak) antara
Pemerintah cq. Direktorat Jenderal Pajak dengan masyarakat (disebut Wajib Pajak). Hubungan
yang jelas tampak adalah bahwa dalam hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan
pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata, misalnya berupa perjanjian-perjanjian,
hal pendapatan (penghasilan), kekayaan, dan warisan. Seseorang yang melakukan perjanjian jual
beli suatu barang, merupakan dasar bagi hukum pajak untuk melakukan pemungutan
pajak/pengenaan pajak, misalnya transaksi pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai); transaksi
penjualan tanah dan bangunan antara pihak terjual dan pihak pembeli, merupakan perbuatan
hukum perdata. Perbuatan hukum ini merupakan sasaran atau objek dikenakannya pemungutan
pajak atas transaksi tersebut.
Hubungan lain, misalnya mengenai pengertian dalam hukum pajak, banyak dipengaruhi
oleh hukum perdata seperti pengertian Wajib Pajak yang dalam hukum perdata sering disebut
subjek hukum walaupun pengertian subjek hukum sebenarnya lebih luas daripada pengertian
Wajib Pajak. Pengertian Wajib Pajak dalam hukum pajak tentunya dipengaruhi oleh hukum
perdata pada umumnya.

Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana

Hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum public merupakan hubungan hukum
yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah yang berkaitan dengan masalah tindak pidana.
Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
banyak digunakan dalam peraturan undang-undang pajak. Paling mudah bila kita lihat ketentuan
yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 yang dengan jelas sekali
menyebutkan adanya sanksi pidana (berupa kealpaan dan kesengajaan) terhadap Wajib Pajak
yang melanggar ketentuan dibidang perpajakan. Bahkan ancaman-ancaman pidana dalam hukum
pajak selalu mengacu pada ketentuan hukum pidana, misalnya terhadap Wajib Pajak yang
memindahtangankan atau memindahkan hak atau merusak barang yang telah disita karena tidak
melunasi utang pajaknya akan diancam Pasal 231 KUH Pidana.
Demikian juga apabila terjadi tindak pidana pajak, maka proses penyidikan dan
penuntutan tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan KUHP. Termasuk misalnya dalam hal
pembuktian tindak pidana pajak mengacu pada Pasal 184 KUHAP.

Politik Hukum Perpajakan Indonesia


Memahami politik hukum perpajakan Indonesia, tentu tidak terlepas dari realita social,
politik, dan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Bahkan sebagai satu anggota masyarakat dunia,
politik hukum perpajakan Indonesia juga tidak terlepas dari realita social politik ekonomi
internasional. Dengan kata lain perkembangan poliitk hukum perpajakan Indonesia tidak semata-
mata ditentukan oleh kehendak pembentuk hukum (Undang-Undang), atau para teoritikus
belaka, akan tetapi turut ditentukan oleh perkembangan hukum di Negara-negara lain, serta
perkembangan hukum internasional yang ada. Politik hukum perpajakan yang dilakukan bangsa
Indonesia berada pada dua ruang lingkup, yaitu pertama, legal policy yang meliputi
perkembangan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum
di bidang perpajakan agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan
hukum yang telah ada mencakup penegasan fungsi lembaga dan pembinaan penegak hukum
yang ada. Pengertian politik hukum disini berarti proses pembuatan dan pelaksanaan hukum
yang menunjukkan sifat kea rah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.
Paling tidak ada dua aspek dari tujuan politik hukum, termasuk politik hukum perpajakan
Indonesia, yaitu sebagai alat (tool) atau sarana dan langkah yang digunakan oleh pmerintah
untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki. Dengan menggunakan
sistem hukum nasional itu akan dapat diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar
seperti yang dicita-citakan sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 1945, yakni
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukkan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Sebagai perwujudan dari semua itu, politik hukum perpajakan Indonesia tampak telah
mengalami perubahan politik hukum yang sangat besar, terlihat dengan dimulainya reformasi
perpajakan Indonesia pada tahun 1983. Perubahan besar ini terjadi ketika pemerintah
mengundangkan tiga paket undang-undang dibidang perpajakn, yaitu Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), dan Undang-undang nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Kemudian pada tahun 1985, pembahasan ini berlanjut dengan di Undangkannya
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumu dan Bangunan dan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Sejak tahun 1983, hukum nasional di bidang perpajakan telah menunjukkan jati dirinya
karena telah memiliki hukum sendiri dengan tidak lagi menggunakan perundang-undangan
peninggalan colonial Belanda. Politik hukum yang dibangun bangsa Indonesia khususnya di
bidang perpajakan paling tidak telah menunjukkan adanya proses pembangunan hukum yang
berintikan pada pembentukan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai
dengan kebutuhan yang dihadapi bangsa Indonesia, serta adanya pelaksanaan dan penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum terhadap proses penerapan undang-undang
yang ada.
Arah pembangunan politik hukum dibidang perpajakan tentu selain dimaksudkan untuk
mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan
kepentingan nasional, juga untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan
kesejahteraan dukungan sarana dan prasarana, termasuk proses peradilan pajak yang cepat dan
murah serta adanya pengawasan yang efektif dari masyarakat umumnya. Politik hukum untuk
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terlihat jelas dengan diubahnya sistem perpajakan lama
dari official assessment system menjadi self assessment system. Dengan sistem self assessment,
politik hukum yang dibangun adalah ingin memberikan kepercayaan secara penuh kepada
masyarakat Wajib Pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya sendiri dengan cara
menghitung sendiri, menyetor jumlah pajaknya sendiri, serta mengisi dan melaporkan laporan
pajaknya sendiri sesuai perhitungan dan data yang dimiliki sendiri oleh Wajib Pajak.
Dengan sistem self assessment ini diharapkan adanya kesadaran dan kepatuhan dari diri
Wajib Pajak sendiri. Kesadaran dan kepedulian untuk melunasi pajak dari seluruh masyarakat
melalui sistem self assessment ini sangat diharapkan sekali. Politik hukum dengan cara
mengubah pola berpikir dari Wajib Pajak dari sistem perpajakan diatas, menjadi sasaran pokok
sistem perpajakan yang dianut sejak reformasi perpajakan. Demikian pula dengan proses
peradilan pajak yang cepat dan murah terus menjadi agenda pokok agar kepastian hukum dalam
menyelesaikan sengketa pajak dapat terwujud. Pengadilan pajak yang terbentuk sejak
diundangkannya UU No. 14 tahun 2002 menunjukkan wujud keinginan politik hukum dalam
menyelaraskan fungsi peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung bisa direalisasikan.
Para hakim pengadilan pajak yang diangkat oleh presiden pun bersifat independen dan
mengucapkan sumpah atau janjinya dihadapan Ketua Mahkamah Agung.
Dengan kata lain, penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum
terhadap proses penerapan undang-undang yang ada boleh dikatakan sudah sesuai dengan fungsi
yang sebenarnya.
Politik hukum perpajakan yang diterapkan di Indonesia, khususnya dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan, sampai saat ini dapat dikelompokkan dalam
beberapa periode yaitu :
a. Periode sebelum reformasi perpajakan, yaitu masa yang terjadi pada tahun 1950 sampai
dengan 1982, yakni penerapan perundang-undangan perpajakan yang masih
menggunakan produk Belanda.
b. Periode reformasi perpajakan pertama, terjadi sejak tahun 1983 sampai dengan tahun
1993, yaitu sejak diundangkannya tiga paket Undang-undang yakni UU No. 6 tahun
1983, UU No. 7 tahun 1983 dan UU Nomor 8 tahun 1983.
c. Periode reformasi perpajakan kedua, terjadi sejak tahun 1994 sampai dengan tahun
1999, yakni adanya perubahan perundang-undangan dari tiga paket UU pada huruf b
diatas menjadi UU No. 9 tahun 1994, UU No. 10 tahun 1994, dan UU No. 11 tahun
1994.
d. Periode reformasi perpajakan ketiga, terjadi sejak tahun 2000 sampai dengan tahun
2007, yakni adanya perubahan perundang-undangan dari tiga paket UU pada huruf b
diatas menjadi UU No. 16 tahun 2000, UU No. 17 tahun 2000, dan UU No. 18 tahun
2000
e. Periode reformasi perpajakan keempat, terjadi sejak tahun 2007 sampai sekarang, yakni
adanya perubahan perundang-undangan dari tiga paket UU pada huruf b diatas. Sampai
dengan tahun 2008, yang baru berhasil diundangkan adalah UU No. 28 Tahun 2007
tentang perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1963 tentang KUP. Sedangkan untuk
dua paket UU lainnya masih belum selesai.

Sejak reformasi perpajakan pertama, politik hukum perubahan undang-undang


perpajakan yang terjadi paling sedikit telah melewati lebih dari lima tahun. Dari reformasi
perpajakan pertama ke reformasi perpajakan kedua saja berlangsng setelah lebih dari sepuluh
tahun, yaitu dari tahun 1983 sampai tahun 1994. Selanjutnya perjalanan menuju reformasi
perubahan ketiga berlangsung 6 tahun berikutnya, yaitu dari tahun 1994 sampai tahun 2000.
Begitu juga dari reformasi perpajakan ketiga menuju reformasi perubahan undang-undang
keempat berlangsung dalam kurun waktu tujuh tahun. Artinya perubahan perundang-undangan
perpajakan yang dilakukan lebih dari lima tahun dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan
perubahan perekonomian dan era perdagangan bebas yang tidak bisa dihindari.
Politik hukum perubahan perundang-undangan perpajakan tersebut merupakan arah
pembangunan politik hukum untuk kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat tanpa
menyampingkan keterlibatan dengan persoalan hukum perpajakan dengan Negara lain. Misalnya
saja penegasan soal perubahan tariff pajak yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan
yang terus mengalami perubahan besaran tariff beserta besaran objek pajak yang akan
dikenakan. Dalam UU Nomor 7 Tahun 1983, maksimal tariff tertinggi ditentukan sebesar 35%
dengan dasar pengenaan diatas Rp.50 juta. Selanjutnya pada tahun 2000 dengan UU No 17
Tahun 2000 dilakukan lagi perubahan dengan besaran tariff tertinggi 35% dengan dasar
pengenaan diatas Rp 200 juta.
Dalam perjalanannya, politik hukum perpajakan yang terjadi sering kali dipengaruhi oleh
berbagai factor, baik factor dunia usaha maupun factor lembaga asing. Dunia usaha adalah factor
dominan perjalanan politik hukum perpajakan Indonesia. Dunia usaha adalah ladang dan mitra
pajak. Sebagai ladang tentu menginginkan kesuburan dan produktivitas yang tinggi,
berkembang, dan sehat. Sebagai mitra tentu mendambakan dunia usaha yang memahami
pentingnya membayar pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya agar pundi-pundi APBN
tetap terisi dalam rangka terealisasinya proses pembangunan yang sudah ditetapkan. Pajak
berusaha menginginkan iklim yang segar bagi dunia usaha, Karena tidak bisa dipungkiri pajak
menjadi sokongan utama berlangsungnya suatu Negara.
Politik hukum perpajakan, khususnya pembaruan atas materi perundang-undangan yang
diharapkan berbagai dunia usaha maupun pemerintah terus menjadi bahan pembahasan. Sering
kali kepentingan dunia usaha tidak bisa sepenuhnya diakomodasi oleh pemerintah. Hal ini bisa
dimengerti oleh karena adanya prinsip hukum bahwa Undang-undang berlaku untuk semua pihak
dan tidak boleh ada perlakuan yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Demikian
pula halnya dengan Undang-undang pajak, tidak boleh ada perlakuan berbeda antara satu jenis
usaha Wajib Pajak dengan jenis usaha Wajib Pajak lain. Bila satu jenis usaha diberikan fasilitas
pajak, jenis usaha lainnya pun perlu diberikan fasilitas sepanjang sesuai dengan undang-undang
pajak itu sendiri.
Selain factor dunia usaha yang memengaruhi kebijakan politik hukum penerapan
ketentuan dibidang perpajakan, factor lembaga asing atau Negara asing juga cukup memengaruhi
politik hukum penerapan perpajakan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan reformasi undang-
undang perpajakan yang sedikit banyak mendapatkan saran dari lembaga IMF (International
Monetary Fund). Misalnya dengan mencabut pembebasan-pembebasan yang diberikan
berdasarkan Keppres tertentu yang menguntungkan satu pihak dan bisa merugikan banyak pihak
atas usaha yang sejenis. Kebijakan yang mengikuti saran IMF demikian, menurut ekonom Faisal
Basri, ini terlalu konservatif dan mengikuti resep ortodoks.
Selanjutnya, politik hukum dalam arti penegasan fungsi lembaga dan pembinaan penegak
hukum yang ada, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak, telah berjalan dengan dibentuknya
suatu organisasi kantor yang mengkhususkan pada pelaksanaan fungsi pelayanan perpajakan
berbagai jenis pajak pada satu kantor pajak yang khusus dibentuk untuk itu. Selain focus pada
pelaksanaan pelayanan fungsi, juga dengan mengelompokkan jenis pelayanan pada Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pelayanan perpajakan
seoptimal mungkin kepada Wajib Pajak, juga memudahkan petugas pajak dalam mengawasi
kewajiban pelaksanaan perpajakan dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Politik hukum
kelembagaan tersebut diimplementasikan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
132/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak,
yang menegaskan antaralain dibentuknya unit Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar,
Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama.
Politik hukum penegasan fungsi kelembagaan diatas pada dasarnya mempunyai sasaran
(goal) agar proses penerimaan pajak dapat tercapai. Politik hukum fungsi kelembagaan tersebut
diatas, tentu terkait erat dengan pembinaan pegawai dan penegakan hukum pajak. Pemberian
reward and punishment bagi pegawai harus berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Demikian pula dalam hal penegakkan hukum (law enforcement), bagi Wajib Pajak harus
mendapat perlakuan yang sama, agar ketentuan perundang-undangan yang sudah disepakati
dapat berjalan dengan baik. Proses penegakkan hukum menjadi politik hukum pemerintah yang
patut terus dijalankan agar sasaran penerimaan pajak tidak terkendala. Dengan tercapainya
sasaran penerimaan pajak, maka proses pembangunan yang direncanakan dapat berjalan dengan
baik sesuai program-program pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya.
Sebaliknya, tidak tercapainya penerimaan Negara dengan sendirinya akan mengganggu program
pembangunan yang dicanangkan pemerintah, yang pada akhirnya akan mengganggu
kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan Negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

1.5 Syarat – syarat Undang – undang Pajak bagi Suatu Negara


Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi,
masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak
akan berjalan maksimal karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah,
maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:
a. Syarat Keadilan
Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu dikenakan
kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar (ability
to pay) pajak tersebut, sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Syarat keadilan dapat dibagi menjadi:
 Keadilan Horizontal, yakni Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar
(gaya pikul) sama harus dikenakan pajak yang sama.
 Keadilan Vertikal, yakni Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar
(gaya pikul) tidak sama harus dikenakan pajak yang tidak sama.
Contohnya :
o Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak.
o Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib
pajak.
o Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat
ringannya pelanggaran.

b. Syarat Yuridis
Pembayaran pajak harus seimbang dengan kekuatan membayar wajib pajak
berdasarkan UU. Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi : "Pajak dan
pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang - undang", ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
 Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut
harus dijamin kelancarannya.
 Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum.
 Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak.

c. Syarat Ekonomis
Pemungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi dan tidak
boleh mengganggu kehidupan ekonomis dari si wajib pajak. Artinya pemungutan pajak
ini hendaknya diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi
perekonomian, baik itu dalam kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Jangan
sampai terjadi pemungutan pajak yang tidak sesuai, karena dapat merugikan kepentingan
masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama
masyarakat kecil dan menengah.
d. Syarat Finansial
Dimana pajak yang dipungut cukup untuk pengeluaran Negara dan hendaknya
pemungutan pajak tidak memakan biaya yang terlalu besar. Biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak
yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu,
sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan
demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari
segi penghitungan maupun dari segi waktu

e. Syarat Pemungutan Pajak dengan Sistem Sederhana


Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan
pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban
pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak
untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem
pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.

Contohnya :

 Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
 Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
 Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan
maupun perseorangan (pribadi).

Anda mungkin juga menyukai