Anda di halaman 1dari 25

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.K
Umur : 60 tahun
Alamat : Mangunrejo, Tegalrejo
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Tanggal masuk : 04 Juli 2015, pukul 11.20 WIB

B. ANAMNESIS

Pasien baru datang dari IGD dengan:

 Keluhan Utama: bengkak di kaki kanan kiri


 Keluhan Tambahan: sesak, batuk, perut kembung
 Riwayat Penyakit Sekarang:
Bengkak awalnya timbul di kedua tungkai kurang lebih sudah sejak 1 tahun
yang lalu, namun terasa memberat dan bengkak semakin membesar sejak 1
minggu terakhir dan muncul bengkak di wajah dan perut terasa membesar.
Sesak sejak 3 bulan, sesak memberat terutama saat malam dan mengganggu
tidur pasien. Saat aktivitas sesak bertambah berat namun berkurang saat
istirahat, saat tidur pasien lebih nyaman memakai 2-3 bantal. Sesak tidak
disertai dengan suara mengi, tidak juga muncul saat udara dingin. Keringat
malam kadang-kadang. Pasien juga merasakan batuk berdahak sejak 3 bulan,
dahak berwarna putih seperti lender, setelah batuk kemudian pasien merasa
sesak. Batuk dirasakan hilang timbul, dan kadang-kadang dahak susah keluar.

1
Nyeri dada dirasakan namun tidak menjalar, tidak seperti ditusuk-tusuk, nyeri
dada terutama timbul setelah batuk. Selama 1 minggu terakhir pasien merasa
BAK sedikit, tidak nafsu makan, mudah lelah. Tidak ada demam, tidak ada
sakit kepala, tidak ada mual dan muntah, BAB biasa.
Satu tahun yang lalu pasien pernah berobat ke dokter spesialis jantung dengan
keluhan sesak, namun pasien tidak pernah kontrol kembali.
 Riwayat Penyakit Dahulu:
 Hipertensi : tidak tahu
 DM : tidak tahu
 Asma : disangkal
 Jantung : diakui
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga:
 Hipertensi : disangkal
 DM : disangkal
 Asma : disangkal
 Riwayat Pengobatan:
 Pasien pernah minum obat untuk jantung, setelah obat habis pasien
tidak pernah kontrol.
 Riwayat Kebiasaan:
 Merokok (+), sudah berhenti sejak kurang lebih 20 tahun yang lalu.
 Tidak pernah mengkonsumsi alcohol
 Riwayat Sosial-Ekonomi:
 Pasien merupakan masyarakat ekonomi menengah kebawah
 Sehari-hari pasien makan makanan seadanya 2-3 kali sehari, jarang
mengkonsumsi buah. Pasien lebih suka minum teh manis dibanding
dengan air putih.

2
C. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6
 Vital sign :
 Tekanan Darah: 150/90 mmHg
 Nadi : 128 x/menit
 Suhu : 37.6˚C
 Pernafasan : 32 x/menit
 Kepala & Leher :
1. Mata
 Konjungtiva anemis : (-/-)
 Sklera ikterik : (-/-)
 Tampak edema pada palpebral kiri dan kanan
2. Hidung : Nafas cuping hidung (+)
3. Mulut : Sianosis (-)
4. Leher
 Peningkatan JVP : (+) ± 2 cm
 Pembesaran KGB : (-)

 Thorax :
 Paru :
 I : simetris kanan dan kiri
 P : gerakan nafas hemithorax kanan dan kiri simetris
 P : perkusi paru sonor kanan dan kiri
 A : suara nafas dasar vesikuler, wheezing -/-, rhonki +/+
 Jantung :
 I : iktus kordis terlihat di ICS 6 midclavicula
 P : iktus kordis teraba dan kuat angkat

3
 P : batas jantung melebar, batas kiri ICS 6 midclavicula sinistra,
batas kanan ICS 5 parasternal dextra, pinggang jantung ICS 5
parasternal sinistra
 A : bunyi jantung I dan II iregular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen :
 I : tampak asites
 A : bising usus (+)
 P : nyeri tekan (+) hipokondrium dextra, hepar teraba 3 jari dibawah
costae, lien tidak teraba
 P : pekak alih (+)
 Ekstremitas
 Tampak pucat pada akral ekstremitas atas dan bawah
 Tampak edema pada kaki kanan dan kiri
 CRT <2 detik
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Hasil pemeriksaan laboratorium :

WBC : 9.4 %LYM : 7.4 (L)


RBC : 5.25 %MID : 5.0
HGB : 15 %GRA : 87.6 (H)
HCT : 41.1 #LYM : 0.7
PLT : 154 #MON : 0.5
PCT : 0.17 #GRA : 8.2 (H)
MCV : 78.3 (L) GLUCOSE : 75
MCH : 30.2 (L) UREUM : 45
MCHC : 38.6 (H) CREATININE : 2.1 (H)
RDW : 37.9 SGOT : 17
MPV : 11.2 SGPT : 10
PDW : 13.6 LED : 14

4
 Hasil pemeriksaan foto thoraks

 Hasil pemeriksaan EKG


 Atrial fibrilasi
 RAD
 RVH

5
E. DIAGNOSIS
1. Cor pulmonal chronic
2. Hipertensi
3. Bronchitis kronis
4. CHF

F. PENATALAKSANAAN
 Infus RL 10 tpm
 Inj Ciprofloksasin 2x0,2
 Inj Metil prednisolone 2x1
 Inj Lasiq 3xII
 Salbutamol 3x2
 Pradaxa 2x1
 Asam folat 2x1
 Vibron 2x1

6
 Pladogrel 1x1
 Bisoprolol 1x1
 Captopril 50 mg 3x1
 Letonal 100 mg 3x1
 ISDN 5 mg 3x1

G. FOLLOW UP RUANGAN

Hari/tanggal S O A P
Jumat 10 juni Sesak berkurang, KU: sakit berat CPCD Infus RL 10 tpm
2015 batuk (+) berdahak, Kes: CM CHF Inj Ciprofloksasin 2x0,2
perut kembung, TD: 110/80 Bronchitis Inj Metil prednisolone
bengkak (+) Suhu: 36 eksaserbasi akut 2x1
Nadi: 82 GGK Inj Lasiq 3xII
RR: 26x/mnt  Salbutamol 3x2
terpasang kanul O2 Pradaxa 2x1
3lpm Asam folat 2x1
Wajah: tampak Vibron 2x1
bengkak periorbital Pladogrel 1x1
Leher: JVP meningkat Bisoprolol 1x1
Paru: ronkhi +/+, Captopril 50 mg 3x1
wheezing -/- Letonal 100 mg 3x1
Jantung: BJ I/II ISDN 5 mg 3x1
ireguler
Abdomen: BU (+),
Hepar teraba 3 jari
dibawah costae, NT (-),
pekak alih (+)
Ekstremitas: edema

Jumat 11 juni Sesak berkurang, KU: sakit berat CPCD Infus RL 10 tpm
2015 batuk (+) berdahak, Kes: CM CHF Inj Ciprofloksasin 2x0,2
perut kembung, TD: 110/70 Bronchitis Inj Metil prednisolone
bengkak (+) Suhu: 36.9 eksaserbasi akut 2x1
Nadi: 88 GGK Inj Lasiq 3xII
RR: 24x/mnt Salbutamol 3x2
Wajah: tampak Pradaxa 2x1
bengkak periorbital Asam folat 2x1
Leher: JVP meningkat Vibron 2x1
Paru: ronkhi +/+, Pladogrel 1x1
wheezing -/- Bisoprolol 1x1

7
Jantung: BJ I/II Captopril 50 mg 3x1
ireguler Letonal 100 mg 3x1
Abdomen: BU (+), ISDN 5 mg 3x1
Hepar teraba 3 jari
dibawah costae, NT (-),
pekak alih (+)
Ekstremitas: edema

minimal
Jumat 12 juni Sesak berkurang, KU: sakit berat CPCD Infus RL 10 tpm
2015 batuk (+) berdahak, Kes: CM CHF Salbutamol 3x2
perut kembung, TD: 110/80 Bronchitis Pradaxa 2x1
bengkak sudah Suhu: 36.4 eksaserbasi akut Asam folat 2x1
berkurang Nadi: 82 GGK Vibron 2x1
RR: 24x/mnt Captopril 50 mg 3x1
Wajah: bengkak Letonal 100 mg 3x1
periorbital berkurang ISDN 5 mg 3x1
Leher: JVP meningkat Aminofilin tab 2x100
Paru: ronkhi -/-, Furosemid 3x1 tab
wheezing -/- Bisoprolol 1x1
Jantung: BJ I/II
ireguler
Abdomen: BU (+),
Hepar teraba 3 jari
dibawah costae, NT (-),
pekak alih (-)
Ekstremitas: edema

minimal

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI COR PULMONALE CHRONIC (CPC)


Kor pulmonal adalah hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan akibat
hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang struktur,
fungsi paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal
jantung kanan.1,2 Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik.
Penyebab kor pulmonal akut tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor
pulmonal kronik sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Pada kor pulmonal kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan sedangkan
pada kor-pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.1

B. INSIDENSI
Insidens yang tepat dari cor pulmonale tidak diketahui, karena seringkali
terjadi tanpa dapat dikenali secara klinis atau pada waktu autopsi. Diperkirakan
insidens cor pulmonale adalah 6% - 7% dari seluruh penyakit jantung berdasarkan
hasil penyelidikan yang memakai kriteria ketebalan dinding ventrikel
postmortem.

9
C. FUNGSI NORMAL SIRKULASI PARU

Sirkulasi paru terletak di antara ventrikel kanan dan kiri untuk tujuan
pertukaran gas. Dalam keadaan normal, aliran darah dalam jaringan vaskular paru
tidak hanya bergantung pada ventrikel kanan tetapi juga dari kerja pompa pada
pergerakan pernapasan. Karena sirkulasi paru merupakan sirkulasi yang
bertekanan dan beresistensi rendah di bawah keadaan normal maka curah jantung
dapat meningkat sampai beberapa kali (seperti yang terjadi pada waktu latihan
fisik) tanpa peningkatan bermakna tekanan arteria pulmonalis. Keadaan ini dapat
terjadi karena besarnya kapasitas jaringan vaskular paru, yang perfusi normalnya
kira-kira hanya 25% dalam keadaan istirahat, serta kemampuannya menggunakan
lebih banyak pembuluh sewaktu latihan fisik.

D. ETIOLOGI

Penyakit-penyakit yang menyebabkan cor pulmonale adalah penyakit


yang secara primer menyerang pembuluh darah paru, seperti PE berulang, dan
penyakit yang menggangu aliran darah paru akibat penyakit pernapasan obstruktif
atau restriktif. COPD terutama jenis bronchitis, merupakan penyebab tersering
cor pulmonale. Penyakit-penyakit pernapasan restriktif yang menyebabkan cor
pulmonale dapat berupa penyakit-penyakit intrinsik seperti fibrosis paru difus,
dan kelainan ekstrinsik, seperti obesitas yang ekstrim, kifoskoliosis, atau
gangguan neuromuskluar berat yang melibatkan otot-otot pernapasan. Akhirnya,
penyakit vaskular paru yang mengakibatkan obstruksi terhadap aliran darah dan
cor pulmonale cukup jarang terjadi dan biasanya merupakan akibat dari PE
berulang.

Secara garis besar etiologi cor pulmonale dapat digolongkan dalam 5 kelompok :

1. Penyakit paru  penyakit paru obstruktif kronik, fibrosis kistik, penyakit paru
interstisial.

10
2. Gangguan sirkulasi pulmonal  tromboemboli pulmonal, hipertensi pulmonal
primer, emboli tumor, sickle cell anemia, shistosomiasis, penyakit vena
oklusif pulmonal.
3. Penyakit neuromuskular  amyotrophic lateral sclerosis, myasthenia gravis,
poliomyelitis, Guillane-Barre syndrome, lesi spinal cord, paralisis diafragma
bilateral.
4. Deformitas rongga thorax  kyphoscoliosis.
5. Gangguan kontrol ventilasi  hipoventilasi sentral primer, sleep apnea
syndrome.

E. EPIDEMIOLOGI

PPOK adalah penyebab paling umum dari kor pulmonal kronis di


Amerika Utara. PPOK mengenai lebih dari 14 juta orang setiap tahunnya di
Amerika serikat dan merupakan penyebab utama kematian. Prevalensi sebenarnya
pasien kor pulmnal dengan PPOK sulit untuk didapat, namun diperkirakan antara
10-30% daari seluruh pasien di rumah saki tuntuk gagal jantung di Amerika
Serikat tiap tahunnya adalah karena kor pulmonale. Pasien dengan penyakit paru
kronis ditemukan lebih dari 40% memiliki faktor resiko kor pulmonale.
Prevalensi kor pulmonal juga meningkat pada pasien hippoksemia, hiperkapnia,
atau obstruksi saluran nafas, dalam sebuah percobaan Administrasi Veteran 1966,
pasien dengan PPOK dan kor pulmonale memiliki angka kematian 73% tiap 4
tahunnya.7

F. PATOFISIOLOGI
Pada PPOK akan terjadi penurunan vascular bed paru, hipoksia, dan
hiperkapnea/ asidosis respirtorik. Hipoksia dapat mengakibatkan penyempitan
pembuluh darah arteri paru, demikian juga asidosis respiratorik. Disamping itu,
hipoksia akan menimbulkan polisitemia sehingga visikositas darah akan
meningkat. Visikositas darah yang meningkat ini pada akhirnya juga akan

11
meningkatkan tekanan pembuluh darah arteri paru. Jadi, adanya penurunan
vaskuler bed, hipoksia dan hiperkapnea akan mengakibatkan tekanan darah
(arteri pulmonal), hal ini disebut dengan hipertensi pulmonal. Adanya hipertensi
pulmonal menyebabkan beban tekanan pada ventrikel kanan, sehingga ventrikel
kanan melakukan kompensasi berupa hipretrofi dan dilatasi. Keadaan ini yang
disebut dengan Cor Pulmonal. Jika mekanisme kompensasi ini gagal maka
terjadilah gagal jantung kanan.1

G. MANISFESTASI KLINIS

Dalam perjalana penyakit kor pulmonal dibedakan 5 fase, yaitu : 8

 Fase I
Pada fase ini belum ada gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya
gejala awal penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), bronkitis kronis,
tuberkulosis paru, bronkiektasis dan sejenisnya. Pasien biasanya sudah
berumur lebih dari 50 tahun dan sering dalam anamnesis terdapat
kebiasaan banyak merokok. 8
 Fase II
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru.
Gejalanya antara lain, batuk lama yang berdahak terutama bronkiektasis,
sesak napas, mengi, sesak napas ketika berjalan menanjak atau setelah
banyak bicara. Sedangkan sianosis masih belum nampak. Pemeriksaan
fisik ditemukan kelainan berupa, hipersonor, suara napas berkurang,
ekspirasi memanjang, ronki basah dan kering, mengi. Letak diafragma
rendah dan denyut jantung lebih redup. Pemeriksaan radiologi
menunjukkan berkurangnya corakan bronkovaskular, letak diafragma
rendah dan mendatar, posisi jantung vertikal. 8
 Fase III
Pada fase ini terjadi gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan
keluhan berkurangnya nafsu makan, berat badan berkurang, dan merasa

12
cepat lelah. Pada pemeriksaan fisik nampak sianotik, disertai sesak dan
tanda-tanda emfisema paru yang lebih nyata. Pemeriksaan laboratorium
menunjukan adanya polisistemia. 8
 Fase IV
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang
somnolen. Pada keadaan yang berat dapat terjadi koma dan kehilangan
kesadaran. 8
 Fase V
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal
meningkat. Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi
ventrikel kanan masih dapat kompensasi. Selanjutnya terjadi hipertrofi
ventrikel kanan kemudian terjadi gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik
nampak sianotik, bendungan vena jugularis, hepatomegali, edema tungkai
dan kadang asites. 8

H. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga. Dari
anamnesis akan didapatkan keluhan utama dan perjalanan penyakit, serta
faktor-faktor lain yang sering membantu tegaknya diagnosis.
 Identitas Pasien
Identitas pasien meliputi nama, tanggal lahir, umur, suku, agama,
alamat, pendidikan, dan pekerjaan
 Keluhan utama
Jika keluhan utama sesak, perlu tanyakan lebih jelas apak sesak nafas
terjadi pada saat melakukan aktivitas atau pada saat istirahat. apakah
terus menerus atau hilang timbul.

13
 Riwayat penyakit sekarang3
1. Ada tidaknya batuk ? sejak kapan , intensitasnya bagaimana,
batuk terus menerus atau hanya sesaat, apakah batu produktif atau
nonproduktif ?
2. Apakah adanya dahak ? warna, dan jumlah dahak bagaimana ?
3. Ada nyeri dada atau tidak ? menjalar ke tempat lain atau tidak ?
4. Ada tidaknya demam ? sejak kapan, intensitas demam bagaimana,
demam tinggi atau ringan ?
5. Ada suara mengi atau tidak ?
6. Adak tidaknya penurunan nafsu makan, penurunan berat badan
yang drastis ?
 Riwayat Penyakit Dahulu3
1. Adakah riwayat sesak nafas sebelumnya ?
2. Apakah sebelumnya pernah dirawat dirumah sakit ?
3. Atau sebelumnya pernah mengalami penyakit asma, atau
emfisema, atau bronkiektasis ?
4. Adakah riwayat hipertensi ?
 Riwayat Pribadi 3
1. Apa ada riwayat merokok ? jika ada sejak kapan, jumlah rokok
yang dihisap perhari ?
2. Bagaimana pola makan sehari-hari ? apakah suka berolahraga ?
3. Adakah riwayat minum alcohol?
4. Ada tidaknya riwayat pengobatan ?
5. Ada tidaknya alergi ?
 Riwayat Penyakit Keluarga3
1. Apakah ada dalam keluarga yang merokok ?
2. Apakah ada dalam keluarga yang menderita penyakit jantung,
stroke, hipertensi, atau mungki emfisema ?

14
Anamnesis yang teliti akan didapatkannya ada tidaknya penyakit paru
yang mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif,
sesak nafas waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase
awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi
lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran
ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya
edema dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal
jantung, hipersekresi branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang
menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan.2
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena
adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam
elastisitas paru-paru (fibrosis penyakit paru atau adanya over inflasi pada
penyakit PPOK). Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi
disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri
pulmonalis. Hemoptisis, karena rupturnya arteri pulmonalis yang sudah
mengalami arteroslerotik atau terdilatasi akibat hipertensi pulmonal juga dapat
terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-gejala neurologis, akibat
menurunnya curah jantung dan hipoksemia.2

2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Diameter dinding dada yang membesar (barrel chest) , sianosis , jari
tabuh. 2
 Palpasi
 Edema tungkai, peningkatan vena jugularis yang menandakan
terjadinya gagal jantung kanan dan ventrikel kanan dapat
teraba di parasternal kanan. Hepatomegali, splenomegali, asites
dan efusi pleura merupakan tanda-tanda terjadinya overload
pada ventrikel kanan. 2

15
 Perkusi
 Pada paru bisa terdengar hipersonor pada PPOK, pada keadaan
yang berat bisa menyebabkan asites. 2
 Auskultasi
 Pada paru ditemukan wheezing dan rhonki, bisa juga
ditemukan bising sistolik di paru akibat turbulensi aliran pada
rekanalisasi pembuluh darah pada chronic thromboembolic
pulmonary hypertension. Terdapatnya murmur pada daerah
pulmonal dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan
merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila sudah terjadi fase
dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu
juga dapat ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. 2
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
Pada foto toraks, tampak kelainan paru disertai pembesaran
ventrikel kanan, dilatasi arteri pulmonal, dan atrium kanan yang
menonjol. Kardiomegali sering tertutup oleh hiperinflasi paru yang
2
menekan diafragrna sehingga jantung tampaknya normal.

Gambar 1. Rontgen foto PPOK (sumber: www.e-radiography.net)

16
b. Elektrokardiografi2

1) Pada EKG Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900


atau lebih.
2) Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
3) Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
4) Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
5) Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada
sadapan prekordial.
6) Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada
PPOK karena adanya hiperinflasi.
7) Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan
gambaran gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat
membingungkan dengan infark miokard.

Gambar 2. EKG Kor Pulmonal (sumber: reference.medscape.com)

17
c. Pemeriksaan tes faal paru
Sering ditemukan kelainan tes faal paru (spirometri) dan
analisis gas darah. Ada respons polisistemik terhadap hipoksia kronik.
Tes faal paru dapat menentukan penyebab dasar kelainan paru. Pada
analisis gas darah bisa ditemukan saturasi O2 menurunnya PCO2
biasanya normal. Bila kor pulmonal disebabkan penyakit vaskular
paru, PCO2 biasanya normal. Bila kor pulmonal akibat hipoventilasi
alveolar misalnya karena PPOK menahun dengan emfisema, PCO2
menigkat. 2

d. Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan
penegakan diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi.
Dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi
ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal
gelombang ’a’ hilang menunjukan hipertensi pulmonal. Kadang-
kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi sulit terlihat katup
pulmonal karena accoustic window sempit akibat penyakit paru. 2

Gambar 3. Ekokardiografi kor pulmonal (sumber: medscape.com)

18
Diagnosis kor pulmonal pada PPOK untuk menegakkan diagnosis kor
pulmonal secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang mendukung ke arah adanya
kelainan paru baik secara struktural maupun fungsional.1

Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah


penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit
yang mengganggu aliran darah paru. Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia,
menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal berturut-turut adalah asma
bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit interstisial
paru, bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Kor pulmonal mempunyai
insiden sekitar 6-7% dari seluruh kasus penyakit jantung dewasa di Amerika
serikat, dengan penyakit PPOK karena bronkitis dan emfisema menjadi
penyebab lebih dari 50% kasus kor pulmonal.1

Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan


berlebihan pada ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan
kerja ventrikel kanan yang menyebabkan hipertrofi otot jantung yang
normalnya berdinding tipis, yang akhirnya dapat menyebabkan disfungsi
ventrikel dan berlanjut kepada gagal jantung. 1

I. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
1. Kor pulmonal akut
Kor pulmonal akut biasanya menjadi kelainan sekunder akibat adanya
emboli paru masif. Akibatnya tahanan vaskuler paru meningkat dan
hipoksia akibat pertukaran gas ditengah kapiler-alveolar yang terganggu,
hipoksia tersebut akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
(arteri) paru. Tahanan vaskuler paru yang meningkat dan vasokonstriksi

19
menyebabkan tekanan pembuluh darah arteri paru semakin meningkat
(hipertensi pulmonal). 4
Hipertensi pulmonal yang terjadi secara akut tidak memberikan waktu
yang cukup bagi ventrikel kanan untuk kompensasi, sehingga terjadilah
kegagalan jantung kanan akut. Gagal jantung kanan mulai terjadi jika
tekanan arteri pulmonalis meningkat tiba-tiba melebihi 40-45 mmHg.
Gagal jantung kanan akut ditandai dengan sesak nafas yang terjadi secara
tiba-tiba, curah jantung menurun sampai syok, JVP yang meningkat, liver
yang membengkak dan nyeri dan bising insufisiensi katup trikuspid. 4

2. Congestive heart failure


Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa
kelaiann fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya
hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. 5
Mekanisme yang mendasari terjadinya aggal jantung kongestif adalah
penurunan kontraksi ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume
darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi
neurohormonal. Vasokontriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan tekanan darah, sedangkan peningkatan preload akan
meningkatkan kontraksi jantung melalui hukum starling. Apabila keadaan
ini tidak segera diatasi, peninggian afterload dan hipertensi disertai dilatasi
jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal
jantung yang tidak terkompensasi.5
3. Perikarditis
Perikarditis adalah peradangan perikard parietalis, viseralis atau keduanya.
Respon perikard terhadap peradangan bervariasi dari akumulasi cairan
atau darah (efusi perikard) deposisi fibrin, proliferasi jaringan fibrosa,
pembentukan granuloma atau klasifikasi. 6

20
Salah satu dari reaksi radang pada perikarditis akut adalah penumpukan
cairan (eksudasi) di dalam rongga perikard yang disebut sebagai efusi
perikard. Efek hemodinamik efusi perikard ditentukan oleh jumlah dan
kecepatan pembentukan cairan perikard. Efusi yang banyak atau tiumbul
cepat akan menghambat pengisian ventrikel, penurunan volume akhir
diastolik sehingga curah jantung sekuncup dan semenit kurang. 6
Kompensasinya adalah takikardia, tetapi pada tahap berat atau kritis akan
menyebabkan gangguan sirkulasi dengan penurunan tekanan darah serta
gangguan perfusi organ dengan segala akibatnya yang disebut sebagai
tamponad jantung. Bila reaksi radang ini berlanjut terus menerus, perikard
mengalami fibrosis, jaringan parut luas, penebalan, kalsifikasi, dan juga
terisi eksudat yang akan menghambat proses diastolik ventrikel,
mengurangi isi sekuncup dan semenit serta mengakibatkan kongesti
sistemik (perikarditis konstriktifa). 6

J. PENATALAKSANAAN
1. Terapi oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan
kelangsungan hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1)
terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi
vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan,
(2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan
hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lainnya. 1
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute
of Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) , dan 24 jam
(NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan dengan pasien
tanpa terapi oksigen.1

21
2. Digitalis
Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal
jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan
pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel normal, hanya pada
pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, digoksin
bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu
diwaspadai resiko aritmia. 1
3. Diuretik
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung
kanan. Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat
menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan
hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah
jantung menurun. 1
4. Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis
alfa adrenergik, dan postaglandin. Bekerja langsung merelaksasikan otot
polos arteri menyebabkan vasodilatasi, namun pemakainnya belum
direkomendasikan secara rutin. 1
5. Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat
disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi
pada pasien. 1

K. PROGNOSIS
Prognosis kor pulmonal bergantung pada patologi yang mendasarinya.
Pasien dengan PPOK yang berkembang menjadi kor pulmonal memiliki
kesempatan 30% untuk bertahan hidup selama 5 tahun.

22
L. KOMPLIKASI
1. Sinkop
2. Hipoksia
3. Edema
4. Kematian

23
BAB III
KESIMPULAN

Kor pulmonal didefinisikan sebagai perubahan dalam struktur dan fungsi dari
ventrikel kanan yang disebabkan oleh adanya gangguan primer dari sistem
pernapasan. Penyebab yang paling sering adalah PPOK, dimana terjadi perubahan
struktur jalan napas dan hipersekresi yang mengganggu ventilasi alveolar. Kelainan
tertentu dalam sistem persarafan, otot pernafasan, dinding dada, dan percabangan
arteri pulmonal juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal.
Kor pulmonale sangat erat hubunganya dengan hipertensi pulmonal.
Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi
pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis kor pulmonal diantaranya adalah
pemeriksaan laboratoris, pemeriksaan foto toraks, ekokardiografi, CT scan, serta
pemeriksaan EKG. Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengobati kor
pulmonal, seperti pemberian oksigen, tirah baring , diuretik, digitalis, dan
anikoagulan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Harun S, Ika PW. Kor pulmonal kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, K Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V.
Jilid II. Jakarta: FKUI; 2009.h. 1842-4.
2. Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart failure and cor pulmonale. Dalam:
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 13. United States of
America: The McGraw-Hill Companies Inc; 2008.p. 217-244
3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;
2005.h. 173.
4. Kumar, Clark. Cardiovascular disease. Clinical medicine. 6th ed.
Philadelphia.: Elsevier Saunders; 2005.p. 725-7.
5. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan dan manajemen. Edisi
2. Jakarta: EGC; 2007.h. 53-4.
6. Panggabean MM. perikarditis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid II.
Jakarta: FKUI; 2009.h. 1725-6.
7. Marie MB, , Alejandro C. Arroliga MD, Herbert P, and Richard A. cor
pulmonale. Diunduh dari www.medscape.com 06 september 2013.
8. Mubin AH. Kor pulmonale kronik. Dalam: Panduan praktis ilmu penyakit
dalam diagnosis dan terapi. Jakarta: EGC; 2001.h. 125-6.

25

Anda mungkin juga menyukai