Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

MULTIPLE MYELOMA
DI RUANG 27 RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL

Disusun oleh :

Tri Wahyudi Arif B.


201420461011091

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015

BAB I
PEMBAHASAN

A. Definisi
Myeloma multiple adalah penyakit klonal yang ditandai poliferasi

salah satu jenis limfosit B, dan sel-sel plasma yang berasal dari

limfosit tersebut. Sel-sel ini menyebar melalui sirkulasi dan

mengendap terutama di tulang, menyebabkan tulang mengalami

kerusakan, inflamasi, dan nyeri. Antibody yang dihasilkan oleh sel-

sel plasma tersebut biasanya adalah IgG atau IgA klonal. Fragmen-

fragmen monoclonal dari antibody tersebut dapat ditemukan di urin

pasien yang sakit. Fragmen-fragmen ini disebut protein Bence

Jones. Penyebab myeloma multiple tidak diketahui, tetapi factor

resiko yang dipercaya antara lain pajanan okupasional terhadap

materi dan gas tertentu, radiasi pengion, dan kemungkinan alergi

obat multiple. Angka keselamatan hidup biasanya rendah,

meskipun beberapa pasien dapat hidup lebih lama dengan penyakit

ini. (Elizabeth J. Corwin, 2009)


Myeloma multiple lebih sering terjadi pada orang berkulit putih

dan merupakan salah satu keganasan hematologic tersering pada

populasi kulit hitam. Pada populasi kulit hitam, penyakit ini juga

muncul pada usia lebih muda. (Ronald A. Sacher, Richard A.

McPherson, 2004)

B. Patofisiologi
Tahap patogenesis pertama pada perkembangan myeloma adalah

munculnya sejumlah sel plasma clonal yang secara klinis dikenal

MGUS (monoclonal gammanopathy of undetermined significance).


Pasien dengan MGUS tidak memiliki gejala atau bukti dari

kerusakan organ, tetapi memiliki 1% resiko progresi menjadi

myeloma atau penyakit keganasan yang berkaitan.


Patogenesis dan gambaran klinis pada multiple myeloma

Temuan Penyebab yang Patomekanisme


mendasari
Hipercalsemia, Destruksi tulang Ekspansi tumor;
fraktur patologi, produksi osteoclast
kompresi saraf, lesi activating factors
litik tulang, OAF) oleh sel-sel
osteoporosis, nyeri tumor
tulang
Gagal ginjal Light chain Efek toksik produk
proteinuria, tumor, light chain,
hiperkalsemia, urate OAF, akibat
nephropathy, kerusakan DNA
glomerulopati
amiolodi (jarang)
Pielonefritis hipogammaglobuline
mia
Infeksi Hipogammaglobuline Penurunan produksi
mia, penurunan yang berkaitan
migrasi neutrofil dengan tumor
induced suppression,
peningkatan
katabolisme IgG
Gejala neurologic Hiperviskositas, Produk tumor ; sifat
krioglobulin, deposit protein M ; light
amiloid, chain OAF
hiperkalsemia,
kompresi saraf

Perdarahan Berhubungan Produk tumor ;


dengan factor antibody terhadap
pembekuan, factor pembekuan ;
kerusakan amiloid light chain, lapisan
endothelium, antibody platelet
disfungsi platelet
Massa lesi Ekspansi tumor

C. Etiologi
Belum diketahui penyebab pasti dari multiple myeloma. Ada

beberapa penelitian yang menunjukan bahwa faktor-faktor risiko

tertentu meningkatkan kesempatan seseorang akan

mengembangkan penyakit multiple myeloma, diantaranya:


1) Umur diatas 65 tahun: Tumbuh menjadi lebih tua meningkatkan

kesempatan mengembangkan multiple myeloma. Kebanyakan

orang-orang dengan myeloma terdiagnosa setelah umur 65

tahun. Penyakit ini jarang pada orang-orang yang lebih muda

dari umur 35 tahun.


2) Ras (Bangsa): Risiko dari multiple myeloma adalah paling tinggi

diantara orang-orang Amerika keturunan Afrika dan paling

rendah diantara orang-orang Amerika keturunan Asia. Sebab

untuk perbedaan antara kelompok-kelompok ras belum

diketahui.
3) Jenis Kelamin: Setiap tahun di Amerika, kira-kira 11.200 pria

dan 8.700 wanita terdiagnosa dengan multiple myeloma. Tidak

diketahui mengapa lebih banyak pria-pria terdiagnosa dengan

penyakit ini.
4) Sejarah perorangan dari monoclonal gammopathy of

undetermined significance (MGUS): MGUS adalah kondisi yang

tidak membahayakan dimana sel-sel plasma abnormal membuat

protein-protein M. Biasanya, tidak ada gejala-gejala, dan tingkat


yang abnormal dari protein M ditemukan dengan tes darah.

Adakalanya, orang-orang dengan MGUS mengembangkan

kanker-kanker tertentu, seperti multiple myeloma. Tidak ada

perawatan, namun orang-orang dengan MGUS memperoleh tes-

tes laborat regular (setiap 1 atau 2 tahun) untuk memeriksa

peningkatan lebih lanjut pada tingkat protein M.


5) Sejarah multiple myeloma keluarga: Studi-studi telah

menemukan bahwa risiko multiple myeloma seseorang mungkin

lebih tinggi jika saudara dekatnya mempunyai penyakit ini.

D. Klasifikasi
Saat ini ada dua derajat multiple myeloma yang digunakan yaitu
Salmon Durie system yang telah digunakan sejak 1975 dan the
International Staging System yang dikembangkan oleh the
International Myeloma Working Group dan diperkenalkan pada
tahun 2005.

Salmon Durie staging :


a) Stadium I
Level hemoglobin lebih dari 10 g/dL
Level kalsium kurang dari 12 mg/dL
Gambaran radiograf tulang normal atau plasmositoma
soliter
Protein M rendah (mis. IgG < 5 g/dL, IgA < 3 g/dL, urine <
4g/24 jam)
b) Stadium II
Gambaran yang sesuai tidak untuk stadium I maupun
stadium III
c) Stadium III
Level hemoglobin kurang dari 8,5 g/dL
Level kalsium lebih dari 12 g/dL
Gambaran radiologi penyakit litik pada tulang
Nilai protein M tinggi (mis. IgG >7 g/dL, IgA > 5 g/dL,
urine > 12 g/24 jam)
d) Subklasifikasi A meliputi nilai kreatinin kurang dari 2 g/dL
e) Subklasifikasi B meliputi nilai kreatinin lebih dari 2 g/dl

International Staging System untuk multiple myeloma


a) Stadium I
β2 mikroglobulin ≤ 3,5 g/dL dan albumin ≥ 3,5 g/dL
CRP ≥ 4,0 mg/dL
Plasma cell labeling index < 1%
Tidak ditemukan delesi kromosom 13
Serum Il-6 reseptor rendah
durasi yang panjang dari awal fase plateau

b) Stadium II
Beta-2 microglobulin level >3.5 hingga <5.5 g/dL, atau
Beta-2 microglobulin <3.5g/dL dan albumin <3.5 g/dL
c) Stadium III
Beta-2 microglobulin >5.5 g/dL

E. Manifestasi Klinis
Insiden puncak adalah 50 hingga 60 tahun. Gambaran klinis yang

utama berasal dari infiltrasi sel-sel plasma neoplastik ke dalam

organ tubuh (khususnya tulang), produksi immunoglobulin yang

berlebihan (sering dengan sifat fisikokimiawi yang abnormal) dan

supresi imunitas humoral yang normal.


– Infiltrasi tulang, nyeri tulang dan fraktur patologis yang

disebabkan oleh resorpsi tulang. Hiperkalsemia sekunder turut

menimbulkan penyakit ginjal serta poliuria dan dapat


menyebabkan beberapa manifestasi neurologis yang meliputi

kebingungan, kelemahan, letargi serta konstipasi.


– Infeksi bakteri yang rekuren terjadi karena berkurangnya

produksi immunoglobulin yang normal.


– Sindrom hiperviskositas kadang-kadang terjadi karena produksi

dan agregasi protein M yang berlebihan.


– Insufisiensi ginjal (hingga 50% pasien) bersifat multifaktorial.

Proteinuria Bence Jones agaknya menjadi tanda terpenting

karena light chains yang diekskresikan bersifat toksik bagi sel-sel

epitel tubulus ginjal.


– Kelainan sumsum tulang yang luas menyebabkan anemia

normositik normokromik dan kadang-kadang pensitopenia yang

moderat. (Robbins & Cotran / Richard N. Mitchell, 2008)

F. Pemeriksaan Diagnostik
Terdapat emeriksaan penunjang untuk multiple myeloma , antara lain :
1. Laboratorium
Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus.

Jumlah leukosit umumnya normal. Trombositopenia ditemukan

pada sekitar 15% pasien yang terdiagnosis. Adanya sel plasma pada

apusan darah tepi jarang mencapai 5%, kecuali pada pasien dengan

leukemia sel plasma. Formasi Rouleaux ditemukan pada 60%

pasien. Hiperkalsemiadite mukan pada 30% pasien saat

didiagnosis. Sekitar seperempat hingga setengah yang didiagnosis

akan mengalami gangguan fungsi ginjal dan 80% pasien

menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones

yang dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis atau imunofiksasi.


2. Radiologi
1. Foto Polos X-Ray
Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi

multipel, berbatas tegas, litik, punch out, dan bulat pada

tengkorak, tulang belakang, dan pelvis.


2. CT-Scan

CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada multiple

myeloma. Namun, kegunaan modalitas ini belum banyak

diteliti, dan umumnya CT Scan tidak dibutuhkan lagi karena

gambaran pada foto tulang konvensional menggambarkan

kebanyakan lesi yang CT scan dapat deteksi.


3. MRI
MRI potensial digunakan pada multiple multiple myeloma

karena modalitas ini baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara

khusus, gambaran MRI pada deposit multiple myeloma berupa

suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di gambaran

T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.

Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna

untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk

mengevaluasi kompresi tulang.


4. Radiologi Nuklir
Multiple myeloma merupakan penyakit yang menyebabkan

overaktifitas pada osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir

mengandalkan aktifitas osteoblastik (formasi tulang) pada

penyakit dan belum digunakan rutin. Tingkat false negatif

skintigrafi tulang untuk mendiagnosis multiple multiple

myeloma tinggi. Scan dapat positif pada radiograf normal,

membutuhkan pemeriksaan lain untuk konfirmasi.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang bisa diberikan:
1. Obat pereda nyeri (analgetik) yang kuat dan terapi penyinaran

pada tulang yang terkena, bisa mengurangi nyeri tulang.


2. Penderita yang memiliki protein Bence-Jones di dalam air

kemihnya harus bayak minum untuk mengencerkan air kemih

dan membantu mencegah dehidrasi, yang bisa menyebabkan

terjadinya gagal ginjal.


3. Penderita harus tetap aktif karena tirah baring yang

berkepanjangan bisa mempercepat terjadinya osteoporosis dan

menyebabkan tulang mudah patah. Tetapi tidak boleh lari atau

mengangkat beban berat karena tulang-tulangnya rapuh.


4. Pada penderita yang memiliki tanda-tanda infeksi (demam,

menggigil, daerah kemerahan di kulit) diberikan antibiotik.


5. Penderita dengan anemia berat bisa menjalani transfusi darah

atau mendapatkan eritropoetin (obat untuk merangsang

pembentukan sel darah merah). Kadar kalsium darah yang tinggi

bisa diobati dengan prednison dan cairan intravena, dan kadang

dengan difosfonat (obat untuk menurunkan kadar kalsium).

Allopurinol diberikan kepada penderita yang memiliki kadar

asam urat tinggi.


6. Kemoterapi memperlambat perkembangan penyakit dengan

membunuh sel plasma yang abnormal. Yang paling sering

digunakan adalah melfalan dan siklofosfamid. Kemoterapi juga

membunuh sel yang normal, karena itu sel darah dipantau dan

dosisnya disesuaikan jika jumlah sel darah putih dan trombosit

terlalu banyak berkurang. Kortikosteroid (misalnya prednison

atau deksametason) juga diberikan sebagai bagian dari

kemoterapi.
7. Kemoterapi dosis tinggi dikombinasikan dengan terapi

penyinaran masih dalam penelitian. Pengobatan kombinasi ini

sangat beracun, sehingga sebelum pengobatan sel stem harus

diangkat dari darah atau sumsum tulang penderita dan

dikembalikan lagi setelah pengobatan selesai. Biasanya prosedur

ini dilakukan pada penderita yang berusia dibawah 50 tahun.

peneliti dari Klinik Mayo melaporkan 67 persen pasien yang

menggunakan Revlimid (plus steroid dexamethasone) sebagai

terapi utama, mencapai reaksi yang dikategorikan lengkap atau

sangat baik, dengan tingkat perkembangan penyakit rendah yang

berlanjut bahkan setelah dua tahun.


8. Perawatan pasca-radiasi dan pasca-kemoterapi diberikan pada

kasus yang berat. Selain itu, pasien juga dipantau kalau-kalau

ada infeksi, perdarahan, dan ketidakseimbangan elektrolit.

Pasien dianjurkan untuk memantau gejala yang muncul di rumah,

termasuk gejala yang timbul dari patah tulang, kejang, dan batu

ginjal.

H. Komplikasi
1) Dapat terjadi gagal ginjal akibat pengendapan protein Bence

Jones di tubulus ginjal.


2) Pasien mungkin menjadi anemic berat
I. (Elizabeth J. Corwin, 2009)
DAFTAR PUSTAKA

Margan Speer, Kathleen. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan

Pediatrik dengan Clinical Pathway Edisi 3. Jakarta: EGC


Patel, Pradip R. 2005. Lecture Notes Radiologi. Jakarta : Penerbit

Erlangga. p. 205-206
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan

Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC


Waugh,Anne, Allison Grant. 2001. Anatomi and Physiology in Health

and Illness. New York : Churcill Livingstone. p. 388-392

Anda mungkin juga menyukai