Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BY. NY.

D DENGAN
DIAGNOSA MEDIS OMPHALITIS SISTEMIK, EARLY
ONSET SEPSIS DI RUANG NUSA INDAH 3 RSUD SLEMAN

Dosen Pembimbing : Dra. Ni Ketut Mendri, S. Kep, Ns, M.Sc

Disusun Oleh

Afita Rosadiana (P07120216008)

Kristina Weningtyastuti (P07120216009)

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA


JURUSAN KEPERAWATAN
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sepsis merupakan respon tubuh terhadap infeksi yang menyebar melalui


darah dan jaringan lain. Sepsis terjadi pada kurang dari 1% bayi baru lahir
tetapi merupakan penyebab daro 30% kematian pada bayi baru lahir. Infeksi
bakteri 5 kali lebih sering terjadi pada bayi baru lahir yang berat badannya
kurang dari 2,75 kg dan 2 kali lebih sering menyerang bayi laki-laki.
Pada lebih dari 50% kasus, sepsis mulai timbul dalam waktu 6 jam setelah
bayi lahir, tetapi kebanyakan muncul dalamw aktu 72 jam setelah lahir.
Sepsis yang baru timbul dalam waktu 4 hari atau lebih kemungkinan
disebabkan oleh infeksi nasokomial (infeksi yang didapat di rumah sakit).

Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan


gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis
neonatorum dapat berlangsung cepat sehingga seringkali tidak terpantau.
Tanpa pengobatan yang memadai, bayi dapat meninggal dalam 24 sampai 48
jam. (Perawatan Bayi Berisiko Tinggi. Jakarta: EGC).
Sepsis neonatorum masih menjadi penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada bayi baru lahir.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan pada bayi
dengan sepsis neonatorum

2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa mampu melakukan pengkajian bayi dengan sepsis
neonatorum

2
b) Mahasiswa mampu menganalisa data hasil pengakajian bayi dengan
sepsis neonatorum
c) Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa pada bayi dengan sepsis
neonatorum
d) Mahasiswa mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada bayi
dengan sepsis neonatorum
e) Mahasiswa mampu melaukan tindakan keperawatan pada bayi
dengan sepsis neonatorum
f) Mahasiswa mampu membuat evaluasi pada bayi dengan sepsis
neonatorum

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi Sepsis Neonatorum


Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah bayi selama
empat minggu pertama kehidupan (Bobak, 2005)
Sepsis adalah kumpulan gejala pathofisiologi seperti demam, nadi cepat,
tachipnea hyperventilasi, leukositosis yang dikenal dengan SLRS “Systemic
Inflamatory Respons Sindrome” (McCracken, 2007).
Sepsis neonatus (sepsis neonatorum) adalah infeksi bakteri di dalam aliran
darah bayi selama 4 minggu pertama kehidupannya yang mana neonatus tidak
dapat melokalisasi dengan baik sehingga dapat terjadi penyebaran sekunder
bermaknan ke meningen atau tempat lain pada klien ini. (Friendland, 2006).

B. Etiologi
Penyebab lazim sepsis neonatus antara lain :
1. Streptococcus grup B
2. E. Coli
3. GNEB lain
4. S. Aureus
5. Staphylococcus koagulase-negatif
6. Enterococcus
7. Candidia
Dari beberapa bakteri di atas, ada dua organisme paling lazim yang
diisolasi pada bayi dengan sepsis adalah streptokokus hemolitikus-β grup B
dan E. Coli, yang bertanggung jawab atas sekitar 23-54 % semua infeksi
bakteri. Monocytogenes juga merupakan patogen penting, tetapi dengan angka
insidensi yang sangat beragam serta kelompok waktu yang berhubungan
dengan infeksi maternal yang berkaitan dengan wabah melalui makanan.
Organisme lain yang juga muncul pada dekade terakhir adalah streptokokus
hemolitikus-α non-grup D. Organisme ini tampaknya lebih tidak virulen

4
dibandingkan kebanyakan patohgen neonatus lain sebagaimana dibuktikan
melalui rendahnya insidensi syok meningitis dan angka kematian hanya 9%.
Streptokokus grup D dan G menyebabkan penyakit neonatus yang tidak dapat
dibedakan dari septikemia streptokokus grup B awitan-dini serta infeksi
nosokomial awitan-lambat.
Dari basil enterik gram-negatif, E.Coli tetap merupakan isolat paling umum
selama 60 tahun terakhir, tetapi spesies Klebsiella Enterobacter-SeratiaI, P.
Aeruginosa, spesies Proteus, dan Salmonella a dalah patogen yang juga
penting. Citrobacter diversus dapat menyebabkan penyakit epidemik atau
sporadik, terutama meningitis, pada neonatus. Patogen lain yang lazim adalah
S. Aureus dan stafilokokus koagulase negatif. S. Aureus resistes-metisilin
(MRSA) dan/atau strain basil gram-positif resisten-aminoglikosida merupakan
organisme yang khususnya sulit dibasmi dari tempat-tempat perawatan.
Stafilokokus koagulase-negatid dan spesia candida semakin sering (8-10%)
diimplikasikan pada etiologi sepsis bayi prematur yang memerlukan kateter
intravaskuler, pemberiam anti-biotik spektrum luas berulang kali, dan
perawatan suportif intensif yang lama. Kedua patogen ini bisa menyebabkan
endokarditis jantung kanan akibat penempatan kateter di atrium kanan. M.
hominis dan U. Urealyticum baru-baru ini dikenali sebagai patogen neonatus.
Kedua mikoplasma ini telah dikaitkan dengan pneumonia serta penyakit
paru kronis pada neonatus prematur, tetapi juga telah diisolasi darii CSS dan,
lebih jarang, dari darah neonatus. Neonatus dengan infeksi CSS dapat tidak
menunjukkan gejala, dapat menderita kondisi sakit ringan yang ditandai oleh
demam, letargi/iritabilitas, atau mungkin mengalami gangguan neurologik
atau serangan kejang. Spesies flavobacrterium dapat menyebabkan septikemia
awitan-lambat serta meningitis pada neonatus, dan bisa sulit diobati karena
adanya resistensi antimikroba. Organisme yang menjadi penyebab utama
septikemia dan meningitis pada bayi agak besar serta anak S. Pneumoniae, N.
Meningitidis, dan H. Influenzae tipe B hanya kadang-kadang saja
menimbulkan sepsis neonatus. Infeksi oleh spesies Bacteriodes dan
Clostridium mungkin dapat menyebabkan penyakit yang mengancam jiwa,
terutama bila terdapat peritonitis, fasiitis, atau meningitis.

5
C. Epidemiologi
Traktus gastrointestinalis ibu serta bayi merupakan tempat utama
kolonisasi asimtomatik Streptococcus grup B dan E. Coli. Streptococcus grup
B dapat diisolasi dari biakan vagina dan rektum sebanyak 20-25 % perampuan
hamil asimtomatik; kolonisasi bersifat menetap atau intermiten di sepanjang
kehamilan pada 60-70% perempuan. Perempuan yang lebih muda atau yang
aktif secara seksual pada golongan sosioekonomi rendah mempunyai angka
kolonisasi lebih tinggi. Organisme ini ditularkan melalui hubungan seks; 2-
25% laki-laki yang mengunjungi klinik penyakit menular seksual mempunyai
streptokokus grup B baik di uretra maupun faringnya, dan strain yang sama
dibawa oleh mitra seksualnya, yairu 45-60% perempuan pembawa kolonisasi.
Streptokokus grup B dapat ditekan tetapi biasanya tidak terbasmi dari
permukaan mukosa melalui pengobatan antibiotik. Untuk ibu yang
kolonisasinya terjadi saat melahirkan, 40-70% bayi mereka akan memperoleh
serotipe streptokokus grup B yang identik pada hari ketiga sampai kelimpa
kehidupan. Risiko penularan meningkat bila densitas (inokulum) organisme
serta jumlah lokasi kolonisasi ibu lebih tinggi dan tidak dipengaruhi oleh cara
persalinan. Meskipun demikian, dari 100 bayi yang terkolonisasi, hanya satu
yang akan mengalami penyakit invasif. Faktor risiko invasi mencakup
sejumlah antibodi antikapsul terhadap serotipe streptokokus tertentu yang
didapar secara pasif, berat lahir, dan densitas kolonisasi. Serotipe I, II, dan III
streptokokus grup B menyebabkan sepsis awitan-dini dalam frekuensi yang
sama. Sebaliknya, strain grup BIII bertanggung jawab atas 90% meningitis
yang disebabkan organisme ini dan penyakit biasanya terjadi setelah hari
keempat kehidupan bayi.
Untuk strain E. Coli, statistik yang berkaitan dengan angka kolonisasi serta
penyakit adalah sama dengan streptococcus grup B. Kira-kira 45-50%
perempuan hamil mempunyai E. Coli K1 pada biakan rektumnya. Kira-kira
70% bayi yang lahir dari ibu dengan biakan positif akan tertular E.coli strain
K1 dalam dua hari pertama kelahirannya. Namun, kira-kira 10-155 bayi baru
lahir yang mempunyai kolonisasi dilahirkan dari ibu dengan biakan negatif.

6
Bayi ini akan terkolonisasi dengan E.coli strain K1 pada hari ketiga atau
keempat kehidupannya; penularan diduga terjadi secata horizontal. Hanya satu
dari 200-300 neonatus yang terkolonisasi dengan E. Coli K1 akan mengalami
penyakit invasif. E. Coli strain K1 telah dikaitkan dengan 75% kasus
meningitis neonatus akibat E. Coli, 40 % sepsis, dan 20-30% dari strain yang
berhubungan dengan kolonisasi rektum asimtomatik.

D. Patogenesis
Faktor ibu, lingkungan, serta pejamu akan menentukan bayi neonatus yang
terpajan pada organisme yang potensial patogen sehingga menyebabkan bayi
menderita infeksi bakteri invasif. Keberadaan faktor risiko ini yang dimanapun
juga telah dihubungkan dengan peningkatan risiko infeksi sistemik sebesar 10
kali lipat atau lebih. Banyak komplikasi obstetrik pra- dan intrapartum
menyebabkan peningkatan risiko infeksi pada bayi baru lahir. Yang menonjol
diantaranya adalah persalinan prematur, ruptur membran janin lama, dan
demam pada ibu. Kehamilan kembat tetap merupakan faktor risiko independen
untuk infeksi streptococcus grup B setelah dilakukan koreksi terhadap berat
lahir yang rendah.
Semua bagian sistem pertahanan akan relatif defisien pada neonatus sehat,
dan lebih lanjut terganggu oleh keadaan prematur, hipoksia, asidosis, dan
kekacauan metabolisme. Pemberian antibodi spesifik-streptokokus grup B
memberikan perlindungan dengan cara memperbagiki opsonisasi melalui jalur
komplemen alternatif, pencegahan neutropenia dan penipisan sumsum tulang,
pelepasan neutrofil dari sumsum tulang, dan pengumpulan neutrofil di tempat
infeksi. Penggantian komplemen dan fibroneksin akan memperbaiki
opsonofagositosis lebih lanjut.
Perkembangan perawatan suportif yang lebih baik untuk neonatus sakit
telah meningkatkan kesempatan bagi mikroorganisme dengan virulensi relatif
rendah untuk menimbulkan penyakit sistemik. Pemakaian kateter sentral,
perifer, dan inravaskular umbilikus, larutan hiperalimentasi, kateter urine
tinggal, pipa endotrakea, dan ventilasi tambahan menyediakan jalan masuk
bagi organisme yang terdapat di peralatan pendukung pernafasan seperti

7
stafilokokus koagulase-negatif, spesies candida, dan spesies pseudomonas ke
bayi yang sudah lemah. Pengawasan rutin seksama harus dilakukan guna
memperkecil terjadinya infeksi nosokomial yang disebabkan oleh organisme
oportunis.
Apabila bakteri menemukan jalan masuk ke darah, bakteri mungkin
memasuki CSS melalui pleksus koroideus ventrikel lateralis dan kemudian
menyebar ke ruang subaraknoid di sepanjang jalur normal aliran CSS. Di
dalam ruang subaraknoid, bakteri memperbanyak diri secara logaritmis, dan
sebanyak 108 CFU/mL dapat dibiakkan dari CSS lumbal (CFU, colony forming
unit, unit pembentuk koloni). Semakin besar jumlah bakteri di CSS semakin
buruk pada prognosisnya.
Janin relatif aman selama dalam kandungan terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
korion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Kemungkinan
kontaminasi kuman bagaimanapun juga masih dapat terjadi melalui tiga jalan
(Depkes, 2007).
Pertama, yaitu pada masa antenatal atau sebelum lahir, kuman dari ibu
setelah melewati plasenta dan umbilikus, masuk ke dalam tubuh bayi melalui
sirkulasi darah janin. Kedua, yaitu pada masa intranatal atau saat persalinan.
Ketiga, yaitu pada saat ketuban pecah. Paparan kuman yang berasal dari vagina
akan lebih berperan dalam infeksi janin. Kejadian kontaminasi kuman pada
bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari
18-24 jam (Depkes, 2007).
Pada masa antenatal, penyebab infeksi adalah virus yang dapat menembus
plasenta antara lain:virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, influenza,
parotitis. Bakteri yang melalui jalur ini antara lain: malaria, sipilis, dan
toksoplasma. Pada masa intranatal atau saat persalinan infeksi saat persalinan
terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion
dan amnion. Akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman
melalui umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara lain yaitu pada saat persalinan,
kemudian menyebabkan infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau

8
port de entre, saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman
(misalnya: herpes genetalia, candida albicans, gonorrhea) (Surasmi, 2003).
Infeksi setelah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi yang diperoleh
(acquired infection), yaitu infeksi nosokomial dari lingkungan di luar rahim,
misalnya melalui alat pengisap lendir, selang endotrakea, infus, selang
nasogastrik, dan botol minuman. Bayi yang mendapat prosedur neonatal
invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang
memperhatikan tindakan antisepsis, rawat inap yang terlalu lama, dan hunian
terlalu padat juga mudah mendapat infeksi nosokomial (Depkes, 2007).

Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus menurut Haque (2005)


Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:
Laju napas > 60 kali/ menit dengan/ tanpa
retraksi dan desaturasi oksigen
Suhu tubuh tidak stabil (< 36ºC atau > 37,9ºC)
Waktu pengisian kapiler > 3 detik
FIRS/ SIRS
Hitung leukosit < 4000 /mm3
atau > 34000/mm3
CRP >10mg/dl
IL-6 atau IL-8 >70pg/ml
16 S rRNA gene PCR : Positif
Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai
SEPSIS
dengan gejala klinis infeksi
Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ SEPSIS BERAT
Tunggal
Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan
SYOK
resusitasi cairan dan obat-obat inotropik SEPTIK
Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah SINDROM DISFUNGSI
mendapatkan pengobatan optimal MULTIORGAN
Disfungsi multi organ yang berkelanjutan KEMATIAN

9
E. Pathway

F. Manifestasi Klinis
Kebanyakan neonatus dengan sepsis atau meningitas datang dengan tanda
atau gejala tidak khas seperti ketidakstabilan suhu (hipotermia atau
hipertermia), gawat nafas, kesulitan minum, isapan yang lemah, iritabilitas,
letargi, apnea, distensi abdomen, muntah, diare, distensi kandung empedu,
hepatosplenomegali, ikterus, petekia, atau kejamg. Syok sepsis merupakan
perkembangan yang buruk dan harus dicurigai pada neonatus dengan waktu
pengisian kapiler lambat (>2 detik), takikardia, sianosis, atau kulit berbercak-
bercak (mottling). Berbagai kombinasi gejala bisa mengesankan penyakit

10
respiratorik, gastrointestinalis, atau sistem saraf pusat; koagulasi intravaskular
diseminata bisa menyertai sepsis berat akibat penyebab apa pun. Kejang bisa
disebabkan hipokalsemia, hipoglikemia, atau hiponatremia akibat septikemia
atau oleh peradangan sistem saraf pusat. Menonjolnya ubun-ubun merupakan
tanda lanjut meningitis, dan tanda Kernig serta Brudzinski jarang ditemukan
pada neonatus.
Sindrom Awitan-Dini. Penyakit yang disebabkan oleh streptokokus grup
B dan L. Monocytogenes biasanya dapat dimasukkan ke dalam sindrom awitan-
dini dan awitan-lanut sedangkan penyakit yang disebabkan oleh patogen lain,
tidak. Sindrom streptokokus grup B awitan-dini biasanya terjadi dalam 96 jam
kelahiran, biasanya dalam beberapa jam pertama kehidupan. Bayi prematur
merupakan sekitar 30-50% jumlah pasien yang dilaporkan. Awitan biasanya
mendadak dan diikuti oleh perjalanan fulminan, dengan fokus primer
peradangan pada paru, walaupun kadang-kadang ada meningitis. Apnea,
hipotensi dan koagulasi intravaskular diseminata menyebabkan pemburukan
cepat dan sering menimbulkan kematian dalam 24 jam.
Walaupun sindrom awitan-dini akibat L. Monocytogenes menyerupai
sindrom yang digambarkan untuk streptokokus grup B, sebenarnya ada
beberbai gambaran yang berbeda. Ibu sering menderita penyair mirip flu sesaat
sebelum melahirkan, dengan sakit tenggorokan, malaise, demam, menggigil,
dan mialgia. Biakan darah ibu bisa positif pada individu seperti ini. Walaupun
paru merupakan fokus infeksi pada bayi baru lahir, pada listeriosis dapat
dijumpai hepatosplenomegali, konjungtivitis purulenta, ruam kulit yang terdiri
yang terdiri dari papula serta makula berwarna salmon yang tidak teratur
dengan penyebaran di badan, petekia, dan granuloma kecil pada faring
posterior, pemeriksaan rontgen dada bisa memperlihatkan bronkopneumonia
jenis miliaris yang dianggap patogonomik untuk infeksi akibat organisme ini
dan agak berbeda dari penyakit membran hialin tanpa komplikasi.
Sindrom Awitan-Lanjut. Sindrom awitan-lanjut yang disebabkan oleh
streptokokus grup B dan L. Monocytogenes terjadi paling sering pada usia 2-4
minggu, tetapi mungkin juga dijumpai hingga selambat 16 minggu. Awitan
berlangsung tersembunyi; kesulitan minum dan demam merupakan gejala yang

11
paling sering. Bayi dengan meningitis streptokokus grup B awitan-lanjut jarang
muncul dengan hidrosefalus tanpa adanya bukti lain infeksi bakteri. CSS
lumbal pada bayi ini normal, tetapi pemeriksaan cairan ventrikel
memperlihatkan pleositosis, dan organisme diperoleh dari biakan. Meningitis
akibat L. Monovytogenes mungkin sulit dikenali. Apusan pewarnaan Gram
CSS sering negatif karena jumlah organisme yang relatif rendah di dalam CSS.
Organisme ini merupakan batang gram-positid kecil dan ramping yang sulit
diidentifikasi. Monosit tidak secara khas ditemukan pada CSS bayi dengan
meningitis Listeria, walaupun monosit menyusun kira-kira 7-21% sel darah
putih pada hitung leukosit perifer. Biakan cairan spinal bayi dengan meningitis
akibat bakteri gram-positif ini biasanya steril dan 24-36 jam setelah terapi
dimulai, dan angka fatalitas adalah kurang dari 10% untuk Listeria dan 10-20%
untuk streptokokus grup B.
Diantara neonatus yang bertahan hidup melewati meningitis streptokokus
grup B, 50% akan menderita sejumlah kelainan neurologi. Peneliti di Baylor
Collede of Medecine telah mengevaluasi 38 orang anak usia 3, 3-9 tahun pasca
sakit dan mencatat kelainan neurologi mayor seperti keterbelakangan mental,
buta kortikalis, gangguan kejang, hidroensefalus, mikrosefalus, dan
kuadriparesis pada 11 anak (29%). Delapa anak lagi (21%) memiliki gejala sisa
ringan atau sedang, seperti tuli sensorineuronal, hidrosefalus yang terhenti,
keterlambatan bahasa, dll. Beberapa temuan klinis serta laboratorium tertentu
berkolerasi dengan kematian atau gejala sisa pada pasien yang bertahan hidup.
Ini mencakup koma atau semikoma , hitung leukosit perifer total kurang dari
5000/µL3, dan kadar protein CSS melebihi 300 mg/dL.

G. Komplikasi
1. Hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis metabolik, dan jaundice
Bayi memiliki kebutuhan glukosa yang meningkat sebagai akibat dari
keadaan septik. Bayi mungkin juga kurang gizi sebagai akibat dari asupan
energy yang berkurang. Asidosis metabolik disebabkan oleh konversi ke
metabolisme anaerobic dengan produksi asam laktat, selain itu ketika bayi
mengalami hipotermia atau tidak disimpan dalam lingkungan termal

12
netral, upaya untuk mengatur suhu tubuh dapat menyebabkan asidosis
metabolik. Jaundice terjadi dalam menanggapi terlalu banayaknya
bilirubin yang dilepaskan ke seluruh tubuh yang disebabkan oleh organ
hati sebagian bayi baru lahir belum dapat berfungsi optimal, bahkan
disfungsi hati akibat sepsis yang terjadi dan kerusakan eritrosit yang
meningkat.
2. Dehidrasi
kekurangan cairan terjadi karena asupan cairan pada bayi yang kurang,
tidak mau menyusu, dan terjadinya hipertermia.
3. Hiperbilirubinemia dan Anemia
Hiperbilirubinemia berhubungan dengan penumpukan bilirubin yang
berlebihan pada jaringan. Pada bayi yang mengalami sepsis, terdapat
infeksi oleh bakteri dalam darah di seluruh tubuh, sehingga terjadi
kerusakan sel darah merah. Bayi akan kekurangan darah, akibat dari hal ini
adalah anemia, yang disertai hiperbilirubinemia karena destruksi
hemoglobin sering terjadi.
4. Meningitis
Infeksi sepsis dapat menyebar ke meningies (selaput-selaput otak) melalui
darah.
5. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Kelainan perdarahan ini terjadi karena dipicu oleh bakteri gram negatif yang
mengeluarkan endotoksin ataupun bakteri gram positif yang mengeluarkan
mukopolisakarida pada sepsis. Inilah yang akan memicu pelepasan faktor
pembekuan darah dari sel-sel mononuclear dan endotel. Sel yang teraktivasi
ini akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi trombi dan emboli pada
mikrovaskular

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hematologi
Darah rutin, kadar Hb, kadar Ht, leukosit dan hitung jenis, trombosit.
Umumnya terdapat neutropenia PNM <1800/µl, trombositopeni

13
<150.000/µl (spesifitas tinggi dan sensitivitas rendah), neutrofil muda
meningkat >1500/µl, rasio neutrofil imatur:total >0,2. Adanya reaktan
fase akut yaitu CRP (konsentrasi tertinggi dilaporkan pada infeksi
bakteri, kenaikan sedang didapatkan pada kondisi infeksi kronik),
LED, GCSF (granulocyte colony-stimulating factor), sitokin IL-1β, IL-
6 dan TNF (tumor necrosis factor).
b. Biakan darah atau cairan tubuh lainnya (cairan serebrospinal) serta uji
resistensi. Dianjurkan untuk bayi yang mengalami kejang, kesadaran
menurun, klinis sakit tampak semakin berat dan kultur darah positif.
c. Bila ada indikasi dapat dilakukan biakan tinja dan urine.
d. Pemeriksaan apusan Gram dari bahan darah maupun cairan liquor,
serta urine.
e. Lain-lain, misalnya bilirubin, gula darah, dan elektrolit (natrium dan
kalium).

2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang diperlukan ialah rontgen dada, abdomen atas
indikasi, dan ginjal. Pemeriksaan USG ginjal, skaning ginjal,
sistouretrografi dilakukan atas indikasi.
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan plasenta dan selaput janin dapat menunjukkan adanya
korioamnionitis, yang merupakan potensi terjadinya infeksi pada neonates.

I. Penatalaksanaan
1. Pencegahan
a. Pada masa antenatal
Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara
berkala, imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang di derita
ibu, asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap keadaan
yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin, rujukan segera
ketempat pelayanan yang memadai bila diperlukan.
b. Pada saat persalinan

14
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, yang artinya
dalam melakukan pertolongan persalinan harus dilakukan tindakan
aseptik. Tindakan intervensi pada ibu dan bayi seminimal mungkin
dilakukan (bila benar-benar diperlukan). Mengawasi keadaan ibu dan
janin yang baik selama proses persalinan, melakukan rujukan
secepatnya bila diperlukan dan menghindari perlukaan kulit dan
selaput lendir.
c. Sesudah persalinan
Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi
normal, pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan
peralatan tetap bersih, setiap bayi menggunakan peralatan tersendiri,
perawatan luka umbilikus secara steril. Tindakan invasif harus
dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptik. Menghindari
perlukaan selaput lendir dan kulit, mencuci tangan dengan
menggunakan larutan desinfektan sebelum dan sesudah memegang
setiap bayi. Pemantauan bayi secara teliti disertai pendokumentasian
data-data yang benar dan baik. Semua personel yang menangani atau
bertugas di kamar bayi harus sehat. Bayi yang berpenyakit menular di
isolasi, pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin melalui
pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi. (Sarwono, 2004)
2. Pengobatan
a. Penisilin atau derivat, biasanya ampisilin
100mg/kg/24jam intravena tiap 12 jam, apabila terjadi meningitis
untuk umur 0-7 hari 100-200mg/kg/24jam intravena/intramuskular tiap
12 jam, umur >7 hari 200-300mg/kg/24jam intravena/ intramuskular
tiap 6-8 jam, maksimum 400mg/kg/24jam.
b. Ampisilin sodium/sulbaktam sodium (Unasyn)
Dosis sama dengan ampisilin ditambah aminoglikosid 5mg/kg/24jam
intravena diberikan tiap 12 jam.
c. Pada sepsis nosokomial,
Sebaiknya diberikan vankomisin dengan dosis tergantung umur dan
berat badan:

15
1) <1,2kg umur 0-4 minggu: 15mg/kg/kali tiap 24jam
2) 1,2-2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12-18jam
3) 1,2-2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8-12jam
4) >2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12jam
5) >2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8jam ditambah
aminoglikosid atau sefalosporin generasi ketiga
3. Terapi lanjutan disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi
4. Pengobatan komplikasi
a. Pernapasan: kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi
dengan pemberian oksigen, VTP atau kemudian dengan ventilator.
b. Kardiovaskular: menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan,
mencegah syok dengan pemberian volume ekspander 10-20ml/kg
(NaCl 0,9%, albumin dan darah). Catat pemasukan cairan dan
pengeluaran urin. Kadang diperlukan pemakaian dopamin atau
dobutamin.
c. Hematologi: untuk DIC (trombositopeni, protrombin time memanjang,
tromboplastin time meningkat), sebaiknya diberikan FFP 10ml/kg, vit
K, suspensi trombosit, dan kemungkinan transfusi tukar. Apabila
terjadi neutropeni, diberikan transfusi neutrofil.
d. Susunan syaraf pusat: bila kejang beri fenobarbital (20mg/kg loading
dose) dan monitor timbulnya sindrom inappropriate antidiuretic
hormon atau SIADH, ditandai dengan ekskresi urin turun, hiponatremi,
osmolaritas serum turun, naiknya berat jenis urin dan osmolaritas.
e. Metabolik: monitor dan terapi hipo dan hiperglikemia. Koreksi
asidosis metabolik dengan bikarbonat dan cairan.
f. Pada saat ini imunoterapi telah berkembang sangat pesat dengan
diketemukannya berbagai jenis globulin hiperimun, antibodi
monoklonal untuk patogen spesifik penyebab sepsis neonatal (Sari,
2000).

J. Contoh Asuhan Keperawatan Sepsis Neonatus


ASUHAN KEPERAWATAN SEPSIS NEONATUS

16
1. PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
b. Riwayat Penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
- Nafas cepat, takikardi
- Malaise
- Anoreksia, muntah
- Demam
2) Riwayat penyakit dahulu.
3) Riwayat penyakit keluarga
c. Riwayat Tumbuh Kembang
1) Riwayat prenatal
Anamnesis mengenai riwayat inkompatibilitas darah, riwayat
transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya,
kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu
selama hamil / persalinan, persalinan dengan tindakan /
komplikasi.
2) Riwayat neonatal
Secara klinis ikterus pada neonatal dapat dilihat segera setelah
lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampakpun
sangat tergantung kepada apa yang diderita bayi
d. Riwayat Imunisasi
e. Pemeriksaan Fisik

2. DIAGNOSA
a. Hipertermia berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder
akibat infeksi atau inflamasi
b. Kekurangan Cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder
akibat demam
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan volume bersirkulasi akibat dehidrasi
d. PK (Perawat Klinik): Trombositopenia

17
3. INTERVENSI
a. Hipertermia berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder
akibat infeksi atau inflamasi
Tujuan : Suhu tubuh normal
KH : suhu tubuh berkisar 36,5-37°C, Nadi dan frekuensi napas
dalam batas normal (Nadi neonatus normal 100-180 x/menit,
frekuensi napas neonatus normal 30-60x/menit)

Intervensi :
1) Monitoring tanda-tanda vital setiap dua jam dan pantau warna
kulit
2) Rasional : Perubahan tanda-tanda vital yang signifikan akan
mempengaruhi proses regulasi ataupun metabolisme dalam
tubuh
3) Observasi adanya kejang dan dehidrasi
4) Rasional : Hipertermi sangat potensial untuk menyebabkan
kejang yang akan semakin memperburuk kondisi pasien serta
dapat menyebabkan pasien kehilangan banyak cairan secara
evaporasi yang tidak diketahui jumlahnya dan dapat
menyebabkan pasien masuk ke dalam kondisi dehidrasi
5) Berikan kompres denga air hangat pada aksila, leher dan
lipatan paha, hindari penggunaan alcohol untuk kompres.
6) Rasional : Kompres pada aksila, leher dan lipatan paha
terdapat pembuluh-pembuluh dasar besar yang akan membantu
menurunkan demam. Penggunaan alcohol tidak dilakukan
karena akan menyebabkan penurunan dan peningkatan panas
secara drastic
7) Kolaborasi Medis

18
a) Berikan antipiretik sesuai kebutuhan jika panas tidak turun.
Rasional : Pemberian antipiretik juga diperlukan untuk
menurunkan panas dengan segera
b. Kekurangan Cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder
akibat demam
Tujuan : Cairan adekuat
KH : Bayi mau menghabiskan sedikitnya ASI/PASI 25 ml/6 jam
Intervensi :
1) Monitoring tanda-tanda vital setiap dua jam dan pantau warna
kulit
2) Rasional : Perubahan tanda-tanda vital yang signifikan akan
mempengaruhi proses regulasi ataupun metabolisme dalam
tubuh
3) Observasi adanya hipertermi, kejang dan dehidrasi
4) Rasional : Hipertermi sangat potensial untuk menyebabkan
kejang yang akan semakin memperburuk kondisi pasien serta
dapat menyebabkan pasien kehilangan banyak cairan secara
evaporasi yang tidak diketahui jumlahnya dan dapat
menyebabkan pasien masuk ke dalam kondisi dehidrasi
5) Berikan kompres hangat jika terjadi hipertermi, dan
pertimbangkan untuk langkah kolaborasi dengan memberikan
antipiretik
6) Rasional : Kompres air hangat lebih cocok digunakan pada
anak dibawah usia 1 tahun, untuk menjaga tubuh agar tidak
terjadi hipotermi secara tiba-tiba. Hipertermi yang terlalu lama
tidak baik untuk tubuh bayi oleh karena itu pemberian
antipiretik diperlukan untuk segera menurunkan panas, misal
dengan asetaminofen
7) Berikan ASI/PASI sesuai jadwal dengan jumlah pemberian
yang telah ditentukan
8) Rasional : Penentuan jumlah penghabisan minimal mencegah
bayi kekurangan cairan

19
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan volume bersirkulasi akibat dehidrasi
Tujuan : Perfusi jaringan perifer efektif
KH :
1) Tercapai keseimbangan air dalam suang interselular dan
ekstraselular
2) Keadekuatan kontraksi otot untuk pergerakan
3) Tingkat pengaliran darah melalui pembuluh kecil ekstermitas
dan memelihara fungsi jaringan

Intervensi :

1) Perawatan sirkulasi (misalnya periksa nadi perifer,edema,


pengisian perifer, warna, dan suhu ekstremitas)
Rasional : kesiagaan semakin buruknya ketidakefektifan
perfusi jaringan
2) Pantau Kepekaan panas/dingin
Rasional : Tingkat kepekaan menunjukan masih baik atau
tidaknya saraf perifer
3) pantau status cairan
Rasional : pengawasan asupan dan haluaran

d. PK (Perawat Klinik): Trombositopenia


Tujuan : Perawat akan menangani dan mengurangi komplikasi
penurunan trombosit
Intervensi :
1) Pantau JDL, hemoglobin, tes koagulasi dan jumlah trombosit
2) Rasional : Nilai ini membantu mengevaluasi respon klien
terhadap pengobatan dan resiko terhadap pendarahan akibat
dari sepsis
3) Pantau tanda atau gejala pendarahan spontan atau perdarahan
hebat : ptekie, ekimosis, hematoma spontan, perubahan tanda-
tanda vital.

20
4) Rasional : Pemantauan secara konstan sangat dibutuhkan untuk
menjamin deteksi dini adanya episode perdarahan
5) Pantau tanda perdarahan sisemik atau hipovolemia, seperti
peningkatan frekuensi nadi, napas dan tekanan darah,
perubahan status neurologis
6) Rasional : Perubahan pada oksigen sirkulasi akan
mempengaruhi fungsi jantung, vascular dan fungsi neurologis
e. Kebutuhan Nutrisi: kurang dari kebutuhan b.d intoleransi terhadap
minuman
Tujuan : Memelihara kebutuhan nutrisi bayi, BB bayi normal,
terhindar dari dehidrasi
Intervensi :
1) Kaji intoleransi terhadap minuman
2) Hitung kebutuhan minum bayi
3) Ukur intake dan output
4) Timbang BB bayi secara berkala
5) Catat perilaku makan dan aktivitas secara akurat
6) Pantau koordinasi refleks menghisap dan menelan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Bobak (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Penatalaksanaan Sepsis


Neonatorum. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Pencegahan
Doengoes, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC
Haque, K.N.2005. Definitions of Bloodstream Infection in the Newborn,
Pediatri Crit Care Med 6: S 45-9
Prawirohardjo, Sarwono., 2005. Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka.
Surasmi, Asrining, dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Nindya Nurusyifa. 2008. Diakses di http://www.acamedia.edu/519273. pada
tanggal 07/10/2017

22

Anda mungkin juga menyukai