Presentasi Kasus
Presentasi Kasus
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. SM
Umur : 62 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kusumodilagan RT 04 RW 12
Nomor Rekam Medis : 01 42 1x xx
Status : Menikah
Pekerjaan : Penjahit
Masuk Bangsal : 10 Juni 2018 pukul 12.58
Tanggal Pemeriksaan : 13 Juni 2018 pukul 16.30
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Dr Moewardi dengan keluhan kelemahan anggota gerak
kanan dan wajah perot sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Keluhan tersebut
muncul secara mendadak setelah pasien menjenguk temannya di RSUD Dr Moewardi. Saat
tiba di IGD, pasien tetap sadar tetapi tidak dapat berbicara dan tidak dapat diajak
komunikasi. Selain itu, pasien juga mengalami muntah. Nyeri kepala, kejang, kesemutan,
dan demam semuanya disangkal. Pasien tidak mengalami gangguan penglihatan dan
gangguan pendengaran. Buang air kecil dan buang air besar semuanya dalam batas normal
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : Disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : (+) tidak terkontrol, jarang minum obat
Riwayat diabetes mellitus : Tidak diketahui
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat stroke : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : Disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : Disangkal
Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat stroke : Disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat makan : Makan 3 kali sehari
Riwayat minum obat bebas : Disangkal
Riwayat minum jamu : Disangkal
Riwayat minum alkohol : Disangkal
Riwayat merokok : Disangkal
Riwayat olahraga : Jarang
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang perempuan umur 62 tahun yang bekerja sebagai penjahit. Di rumah,
pasien tinggal bersama dengan suami, satu orang anak, dua orang menantu, dan dua orang
cucu. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 13 Juni 2018
1. Status Generalis
a. Kondisi umum : Sakit sedang, GCS E3VxM6, kesan gizi berlebih
b. Tanda vital
Tekanan darah : 172/68
Denyut nadi : 76 kali/menit
Frekuensi napas : 18 kali/menit
Suhu tubuh : 36,7°C
c. Kepala dan Leher
Bentuk kepala : Mesocephalus, atrofi m. temporalis (-/-), rambut
rontok (-), massa (-)
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), sklera icterus (-/-)
eksoftalmus (-/-), ptosis (-/-), pendarahan
subkonjunctiva (-/-), edema palpebrae (-/-),
strabismus (-/-)
Bibir : Pucat (-), sianosis (-)
Telinga : Gangguan pendengaran (-), tinnitus (-), otorrhea (-)
Tenggorokan : Sulit dievaluasi
Wajah : Edema (-)
Leher : Struma (-), distensi v. jugularis (-), limfadenopati (-),
trakea di tengah, JVP R + 2 cm
d. Thoraks
Bentuk thoraks : Normochest, simetris, retraksi intercostae (-), sela iga
melebar (-), limfadenopati axilla (-/-), limfadenopati
supraclavicula (-/-), limfadenopati infraclavicula (-/-)
e. Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicularis
sinistra, tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kanan atas di SIC II linea sternalis dextra
Batas kanan bawah di SIC II linea parasternalis dextra
Batas kiri atas di SIC II linea sternalis sinistra
Batas kiri bawah di SIC V linea miclavicularis sinistra
Batas jantung kesan melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, regular, bising (-)
f. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan-kiri simetris
Palpasi : Fremitus taktil dada kanan-kiri normal
Pengembangan dada kanan-kiri simetris
Perkusi : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar di SIC VI
Auskulasi : Suara dasar vesikular (+/+), suara tambahan
wheezing (-/-), ronki basah kasar (-/-), ronki basah
halus (-/-)
g. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada, striae (-),
ascites (-), luka (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus 16 kali/menit, suara tambahan (-)
Palpasi : Timpani, ascites (-)
h. Ekstremitas
Warna kulit : Warna kulit sawo matang, turgor menurun (-),
hiperpigmentasi (-), petechiae (-), icterus (-)
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Thoraks PA
1) Cor : Ukuran dan bentuk membesar CTR 65%
2) Pulmo tak tampak infiltrat di kedua lapang paru. Corakan bronchovascular normal
3) Sudut costophrenicus kanan kiri tajam
4) Hemidiaphragma kanan kiri normal
5) Trachea di tengah
6) Sistema tulang baik
Kesimpulan
1) Cardiomegaly
2) Paru tak tampak kelainan
b. CT Scan Kepala tanpa Kontras
1) Tampak lesi hiperdens densitas darah (61 – 80 HU) ukuran 3,34 1,95 3,08 cm
(volume : ± 10 cc) disertai perifocal edema di lobus temporoparietalis kiri
2) Tampak lesi hiperdens densitas darah (70 HU) di ventrikel lateralis kiri
3) Tampak midline shifting ke kanan sejauh 0,25 cm
4) Sulci dan gyri normal
5) Pons, cerebellum, dan cerebellopontine angle tidak tampak kelainan
6) Orbita, mastoid, dan sinus paranasalis kanan kiri tidak tampak kelainann
7) Craniocerebral space tak tampak kelainan
8) Calvaria intact
Kesimpulan
1) ICH lobus temporoparietalis kiri disertai perifocal edema yang menyebabkan
herniasi subfalcine ke kanan sejauh 0,25 cm
2) IVH ventrikel lateralis kiri
E. Assessment
Klinis : Hemiparesis dextra, afasia motorik, paresis N. VII dextra UMN, paresis
N. XII dextra UMN
Topis : Subcortex sinistra
Etiologis : Intracerebral hemorrhage (ICH)
F. Plan
1. Head up 300
2. Oksigen 3 lpm nasal canul
3. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
4. Injeksi citicolin 250 gram/12 jam
5. Injeksi mecobalamin 500 mcg/12 jam
6. Infus manitol 100 ml/12 jam
7. Injeksi ranitidine 50 gram/12 jam
8. Injeksi ketorolac 30 gram/12 jam
9. Paracetamol tab 1 gram/12 jam
10. Aspar K 3 1 tab
11. Atorvastatin 1 20 gram
12. Amlodipine 10 gram
G. Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad sanam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
BAB II
FOLLOW UP
Nervi Craniales
N. II, III : Pupil isokor 3 mm/3 mm, RCL (+/+)
N. III, IV, VI : Doll’s eye movement intact
N. V : Refleks kornea (+/+)
N. VII : Paresis dextra UMN
N. XII : Sde
N. IX, X : Gag reflex (+)
Fungsi Motorik
Kekuatan Tonus
Normal Normal
Normal Normal
Lateralisasi dextra
Nervi Craniales
N. II, III : Pupil isokor 3 mm/3 mm, RCL (+/+)
N. III, IV, VI : Doll’s eye movement intact
N. V : Refleks kornea (+/+)
N. VII : Paresis dextra UMN
N. IX, X : Gag reflex (+)
Fungsi Motorik
Kekuatan Tonus
Normal Normal
Normal Normal
Lateralisasi dextra
Nervi Craniales
N. II, III : Pupil isokor 3 mm/3 mm, RCL (+/+)
N. III, IV, VI : Doll’s eye movement intact
N. V : Refleks kornea (+/+)
N. VII : Paresis dextra UMN
N. IX, X : Gag reflex (+)
Fungsi Motorik
Kekuatan Tonus
Normal Normal
Normal Normal
Lateralisasi dextra
Nervi Craniales
N. II, III : Pupil isokor 3 mm/3 mm, RCL (+/+)
N. III, IV, VI : Doll’s eye movement intact
N. V : Refleks kornea (+/+)
N. VII : Paresis dextra UMN
N. IX, X : Gag reflex (+)
N. XII : Paresis dextra UMN
Fungsi Motorik
Kekuatan Tonus
1/1/1 5/5/5 Normal Normal
1/1/1 5/5/5 Normal Normal
14 Juni 2018 S:
DPH 4 O : GCS E3VxM6 RR : 12 kali/menit
Onset 5 TD : 185 / 68 mmHg T : 36,50C
HR : 102 kali/menit
Fungsi luhur kesan afasia motorik
Meningeal sign (-)
Nervi Craniales
N. II, III : Pupil isokor 3 mm/3 mm, RCL (+/+)
N. III, IV, VI : Gerakan bola mata normal
N. V : Refleks kornea (+/+)
N. VII : Paresis dextra UMN
N. IX, X : Gag reflex (+)
N. XII : Paresis dextra UMN
Fungsi Motorik
Kekuatan Tonus
1/1/1 5/5/5 Normal Normal
1/1/1 5/5/5 Normal Normal
Nervi Craniales
N. II, III : Pupil isokor 3 mm/3 mm, RCL (+/+)
N. III, IV, VI : Gerakan bola mata normal
N. V : Refleks kornea (+/+)
N. VII : Paresis dextra UMN
N. IX, X : Gag reflex (+)
N. XII : Paresis dextra UMN
Fungsi Motorik
Kekuatan Tonus
1/1/1 5/5/5 Normal Normal
1/1/1 5/5/5 Normal Normal
3. Gejala Klinis
Gejala klinis pada stroke pendarahan terdiri dari gejala peningkatan tekanan
intrakranial dan gejala neurologi fokal. Gejala peningkatan tekanan intrakranial adalah
nyeri kepala, muntah proyektil tanpa mual, papilledema yang menyebab gangguan
penglihatan, dan penurunan kesadaran. Sedangkan gejala neurologi tergantung dari lokasi
pendarahan (McCance & Huether, 2014)
4. Neuroimaging
Computed Tomography (CT) Scan dapat membantu menentukan lokasi, luas, dan
volume pendarahan. Estimasi volume darah dapat dihitung dengan rumus :
A×B×C
2
A adalah ukuran diameter paling besar dari pendarahan, B adalah ukuran diameter yang
tegak lurus dengan A, dan C adalah tinggi pendarahan yang dihitung dari perkalian antara
jumlah irisan yang memiliki lesi pendarahan dengan ketebalan irisan. Ketiga komponen
tersebut dinyatakan dalam cm sehingga diperoleh estimasi volume pendarahan dalam
satuan cm3 (Kothari dkk., 1996)
5. Terapi Spesifik
a. Pengendalian Tekanan Darah
1) Jika tekanan systole > 200 mmHg atau MAP > 150 mmHg, maka tekanan darah
diturunkan dengan antihipertensi IV secara kontinu dengan monitoring tekanan
darah setiap 5 menit
2) Jika tekanan systole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg disertai gejala
peningkatan tekanan intrakranial, maka tekanan darah diturunkan dengan
antihipertensi IV secara kontinu atau intermittent dengan monitoring tekanan
perfusi otak ≥ 60 mmHg
3) Jika tekanan systole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai gejala
peningkatan tekanan intracranial, maka tekanan darah diturunkan dengan
antihipertensi IV secara kontinu atau intermittent dengan monitoring tekanan darah
setiap 15 menit sampai MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg
4) Pada tekanan systole 150 – 220 mmHg, penurunan tekanan darah masih cukup
aman sampai tekanan systole 140 mmHg. Setelah operasi kraniotomi, target MAP
adalah 100 mmHg
(Perdossi, 2011)
b. Evakuasi Hematoma
1) Pada sebagian besar pasien dengan pendarahan intrakranial, kegunaan tindakan
operasi masih belum pasti
2) Pasien dengan pendarahan intraserebral yang mengalami perburukan neurologi,
atau terdapat kompresi batang otak, dan/atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel
sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan darah secepatnya. Tata laksana awal
pada pasien tersebut dengan drainase ventrikular saja tanpa evakuasi bekuan darah
tidak direkomendasikan
3) Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terletak 1 cm dari
permukaan, evakuasi pendarahan intrakranial supratentorial dengan kraniotomi
standar dapat dipertimbangkan
4) Saat ini tidak terdapat bukti yang mengindikasikan pengangkatan segera dari
pendarahan intrakranial supratentorial untuk meningkatkan keluaran fungsional
atau angka kematian, kraniotomi segera dapat merugikan karena meningkatkan
risiko pendarahan berulang
(Perdossi, 2011)
6. Prognosis
Prediksi outcome mortalitas dalam waktu 30 hari dapat ditentukan dengan
intracerebral hemorrhage (ICH) score. ICH score terdiri dari lima komponen yaitu nilai
Glasgow coma scale (GCS), volume pendarahan, umur, pendarahan intraventrikular, dan
pendarahan infratentorial
Tabel 4.1 Intracerebral Hemorrhage (ICS) Score (Hemphill dkk., 2001)
ICH Score Skor
Nilai GCS
3–4 2
5 – 12 1
13 – 15 0
Volume pendarahan
≥ 30 cm3 1
< 30 cm3 0
Pendarahan intraventricular
Ya 1
Tidak 0
Sumber pendarahan dari infratentorial
Ya 1
Tidak 0
Umur
≥ 80 tahun 1
< 80 tahun 0
Hubungan antara ICH score dengan mortalitas 30 hari dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 4.2 Hubungan ICH Score dengan Mortalitas 30 Hari (Hemphill dkk., 2001)
Nilai Total ICH Score Prediksi Mortalitas 30 hari
0 0%
1 13%
2 26%
3 72%
4 97%
5 100%
6 100%
B. Analisis Kasus
1. Analisis Gejala Klinis
a. Anamnesis
Seorang perempuan umur 62 tahun datang ke IGD RSUD Dr Moewardi dengan
keluhan kelemahan anggota gerak kanan dan wajah perot sejak 30 menit yang lalu.
Letak kelainan yang mungkin adalah di tractus corticospinal dan corticobulbar pada
cortex dan/atau subcortex di atas medulla. Lesi pada pons dapat dihilangkan karena
kelumpuhan terjadi pada sisi wajah dan ekstremitas yang sama (hemiparesis tipikal).
Kelainan tidak mungkin di medulla oblongata atau medulla spinalis karena kelainan di
lokasi tersebut tidak melibatkan bagian wajah. Selain itu, kelainan juga tidak mungkin
pada saraf tepi karena kelumpuhan tidak sesuai dengan distribusi saraf tertentu
(Blumenfeld, 2010)
Pada lesi di cortex motorik, biasanya terdapat perbedaan tingkat kelumpuhan antara
lengan dengan kaki. Hal tersebut disebabkan oleh cortex motorik mendapatkan
vaskularisasi dari dua arteri, yaitu a. cerebri anterior dan a. cerebri media. A. cerebri
anterior memvaskularisasi sebagian besar aspek medial, dimana terdapat pemetaan
homunculus untuk extremitas inferior. Sedangkan, a. cerebri media memvaskularisasi
sebagian besar aspek lateral yang terdapat pemetaan homunculus untuk extremitas
superior. Lesi pada cortex motorik sering melibatkan daerah lain di sekitarnya. Maka
dari itu, biasanya juga muncul gejala lain seperti hipestesia, gangguan berbahasa,
dan/atau gangguan fungsi luhur lainnya (Mardjono & Sidharta, 2010)
Lesi di capsula interna menyebabkan kelumpuhan pada derajat yang sama antara
lengan dengan kaki. Hal tersebut karena semua akson dari cortex motorik sudah
bergabung di capsula interna. Berbeda dengan lesi di cortex, lesi di capsula interna
jarang disertai gangguan sensorik dan gangguan fungsi luhur. Maka dari itu,
kelainannya sering disebut dengan pure motor hemiparesis (Daroff dkk., 2016)
Keluhan muncul secara mendadak setelah pasien menjenguk temannya. Hal
tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh gangguan vaskular, yaitu stroke.
Penyebab neoplasma dapat dihilangkan karena gejala klinis neoplasma bersifat
progresif, tidak muncul secara mendadak. Penyebab infeksi juga dapat dihilangkan
karena pasien tidak demam. Keluhan tidak disebabkan oleh trauma atau penggunaan
obat karena pasien sebelumnya tidak mengalami trauma dan tidak mengonsumsi obat
– obatan (Campbell, 2013). Penyebab metabolik belum dapat disingkirkan sebelum
dilakukan pemeriksaan laboratorium. Contoh gangguan metabolik yang dapat
menyebabkan kelemahan anggota gerak adalah hipoglikemia, hipokalemia,
hiponatremia, dan hiperkalsemia (Mount, 2015)
Pasien ini mengalami hemiparesis dextra yang muncul secara mendadak. Tidak
diketahui apakah disertai gangguan sensorik karena pasien sulit diajak komunikasi.
Kesulitan komunikasi dapat disebabkan oleh afasia motorik dan/atau disartria akibat
paralisis N. XII. Jadi dari anamnesis, pasien kemungkinan mengalami lesi di cortex
motorik atau capsula interna karena gangguan vaskular (stroke). Menurut
penyebabnya, stroke dibagi menjadi dua, yaitu stroke ischemic karena obstruksi
pembuluh darah dan stroke hemorrhagic karena pecahnya pembuluh darah. Menurut
letak pendarahannya, stroke hemorrhagic dibagi lagi menjadi pendarahan intraserebral
dan pendarahan subarachnoid (Walker dkk., 2014)
Pasien juga mengalami muntah, yang merupakan salah satu tanda peningkatan
tekanan intrakranial. Hal tersebut mengarah pada stroke hemorrhagic jenis pendarahan
intraserebral, dimana hematoma pada otak menyebabkan lesi desak ruang sehingga
lama – kelamaan akan meningkatkan tekanan intrakranial (McCance & Huether, 2014).
Kecurigaan stroke hemorrhagic diperkuat dengan serangan yang muncul saat aktivitas
(setelah pasien menjenguk temannya) dan Skor Siriraj lebih dari satu. Meskipun
demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan
apakah terdapat pendarahan di otak atau tidak
Menurut doktrin Monro-Kelli, cranium merupakan ruangan yang rigid dan tidak
dapat mengembang. Volume intrakranial terdiri dari 80% jaringan otak, 10% darah,
dan 10% liquor cerebrospinal (LCS) yang jumlahnya selalu konstan. Jika terdapat
penambahan salah satu volume, maka akan diikuti oleh pengurangan volume yang lain.
Namun lama – kelamaan, mekanisme kompensasi akan gagal sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial
Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol. Hipertensi merupakan
salah satu faktor risiko stroke, baik ischemic maupun hemorrhagic (Pandey dkk., 2016).
Pada pasien ini, hipertensi kemungkinan menyebabkan stroke hemorrhagic jenis
pendarahan intraserebral karena terdapat gangguan neurologi fokal disertai tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Hipertensi kronis menyebabkan berbagai perubahan
pada dinding arteri seperti nekrosis fibrinoid, lipohyalinosis, dan pembentukan
mikroaneurisma Charchot-Bouchard. Semua perubahan tersebut menyebabkan dinding
arteri menjadi mudah rupture sehingga terjadi pendarahan. Semakin tinggi tekanan
darah, maka risiko pendarahan intraserebral juga semakin tinggi (Kumar, 2017)
b. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran dan Fungsi Luhur
Pasien tampak sadar penuh tetapi sulit diajak berbicara sehingga komponen
verbal tidak dapat dinilai. Karena pasien tampak sadar penuh, berarti tidak terdapat
gangguan pada substansia reticularis diencephalon (Mardjono & Sidharta, 2010)
Pada pemeriksaan fungsi luhur diperoleh kesan afasia motorik karena pasien
tampak kesulitan berbicara (labored speech) serta kata – kata yang diucapkan hanya
sedikit dan kurang jelas (nonfluent). Tetapi saat diminta untuk mengangkat alis,
pasien dapat melakukannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasien mengerti apa
yang dibicarakan orang lain tetapi tidak dapat mengucapkan kata – kata yang
dipikirkan. Afasia motorik disebabkan oleh lesi pada area Broca yang
divaskularisasi oleh r. superior a. cerebri media sinistra. Area Broca terletak di
gyrus frontalis inferior, di dekat fissura lateralis, pada hemispherium dominan
(Daroff dkk., 2016). Karena pasien menggunakan tangan kanan untuk aktivitas
sehari – hari, maka hemispherium yang dominan adalah hemispherium sinistra. Jadi
pada pasien ini, afasia motorik disebabkan oleh lesi di gyrus frontalis inferior
sinistra. Untuk memastikannya, perlu dilakukan pemeriksaan CT scan kepala
2) Rangsang Meningeal
Pemeriksaan rangsang meningeal semuanya negatif. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tidak terdapat iritasi meninges, baik karena infeksi atau benda asing di ruang
subarachnoid (Campbell, 2013). Maka dari itu, diagnosis meningitis dan
pendarahan subarachnoid dapat disingkirkan
3) Nervi Craniales
Pada pemeriksaan nervi craniales, ditemukan paresis N. VII dextra tipe LMN
karena kerutan dahi sebelah kanan tidak tampak saat pasien diminta untuk
mengangkat alis. Pasien juga tidak dapat menutup mata kanan dengan kuat, yang
ditandai dengan pemeriksa dapat membuka mata kanan pasien secara mudah
(Bickley, 2017). Pada lesi di cortex atau subcortex, paresis N. VII seharusnya
adalah paresis tipe UMN. Namun pada pasien ini, paresis yang ditemukan adalah
paresis tipe LMN. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh gangguan lain di n.
facialis, misalnya Bell’s palsy
Selain itu, juga ditemukan paresis N. XII dextra tipe UMN karena saat
dijulurkan, lidah menyimpang ke kanan tanpa disertai atrofi dan fasikulasi. Deviasi
lidah ke kanan disebabkan oleh kontraksi m. geniglossus sinistra yang mendorong
lidah ke kanan
Pada lesi di cortex atau subcortex, paresis N. VII dan N. XII seharusnya adalah
paresis tipe UMN. Namun, pasien ini mengalami paresis N. VII tipe LMN padahal
nervi craniales dalam batas normal. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan sindrom
Millard-Gubler atau sindrom Foville-Millard-Gubler karena hemiparesis dan
paresis N. VII terjadi pada sisi yang sama serta tidak terdapat deviasi conjugee
(Campbell, 2013). Jadi kondisi tersebut tidak disebabkan oleh gangguan di batang
otak, tetapi mungkin karena gangguan lain di n. facialis, misalnya Bell’s palsy
4) Ddd
5) Ddd
6) ddd
2. Analisis Pemeriksaan Penunjang
3. Analisis Terapi