Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Good Corporate Governance (selanjutnya disingkat GCG) telah menjadi

fenomena global dimana setiap perusahaan atau korporasi diharuskan

mengembangkan dan menerapkannya, agar dapat tetap eksis dalam menghadapi

perubahan dan tantangan globalisasi di abad ke-21. Secara etimologi istilah

“governance” berarti “pemerintahan”, sementara Corporate Governance (CG)

dimaknai sebagai “tata kelola perusahaan”. Corporate Governance (CG)

didefinisikan sebagai seni dan sekaligus strategi manajemen kunci di lingkungan

bisnis atau sektor privat yang yang menentukan tingkat keberhasilan korporasi

dalam mencapai kondisi high profile, kinerja keuangan dan kinerja perusahaan

terbaik (Sonmez dan Yoldirim, 2015: 20).

Munculnya kebutuhan untuk menerapkan GCG terutama dipicu oleh

terjadinya berbagai skandal penipuan akuntansi yang dilakukan oleh eksekutif

perusahaan. Praktik penipuan akuntansi itu telah membangkrutkan Enron

Enterprises, perusahaan energi raksasa Amerika Serikat yang menempati

peringkat ke-tujuh dunia, dengan jumlah total kerugian mencapai 74 milyar USD.

Para pemegang saham dilapori bahwa profit perusahaan mencapai 74 milyar USD,

dimana 43 milyar USD diantaranya terdeteksi sebagai hasil kecurangan (fraud).

Dilaporkan bahwa 3000 eksekutif perusahaan dari 54 negara terlibat kecurangan

dalam membuat laporan keuangan (Edel Lemus, 2014: 1-2).

1
Di Indonesia, skandal keuangan terbesar yang pernah terjadi adalah

skandal Bank Century pada tahun 2008. Bank yang pengelolaannya diambil alih

oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) karena salah urus atau tata kelola yang

buruk (bad governance) itu, mengalami rally penurunan rasio kecukupan modal

secara berturut-turut dari: + 2,35% pada 30 September 2008, - 3,53% pada 31

Oktober 2008, dan menjadi - 35,92% per 20 Nopember 2008. Kondisi tersebut

menurunkan tingkat kepercayaan nasabah, deposan, investor dan masyarakat yang

lebih luas mengenai tata kelola, kinerja perusahaan, kinerja keuangan dan nilai

perusahaan. Kejadian itu memicu aksi pengalihan simpanan nasabah dari bank

bermasalah ke bank yang lebih aman, sehingga terjadi penarikan simpanan secara

besar-besaran secara serentak (rush). Skandal Bank Century yang kemudian

ditetapkan sebagai “Bank gagal dan berdampak sistemik” oleh Komite Stabilitas

Sistem Keuangan (KSSK), telah memaksa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

mengucurkan dana talangan (bail out) sebesar 6,672 triliun rupiah (Kurniasari,

2012: 97).

Kedua skandal itu menggambarkan buruknya tata kelola (bad governance)

korporasi yang pada akhirnya menyebabkan kebangkrutan. Buruknya kinerja

keuangan dan kecurangan yang terjadi tertutupi dari penglihatan pemilik,

pemegang saham, investor dan stakeholder melalui manipulasi laporan keuangan,

dengan memanfaatkan celah-celah prosedur akuntansi yang seringkali disebut

sebagai praktik akuntansi kreatif (creative accounting). Akuntansi kreatif adalah

proses manipulasi informasi finansial memakai prosedur akuntansi yang bertujuan

untuk menimbulkan kesan tentang kinerja keuangan “sangat baik” atau “jauh

2
lebih baik” daripada kondisi keuangan yang sebenarnya (Mamo & Ada Aliaj,

2014: 55; Tassadaq & Malik, 2015: 544; Supriyati & Herlina, 2016: 107).

Bertolak dari berbagai skandal keuangan seperti: Enron, Parmalat,

Lehman Bothers di luar negeri, skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

(BLBI) dan Bank Century di Indonesia, yang dapat terjadi karena adanya praktik-

praktik manajemen laba, akuntansi kreatif atau agresif, dan income smoothing

pada tata kelola perusahaan dan proses audit, maka penerapan GCG menjadi

keharusan yang tak terhindarkan bagi setiap korporasi bisnis. Pada dasarnya, GCG

adalah suatu sistem dan proses yang bertujuan untuk mengalokasikan sumber

daya korporasi sedemikian rupa sehingga nilai dan manfaat dapat dimaksimalkan

bagi kepentingan para stakeholder seperti: pemegang saham, investor, pegawai,

konsumen, pemasok, lingkungan dan masyarakat yang lebih luas. GCG

menyangkut serangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, keputusan, institusi,

hukum dan norma yang mempengaruhi dan menentukan bagaimana korporasi

dapat dijalankan, dikelola dan dikontrol untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi

dan sosial secara seimbang

Terdapat dua persoalan mendasar berkenaan dengan Corporate

Governance (CG), yaitu: pertama, memaksimalkan nilai dan manfaat bagi

pemegang saham yang termasuk di ranah teori keagenan (Agency Theory); dan

kedua, peran stakeholder di dalam sistem manajemen korporasi yang termasuk

dalam ranah teori stakeholder (Stakeholder Theory) (Sonmez & Yildirim, 2015:

20). Penerapan GCG berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan korporasi

sebagaimana terbukti pada penelitian Maria Rofina, dkk. (2013) yang ditandai

3
dengan meningkatnya Return on Investment (ROI) dan Return on Equity (ROE).

Di tempat berbeda, penelitian Priyanka Aggarwal (2013) juga memberikan hasil

yang sama bahwa GCG berpengaruh positif terhadap kinerja finansial korporasi.

Kompleksitas permasalahan di bidang tata kelola korporasi dan investasi di pasar

saham memunculkan tekanan untuk pelaku bisnis, stakeholder terkait dan peneliti

untuk mengkaji tentang arti penting, substansi, konsepsi dan penerapan GCG di

Indonesia guna meminimalkan risiko bangkrutnya korporasi akibat praktik

manajemen laba dan akuntansi kreatif.

Berbagai uraian yang telah dipaparkan di atas mencerminkan peran dan

fungsi penting dari pasar saham/modal seperti PT. Bursa Efek Indonesia sebagai

instrumen ekonomi untuk memobilisasi sumber daya para stakeholder (pemilik,

pemegang saham, investor, konsumen, pegawai dan masyarakat yang lebih luas)

melalui penyediaan jasa pelayanan finansial dalam rangka menciptakan dan

mendorong pertumbuhan ekonomi, baik di aras global, regional, nasional maupun

lokal. Bisnis jasa finansial di pasar saham berlandaskan pada kepercayaan (trust)

para pengguna. Sentimen negatif akibat ketidakpercayaan (untrust) karena

praktik kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh eksekutif korporasi atau spekulan,

dapat memicu kekacauan pasar atau bahkan krisis ekonomi sebagaimana yang

pernah terjadi di Indnesia pada tahun 1997 dan 2008.

Penerapan GCG bertujuan untuk menciptakan sistem perkenomian dan

keuangan yang transparan dan akuntabel berbasis sistem akuntansi yang valid

serta dapat diandalkan. Mengingat pentingnya GCG, maka Komite Nasional

Kebijakan Governance (KNKG) pada tanggal 17 Oktober 2006 telah menerbitkan

4
Pedoman Umum Good Corporate Governance yang diharapkan dapat dijadikan

panduan dalam memahami prinsipi-prinsip serta pelaksanaan GCG di Indonesia.

Mengamati kenyataan yang terjadi di lapangan, maka peneliti

mengidentifikasi beberapa kesenjangan dan problem sebagai berikut:

a. Terdapat kesenjangan antara praktik yang terjadi dengan kondisi yang

diharapkan. Kepercayaan stakeholder terhadap kinerja keuangan dan kinerja

perusahaan dicederai oleh eksekutif perusahaan yang melakukan kecurangan

(fraud) melalui praktik akuntansi kreatif dan/atau agresif untuk memanipulasi

laporan keuangan. ;

b. Sistem akuntansi yang seharusnya dapat menjadi pilar penopang dalam

mewujudkan transparasnsi, akuntabilitas dan profesionalisme, dan dapat

mencegah atau menghalangi manipulasi, ternyata dijadikan alat untuk

melakukan kecurangan (fraud) secara kreatif;.

c. Definisi, konsep, model, pendekatan dan implementasi GCG di berbagai

tempat dan situasi adalah bervariasi.. demikian juga mengenai peran dan

fungsinya ditinjau dari sisi-sisi kepentingan negara, dunia usaha, dan

masyarakat. GCG perlu dipahami dalam lingkup dan konteks lebih luas dari

sekedar strategi untuk meningkatkan kinerja keuangan perusahaan;

Kesenjangan-kesenjangan itu menjadi alasan utama peneliti untuk

menjelaskan mengapa fenomena penerapan GCG yang diproksikan terhadap

kinerja keuangan menjadi penting untuk dikaji dan dianalisis. Bagaimana

hubungan, pengaruh atau interaksi yang terjadi di antara variabel-variabel GCG,

5
dan kinerja keuangan pada high profile industry akan diukur dan dianalisis

menggunakan pendekatan kuantitatif.

Krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997 dan 2008 berdampak negatif

terhadap ekonomi global. Krisis keuangan adalah kondisi dimana nilai, aset, dan

kinerja dari lembaga-lembaga keuangan merosot tajam dengan cepat (Salvatore &

Campano, 2010). Kirkpatrick (2009), Kumar dan Singh (2013) menemukan

bahwa salah satu penyebab utama terjadinya krisis keuangan adalah kegagalan

dalam menjalankan GCG. Latif, Shahid, Haq, Waqas and Arshad (2013),

menyatakan bahwa GCG berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.

Penerapan GCG akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja perusahaan

(Rashid and Lodh, 2011). Hal itu disebabkan karena pengaruh dari faktor-faktor:

determinan dari GCG, yaitu: ukuran dan independensi dewan komisaris,

kepemilikan manajerial, kepemilikan organisasional, dan komite audit (Sheikh,

Wang & Khan, 2013. Komposisi komite audit dan kualitas audit berpengaruh

positif terhadap kinerja keuangan perusahaan (Gardner, Hussin, Sanusi, Sulong

dan McGowan, 2013 dalam Apadore dan Subaryani, 2014).

Komite audit berkaitan dengan fungsi audit internal untuk kepentingan

perusahaan, sementara auditor eksternal bersangkutan dengan audit eksternal

untuk kepentingan pemegang saham, stakeholder, investor dan publik. Hassan dan

Halbouni (2013) menyatakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara tipe

audit (internal atau eksternal) dengan kinerja perusahaan. Pada perusahaan

manufaktur, keputusan-keputusan pada level operasional (distributor, agen

penjualan, sales, dan konsumen) tidak dipengaruhi oleh audit eksternal tetapi oleh

6
kualitas audit. Baik dan buruknya kualitas audit ditentukan oleh beberapa faktor

antara lain: komposisi, independensi, profesionalisme dari komite audit yang

merupakan salah satu unsur penring di dalam GCG.

Bertolak dari fakta-fakta empiris yang diungkapkan melalui berbagai

penelitian terdahulu bahwa terdapat kesenjangan riset di antara para peneliti

terdahulu, terutama antara Hassan dan Halbouni (2013) dengan Gardner, Hussin,

Sanusi, Sulong & McGowan (2013), maka peneliti memandang perlu melakukan

penelitian untuk mengkaji tentang hubungan dan interaksi antara GCG dengan

kinerja keuangan perusahaan yang diproksikan terhadap ROA. Mengacu pada

hasil penelitian Apadore & Subaryani (2014) dan peneliti lainnya maka variabel-

variabel GCG yang diteliti di dalam studi ini adalah: Dewan Komisaris

Independen (DKI), Komite Audit (KI), Kepemilikan Manajerial (KM), dan

Kualitas Audit (KA).

.Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dilaksanakan penelitian ini dengan

judul: “Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Kinerja Keuangan

Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia Tahun 2013 – 2016”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan berbagai kesenjangan dan problem sebagaimana yang telah

dijelaskan pada bagian latar belakang, maka permasalahan pada penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah Dewan Komisaris Independen (DKI) berpengaruh terhadap kinerja

keuangan perusahaan?

7
b. Apakah Komite Audit Independen (KAI) berpengaruh terhadap kinerja

keuangan perusahaan?

c. Apakah Kepemilikan Manajerial (KM) berpengaruh terhadap kinerja

keuangan perusahaan?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Memahami, menganalisis dan menjelaskan tentang pengaruh Dewan

Komisaris Independen (DKI) terhadap kinerja keuangan perusahaan.

b. Memahami, menganalisis dan menjelaskan tentang pengaruh Komite Audit

Independen (KAI) terhadap kinerja keuangan perusahaan.

c. Memahami, menganalisis dan menjelaskan tentang pengaruh Kepemilikan

MAnajerial (KM) terhadap kinerja keuangan perusahaan.

1.3.2. Manfaat Penelitian

1.3.2.1.Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ekonomi – akuntansi, khususnya

mengenai penerapan konsep GCG untuk menjamin terwujudnya kinerja keuangan

korporasi yang baik dan jauh dari praktik manajemen laba. Pemahaman

pengetahuan atas hal-hal tersebut dapat dijadikan sebagai landasan pemikiran

untuk mengembankan konsep teoritis atau pemikiran baru untuk mengatasi

kesenjangan teoritis dan empiris di dalam penerapan, kontrol, penilaian dan

8
evaluasi pelaksanaan GCG pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia.

1.3.2.2.Manfaat Praktis

a. Bagi High Profile Industry

Hasil peneilitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran atau

masukan bagi high profile Industry yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia,

berkenaan dengan bagaimana melaksanakan tanggung jawab dan

kewajiban sosialnya dalam menerapkan GCG secara berkelanjutan,

konsisten, dan memenuhi nilai-nilai serta etika publik.

b. Bagi Peneliti Bursa Efek Indonesia

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan mengenai hal-hal

substansial yang dapat dijadikan pedoman untuk mengawasi, mengukur,

mengontrol,, menilai serta mengevaluasi efek penerapan GCG terhadap

kinerja keuangan pada perusahaan manufaktur, dalam rangka

mengembangkan sistem informasi yang transparan, berimbang, dapat

dipercaya serta diandalkan bagi stakeholder (pemilik/owner, pemegang

saham, investor, manajemen, pegawai) dan publik atau masyarakat yang

lebih luas.

c. Bagi Peneliti lain

Hasil studi ini diharapkan dapat memperluas wawasan, pengetahuan serta

dialektika pemikiran peneliti tentang hubungan-hubungan asosiatif atau

kausalistik, serta interaksi yang terjadi di antara variabel-variabel GCG,

dengan variabel kinerja keuangan perusahaan. Pemahaman serta

9
penguasaan yang mendalam atas hal-hal tersebut sangat bermanfaat bagi

praktik aplikasi ilmu akuntansi di dalam proses auditing serta pelaporan

kinerja keuangan perusahaan, GCG. Bagi peneliti lain, hasil studi ini

diharapkan dapat menjadi sumber rujukan bagi peneliti lain yang berminat

melakukan penelitian sejenis tetapi dengan sudut pandang atau pendekatan

berbeda, dengan sampel seta populasi yang juga berbeda.

1.4 Sistematika Penulisan

Supaya penelitian ini dapat menjelaskan objek penelitian secara runtut dan

menyeluruh, maka disusun sistematika penulisan yang memggambarkan

susunan penelitian dan berbagai hal yang akan dipaparkan pada masing-

masing bab. Adapun penelitian ini dibagi menjadi 5 bagian dengan

sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini membahas mengenai latar belakang penelitian,

perumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, serta sistematika

penulisan.

BAB II : TELAAH PUSTAKA

Didalam bab telaah pustaka akan dijelaskan mengenai apa saja landasan

teori yang mendasari penelitian, penelitian terdahulu dengan topik yang

sejenis, kesamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya, kerangka

penelitian dan hipotesis yang digunakan untuk memperjelas arah dan maksud

dilakukannya penelitian ini.

BAB III : METODE PENELITIAN

10
Metode penelitian adalah bagian dari penelitian ini yang isinya

menggambarkan tentang bagaimana penelitian ini dilakukan secara

opperasional. Dalam bagian ini akan dijabarkan tentang apasaja variabel

penelitian dan definisi operasional, penentuan populasi dan sampel.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan memberikan gambaran tentang objek penelitian,

dan hasil penelitian dan uji statistik berupa analisa data yang disertai dengan

pembahasan.

BAB V : PENUTUP

Bab akhir dalam penyusunan skripsi ini adalah penutup. Bagian ini

memberikan simpulan yang diambil berdasarkan pada hasil analisis data.

Dalam bagian ini juga akan diuraikan mengenai keterbatatasan penelitian ini,

serta saran-saran yang mungkin akan bermanfaat untuk penelitian

selanjutnya. Literatur yang dijadikan referensi dalam penelitian ini terdapat

pada daftar pustaka, dan juga pada bagian paling akhir dilengkapi dengan

lampiran-lampiran pengolahan data.

11
BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Good Corporate Governance (GCG)

Pandangan konvensional tentang Good Corporate Governance (GCG)

secara primer menekankan pada aspek hak kepemilikan para pemegang saham

(shareholders) atas perusahaan, dimana hal itu secara langsung mempengaruhi

dan menentukan platform hubungan ekonomi dan hukum antara pemegang saham

selaku prinsipal dengan para manajer selaku “agen” dalam perspektif teori

keagenan (agency theory). Kadang-kadang dijumpai di dalam praktik i bahwa

para penganut pandangan konvensional memberikan ruang bagi masuknya

pemangku kepentingan (stakeholder) di dalam tata kelola perusahaan, tetapi hal

itu hanya didasarkan pada aspek kepantasan untuk memberikan peluang

partisipasi kepada pihak lain. Pandangan konvensional GCG ini jelas sangat

berbeda dengan pandangan kontemporer GCG yang sedang berkembang dewasa

ini.

Komite Cadburry pada tahun 1992 mendefinisikan GCG sebagai berikut

(Daniri, 2006: 7; dalam Salahudin 2009: 16;)

“GCG adalah prinsip-prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan


perusahaan menyeimbangkan antara kekuatandan kewenangannya mengambil
keputusan, membuat kebijakan dan memberikan pertanggungjawaban kepada
pemegang saham (shareholders) pada khususnya, dan kepada pemangku
kepentingan (stakeholders) pada umumnya”.

GCG didefinisikan oleh Bank Dunia sebagai berikut:

12
“seperangkat hukum, peraturan, dan norma yang wajib dipatuhi dan
dilaksanakan, untuk perusahaan atau korporasi dalam mengelola sumber daya
secara efisien guna menghasilkan nilai tambah ekonomi jangka panjang yang
berkelanjutan (sustainable) bagi para pemegang saham, pemangku kepentingan
(stakeholders), serta masyarakat yang lebih luas (publik)” (Effendi, 2009 dalam
Rofina, 2013: 3).

GCG didefinisikan oleh Forum for Corporate Governance in Indonesia

(FCGI) yang pada intinya adalah sebagai berikut (Hery, 2010: 18)”

“Perangkat peraturan, mekanisme dan prosedur yang mengatur tentang


hubungan dan interaksi di antara para pemegang saham, manajer perusahaan,
kreditur, pemerintah, pegawai, serta para pemangku kepentingan (stakeholders)
berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban mereka”.

Negara-negara yang tergabung di dalam kelompok Organization for

Economic Cooperatiaon and Development (OECD), mendefiniskan GCG sebagai:

“cara-cara, prosedur dan/atau praktik-praktik terbaik (best practice) tata kelola

dalam rangka mempertanggungjawabkan kinerja perusahaan terhadap para

pemegang saham” (Daniri, 2006, ibid). Beberapa negara mengembangkan

definisinya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya baik di aras

global, regional, nasional muapun lokal atau domestik, serta fakta empirik yang

berkembang di masing-masing negara.

Perbedaan definisi GCG di berbagai negara dan/atau perusahaan,

disebabkan karena GCG pada awalnya berupa kumpulan nilai-nilai dan prinsip-

prinsip yang dikembangkan oleh perusahaan untuk dapat eksis dan bertahan

secara berkelanjutan melalui penerapan praktik-praktik terbaik (best practice) dari

tata kelola perusahaan (Corporate Governance). GCG muncul menjadi fenomena

global yang menjadi kebutuhan bagi korporasi di tiap negara di dunia agar bisa

bertransaksi di pasar modal. Isu, problem, kepentingan dan sistem ekonomi di tiap

13
negara adalah berbeda-beda, demikian juga halnya dengan kepentingan, tujuan

dan prioritas dari masing-masing perusahaan. Hal inilah yang menyebabkan

terjadinya kesenjangan teori dan praktik penerapan GCG, yang bersumber dari

adanya keragaman (disparitas) definisi, konsep, pendekatan serta kerangka kerja

(framework) atau model implementasi GCG di lapangan. Diperlukan adanya

pedoman umum penerapan GCG untuk menjamin bahwa semua pemegang saham

(shareholders), pemangku kepentingan (stakeholders) dan masyarakat dapat

memperoleh pelayanan jasa keuangan dan informasi secara simetris, transparan,

akuntabel dan dapat dipercaya.

Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah dikeluarkan Pedoman GCG terutama

untuk menyikapi terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 – 1998 yang memberikan

dampak luas berupa: krisis nilai tukar rupiah, likuidasi 16 Bank papan atas, kasus

BLBI yang berkepanjangan. Sejalan dengan revisi prinsip-prinsip GCG oleh

negara-negara OECD pada tahun 2004, maka pada tahun 2006 diterbikan Buku

pedoman Umum Good Corporate Governance (GCG) Indonesia oleh Komite

Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang dibentuk oleh Kementerian

Ekonomi Keuangan dan Industri (EKUIN).

Penerapan GCG untuk mendorong terciptanya sistem pasar yang

transparan, akuntabel, dapat dipercaya serta diandalkan, perlu ditunjang dengan

dengan adanya lingkungan kondusif bagi pelaksanaannya. Implementasi GCG

memerlukan topangan dari tiga pilar utama, yaitu (Pedoman Umum GCG

Indonesia, 2006: 3):

14
a. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan
yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan,
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum
secara konsisten (consistent law enforcement);
b. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman
dasar pelaksanaan usaha;
c. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak
yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan
kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif
dan bertanggung jawab.

2.1.2. Asas-Asas Good Corporate Governance (GCG)

Tiap perusahaan harus dipastikan menerapkan asas-asas GCG pada setiap

aspek bisnis dan tata kelola di semua jajaran perusahaan. Terdapat lima asas

GCG yang meliputi: (1) Transparansi; (2) Akuntabilitas; (3) Responsibilitas; (4)

Independensi; (5) Kewajaran dan Kesetaraan (Pedoman Umum GCG Indonesia,

2006: 3):

1. Transparansi (Transparency)
a. Prinsip Dasar:
Menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis. Perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang
mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan
harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah
yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang
penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan
pemangku kepentingan lainnya.

b. Pedoman Pokok Pelaksanaan


1) Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai,
jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh
pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.
2) Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada,
visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan,
susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali,
kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya,
sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian
internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan
kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan.

15
3) Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi
kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak
pribadi.
4) Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional
dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.

2. Akuntabilitas (Accountability)
a. Prinsip Dasar:
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar,
terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan
untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

b. Pedoman Pokok Pelaksanaan


1) Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab
masing-masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan
selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values),dan
strategi perusahaan.
2) Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua
karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung
jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG.
3) Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal
yang efektif dalam pengelolaan perusahaan.
4) Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran
perusahaan yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta
memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment
system).
5) Di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ
perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan
pedoman perilaku (code of conduct )yang telah disepakati.

3. Responsibilitas (Responsibility)
a. Prinsip Dasar:
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan
sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang
dan mendapat pengakuan sebagai corporate citizen.

b. Pedoman Pokok Pelaksanaan


1) Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan
memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,
anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws).

16
2) Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara
lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di
sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang
memadai.

4. Independensi (Independency)
a. Prinsip Dasar:
Melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

b. Pedoman Pokok Pelaksanaan


1) Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya
dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan
tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari
segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat
dilakukan secara obyektif.
2) Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan
tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-
undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung
jawab antara satu dengan yang lain.

5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)


a. Prinsip Dasar
Di dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

b. Pedoman Pokok Pelaksanaan


1) Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku
kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat
bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi
sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-
masing.
2) Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang
diberikan kepada perusahaan.
3) Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam
penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara
profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan
kondisi fisik.

17
2.1.3. Teori Keagenan (Agency Theory) dari Jensen & Meckling (1976)

Teori keagenan berbicara mengenai hubungan dan interaksi keagenan di

antara prinsipal (pemilik dan pemegang saham perusahaan) dengan agen

(pengelola dan/atau direksi perusahaan), dimana prinsipal memberikan

kewenangan kepada agen untuk mengambil keputusan, membuat kebijakan, dan

bertindak atas namanya dalam mengelola dan menjalankan operasi perusahaan.

Jensen dan Meckling (1976) mempopulerkan teori keagenan di dalam karya

tulisnya yang berjudul: “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs

and Ownership Structure”, yang kemudian dijadikan sebagai kerangka dasar

teoritis di dalam berbagai literatur tentang GCG. Jensen & Meckling menjelaskan

bahwa: “posisi pemegang saham (shareholders) adalah selaku pemangku

kepentingan (skateholder) utama yang harus diprioritaskan pemenuhan

kepentingannya di dalam hubungan keagenan (Daily et al. 2003; Lan et al. 2010

dalam Smith, 2011: 13).

Menurut Jensen & Meckling (1976), perusahaan adalah institusi atau

lembaga yang di dalamnya terkandung hubungan kontraktual antara pemilik atau

pemegang saham selaku “prinsipal” dengan para manajer selaku “agen” yang

diberi kewenangan untuk mengelola serta menjalankan operasi perusahaan. Di

dalam perkembangannya, adopsi teori ini di dalam operasi perusahaan menguat

selama dekade 1980-an dan tetap dipakai hingga saat ini, dimana manajer

dipersepsikan sebagai “agen” dari pemegang saham. (Zajac et al., 2004).

Pandangan teori keagenan ini telah merombak pandangan konvensional

sebelumnya bahwa: “perusahaan adalah kotak hitam (black box) yang selalu

18
dirahakan serta ditujukan untuk memaksimalkan nilai-nilai (values)” (Jensen,

1994).

Terdapat problem atau konflik di dalam hubungan dan interaksi keagenan

di antara prinsipal dan agen yang pada umumnya bersumber dari situasi

“pendelegasian wewenang dari prinsipal kepada agen” untuk menjalankan tata

kelola dan operasi perusahaan. Pendelegasian wewenang itu didasarkan pada

harapan/ekspektasi bahwa “agen” akan mengutamakan kepentingan prinsipal

(pemegang sahamI di dalam menjalankan kewenangan yang diberikan itu”. Pada

praktiknya, kepentingan para pemegang saham dikesampingkan oleh prioritas

mengejar pertumbuhan nilai dan kepentingan agen sendiri. Sorotan teori keagenan

tertuju pada sikap dan perilaku agen yang tidak peduli terhadap kepentingan

pemegang saham, sehingga di kalangan pemegang saham muncul secara

sistematik persepsi dan/atau perasaan umum (common feelings) bahwa

kepentinggan mereka diterlantarkan oleh agen dengan dalih mengejar

peryumbuhan dan nilai perusahaan. Respon atas realitas empiris yang berkembang

pada saat itu adalah: “kebutuhan para pemegang saham untuk dapat membatasi

dan mengontrol perilaku oportunistik para agen yang lebih mengutamakan

pertumbuhan perusahaan dan kepentingan mereka sendiri” (Perrow, 1986;

Michael Jensen, 1989; Daily et al., 2003).

Pada prinsipnya, problem keagenan yang mengemuka di antara prinsipal

dan agen diklasifikasikan menjadi dua permasalahan pokok, yaitu: (1) adanya

asimetri informasi di antara prinsipal, dimana agen selaku operator perusahaan

memiliki informasi yang lebih banyak, detil, dan akurat mengenai kinerja

19
keuangan dan kinerja perusahaan secara keseluruhan; dan (2) adanya konflik di

antara kepentingan pribadi agen dengan kepentingan pemilik dan/atau pemegang

saham. Kedua kepentingan itu dapat berbenturan dengan risiko kepentingan

pemegang saham dikesampingkan di bawah kepentingan perusahaan dan/atau

kepentingan personal agen (Meisser et al., 2006: 7 dalam Endrianto, 2010: 8).

Problem keagenan menimbulkan biaya (cost) yang harus dipikul baik oleh

prinsipal maupun agen. Biaya itu diklasifikan oleh Jensen dan Meckling (1976)

menjadi tiga kategori, yaitu: (1) biaya pengawasan (monitoring cost) untuk

mengawasi perilaku para agen; (2) biaya perikatan/kontrak (bonding cost), yaitu

biaya yang dikeluarkan agen dalam rangka mematuhi mekanisme dan prosedur

untuk memperjuangkan kepentingan prinsipal; dan (3) biaya residu/sisa (residual

cost), yaitu biaya yang ditanggung prinsipal berupa pengurangan kemakmuran

atau manfaat sebagai akibat adanya keputusan agen yang berbeda dengan

keputusan prinsipal. Perbedaan teori keagenan Jensen & Meckling (1976) dengan

teori keagenan sebelumnya adalah: “teori Jensen & Meckling tidak hanya

mengutamakan kesejahteraan para pemegang saham saja, tetapi juga

kesejahteraan pemangku kepentingan (stakeholders) di luar struktur perusahaan

seperti: investor, kreditor, dan masyarakat yang lebih luas”.

Di dalam lingkup yang lebih luas, problem antara prinsipal – agen

berkaitan dengan hubungan-hubungan dan interaksi di antara (Havacek &

Havacek, 2006: 19):

a. Pemilik dan manajer perusahaan


b. Pengusaha/majikan dan karyawan
c. Kreditor dan debitor
d. Perusahaan induk dengan anak perusahaan atau sub-kontraktor

20
e. Pemilik lahan/properti dengan penyewa
f. Investor dan manajer portofolio
g. Bank pengawas (Bank Indonesia) dengan Bank yang diawasi
h. Konsumen dengan pemasok (supplier)
i. Dan lain-lain.

Biaya keagenan dapat ditekan dengan menerapkan manajemen risiko

untuk meningkatkan nilai tambah dan kemakmuran perusahaan, mengurangi

tingkat asimetri informasi dan perilaku oportunistik eksekutif perusahaan yang

seringkali melakukan akuntansi kreatif atau agresif dalam membuat laporan

kinerja keuangan (Schoek, 2002; Kajuter et al., dalam Endrianto, 2010: 9).

Isu GCG muncul sejalan dengan menguatnya dorongan untuk memisahkan

antara fungsi kepemilikan dan fungsi kontrol perusahaan, dimana proses

pengambilan keputusan dijalankan melalui empat tahapan sebagai berikut (Jensen

& Fama, 1983):

a. Penyusunan proposal untuk utilisasi sumber daya dan strukturisasi kontrak


b. Ratifikasi (memilih inisiatif yang akan diimplementasikan)
c. Implementasi keputusan
d. Pengawasan kinerja dan pemberian reward.

Teori keagenan dapat diterapkan dalam pembuatan kontrak kerja antara

prinsipal dan agen, dimana diatur hak dan kewajiban masing-masing pihak secara

proporsional. Di dalam kontrak kerja, diatur secara rinci mengenai pembagian

hasil, insentif, hal-hal yang diperbolehkan atau tidak, risiko-risiko, serta keputusan

yang disepakati bersama oleh prinsipal dan agen. Penyusunan dan penerapan

kontrak kerja yang adil dan transparan adalah bagian tidak terpisahkan dari GCG

yang sudah menjadi fenomena dan kebutuhan global. Lebih lanjut, penerapan

GCG akan berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan,

21
sebagaimana yang dilaporkan oleh Priyanka Aggarwal (2013); Maria Rowina

(2013); dan Aon Wagas Awan (2016).

2.1.4. Teori Asimetri (Asymmetry Theory)

Di dalam praktik, agen selalu memiliki informasi jauh lebih banyak,

terinci dan akurat daripada prinsipal atau stakeholder lainnya karena posisinya

sebagai pengelola yang menjalankan operasi perusahaan. Hal itu mencerminkan

bahwa informasi yang dimiliki oleh prinsipal (pemilik atau pemegang saham)

dan/atau stakeholder adalah tidak sama/tidak simetris (asimetri) dengan informasi

yang dimiliki oleh agen (manajer atau direksi). Asimetri informasi menjadi salah

satu faktor penyebab kerugian prinsipal dan stakeholder, dan bahkan tidak jarang

membangkrutkan perusahaan sebagaimana yang terjadi pada Bank Duta, Bank

Century, Bank Suma, dan lain-lain. Asimetri informasi dijadikan objek sorotan

teori asimetri yang diperkenalkan oleh George A. Akerlof (1970), yang

memenangkan hadiah Nobel bersama-sama dengan Michael Spence dan Joseph

Stiglitz (Auronen, 2003: 8).

Di dalam perspektif teori asimetri, pada laporan keuangan yang dibuat

oleh manajemen (agen) selalu terkandung empat kemungkinan kemungkinan,

yaitu; (1) benar dan baik; (2) tidak benar dan tidak baik: (3) tidak ada kecurangan

(fraud); dan (4) ada kecurangan (fraud). Pada saat menerima informasi laporan

kinerja keuangan perusahaan, prinsipal dan/atau stakeholder selalu memiliki

peluang “p = informasi benar dan baik, serta tidak ada kecurangan” atau “q = (1-

p) = informasi tidak benar dan tidak baik serta ada kecurangan”. Ketika pada

akhirnya prinsipal atau stakeholder tahu bahwa informasi yang diterimanya adalah

22
“q = informasi tidak benar dan baik, serta ada kecurangan”, biasanya prinsipal

tidak bisa berbuat apa-apa karena kecuarangan dan manipulasinya terlalu parah

sehingga tidak bisa diperbaiki lagi kecuali menutup perusahaan. Hal itulah yang

terjadi pada bank-bank yang dilikuidasi di Indonesia.

Asimetri informasi dapat menimbulkan beberapa hal antara lain: (1)

Adverse selection, yaitu pengambilan keputusan yang keliru atau tidak tepat

karena tidak didasarkan pada parameter yang benar, melainkan pada kondisi

darurat; (2) menurunnya kepercayaan (trust) dari prinsipal, stakeholder dan

masyarakat kepada agen/manajemen; (3) Moral Hazard, yaitu bahaya krisis

moralitas di kalangan manajemen yang mementingkan kepentingan personal atau

keompok di atas kepentingan prinsipal atau stakeholder. Moral hazard ini akan

berujung pada munculnya perilaku oportunistik untuk menguntungkan diri

sendiri. Adverse selection, menurunnya kepercayaan (trust) dan perilaku

oportunistik, akan menurunkan reputasi dan nilai perusahaan, dan pada akhirnya

akan mengurangi utilitas sumber daya serta kesejahteraan dan manfaat yang

dirasakan oleh prinsipal, stakeholder dan masyarakat (Devos & Landeghem, 2006;

3). .

Di dalam praktik, asimetri informasi ini juga menimbulkan biaya

administrasi tersendiri untuk mengatasinya yang disebut “biaya asimetri

(asymmetry cost)”. Penerapan GCG dapat mengurangi problem keagenan dan

asimetri informasi yang pada akhirnya akan berpengaruh positif terhadap kinerja

keuangan perusahaan (Chen dan Hai Lu, 2012:3) .

23
2.1.5. Unsur-Unsur Good Corporate Governance (GCG)

Menurut Pedoman Umum Good Corporate Governance (GCG) di

Indonesia tahun 2006, penerapan GCG diukur dari keberadaan komponen-

komponen yang meliputi (Pedoman Umum GCG, 2006: 14-16):

a. Dewan Komisasris Independen (DKI)

b. Komite Penunjang Dewan Komisaris

1) Komite Audit

2) Komite Nominasi dan Komite Renumerasi

3) Komite Kebijakan Risiko

4) Komite Kebijakan GCG

2.1.6. Pengukuran Good Corporate Governance(GCG)

Di dalam praktik, penerapan GCG diukur dengan beberapa indikator yang

berbeda-beda, tergantung pada kepentingan, lingkup dan konteksnya. Pada

penelitian ini, GCG diukur berdasarkan indikator-indikator antara lain: Dewan

Komisaris Independen (DKI) dan Komite Audit (KA). Pemilihan indikator GCG

dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan: (1) Keberadaan

Dewan Komisaris Independen (DKI) pada high profile industry, adalah mutlak

diperlukan untuk mengawasai serta mencegah terjadinya kecurangan (fraud),

manipulasi dan perilaku oportunistik; (2) Keberadaan Komite Audit diperlukan

untuk mengawasi dan mencegah terjadinya praktik akuntansi kreatif, akuntansi

agresif, dan praktik manajemen laba yang merugikan kepentingan prinsipal

dan/atau stakeholder; (3) konteks high profile industry yang diproksikan terhadap

Dewan Komisasris dan Komites Audit; (4) Ketersediaan data.

24
2.1.7 Dewan Komisaris Independen (DKI)

Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak

memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau

hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris lainnya, direksi dan/atau

pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi

kemampuannya untuk bertindak independen. Komite Nasional Kebijakan

Governance, (2006) menyatakan bahwa komisaris independen adalah anggota

dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan

komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan

bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk

bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Forum for Corporate

Governance in Indonesia (FCGI), 2003 menyatakan bahwa peran komisaris

independen diharapkan mampu mendorong diterapkannya prinsip dan praktek

GCG pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia.. Komisaris independen

dalam penelitian ini diukur dengan membagi jumlah dewan komisaris independen

dengan jumlah total dewan komisaris (Lai, 2005 dalam Andayani, 2010).

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐷𝑒𝑤𝑎𝑛 𝐾𝑜𝑚𝑖𝑠𝑎𝑟𝑖𝑠 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑛


𝐷𝐾𝐼 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑤𝑎𝑛 𝐾𝑜𝑚𝑖𝑠𝑎𝑟𝑖𝑠

Keberadaan komisaris independen di Indonesia telah diatur dalam Surat

keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) Nomor: Kep-315/BEJ/06-2000

perihal Peraturan No I-A, tentang Pencatatan Saham dan Efek bersifat Ekuitas

selain saham yang diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat pada butir mengenai

ketentuan tentang komisaris independen. Dalam peraturan tersebut dinyatakan

25
bahwa dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good

corporate governance), perusahaan yang tercatat di BEJ wajib memiliki komisaris

independen yang jumlah proporsionalnya sebanding dengan jumlah saham yang

dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah

komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota

komisaris.

Berdasarkan ketentuan Surat Edaran Bapepam Nomor: SE03/PM/2000

dan Peraturan Pencatatan Efek Nomor: 339/BEJ/07-2001 tgl 21 Juli 2001,

perusahaan publik yang tercatat di bursa wajib memiliki beberapa anggota dewan

komisaris yang memenuhi kualifikasi sebagai komisaris independen. Penelitian

Besley (1996) dalam Rachmawati dan Triatmoko (2007) menyimpulkan bahwa

komposisi dewan komisaris dari luar lebih dapat untuk mengurangi kecurangan

pelaporan keuangan. Komposisi individu yang bekerja sebagai anggota dewan

komisaris merupakan hal yang penting dalam memonitor aktivitas manajemen

secara efektif. Dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan akan dipandang

lebih baik, karena pihak luar perusahaan akan menetapkan kebijakan yang

berkaitan dengan perusahaan dengan lebih objektif dibanding perusahaan yang

memiliki susunan dewan komisaris yang hanya berasal dari dalam perusahaan.

Komisaris independen harus memiliki kompetensi pribadi, yaitu: memiliki

integritas dan kejujuran yang tidak pernah diragukan, memahami seluk beluk

pengelolaan bisnis dan keuangan perusahaan, memahami dan mampu membaca

laporan keuangan perusahaan dan implikasinya terhadap strategi bisnis,

memahami seluk beluk industri yang digeluti perusahaan, memiliki kepekaan

26
terhadap perkembangan lingkungan yang dapat mempengaruhi bisnis perusahaan,

memiliki wawasan luas dan kemampuan berpikir strategis, memiliki karakter

sebagai pemimpin yang profesional, memiliki kemampuan berkomunikasi serta

kemampuan untuk mempengaruhi dan bekerja sama dengan orang lain, memiliki

komitmen dan konsisten dalam melakukan profesinya sebagai komisaris

independen, serta memiliki kemampuan untuk berpikir objektif dan

independen secara profesional (FCGI, 2003).

Kriteria komisaris independen menurut FCGI (2003) adalah sebagai

berikut:

a. Komisaris independen bukan merupakan anggota manajemen.


b. Komisaris independen bukan merupakan pemegang saham mayoritas, atau
seorang pejabat dari atau dengan cara lain yang berhubungan secara
langsung atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari
perusahaan.
c. Komisaris independen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tidak
dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai eksekutif oleh perusahaan atau
perusahaan lainnya dalam satu kelompok usaha dan tidak pula
dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai komisaris setelah tidak lagi
menempati posisi seperti itu.
d. Komisaris independen bukan merupakan penasehat profesional perusahaan
atau perusahaan lainnya yang satu kelompok dengan perusahaan tersebut.
e. Komisaris independen bukan merupakan seorang pemasok atau pelanggan
yang signifikan dan berpengaruh dari perusahaan atau perusahaan lainnya
yang satu kelompok, atau dengan cara lain berhubungan secara langsung
atau tidak langsung dengan pemasok atau pelanggan tersebut.
f. Komisaris independen tidak memiliki kontraktual dengan perusahaan atau
perusahaan lainnya yang satu kelompok selain sebagai komisaris
perusahaan tersebut.
g. Komisaris independen harus bebas dari kepentingan dan urusan bisnis
apapun atau hubungan lainnya yang dapat, atau secara wajar dapat
dianggap sebagai campur tangan secara material dengan kemampuannya
sebagai seorang komisaris untuk bertindak demi kepentingan yang
menguntungkan perusahaan.

27
Beberapa kriteria lainnya tentang komisaris independen menurut

keputusan direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-305/BEJ/07-2004 Jakarta

tanggal 19 Juli 2004, yaitu sebagai berikut:

a. Jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh anggota


dewan komisaris.
b. Komisaris independen tidak mempunyai saham baik langsung maupun
tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik.
c. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan emiten
atau pemegang saham mayoritas atau pemegang saham utama dari
perusahaan tercatat yang bersangkutan.
d. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan direktur
dan/atau komisaris lainnya dari perusahaan tercatat yang bersangkutan.
e. Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan
lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan atau
hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan
dengan kegiatan usaha perusahaan tercatat.
f. Komisaris independen harus berasal dari luar emiten atau perusahaan
publik.
g. Komisaris independen harus mengerti peraturan perudang-undangan di
bidang pasar modal.
h. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham
minoritas yang bukan pemegang saham pengendali dalam Rapat Umum
pemegang Saham (RUPS).

Komisaris independen memikul tanggung jawab untuk mendorong secara

proaktif agar komisaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas dan

penasehat direksi dapat memastikan bahwa: (1) perusahaan memiliki strategi

bisnis yang efektif (termasuk di dalamnya memantau jadwal, anggaran dan

efektifitas strategi tersebut), (2) memastikan perusahaan memiliki eksekutif dan

manajer yang profesional, (3) memastikan perusahaan memiliki informasi, sistem

pengendalian, dan sistem audit yang bekerja dengan baik, (4) memastikan

perusahaan mematuhi hukum dan perundangan yang berlaku maupun nilai-nilai

yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan operasinya, (5) memastikan risiko

dan potensi krisis selalu diidentifikasi dan dikelola dengan baik serta (6)

28
memastikan prinsip-prinsip dan praktek GCG dipatuhi dan diterapkan dengan

baik (FCGI, 2003).

2.1.8 Komite Audit (KA)

Menurut Tugiman (1995) dalam Novi (2010), pengertian komite audit

adalah sekelompok orang yang dipilih oleh kelompok yang lebih besar untuk

mengerjakan pekerjaan tertentu atau untuk melakukan tugas-tugas khusus atau

sejumlah anggota dewan komisaris perusahaan klien yang bertanggung jawab

untuk membantu auditor dalam mempertahankan independensinya dari

manajemen. Komite audit merupakan organ yang dibentuk oleh dewan komisaris

/dewan pengawas, yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu

komisaris dalam melaksanakan tugasnya. Komite audit biasanya terdiri dari dua

hingga tiga orang anggota yang dipimpin oleh seorang komisaris independen.

Seperti komite pada umumnya, komite audit yang beranggotakan sedikit

cenderung dapat bertindak lebih efisien. Akan tetapi, komite audit beranggota

terlalu sedikit juga menyimpan kelemahan yakni minimnya ragam pengalaman

anggota. Sedapat mungkin anggota komite audit memiliki pemahaman memadai

tentang pembuatan laporan keuangan dan prinsip-prinsip pengawasan internal.

Dalam penelitian ini komite audit diukur dengan jumlah anggota komite audit

yang ada dalam perusahaan sampel.

Menurut Sarbanes-Oxley act yang dikutip Sutojo dan Aldridge (2005)

dalam Novi (2010) jumlah anggota komite audit perusahaan mengharuskan

bahwa: “komite audit harus beranggotakan lima orang, diangkat untuk masa

jabatan lima tahun. Mereka harus memiliki pengetahuan dasar tentang manajemen

29
keuangan. Dua diantara lima orang anggota tersebut pernah menjadi akuntan

publik. Tiga orang anggota yang lain bukan akuntan publik. Ketua komite audit

dipegang oleh salah seorang anggota komite akuntan publik, dengan syarat

selama lima tahun terakhir mereka tidak berprofesi sebagai akuntan publik. Ketua

dan anggota Komite Audit tidak diperkenankan menerima penghasilan dari

perusahaan akuntan publik kecuali uang pensiun”.

Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan.

Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian perusahaan.

Selain itu komite audit dituntut untuk dapat bertindak secara independen.

Independensi komite audit tidak dapat dipisahkan moralitas yang melandasi

integeritasnya. Hal ini perlu disadari karena komite audit dianggap sebagai

penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak

manajemen dalam menangani masalah pengendalian.

Tanggung jawab komite audit pada umumnya pada tiga bidang, yaitu:

a. Laporan Keuangan (Financial Reporting)

Komite audit bertanggung jawab untuk memastikan bahwa laporan yang

dibuat manajemen telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang

kondisi keuangan, hasil usaha, rencana dan komitmen perusahaan jangka

panjang.

b. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)

Komite audit bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perusahaan

telah dijalankan sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku dan

30
etika, melaksanakan pengawasan secara efektif terhadap benturan

kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan.

c. Pengawasan Perusahaan (Corporate Control)

Komite audit bertanggung jawab untuk pengawasan perusahaan termasuk

didalamnya hal-hal yang berpotensi mengandung risiko dan sistem

pengendalian intern serta memonitor proses pengawasan yang dilakukan

oleh auditor internal.

Komite audit mempunyai wewenang untuk menjalankan tugas-tugasnya

seperti yang diutarakan oleh Barol (2004) dalam Novi (2010), yaitu: “Mengaudit

kegiatan manajemen perusahaan dan auditor (intern dan ekstern). Mereka yang

berwenang meminta informasi tambahan dan memperoleh penjelasan dari

manajemen dan karyawan yang bersangkutan.

Surya dan Yustiavandana (2006) dalam Mulyati (2011), wewenang komite

audit yaitu:

a. Menyelidiki semua aktivitas dalam batas ruang lingkup tugasnya.


b. Mencari Informasi yang relevan dari setiap karyawan.
c. Mengusahakan saran hukum dan profesional lainnya yang independen
apabila dipandang perlu.

Kewenangan komite audit dibatasi oleh fungsi mereka sebagai alat bantu

dewan komisaris sehingga tidak memiliki otoritas eksekusi apapun (hanya sebatas

rekomendasi kepada dewan komisaris) kecuali untuk hal spesifik yang telah

memperoleh hak kuasa eksplisit dari dewan komisaris misalnya mengevaluasi dan

menentukan komposisi auditor eksternal dan memimpin satu investigasi khusus.

Selain itu keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-41/PM/2003 menyatakan

bahwa komite audit memiliki wewenang mengakses secara penuh, bebas dan tak

31
terbatas terhadap catatan, karyawan, dana, aset, serta sumber daya perusahaan

dalam rangka tugasnya serta berwenang untuk bekerjasama dengan auditor

internal.

2.1.9 Kepemilikan Manajerial (KM)

Kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak

manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang di kelola (Boediono,

2005). Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh manajemen

perusahaan yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh

manajemen (Sujono dan Soebiantoro, 2007 dalam Sabrinna, 2010).

Kepemilikan manajerial dapat diartikan sebagai pemegang saham dari

pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan

(direktur dan komisaris). Menurut Wahyudi dan Prawestri (2006) dalam Mulyati

(2011), pengukuran kepemilikan manajerial adalah sebagai berikut:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑚𝑖𝑙𝑖𝑘𝑖 𝐷𝑖𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝐾𝑜𝑚𝑖𝑠𝑎𝑟𝑖𝑠


𝐾𝑀 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑏𝑖𝑎𝑠𝑎

Gunarsih (2001) menyatakan bahwa kepemilikan perusahaan merupakan

salah satu mekanisme yang dapat dipergunakan agar pengelola melakukan

aktivitas sesuai dengan kepentingan pemilik perusahaan. Meningkatkan

kepemilikan manajerial dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi masalah

keagenan. Manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya yang juga

merupakan keinginan dari para pemegang saham. Ross, et al. (1999) dalam Putri

(2006) menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan saham pada

perusahaan maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan

32
pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Kepemilikan saham

manajerial akan membantu penyatuan kepentingan antara manajer dan pemegang

saham, sehingga manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan

yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari

pengambilan keputusan yang salah.

Kepemilikan manajerial yang terlalu tinggi juga dapat berdampak buruk

terhadap perusahaan karena dapat menimbulkan masalah pertahanan, yang berarti

jika kepemilikan manajerial tinggi, mereka memiliki posisi yang kuat untuk

melakukan kontrol terhadap perusahaan dan pihak pemegang saham eksternal

akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan tindakan manajer. Hal ini

disebabkan tingginya hak voting yang dimiliki manajer (Gunarsih, 2001),

sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan

perusahaan. Status ganda manajer sebagai pengelola dan sekaligus pemegang

saham akan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan, sebab kepemilikan

seorang akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap

metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang dikelola.

Kualitas laba yang dilaporkan dapat dipengaruhi oleh kepemilikan saham

manajerial. Tekanan dari pasar modal menyebabkan perusahaan dengan

kepemilikan manajerial yang tinggi akan memilih metode akuntansi yang

meningkatkan laba yang dilaporkan, yang sebenarnya tidak mencerminkan

keadaan ekonomi sesungguhnyadari perusahaan yang bersangkutan. Kondisi itu

terjadi karena manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan

33
yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari

pengambilan keputusan yang salah.

Morck, Shleifer dan Vishny (1997) dalam Mulyati (2011) menemukan

bahwa pada level 0-5% terdapat hubungan non linier antara kepemilikan

manajerial dengan kinerja keuangan perusahaan, berhubungan negatif pada level

5-25%, berhubungan positif antara kepemilikan manajerial dengan nilai

perusahaan pada level 25-50% dan berhubungan negatif pada level > 50%.

2.1.10 Kinerja Keuangan

Kinerja keuangan adalah ukuran tentang keberhasilan suatu perusahaan

untuk memperoleh laba yang dapat dilihat dari laporan keuangannya. Kinerja

keuangan menunjukkan efektifitas dan efisiensi perusahaan dalam mencapai

tujuannya. Pengukuran kinerja keuangan meliputi dua sisi, yaitu sisi sisi internal

dan eksternal. Sisi internal dapat dinilai dari laporan keuangan perusahaan,

sementara sisi eksternal dapat dilihat dari nilai perusahaan yang diukur dengan

cara menghitung kinerja keuangan. Indikator yang digunakan untuk mengukur

kinerja keuangan perusahaan adalah rasio keuangan yang meliputi rasio likuiditas,

solvabilitas dan profitabilitas. Salah satu indikator yang lazim dipakai adalah

Return on Asset (ROA). Return on Asset (ROA) dirumuskan sebagai perbandingan

atau rasio antara laba bersih setelah pajak dengan total aset sebagai berikut:

𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑗𝑎𝑘


𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑜𝑛 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 = 𝑥 100 %
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡

ROA adalah rasio profitabilitas yang dipakai untuk mengukur kemampuan

perusahaan dalam mengelola sumber daya atau aset secara efisien untuk

34
menghasilkan laba pada periode tertentu. Nilai ROA yang tinggi menggambarkan

kinerja keuangan perusahaan yang sangat baik (Sarafina & Saifi, 2017). Rasio ini

juga menggambarkan efektifitas manajemen dalam menghasilkan laba pendapatan

(revenue) dari operasi perusahaan (Kasmir, 2003 dalam Herawanto, dkk., 2017).

Data yang dapat memberikan gambaran tentang kinerja keuangan suatu

perusahaan adalah laporan keuangan. Analisis laporan keuangan bertujuan untuk

menilai kinerja keuangan perusahaan dalam satu periode akuntansi.

2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Leonardus Dimas Rastiyanto (2010)

mengenai “Pengaruh Good Corporate Governance dan Struktur Kepemilikan

Terhadap Kinerja Kuangan Perusahaan Perbankan Pada Tahun 2006-2009”.

Berdasarkan pengujian diperoleh koefisien Good Corporate Governance yang

positif yang berarti peningkatan pada aspek Good Corporate Governance

berpengaruh pada peningkatan Kinerja Keuangan.

Penelitian yang dilakukan oleh Agus Handoko (2011) dengan judul

“Analisis Penerapan Good Corporate Governance Pada Perusahaan Sektor

Perkebunan Yang Tercatat Di Bursa Efek Indonesia”. Di dalam penelitian tersebut

membahas mengenai Good Corporate Governance yang dibatasi hanya pada

perusahaan-perusahaan publik yang listed di Bursa Efek Indonesia yang ada di

dalam industri perkebunan saja. Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan

yaitu bahwa secara umum, perusahaan-perusahaan yang berada di dalam industri

yang listed di bursa efek Indonesia telah menerapkan Good Corporate

Governance dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian Good

35
Corporate Governance terhadap perusahaan-perusahaan tersebut yang semuanya

mendapatkan nilai di atas delapan puluh persen, yang berarti bahwa nilai

keseluruhan dari Good Corporate Governance perusahaanperusahan perkebunan

yang listed di Bursa Efek Indonesia sangatlah memuaskan.

Penelitian Isaih Dzingai (2015) menguji pengaruh Good Corporate

Governance terhadap kinerja keuangan perusahaan, dalam penelitian ini

menunjukkan adanya hubungan yang positif antara dewan komisaris dan komite

audit terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur menggunakan ROE.

Penelitian Salsabila Sarafina (2015) Penelitian ini menguji pengaruh

Dewan Komisaris dan Komite Audit terhadap kinerja keuangan perusahaan yang

diukur menggunakan ROA, dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan secara simultan dari variabel Dewan Komisaris

Independen dan Komite Audit terhadap Return On Assets.

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu

Peneliti Variabel Hasil Penelitian


Muller(2014) Good Corporate Governance Good Corporate Governance
Kepemilikan Manajerial berpengaruh positif terhadap
Dewan Komisaris kinerja keuangan perusahaan.
Komite Audit
Agus Good Corporate Governance Penelitian ini dapat diambil
Handoko Dewan Komisaris kesimpulan bahwa secara umum
(2011) Komite Audit Good Corporate Governance
ROA berpengaruh positif terhadap
kinerja keuangan.
Apadore Good Corporate Governance Dalam penelitian ini menunjukkan
Subaryani Dewan Komisaris Independen adanya hubungan yang positif
(2014) Kepemilikan Manajerial antara dewan komisaris dan komite
Komite Audit audit terhadap kinerja keuangan
ROA perusahaan yang diukur
menggunakan ROA
Peter O. Good Corporate Governance Penelitian ini menguji pengaruh
K’Obongo et Dewan Komisaris Dewan Komisaris dan Komite
al. (2015) Komite Audit Audit terhadap kinerja keuangan

36
ROA perusahaan yang diukur
menggunakan ROA, dari penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan
secara simultan dari variabel
Dewan Komisaris Independen dan
Komite Audit terhadap Return On
Assets.

2.3. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan atas hubungan-hubungan yang ada di antara variabel-

variabel penelitian sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dikembangkan

kerangka pemikiran sebagai berikut:

Gambar 2.2. Model Hipotesis Penelitian

GCG

DEWAN KOMISARIS
INDEPENDEN (DKI)
(X1) H1

H2
KOMITE AUDIT (KA) KINERJA KEUANGAN (ROA)
(X2) (Y)

H3
Kepemilikan
Manajerial
(X3)

37
2.4 Pengembangan Hipotesis

2.3.1. Hubungan antara Dewan Komisaris Independen (DKI) dengan

Kinerja Keuangan Perusahaan

Muller (2014), melaporkan hasil studinya bahwa keberadaan Dewan

Komisaris Independen (DKI) berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan

perusahaan yang diproksikan terhadap ROA dan ROE (V.O. Muller, 2014: 899).

Peter O. K’Obongo et al. (2015) menyimpulkan dari hasil studinya bahwa

komposisi dan ukuran Dewan Komisaris Independen (DKI) berpengaruh positif

terhadap kinerja keuangan perusahaan. Berdasarkan asumsi teoritis dan bukti

empiris tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1: Dewan Komisaris Independen (DKI) berpengaruh terhadap kinerja

keuangan perusahaan yang diproksikan pada ROA

2.3.2. Hubungan antara Komite Audit (KA) dengan Kinerja Keuangan

Hasil studi M. Rowina dan Maswar P. Riyadi (2013) menyatakan bahwa

GCG berpengaruh positif terhadap NPM, ROI dan ROE. M.A. P Aggarwal (2013)

melaporkan hasil studinya bahwa GCG berpengaruh positif terhadap kinerja

keuangan perusahaan yang diproksikan dengan ROA dan ROE. Lebih lanjut, O.

Stephen Annnu et al., (2014) melaporkan hasil studinya bahwa keberadaan komite

audit yang efektif berpengaruh positif terhadap ROA, ROE dan ROCE.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan

hipotesis penelitian tentang pengaruh GCG terhadap kinerja keuangan perusahaan

sebagai berikut:

38
H2: Komite Audit (KA) berpengaruh terhadap kinerja keuangan

perusahaan diproksikan pada ROA

2.3.3. Hubungan Kepemilikan Manajerial (KM) dengan Kinerja Keuangan

Teori keagenan yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976)

menyatakan bahwa struktur kepemilikan dapat mempengaruhi biaya keagenan.

Kepemilikan manajerial dapat menjadi insentif dan sekaligus hambatan bagi nilai

perusahaan yang dapat dilihat diukur sari kinerja keuangan perusahaan. Jensen &

Meckling menyatakan bahwa manajer yang punya saham memiliki insentif untuk

menjalankan strategi investasi yang menguntungkan perusahaan dengan cara

meningkatkan cash flow dan mengurangi arus pembayaran keluar. Leland and

Pyle (1977) mengklaim bahwa kepemilikan manajerial juga dapat berfungsi

sebagai sinyal tentang kualitas perusahaan. Bertambahnya persentase kepemilikan

saham para manajer adalah sinyal mengenai bertambah baiknya nilai perusahaan.

Di sisi lain, terdapat hubungan negatif di antara kepemilikan manajerial

dengan profitabilitas dan nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial yang terlalu

tinggi juga dapat berdampak buruk terhadap perusahaan karena dapat

menimbulkan masalah pertahanan, yang berarti jika kepemilikan manajerial

tinggi, mereka memiliki posisi yang kuat untuk melakukan kontrol terhadap

perusahaan dan pihak pemegang saham eksternal akan sulit mengontrol

perusahaan (Morck, Shleifer, Vishny, & Stulz 1988, dalam Nguyen, 2017).

Lebih lanjut dikemukakan bahwa pada level 0-5% terdapat hubungan non linier

antara kepemilikan manajerial dengan kinerja keuangan perusahaan, berhubungan

39
negatif pada level 5-25%, berhubungan positif antara kepemilikan manajerial

dengan nilai perusahaan pada level 25-50% dan berhubungan negatif pada level >

50%.

Berdasarkan asumsi teoritis dan fakta-fakta empiris dari beberapa

penelitian terdahulu, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H3: Kepemilikan Manajerial (KM) berpengaruh terhadap kinerja

keuangan yang diproksikan pada ROA

40
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

3.1.1. Variabel Dependen

Pada penelitian ini kinerja keuangan diukur dengan menggunakan ROA.

Rasio ini juga disebut sebagai Return on Investment (ROI). ROA adalah

salah satu bentuk dari rasio profitabilitas untuk mengukur kemampuan

perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan total aktiva yang

ada. Data ROA dalam penelitian ini diambil dari laporan keuangan tahunan

perusahaan tahun 2013 – 2016.

Rumus yang digunakan untuk menghitung ROA adalah sebagai berikut:

3.1.2. Variabel Independen

Variabel (independen) adalah variabel yang berpengaruh atau memiliki

pengaruh terhadap variabel terikat (dependen). Variabel-variabel bebas

dalam penelitian ini adalah:

a) Dewan Komisaris Independen (DKI)

Dewan Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang

tidak berafiliasi dengan direksi, anggota dewa n komisaris lainnya, dan

pemegang saham pengendali, serta bebas dari hub ungan bisnis atau

hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk

41
bertindak independen. Proporsi Dewan Komisaris Independen diukur

dengan rasio atau (%) yang dirumuskan:

b) Komite Audit

Ukuran Komite Audit merupakan jumlah anggota komiteaudit dalam

suatu perusahaan. Variabel ukuran komite audit diukur dengan

menghitung jumlah anggota komite audit dalam laporan tahunan

perusahaan yang tercantum pada laporan tata kelola perusahaan.

c) Kepemilikan Manajerial (KM)

Kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak

manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang di kelola

(Boediono, 2005). Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan

saham oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan persentase

jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen (Sujono dan Soebiantoro,

2007 dalam Sabrinna, 2010).

Kepemilikan Manajerial (KM) diukur dengan rumus sebagai berikut:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑚𝑖𝑙𝑖𝑘𝑖 𝐷𝑖𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝐾𝑜𝑚𝑖𝑠𝑎𝑟𝑖𝑠


𝐾𝑀 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑏𝑖𝑎𝑠𝑎

42
3.1 Populasi dan Sampel

1. Populasi:

Suharsimi Arikunto (2010:173) menyatakan, “Populasi adalah keseluruhan

subjek penelitian”. Sedangkan menurut Sugiyono (2013:117), populasi

merupakan wilayah secara keseluruhan yang terdiri atas obyek/subyek yang

memiliki kualitas dan karakteristik tertentu, ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Populasi pada penelitian kali ini adalah

Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode

tahun 2013 hingga 2016 .

2. Sampel:

Sugiyono (2011:120) mendefinisikan sampel sebagai bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Pendapat lainnya oleh Suharsimi

Arikunto (2013:174) mendefinisikan sampel sebagai “Sebagian atau wakil

populasi yang diteliti”. Penelitian kali ini menggunakan sampel laporan keuangan

tahunan periode tahun 2013 - 2016 untuk 35 Perusahaan Manufaktur yang

terdaftar di BEI. Metode pemilihan sampel yakni secara purposive sampling

method dengan kriteria:

a. Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

b. Memiliki laporan keuangan lengkap mulai dari tahun 2013 hingga tahun 2016

c. Data tidak outlier

43
3.3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, di mana

data tersebut tidak diperoleh secara langsung oleh peneliti. Adapun data

sekunder tersebut didapat dari Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan

manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia melalui website

www.idx.co.id untuk tahun 2013 hingga tahun 2016.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan metode

dokumentasi data sekunder berupa dokumen laporan keuangan tahunan yang

diperoleh melalui situs resmi Bursa Efek Indonesia dan situs resmi masing-

masing perusahaan.

3.5. Metode Analisis

3.5.1. Analisi Statistik Deskriptif

Uji statistik deskriptif digunakan untuk Statistik deskriptif: Digunakan

untuk memberikan gambaran dari suatu data melalui perhitungan nilai rata-

rata, nilai median, nilai standar deviasi, nilai minimum, nilai maksimum, dan

sebagainya

3.5.2. Uji Asumsi Klasik

Dilakukan dengan tujuan agar persamaan regresi yang didapatkan dapat

digunakan, tepat, dan tidak bias. Uji asumsi klasik merupakan syarat yang

harus dilakukan sebelum melakukan pengujian dengan regresi linear berganda.

44
Model regresi linier dapat dikatakan baik jika memenuhi uji asumsi klasik,

yaitu data residual berdistribusi normal, tidak terdapat multikolinearitas, tidak

terdapat autokorelasi, dan tidak terdapat heteroskedastisitas. Uji asumsi klasik

terdiri dari:

3.5.2.1. Uji Normalitas

Pengujan ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji normal atau

tidaknya distribusi eror dari regresi. Model regresi dikatakan baik jika erornya

berdistribusi normal atau mendekati normal. Uji normalitas dapat dilakukan

melalui salah satu dari dua cara sebagai berikut: dengan melihat penyebaran

data pada sumbu diagonal dalam grafik normal P-P Plot of Regression

Standardized Residual atau dengan uji One Sample Kolmogorov-Sminorv (K-

S). Pada penelitian kali ini digunakan kedua cara tersebut sekaligus.

One Sample Kolmogorov-Sminorv (K-S)

Ho : Distribusi error tidak normal

H1 : Distribusi error normalk normal

Jika nilai sig dari KS-Z < 0,05, maka HO ditolak, H1 diterima

Jika nilai sig dari KS-Z > 0,05, maka HO diterima, H1 ditolak

3.5.2.2. Uji Multikolinearitas

Pengujan ini dilakukan untuk menguji apakah terdapat korelasi antara variable

independen yang satu dengan yang lainnya.

Ho : Tidak ada multikolinearitas

H1 : Ada multikolinearitas

45
Pengujian mengacu pada nilai dari VIF (Varian Inflaction Factor) dengan

ketentuan,

Jika VIF > 10 ada multikolinearitas (Ho ditolak, H1 diterima)

Jika VIF < 10 tidak ada multikolinearitas (Ho diterima, H1 ditolak)

3.5.2.3. Uji Autokorelasi

dilakukan dengan tujuan untuk menguji apakah terdapat korelasi antara error pada

periode t dengan error pada periode sebelumnya (t-1)

Ho : Tidak ada autokorelasi

H1 : Ada autokorelasi

Pengujian dilakukan menggunakan kriteria Durbin Watson Test dengan

alpha 0,05 untuk mencari nilai DL dan DU

3.5.2.4. Uji Heteroskedastisitas

Digunakan untuk menguji varians dari error apakah homogen atau heterogen

(varians dari error harus homogen)

Ho : Tidak ada heteroskedastisitas

H1 : Ada heteroskedastisitas

Jika sig dari t < 0.05 Ho ditolak, H1 diterima (ada heteroskedastisitas)

Jika sig dari t > 0.05 Ho diteirma (tidak ada heteroskedastisitas), H1

ditolak

46
3.5.3. Uji Hipotesis

Untuk menguji benar tidaknya hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya, maka

menggunakan pengujian Koefisien Determinasi (R2), uji signifikansi simultan (F-

Test), dan uji signifikansi parameter (T-test).

ROA (Y) = α0 + β1DKI (X1) + β2KA (X2) + β3KM (X3)+ ε

α0 = Konstanta
αi = Koefisien regresi
ε = eror

3.5.3.1. Koefisien Determinasi (R2)

Digunakan untuk mengetahui seberapa besar variasi variabel independen mampu

menjelaskan variasi variabel dependen. Nilainya berkisar antara nol hingga satu,

semakin mendekati satu maka variasi variabel independen semakin dapat

menjelaskan variasi variabel dependen.

3.5.3.2. Uji Signifikansi Simultan (F-Test)

Dilakukan untuk menguji apakah secara bersama-sama variabel independen

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya

Ho : α1 = α2 = α3 = α4 = α5 = α6 = α7 = 0

artinya secara bersama-sama variabel DKI (X1), KA (X2), KM (X3) tidak

mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan

H1 : α1 ≠ α2 ≠ α3 ≠ α4 ≠ α5 ≠ α6 ≠ α7 ≠ 0

artinya secara bersama-sama DKI (X1), KA (X2), KM (X3) berpengaruh terhadap

ROA

Jika sig dari F < 0.05 Ho ditolak, H1 diterima

47
Jika sig dari F > 0.05 Ho diterima, H1 ditolak

3.5.3.3. Uji Signifikansi Parameter Individu (T-Test)

Dilakukan untuk menguji apakah masing-masing variabel independen mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya.

a. Ho : α1 ≥ 0 DKI tidak berpengaruh terhadap ROA

b. H1 : α1 < 0 DKI berpengaruh terhadap ROA

Jika sig dari t hitung < 0.05 Ho ditolak, H1 diterima

Jika sig dari t hitung > 0.05 Ho diterima, H1 ditolak

c. Ho : α2 ≥ 0 KA tidak berpengaruh terhadap ROA

H1 : α2 < 0 KA berpengaruh terhadap ROA

Jika sig dari t hitung < 0.05 Ho ditolak, H1 diterima

Jika sig dari t hitung > 0.05 Ho diterima, H1 ditolak

d. Ho : α3 > 0 KM tidak berpengaruh terhadap ROA

H1 : α3 < 0 KM berpengaruh terhadap ROA

Jika sig dari t hitung < 0.05 Ho ditolak, H1 diterima

Jika sig dari t hitung > 0.05 Ho diterima, H1 ditolak

48
PENGARUH GOOD CORPORATE
GOVERNANCE TERHADAP KINERJA
KEUANGAN PERUSAHAHAAN PADA
PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG
TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA
TAHUN 2013 - 2016

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat


untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1)
pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro

Disusun oleh:

MUKTI BAGUS SUSILO


NIM. 12030111130157

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018

Anda mungkin juga menyukai

  • Proposal Lengkap 240712aa
    Proposal Lengkap 240712aa
    Dokumen86 halaman
    Proposal Lengkap 240712aa
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen16 halaman
    Bab Ii
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Proposal Lengkap 240712aa
    Proposal Lengkap 240712aa
    Dokumen86 halaman
    Proposal Lengkap 240712aa
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab 123 Usulan Penelitian
    Bab 123 Usulan Penelitian
    Dokumen54 halaman
    Bab 123 Usulan Penelitian
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen18 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • BAB I New
    BAB I New
    Dokumen20 halaman
    BAB I New
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    Dokumen62 halaman
    BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen18 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Skripsi Shienny
    Skripsi Shienny
    Dokumen102 halaman
    Skripsi Shienny
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    Dokumen62 halaman
    BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Proposal Pinus
    Proposal Pinus
    Dokumen35 halaman
    Proposal Pinus
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • BAB IV-New
    BAB IV-New
    Dokumen16 halaman
    BAB IV-New
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I-Vi
    Bab I-Vi
    Dokumen13 halaman
    Bab I-Vi
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 2 3
    Bab 1 2 3
    Dokumen46 halaman
    Bab 1 2 3
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I-Vi
    Bab I-Vi
    Dokumen33 halaman
    Bab I-Vi
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I-Vi
    Bab I-Vi
    Dokumen33 halaman
    Bab I-Vi
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat