WILHELMUS SUWITO
NIM. B5A009061
Wilhelmus Suwito
NIM. B5A009061
Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH., MHum. Prof. Dr. Arief Hidayat, SH., MS.
NIP. 1962 0118 198703 1 002 NIP. 1966 0822 199003 1 003
Mengetahui :
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN i
DAFTAR ISI ii
1. Latar Belakang 1
2.2. Permasalahan 25
3. Kerangka Pemikiran 28
5. Metode Penelitian 50
5.3. Pendekatan 52
ii
5.3.2. Pendekatan Masalah 53
6. Keabsahan Penelitian 58
7. Orisinilitas Penelitian 60
8. DAFTAR PUSTAKA
iii
REKONSTRUKSI POLITIK HUKUM MEDIA DALAM
PEMBERITAAN PENEGAKAN HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh : Wilhelmus Suwito
1. Latar belakang
massa tidak berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri.
Media massa, masyarakat dan Negara memiliki hubungan resiprokal yang erat
dan saling mempengaruhi satu sama lain serta tak dapat dipisahkan. Bukti
transformasi politik dari era Orde Baru ke era Reformasi turut mempengaruhi
perilaku politik masyarakat yang menjadi lebih kritis dan mengarah kepada
konflik politik di antara para elit politik. Diyakini bahwa media massa memiliki
melalui proses konstruksi media, agenda setting media, framing berita sehingga
dalam membentuk kesadaran dan perilaku politik masyarakat pasca Orde Baru
1
bernegara yang demokratis. Salah satu elemen demokrasi adalah kebebasan pers
komunikasi. Sistem pers yang dianut di suatu negara merupakan bagian atau
merupakan bagian dari suatu sistem sosial dan politik, sehingga untuk
mengetahui hubungan pemerintah dan media, tidak bisa terlepas dari bentuk
sistem sosial dan bentuk pemerintahan suatu negara dimana sistem pers itu
berada dan berfungsi1. Realitas pers di suatu negara, dapat dipahami dengan
terlebih dulu mengkaji asumsi-asumsi filosofis (dasar dan hakiki) yang diyakini
dan digunakan oleh negara dalam menyusun tata kehidupan kenegaraan dan
pengetahuan dan kebenaran. Pers selalu mengambil bentuk dan warna yang
sesuai dengan asumsi-asumsi filosofis yang diyakini dan digunakan oleh negara,
1
F. Rahmadi, 1990, Perbandingan Sistem Pers. Analisis Deskriptif Sistem Pers di
Berbagai Negara, Jakarta, Gramedia, hlm. 29
2
sehingga realitas pers akan merepresentasikan sistem pengawasan sosial yang
berlaku dalam masyarakat suatu negara dengan mana hubungan antara orang dan
lembaga diatur.2
2
Siebert, et al, 1986, Empat Teori Pers (Terjemahan dari Four Theories of the Press),
Jakarta, Intermasa. Lihat dalam Afdal M. Putra, Dinamika Pers Politik di Indonesia dalam Jurnal
Media Watch The Habibie Center (MWTHC), November 2006
3
Martin, et al, 1983, Compartative Mass Media System, Logman Inc, New York: 86.
4
M. Djamil Usamy, “Kebebasan Pers dan kaitannya dengan Penegakan Hak Asasi
Manusia”, Jurnal Ilmu Hukum Kanun Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, 24 (9) tahun 1999,
hlm. 524
3
Runtuhnya pemerintahan rezim Orde Baru, telah mengubah paradigma
sistem pers di Indonesia yang semula bercorak otoritarian menjadi sistem pers
level makro dapat dilihat dari parameter pelaksanaan kebebasan pers melalui 3
5
Ashadi Siregar, Hak Publik Untuk Memperoleh Informasi dan Kebebasan Pers,
Disampaikam pada SEMINAR KEBEBASAN MEMPEROLEH INFORMASI, Lembaga Studi
Perubahan Sosial bekerjasama dengan Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Surabaya 20 November
2001
4
a. Sejauh mana warga masyarakat terjamin haknya untuk membentuk dan
menyatakan pendapatnya, baik dalam bentuk informasi publik melalui
diversitas media jurnalisme.
b. Sejauh mana pengelola media jurnalisme berkewajiban untuk menampung
pendapat warga masyarakat.
mengemuka setelah semua kekangan kebebasan pers dan politik untuk media
tanggal 23 September 1999. Dalam Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3) UU Pers,
disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,
dalam ayat kedua dinyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan
No. 11 Tahun 1966 jo UU No. 4 Tahun 1967 jo UU No. 21 Tahun 1982 yang
5
Adapun Pasal 17 menyatakan bahwa masyarakat dapat melakukan
pemberitaan yang dilakukan oleh pers; dan menyampaikan usulan dan saran
kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers
nasional.
media transformasi nilai dari pemerintah ke masyarakat luas dan juga sebagai
sarana kontrol terhadap segala bentuk kebijakan yang akan maupun telah
sosial yang menjalankan peran dan fungsi jurnalistik dengan tujuan mulia
dalamnya terkandung tiga unsur substansial, yaitu unsur hukum, etik dan teknik.
Unsur hukum terkait dengan norma-norma hukum, unsur etik terkait dengan
nilai-nilai yang mendasari produk media massa, sedangkan unsur teknik terkait
dengan prosedur dan metode yang menjadi kerangka kerja bagaimana berita atau
dibutuhkan masyarakat sebagian besar berasal dari media massa. Dalam era
6
memperoleh informasi yang dibutuhkan menjadi semakin besar, dan sejalan
media massa mulai dipertanyakan publik. Kebebasan Pers yang kini berkembang
dianggap telah “bebas terlampau jauh”. Era kebebasan pers juga memunculkan
6
Shirley Biagi, , 2010, Media/Impact; An Introduction to Mass media, 9 th ed., (Singapore:
Cengange Learning Asia). Lihat dalam Firdaus Muhammad, Konstruksi media dan Perilaku Politik
Masyarakat, Persepsi Komunikasi Politik, Jurnal Stimuli Ilmu Komunikasi, ISSN. 2088-2742, Edisi
III, januari 2012
7
mengusung erotisme (cenderung pornografis). Sejumlah pemimpin redaksi
tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin
vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan
Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu sama
sekali tidak berdasarkan fakta, dan Warta Republik tidak berupaya melakukan
masyarakat dan kepentingan (tingkat oplah) pers. Pihak pers dinilai cenderung
partisipan; kemudian pada level etis kemanusiaan, kebebasan pers itu dinilai
pendapat yang dihadiri oleh perwakilan kalangan pers, antara lain: Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), PWI dan MPPI dengan anggota Panitia Ad Hoc I BP
7
Lihat dan bandingkan dengan Joko Tutuko dan Abdul Latif, ”Reformasi Dan Kebebasan
Pers: Respon Insan Pers Terhadap UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers”, Jurnal Publica Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang, 4 (1) tahun 2008, hlm..273
8
MPR masih menunjukkan keragu-raguan dan kecemasan terhadap kebebasan
sehingga mereka menyatakan bahwa kebebasan pers itu perlu diatur. Reaksi ini
pers yang tanpa kontrol telah melahirkan satu model kebebasan pers yang saat ini
terhadap kebebasan pers, juga terwujud dalam bentuk aksi perlawanan dari
masyarakat berupa kekerasan terhadap komunitas pers. Hal ini antara lain
ditandai dengan penyerangan terhadap harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser
Abdurrahman Wahid.
32 kasus gugatan terhadap media dan jurnalis, yang meliputi: pertama, kasus
pasal 134 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Kemudian Majalah Tempo harus bolak-
balik ke pengadilan guna melayani kasus yang dibawa ke meja hijau oleh
pengusaha Tomy Winata. Ada sejumlah kasus yang diajukan Tomy Winata baik
9
Selatan. Salah satu dari beberapa kasus tersebut diputuskan oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat yang memutuskan Tempo bersalah dalam kasus pencemaran
nama baik, akibat pemberitaan di majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 yang
meminta Tempo untuk meminta maaf setengah halaman di Koran Tempo, Media
Indonesia dan Warta Kota, dan setengah halaman di majalah Tempo selama tiga
kali berturut, untuk memulihkan nama baik Tomy Winata. Sementara dalam
kasus yang lainnya lagi antara Koran Tempo vs Tomy Winata, Koran Tempo
divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk membayar
uang sebesar 1 juta dollar, karena sebuah tulisan di koran Tempo edisi 6 Februari
berjudul ”Guberur Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi”. Tulisan ini
terbuka dari suatu proses pidana tidak begitu saja terletak pada dapatnya orang
yang bebas oleh pers.8 Dalam persidangan yang terbuka, terdapat 2 (dua)
pemeriksaan yang “fair”yang jujur dan tidak memihak (a fair trial), dan adanya
suatu pers bebas yang dapat memberitakan jalannya peradilan (a free press). A
8
Andi Hamzah,, 1987, Delik-Delik Pers di Indonesia, Jakarta: PT. Media Sarana Pers,
hlm.. 4-5.
10
fair trial dan a free press harus seimbang.9 Pers mempunyai kewenangan untuk
dengan penuh tanggung jawab dan mengedepankan azas praduga tak bersalah
yang fair dan objektif. Kebebasan dalam pemberitaan adalah kebebasan yang
ini tidak boleh mempengaruhi the fair administration of justice. Sejauh ini asas
praduga tak bersalah dianggap hanya untuk dan berlaku bagi kegiatan di dalam
9
Oemar Seno Adji, 1976, Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, hlm.
262. Lihat juga, Oemar Seno Adji, 1977, Mass Media dan Hukum, Jakarta, Erlangga , hlm.. 13.
10
Loebby Logman, Asas Praduga Tak Bersalah di dalam Pemberitaan oleh Media Massa,
Jurnal Dewan Pers, Edisi No. 2, ISSN : 2085-6199, Nopember 2010. Asas praduga tak bersalah
terdapat di dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut
dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.” Asas
tersebut diutarakan di dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menegaskan, “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian”. Sedangkan di dalam penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa ketentuan
dalam Pasal 66 KUHAP tersebut adalah penjelmaan dari asas praduga tak bersalah. Lihat
perbedaannya dengan konstitusi Amerika Serikat Serikat, dalam buku Jerold H. Israel & Wayner R.
LaFave, CRIMINAL PROCEDURE,Constitusional Limitations, West Publishing Compani, 1993.
Bahwa banyak asas yang berkaitan dengan hak terdakwa dicantumkan secara eksplisit di dalam
konstitusinya. Amandemen pertama dari konstitusi Amerika menjamin tentang kebebasan
mengeluarkan pendapat ini, yang dapat dihubungkan dengan kebebasan pers. Lihat selanjutnya kasus-
kasus yang diulas oleh Anthony Lewis dalam bukunya “Make No Law,” The Sullivan Case And First
Amandement, Random Hause, New York, 1991
11
Dalam beberapa pemberitaan terhadap perbuatan pidana, seharusnya
timpang karena masih berorientasi pada liputan yang bersumber pada realitas
wacana. Sumber informasinya bisa berasal dari jaksa, orang-orang terdekat atau
pemberitaan oleh pers lebih kepada mencari profit dari pada mencari kebenaran.
Hal itu dapat dilihat dari menjamurnya media massa yang memberitakan tentang
Sampai sekarang, tidak ada jaminan bahwa realitas empiris lebih benar
11
Liputan besar-besaran dari banyak media yang menyediakan ruang liputan sangat besar
dibandingkan dengan liputan peristiwanya. Lihat, Vivi Ariyanti, Kebebasan Pers Dalam Perspektif
Peradilan Pidana, Jurnal Dakwah dan Komunikasi “KOMUNIKA”, Vol. 4. No. 1; ISSN:1978-1261,
Juni 2010, hlm. 5-6 Blow up dalam liputan media massa terhadap suatu peristiwa besar karena
ketokohan dan daya tarik peristiwa, adalah wajar saja. Dengan peliputan yang bersifat blow up,
diharapkan fakta-fakta yang terungkap dan disampaikan kepada publik bersifat menyeluruh sehingga
akurasinya lebih baik. Persoalannya adalah, liputan yang di-blow up dalam perkara tindak pidana tidak
sepenuhnya berstandard pada dua realitas dalam porsi yang sama besar. Keseimbangan antara liputan
bersandar pada realitas empiris dan realitas wacana. Realitas empiris adalah kumpulan atau
penelusuran fakta-fakta melalui pelacakan di lapangan untuk memperoleh temuan informatif yang
dilakukan pers. Misalnya, melalui pelacakan bukti-bukti di lapangan, penelusuran di instansi terkait,
dan investigasi di sejumlah tempat yang diduga mengetahui suatu peristiwa. Adapun realitas wacana
adalah pengumpulan fakta-fakta yang hanya besumber pada pernyataan, retorika dan wawancara
dengan tokoh-tokoh yang dianggap terkait atau berkompeten mengenai peristiwa itu.
12
liputan pers dan media massa berorientasi pada liputan peristiwa di lapangan.
diasumsikan punya akurasi lebih tinggi. Liputan pers yang bersandar pada
independen. Selain itu, liputan yang lebih banyak berorientasi pada realitas
wacana tanpa disadari akan menyeret pers menjadi corong pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap peristiwa tertentu. Hal itu dapat diartikan bahwa pers
membuka diri melakukan trial by the press. Karena itu, semakin besar blow up
yang digunakan oleh pers dan media massa dengan orientasi realitas wacana
investigasi) semakin besar juga tekanan trial by the pers. Setidaknya, dengan
kecenderungan liputan seperti itu, pers turut menciptakan opini publik agar
hakim hanya mempunyai satu pilihan vonis, yaitu bersalah terhadap terdakwa.
Trial by the court tidak boleh berubah menjadi trial by the press karena
tersangka, di samping melanggar asas utama dari suatu negara hukum, yakni
mengurangi hak untuk membela diri secara yuridis.12 Adapun yang dimaksud
12
Abdurrachman Surjomihardjo, 198, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia, Jakarta: LEKNAS-LIPI,, hlm. 145-146.
13
membela secara yuridis adalah hak seseorang ketika diduga melakukan tindak
pidana. Dia berhak untuk mendapat proses peradilan yang bebas, dan dia tidak
kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 24 UUD 1945 yang
konstitusi yaitu pasal 24 UUD 1945, dan hakim yang profesional tidak boleh
Sisi lain dari potret pers di Indonesia adalah munculnya gejala kekerasan
kekerasan dan juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari
perlakuan yang diterima komunitas pers. Justru ketika pers mulai terlibat dalam
13
Padmo Wahyono, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Pers yang Bebas, Makalah
yang diajukan dalam seminar Azas Praduga Tak Bersalah dan Trial By The Press, Hotel Aryaduta,
Jakarta, 25 Maret 1989. Lihat, Wilburn Scraumm & William L. Riveers, Responsibility in Mass
Comunications, tentang ‘The Canons of Jurnalism’yang dimiliki oleh American Society of Newspaper
Editors, bahwa, di samping diutarakan tentang fungsi utama dari suat kabar, juga harus dipatuhi
beberapa kaidah di dalam suatu pemberitaan. Di dalam Pasal 1 diutarakan sejauhmana
pertanggungjawaban pers. ‘Freedom of the press’ dijaga sampai hak yang utama bagi kemanusiaan
seperti termuat di dalam Pasal II. Sedangkan tentang pers yang tidak memihak (impartiality)
dan ‘fair play’ secara tegas dimuat dalam kode etik tersebut agar ada keseimbangan dalam melakukan
suatu pemberitaan.
14
pers makin terasa. Berbagai tindakan dilakukan mulai dari pers diadukan,
dirusak dan kekerasan lainnya. Berbeda dengan masa sebelumnya, saat negara
menjadi pelaku kekerasan, dewasa ini ancaman terhadap kebebasan pers muncul
(urutan ke 111) dan 2010 (ke urutan 117), disebabkan oleh sejumlah tindak
kekerasan yang dialami oleh wartawan. Sedangkan dari segi substansi, kebebasan
tentang Pers. Pada tahun 2008, esensi kebebasan pers mendapat penguatan
Informasi Publik (KIP), yang telah menciptakan ruang yang cukup bagi
samping itu, UU ini juga akan mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi
14
Zakaria Gitamo, 2005, Alam Kebebasan Pers Kita, Medan : Swara Bangsa, 2005, hlm. 2.
15
Pada tahun 2009, eksistensi kebebasan pers menjadi terancam oleh
periode (2009-2014). Hal ini berarti pembahasan dan pengesahan RUU tersebut
Pers Indonesia terdiri atas Dewan Pers, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS),
Pers dan Penyiaran Indonesia, Institut Pengembangan Media Lokal, dan Forum
15
www.Kompas.com, 8 September 2009
16
Kompas 14 September 2009
16
pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi
yang terlarang.”
Media massa adalah korporasi yang tiap hari berurusan dengan akses informasi
publik. Media massa juga sering menghadapi klaim-klaim rahasia negara dari
miliar - Rp 100 miliar hampir pasti secara ekonomi akan membunuh eksistensi
media massa. Apabila itu diterapkan terhadap korporasi media, maka sanksi
pembekuan atau pencabutan izin, serta penetapan sebagai korporasi terlarang tak
lain dan tak bukan adalah bentuk pemberedelan. Maka, RUU Rahasia Negara
adalah ancaman serius bagi iklim kebebasan informasi dan kebebasan pers di
ancaman terhadap kebebasan pers secara langsung merupakan ancaman juga bagi
tertuju pada jurnalisme media pers cetak serta media siaran radio dan televisi
17
semata, melainkan juga mengatur tentang kegiatan dan karya jurnalistik yang
dapat menjadi bagian “segala jenis saluran yang tersedia”. Media internet atau
media online juga termasuk bagian dari pers, sepanjang menyangkut kegiatan
peliputan dan penyiaran komponen jurnalistiknya. Salah satu unsur penting yang
informasi kepada sejumlah besar khalayak dalam waktu yang singkat. Pers yang
masyarakat juga dapat menggunakan pers sebagai penyalur aspirasi dan pendapat
Eksistensi dan peran media massa yang begitu penting dalam kehidupan
umat manusia, jelas tidak dapat dipisahkan dari eksistensi informasi itu sendiri
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 3 secara tegas
dinyatakan bahwa media massa dalam hal ini Pers Nasional mempunyai fungsi
bagi esensi kebebasan pers dan keterbukaan informasi publik di Indonesia ini,
17
(Rachmadi, 1990:1).
18
(Unde, 2010).
18
dibandingkan dengan para pendahulunya sehingga banyak pihak mempersoalkan.
kebebasan pers. Pers dinilai terlena dengan sensasi, issue, dan prasangka, serta
berita yang penuh dengan sensasi dan berita-gambar yang bermakna pornografi.
Bahkan hasil analisis isi yang dilakukan Media Watch & Civic Education
partisan, dan cenderung tidak objektif, karena pers di era ini sering mengumbar
kekerasan simbolik, mengandung hegemoni, tidak check and recheck dan both
sided coverage.
Sembilan dari sepuluh berita yang dimuat enam surat kabar (Jawa Pos,
Surya, Surabaya Post, Memorandum, Bali Post, dan Nusa) yang diteliti
19
diberitakan. Pemahaman pembaca pun tergiring pada kerangka citra atau
Lebih dari itu, menurut hasil analisis isi tersebut pers merupakan sumber
hegemoni. Enam dari sepuluh berita yang dimuat media cetak terbitan Jawa
Timur dan Bali itu, mengandung hegemoni, terutama berasal dari otoritas
pendapat orang lain yang dianggapnya lebih berwibawa dari pada mencoba
Realitas empirik itu, bisa jadi akibat dari euphoria kebebasan pers yang
tulis, wartawan yang tidak dapat membedakan antara fakta dan opini, tidak dapat
membedakan antara berita dan desas-desus. Akibat lebih jauh, banyak tulisan-
19
(Jurnal Sendi, No. 3 Tahun 2000: 20-22).
20
(Jurnal Sendi, No. 3 Tahun 2000: 40).
20
berdasarkan fakta, dan tulisan-tulisan tentang suatu pernyataan yang telah
hasil dialog Dewan Pers di Jakarta (18/10/2002) tercatat tiga masalah yang dapat
maraknya pers pornografi. Dari kenyataan ini, rupanya pada saat jurnalisme
investigatif mulai dirintis untuk mengungkap kasus manipulasi, saat yang sama
“tabloid kuning” yang mengumbar selera rendah masyarakat juga dengan bebas
tumbuh.21
dinikmati oleh kalangan pers saat ini telah dikuatkan oleh beberapa peraturan
21
(Ibrahim, dalam Jurnal ISKI, No. 5/Oktober 2000: 3).
21
a. Pasal 28 F Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Perubahan 11
Manusia
Manusia
karena mengakui serta melindungi kebebasan pers dari berbagai bentuk ancaman
yang ditujukan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kebebasan pers.
informasi dan menyatakan pendapat tanpa rasa takut dan karena itu merupakan
conditio sine qua non atau prasyarat bagi demokrasi modern dalam suatu negara
media massa, yang berimplikasi pada timbulnya keresahan dan rasa tidak aman
kebebasan pers dibatasi oleh 4 ketentuan antara lain sebagai berikut: 1) Pasal 5
ayat (1), (2), dan (3) tentang Hak Jawab, Hak Koreksi, dan Hak Tolak; 2) Pasal
22
15 ayat 2 huruf b UU Pers tentang Penetapan dan pengawasan pelaksanaan Kode
Etik Jurnalistik oleh Dewan Pers; 3) Pasal 17 ayat (2) huruf a dan b UU Pers
tentang pengawasan kebebasan pers oleh masyarakat; dan 4) Pasal 18 ayat (1),
(2), dan (3) tentang ketentuan pidana berupa denda. Namun pada kenyataannya,
masyarakat. Opini publiklah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh
bebas. Dalam situasi semacam ini, munculnya benturan kepentingan menjadi tak
kepentingan pihak lain. Pihak yang merasa dirugikan akibat pemberitaan media,
terdorong untuk melakukan berbagai aksi main hakim sendiri antara lain:
kekerasan non fisik seperti: ancaman/intimidasi, teror dan bahkan sampai dengan
pembunuhan.
cenderung berkembang ke arah yang tak terkendali. Hal ini terjadi karena
Justice) pada saat terjadi sengketa dengan kalangan media karena merasa
23
adanya kebuntuan dalam mecari keadilan (Obstruction of Justice) justru terlihat
setelah pemberlakuan UU Pers yang oleh pekerja media dianggap sebagai lex
Dalam Pasal 5 ayat (2) UU Pers sudah diatur mekanisme penyelesaian sengketa
pers melalui melalui “Hak Jawab”, yaitu korban pemberitaan yang dirugikan,
dapat memuat sanggahan tertulis yang wajib dimuat di media yang sama, dan
dengan demikian sengketa yang ada dianggap selesai oleh pihak pers. Padahal
citra negatif yang sudah terlanjur ditimbulkan oleh pemberitaan tersebut masih
ada dan tidak bisa serta merta hilang begitu sanggahan korban dimuat di media
yang sama.
Pers bisa melahirkan korban tanpa adanya pelaku atau victims without
crimes, karena korban yang terjadi adalah akibat adanya hubungan kait-mengkait
antara pemberitaan pers dan masyarakat. Pers dalam hal ini bisa dikategorikan
sebagai pelaku yang tak tampak (invisble criminal) karena dampak pemberitaan
pers bisa merugikan masyarakat tanpa perlu takut dicap sebagai pelaku kriminal
24
karena tersedianya payung perlindungan hukum berupa hak jawab atau hak
koreksi.22
Hal inilah yang tidak memuaskan dan dirasakan tidak adil oleh korban
terhadap Kode Etik Jurnalistik saja dan tidak bisa memberikan sanksi selain dari
skorsing dan pemecatan. Kondisi semacam ini mendorong pihak korban yang
sebagai berikut: 1) Pasal 310 ayat (1) KUHP tentang pencemaran; 2) Pasal 310
ayat (2) KUHP tentangpencemaran tertulis; 3) Pasal 311 KUHP tentang fitnah; 4)
Pasal 315 KUHP tentang penghinaan ringan; 4) Pasal 317 KUHP tentang
pengaduan fitnah; 5) Pasal 318 KUHP tentang persangkaan palsu; dan 6) Pasal
320 – 321 KUHP tentang penghinaan terhadap orang mati. Sementara untuk
pertanggungjawaban perdata dapat digunakan Pasal 1365 jo. Pasal 1372 tentang
22
J.E Sahetapy dalam Amir Syamsudin, Kebebasan Pers dan Ancaman Hukum Terhadap
Pers, http://www.suarapembaruan.com/news/2005/02/23/Editor/edito2.htm
23
Amir Syamsudin, http://www.suarapembaruan.com/News/2005/02/23/Editor/edit02.htm
25
menggunakan kekerasan untuk melampiaskan kejengkelan dan ketidakpuasan
karena dalam UU Pers tidak terdapat ketentuan yang mengatur bahwa sengketa
pers harus diselesaikan melalui mekanisme hak jawab dan/atau hak koreksi atau
penyelesaian melalui delik pidana. Tidak adanya aturan yang tegas ini telah
Etik Jurnalistik dan UU Pers. Dalam persepsi publik, MoU tersebut bukanlah
menghalangi jalan mereka untuk mencari keadilan melalui delik pidana, karena
dengan Dewan Pers sebelum memproses suatu pengaduan sengketa pers melalui
delik pidana.
atas kebebasan media massa yang dianggap “terlalu bebas”, mengabaikan kode
26
etik jurnalistik dan prinsip-prinsip jurnalisme profesional sehingga melanggar
masyarakat saat ini, terkait dengan implementasi kebebasan media massa pasca
(role occupant) maupun bagi masyarakat selaku pengguna produk media massa
dan/atau pihak yang merasa dilanggar haknya dan dirugikan akibat pemberitaan
media.
27
bentuk Memorandum of Understanding (MOU) antara Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan Dewan Pers Indonesia. Keberadaan MoU ini, telah
Jika hanya menyangkut pelanggaran jurnalistik yang bersifat etis, yang dijaga
dengan Kode Etik Jurnalistik, maka penanganan sengketa media oleh Dewan
Pers adalah benar dan memang sudah seharusnya demikian. Tetapi untuk kasus
berupa pelanggaran hukum pidana, yang sanksi hukum positifnya ada, tentu tidak
Terlalu berlebihan permintaan Polri untuk berkoordinasi dan memberi hak pada
Dewan Pers untuk menangani terlebih dahulu kasus tersebut. Bahkan terlalu
berlebihan jika menyebut setiap usaha untuk menggunakan jalan hukum bagi
28
Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan tersebut, terlihat bahwa
ekstrem yang satu ke kutub ekstrem yang lain, yaitu dari kondisi nyaris tanpa
kebebasan karena dikontrol sangat ketat oleh pemerinah rezim orde baru yang
represif, ke kondisi yang nyaris tanpa kontrol dari pemerintah pasca reformasi
tentang Pers tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai: 1) batasan
oleh pekerja pers menjadi “kebebasan pers”. Padahal sebenarnya tidak ada
bahwa pers harus dijalankan di dalam bingkai moral, etika dan hukum.
bahwa sengketa pers harus diselesaikan berdasarkan UU Pers lebih dulu sebelum
25
Lihat Amir Syamsudin dalam Hidajanto Djamal, Kebebasan Pers, Antara Fakta
dan Kenyataan, http://www.google.co.id/search?hl=id&q=kebebasan+pers&aq=f&aqi=&
aql=&oq=&
29
efektif. Berbicara tentang politik hukum media, tidak terlepas dari diskursus
melihat hubungan politik dan hukum dari tiga pola interaksi yang terbentuk di
antara keduanya.26 Pola pertama disebut pola empiris, yaitu pola dimana politik
yang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa politik membentuk hukum. Pola yang
kedua adalah pola hubungan yang bersifat analitis, yaitu pola dimana hukum
membutuhkan kekuasaan politik agar dapat berlaku efektif. Pola ketiga adalah
landasan dan kekuatan normatif bagi berlakunya hukum. Pola hubungan politik
dan hukum ini perlu ditegaskan dengan jelas agar dapat dipahami di bagian mana
saja politik dapat berhubungan dengan hukum dan di bagian mana saja politik
Hubungan antara politik dan hukum melahirkan suatu disiplin ilmu baru,
yaitu “politik hukum” yang merupakan bagian dari studi ilmu hukum dan studi
26
Michael D Bayles, Law and Politics hlm.137, diunduh dari ;
http://www.bibliojuridica/libros/3/1014/14.pdf, 28 Juni 2012, pkl; 23.05
30
“kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan,
sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan”27
hukum, penerapan hukum dan penegakan hukum”.28 Jika sesuatu itu adalah
penegakan hukum media. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ada yang
kurang tepat dalam konstruksi politik hukum media yang berlaku di Indonesia,
yaitu bahwa politik hukum media diarahkan hanya sekedar untuk menyediakan
landasan normatif bagi berlakunya hukum media. Kondisi ini bisa dipahami
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dimana negara pada saat
itu mengalami tekanan yang luar biasa besar untuk menghapuskan sama sekali
mekanisme kontrol negara terhadap media. Hal ini tercermin dari ketentuan-
27
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari,2008, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta, PT.
Raja Grafondo Persada, hlm. 32
28
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara berdasarkan asas hukum, Cet. II, Jakarta,
Ghalia Indonesia, hlm. 160
31
memberikan senjata pamungkas kepada komunitas media berupa hak tolak untuk
dengan melakukan trial by the press melalui pembentukan opini publik yang
dibangun oleh komunitas media dengan teknik framing berita yang lebih
didasarkan pada realitas wacana daripada realitas empiris. Situasi ini justru
oleh fobia masa lalu dimana negara mengontrol media secara ketat, sehingga di
satu sisi, negara enggan untuk membuat kebijakan yang dapat mengendalikan
media karena khawatir nantinya justru akan merusak sendi-sendi kebebasan pers
yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Pers. Di sisi lain, pers menikmati
kepada pembentukan alat kekuasaan baru yang bisa digunakan oleh kelompok
dengan kepentingannya.
tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang konstruksi hukum positif
32
hukum dan Hak Asasi Manusia yang dianggap sangat berlebihan dan tak
produktif bagi fungsi penegakan hukum dan kebebasan pers itu sendiri
Konstruksi sistem hukum yang ada saat ini terbukti tidak efektif dan
akan merusak peran dan fungsi kebebasan pers itu sendiri sebagai pilar keempat
pengkajian secara mendalam terhadap sistem hukum yang berlaku, dan bilamana
tercapainya keadilan substantif bagi semua pihak. Nilai keadilan menjadi salah
satu tujuan sistem hukum, dan dalam kerangka hubungan hukum, nilai keadilan
Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)” menjadi sangat penting untuk
dilaksanakan.
29
Samsul Wahidin, 2006, Hukum Pers, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 2
33
2.1. Fokus Studi
pada tataran politik hukum.30 Hukum terkait erat dengan proses politik
politik hukum media massa dalam pemberitaan penegakan hukum dan Hak
30 Politik hukum adalah serangkaian konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak
penguasa negara yang mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik
penerapan serta penegakan hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum
untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang berlaku di
wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun serta untuk mencapai suatu
tujuan sosial. Sehingga politik hukum berdimensi ius constitutum dan berdimensi ius constituendum.
31
Rekonstruksi berasal dari kata “reconstruction” yang berati penyusunan kembali,
pembangunan kembali, atau menata ulang dan dapat juga diberi pengertian reorganisasi. Lihat, Andi
Hamzah, 1997, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia. Lihat, Bryan A. garner, Black’s Law
Dictionary, eightth edition, West Group, ST. Paul, Minn., 2004, hlm. 1278
32
Suteki, 2010, Rekonstruksi Politik Hukum; Hak Atas Air Pro Rakyat, Semarang, Surya
Pena Gemilang, hlm. 11-12
34
dijadikan dasar untuk merekonstruksikan bangunan politik hukum tentang
Manusia.
dilatarbelakangi oleh tuntutan dan tekanan yang sangat kuat dari komunitas
media di era reformasi massa agar segala restriksi dan regulasi pemerintah
terhadap pers ditiadakan, demi terciptanya kemerdekaan pers dan pers yang
independen sebagai conditio sine qua non atau prasyarat bagi terciptanya
sehingga sangat mungkin hukum itu lebih merupakan pencerminan visi dan
33
Moh. Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 312
35
tertinggalnya produk hukum terhadap dinamika perubahan sosial yang sarat
2.2. Permasalahan
dari segala sesuatu yang diatur oleh das sollen yang berkembang di
menjadi peristiwa hukum. Begitu pula sebaliknya, dunia norma (das sollen)
36
juga memerlukan peristiwa konkrit (das sein) untuk menjadi peristiwa
hukum.
Pasal 311KUHP tentang pencemaran nama baik dan Pasal 335 KUHP
37
d. Dukungan teknologi digital dengan segala kemudahan aksesnya,
kebebasan pers itu sendiri, sebagai salah satu pilar demokrasi untuk
sebagai berikut:
3. Kerangka Pemikiran
38
Kerangka pemikiran diartikan sebagai pernyataan landasan pendukung
dipaparkan pada bagian Perumusan Masalah, maka dalam penelitian ini diajukan
beberapa teori mikro35 antara lain: Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo,
34
Didi Atmadilaga, 1994, Panduan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung, CV. Pioner Jaya,
hlm. 117
35
36
Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang
pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan
kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.
Premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to
those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya
pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Premis
kedua, adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each other. Pemaknaan
muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat
pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal
dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme
simbolik. Premis ketiga, adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own
thought process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan
dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Masalahnya menurut Mead, adalah
sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara
simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.
39
Pemilihan teori-teori hukum tersebut berpijak dari kenyataan yang
sudah berlangsung sejak era 60 - 70-an, bahwa hukum positif yang berkiblat pada
sosial kala itu ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama, bangunan
substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya institusi-
dogmatika hukum (legal dogmatics) yang menjauhkan diri dari sentuhan aspek-
aspek sosial.
37
Dalam teori sibernetika, sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem
sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan. Adanya hubungan saling keterkaitan,
interaksi dan saling ketergantungan. Sebagai contoh; keterkaitan antara hukum, agama, pendidikan,
budaya, ekonomi, politik, sosial yang tak dapat dipisahkan dan saling berinteraksi satu sama lain
38
Menurut Austin, hukum harus didefenisikan tanpa mengaitkannya dengan moral. Austin
mengartikan bahwa “the notion of law as a command of the sovereig”n. Itu sebabnya Austin
mengatakan hukum dikatakan positif karena dipositifkan atau diberikan posisi tertentu oleh pihak-
pihak yang memiliki otoritas. Semua yang tidak merupakan perintah dari pemegang kedaulatan
bukanlah hukum. Pendapat ini kemudian mempengaruhi pemikiran mengenai sumber hukum. Hukum
dikatakan hukum, hanya apabila berasal atau dibuat oleh negara. Ajaran ini selanjutnya berkembang
menjadi legisme yang menganggap hukum hanyalah undang-undang, Lihat, Jane Banfield (edit.),
“Readings in Law and Society, fifth edition, Capture Press, 1993, hlm. 2&9, dan Darji Darmodihardjo
dan Shidarta, “Pokok-Pokok Filsafat Hukum”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm. 114-115.
Bandingkan dengan. Hans Kelsen dalam Teori hukum Murni (reine rechtlehre) yang mengatakan
bahwa hukum adalah perangkat norma yang padu, logis dan otonom dari pengaruh-pengaruh politik,
ekonomi dan budaya, Lihat Ricardo Sinarmata. Padahal, hukum terus menerus selalu berada dalam
pengaruh dari faktor-faktor non hukum, sehingga hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat (the living law). Hukum lahir dari dasar kesadaran masyarakat akan
kebutuhannya (opinion necessitate).
40
Fenomena tersebut telah melahirkan Teori Hukum Progresif yang
bertolak dari pandangan bahwa hukum bukanlah sekedar logika semata, sebatas
yang tercantum dalam teks undang-undang, melainkan lebih daripada itu, bahwa
hukum merupakan objek ilmu yang selalu berusaha untuk memahami atau
melihat kaitan dengan hal-hal di luar hukum. Hukum adalah sebuah tatanan
(Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh
pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan,
tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil. Lebih jauh, Satjipto Rahardjo
hukum, yang tidak bertolak dari kearifan pandangan tentang manusia dan
interaksi sosial dan menciptakan berbagai "kearifan nilai sosial". Kearifan nilai
sosial itu ada yang bersifat rasional dan irasional yang "ditransformasikan"
hukum" sehingga menjadi publik dan positif. Teori Hukum Progresif berpijak
dari dua asumsi dasar. Pertama, hukum adalah untuk manusia, dan bukan
39
Satjipto Rahardjo.,1998, "Pendayagunaan Sosiologi Hukum Untuk Memahami Proses
Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah Seminar Nasional Sosiologi
Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Masyarakat
Fakultas Hukum Undip,
41
sebaliknya40 Berdasarkan asumsi tersebut, maka kehadiran hukum bukan untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Oleh karena
itu, ketika terjadi permasalahan hukum, maka hukum itu sendiri yang harus
yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus
sebagai subjek hukum yang membangun ide, kultur, cita-cita dan peraturan
mengarah kepada ketidak adilan, maka aparat penegakan hukum, pakar hukum,
dan praktisi hukum harus berani mengubah praksis penegakan hukum berbeda
dengan yang sudah biasa dilakukan, atau bahkan mengubah peraturan hukumnya.
40
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresisf; Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum
Progresif, Vol 1/No. 1/April/2005, Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, hlm 3
41
Loc. Cit
42
Ibid, hlm. 6
43
Konsep Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar
kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna
lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya
kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum
yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa
dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.
42
Agenda besar gagasan hukum progresif adalah menempatkan manusia
faktor peraturan dan perilaku penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti
mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat utuh (holistik) dalam
pengendalian sosial (as a tool of social control) hukum juga dapat dimanfaatkan
fenomena sosial berupa perilaku yang membentuk pola simbolik dan perilaku
yang sarat makna tertentu. Untuk memberikan penjelasan mengenai makna dari
pola perilaku tersebut, baik dalam tataran law making institutions, law guardian
44
Ronny Hanitijo Soemitro, 1989, Perpektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah
Hukum , Semarang , CV Agung, hlm. .23.
43
menganalisis perilaku pejabat pembuat keputusan pada tataran law making dan
fenomena sosial yang tidak bisa dipisahkan dari kajian tentang teori kebijakan
publik. Salah satu kebijakan publik dalam sistem negara modern adalah legal
politics yang kemudian dipakai sebagai istilah politik hukum. Politik dan
kekuasan (politic and power) adalah dua sisi dari satu mata uang yang tak dapat
dipisahkan satu sama lain, sebab politik akan selalu melibatkan kelompok-
yang membedakan politik negara (politics of the state) dan politik organisasi lain
atau menerapkan ancaman sanksi dan kekuatan yang sah berdasarkan hukum.
45
Suteki, Ibid, hlm. 14
44
dalam bentuk yang utama yaitu : pelbagai produk hukum (laws) dan pelbagai
kebijakan umum (general policies). Apabila ingin “survive” maka setiap sistem
bahwa hukum pada dasarnya merupakan produk sistem politik (the product of
political system). Demikian pula apa yang dinamakan politik hukum (legal
policy) sebagai bagian dari politik sosial (social policy). Dengan demikian
nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan
tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang memegang kendali
proses pembuatan hukum (law making process), proses penegakan hukum (law
process).
hukum diciptakan dan digunakan secara “ad hoc” dengan pendekatan yuridis
46
Sebagai Contoh “haatzaai artikelen” warisan kolonial, UU No. 19 tahun 1964 yang
memungkinkan Presiden demi kepentingan revolusi mencampuri pengadilan, UU No. 11 PNPS 1963
pada zaman Orla dan diteruskan Orba, kooptasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif
atas dasar Pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 dan lain-lain. Ingat pula pengaruh hukum Belanda
yang secara sistematis dilakukan melalui, asas konkordansi, yurisprudensi dan doktrin hukum.
45
dengan mengorbankan moralitas sipil. Di sini terjadi suatu kondisi apa yang
disebut “Tyranny of the Law” 47 (how the law is taking away our liberties).
tekanan besar dari masyarakat untuk lepas dari belenggu sistem hukum represif
masa transisi perubahan politik hukum yang tercermin dari perubahan berbagai
produk hukum rezim orde baru untuk diganti dengan produk hukum baru, dan
bahkan mengubah UUD 1945 melalui empat kali amandemen dan meniadakan
pemikiran hukum.
47
Karakteristik “tyranny of the law” : (1) Hukum dirasakan terlalu membatasi kebebasan
manusia (human liberties, human freedom); (2) Hukum positif menjadi semakin banyak dan ada
kecenderungan untuk menggunakan hukum pidana sebagai “penekan”; dan alasan reformasi serta
“legal supremacy” sering digunakan sebagai pembenaran; (3) Alasan kepentingan umum yang lebih
luas dijadikan alasan pengaturan yang merugikan hak-hak individual;misalnya distorsi terhadap prinsip
hak milik mempunyai fungsi sosial); (4) Tujuan hukum menyimpang dari penciptaan kedamaian
(keeping the peace), bahkan menuju ke negara polisi. (Lihat ; Syafran Sofyan. Kebijakan Politik
Hukum Indonesia di Era Reformasi Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Nasional.
46
menjelaskan keadaan-keadaan normal. Dalam situasi semacam itu, diperlukan
hukum yang selain mampu memberikan profil spesifik hukum Indonesia, juga
semacam itu hanya bisa dibangun apabila dogmatika hukum membuka diri
dua situasi riil, yaitu: pertama, gelombang reformasi sejak tahun 1998 tidak
jumlah akademisi yang mendirikan pusat studi atau organisasi non pemerintah,
dengan menerima dukungan dari lembaga- lembaga donor yang nota bene
48
. Menurut, Karolus Kopong Medan dan Mahmutarom HR, konsep penegakan hukum
progresif dikembangkan dari pemikiran Satjipto Rahardjo mengenai hukum yang membahagiakan.
47
Penegakan hukum progresif adalah sebuah konsep yang asumsi-asumsinya sarat
dan Philip Selznick menjadi relevan untuk digunakan sebagai pisau analisis atas
penegakan hukum dan HAM. Dalam perspektif tatanan hukum responsif, hukum
merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum tidak hanya dilihat sekedar
hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang
luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.
merupakan resultante dari suatu proses sosial, sebab hukum dibuat dan diubah
oleh usaha manusia dan oleh karenanya hukum senantiasa berada di dalam
antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Teori hukum tidaklah buta terhadap
konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum
Lihat dalam Esmi Warassih’, 2005,Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis”, Semarang,, PT.
Suryandaru Utama, hlm. xvi.
48
implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan atau perencanaan
kelembagaan. Menurut Nonet dan Zelnick, agar ilmu hukum lebih relevan dan
lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori
sosial.
hukum dalam konteks hukum media tidak akan difahami sebagai entitas
yang dipengaruhi) dari suatu proses sosial politik yang melibatkan sejumlah
aktor individu yang berpartisipasi dalam suatu proses. Dengan demikian, proses
totalitas proses yang berada dalam keadaan saling berkait dengan variabel
sosial, kultur dan politik. Konstruksi hukum media dipahami sebagai produk
politik yang karakternya antara lain ditentukan oleh dinamika sosial yang
berkaitan dengan hukum media. Oleh karena itu, didalam mengkonstruksi hukum
penegakan hukum media yang lebih responsif, partisipatif dan dapat memberikan
49
keadilan substantif serta secara spesifik lebih sesuai dengan kondisi masyarakat
suatu kebijakan publik sehingga kajian tentangnya menjadi tidak lengkap tanpa
melakukan analisis kebijakan publik. Salah satu alat yang lazim digunakan untuk
kekuatan dan kelemahan yang ada, khususnya yang terkait dengan konstruksi
politik hukum media yang ada saat ini. Analisis SWOT tentang konstruksi politik
hukum media dapat disajikan dalam bentuk matriks SWOT sebagai berikut:
50
membina profesi media dan
operasionalisasi media
- Euforia komunitas media
- Kesadaran hukum masyarakat
rendah
Faktor Eksternal
- Demokrasi dan kebebasan pers - Merumuskan kebijakan publik - Rekonstruksi politik hukum
- Terbentuknya Dewan Pers dan yang dapat mengendalikan me- media dalam pemberitan pe-
Komisi Penyiaran dia tanpa mengorbankan prin- negakan hukum dan HAM
- Adanya Kode Etik Jurnalistik sip demokrasi dan kebebasan berdasarkan nilai-nilai ideologi
- Terciptanya komunitas media pers Pancasila, agama, kearifan lo-
yang kuat - Mengarahkan kekuatan media kal dan faktor sosial budaya
kepada implementasi kebebas- sejalan dengan sistem Pem-
an pers yang lebih konstruktif, bangunan Hukum Nasional
bertanggung jawab, beretika - Mendorong pihak komunitas
dan menghargai asas praduga media agar menciptakan meka-
tak bersalah dan HAM nisme kontrol diri (self control)
- Memasukkan nilai-nilai ide- melalui peningkatan standar
ologi Pancasila, kearifan lokal moral dan etika jurnalisme
dan faktor sosial budaya, serta serta kepatuhan terhadap kode
agama ke dalam produk hukum etik jurnalistik
tentang media - Melalui Organisasi Media dan
- Negara, Organisasi Media, dan dewan Kehormatan Media yang
masyarakat bersama-sama men- independen dan kuat,
ciptakan budaya media yang mewajibkan setiap anggota ko-
sehat, dalam arti etis, ber- munitas media untuk mematuhi
tanggungjawab, transparan dan Undang-Undang Pers dan kode
akuntabel, dalam rangka men- etik jurnalistik
ciptakan pola hubungan dan - Dewan Kehormatan Media,
peran yang seimbang antara ne- daat merekomendasikan tegur-
gara, media, dan masyarakat an, sanksi skorsing dan/atau
pemecatan wartawan/jurnalis
kepada Organisasi Profesi Me-
dia apabila terbukti melakukan
pelanggaran kode etik, dan me-
rekomendasikan penyele-saian
melalui pengadilan apabila ter-
bukti adanya unsur melawan
hukum
Threaths (T) Strategi ST Strategi WT
51
- Pelanggaran HAM langgaran yang dilakukan oleh gakan hukum progresif
- Anarkisme dan premanisme komunitas media - Mendorong komunitas media
- Kriminalisasi pers - Revisi Undang-Undang Pers untuk menciptakan standar
- Alat kekuasaan baru untuk agar bisa menyeimbangkan pe- pemberitaan dan penyiaran
mempengaruhi penyelenggara- ran dan hubungan antara nega- yang seimbang
an negara dan sistem peradilan ra, media dan masyarakat - Mendorong komunitas media
pidana - Undang-undang Pers menetap- untuk mendidik masyarakat
kan dalam salah satu Pasalnya agar mematuhi hukum dan
tentang pembentukan satu orga- menciptakan budaya hukum
nisasi profesi media tunggal yang kondusif dan sesuai
dan Dewan Kehormatan Media dengan nilai-nilai ideologi Pan-
yang bisa mengatur, meng- casila, kearifan lokal dan faktor
awasi, membina dan mem- sosial budaya, serta agama
berikan sanksi terhadap
anggota komunitas media yang
mela-kukan pelanggaran
- Organisasi Media dan Kehor-
matan Media yang independen
menjamin bahwa komunitas
media menghormati asas pra-
duga tak bersalah, asas meliput
sumber berita secara seimbang
(cover the both sides), dan
HAM, serta memberikan
teguran dan/atau sanksi berupa
skorsing atau pemecatan dari
keanggotaan profesi kewar-
tawanan/jurnalis
Keterangan:
52
hukum, dalam konteks pengertian sebagai upaya mewujudkan ide hukum
menjadi kenyataan pada tataran law making institutions (DPR, Pemerintah), law
teori bekerjanya hukum dalam masyarakat dari Robert B. Seidman dan William
media dalam pemberitaan penegakan hukum dan HAM telah mengingkari nilai
Hukum Progresif Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Responsif Philippe Nonet dan
Publik David Easton dan Teori bekerjanya hukum untuk menganalisis domain
politik hukum media massa; (2) Teori Konflik dan teori Sibernetika Talcott
49
Suteki, Ibid, hlm. 15
53
Kebijakan Rossi & Freeman; (2) Teori Negara Kesejahteraan dan Tanggung
Jawab negara.
dan domain masyarakat atau pemegang peran (role occupant), yang mengacu
pada tiga domain dasar dari bekerjanya hukum dalam masyarakat menurut
Chambliss-Seidman.50
oleh Lundberg dan Lansing (1973), dan konsep Hans Kelsen mengenai aspek
50
Suteki, Ibid, hlm.16
54
rangkap dari suatu peraturan hukum.51 Kerangka konsep Rekonstruksi Hukum
51
Loc. Cit
55
Kerangka Konsep Rekonstruksi Politik Hukum media
Cita-Cita Hukum Nasional
K
E
P Pembangunan Sistem
E Nasional Indonesia (PSHNI)
N
T
I
N Pembangunan
G Budaya Hukum
A
N
Pancasila
Pengaduan
DPR
Masyarakat Tuntutan Rekonstruksi Politik
Pemerintah
UU PERS Hukum Media
Umpan
Balik
Revisi UU Pers
Pengaduan/
Norma Norma Umpan Wadah Tunggal Dewan
Tuntutan Organisasi Pers Kehormatan Pers
Balik
Pengadilan AktivitasPenerapan
Kejaksaan Sanksi atas Pelanggaran
Kepolisian Pers/Media
Pelanggaran hukum Kode Etik
Trial by
Umpan Teguran, Peringatan,
the press
Balik
Skorsing, Pemecatan
Faktor-Faktor Non
Hukum
Anarkisme
EKSES
Kriminalisasi Pers
(1) Politik Hukum harus berlandaskan cita-cita hukum nasional dan politik hukum
harus diarahkan pada pencapaian cita-cita hukum nasional melalui
Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia (PSHNI).
(2) Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia harus didasarkan pada
pembangunan konsep nilai dalam bentuk budaya hukum nasional.
(3) Budaya hukum nasional dibangun dengan paradigma budaya bangsa Indonesia,
yaitu budaya bangsa yang terkandung dalam falsafah dan ideologi negara
Pancasila.
(4) Politik hukum media, selain diarahkan pada pencapaian cita-cita hukum
nasional, juga harus menjadikan pancasila sebagai paradigmanya.
(5) Menurut teori Chambliss-Seidman, proses penegakan hukum dimulai dari
proses formulasi/pembuatan peraturan perundang-undangan (law making) oleh
lembaga pembuat undang-undang (law making institution), yaitu Pemerintah
dan DPR. Proses ini dipengaruhi oleh kepentingan dari kelompok-kelompok
penekan (pressure groups) atau Kekuatan Sosial personal (KSP), tuntutan
masyarakat, umpan balik berupa keberatan dan/atau usulan perbaikan/revisi
undang-undang, dioperasionalisasikan melalui politik hukum yang merupakan
akumulasi atau muara tempat bertemunya berbagai pengaruh, pembangunan
hukum media, harus dilakukan melalui rekonstruksi politik hukum media,
dengan berdasarkan pada cita-cita hukum nasional dan platform Pembangunan
Sistem Hukum Nasional (PSHNI) dengan budaya hukum yang berparadigma
Pancasila.
(6) Proses legislasi/pembuatan peraturan perundang-undangan menghasilkan
norma-norma, yaitu norma untuk lembaga penerap sanksi (law sanction
institutions) seperti Pengadilan, Kejaksaan, pengadilan dan Dewan Pers, dan
norma untuk pemegang peran (role occupants), yaitu komunitas media.
(7) Lembaga penerap sanksi (law sanction institution) dan pemegang peran (role
occupant) dipengaruhi dan berinteraksi dengan faktor-faktor non hukum,
seperti: politik, ekomomi, sosial dan budaya setempat. Hasil interaksi tersebut
bisa berdampak positif berupa penguatan kelembagaan dan penegakan hukum,
tetapi bisa juga berdampak negatif berupa ekses-ekses, seperti: anarkisme, trial
by the press, kriminalisasi pers, pelanggaran HAM, pengabaian kode etik
jurnalistik dan asas praduga tak bersalah.
(8) Atas terjadinya ekses-ekses tersebut, muncul desakan/tuntutan dari masyarakat
untuk melakukan rekonstruksi politik hukum media.
(9) Rekonstruksi politik hukum media harus dilakukan melalui revisi Undang-
Undang Pers dengan menambahkan Pasal yang menetapkan dan/atau menunjuk
Organisasi Pers/Media yang dijadikan sebagai wadah tunggal organisasi media
yang diakui oleh undang-undang.
45
(10) Organisasi Pers/Media yang sudah ditunjuk/ditetapkan sebagai wadah tunggal
organisasi media yang diakui undang-undang, selanjutnya membentuk Dewan
Kemormatan Pers/Media
(11) Organisasi Pers/Media merumuskan Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik
Profesi yang bersifat mengikat bagi semua anggota profesi wartawan/jurnalis
dan mempunyai kekuatan memaksa terhadap semua anggota yang tidak patuh
dengan sanksi-sanksi berupa teguran, peringatan, skorsing (pemberhentian
sementara dari aktivitas), dan pemecatan
(12) Organisasi Pers/media bekerjasama dengan Dewan Kehornmatan Pers
melakukan pengawasan, pembinaan komunitas media melalui penegakan Kode
Etik Jurnalistik dan Kode Etik Profesi, dan menerima pengaduan masyarakat
terkait pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Profesi yang dilakukan
oleh anggota komunitas media.
(13) Dewan Kehormatan Pers/Media memeriksa wartawan/jurnalis berdasarkan
pengaduan masyarakat, mempertimbangkan dan merekomendasikan
penyelesaian sengketa media secara adil dan berimbang.
(14) Organisasi Pers/Media membuat keputusan tentang sengketa media yang
diadukan masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam
Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Profesi.
(15) Dalam hal ditemukan adanya unsur melawan hukum dalam sengketa media
yang diadukan oleh masyarakat, maka Dewan Kehormatan Pers/Media
merekomendasikan kepada Organisasi Pers/media untuk penyelesaian sengketa
tersebut melalui aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan
Pengadilan).
46
pemberitaan penegakan hukum dan HAM mengangkari nilai
keadilan sosial.
kebebasan pers.
47
4.2.2. Kontribusi Praktis
48
wadah organisasi pers/media yang kuat dan independen beserta
c. Bagi Stakeholders
49
tersebut hanya menyangkut pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
5. Metode Penelitian
penelitian menentukan masalah apa yang dituju dan tipe penjelasan apa
52
(1) Bogdan dan Biklen (1982 dalam Lexy J. Moleong, 1989) menyebut paradigma
sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang
mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Deddy Mulyana (2003) menyebut paradigma sebagai suatu
ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas
realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan
metode serupa. (2) Fokus paradigma alamiah terletak pada kenyataan ganda yang berlapis, dimana
setiap lapisan menyediakan perspektif yang berbeda dan tidak ada lapisan yang dapat dianggap lebih
benar daripada yang lainnya. Peneliti alamiah cenderung mengelak dari adanya generalisasi dan
menyetujui thick description dan hipotesis kerja. Dengan demikian paradigma alamiah mengacu
kepada dasar pengetahuan idiografik, yaitu yang mengarah kepada pemahaman peristiwa atau kasus-
kasus tertentu. (Lihat Agus Salim 2006.Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana)
53
Norman K. Denzin, Yvona S. Lincoln, 2009, Handbook of Qualitative Research, Edisi
Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar hlm. 137
50
bersifat lokal dan spesifik serta tergantung pada orang yang melakukannya
Konstruksi teori yang akan dibangun meliputi 3 hal yaitu: substansi hukum,
masih belum jelas dan tegas. Dalam UU Pers tidak ditentukan bahwa
54
Agus Salim, MS, 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua, Yogyakarta,
Tiara Wacana, hlm. 71-71
55
51
sengketa pers dan/atau media harus diselesaikan melalui mekanisme hak
dan/atau media melalui jalur litigasi dan non litigasi. Sedangkan dari sisi
anarkisme.
52
5.2. Jenis Penelitian
dengan temuan-temuan yang diperoleh peneliti dalam studi ini. Objek yang
tempat, waktu, pelaku, dan peristiwa. Domain tersebut terdiri dari : (1)
Institutions).
56
Menurut Strauss dan Corbin (2003) penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian
yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman
penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena
yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. Supaya dapat menghasilkan temuan yang benar-benar
bermanfaat, maka penelitian kualitatif memerlukan perhatian yang serius terhadap berbagai hal yang
dipandang perlu. Dalam memperbincangkan proses penelitian kualitatif paling tidak tiga hal yang perlu
diperhatikan, yaitu kedudukan teori, metodologi penelitian dan desain penelitian kualitatif.
53
5.3. Pendekatan
54
penerapan hukum di dalam masyarakat; (4) mengkonstruksikan
Indonesia.
58
J.J..H. Bruggink, 1999, Rechtsreflecties, Grondbegrippen iut de Rechtstheorie (Refleksi
Tentang Hukum), alih bahasa Arief Sidharta,Bandung, P.T. Citra Aditya Bhakti, hlm. 214-215
55
undang-undang (statute approach) yang dilakukan dengan menelaah
dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Manfaat
56
dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang sedang diteliti.
sedang dihadapi.59
Data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan secara langsung
data sekunder adalah data yang tidak secara langsung diperoleh dan
59
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, hlm. 93-95
60
Suteki, Ibid, hlm. 14
57
Penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sumber-sumber
Wawancara adalah suatu metode yang melibatkan proses tanya jawab serta
61
Peter Mahmud Marzuki, Ibid, hlm. 141
58
pembahasan suatu topik dengan informan, metode ini sangat berguna untuk
akan lebih baik jika dilakukan menggunakan media elektronik seperti alat
perekam suara.
adanya pertanyaan tambahan, atau alur yang maju mundur. Karena bersifat
59
b. Terlibat secara mendalam dengan kegiatan yang ada di tempat
penelitian.
tinggi.
proses yang berarti analisis dan penafsiran bahan hukum dianjurkan untuk
resmi, gambar, foto dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah
60
rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga
6. Keabsahan Penelitian
mengacu pada suatu hal yang masuk akal berdasarkan eksistensi ilmu
adapun kualitas penelitian ini akan dilihat dari kepercayaan atas hasil penelitian
dan disetujui kebenarannya oleh publik, artinya informan adalah benar benar
orang yang memahami masalah dan fenomena yang dikaji dan pantas untuk
atas hasil yang sama atau mengacu pada tingkatan mana dari hasil penelitian
kualitatif dapat digeneralisir atau ditransfer pada konteks atau setting yang lain.
menekankan pada kebutuhan bagi peneliti untuk menilai konteks yang berubah
perubahan yang muncul pada saat penelitian di dalam konteks yang ada dan
61
mampu mengkonseptuasikan secara benar apa yang diteliti,dan konsistensi
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda, hal ini bisa dicapai dengan jalan
wawancara dan membandingkan apa yang dikatakan orang depan umum dengan
lain ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk
kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu pengumpulan bahan
hukum tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan, dengan
7. Orisinilitas Penelitian
62
penelitian terdahulu yang berkenaan dengan rekonstruksi politik hukum di
Indonesia, serta relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh penulis,
sekaligus memberikan bukti bahwa penelitian ini adalah asli/orrinil dan belum
pernah dilakukan oleh peneliti lain dan berbeda dengan penelitian terdahulu.
dalam hal konten maupun tujuannya. Jika terdapat beberapa persamaan dengan
melakukan rekonstruksi pilitik hukum, yang mana hal tersebut adalah sewajarnya
pembanding keaslian disertasi ini, maka dapat dilihat beberapa hasil penelitian
63
Matriks beberapa penelitian terdahulu di bidang Rekonstruksi Politik
Hukum dan orisinilitas penelitian
Persamaan
64
Rachmat Syafa'at, REKONSTRUKSI POLI- Diperlukan model Persamaannya dengan
Esmi Warrasih TIK HUKUM KETAHA- rekontruksi politik pe-nelitian ini adalah
Pujirahayu, Aan NAN PANGAN BERBA- hu-kum ketahanan terletak pada penekanan-
Eko Widiarto SIS SISTEM KEARIFAN pa-ngan melalui nya pada penggunaan
(2009) LOKAL GUNA MEWU- model Co mana- kearifan lokal, sistem
JUDKAN KEDAULAT- gement yang men- nilai dan bu-daya lokal
AN PANGAN sinergikan kelem- da-lam meng-konstruksi
bagaan ketahananan politik hukum
pangan yang dimi- Perbedaannya terletak
liki pemerintah de- pada cakupan dan ling-
ngan kelembagaan kup kearifan lokal, sis-
kedaulatan pangan tem ni-ai dan budaya
yang dimiliki oleh yang dijadikan landasan
masyarakat, khu- dalam melakukan re-
susnya masyarakat konstruksi politik hu-
adat Tengger kum. Penelitian ini
memperluasnya men-jadi
kearifan, sistem nilai dan
budaya ma-syarakat
Indonesia yang majemuk
dan sudah tercakup di
dalam Pancasila
Samadi Wibowo REKONSTRUKSI POLI- Di lokasi penelitian, Persamaannya dengan
Murti (2006) TIK HUKUM AGRARIA terdapat faktor-fak- pe-nelitian ini adalah
TENTANG PENDAF- tor fundamental terletak pada upaya
TARA.N TANAH UN- yang dapat dijadikan penggali-an/penemuan
TUK KEPASTIAN HU- dasar untuk mela- faktor-fak-tor
KUM HAK ATAS TA- kukan rekonstruksi fundamental yang dapat
NAH hukum di bidang dijadikan dasar untuk
keagrariaan. melakukan rekons-truksi
Masyarakat meng- hukum
hendaki pola se- Perbedaannya terletak
derhana, mudah te- pa-da bidang hukum
tapi mempunyai yang direkonstruksi
makna kepastian
hukum bagi hak-hak
atas tanah yang
dimiliki.
65
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Hukum
Adji, Seno, Oemar, 1976, Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi, Jakarta:
Erlangga
Atmadilaga, Didi, 1994, Panduan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung, CV. Pioner
Jaya
Gitamo, Zakaria, 2005, Alam Kebebasan Pers Kita, Medan : Swara Bangsa
Hamzah, Andi, 1987, Delik-Delik Pers di Indonesia, Jakarta: PT. Media Sarana
Pers
Martin, et al, 1983, Compartative Mass Media System, Logman Inc, New York
Nonet, Philippe & Selznick, Philip, 2007. Hukum Responsif. Bandung: Penerbit
Nusamedia
Lewis, Anthony, 1991, Make No Law,” The Sullivan Case And First Amandement,
Random Hause, New York
Soemitro,Hanitijo, Ronny, 1989, Perpektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-
Masalah Hukum , Semarang , CV Agung
__________, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia
Indonesia
_________, 2008, Keragaman dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode
Penelitiannya, dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum,
memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Arief Sidharta, SH, Bandung:
Refika Aditama
Suteki, 2010, Rekonstruksi Politik Hukum; Hak Atas Air Pro Rakyat, Semarang,
Surya Pena Gemilang
Syaukani Imam dan Thohari A. Ahsin, 2008, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada
B. Peraturan Perundang-undangan
Joko Tutuko dan Abdul Latif, ”Reformasi Dan Kebebasan Pers: Respon Insan
Pers Terhadap UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers”, Jurnal
Publica Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Malang, 4 (1) tahun 2008
Logman, Loebby, Asas Praduga Tak Bersalah di dalam Pemberitaan oleh Media
Massa, Jurnal Dewan Pers, Edisi No. 2, ISSN : 2085-6199,
Nopember 2010.
Siebert, et al, 1986, Empat Teori Pers (Terjemahan dari Four Theories of the
Press), Jakarta, Intermasa. Lihat dalam Afdal M. Putra, Dinamika
Pers Politik di Indonesia dalam Jurnal Media Watch The Habibie
Center (MWTHC), November 2006
Wahyono, Padmo, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Pers yang Bebas,
Makalah yang diajukan dalam seminar Azas Praduga Tak Bersalah
dan Trial By The Press, Hotel Aryaduta, Jakarta, 25 Maret 1989
D. Internet