Anda di halaman 1dari 86

REKONSTRUKSI POLITIK HUKUM MEDIA DALAM

PEMBERITAAN PENEGAKAN HUKUM


DAN HAK ASASI MANUSIA

Usulan Penelitian Disertasi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh


Gelar Doktor Dalam Ilmu Hukum

WILHELMUS SUWITO
NIM. B5A009061

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012
Usulan Penelitian Disertasi

REKONSTRUKSI POLITIK HUKUM MEDIA DALAM


PEMBERITAAN PENEGAKAN HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA

Wilhelmus Suwito
NIM. B5A009061

Semarang, Juli 2012


Telah disetujui untuk dilaksanakan oleh :

Promotor, Co. Promotor,

Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH., MHum. Prof. Dr. Arief Hidayat, SH., MS.
NIP. 1962 0118 198703 1 002 NIP. 1966 0822 199003 1 003

Mengetahui :
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro

Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, SH.,MS.


NIP. 1951 1021 197603 2 001

i
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN i

DAFTAR ISI ii

1. Latar Belakang 1

2. Fokus Studi dan Permasalahan 23

2.1. Fokus Studi 23

2.2. Permasalahan 25

3. Kerangka Pemikiran 28

4. Tujuan dan Kontribusi Penelitian 46

4.1. Tujuan Penelitian 46

4.1.1. Tujuan Umum 46

4.1.2. Tujuan Khusus 46

4.2. Kontribusi Penelitian 47

4.2.1. Kontribusi Teoretis 47

4.2.2. Kontribusi Praktis 48

5. Metode Penelitian 50

5.1. Paradigma Penelitian 50

5.2. Jenis Penelitian 51

5.3. Pendekatan 52

5.3.1. Pendekatan Penelitian 52

ii
5.3.2. Pendekatan Masalah 53

5.4. Sumber dan Jenis Bahan Hukum 55

5.5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum 56

5.6. Informan dan Pemilihan Informan 57

5.7. Analisis Bahan Hukum 57

6. Keabsahan Penelitian 58

7. Orisinilitas Penelitian 60

8. DAFTAR PUSTAKA

iii
REKONSTRUKSI POLITIK HUKUM MEDIA DALAM
PEMBERITAAN PENEGAKAN HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh : Wilhelmus Suwito

1. Latar belakang

Dalam masyarakat modern, media massa memainkan peran sangat

penting dalam dinamika perubahan masyarakat di suatu negara, karena media

massa tidak berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri.

Media massa, masyarakat dan Negara memiliki hubungan resiprokal yang erat

dan saling mempengaruhi satu sama lain serta tak dapat dipisahkan. Bukti

mengenai adanya hubungan resiprokal tersebut, terlihat dari fakta bahwa

transformasi politik dari era Orde Baru ke era Reformasi turut mempengaruhi

perilaku politik masyarakat yang menjadi lebih kritis dan mengarah kepada

kedewasaan berpolitik. Namun juga ditengarai melahirkan fragmentasi dan

konflik politik di antara para elit politik. Diyakini bahwa media massa memiliki

kontribusi dalam mewarnai dinamika politik yang terjadi. Media massa

melakukan kontruksi terhadap suatu realitas atau peristiwa untuk dipublikasikan

melalui proses konstruksi media, agenda setting media, framing berita sehingga

media memiliki realitasnya sendiri. Selanjutnya, pengaruh kehadiran media

dalam membentuk kesadaran dan perilaku politik masyarakat pasca Orde Baru

ternyata sangat signifikan, baik pada tingkat nasional maupun di daerah-daerah.

Transformasi politik era otoritarian ke era reformasi yang meniscayakan

kebebasan berekspresi, menjadi pijakan terbentuknya tatanan kehidupan

1
bernegara yang demokratis. Salah satu elemen demokrasi adalah kebebasan pers

yang kelak membangun kesadaran politik masyarakat. Kontribusi media cukup

signifikan terhadap konstruk kesadaran, pemahaman dan perilaku politik

masyarakat, termasuk kehadiran sejumlah media yang turut mempengaruhi

perilaku masyarakat dalam berbagai aspeknya.

Negara merupakan wadah tempat bernaung bagi masyarakat dan pers

merupakan sebuah instrumen yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan

masyarakat, di samping fungsinya yang lain sebagai media informasi dan

komunikasi. Sistem pers yang dianut di suatu negara merupakan bagian atau

subsistem dari sistem komunikasi. Sedangkan sistem komunikasi itu sendiri

merupakan bagian dari suatu sistem sosial dan politik, sehingga untuk

mengetahui hubungan pemerintah dan media, tidak bisa terlepas dari bentuk

sistem sosial dan bentuk pemerintahan suatu negara dimana sistem pers itu

berada dan berfungsi1. Realitas pers di suatu negara, dapat dipahami dengan

terlebih dulu mengkaji asumsi-asumsi filosofis (dasar dan hakiki) yang diyakini

dan digunakan oleh negara dalam menyusun tata kehidupan kenegaraan dan

kemasyarakatan, terutama yang menyangkut perihal hakikat manusia, hakikat

negara dan masyarakat, hubungan manusia dengan negara serta hakikat

pengetahuan dan kebenaran. Pers selalu mengambil bentuk dan warna yang

sesuai dengan asumsi-asumsi filosofis yang diyakini dan digunakan oleh negara,

1
F. Rahmadi, 1990, Perbandingan Sistem Pers. Analisis Deskriptif Sistem Pers di
Berbagai Negara, Jakarta, Gramedia, hlm. 29

2
sehingga realitas pers akan merepresentasikan sistem pengawasan sosial yang

berlaku dalam masyarakat suatu negara dengan mana hubungan antara orang dan

lembaga diatur.2

. Media massa di satu negara mencerminkan sistem pemerintahan negara

bersangkutan. Perkembangan politik dan sistem pemerintahan amat berpengaruh

terhadap pertumbuhan media, terutama yang berkaitan dengan kebebasan . Wiio

(1975,1982) dalam Martin mengemukakan3:

“In anything, differences in mass media roles and functions in different


social system support a contiugency view of communication. Lebih lanjut Martin
menjelaskan: “According to this view the communication process and outcomes
are influenced by internal and external contigencies (situation) as well as by the
degree of freedom of the work process of the system”

Kebebasan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur

yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara yang demokratis4, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 F Undang-

Undang Dasar 1945 setelah diamandemen sampai empat kali, bahwa:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi


untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”

2
Siebert, et al, 1986, Empat Teori Pers (Terjemahan dari Four Theories of the Press),
Jakarta, Intermasa. Lihat dalam Afdal M. Putra, Dinamika Pers Politik di Indonesia dalam Jurnal
Media Watch The Habibie Center (MWTHC), November 2006
3
Martin, et al, 1983, Compartative Mass Media System, Logman Inc, New York: 86.
4
M. Djamil Usamy, “Kebebasan Pers dan kaitannya dengan Penegakan Hak Asasi
Manusia”, Jurnal Ilmu Hukum Kanun Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, 24 (9) tahun 1999,
hlm. 524

3
Runtuhnya pemerintahan rezim Orde Baru, telah mengubah paradigma

sistem pers di Indonesia yang semula bercorak otoritarian menjadi sistem pers

bebas di dalam mana secara inheren terkandung nilai-nilai tanggung jawab

kepada masyarakat atas kebebasan yang dimiliki tersebut, serta menjadikannya

sebagai landasan kebijakan operasionalnya dalam menjalankan fungsi

komunikasi massa. Aspek struktural bagi beroperasinya media jurnalisme pada

level makro dapat dilihat dari parameter pelaksanaan kebebasan pers melalui 3

aspek yang masing-masing terdiri atas dua sisi yaitu:5

1. Proses fakta publik menjadi informasi jurnalisme:

a. Sejauh mana pelaku profesi media massa terjamin dalam menjalankan


kewajibannya dalam mencari fakta-fakta bersifat publik yang dapat
dijadikan informasi jurnalisme.
b. Sejauh mana pelaku/aktor yang memiliki peran publik berkewajiban untuk
memberikan fakta dibawah kewenangannya kepada pelaku profesi
jurnalisme untuk dijadikan informasi jurnalisme.

2. Proses informasi jurnalisme kepada masyarakat:

a. Sejauh mana warga masyarakat terjamin haknya mendapat informasi


publik bersifat obyektif yang tidak direkayasa oleh kepentingan pihak yang
berkuasa (negara dan modal) dan pengelola media jurnalisme, melalui
diversitas media jurnalisme. Untuk itu penyelenggaraan media jurnalisme
tidak dapat dihentikan secara sepihak, baik oleh kekuasaan negara maupun
pemodal.
b. Sejauh mana pihak yang berkuasa (negara dan modal) dan pengelola media
massa berkewajiban untuk menyampaikan informasi publik bersifat
obyektif melalui diversitas media jurnalisme.
3. Proses menyatakan pendapat masyarakat:

5
Ashadi Siregar, Hak Publik Untuk Memperoleh Informasi dan Kebebasan Pers,
Disampaikam pada SEMINAR KEBEBASAN MEMPEROLEH INFORMASI, Lembaga Studi
Perubahan Sosial bekerjasama dengan Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Surabaya 20 November
2001

4
a. Sejauh mana warga masyarakat terjamin haknya untuk membentuk dan
menyatakan pendapatnya, baik dalam bentuk informasi publik melalui
diversitas media jurnalisme.
b. Sejauh mana pengelola media jurnalisme berkewajiban untuk menampung
pendapat warga masyarakat.

Pada era reformasi, tuntutan akan kebebasan pers menjadi semakin

mengemuka setelah semua kekangan kebebasan pers dan politik untuk media

massa dilepaskan, dan akhirnya tuntutan tersebut berujung pada terbentuknya

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang disahkan pada

tanggal 23 September 1999. Dalam Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3) UU Pers,

disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,

dalam ayat kedua dinyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan

penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga menyatakan

bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak

mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, dan ayat

keempat dinyatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di

depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Berbeda dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu UU

No. 11 Tahun 1966 jo UU No. 4 Tahun 1967 jo UU No. 21 Tahun 1982 yang

memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU No.

40 Tahun 1999 lebih memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat antara

lain terletak pada Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

”Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan


kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”.

5
Adapun Pasal 17 menyatakan bahwa masyarakat dapat melakukan

kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak

memperoleh informasi yang diperlukan. Kegiatan tersebut berupa memantau dan

melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika dan kekeliruan teknis

pemberitaan yang dilakukan oleh pers; dan menyampaikan usulan dan saran

kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers

nasional.

Setelah mengalami liku-liku perjalanan sejarah yang begitu panjang, pers

akhirnya mengalami kebebasan untuk menjalankan fungsinya sebagai salah satu

media transformasi nilai dari pemerintah ke masyarakat luas dan juga sebagai

sarana kontrol terhadap segala bentuk kebijakan yang akan maupun telah

ditetapkan oleh lembaga pemerintahan. Produk media massa merupakan institusi

sosial yang menjalankan peran dan fungsi jurnalistik dengan tujuan mulia

sebagai media informasi, pendidikan, perekat dan kontrol sosial yang di

dalamnya terkandung tiga unsur substansial, yaitu unsur hukum, etik dan teknik.

Unsur hukum terkait dengan norma-norma hukum, unsur etik terkait dengan

nilai-nilai yang mendasari produk media massa, sedangkan unsur teknik terkait

dengan prosedur dan metode yang menjadi kerangka kerja bagaimana berita atau

produk media massa bisa bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, informasi yang

dibutuhkan masyarakat sebagian besar berasal dari media massa. Dalam era

informasi digital, ketergantungan publik terhadap media massa untuk

6
memperoleh informasi yang dibutuhkan menjadi semakin besar, dan sejalan

dengan meningkatnya ketergantungan tersebut, maka pengaruh media massa

terhadap masyarakat menjadi semakin besar pula. Demikian besarnya pengaruh

media massa terhadap kehidupan masyarakat, sehingga perilaku masyarakat

banyak diwarnai oleh aksesnya terhadap media6

Pengaruh media massa bekerja melalui mekanisme pembentukan

konstruk paradigma berpikir sehingga dapat membentuk opini maupun wacana

publik sebagai representasi kepentingan dari kelompok atau golongan tertentu

dalam masyarakat. Fenomena yang berkembang saat ini adalah upaya

penyamaan persepsi publik terhadap realitas melalui suatu diskursus atau

wacana. Realitas dipahami sebagai seperangkat konstruk bangunan sistem nilai

yang dapat dibentuk melalui wacana.

Kebebasan memunculkan berbagai persoalannya sendiri, yang lebih

kompleks ketimbang era tirani kekuasaan, manakala netralitas maupun idealisme

media massa mulai dipertanyakan publik. Kebebasan Pers yang kini berkembang

di Indonesia, telah ditanggapi secara negatif oleh sejumlah pihak, karena

dianggap telah “bebas terlampau jauh”. Era kebebasan pers juga memunculkan

ekses-ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru menulis laporan spekulatif dan

tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media yang

6
Shirley Biagi, , 2010, Media/Impact; An Introduction to Mass media, 9 th ed., (Singapore:
Cengange Learning Asia). Lihat dalam Firdaus Muhammad, Konstruksi media dan Perilaku Politik
Masyarakat, Persepsi Komunikasi Politik, Jurnal Stimuli Ilmu Komunikasi, ISSN. 2088-2742, Edisi
III, januari 2012

7
mengusung erotisme (cenderung pornografis). Sejumlah pemimpin redaksi

tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin

redaksi majalah Matra, Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya

jurnalisme agresif misalnya dipraktikkan oleh tabloid Warta Republik secara

vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan

“persaingan” mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri

Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu sama

sekali tidak berdasarkan fakta, dan Warta Republik tidak berupaya melakukan

konfirmasi atau wawancara kepada tiga figur tersebut.

Kebebasan ini bukanlah tanpa kekhawatiran, terutama tampak dengan

adanya kritikan-kritikan dari pihak pemerintah dan kelompok masyarakat

tertentu.7 Kritikan itu sangat variatif, ada yang menyoroti kelemahan-kelemahan

dalam proses pemberitaan yang dianggap kurang seimbang antara kepentingan

masyarakat dan kepentingan (tingkat oplah) pers. Pihak pers dinilai cenderung

mengutamakan konsep berita yang kurang objektif, sensasional dan sangat

partisipan; kemudian pada level etis kemanusiaan, kebebasan pers itu dinilai

telah mengangkangi nilai dan norma moral kemasyarakatan dan telah

meruntuhkan kaidah jurnalistik itu sendiri. Kenyataannya, dalam rapat dengar

pendapat yang dihadiri oleh perwakilan kalangan pers, antara lain: Aliansi

Jurnalis Independen (AJI), PWI dan MPPI dengan anggota Panitia Ad Hoc I BP

7
Lihat dan bandingkan dengan Joko Tutuko dan Abdul Latif, ”Reformasi Dan Kebebasan
Pers: Respon Insan Pers Terhadap UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers”, Jurnal Publica Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang, 4 (1) tahun 2008, hlm..273

8
MPR masih menunjukkan keragu-raguan dan kecemasan terhadap kebebasan

pers. Mereka mengkhawatirkan kebebasan pers akan menjadi sebebas-bebasnya,

sehingga mereka menyatakan bahwa kebebasan pers itu perlu diatur. Reaksi ini

merupakan rejuvenansi konsep pengekangan pers oleh pemerintah pra transisi.

Kekhawatiran tersebut senada dengan kecurigaan pemerintah bahwa kebebasan

pers yang tanpa kontrol telah melahirkan satu model kebebasan pers yang saat ini

sudah berlebihan dan menjadi sumber kekuasan baru. Kekhawatiran masyarakat

terhadap kebebasan pers, juga terwujud dalam bentuk aksi perlawanan dari

masyarakat berupa kekerasan terhadap komunitas pers. Hal ini antara lain

ditandai dengan penyerangan terhadap harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser

(Barisan Serba Guna) Anshor yang merupakan pendukung Presiden

Abdurrahman Wahid.

Catatan AJI dalam laporan tahunan periode 2004 menyebutkan, terdapat

32 kasus gugatan terhadap media dan jurnalis, yang meliputi: pertama, kasus

Redaktur Harian Rakyat Merdeka, Supratman yang mempublikasikan isi berita

berupa penghinaan terhadap Presiden. Ia dinyatakan bersalah dan divonis dengan

6 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan. Ia dinyatakan terbukti

melakukan penghinaan dengan sengaja terhadap presiden yang diatur dalam

pasal 134 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Kemudian Majalah Tempo harus bolak-

balik ke pengadilan guna melayani kasus yang dibawa ke meja hijau oleh

pengusaha Tomy Winata. Ada sejumlah kasus yang diajukan Tomy Winata baik

ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun dan Pengadilan Negeri Jakarta

9
Selatan. Salah satu dari beberapa kasus tersebut diputuskan oleh Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat yang memutuskan Tempo bersalah dalam kasus pencemaran

nama baik, akibat pemberitaan di majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 yang

berjudul ”Ada Tomy di Tenabang”. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

meminta Tempo untuk meminta maaf setengah halaman di Koran Tempo, Media

Indonesia dan Warta Kota, dan setengah halaman di majalah Tempo selama tiga

kali berturut, untuk memulihkan nama baik Tomy Winata. Sementara dalam

kasus yang lainnya lagi antara Koran Tempo vs Tomy Winata, Koran Tempo

divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk membayar

uang sebesar 1 juta dollar, karena sebuah tulisan di koran Tempo edisi 6 Februari

berjudul ”Guberur Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi”. Tulisan ini

dinilai menciptakan opini bahwa Tomy adalah musuh masyarakat.

Dalam perspektif peradilan pidana, Von Campe menyatakan bahwa sifat

terbuka dari suatu proses pidana tidak begitu saja terletak pada dapatnya orang

masuk dalam ruang persidangan, melainkan ia lebih terletak pada pemberitaan

yang bebas oleh pers.8 Dalam persidangan yang terbuka, terdapat 2 (dua)

masalah dan ketentuan-ketentuan yuridis, yaitu hak seseorang untuk memperoleh

pemeriksaan yang “fair”yang jujur dan tidak memihak (a fair trial), dan adanya

suatu pers bebas yang dapat memberitakan jalannya peradilan (a free press). A

8
Andi Hamzah,, 1987, Delik-Delik Pers di Indonesia, Jakarta: PT. Media Sarana Pers,
hlm.. 4-5.

10
fair trial dan a free press harus seimbang.9 Pers mempunyai kewenangan untuk

mengadakan komentar terhadap jalannya peradilan, tetapi pemberitaan itu harus

dengan penuh tanggung jawab dan mengedepankan azas praduga tak bersalah

sehingga pemberitaan itu tidak merupakan rintangan bagi jalannya peradilan

yang fair dan objektif. Kebebasan dalam pemberitaan adalah kebebasan yang

limitatif, yang dapat diwujudkan dalam ketentuan hukum, maupun yang

merupakan suatu oto-regulasi (Zelf-oplegging), berupa moral/etika. Kebebasan

ini tidak boleh mempengaruhi the fair administration of justice. Sejauh ini asas

praduga tak bersalah dianggap hanya untuk dan berlaku bagi kegiatan di dalam

masalah yang berkaitan dengan proses peradilan pidana. Sehingga terjadi

ketidakpedulian masyarakat terhadap asas tersebut, kecuali apabila terjadi hal-hal

tidak menyenangkan yang menimpa dirinya.10

9
Oemar Seno Adji, 1976, Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, hlm.
262. Lihat juga, Oemar Seno Adji, 1977, Mass Media dan Hukum, Jakarta, Erlangga , hlm.. 13.
10
Loebby Logman, Asas Praduga Tak Bersalah di dalam Pemberitaan oleh Media Massa,
Jurnal Dewan Pers, Edisi No. 2, ISSN : 2085-6199, Nopember 2010. Asas praduga tak bersalah
terdapat di dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut
dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.” Asas
tersebut diutarakan di dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menegaskan, “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian”. Sedangkan di dalam penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa ketentuan
dalam Pasal 66 KUHAP tersebut adalah penjelmaan dari asas praduga tak bersalah. Lihat
perbedaannya dengan konstitusi Amerika Serikat Serikat, dalam buku Jerold H. Israel & Wayner R.
LaFave, CRIMINAL PROCEDURE,Constitusional Limitations, West Publishing Compani, 1993.
Bahwa banyak asas yang berkaitan dengan hak terdakwa dicantumkan secara eksplisit di dalam
konstitusinya. Amandemen pertama dari konstitusi Amerika menjamin tentang kebebasan
mengeluarkan pendapat ini, yang dapat dihubungkan dengan kebebasan pers. Lihat selanjutnya kasus-
kasus yang diulas oleh Anthony Lewis dalam bukunya “Make No Law,” The Sullivan Case And First
Amandement, Random Hause, New York, 1991

11
Dalam beberapa pemberitaan terhadap perbuatan pidana, seharusnya

dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan, namun sebelum masuk dalam

persidangan, kalangan pers berlomba-lomba melakukan blocking coverage atau

dalam khazanah pers di Indonesia dikenal dengan terminologi Blow Up.11

Penyajian pemberitaan berkaitan dengan terjadinya tindak pidana adalah sangat

timpang karena masih berorientasi pada liputan yang bersumber pada realitas

wacana. Sumber informasinya bisa berasal dari jaksa, orang-orang terdekat atau

penasihat hukum terdakwa yang berposisi membela, bahkan ada kecenderungan

pemberitaan oleh pers lebih kepada mencari profit dari pada mencari kebenaran.

Hal itu dapat dilihat dari menjamurnya media massa yang memberitakan tentang

gosip-gosip selebritis, seperti perselingkuhan dan lain-lain.

Sampai sekarang, tidak ada jaminan bahwa realitas empiris lebih benar

daripada realitas wacana. Belum tentu pengumpulan fakta-fakta yang bersandar

pada realitas empiris lebih benar daripada pengumpulan fakta-fakta yang

bersandar pada realitas wacana. Namun demikian, menurut konsepsi jurnalisme,

11
Liputan besar-besaran dari banyak media yang menyediakan ruang liputan sangat besar
dibandingkan dengan liputan peristiwanya. Lihat, Vivi Ariyanti, Kebebasan Pers Dalam Perspektif
Peradilan Pidana, Jurnal Dakwah dan Komunikasi “KOMUNIKA”, Vol. 4. No. 1; ISSN:1978-1261,
Juni 2010, hlm. 5-6 Blow up dalam liputan media massa terhadap suatu peristiwa besar karena
ketokohan dan daya tarik peristiwa, adalah wajar saja. Dengan peliputan yang bersifat blow up,
diharapkan fakta-fakta yang terungkap dan disampaikan kepada publik bersifat menyeluruh sehingga
akurasinya lebih baik. Persoalannya adalah, liputan yang di-blow up dalam perkara tindak pidana tidak
sepenuhnya berstandard pada dua realitas dalam porsi yang sama besar. Keseimbangan antara liputan
bersandar pada realitas empiris dan realitas wacana. Realitas empiris adalah kumpulan atau
penelusuran fakta-fakta melalui pelacakan di lapangan untuk memperoleh temuan informatif yang
dilakukan pers. Misalnya, melalui pelacakan bukti-bukti di lapangan, penelusuran di instansi terkait,
dan investigasi di sejumlah tempat yang diduga mengetahui suatu peristiwa. Adapun realitas wacana
adalah pengumpulan fakta-fakta yang hanya besumber pada pernyataan, retorika dan wawancara
dengan tokoh-tokoh yang dianggap terkait atau berkompeten mengenai peristiwa itu.

12
liputan pers dan media massa berorientasi pada liputan peristiwa di lapangan.

Fakta-fakta bisa ditunjukkan parameternya, bisa diukur dan diamati dan

diasumsikan punya akurasi lebih tinggi. Liputan pers yang bersandar pada

realitas empiris dianggap mendekati kebenaran faktual.

Pers dianggap meninggalkan fungsi mediasi yang harus mandiri dan

independen. Selain itu, liputan yang lebih banyak berorientasi pada realitas

wacana tanpa disadari akan menyeret pers menjadi corong pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap peristiwa tertentu. Hal itu dapat diartikan bahwa pers

membuka diri melakukan trial by the press. Karena itu, semakin besar blow up

yang digunakan oleh pers dan media massa dengan orientasi realitas wacana

(beritanya berasal dari wawancara dengan jaksa, LSM tanpa melakukan

penelusuran bukti dan fakta di lapangan serta mengkumpulkan fakta melalui

investigasi) semakin besar juga tekanan trial by the pers. Setidaknya, dengan

kecenderungan liputan seperti itu, pers turut menciptakan opini publik agar

hakim hanya mempunyai satu pilihan vonis, yaitu bersalah terhadap terdakwa.

Trial by the court tidak boleh berubah menjadi trial by the press karena

pemberitaan yang cenderung memberikan opini terhadap bersalahnya seorang

tersangka, di samping melanggar asas utama dari suatu negara hukum, yakni

kebebasan kehakiman, juga merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, yaitu

mengurangi hak untuk membela diri secara yuridis.12 Adapun yang dimaksud

12
Abdurrachman Surjomihardjo, 198, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia, Jakarta: LEKNAS-LIPI,, hlm. 145-146.

13
membela secara yuridis adalah hak seseorang ketika diduga melakukan tindak

pidana. Dia berhak untuk mendapat proses peradilan yang bebas, dan dia tidak

bisa dikatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 24 UUD 1945 yang

menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung

dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-undang, maka tidak ada

pemberian kekuasaan di luar kehakiman dalam menghakimi seseorang. Dengan

demikian, penghakiman oleh pers merupakan perbuatan yang melanggar

konstitusi yaitu pasal 24 UUD 1945, dan hakim yang profesional tidak boleh

terpengaruh oleh tanggapan pers yang bebas. 13

Sisi lain dari potret pers di Indonesia adalah munculnya gejala kekerasan

dan/atau kriminalisasi terhadap komunitas pers berupa segala bentuk tindak

kekerasan dan juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari

individu atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya

pemberitaan pers. Reformasi dibidang media ternyata tidak diimbangi dengan

perlakuan yang diterima komunitas pers. Justru ketika pers mulai terlibat dalam

demokratisasi dan pencerdasan bangsa, ancaman terhadap jurnalis dan kebebasan

13
Padmo Wahyono, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Pers yang Bebas, Makalah
yang diajukan dalam seminar Azas Praduga Tak Bersalah dan Trial By The Press, Hotel Aryaduta,
Jakarta, 25 Maret 1989. Lihat, Wilburn Scraumm & William L. Riveers, Responsibility in Mass
Comunications, tentang ‘The Canons of Jurnalism’yang dimiliki oleh American Society of Newspaper
Editors, bahwa, di samping diutarakan tentang fungsi utama dari suat kabar, juga harus dipatuhi
beberapa kaidah di dalam suatu pemberitaan. Di dalam Pasal 1 diutarakan sejauhmana
pertanggungjawaban pers. ‘Freedom of the press’ dijaga sampai hak yang utama bagi kemanusiaan
seperti termuat di dalam Pasal II. Sedangkan tentang pers yang tidak memihak (impartiality)
dan ‘fair play’ secara tegas dimuat dalam kode etik tersebut agar ada keseimbangan dalam melakukan
suatu pemberitaan.

14
pers makin terasa. Berbagai tindakan dilakukan mulai dari pers diadukan,

diancam denda, dituntut penjara, dipukuli, kantornya diduduki, peralatannya

dirusak dan kekerasan lainnya. Berbeda dengan masa sebelumnya, saat negara

menjadi pelaku kekerasan, dewasa ini ancaman terhadap kebebasan pers muncul

dalam bentuk aksi premanisme.14

Menurut Atmakusumah, persepsi publik mengenai kemunduran

kebebasan pers Indonesia di mata dunia internasional, khususnya pada 2009

(urutan ke 111) dan 2010 (ke urutan 117), disebabkan oleh sejumlah tindak

kekerasan yang dialami oleh wartawan. Sedangkan dari segi substansi, kebebasan

pers mengalami pasang surut berlakunya Undang-Undang No. 40 tahun 1999

tentang Pers. Pada tahun 2008, esensi kebebasan pers mendapat penguatan

melalu pemberlakuan Undang-Undang No. 14 Tahun 2204 yang kemudian

diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan

Informasi Publik (KIP), yang telah menciptakan ruang yang cukup bagi

terciptanya akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat untuk

mengetahui rencana pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan

keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan yang mempengaruhi

hajat hidup orangbanyak. Dengan demikian UU KIP mendorong terwujudnya

penyelenggaraan negara yang baik, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien. Di

samping itu, UU ini juga akan mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.

14
Zakaria Gitamo, 2005, Alam Kebebasan Pers Kita, Medan : Swara Bangsa, 2005, hlm. 2.

15
Pada tahun 2009, eksistensi kebebasan pers menjadi terancam oleh

kemunculan Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara yang meskipun

tidak sempat disahkan oleh anggota DPR periode 2004-2009, Rancangan

Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara tetap ditargetkan untuk menjadi produk

pembuatan perundang-undangan. RUU yang merupakan inisiatif pemerintah

tersebut sudah masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR

periode (2009-2014). Hal ini berarti pembahasan dan pengesahan RUU tersebut

untuk menjadi Undang-Undangtetap akan dilakukan pemerintah bersama

anggota DPR meski menuai penolakan dari publik.

Deklarasi penolakan RUU Rahasia Negara dilakukan oleh Masyarakat

Pers Indonesia terdiri atas Dewan Pers, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS),

Aliansi Jurnalis Independen, Persatuan Wartawan Indonesia, Ikatan Jurnalis

Televisi Indonesia, Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Masyarakat

Pers dan Penyiaran Indonesia, Institut Pengembangan Media Lokal, dan Forum

Pemantau Informasi Publik di Gedung DPR RI tanggal8 September 2009.15

Salah satu pertimbangan yang mendasari kekhawatiran Masyarakat Pers

Indonesia tersebut tercermin pada pada Pasal 49 RUU RahasiaNegara. Bunyi

pasal tersebut adalah :16

”Korporasi yang melakukan tindak pidana rahasia negara dipidana


dengan pidana denda paling sedikit 50 miliar rupiah dan paling banyak 100
miliar rupiah. Korporasi tersebut juga dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah

15
www.Kompas.com, 8 September 2009
16
Kompas 14 September 2009

16
pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi
yang terlarang.”

Esensi pasal ini bersangkut paut dengan keberadaan korporasi media.

Media massa adalah korporasi yang tiap hari berurusan dengan akses informasi

publik. Media massa juga sering menghadapi klaim-klaim rahasia negara dari

lembaga pemerintah. Ancaman pidana RUU Rahasia Negara berupa denda Rp 50

miliar - Rp 100 miliar hampir pasti secara ekonomi akan membunuh eksistensi

media massa. Apabila itu diterapkan terhadap korporasi media, maka sanksi

pembekuan atau pencabutan izin, serta penetapan sebagai korporasi terlarang tak

lain dan tak bukan adalah bentuk pemberedelan. Maka, RUU Rahasia Negara

adalah ancaman serius bagi iklim kebebasan informasi dan kebebasan pers di

Indonesia. Apabila disepakati bahwa pers merupakan pilar keempat dari

demokrasi, di samping eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maka sesungguhnya

ancaman terhadap kebebasan pers secara langsung merupakan ancaman juga bagi

kehidupan demokarasi di negara Indonesia.

Menyimak kembali bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun

1999, Pers didefinisikan sebagai berikut:

”Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang


melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis
saluran yang tersedia.”

Jaminan kepastian hukum bagi kebebasan pers di Indonesia tidak hanya

tertuju pada jurnalisme media pers cetak serta media siaran radio dan televisi

17
semata, melainkan juga mengatur tentang kegiatan dan karya jurnalistik yang

dapat menjadi bagian “segala jenis saluran yang tersedia”. Media internet atau

media online juga termasuk bagian dari pers, sepanjang menyangkut kegiatan

peliputan dan penyiaran komponen jurnalistiknya. Salah satu unsur penting yang

berperan dalam penyebaran informasi adalah pers. Pers dapat menyampaikan

informasi kepada sejumlah besar khalayak dalam waktu yang singkat. Pers yang

berfungsi sebagai penyebar informasi dapat berperan dalam menyampaikan

kebijaksanaan dan program pembangunan kepada masyarakat. Di samping itu

masyarakat juga dapat menggunakan pers sebagai penyalur aspirasi dan pendapat

serta kritik (control social).17

Eksistensi dan peran media massa yang begitu penting dalam kehidupan

umat manusia, jelas tidak dapat dipisahkan dari eksistensi informasi itu sendiri

yang dijamin akses ketebukaannya oleh UU KIP. Di dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 3 secara tegas

dinyatakan bahwa media massa dalam hal ini Pers Nasional mempunyai fungsi

sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan dan media

pengawasan atau kontrol sosial.18 Namun sayangnya perkembangan yang positif

bagi esensi kebebasan pers dan keterbukaan informasi publik di Indonesia ini,

tidak diimbangi oleh sikap profesionalisme wartawan. Dari segi substansi,

profesionalisme para pekerja media justru mengalami kemunduran jika

17
(Rachmadi, 1990:1).
18
(Unde, 2010).

18
dibandingkan dengan para pendahulunya sehingga banyak pihak mempersoalkan.

Ada yang menuduh bahwa pers telah “kebablasan” dalam merealisasikan

ideologi kebebasannya. Pers dianggap telah salah kaprah dalam memahami

kebebasan pers. Pers dinilai terlena dengan sensasi, issue, dan prasangka, serta

mulai mengabaikan kaidah-kaidah jurnalistik dalam menjalankan tugasnya.

Untuk menarik pembaca demi keuntungan ekonomi, pers menyajikan

dan mengembangkan berita-berita yang mengandung kontroversi politik, berita

berita yang penuh dengan sensasi dan berita-gambar yang bermakna pornografi.

Bahkan hasil analisis isi yang dilakukan Media Watch & Civic Education

Program Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS) Surabaya, pada era

keterbukaan ini ada kecenderungan pers melakukan pemihakan, bersikap

partisan, dan cenderung tidak objektif, karena pers di era ini sering mengumbar

kekerasan simbolik, mengandung hegemoni, tidak check and recheck dan both

sided coverage.

Sembilan dari sepuluh berita yang dimuat enam surat kabar (Jawa Pos,

Surya, Surabaya Post, Memorandum, Bali Post, dan Nusa) yang diteliti

mengandung kekerasan simbolik. Padahal penggunaan kekerasan simbolik dalam

pemberitaan menurunkan kadar objektivitas, sebab jenis pemberitaan yang

demikian dapat menguntungkan ataupun merugikan pihak-pihak yang

19
diberitakan. Pemahaman pembaca pun tergiring pada kerangka citra atau

kebenaran tertentu baik diinginkan maupun tidak oleh koran tersebut.19

Lebih dari itu, menurut hasil analisis isi tersebut pers merupakan sumber

hegemoni. Enam dari sepuluh berita yang dimuat media cetak terbitan Jawa

Timur dan Bali itu, mengandung hegemoni, terutama berasal dari otoritas

ideologi, kekuasaan sipil, dan intelektual. Manipulasi kesadaran melalui

intelektual, kultural, dan simbolik melahirkan ketidakseimbangan dalam tukar-

menukar makna (unequal exchange of meaning). Pihak yang satu dianggap

memproduksi makna, dan pihak lain hanya menjadi konsumennya, yang

membuat kebebasan berfikirnya macet. Akibatnya, ia lebih suka menerima

pendapat orang lain yang dianggapnya lebih berwibawa dari pada mencoba

mengajukan pendapat sendiri.20

Realitas empirik itu, bisa jadi akibat dari euphoria kebebasan pers yang

menyebabkan melonjaknya jumlah penerbitan pers secara drastis yang tidak

diikuti dengan perekrutan wartawan secara selektif dan profesional, akibatnya

banyak wartawan yang hanya sekedar menjalankan pekerjaan sebagai tukang

tulis, wartawan yang tidak dapat membedakan antara fakta dan opini, tidak dapat

membedakan antara berita dan desas-desus. Akibat lebih jauh, banyak tulisan-

tulisan yang tidak mengindahkan kaidah jurnalistik yang baku, merebaknya

tulisan-tulisan sensasi, mengandung isu dan prasangka, tulisan-tulisan yang tidak

19
(Jurnal Sendi, No. 3 Tahun 2000: 20-22).
20
(Jurnal Sendi, No. 3 Tahun 2000: 40).

20
berdasarkan fakta, dan tulisan-tulisan tentang suatu pernyataan yang telah

dipelintir untuk kepentingan pribadi.

Ada degradasi kualitas profesionalisme wartawan yang berdampak lebih

jauh pada sikap dan tingkahlaku wartawan dalam melaksanakan

tanggungjawabnya sebagai penyebar informasi kepada masyarakat. Berdasarkan

hasil dialog Dewan Pers di Jakarta (18/10/2002) tercatat tiga masalah yang dapat

dikategorikan sebagai bentuk degradasi profesionalisme wartawan yakni;

masalah wartawan “amplop”, rapuhnya pelaksanaan kode etik jurnalistik, dan

maraknya pers pornografi. Dari kenyataan ini, rupanya pada saat jurnalisme

investigatif mulai dirintis untuk mengungkap kasus manipulasi, saat yang sama

“tabloid kuning” yang mengumbar selera rendah masyarakat juga dengan bebas

tumbuh.21

Terdapat sedikitnya empat sisi gelap kebebasan pers, antara lain:

merosotnya profesionalisme wartawan; mengganasnya teror dan kekerasan

terhadap wartawan dan institusi pers; merebaknya penerbitan pornografi; dan

melemahnya penawaran demokrasi akibat menguatnya kapitalisme media yang

mengandalkan mekanisme pasar.

Kondisi ini merupakan suatu ironi, mengingat kebebasan yang

dinikmati oleh kalangan pers saat ini telah dikuatkan oleh beberapa peraturan

perundang-undangan yang mengatur dan menjamin kebebasan pers. Beberapa

peraturan yang mengatur dan menjamin kebebasan pers adalah ;

21
(Ibrahim, dalam Jurnal ISKI, No. 5/Oktober 2000: 3).

21
a. Pasal 28 F Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Perubahan 11

b. Pasal 20 dan 21 TAP MPR RI XVII/MPR/1998 tentang Piagam Hak Asasi

Manusia

c. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia

d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional

Semua jaminan konstitusional ini secara teoretik sudah cukup ideal,

karena mengakui serta melindungi kebebasan pers dari berbagai bentuk ancaman

yang ditujukan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kebebasan pers.

Kebebasan pers merupakan perwujudan dari hak untuk memperoleh

informasi dan menyatakan pendapat tanpa rasa takut dan karena itu merupakan

conditio sine qua non atau prasyarat bagi demokrasi modern dalam suatu negara

yang berlandaskan hukum. Kendati demikian, kebebasan ini bukannya tanpa

masalah, karena kebebasan pers beroperasi ditengah belantara kepentingan yang

begitu beragam, tak mengherankan bahwa dengan semakin besarnya kebebasan

pers, maka semakin sering terjadi kasus-kasus sengketa akibat pemberitaan

media massa, yang berimplikasi pada timbulnya keresahan dan rasa tidak aman

pada kalangan jurnalis dalam menjalankan profesinya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,

kebebasan pers dibatasi oleh 4 ketentuan antara lain sebagai berikut: 1) Pasal 5

ayat (1), (2), dan (3) tentang Hak Jawab, Hak Koreksi, dan Hak Tolak; 2) Pasal

22
15 ayat 2 huruf b UU Pers tentang Penetapan dan pengawasan pelaksanaan Kode

Etik Jurnalistik oleh Dewan Pers; 3) Pasal 17 ayat (2) huruf a dan b UU Pers

tentang pengawasan kebebasan pers oleh masyarakat; dan 4) Pasal 18 ayat (1),

(2), dan (3) tentang ketentuan pidana berupa denda. Namun pada kenyataannya,

ketentuan perundang-undangan tersebut tidak berfungsi secara efektif dalam

mengontrol perilaku pekerja media yang cenderung mengabaikan Kode Etik

Jurnalistik dan profesionalisme dalam menjalankan pekerjaannya, sehingga saat

ini, kebebasan pers semata-mata hanya berhadapan dengan batas toleransi

masyarakat. Opini publiklah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh

bebas. Dalam situasi semacam ini, munculnya benturan kepentingan menjadi tak

terhindarkan, manakala kebebasan pers telah kehilangan netralitasnya dan mulai

berpihak pada kepentingan kelompok/golongan tertentu sehingga merugikan

kepentingan pihak lain. Pihak yang merasa dirugikan akibat pemberitaan media,

terdorong untuk melakukan berbagai aksi main hakim sendiri antara lain:

pengusiran, pemukulan, perampasan dan/atau perusakan kamera, penculikan dan

kekerasan non fisik seperti: ancaman/intimidasi, teror dan bahkan sampai dengan

pembunuhan.

Kondisi tersebut telah menjadi suatu fenomena di masyarakat yang

cenderung berkembang ke arah yang tak terkendali. Hal ini terjadi karena

masyarakat menghadapi jalan buntu dalam mencari keadilan (Obstruction of

Justice) pada saat terjadi sengketa dengan kalangan media karena merasa

dirugikan atau dicemarkan nama baiknya akibat pemberitaan media. Indikasi

23
adanya kebuntuan dalam mecari keadilan (Obstruction of Justice) justru terlihat

setelah pemberlakuan UU Pers yang oleh pekerja media dianggap sebagai lex

specialis yang menggantikan UU Pers sebelumnya dan KUHP dalam

memberikan sanksi pidana, sejingga ketika pekerja media bermasalah dengan

pemberitaannya, yaitu pihak yang deberitakan merasa keberatan, pihak media

selalu membawa persoalannya ke UU Pers, sementara pihak yang merasa

dirugikan berusaha membawa masalah tersebut ke KUHP melalui Pasal

pencemaran nama baik.

Dalam pandangan pekerja pers, penyelesaian sengketa pemberitaan media

yang bermasalah harus didasarkan pada UU Pers daripada ke delik pidana.

Dalam Pasal 5 ayat (2) UU Pers sudah diatur mekanisme penyelesaian sengketa

pers melalui melalui “Hak Jawab”, yaitu korban pemberitaan yang dirugikan,

dapat memuat sanggahan tertulis yang wajib dimuat di media yang sama, dan

dengan demikian sengketa yang ada dianggap selesai oleh pihak pers. Padahal

citra negatif yang sudah terlanjur ditimbulkan oleh pemberitaan tersebut masih

ada dan tidak bisa serta merta hilang begitu sanggahan korban dimuat di media

yang sama.

Pers bisa melahirkan korban tanpa adanya pelaku atau victims without

crimes, karena korban yang terjadi adalah akibat adanya hubungan kait-mengkait

antara pemberitaan pers dan masyarakat. Pers dalam hal ini bisa dikategorikan

sebagai pelaku yang tak tampak (invisble criminal) karena dampak pemberitaan

pers bisa merugikan masyarakat tanpa perlu takut dicap sebagai pelaku kriminal

24
karena tersedianya payung perlindungan hukum berupa hak jawab atau hak

koreksi.22

Hal inilah yang tidak memuaskan dan dirasakan tidak adil oleh korban

pemberitaan. Penyelesaian sengketa melalui Dewan Pers juga dianggap tidak

memuaskan, karena Dewan Pers hanya mengawasi pelaksanaan dan pelanggaran

terhadap Kode Etik Jurnalistik saja dan tidak bisa memberikan sanksi selain dari

skorsing dan pemecatan. Kondisi semacam ini mendorong pihak korban yang

merasa dirugikan oleh pemberitaan pers cenderung memilih jalur penyelesaian

melalui ketentuan-ketentuan delik pers dalam KUHP, terutama delik penghinaan

atau pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, yang dirumuskan

sebagai berikut: 1) Pasal 310 ayat (1) KUHP tentang pencemaran; 2) Pasal 310

ayat (2) KUHP tentangpencemaran tertulis; 3) Pasal 311 KUHP tentang fitnah; 4)

Pasal 315 KUHP tentang penghinaan ringan; 4) Pasal 317 KUHP tentang

pengaduan fitnah; 5) Pasal 318 KUHP tentang persangkaan palsu; dan 6) Pasal

320 – 321 KUHP tentang penghinaan terhadap orang mati. Sementara untuk

pertanggungjawaban perdata dapat digunakan Pasal 1365 jo. Pasal 1372 tentang

perbuatan melawan hukum dengan penghinaan yang menyebabkan kerugian

pada orang lain.23

Masing-masing pihak merasa tidak memperoleh keadilan dan

perlindungan hukum yang cukup, sehingga pihak korban pemberitaan memilih

22
J.E Sahetapy dalam Amir Syamsudin, Kebebasan Pers dan Ancaman Hukum Terhadap
Pers, http://www.suarapembaruan.com/news/2005/02/23/Editor/edito2.htm
23
Amir Syamsudin, http://www.suarapembaruan.com/News/2005/02/23/Editor/edit02.htm

25
menggunakan kekerasan untuk melampiaskan kejengkelan dan ketidakpuasan

ketika menghadapi jalan buntu dalam mencari keadilan (obstruction of justice),

karena dalam UU Pers tidak terdapat ketentuan yang mengatur bahwa sengketa

pers harus diselesaikan melalui mekanisme hak jawab dan/atau hak koreksi atau

melalui pengaduan ke Dewan Pers lebih dulu sebelum memilih jalur

penyelesaian melalui delik pidana. Tidak adanya aturan yang tegas ini telah

menimbulkan kebingungan bagi Kepolisian dan Dewan Pers dalam menjalankan

fungsinya masing-masing sehingga pada akhirnya kedua pihak tersebut merasa

perlu untuk membuat kespakatan dalam bentuk Memorandum of Undersanding

(MOU) yang bertujuan melindungi kemerdekaan pers dalam arti mengedepankan

implementasi UU Pers dalam penyelesaian sengketa pers dan melindungi

wartawan yang profesional dan menjalankan pekerjaannya berdasarkan Kode

Etik Jurnalistik dan UU Pers. Dalam persepsi publik, MoU tersebut bukanlah

undang-undang atau peraturan di bawah undang-undang yang dapat memaksa

setiap warga negara untuk mentaatinya. Kesepakatan tersebut justru dianggap

menghalangi jalan mereka untuk mencari keadilan melalui delik pidana, karena

setelah diterapkannya MoU tersebut, Kepolisian akan berkoordinasi lebih dulu

dengan Dewan Pers sebelum memproses suatu pengaduan sengketa pers melalui

delik pidana.

Pendudukan kantor media, merupakan refleksi dari persepsi masyarakat

atas kebebasan media massa yang dianggap “terlalu bebas”, mengabaikan kode

26
etik jurnalistik dan prinsip-prinsip jurnalisme profesional sehingga melanggar

Hak-Hak Sipil dan Hak-Hak Asasi Manusia.

Fenomena-fenomena dan/atau realitas empiris yang berkembang di

masyarakat saat ini, terkait dengan implementasi kebebasan media massa pasca

berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun Tentang Pers, beserta segala ekses

yang menyertainya adalah sebagai akibat mandulnya sistem hukum di Indonesia

dalam mengatur keseimbangan hubungan antara negara, media massa dan

masyarakat, merepresentasikan bahwa perkembangan sistem hukum jauh

tertinggal dengan dinamika perubahan masyarakat. Negara (dalam hal ini

Pemerintah dan DPR) selaku institusi pembuat undang-undang/produk hukum

ternyata mandul karena tidak dapat membuat produk perundang-

undangan/hukum yang bersifat final yang dibutuhkan untuk memberikan

kepastian hukum dan mengontrol kebebasan media massa, sekaligus memberikan

perlindungan hukum kepada komunitas media massa selaku pemegang peran

(role occupant) maupun bagi masyarakat selaku pengguna produk media massa

dan/atau pihak yang merasa dilanggar haknya dan dirugikan akibat pemberitaan

media.

Masyarakat menghadapi jalan buntu dalam mencari keadilan (obstruction

of justice) sehingga terdorong melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional,

sementara lembaga penerap sanksi seperti: Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan

mengalami kebingungan dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum, yang

tercermin dari munculnya kesepakatan-kesepakatan di luar undang-undang dalam

27
bentuk Memorandum of Understanding (MOU) antara Kepolisian Negara

Republik Indonesia dengan Dewan Pers Indonesia. Keberadaan MoU ini, telah

mengaburkan esensi fungsi penegakan hukum oleh negara melalui lembaga

peradilan pidana, karena kewenangan diskresi Kepolisian sebagai alat

penyelenggaraan kekuasaan Negara menjadi dibatasi apabila berkenaan dengan

kasus-kasus sengketa media. Keberadaan MoU tersebut mengindikasikan bahwa

pers/media telah hadir sebagai kelompok penekan (pressure group) yang

mempunyai pengaruh sedemikian kuatnya, mirip kekuasaan sehingga media

massa mempunyai kekuatan tawar menawar (bargaining power) untuk masuk ke

dalam domain otoritas (authority) yang menjadi substansi kedaulatan Negara.

Jika hanya menyangkut pelanggaran jurnalistik yang bersifat etis, yang dijaga

dengan Kode Etik Jurnalistik, maka penanganan sengketa media oleh Dewan

Pers adalah benar dan memang sudah seharusnya demikian. Tetapi untuk kasus

berupa pelanggaran hukum pidana, yang sanksi hukum positifnya ada, tentu tidak

benar kalau membatasi hak masyarakat untuk memilih penyelesaian hukum.

Terlalu berlebihan permintaan Polri untuk berkoordinasi dan memberi hak pada

Dewan Pers untuk menangani terlebih dahulu kasus tersebut. Bahkan terlalu

berlebihan jika menyebut setiap usaha untuk menggunakan jalan hukum bagi

konflik pers sebagai tindakan kriminalisasi.24

24 http://www.jurnas.com: Ahmad Nurullah dan Bambang Sadono, Menyelesaikan


Konflik Media Secara Fair, 15 Mar 2012, diakses tanggal 25 April 2012, pkl. 17.54

28
Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan tersebut, terlihat bahwa

dinamika perkembangan pers di Indonesia seolah bergerak dari satu kutub

ekstrem yang satu ke kutub ekstrem yang lain, yaitu dari kondisi nyaris tanpa

kebebasan karena dikontrol sangat ketat oleh pemerinah rezim orde baru yang

represif, ke kondisi yang nyaris tanpa kontrol dari pemerintah pasca reformasi

sampai dengan sekarang. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999

tentang Pers tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai: 1) batasan

penafsiran yang tegas tentang “kemerdekaan pers” sehingga maknanya direduksi

oleh pekerja pers menjadi “kebebasan pers”. Padahal sebenarnya tidak ada

“kebebasan pers”, melainkan “kemerdekaan pers” yang mempunyai makna

bahwa pers harus dijalankan di dalam bingkai moral, etika dan hukum.

Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan

pentingnya penegakan supremasi hukum, yang dijabarkan dalam Kode Etik

Jurnalistik25; 2) bentuk perlindungan hukum bagi profesi wartawan dalam

menjalankan pekerjaannya (Pasal 8 UU Pers); 3) ketentuan yang mengatur

bahwa sengketa pers harus diselesaikan berdasarkan UU Pers lebih dulu sebelum

melakukan penyelesaian melalui jalur hukum pidana

Kondisi ini mengindikasikan bahwa ada yang kurang tepat pada

konstruksi politik hukum media di Indonesia yang menyebabkan peraturan

perundang-undangan dan penegakan hukum secara keseluruhan menjadi tidak

25
Lihat Amir Syamsudin dalam Hidajanto Djamal, Kebebasan Pers, Antara Fakta
dan Kenyataan, http://www.google.co.id/search?hl=id&q=kebebasan+pers&aq=f&aqi=&
aql=&oq=&

29
efektif. Berbicara tentang politik hukum media, tidak terlepas dari diskursus

tentang kedudukan politik terhadap hukum dan sebaliknya. Michael D Bayles

melihat hubungan politik dan hukum dari tiga pola interaksi yang terbentuk di

antara keduanya.26 Pola pertama disebut pola empiris, yaitu pola dimana politik

mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam proses pembentukan konstitusi,

yang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa politik membentuk hukum. Pola yang

kedua adalah pola hubungan yang bersifat analitis, yaitu pola dimana hukum

membutuhkan kekuasaan politik agar dapat berlaku efektif. Pola ketiga adalah

pola hubungan yang bersifat normatif, dimana politik harus menyediakan

landasan dan kekuatan normatif bagi berlakunya hukum. Pola hubungan politik

dan hukum ini perlu ditegaskan dengan jelas agar dapat dipahami di bagian mana

saja politik dapat berhubungan dengan hukum dan di bagian mana saja politik

harus terpisah dengan hukum. Tidak adanya penegasan hubungan di antara

politik dan hukum akan berpretensi melahirkan pemahaman yang menempatkan

hukum tidak dalam posisi yang suprematif.

Hubungan antara politik dan hukum melahirkan suatu disiplin ilmu baru,

yaitu “politik hukum” yang merupakan bagian dari studi ilmu hukum dan studi

ilmu politik. Politik hukum didefinisikan sebagai:

26
Michael D Bayles, Law and Politics hlm.137, diunduh dari ;
http://www.bibliojuridica/libros/3/1014/14.pdf, 28 Juni 2012, pkl; 23.05

30
“kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan,
sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan”27

Berdasarkan definisi politik hukum tersebut, maka politik hukum media

dapat diartikan sebagai “kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang

dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu, yang meliputi pembentukan

hukum, penerapan hukum dan penegakan hukum”.28 Jika sesuatu itu adalah

“media”, maka politik hukum media dapat diartikan sebagai: “kebijakan

penyelenggara negara untuk menetapkan kriteria untuk menghukumkan “media”,

yang mencakup pembentukan hukum media, penerapan hukum media dan

penegakan hukum media. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ada yang

kurang tepat dalam konstruksi politik hukum media yang berlaku di Indonesia,

yaitu bahwa politik hukum media diarahkan hanya sekedar untuk menyediakan

landasan normatif bagi berlakunya hukum media. Kondisi ini bisa dipahami

dengan merujuk pada situasi politik yang melatarbelakangi pembentukan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dimana negara pada saat

itu mengalami tekanan yang luar biasa besar untuk menghapuskan sama sekali

mekanisme kontrol negara terhadap media. Hal ini tercermin dari ketentuan-

ketentuan Undang-Undang Pers dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 4, yang

memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada media untuk berekspresi dan

27
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari,2008, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta, PT.
Raja Grafondo Persada, hlm. 32
28
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara berdasarkan asas hukum, Cet. II, Jakarta,
Ghalia Indonesia, hlm. 160

31
memberikan senjata pamungkas kepada komunitas media berupa hak tolak untuk

mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum.

Dalam tataran praksis, ternyata kemerdekaan pers yang tersurat dalam

teks undang-undang tersebut ditafsirkan oleh komunitas media sebagai

kebebasan yang sebebas-bebasnya, sehingga berimplikasi melanggar Hak Asasi

Manusia dan mengintervensi sistem peradilan pidana (criminal justice system)

dengan melakukan trial by the press melalui pembentukan opini publik yang

dibangun oleh komunitas media dengan teknik framing berita yang lebih

didasarkan pada realitas wacana daripada realitas empiris. Situasi ini justru

diperburuk oleh kecanggungan negara untuk mengarahkan dan/atau

mengendalikan ekses-ekses yang terjadi di masyarakat yang dilatarbelakangi

oleh fobia masa lalu dimana negara mengontrol media secara ketat, sehingga di

satu sisi, negara enggan untuk membuat kebijakan yang dapat mengendalikan

media karena khawatir nantinya justru akan merusak sendi-sendi kebebasan pers

yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Pers. Di sisi lain, pers menikmati

euforia kebebasan yang cenderung tidak bertanggung jawab, sehingga mengarah

kepada pembentukan alat kekuasaan baru yang bisa digunakan oleh kelompok

atau golongan tertentu untuk mengendalikan penyelenggaraan negara sejalan

dengan kepentingannya.

Mencermati tentang gambaran situasi sebagaimana yang telah dipaparkan

tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang konstruksi hukum positif

di Indonesia terkait dengan pemberitaan media massa mengenai penegakan

32
hukum dan Hak Asasi Manusia yang dianggap sangat berlebihan dan tak

terkendali (out of control), sehingga menimbulkan ekses-ekses yang justru kontra

produktif bagi fungsi penegakan hukum dan kebebasan pers itu sendiri

Konstruksi sistem hukum yang ada saat ini terbukti tidak efektif dan

mengakibatkan terjadinya kemandulan fungsi penegakan hukum, ketidakpatuhan

(disobedience) masyarakat yang mengarah pada anarkisme, yang pada akhirnya

akan merusak peran dan fungsi kebebasan pers itu sendiri sebagai pilar keempat

demokrasi. Perlu dicari akar dari permasalahan tersebut dengan melakukan

pengkajian secara mendalam terhadap sistem hukum yang berlaku, dan bilamana

perlu melakukan dekonstruksi terhadap sistem hukum tersebut untuk kemudian

dilakukan rekonstruksi politik hukum secara konseptual dan kontekstual demi

tercapainya keadilan substantif bagi semua pihak. Nilai keadilan menjadi salah

satu tujuan sistem hukum, dan dalam kerangka hubungan hukum, nilai keadilan

tercermin melalui keseimbangan antara pelaksanaan kewajiban dan hak yang

diperoleh pada sisi yang lain.29

Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini yang berjudul:

“ Rekonstruksi Politik Hukum Media Dalam Pemberitaan Penegakan

Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)” menjadi sangat penting untuk

dilaksanakan.

2. FOKUS STUDI DAN PERMASALAHAN

29
Samsul Wahidin, 2006, Hukum Pers, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 2

33
2.1. Fokus Studi

Penelitian ini difokuskan pada pengkajian terhadap realitas empiris

berupa anarkisme masyarakat terhadap komunitas media massa di satu sisi

dan kriminalisasi pers di sisi lain, dalam pemberitaan penegakan hukum

dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang semakin menggejala pasca

berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terutama

pada tataran politik hukum.30 Hukum terkait erat dengan proses politik

yang mendasarinya. Adapun hasil kajian ini berujung pada rekonstruksi31

politik hukum media massa dalam pemberitaan penegakan hukum dan Hak

Asasi Manusia (HAM) berbasis nilai keadilan sosial. Politik hukum

menjadi fokus kajian karena peran strategisnya dalam pembuatan hukum

dan penerapan hukum. Sering terjadi bahwa hukum mengalami berbagai

penyimpangan atau pengingkaran terhadap cita-cita hukum, sehingga tidak

dihasilkan peraturan perundang-undangan yang mencerminkan cita

hukum.32 Penemuan adanya realitas sosial yang menjadi penyebab

timbulnya penyimpangan dan dampak penyimpangan selanjutnya akan

30 Politik hukum adalah serangkaian konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak
penguasa negara yang mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik
penerapan serta penegakan hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum
untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang berlaku di
wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun serta untuk mencapai suatu
tujuan sosial. Sehingga politik hukum berdimensi ius constitutum dan berdimensi ius constituendum.
31
Rekonstruksi berasal dari kata “reconstruction” yang berati penyusunan kembali,
pembangunan kembali, atau menata ulang dan dapat juga diberi pengertian reorganisasi. Lihat, Andi
Hamzah, 1997, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia. Lihat, Bryan A. garner, Black’s Law
Dictionary, eightth edition, West Group, ST. Paul, Minn., 2004, hlm. 1278
32
Suteki, 2010, Rekonstruksi Politik Hukum; Hak Atas Air Pro Rakyat, Semarang, Surya
Pena Gemilang, hlm. 11-12

34
dijadikan dasar untuk merekonstruksikan bangunan politik hukum tentang

hukum media dalam pemberitaan penegakan hukum dan Hak Asasi

Manusia.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers

dilatarbelakangi oleh tuntutan dan tekanan yang sangat kuat dari komunitas

media di era reformasi massa agar segala restriksi dan regulasi pemerintah

terhadap pers ditiadakan, demi terciptanya kemerdekaan pers dan pers yang

independen sebagai conditio sine qua non atau prasyarat bagi terciptanya

demokrasi dalam suatu negara yang berlandaskan hukum. Bahwa

kemerdekaan pers yang semula diperjuangkan tersebut ternyata

menimbulkan ekses berupa anarkisme dan kriminalisasi pers yang justru

mengancam operasionalisasi dari kemerdekaan pers itu sendiri, adalah

sesuatu yang sudah diantisipasi oleh para legislator perumus UU Pers

namun ternyata belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Dalam hal terjadinya kekosongan hukum, seringkali hukum yang

selalu disalahkan, karena hukum merupakan produk politik yang lebih

banyak ditentukan oleh pemegang kekuasaan politik yang dominan,

sehingga sangat mungkin hukum itu lebih merupakan pencerminan visi dan

kehendak politik Penguasa.33 Oleh karenanya, fokus studi ini lebih

ditekankan pada penemuan realitas sosial yang menjadi penyebab

33
Moh. Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 312

35
tertinggalnya produk hukum terhadap dinamika perubahan sosial yang sarat

dengan konflik kepentingan di antara berbagai sub-sub sistem dalam

masyarakat. Temuan yang diperoleh akan dijadikan sebagai dasar kajian

untuk merumuskan gagasan dan pemikiran baru yang substansial,

konseptual dan kontekstual serta dapat dioperasionalisasikan pada tataran

praktis secara efektif, guna merekonstruksikan politik hukum media dalam

pemberitaan penegakan hukum dan HAM, agar negara dapat memberikan

kepastian hukum, perlindungan hukum dan keadilan substantif kepada

semua pihak berdasarkan sistem hukum yang berlaku.

2.2. Permasalahan

Dinamika perkembangan politik hukum secara terus menerus

senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan dinamika perubahan sosial

masyarakat dimana sistem hukum tersebut diberlakukan. Sistem hukum

bukan semata-mata merupakan sederetan nilai, norma, kaidah dan fakta

normatif ideal mengenai apa yang seharusnya dilakukan tentang sistem

hukum yang dicita-citakan (das sollen), yang pada umumnya sulit

direalisasikan dalam realitas kehidupan masyarakat sehari-hari, melainkan

juga memperhitungkan peristiwa konkrit (das sein), yaitu implementasi

dari segala sesuatu yang diatur oleh das sollen yang berkembang di

masyarakat. Peristiwa konkrit (das sein) memerlukan das sollen untuk

menjadi peristiwa hukum. Begitu pula sebaliknya, dunia norma (das sollen)

36
juga memerlukan peristiwa konkrit (das sein) untuk menjadi peristiwa

hukum.

Terkait dengan pemberitaan penegakan hukum dan Hak Asasi

Manusia (HAM), teridentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:

a. Kebebasan pers yang diperoleh pasca berlakunya Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, ternyata menunculkan anarkisme

terhadap komunitas media massa sebagai reskasi ketidakpuasan dari

pihak yang ternuat dalam pemberitaan media, yang bentuknya beragam

mulai dari ancaman/intimidasi, teror, pengusiran, perampasan dan/atau

perusakan alat-alat kerja, pendudukan kantor media, kekerasan fisik,

penculikan, dan bahkan pembunuhan

b. Terjadi kriminalisasi pers melalui upaya pemidanaan para anggota

komunitas media dengan menggunakan Pasal-Pasal KUHP seperti:

Pasal 311KUHP tentang pencemaran nama baik dan Pasal 335 KUHP

tentang perbuatan tidak menyenangkan.

c. Munculnya gejala “yellow journalism” pada sejumlah media cetak dan

elektronik yang hanya berorientasikan keuntungan (profit oriented)

sehingga mengabaikan kode etik jurnalistik dan prinsip-prinsip

jurnalisme profesional, serta asas praduga tak bersalah, dan lebih

menekankan realitas wacana daripada realitas empiris dalam

membangun realitas media yang disajikan kepada publik.

37
d. Dukungan teknologi digital dengan segala kemudahan aksesnya,

semakin memperkuat ketergantungan publik terhadap media massa, dan

sejalan dengan itu, cengkeraman pengaruh media terhadap publik

menjadi semakin kuat. Sedemikian kuatnya pengaruh tersebut sehingga

media massa dapat membentuk opini publik yang dapat memberikan

tekanan dan mempengaruhi proses peradilan pidana atas suatu perkara.

e. Kebebasan pers yang telah diperoleh beserta segala ekses-ekses yang

menyertainya, ternyata justru menyebabkan degradasi terhadap esensi

kebebasan pers itu sendiri, sebagai salah satu pilar demokrasi untuk

menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap negara dan masyarakat.

Berdasarkan pada beberapa masalah yang sudah teridentifikasi

tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan

sebagai berikut:

a. Mengapa politik hukum media massa dalam pemberitaan penegakan

hukum dan HAM mengingkari nilai keadilan sosial?

b. Mengapa praktik pelaksanaan kebijakan tentang media massa dapat

membahayakan substansi kebebasan media dan penegakan hukum?

c. Bagaimanakah rekonstruksi politik hukum tentang media massa yang

berbasis keadilan sosial?

3. Kerangka Pemikiran

38
Kerangka pemikiran diartikan sebagai pernyataan landasan pendukung

menyangkut dasar-dasar teoretik dan konseptual dalam rangka memberikan

jawaban atas permasalahan penelitian, sehingga dalam kerangka pemikiran akan

ditampilkan teori-teori, definisi konsep dan definisi operasional yang mendukung

tema sentral suatu penelitian.34

Penelitian ini bertolak dari permasalahan yang sudah dipaparkan pada

bagian latar belakang, yaitu bahwa

Untuk mendeskripsikan permasalahan sebagaimana yang telah

dipaparkan pada bagian Perumusan Masalah, maka dalam penelitian ini diajukan

beberapa teori mikro35 antara lain: Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo,

Terori Hukum Responsif Philippe Nonet dan Philip Selznick, Teori

Interaksionisme Simbolik Blumer36, Teori Sibernetika Talcot Pearson37 dan Teori

pembuatan kebijakanWayne Parson sebagai pisau analisis.

34
Didi Atmadilaga, 1994, Panduan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung, CV. Pioner Jaya,
hlm. 117
35
36
Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang
pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan
kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.
Premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to
those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya
pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Premis
kedua, adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each other. Pemaknaan
muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat
pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal
dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme
simbolik. Premis ketiga, adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own
thought process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan
dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Masalahnya menurut Mead, adalah
sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara
simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.

39
Pemilihan teori-teori hukum tersebut berpijak dari kenyataan yang

sudah berlangsung sejak era 60 - 70-an, bahwa hukum positif yang berkiblat pada

filsafat positivisme, terbukti gagal dalam menyelesaikan masalah-masalah

sosial.38. Ketidakberdayaan hukum positif untuk menyelesaikan masalah-masalah

sosial kala itu ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama, bangunan

sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak

memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan

substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya institusi-

institusi hukum karena bekerja sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan

sulitnya menghadirkan tertib hukum seperti yang dijanjikan oleh penganjur

positivisme hukum. Situasi-situasi tersebut dianggap tidak terlepas dari watak

dogmatika hukum (legal dogmatics) yang menjauhkan diri dari sentuhan aspek-

aspek sosial.

37
Dalam teori sibernetika, sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem
sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan. Adanya hubungan saling keterkaitan,
interaksi dan saling ketergantungan. Sebagai contoh; keterkaitan antara hukum, agama, pendidikan,
budaya, ekonomi, politik, sosial yang tak dapat dipisahkan dan saling berinteraksi satu sama lain
38
Menurut Austin, hukum harus didefenisikan tanpa mengaitkannya dengan moral. Austin
mengartikan bahwa “the notion of law as a command of the sovereig”n. Itu sebabnya Austin
mengatakan hukum dikatakan positif karena dipositifkan atau diberikan posisi tertentu oleh pihak-
pihak yang memiliki otoritas. Semua yang tidak merupakan perintah dari pemegang kedaulatan
bukanlah hukum. Pendapat ini kemudian mempengaruhi pemikiran mengenai sumber hukum. Hukum
dikatakan hukum, hanya apabila berasal atau dibuat oleh negara. Ajaran ini selanjutnya berkembang
menjadi legisme yang menganggap hukum hanyalah undang-undang, Lihat, Jane Banfield (edit.),
“Readings in Law and Society, fifth edition, Capture Press, 1993, hlm. 2&9, dan Darji Darmodihardjo
dan Shidarta, “Pokok-Pokok Filsafat Hukum”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm. 114-115.
Bandingkan dengan. Hans Kelsen dalam Teori hukum Murni (reine rechtlehre) yang mengatakan
bahwa hukum adalah perangkat norma yang padu, logis dan otonom dari pengaruh-pengaruh politik,
ekonomi dan budaya, Lihat Ricardo Sinarmata. Padahal, hukum terus menerus selalu berada dalam
pengaruh dari faktor-faktor non hukum, sehingga hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat (the living law). Hukum lahir dari dasar kesadaran masyarakat akan
kebutuhannya (opinion necessitate).

40
Fenomena tersebut telah melahirkan Teori Hukum Progresif yang

bertolak dari pandangan bahwa hukum bukanlah sekedar logika semata, sebatas

yang tercantum dalam teks undang-undang, melainkan lebih daripada itu, bahwa

hukum merupakan objek ilmu yang selalu berusaha untuk memahami atau

melihat kaitan dengan hal-hal di luar hukum. Hukum adalah sebuah tatanan

(Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi menjadi tiga,

yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh

(holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat

pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan,

tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil. Lebih jauh, Satjipto Rahardjo

menegaskan bahwa tidak ada tatanan sosial, termasuk didalamnya tatanan

hukum, yang tidak bertolak dari kearifan pandangan tentang manusia dan

masyarakat. Dengan perkataan lain, tidak ada tatanan tanpa paradigma.39

Masyarakat merupakan "tatanan normatif" yang tercipta dari proses

interaksi sosial dan menciptakan berbagai "kearifan nilai sosial". Kearifan nilai

sosial itu ada yang bersifat rasional dan irasional yang "ditransformasikan"

membentuk "tatanan masyarakat normatif" melalui "proses normativisasi

hukum" sehingga menjadi publik dan positif. Teori Hukum Progresif berpijak

dari dua asumsi dasar. Pertama, hukum adalah untuk manusia, dan bukan

39
Satjipto Rahardjo.,1998, "Pendayagunaan Sosiologi Hukum Untuk Memahami Proses
Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah Seminar Nasional Sosiologi
Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Masyarakat
Fakultas Hukum Undip,

41
sebaliknya40 Berdasarkan asumsi tersebut, maka kehadiran hukum bukan untuk

dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Oleh karena

itu, ketika terjadi permasalahan hukum, maka hukum itu sendiri yang harus

ditinjau dan diperbaiki, dan bukan manusianya yang dipaksakan untuk

dimasukkan ke dalam sistem hukum.41 Kedua, hukum bukan merupakan institusi

yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus

menjadi (law as a process, law in the making).42 Penegakan hukum progresif43

menuntut keberanian aparat menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa.

Kedua asumsi dasar teori hukum progresif tersebut menyiratkan bahwa

letak persoalannya bukan pada masalah hukumnya, melainkan pada manusianya

sebagai subjek hukum yang membangun ide, kultur, cita-cita dan peraturan

hukum dan kemudian menegakkan peraturan hukum tersebut untuk kepentingan

dan kebahagiaannya sendiri. Apabila praksis operasionalisasi penegakan hukum

tersebut mengalami kebuntuan atau ketidakefektivan peraturan hukum yang

mengarah kepada ketidak adilan, maka aparat penegakan hukum, pakar hukum,

dan praktisi hukum harus berani mengubah praksis penegakan hukum berbeda

dengan yang sudah biasa dilakukan, atau bahkan mengubah peraturan hukumnya.

40
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresisf; Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum
Progresif, Vol 1/No. 1/April/2005, Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, hlm 3
41
Loc. Cit
42
Ibid, hlm. 6
43
Konsep Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar
kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna
lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya
kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum
yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa
dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.

42
Agenda besar gagasan hukum progresif adalah menempatkan manusia

sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan

kebijaksanaan hukum progresif mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku

manusia. Oleh karena itu, hukum progresif menempatkan perpaduan antara

faktor peraturan dan perilaku penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti

penting pemahaman gagasan hukum progresif, bahwa konsep “hukum terbaik”

mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat utuh (holistik) dalam

memahami problem-problem kemanusiaan

Dalam perspektif sosial, hukum bekerja bukan pada ruang yang

hampa. Terdapat hubungan resiprositas antara hukum dengan variabel-variabel

lain dalam masyarakat. Disamping hukum berfungsi sebagai alat untuk

pengendalian sosial (as a tool of social control) hukum juga dapat dimanfaatkan

sebagai sarana untuk rekayasa sosial (as a tool of social engineering)

sebagaimana dideskripsikan oleh Roscou Pound.44

Hukum dalam ruang interaksi sosial dapat dipandang sebagai

fenomena sosial berupa perilaku yang membentuk pola simbolik dan perilaku

yang sarat makna tertentu. Untuk memberikan penjelasan mengenai makna dari

pola perilaku tersebut, baik dalam tataran law making institutions, law guardian

institutions, maupun pada tataran role occupant, dipakai teori interaksionisme

simbolik dari Blummer. Teori interaksionisme simbolik dipakai untuk

44
Ronny Hanitijo Soemitro, 1989, Perpektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah
Hukum , Semarang , CV Agung, hlm. .23.

43
menganalisis perilaku pejabat pembuat keputusan pada tataran law making dan

law sanctioning institutions, yang akan diintegrasikan dengan teori pembuatan

kebijakan Wayne Parsons.45

Bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dipandang sebagai

fenomena sosial yang tidak bisa dipisahkan dari kajian tentang teori kebijakan

publik. Salah satu kebijakan publik dalam sistem negara modern adalah legal

politics yang kemudian dipakai sebagai istilah politik hukum. Politik dan

kekuasan (politic and power) adalah dua sisi dari satu mata uang yang tak dapat

dipisahkan satu sama lain, sebab politik akan selalu melibatkan kelompok-

kelompok orang dengan pelbagai konflik kepentingan yang bersaing untuk

menguasai pemerintahan. Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa

yang membedakan politik negara (politics of the state) dan politik organisasi lain

dalam masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan

pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya dengan menggunakan

atau menerapkan ancaman sanksi dan kekuatan yang sah berdasarkan hukum.

Dalam sistem politik (political system), para pengambil keputusan

(decision makers) selalu mempertimbangkan masukan (input) berupa tuntutan

(demands) dari kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dan dukungan

(support) masyarakat yang percaya pada legitimasinya. Setelah melewati proses

konversi (conversion process), mereka merumuskan keluaran (outputs) berupa

keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan (decisions and actions) antara lain

45
Suteki, Ibid, hlm. 14

44
dalam bentuk yang utama yaitu : pelbagai produk hukum (laws) dan pelbagai

kebijakan umum (general policies). Apabila ingin “survive” maka setiap sistem

politik harus memperhatikan umpan balik (feed back). Kesimpulannya adalah

bahwa hukum pada dasarnya merupakan produk sistem politik (the product of

political system). Demikian pula apa yang dinamakan politik hukum (legal

policy) sebagai bagian dari politik sosial (social policy). Dengan demikian

nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan

tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang memegang kendali

pemerintahan.46 Politisasi hukum terjadi di semua lini aktivitas hukum, baik

proses pembuatan hukum (law making process), proses penegakan hukum (law

enforcement process) dan proses penciptaan kesadaran hukum (law awareness

process).

Dalam rezim otoriter yang mempraktikkan model hukum yang represif

(repressive law), hukum berburu ketertiban dan mengesampingkan keadilan,

hukum diciptakan dan digunakan secara “ad hoc” dengan pendekatan yuridis

dogmatis. Pengaturan mengabdi (“subordinated”) pada kekuasaan politik,

diskresi bersifat oportunistik, moralitas komunal/institusional lebih ditonjolkan

46
Sebagai Contoh “haatzaai artikelen” warisan kolonial, UU No. 19 tahun 1964 yang
memungkinkan Presiden demi kepentingan revolusi mencampuri pengadilan, UU No. 11 PNPS 1963
pada zaman Orla dan diteruskan Orba, kooptasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif
atas dasar Pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 dan lain-lain. Ingat pula pengaruh hukum Belanda
yang secara sistematis dilakukan melalui, asas konkordansi, yurisprudensi dan doktrin hukum.

45
dengan mengorbankan moralitas sipil. Di sini terjadi suatu kondisi apa yang

disebut “Tyranny of the Law” 47 (how the law is taking away our liberties).

Runtuhnya pemerintahan rezim orde baru, telah melahirkan gelombang

tekanan besar dari masyarakat untuk lepas dari belenggu sistem hukum represif

melalui perubahan sistem politik di era reformasi, dimana Indonesia memasuki

masa transisi perubahan politik hukum yang tercermin dari perubahan berbagai

produk hukum rezim orde baru untuk diganti dengan produk hukum baru, dan

bahkan mengubah UUD 1945 melalui empat kali amandemen dan meniadakan

TAP MPR, dimana perubahan-perubahan ini diharapkan lebih responsif terhadap

berbagai dinamika perubahan sosial yang terjadi dimasyarakat. Tak dapat

disangkal bahwa fenomena perubahan politik hukum di era reformasi ini

terinspirasi maraknya kajian-kajian sosial pasca 1998, yang menekankan

pendekatan empirik dalam pemikiran hukum, dimana pendekatan empirik dalam

pemikiran hukum.

Hukum tidak diperlakukan sebagai gejala normatif semata namun

diletakkan dalam konteks sosialnya. Pendekatan ini sekaligus mempersoalkan

logika formal-positivistik yang dinilai gagal menjelaskan suasana yang tidak

normal (kemelut dan guncangan). Teori positivistik dianggap hanya mampu

47
Karakteristik “tyranny of the law” : (1) Hukum dirasakan terlalu membatasi kebebasan
manusia (human liberties, human freedom); (2) Hukum positif menjadi semakin banyak dan ada
kecenderungan untuk menggunakan hukum pidana sebagai “penekan”; dan alasan reformasi serta
“legal supremacy” sering digunakan sebagai pembenaran; (3) Alasan kepentingan umum yang lebih
luas dijadikan alasan pengaturan yang merugikan hak-hak individual;misalnya distorsi terhadap prinsip
hak milik mempunyai fungsi sosial); (4) Tujuan hukum menyimpang dari penciptaan kedamaian
(keeping the peace), bahkan menuju ke negara polisi. (Lihat ; Syafran Sofyan. Kebijakan Politik
Hukum Indonesia di Era Reformasi Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Nasional.

46
menjelaskan keadaan-keadaan normal. Dalam situasi semacam itu, diperlukan

perubahan radikal pada pemikiran hukum untuk Indonesia. Dibutuhkan teori

hukum yang selain mampu memberikan profil spesifik hukum Indonesia, juga

menjelaskan keadaan hukum dalam masyarakat secara seksama. Teori hukum

semacam itu hanya bisa dibangun apabila dogmatika hukum membuka diri

terhadap kajian-kajian sosial terhadap hukum.

Maraknya kajian-kajian sosial terhadap hukum tersebut, dipicu oleh

dua situasi riil, yaitu: pertama, gelombang reformasi sejak tahun 1998 tidak

diikuti dengan perubahan-perubahan nyata di bidang hukum. Meskipun telah

dilakukan reformasi hukum di bidang kelembagaan negara, namun tidak

berdampak pada penyelesaian masalah-masalah hukum yang kongkrit. Kedua,

semakin eratnya hubungan akademisi dengan kalangan aktivis sosial. Organisasi

Non Pemerintah banyak menggunakan tenaga akademisi dalam program-

programnya, termasuk dalam melakukan kerja-kerja advokatif. Tidak sedikit pula

jumlah akademisi yang mendirikan pusat studi atau organisasi non pemerintah,

dengan menerima dukungan dari lembaga- lembaga donor yang nota bene

menghendaki pendekatan sosial terhadap masalah-masalah hukum. Situasi yang

pertama bahkan telah mendorong hadirnya konsep-konsep baru, seperti

penegakan hukum progresif yang diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo dan

kawan-kawan di program Pasca Sarjana Universitas Dipenegoro, Semarang.48

48
. Menurut, Karolus Kopong Medan dan Mahmutarom HR, konsep penegakan hukum
progresif dikembangkan dari pemikiran Satjipto Rahardjo mengenai hukum yang membahagiakan.

47
Penegakan hukum progresif adalah sebuah konsep yang asumsi-asumsinya sarat

dengan pandangan dari pendekatan sosial terhadap hukum.

Dalam situasi transisional inilah, teori hukum responsif Philippe Nonet

dan Philip Selznick menjadi relevan untuk digunakan sebagai pisau analisis atas

dinamika perubahan dan rekonstruksi politik hukum media dalam pemberitaan

penegakan hukum dan HAM. Dalam perspektif tatanan hukum responsif, hukum

merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum tidak hanya dilihat sekedar

sebagai suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum

menjalankan fungsi-fungsi sosial di dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat

hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang

luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.

Meskipun hukum tampak sebagai perangkat norma-norma hukum, tetapi hukum

merupakan resultante dari suatu proses sosial, sebab hukum dibuat dan diubah

oleh usaha manusia dan oleh karenanya hukum senantiasa berada di dalam

keadaan yang berubah pula.

Dalam konteks itulah, hukum responsif menurut Nonet dan Zelnick

merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis

antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Teori hukum tidaklah buta terhadap

konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum

memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan

Lihat dalam Esmi Warassih’, 2005,Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis”, Semarang,, PT.
Suryandaru Utama, hlm. xvi.

48
implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan atau perencanaan

kelembagaan. Menurut Nonet dan Zelnick, agar ilmu hukum lebih relevan dan

lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori

sosial.

Hukum, dalam hal ini hukum media yang mengatur tentang

operasionalisasi media, dikonsepkan sebagai sebuah ”konstruksi” yang batasan

definitifnya terikat pada dimensi dan waktu tatkala subjek-subjek berinteraksi

secara komunikatif untuk menghasilkan produk pemikiran yang sama. Artinya,

hukum dalam konteks hukum media tidak akan difahami sebagai entitas

normatif-objektif semata, tetapi dipahami sebagai variabel dependen (variabel

yang dipengaruhi) dari suatu proses sosial politik yang melibatkan sejumlah

aktor individu yang berpartisipasi dalam suatu proses. Dengan demikian, proses

konstruksinya, tidak sekedar dipahami sebagai prosedur standar atau tehnik

konstruksi peraturan peundang-undangan semata, tetapi difahami sebagai

totalitas proses yang berada dalam keadaan saling berkait dengan variabel

sosial, kultur dan politik. Konstruksi hukum media dipahami sebagai produk

politik yang karakternya antara lain ditentukan oleh dinamika sosial yang

berkaitan dengan hukum media. Oleh karena itu, didalam mengkonstruksi hukum

media yang mengatur operasionalisasi media, maka konstruksi hukum media

harus lebih memenuhi harapan masyarakat. Suatu ius constituendum, yang

memungkinkan terealisasinya Standar Operasionalisasi, dalam kerangka

penegakan hukum media yang lebih responsif, partisipatif dan dapat memberikan

49
keadilan substantif serta secara spesifik lebih sesuai dengan kondisi masyarakat

Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa politik hukum adalah

suatu kebijakan publik sehingga kajian tentangnya menjadi tidak lengkap tanpa

melakukan analisis kebijakan publik. Salah satu alat yang lazim digunakan untuk

melakukan analisis kebijakan publik adalah analisis SWOT(Strength/Kekuatan,

Weakness/Kelemahan, Opportunities/Peluang, dan Threats/Ancaman), yang

dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal

yang dihadapi negara sebagai pembuat kebijakan dapat disesuaikan dengan

kekuatan dan kelemahan yang ada, khususnya yang terkait dengan konstruksi

politik hukum media yang ada saat ini. Analisis SWOT tentang konstruksi politik

hukum media dapat disajikan dalam bentuk matriks SWOT sebagai berikut:

Matriks SWOT Rekonstruksi Politik Hukum Media

Faktor Internal Strengths (S) Weakness (W)

- Pancasila - Penegakan hukum lemah


- UUD 1945 - Kendali terhadap media hampir
- UU Pers tidak ada
- Sistem Demokratis - Kecanggungan negara untuk
- NKRI mengendalikan pers
- Kearifan lokal dan faktor - Tidak ada organisasi Profesi
sosial-budaya media yang kuat dan bisa
- Nilai-nilai agama mengatur, mengawasi, dan

50
membina profesi media dan
operasionalisasi media
- Euforia komunitas media
- Kesadaran hukum masyarakat
rendah

Faktor Eksternal

Opportunities (O) Strategi SO Strategi WO

- Demokrasi dan kebebasan pers - Merumuskan kebijakan publik - Rekonstruksi politik hukum
- Terbentuknya Dewan Pers dan yang dapat mengendalikan me- media dalam pemberitan pe-
Komisi Penyiaran dia tanpa mengorbankan prin- negakan hukum dan HAM
- Adanya Kode Etik Jurnalistik sip demokrasi dan kebebasan berdasarkan nilai-nilai ideologi
- Terciptanya komunitas media pers Pancasila, agama, kearifan lo-
yang kuat - Mengarahkan kekuatan media kal dan faktor sosial budaya
kepada implementasi kebebas- sejalan dengan sistem Pem-
an pers yang lebih konstruktif, bangunan Hukum Nasional
bertanggung jawab, beretika - Mendorong pihak komunitas
dan menghargai asas praduga media agar menciptakan meka-
tak bersalah dan HAM nisme kontrol diri (self control)
- Memasukkan nilai-nilai ide- melalui peningkatan standar
ologi Pancasila, kearifan lokal moral dan etika jurnalisme
dan faktor sosial budaya, serta serta kepatuhan terhadap kode
agama ke dalam produk hukum etik jurnalistik
tentang media - Melalui Organisasi Media dan
- Negara, Organisasi Media, dan dewan Kehormatan Media yang
masyarakat bersama-sama men- independen dan kuat,
ciptakan budaya media yang mewajibkan setiap anggota ko-
sehat, dalam arti etis, ber- munitas media untuk mematuhi
tanggungjawab, transparan dan Undang-Undang Pers dan kode
akuntabel, dalam rangka men- etik jurnalistik
ciptakan pola hubungan dan - Dewan Kehormatan Media,
peran yang seimbang antara ne- daat merekomendasikan tegur-
gara, media, dan masyarakat an, sanksi skorsing dan/atau
pemecatan wartawan/jurnalis
kepada Organisasi Profesi Me-
dia apabila terbukti melakukan
pelanggaran kode etik, dan me-
rekomendasikan penyele-saian
melalui pengadilan apabila ter-
bukti adanya unsur melawan
hukum
Threaths (T) Strategi ST Strategi WT

- Pembentukan realitas wacana - Peningkatan kesadaran hukum - Mendidik dan mendorong


melalui pembingkaian/framing masyarakat melalui pendidikan masyarakat meng-gunakan hak
berita dan agenda setting dan penyuluhan hukum lewat jawab dalam me-nangani seng-
- Mengendurnya profesionalisme media keta media, menggunakan me-
jurnalis - Mendorong peningkatan profe- kanisme penyelesaian sengketa
- Trial by the press dan penga- sionalisme jurnalistik melalui media yang tersedia berdasar-
baian asas praduga tak bersalah Dewan Pers dan Komisi Pe- kan peraturan perundang-
- Pemberitaan tidak seimbang dan nyiaran untuk menciptakan me- undangan yang berlaku
berpihak pada kelompok ter- kanisme kontrol dan sanksi - Memberikan perlindungan dan
tentu (uncover the both sides) yang tegas terhadap setiap pe- kepastian hukum melalui pene-

51
- Pelanggaran HAM langgaran yang dilakukan oleh gakan hukum progresif
- Anarkisme dan premanisme komunitas media - Mendorong komunitas media
- Kriminalisasi pers - Revisi Undang-Undang Pers untuk menciptakan standar
- Alat kekuasaan baru untuk agar bisa menyeimbangkan pe- pemberitaan dan penyiaran
mempengaruhi penyelenggara- ran dan hubungan antara nega- yang seimbang
an negara dan sistem peradilan ra, media dan masyarakat - Mendorong komunitas media
pidana - Undang-undang Pers menetap- untuk mendidik masyarakat
kan dalam salah satu Pasalnya agar mematuhi hukum dan
tentang pembentukan satu orga- menciptakan budaya hukum
nisasi profesi media tunggal yang kondusif dan sesuai
dan Dewan Kehormatan Media dengan nilai-nilai ideologi Pan-
yang bisa mengatur, meng- casila, kearifan lokal dan faktor
awasi, membina dan mem- sosial budaya, serta agama
berikan sanksi terhadap
anggota komunitas media yang
mela-kukan pelanggaran
- Organisasi Media dan Kehor-
matan Media yang independen
menjamin bahwa komunitas
media menghormati asas pra-
duga tak bersalah, asas meliput
sumber berita secara seimbang
(cover the both sides), dan
HAM, serta memberikan
teguran dan/atau sanksi berupa
skorsing atau pemecatan dari
keanggotaan profesi kewar-
tawanan/jurnalis

Keterangan:

1. Strategi S-O (Strength-Opportunies)


Strategi SO adalah strategi memanfaatkan kekuatan berdasarkan peluang-peluang
yang ada.
2. Strategi W-O (Weakness-Opportunities)
Strategi WO adalah strategi memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk
mengatasi kelemahan
3. Strategi S-T (Strength-Threats)
Strategi ST adalah strategi memanfaatkan kekuatan untuk mengatasi ancaman-
ancaman
4. Strategi W-T(Weakness-Threats)
Strategi WT adalah strategi meminimalisir dan memperbaiki kelemahan untuk
mengatasi ancaman

Penelitian ini juga menggunakan teori makro mengingat terdapat

problematik yang memerlukan pendekatan implementatif dari segi hukum,

terutama untuk menilai pengingkaran nilai keadilan dalam proses penegakan

52
hukum, dalam konteks pengertian sebagai upaya mewujudkan ide hukum

menjadi kenyataan pada tataran law making institutions (DPR, Pemerintah), law

sanctioning/guardian institutions (Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung,

pengadilan, Kepolisian, Kejaksaan), dan role occupant (Adressat Hukum –

komunitas media, masyarakat, stakeholders, dll). Oleh karena itulah digunakan

teori bekerjanya hukum dalam masyarakat dari Robert B. Seidman dan William

J. Chambliss dan teori hukum prismatik dari Fred W. Riggs.49

Permasalahan pertama, yaitu mengapa politik hukum tentang hukum

media dalam pemberitaan penegakan hukum dan HAM telah mengingkari nilai

keadilan yang hidup dalam masyarakat, dianalisis menggunakan (1) Teori

Hukum Progresif Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Responsif Philippe Nonet dan

Philip Selznick, Teori Interaksionisme Simbolik Blummer, Teori Kebijakan

Publik David Easton dan Teori bekerjanya hukum untuk menganalisis domain

politik hukum media massa; (2) Teori Konflik dan teori Sibernetika Talcott

Pearson untuk menganalisis tarik ulur kepentingan di antara Negara, media

massa dan masyarakat; (3) Konsep Pembangunan Sistem Hukum Nasional

Indonesia (PSHNI) dan program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Politik

Hukum; (4) Teori Keadilan John Rawls dan keadilan sosial.

Permasalahan kedua, yaitu mengapa praktik pelaksanaan kebijakan

tentang media massa dapat membahayakan substansi kebebasan media dan

penegakan hukum, dianalisis dengan menggunakan (1) Teori Analisis Dampak

49
Suteki, Ibid, hlm. 15

53
Kebijakan Rossi & Freeman; (2) Teori Negara Kesejahteraan dan Tanggung

Jawab negara.

Permasalahan ketiga, yaitu bagaimanakah rekonstruksi politik hukum

tentang media massa yang berbasis keadilan sosial, dianalisis dengan

menggunakan paradigma konstruktivisme melalui pendekatan hermeneutika

hukum dan Teori Prismatik Fred W. Rigss. Rekonstruksi dilakukan dengan

menganalisis penyimpangan-penyimpangan melalui penafsiran realitas hukum

baik menyangkut perilaku maupun teks perundang-undangan yang terkait dengan

media massa dan konstruksi-konstruksi politik hukum media massa pada

beberapa domain yang berbeda, meliputi domain pembuat undang-undang (law

making institutions), domain penegakan hukum (law sanctioning institutions)

dan domain masyarakat atau pemegang peran (role occupant), yang mengacu

pada tiga domain dasar dari bekerjanya hukum dalam masyarakat menurut

Chambliss-Seidman.50

Adapun kerangka konsep rekonstruksi Politik Hukum Media dapat

digambarkan berdasarkan teori bekerjanya hukum di masyarakat dari Robert B.

Seidman dan William J. Chambliss, yang berlandaskan pada konsep tentang

ramalan mengenai akibat-akibat (prediction of consequences) yang dikemukakan

oleh Lundberg dan Lansing (1973), dan konsep Hans Kelsen mengenai aspek

50
Suteki, Ibid, hlm.16

54
rangkap dari suatu peraturan hukum.51 Kerangka konsep Rekonstruksi Hukum

Media dapat diilustrasikan dalam bagan sebagai berikut :

51
Loc. Cit

55
Kerangka Konsep Rekonstruksi Politik Hukum media
Cita-Cita Hukum Nasional
K
E
P Pembangunan Sistem
E Nasional Indonesia (PSHNI)
N
T
I
N Pembangunan
G Budaya Hukum
A
N
Pancasila
Pengaduan

DPR
Masyarakat Tuntutan Rekonstruksi Politik
Pemerintah
UU PERS Hukum Media

Umpan
Balik
Revisi UU Pers
Pengaduan/
Norma Norma Umpan Wadah Tunggal Dewan
Tuntutan Organisasi Pers Kehormatan Pers
Balik

Pengadilan AktivitasPenerapan
Kejaksaan Sanksi atas Pelanggaran
Kepolisian Pers/Media
Pelanggaran hukum Kode Etik

Trial by
Umpan Teguran, Peringatan,
the press
Balik
Skorsing, Pemecatan
Faktor-Faktor Non
Hukum
Anarkisme
EKSES

Kriminalisasi Pers

Gambar 1. Bagan Kerangka Konsep Rekonstruksi Politik Hukum Media


44
Keterangan :

(1) Politik Hukum harus berlandaskan cita-cita hukum nasional dan politik hukum
harus diarahkan pada pencapaian cita-cita hukum nasional melalui
Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia (PSHNI).
(2) Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia harus didasarkan pada
pembangunan konsep nilai dalam bentuk budaya hukum nasional.
(3) Budaya hukum nasional dibangun dengan paradigma budaya bangsa Indonesia,
yaitu budaya bangsa yang terkandung dalam falsafah dan ideologi negara
Pancasila.
(4) Politik hukum media, selain diarahkan pada pencapaian cita-cita hukum
nasional, juga harus menjadikan pancasila sebagai paradigmanya.
(5) Menurut teori Chambliss-Seidman, proses penegakan hukum dimulai dari
proses formulasi/pembuatan peraturan perundang-undangan (law making) oleh
lembaga pembuat undang-undang (law making institution), yaitu Pemerintah
dan DPR. Proses ini dipengaruhi oleh kepentingan dari kelompok-kelompok
penekan (pressure groups) atau Kekuatan Sosial personal (KSP), tuntutan
masyarakat, umpan balik berupa keberatan dan/atau usulan perbaikan/revisi
undang-undang, dioperasionalisasikan melalui politik hukum yang merupakan
akumulasi atau muara tempat bertemunya berbagai pengaruh, pembangunan
hukum media, harus dilakukan melalui rekonstruksi politik hukum media,
dengan berdasarkan pada cita-cita hukum nasional dan platform Pembangunan
Sistem Hukum Nasional (PSHNI) dengan budaya hukum yang berparadigma
Pancasila.
(6) Proses legislasi/pembuatan peraturan perundang-undangan menghasilkan
norma-norma, yaitu norma untuk lembaga penerap sanksi (law sanction
institutions) seperti Pengadilan, Kejaksaan, pengadilan dan Dewan Pers, dan
norma untuk pemegang peran (role occupants), yaitu komunitas media.
(7) Lembaga penerap sanksi (law sanction institution) dan pemegang peran (role
occupant) dipengaruhi dan berinteraksi dengan faktor-faktor non hukum,
seperti: politik, ekomomi, sosial dan budaya setempat. Hasil interaksi tersebut
bisa berdampak positif berupa penguatan kelembagaan dan penegakan hukum,
tetapi bisa juga berdampak negatif berupa ekses-ekses, seperti: anarkisme, trial
by the press, kriminalisasi pers, pelanggaran HAM, pengabaian kode etik
jurnalistik dan asas praduga tak bersalah.
(8) Atas terjadinya ekses-ekses tersebut, muncul desakan/tuntutan dari masyarakat
untuk melakukan rekonstruksi politik hukum media.
(9) Rekonstruksi politik hukum media harus dilakukan melalui revisi Undang-
Undang Pers dengan menambahkan Pasal yang menetapkan dan/atau menunjuk
Organisasi Pers/Media yang dijadikan sebagai wadah tunggal organisasi media
yang diakui oleh undang-undang.

45
(10) Organisasi Pers/Media yang sudah ditunjuk/ditetapkan sebagai wadah tunggal
organisasi media yang diakui undang-undang, selanjutnya membentuk Dewan
Kemormatan Pers/Media
(11) Organisasi Pers/Media merumuskan Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik
Profesi yang bersifat mengikat bagi semua anggota profesi wartawan/jurnalis
dan mempunyai kekuatan memaksa terhadap semua anggota yang tidak patuh
dengan sanksi-sanksi berupa teguran, peringatan, skorsing (pemberhentian
sementara dari aktivitas), dan pemecatan
(12) Organisasi Pers/media bekerjasama dengan Dewan Kehornmatan Pers
melakukan pengawasan, pembinaan komunitas media melalui penegakan Kode
Etik Jurnalistik dan Kode Etik Profesi, dan menerima pengaduan masyarakat
terkait pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Profesi yang dilakukan
oleh anggota komunitas media.
(13) Dewan Kehormatan Pers/Media memeriksa wartawan/jurnalis berdasarkan
pengaduan masyarakat, mempertimbangkan dan merekomendasikan
penyelesaian sengketa media secara adil dan berimbang.
(14) Organisasi Pers/Media membuat keputusan tentang sengketa media yang
diadukan masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam
Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Profesi.
(15) Dalam hal ditemukan adanya unsur melawan hukum dalam sengketa media
yang diadukan oleh masyarakat, maka Dewan Kehormatan Pers/Media
merekomendasikan kepada Organisasi Pers/media untuk penyelesaian sengketa
tersebut melalui aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan
Pengadilan).

4. Tujuan dan Kontribusi Penelitian

4.1. Tujuan Penelitian

4.1.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Rekonstruksi Politik

Hukum Media Massa dalam Pemberitaan Penegakan Hukum yang

berimplikasi terhadap penerapan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)

4.1.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menjadi

penyebab mengapa politik hukum hukum media massa dalam

46
pemberitaan penegakan hukum dan HAM mengangkari nilai

keadilan sosial.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor dalam proses

pembuatan dan penerapan kebijakan publik terkait pemberitaan

media massa yang dapat membahayakan penegakan hukum dan

kebebasan pers.

c. Untuk merumuskan konsep rekonstruksi politik hukum yang ideal

tentang hukum media massa yang berbasis keadilan sosial.

4.2. Kontribusi Penelitian

4.2.1. Kontribusi teoretis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

teoretis berupa sumbangan pemikiran yang berkenaan dengan

upaya merekonstruksikan politik hukum media massa, dalam

rangka mewujudkan cita-cita hukum, yaitu terciptanya sistem

hukum, khususnya sistem hukum media massa yang berkeadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan berguna sebagai bahan

rujukan bagi peneliti atau pihak lain yang berminat melakukan

kajian dan penelitian politik hukum.

47
4.2.2. Kontribusi Praktis

a. Bagi pemerintah dan/atau DPR

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan

pemikiran bagi pemerintah dan/atau DPR dalam rangka

melaksanakan pembaruan Sistem Hukum Nasional melalui

proram Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia

(PSHNI) dan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hasil

penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi

Pemerintah dan/atau DPR untuk melakukan revisi terhadap

Undang-Undang Pers dengan menambah satu Pasal yang

menetapkan pembentukan wadah tunggal organisasi pers/media

beserta Dewan Kehormatan Pers/media yang dapat mengawasi

dan mengendalikan operasionalisasi media.

b. Bagi kalangan Pers dan Media Massa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana yang

konstruktif bagi kalangan pers/media dalam membangun realitas

media yang didalamnya terkandung tanggung jawab sosial untuk

membuat pemberitaan yang berimbang, menjalankan pekerjaan

berlandaskan kode etik jurnalistik dan kode etik profesi, serta

menghormati HAM dan asas praduga tak bersalah. Selain itu,

hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

kalangan pers/media mengenai perlunya membentuk suatu

48
wadah organisasi pers/media yang kuat dan independen beserta

Dewan Kehormatan pers/media guna mengawasi, membina,

menerima pengaduan masarakat atas pelanggaran kode etik

jurnalistik dan kode etik profesi yang dilakukan oleh

wartawan/jurnalis, serta memberikan sanksi berupa teguran,

peringatan, skorsing, dan pemecatan

c. Bagi Stakeholders

Bagi masyarakat dan/atau pihak lain yang berkepentingan, hasil

penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan

wawasan mengenai pentingnya memelihara kebebasan pers

sebagai salah satu pilar demokrasi yang mengawal kepentingan

publik melalui fungsi kontrolnya terhadap negara. Diharapkan

juga bahwa hasil penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran

masyarakat untuk turut berpartisipasi nyata dalam upaya

menegakkan dan memelihara kebebasan pers, dengan cara

menghindarkan diri dari tindakan-tindakan yang mengarah pada

kekerasan dan anarkisme terhadap komunitas media massa, serta

menggunakan mekanisme yang sudah disediakan, yaitu hak

jawab dan hak koreksi bilamana merasa dirugikan oleh

pemberitaan media. Selain menggunakan hak jawab, masyarakat

dapat mengadukan sengketa media kepada organisasi pers/media

dan/atau dewan Kehormatan pers/media, sepanjang sengketa

49
tersebut hanya menyangkut pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

dan Kode Etik Profesi

5. Metode Penelitian

5.1. Paradigma Penelitian

Paradigma52 merupakan perspektif riset yang digunakan peneliti

yang berisi bagaimana peneliti melihat realita (world views), bagaimana

mempelajari fenomena, cara-cara yang digunakan dalam

menginterpretasikan temuan. Dalam konteks desain penelitian, pemilihan

paradigma penelitian menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang akan

mendasari dan memberi pedoman seluruh proses penelitian. Paradigma

penelitian menentukan masalah apa yang dituju dan tipe penjelasan apa

yang dapat diterimanya.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma

konstruktivisme53 di mana secara ontologis realitas dipahami dalam bentuk

konstruksi mental yang beragam yang didasarkan pada pengalaman sosial,

52
(1) Bogdan dan Biklen (1982 dalam Lexy J. Moleong, 1989) menyebut paradigma
sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang
mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Deddy Mulyana (2003) menyebut paradigma sebagai suatu
ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas
realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan
metode serupa. (2) Fokus paradigma alamiah terletak pada kenyataan ganda yang berlapis, dimana
setiap lapisan menyediakan perspektif yang berbeda dan tidak ada lapisan yang dapat dianggap lebih
benar daripada yang lainnya. Peneliti alamiah cenderung mengelak dari adanya generalisasi dan
menyetujui thick description dan hipotesis kerja. Dengan demikian paradigma alamiah mengacu
kepada dasar pengetahuan idiografik, yaitu yang mengarah kepada pemahaman peristiwa atau kasus-
kasus tertentu. (Lihat Agus Salim 2006.Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana)
53
Norman K. Denzin, Yvona S. Lincoln, 2009, Handbook of Qualitative Research, Edisi
Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar hlm. 137

50
bersifat lokal dan spesifik serta tergantung pada orang yang melakukannya

sehingga tidak bisa digeneralisasikan. Sedangkan secara epistemologi,

hubungan di antara peneliti dengan objek yang ditelitinya terjadi secara

timbal balik merupakan kesatuan, bersifat subjektif sehingga hasil-hasil

penelitian merupakan hasil interaksi di antara keduanya seiring dengan

berjalannya proses penelitian. Metode mencari kebenaran menggunakan

teknik hermeneutika dengan mengidentifikasi kebenaran melalui konstruksi

pendapat orang per orang, dan kemudian memperbandingkan dan

menyilangkan pendapat orang per orang tersebut melalui pertukaran

dialektis. Tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan sebuah konstruksi

konsensus yang lebih matang dan canggih (sophisticated) daripada semua

konstruksi sebelumnya (termasuk konstruksi etika peneliti)54.

Paradigma konstruktivisme didasarkan pada premis bahwa bahwa

manusia pada dasarnya aktif mengkonstruksi dan memodifikasi konsep,

model, realitas, termasuk pengetahuan dan kebenaran dari hukum.

Konstruksi teori yang akan dibangun meliputi 3 hal yaitu: substansi hukum,

struktur hukum dan budaya hukum, sebagaimana dikemukakan oleh

Lawrence M. Friedman55. Di lihat dari substansi hukumnya, pengaturan

mengenai penegakan hukum dalam masalah sengketa pers dan/atau media

masih belum jelas dan tegas. Dalam UU Pers tidak ditentukan bahwa

54
Agus Salim, MS, 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua, Yogyakarta,
Tiara Wacana, hlm. 71-71
55

51
sengketa pers dan/atau media harus diselesaikan melalui mekanisme hak

jawab/hak koreksi dan penyelesaian melalui Dewan Pers, sehingga fakta

tersebut adalah beralasan apabila politik hukum media perlu direkonstruksi

kembali. Ditinjau dari sisi struktur hukumnya, lembaga yang ditentukan

oleh Pasal 5 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pers untuk menyelesaikan

sengketa pers dan/atau media adalah Dewan Pers, namun pada

kenyataannya Kepolisian dan Dewan Pers kebingungan dalam menjalankan

fungsinya masing-masing sehingga harus membuat kesepakatan dengan

Dewan Pers dalam bentuk Momerandum of Understanding (MoU), dan

masyarakat terjebak dalam dikotomi antara penyelesaian sengketa pers

dan/atau media melalui jalur litigasi dan non litigasi. Sedangkan dari sisi

kultur hukumnya, budaya hukum masyarakat khususnya mengenai

penyelesaian penyelesaian sengketa pers dan/atau media belum terbentuk

sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang Pers, bahwa setiap

sengketa diselesaikan menurut mekanisme yang telah diatur dalam undang-

undang, namun dalam praktiknya masyarakat lebih senang memilih jalur

litigasi dan apabila tidak terpuaskan melalui mekanisme yang ada,

cenderung tidak mematuhi hukum dan melakukan kekerasan dan

anarkisme.

52
5.2. Jenis Penelitian

Penelitian ini digolongkan sebagai penelitian kualitatif56 berbasis

pendekatan non doktrinal. Dengan metode penelitian kualitatif ini peneliti

bermaksud mengkaji secara mendalam untuk bisa menemukan makna-

makna yang tersembunyi di balik objek maupun subjek yang diteliti.

Peneliti hendak mengkaji fenomena yang belum diketahui atau sudah

diketahui oleh para peneliti terdahulu dan kemudian membandingkannya

dengan temuan-temuan yang diperoleh peneliti dalam studi ini. Objek yang

diteliti berupa domain-domain atau fenomena sosial tertentu yang meliputi

tempat, waktu, pelaku, dan peristiwa. Domain tersebut terdiri dari : (1)

Lembaga Pembuat Hukum (Law Making Institutions), (2) Pemegang Peran

(Role Occupant), dan (3) Lembaga Penerap Sanksi (Law Sanction

Institutions).

56
Menurut Strauss dan Corbin (2003) penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian
yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman
penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena
yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. Supaya dapat menghasilkan temuan yang benar-benar
bermanfaat, maka penelitian kualitatif memerlukan perhatian yang serius terhadap berbagai hal yang
dipandang perlu. Dalam memperbincangkan proses penelitian kualitatif paling tidak tiga hal yang perlu
diperhatikan, yaitu kedudukan teori, metodologi penelitian dan desain penelitian kualitatif.

53
5.3. Pendekatan

5.3.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini, adalah penelitian hukum yang tergolong

sebagai penelitian empiris atau non doktrinal57, karena mengkaji

fenomena dan/atau realitas sosial yang berkembang di masyarakat

sebagai hasil interaksi antara sub-sistem hukum berupa politik dan

produk hukum (law in abstrato) dengan sub-sistem non hukum,

seperti kultur, masyarakat, agama, politik, ekonomi dan lain-lain

yang terwujud dalam bentuk penyimpangan hukum, ekses negatif,

anarkisme, yang merupakan dampak bekerjanya hukum dalam

masyarakat (law in action).

Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan yuridis empiris yang merupakan pengkajian

hukum secara empirik untuk meninjau masalah hukum dari sudut

pandang ilmu sosial. Dengan menggunakan pendekatan yuridis

empiris ini, maka peneliti berupaya melakukan beberapa hal antara

lain : (1) Mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif

(tertulis/tdk tertulis) di dalam masyarakat; (2) mengetahui efektifitas

berlakunya hukum positif di dalam masyarakat; (3) menganalisis


57
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia
Indonesia, Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press. Lihat Soetandyo
Wignyosoebroto, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: Lembaga
Sudi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Soetandyo Wignyosoebroto, 2008, Keragaman dalam
Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya, dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum,
memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Arief Sidharta, SH, Bandung: Refika Aditama, hlm. 43-46

54
penerapan hukum di dalam masyarakat; (4) mengkonstruksikan

fenomena hukum yang terjadi di masyarakat; dan (5) memetakan

masalah-masalah sosial terkait dengan penerapan hukum di

masyarakat; (6) merekonstruksikan politik hukum tentang media

massa guna mewujudkan tujuan hukum yang substansial, yaitu

hukum media massa yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

5.3.2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dapat digunakan oleh seorang

peneliti, dibatasi dan ditentukan oleh tradisi ilmiah yang berkembang

dalam disiplin keilmuan yang bersangkutan. Menurut Bruggink,

ilmuwan hukum akan mendekati objek penelitiannya berdasarkan

tradisi ilmiah yang ditumbuh-kembangkannya. Ilmuwan hukum akan

mempelajari objek penelitiannya dari sudut ide-ide (denkbeelden)

bersumber dari pendekatan-pendekatan yang sudah ada, dan berlaku

sebagai pra asumsi dari teorinya.58

Bersesuaian dengan tipe penelitian yang dipilih peneliti,

yaitu penelitian hukum non doktrinal atau empiris, melalui metode

pendekatan yuridis empiris, maka dalam penelitian ini dapat

digunakan beberapa pendekatan masalah, antara lain: (1) pendekatan

58
J.J..H. Bruggink, 1999, Rechtsreflecties, Grondbegrippen iut de Rechtstheorie (Refleksi
Tentang Hukum), alih bahasa Arief Sidharta,Bandung, P.T. Citra Aditya Bhakti, hlm. 214-215

55
undang-undang (statute approach) yang dilakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan produk hukum yang terkait dengan isu

hukum yang sedang diteliti.; (2) pendekatan kasus (case approach)

yang dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus yang berkaitan

dengan isu-isu yang sedang diteliti dan telah mempunyai kekuatan

hukum tetap dalam bentuk putusan pengadilan atau mahkamah

Agung. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus

adalah “ratio decidendi” atau penalaran , yaitu pertimbangan yang

mendasari hakim untuk sampai pada suatu putusan; (3) pendekatan

komparatif (comparative approach), pendekatan ini dilakukan

dengan membandingkan undang-undang dan/atau putusan pengadilan

suatu negara dengan undang-undang dan/atau putusan pengadilan

dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Manfaat

dari pendekatan ini adalah untuk mengetahui persamaan dan

perbedaan undang-undang tersebut, dan dengan demikian dapat

digunakan untuk menjawab tentang isu inkonsistensi antara undang-

undang dan filosofi yang melahirkan undang-undang tersebut; (4)

pendekatan konseptual, yaitu pendekatan yang berpangkal dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di

dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin tersebut, peneliti akan menemukan ide-ide yang

melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,

56
dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang sedang diteliti.

Pemahaman tentang pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

tersebut merupakan landasan bagi peneliti dalam membangun suatu

argumentasi dan/atau konsep hukum dalam memecahkan isu yang

sedang dihadapi.59

Dalam ranah kebijakan publik tentang pembuatan dan

penerapan kebijakan publik tentang media massa, dapat digunakan

beberapa pendekatan antara lain: pendekatan kekuasaan,

institusional, pilihan publik dan alternatifnya.60

5.4. Sumber dan Jenis Data

Data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.

Data primer adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan secara langsung

oleh peneliti dari sumbernya melalui pengamatan, angket, dan wawancara

secara indalam (in depth interview) dengan informan kunci. Sedangkan

data sekunder adalah data yang tidak secara langsung diperoleh dan

dikumpulkan oleh peneliti dari sumbernya, berupa bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder.

59
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, hlm. 93-95
60
Suteki, Ibid, hlm. 14

57
Penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sumber-sumber

penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian

berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,

artinya memiliki otoritas. Bahan hukum terdiri dari undang-undang,

peraturan pelaksana undang-undang, catatan-catatan resmi atau

risalah/notulen dalam pembuatan undang-undang dan putusan hakim.

b. Bahan hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi

Buku-buku Teks Hukum, Kamus-kamus, jurnal hukum, artikel,

makalah, dan majalah hukum, serta pendapat para ahli/pakar.61

5.5. Metode Pengumpulan Bahan hukum

Metode pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan pada

penelitian ini adalah dengan cara melakukan in-depth interview atau

wawancara mendalam dengan pedoman yang terstruktur dan terarah.

Wawancara adalah suatu metode yang melibatkan proses tanya jawab serta

61
Peter Mahmud Marzuki, Ibid, hlm. 141

58
pembahasan suatu topik dengan informan, metode ini sangat berguna untuk

digunakan saat sedang mengumpulkan bahan hukum Teknik wawancara

akan lebih baik jika dilakukan menggunakan media elektronik seperti alat

perekam suara.

Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman

wawancara, yang di dalamnya terdapat isu-isu yang harus ditanyakan

dengan urutan pertanyaan tertentu, tapi tidak menutup kemungkin akan

adanya pertanyaan tambahan, atau alur yang maju mundur. Karena bersifat

mendalam, maka setiap pertanyaan pun harus bersifat spesifik untuk

mendapatkan jawaban yang dalam. Dengan pedoman tersebut, peneliti

harus memikirkan bagaimana pertanyaan akan dijabarkan secara konkrit

dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan diri dengan informan dan

situasi yang sedang berlangsung.

5.6. Informan dan Pemilihan Informan

Informan dapat diartikan sebagai orang yang memberikan

informasi. Untuk mendapatkan informasi dan bahan hukum yang baik,

maka peneliti akan menggunakan informan yang kompeten. Terdapat

empat karakteristik utama yang harus dipenuhi untuk medapatkan

informan yang kompeten, yaitu :

a. Mengetahui dengan baik budaya daerahnya dan menyaksikan sendiri

kejadian di tempat penelitian.

59
b. Terlibat secara mendalam dengan kegiatan yang ada di tempat

penelitian.

c. Nonanalitis. Orang yang tidak analitis namun cukup mengetahui situasi

di tempat penelitian tanpa berpretensi menganalisa suatu kejadian.

d. Pada penelitian di lapangan, peneliti dapat menghabiskan waktu yang

lama dengan masyarakat, hal ini dikarenakan untuk penelitian di

lapangan dibutuhkan waktu yang cukup lama dengan intensitas yang

tinggi.

5.7. Analisis Bahan hukum

Analisis bahan hukum adalah suatu porses mengatur urutan bahan

hukum, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan

uraian dasar, intinya analisis bahan hukum dilakukan melalui sebuah

proses yang berarti analisis dan penafsiran bahan hukum dianjurkan untuk

dilakukan secepatnya oleh peneliti.

Analisis bahan hukum merupakan salah satu bagian terpenting

dari suatu penelitian. Proses analisis bahan hukum dimulai dengan

menelaah seluruh bahan hukum yang tersedia dari wawancara, pengamatan

yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen

resmi, gambar, foto dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah

langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi bahan hukum yang

dilakukan dengan jalan abstraksi yang merupakan upaya memuat

60
rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga

sehingga tetap berada didalamnya.

6. Keabsahan Penelitian

Menurut Guba dan Lincoln (1994:79) validitas pada penelitian kualitatif

mengacu pada suatu hal yang masuk akal berdasarkan eksistensi ilmu

pengetahuan dan kepercayaan terhadap suatu fenomena alamiah yang terjadi,

adapun kualitas penelitian ini akan dilihat dari kepercayaan atas hasil penelitian

dilihat dari credibility, transferability, dependability, dan confirmability.

Kredibilitas adalah sejauh mana hasil penelitian dapat dipercaya publik

dan disetujui kebenarannya oleh publik, artinya informan adalah benar benar

orang yang memahami masalah dan fenomena yang dikaji dan pantas untuk

menjadi narasumber dalam penelitian.

Transferability adalah kemampuan penyampaian atau external validity

atas hasil yang sama atau mengacu pada tingkatan mana dari hasil penelitian

kualitatif dapat digeneralisir atau ditransfer pada konteks atau setting yang lain.

Sementara dependability atau keterandalan esensinya adalah

menekankan pada kebutuhan bagi peneliti untuk menilai konteks yang berubah

ubah pada penelitian, peneliti bertanggung jawab untuk menggambarkan

perubahan yang muncul pada saat penelitian di dalam konteks yang ada dan

bagaimana perubahan tersebut berpengaruh pada penelitian tersebut.

Dependability, biasa dianggap sebagai reliabilitas yaitu sejauh mana peneliti

61
mampu mengkonseptuasikan secara benar apa yang diteliti,dan konsistensi

peneliti atas keseluruhan proses penelitian. Terakhir adalah confirmability atau

koherensi internal dalam melakukan interpretasi atas berbagai bahan hukum,

sehingga dapat dikonfirmasikan ulang, dengan kata lain ada objektifitas.

Pengujian keabsahan bahan hukum dilakukan dengan metode

trianggulasi sumber dan pengamat lain, Trianggulasi dengan sumber berarti

membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang

diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda, hal ini bisa dicapai dengan jalan

membandingkan bahan hukum hasil pengamatan dengan hasil bahan hukum

wawancara dan membandingkan apa yang dikatakan orang depan umum dengan

apa yang dikatakannya secara pribadi. Sementara trianggulasi dengan sumber

lain ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk

keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan bahan hukum. Trianggulasi

merupakan cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan perbedaan konstruksi

kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu pengumpulan bahan

hukum tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan, dengan

kata lain bahwa dengan trianggulasi peneliti dapat me-recheck temuannya

dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode atau teori.

7. Orisinilitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap berbagai sumber kepustakaan,

internet dan sumber informasi lainnya, dilakukan review terhadap beberapa

62
penelitian terdahulu yang berkenaan dengan rekonstruksi politik hukum di

Indonesia, serta relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh penulis,

dengan maksud untuk menggunakannya sebagai pembanding dan/atau rujukan,

sekaligus memberikan bukti bahwa penelitian ini adalah asli/orrinil dan belum

pernah dilakukan oleh peneliti lain dan berbeda dengan penelitian terdahulu.

dalam hal konten maupun tujuannya. Jika terdapat beberapa persamaan dengan

penelitian-penelitian terdahulu, adalah berkenaan dengan metode dan pendekatan

penelitian serta teori-teori yang dipakai sebagai landasan teoretis dalam

melakukan rekonstruksi pilitik hukum, yang mana hal tersebut adalah sewajarnya

dan tak terhindarkan di dalam proses pelaksanaan suatu penelitian. Sebagai

pembanding keaslian disertasi ini, maka dapat dilihat beberapa hasil penelitian

terdahulu sebagai berikut :

63
Matriks beberapa penelitian terdahulu di bidang Rekonstruksi Politik
Hukum dan orisinilitas penelitian
Persamaan

Peneliti Judul Hasil Penelitian danPerbedaan

dengan penilitian ini

SUTEKI (2008) REKONSTRUKSI (1) Politik hukum Penelitian ini beusaha


POLITIK HUKUM TEN- HMN atas SDA me-nemukan
TANG HAK MENGUA- mengingkari nilai argumentasi dan bukti-
SAI NEGARA ATAS keadilan sosial karena bukti adanya peng-ing-
SUMBER DAYA AIR adanya infra-societal karan politik hukum
BERBASIS NILAI KEA- environment berupa media atas pemberitaan
DILAN SOSIAL komodifikasi air, kon- penegakan hukum dan
(Studi Privatisasi Penge- flik kepentingan, in- Hak Asasi Manusia de-
lolaan Sumber Daya Air). konsistensi penafsiran ngan tujuan merekons-
HMN atas SDA oleh truksi politik hukum me-
Mahkamah Konstitusi dia yang berkeadilan so-
serta pendangkalan sial bagi seluruh rakyat
makna negara dan Indonesia.
extra-societal Persamaannya terletak
environment berupa pada aspek kajiannya,
tekanan perekono- yaitu pada domain
mian global yang rekon-struksi politik hu-
liberal kapitalistik se- kum karena peran
hingga strategisnya dalam kon-
mengakibatkan goal stelasi politik yang mel-
substitution dan ne- atarbelakangi
gara provider menjadi pembentukan suatu
negara regulator, Pro- sistem hukum berda-
gram WATSAL Bank sarkan falsafah dan
Dunia dan Program ideologi negara Republik
Privatisasi IMF; (2) Indonesia, yaitu Panca-
Privatisasi sila
pengelolaan SDA Perbedaannya terletak
membahayakan akses pa-da bidang hukum
rakyat terhadap air; yang perlu direkon-
(3) Melalui kerang-ka struksi, yaitu hukum
teori prismatik dari media, khususnya dalam
Fred W Riggs, dialek- pemberitaan me-ngenai
tika antara politik hu- penegakan hukum dan
kum ideal dan "exist- HAM,
ing" dapat memben-
tuk politik hukum
baru yang disebut
politik hukum HMN
atas SDA "prismatik".

64
Rachmat Syafa'at, REKONSTRUKSI POLI- Diperlukan model Persamaannya dengan
Esmi Warrasih TIK HUKUM KETAHA- rekontruksi politik pe-nelitian ini adalah
Pujirahayu, Aan NAN PANGAN BERBA- hu-kum ketahanan terletak pada penekanan-
Eko Widiarto SIS SISTEM KEARIFAN pa-ngan melalui nya pada penggunaan
(2009) LOKAL GUNA MEWU- model Co mana- kearifan lokal, sistem
JUDKAN KEDAULAT- gement yang men- nilai dan bu-daya lokal
AN PANGAN sinergikan kelem- da-lam meng-konstruksi
bagaan ketahananan politik hukum
pangan yang dimi- Perbedaannya terletak
liki pemerintah de- pada cakupan dan ling-
ngan kelembagaan kup kearifan lokal, sis-
kedaulatan pangan tem ni-ai dan budaya
yang dimiliki oleh yang dijadikan landasan
masyarakat, khu- dalam melakukan re-
susnya masyarakat konstruksi politik hu-
adat Tengger kum. Penelitian ini
memperluasnya men-jadi
kearifan, sistem nilai dan
budaya ma-syarakat
Indonesia yang majemuk
dan sudah tercakup di
dalam Pancasila
Samadi Wibowo REKONSTRUKSI POLI- Di lokasi penelitian, Persamaannya dengan
Murti (2006) TIK HUKUM AGRARIA terdapat faktor-fak- pe-nelitian ini adalah
TENTANG PENDAF- tor fundamental terletak pada upaya
TARA.N TANAH UN- yang dapat dijadikan penggali-an/penemuan
TUK KEPASTIAN HU- dasar untuk mela- faktor-fak-tor
KUM HAK ATAS TA- kukan rekonstruksi fundamental yang dapat
NAH hukum di bidang dijadikan dasar untuk
keagrariaan. melakukan rekons-truksi
Masyarakat meng- hukum
hendaki pola se- Perbedaannya terletak
derhana, mudah te- pa-da bidang hukum
tapi mempunyai yang direkonstruksi
makna kepastian
hukum bagi hak-hak
atas tanah yang
dimiliki.

65
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Hukum

Adji, Seno, Oemar, 1976, Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi, Jakarta:
Erlangga

_________, 1977, Mass Media dan Hukum, Jakarta, Erlangga

Atmadilaga, Didi, 1994, Panduan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung, CV. Pioner
Jaya

Bruggink, J.J..H., 1999, Rechtsreflecties, Grondbegrippen iut de Rechtstheorie


(Refleksi Tentang Hukum), alih bahasa Arief Sidharta, bandung,
P.T. Citra Aditya Bhakti

Darmodihardjo, Darji dan Shidarta,2004, “Pokok-Pokok Filsafat Hukum”,


Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,

Gitamo, Zakaria, 2005, Alam Kebebasan Pers Kita, Medan : Swara Bangsa

Hamzah, Andi, 1987, Delik-Delik Pers di Indonesia, Jakarta: PT. Media Sarana
Pers

Mahfud, Moh.,2009, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada

Martin, et al, 1983, Compartative Mass Media System, Logman Inc, New York

Marzuki, Mahmud, Peter, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada


Media Group

Rahmadi, F. , 1990, Perbandingan Sistem Pers. Analisis Deskriptif Sistem Pers di


Berbagai Negara, Jakarta, Gramedia

Nonet, Philippe & Selznick, Philip, 2007. Hukum Responsif. Bandung: Penerbit
Nusamedia

Shirley Biagi, , 2010, Media/Impact; An Introduction to Mass media, 9 th ed.,


Singapore: Cengange Learning Asia

Israel, H., Jerold & R. Wayner,1983, Criminal Procedure, Constitusional


Limitations, West Publishing Company

Lewis, Anthony, 1991, Make No Law,” The Sullivan Case And First Amandement,
Random Hause, New York
Soemitro,Hanitijo, Ronny, 1989, Perpektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-
Masalah Hukum , Semarang , CV Agung
__________, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia
Indonesia

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press

Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika


Masalahnya, Jakarta: Lembaga Sudi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM)

_________, 2008, Keragaman dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode
Penelitiannya, dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum,
memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Arief Sidharta, SH, Bandung:
Refika Aditama

Surjomihardjo, Abdurrachman, 1986, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers


di Indonesia, Jakarta: LEKNAS-LIPI

Suteki, 2010, Rekonstruksi Politik Hukum; Hak Atas Air Pro Rakyat, Semarang,
Surya Pena Gemilang

Syaukani Imam dan Thohari A. Ahsin, 2008, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945


Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang pers
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Internasional

C. Jurnal, Seminar, Artikel dan Majalah Hukum

Ariyanti, Vivi, Kebebasan Pers Dalam Perspektif Peradilan Pidana, Jurnal


Dakwah dan Komunikasi “KOMUNIKA”, Vol. 4. No. 1;
ISSN:1978-1261, Juni 2010

Firdaus Muhammad, Konstruksi media dan Perilaku Politik Masyarakat, Persepsi


Komunikasi Politik, Jurnal Stimuli Ilmu Komunikasi, ISSN. 2088-
2742, Edisi III, januari 2012

Joko Tutuko dan Abdul Latif, ”Reformasi Dan Kebebasan Pers: Respon Insan
Pers Terhadap UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers”, Jurnal
Publica Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Malang, 4 (1) tahun 2008

Logman, Loebby, Asas Praduga Tak Bersalah di dalam Pemberitaan oleh Media
Massa, Jurnal Dewan Pers, Edisi No. 2, ISSN : 2085-6199,
Nopember 2010.

M. Djamil Usamy, “Kebebasan Pers dan kaitannya dengan Penegakan Hak


Asasi Manusia”, Jurnal Ilmu Hukum Kanun Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala, 24 (9) tahun 1999, hlm. 524

Nurjaya, Nyoman, Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara dalam


Masyarakat Multikultural: Perspektif Hukum Progresif. Makalah
dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerjasama dengan
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas
Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Semarang, 15 Desember 2007

Rahardjo, Satjipto ,1998, "Pendayagunaan Sosiologi Hukum Untuk Memahami


Proses Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan
Globalisasi, Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan
Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi
Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip

___________, Hukum Progresisf; Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum


Progresif, Vol 1/No. 1/April/2005

Siebert, et al, 1986, Empat Teori Pers (Terjemahan dari Four Theories of the
Press), Jakarta, Intermasa. Lihat dalam Afdal M. Putra, Dinamika
Pers Politik di Indonesia dalam Jurnal Media Watch The Habibie
Center (MWTHC), November 2006

Wahidin, Samsul, 2006, Hukum Pers, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Wahyono, Padmo, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Pers yang Bebas,
Makalah yang diajukan dalam seminar Azas Praduga Tak Bersalah
dan Trial By The Press, Hotel Aryaduta, Jakarta, 25 Maret 1989

D. Internet

Bayles D Michael, Law and Politics hlm.137, diunduh dari;


http://www.bibliojuridica/libros/3/1014/14.pdf28 Juni 2012, pkl;
23.05
Nurullah, Ahmad dan Sadono, Bambang, Menyelesaikan Konflik Media Secara
Fair http://www.jurnas.com:, , 15 Mar 2012, diakses tanggal 25
April 2012, pkl. 17.54

Anda mungkin juga menyukai