Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (untuk selanjutnya disebut

KDRT) merupakan suatu masalah sosial yang spesifik/khas karena

subjeknya sangat spesifik, yaitu pelaku dan sekaligus korbannya terdapat

di dalam lingkup rumah tangga, di mana korbannya terutama perempuan

dan anak-anak. KDRT terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari

masyarakat berstatus sosial-ekonomi rendah sampai dengan masyarakat

berstatus sosial-ekonomi tinggi.

Angka kejadian KDRT dari tahun ke tahun cenderung meningkat

baik dari segi kuantitas maupun kualitas sebagaimana yang tersaji pada

data berikut ini:

Angka KDRT di LBH APIK Jakarta Tahun 1998 - 2002

Hasil survei Komnas Perempuan di 14 daerah di Indonesia pada

tahun 2001 menunjukkan bahwa kaum perempuan adalah paling banyak

mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh orang-orang

terdekatnya serta tindak perkosaan di lingkungan komunitasnya

sendiri. Selain daripada itu terdapat 60% kekerasan terhadap anak


1
2

dilakukan oleh orangtua mereka! (Seto Mulyadi, Komnas Anak, 2001).

Hasil survei tersebut diperkuat oleh sejumlah fakta yang tercatat pada

tahun 2005 bahwa Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di dalam

rumah tangga mengalami peningkatan dari tahun 2001 sampai dengan

tahun 2005.

Sumber: http://catatan-tahun-2005.com

Tahun 2005 tercatat 20.391 KTP yang ditangani oleh lembaga

mitra, sedangkan tahun 2004 berjumlah 14.020 kasus. Grafik kasus KTP

menunjukkan peningkatan yang dicatat oleh lembaga-lembaga

pengadaan layanan: tahun 2002 meningkat 61% dari tahun 2001, tahun

2003 meningkat 66%, tahun 2004 meningkat 56%, dan tahun 2005

meningkat 69% dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data Unit

Pelayanan Perempuan Dan Anak (UPPA) Bareskrim Polri, dari tahun

2007 sampai 2011 terdapat 928 kasus yang ditangani oleh UPPA yang

tersebar di seluruh Kepolisian Daerah (Polda). Data tersebut bisa

dikatakan belum sepenuhnya akurat mengingat kasus-kasus KDRT ibarat

fenomena gunung es, artinya kasus yang terjadi belum bisa mewakili

kasus yang sebenarnya karena masih banyak kasus kekerasan yang tidak

dilaporkan oleh korban, karena sifat perempuan Indonesia masih tertutup,


3

budaya malu juga masih sangat kuat, dan anggapan tabu jika melaporkan

suami ke pihak yang berwajib.1

Pada umumnya sebagian besar perempuan mempunyai

pemahaman yang keliru terhadap tindak kekerasan yang dialaminya dari

suami. Mereka beranggapan bahwa suami dalam kedudukannya sebagai

kepala keluarga memang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk

melakukan kekerasan terhadap dirinya, sehingga seringkali kaum

perempuan bersikap pasrah dan apatis serta memendam sendiri

persoalannya tanpa tahu bagaimana menyelesaikannya. Hal itu

menyebabkan kasus-kasus KDRT menjadi jarang terungkap ke

permukaan dan kaum perempuan menjadi semakin meyakini anggapan

yang keliru bahwa suami memang dikodratkan dominan terhadap istri,

termasuk jika suami melakukan kekerasan maka hal itu adalah bagian dari

kodratnya.

Terjadinya KDRT seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis,

kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi berawal dari adanya

relasi kekuasaan yang timpang antara lelaki (suami) dengan

perempuan (istri), Kondisi ini tidak jarang mengakibatkan tindak

kekerasan oleh suami terhadap istrinya justru dilakukan sebagai

1 Keengganan melapor ke pihak yang berwajib bukan hanya disebabkan perasaan malu,
namun juga kurangnya kepercayaan kepada lembaga penegak hukum. Karena faktanya, dari
sejumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa perempuan, yang dilaporkan
kepada polisi, tidak seluruhnya bisa diteruskan sampai ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau
disidangkan di Pengadilan. Dari 928 kasus yang ditangani oleh UPPA di seluruh Indonesia
hanya 109 kasus yang diteruskan sampai ke Jaksa Penuntut Umum.Sebagian besar kasus
tersebut justru dihentikan penyidikannya dengan alasan tidak cukup bukti atau harus dihentikan
demi hukum atau pelapor mencabut kembali pengakuannya. Dari 928 kasus KDRT yang
ditangani oleh UPPA di seluruh Indonesia hanya 459 kasus yang bisa diproses. Pada kasus
yang dihentikan penyidikan karena kurang bukti, biasanya karena korban melapor setelah
bekas-bekas kekerasan sudah hilang dari tubuh korban atau tidak ada saksi yang melihat
kejadiannya.
http://archive.kaskus.co.id/thread/13741386/0/penanganan-kasus-kdrt-oleh-kepolisian
4

bagian dari penggunaan kewenangan yang dimilikinya sebagai kepala

keluarga. Justifikasi atas kewenangan itu bisa lahir didukung oleh

perangkat undang-undang negara,2 maka kekerasan KDRT merupakan

jenis kekerasan yang berbasis jenis kelamin (gender). Artinya kekerasan

itu lahir disebabkan oleh perbedaan peran-peran gender yang

dikontsruksi secara sosial dimana salah satu pihak, yaitu isteri

mempunyai kedudukan yang lebih rendah (subordinat) daripada suami.

Dalam konstruksi sosial yang demikian, seorang istri dituntut untuk selalu

tunduk terhadap suaminya. Demikian juga halnya dengan posisi seorang

anak yang dituntut selalu mengikuti kehendak orang tuanya.

Terdapat dua faktor yang menyebabkan timbulnya KDRT, yaitu

faktor internal dan eksternal. Secara internal, KDRT dapat terjadi

sebagai akibat dari semakin lemahnya kemampuan adaptasi setiap

anggota keluarga di antara sesamanya, sehingga setiap anggota keluarga

yang memiliki kekuasaan dan kekuatan cenderung bertindak dominan,

menguasai dan eksploitatif terhadap anggota keluarga yang lemah.

Secara eksternal, KDRT muncul sebagai akibat dari intervensi

lingkungan di luar keluarga yang secara langsung atau tidak langsung

mempengaruhi sikap anggota keluarga, terutama orangtua atau kepala

keluarga, yang terwujud dalam bentuk kekerasan fisik dan psikis yang

traumatik baik kepada anaknya maupun kepada isterinya.

2 Perbedaan peran dan kedudukan antara suami dan isteri diatur oleh undang-undang
negara. Lihat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
yang menyatakan “suami adalah kepala Keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga”.
Ketentuan tersebut merupakan pengesahan peran dan kedudukan suami yang lebih dominan
daripada isteri dan sering ditafsirkan keliru oleh kaum perempuan bahwa karena kedudukan
suami adalah kepala keluarga, maka suami berhak melakukan kekerasan terhadap istrinya.
5

Derajat dan luasnya kekerasan yang terjadi terhadap perempuan

dan/atau anak-anak sulit diukur dengan tepat, karena hal itu menyangkut

aspek-aspek kehidupan perempuan yang sensitif dan bagi sebagian besar

kaum perempuan dianggap tabu untuk dibicarakan di depan orang lain di

luar lingkungan rumah tangga. Data peningkatan angka KDRT dari tahun

ke tahun yang disajikan di atas, menunjukkan bahwa KDRT merupakan

maslah bersama yang serius. Kondisi semacam ini tidak bisa dibiarkan

begitu saja tanpa ada penanganan. Negara harus menciptakan perangkat

hukum untuk melindungi korban terutama perempuan dan anak-anak dari

ancaman KDRT. KDRT termasuk perbuatan melawan hukum yang

apabila terdapat cukup bukti maka pelakunya dapat dipidana sesuai

dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (untuk

selanjutnya disebut UU KDRT).

Sejak diberlakukannya UU KDRT, maka perkara-perkara KDRT

tidak lagi diproses berdasarkan KUHP melainkan berdasarkan UU KDRT

yang bersifat khusus (lex spesialis) (Grace Y. Balowe, 2011: 1). Hal itu

sesuai dengan prinsip teori hukum piramida hukum “Undang-undang yang

bersifat khusus akan mengesampingkan undang-undang yang bersifat

umum (lex spesialis derogat legi generalis)”. Penerapan UU KDRT

sebagai undang-undang khusus (lex spesialis) adalah tepat, karena KUHP

tidak mengatur secara khusus dalam Pasal tersendiri mengenai

penganiayaan terhadap isteri dan/atau anak, melainkan mengatur secara

umum sebagai tindak penganiayaan terhadap anggauta keluarga. Selain


6

itu, KUHP hanya mengakui kekerasan fisik saja dan tidak

mempertimbangkan aspek-aspek kekerasan psikis dan seksual.

Pada kenyataannya, meskipun UU KDRT telah diberlakukan cukup

lama ternyata kasus-kasus KDRT tetap menunjukkan kecenderungan

meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa KDRT tidak dapat hanya

dipandang sebagai kasus pelanggaran hukum semata, melainkan sebagai

gejala atau fenomena sosial multi dimensi. Terdapat sejumlah faktor-faktor

yang melatarbelakangi fenomena KDRT yaitu antara lain: faktor-faktor

sosial, ekonomi, gender, dan budaya masyarakat. Oleh karena itu, pada

KDRT pendekatan yang dilakukan tidak bisa secara sebagian (parsial)

melalui kebijakan hukum pidana, melainkan harus dengan pendekatan

menyeluruh (holistik) terhadap semua aspek-aspek yang terkait. Selain

menggunakan perangkat sistem peradilan pidana yang lebih menekankan

pada aspek pemidanaan pelaku KDRT, harus diterapkan kebijakan lain

misalnya melalui mediasi penal atau penyelesaian sengketa alternatif

(Alternative Dispute Resolution, untuk selanjutnya disebut ADR).

ADR dipandang lebih baik daripada penanganan melalui sistem

peradilan pidana berdasarkan UU KDRT karena beberapa alasan antara

lain: (1) ADR lebih mengutamakan aspek perlindungan dan pemulihan

korban KDRT daripada aspek pemidanaan terhadap pelaku; (2)

pemidanaan terhadap pelaku KDRT yang pada umumnya para

suami/kepala keluarga pencari nafkah dapat meruntuhkan rumah tangga

yang bersangkutan; (3) ADR tidak menghasilkan penyelesaian menang-

kalah (win-lose resolution) seperti pada menyelesaian melalui sistem

peradilan pidana, melainkan memberikan penyelesaian menang-menang


7

(win-win resolution); (4) ADR lebih mengarah kepada pemulihan

hubungan keluarga pasca KDRT, sementara penanganan melalui sistem

peradilan pidana berisiko menimbulkan perpecahan keluarga yang

permanan.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji

tentang implementasi penyelesaian sengketa alternatif (Alternative

Dispute Resolution/ADR) dalam penanganan KDRT di Polres Semarang,

sehingga penulis melakukan penelitian yang berjudul: “Implementasi

Alternative Dispute Resolution (ADR) Dalam Penanganan Perkara

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Oleh Unit Perlindungan

Perempuan dan Anak (PPA) di Polres Semarang”

1.2 Perumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bagian latar

belakang masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah Implementasi Alternative Dispute Resolution (ADR)

dalam penanganan Perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Polres

Semarang?

b. Bagaimanakah efektifitas dari penanganan Perkara Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT) melalui jalur Alternative Dispute Resolution

(ADR) bila dibandingkan dengan penanganan melalui sistem peradilan

pidana?

c. Apakah hambatan yang dijumpai dalam implementasi Alternative

Dispute Resolution (ADR) dalam penanganan Perkara Kekerasan


8

dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh Unit Perlindungan Perempuan dan

Anak (PPA) di Polres Semarang?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang Implementasi Alternative

Dispute Resolution (ADR) dalam penanganan Perkara Kekerasan

dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh Unit Perlindungan Perempuan dan

Anak (PPA) di Polres Semarang.

b. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang efektifitas penanganan

Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) melalui jalur

Alternative Dispute Resolution (ADR) bila dibandingkan dengan

penanganan melalui sistem peradilan pidana.

c. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang hambatan yang dijumpai

dalam implementasi Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam

penanganan Perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh

Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Polres Semarang.

1.4 Manfaat penelitian

a. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman

mengenai aspek-aspek penyelesaian KDRT di luar sistem peradilan

pidana serta dapat memberikan sumbangan pemikiran konseptual yang

memperkaya konsep-konsep teoretis yang sudah ada mengenai

prinsip-prinsip mediasi dalam pengangan perkara KDRT.


9

b. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi

akademik mahasiswa tentang penanganan perkara pada umumnya,

dan penanganan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

baik melalui jalur non litigasi yaitu Alternative Dispute Resolution (ADR),

maupun melalui jalur litigasi yaitu sistem peradilan pidana.

c. Manfaat Praktis

1) Bagi Unit PPA di Polres Semarang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja Unit PPA

Polres Semarang melalui perbaikan strategi dan teknik implementasi

ADR dalam penanganan perkara KDRT oleh Unit PPA Polres

Semarang.

2) Bagi Korban KDRT

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

korban KDRT berupa meningkatnya rasa aman dan terlindungi,

hilangnya kecemasan terhadap ancaman KDRT ulangan di waktu

yang akan datang, pulihnya hubungan keluarga, bangkitnya

kesadaran korban akan hak-haknya sebagai anggauta keluarga yang

sederajat dan meningkatnya rasa puas dan kepercayaan korban

terhadap kinerja aparat Kepolisisan, khususnya Unit PPA Polres

Semarang.

3) Bagi Pelaku KDRT

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan

kesadaran pelaku KDRT mengenai: (1) KDRT adalah perbuatan

melawan hukum dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang


10

dapat dipidana; (2) Kewajibannya sebagai suami/kepala keluarga

adalah menyayangi dan melindungi anggauta keluarganya dan

bukan menguasasi serta menindas dengan tindakan kekerasan baik

secara fisik, psikis maupun seksual; (3) mencegah pelaku KDRT

untuk mengulangi perbuatannya di waktu di hari kemudian.

1.5 Sistematika Penelitian

BAB I : PENDAHULUAN

Pada Bab I diuraikan mengenai latar belakang permasalahan

yang bekaitan dengan Implementasi Alternative Dispute

Resolution (ADR) Dalam Penanganan Perkara Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (KDRT) Oleh Unit Perlindungan

Perempuan dan Anak (PPA) di Polres Semarang . Dijelaskan

juga alasan mengapa mekanisme ADR dipakai dalam

penanganan perkara KDRT, apa kelebihannya dibandingkan

dengan penanganan melalui jalur peradilan pidana serta

mengapa ADR penting untuk diteliti. Selain itu, diterangkan

juga mengenai perumusan masalah, tujuan penelitian dan

manfaat penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab II diuraikan mengenai kepustakaan penelitian

yang menjelaskan tentang pengertian atau definisi, teori-teori

yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Teori-teori

tersebut meliputi satu teori hukum yang dipergunakan

sebagai pisau analisis ditunjang dengan beberapa teori lain

mengenai kekerasan yang mendasari perilaku tawuran.


11

Pada Bab II juga diterangkan mengenai kepustakaan

konseptual yang menjelaskan tentang definisi konseptual

dari permasalahan yang diteliti. Bab II diakhiri dengan uraian

tentang kerangka berpikir peneliti dalam mengkaji

permasalahan yang diragakan dalam bentuk bagan.

BAB III : RANCANGAN PENELITIAN

Pada BAB III dijelaskan tentang metode penelitian yang

meliputi: pendekatan penelitian, sumber dan jenis data,

teknik pengumpulan data, teknik analisis data, penafsiran

dan penarikan kesimpulan

BAB IV : TEMUAN PENELITIAN

Pada BAB IV dipaparkan mengenai temuan-temuan yang

diperoleh peneliti selama melaksanakan kegiatan penelitian

yang meliputi: (1) Upaya Satuan Intelkam Polres Bogor

dalam mencegah tawuran antara pelajar; (2) Efektifitas dari

upaya yang dilakukan oleh Satuan Intelkam Polres Bogor

dalam mencegah tawuran antar pelajar di wilayah hukum

Polres Bogor; dan (3) Kendala yang dihadapi oleh Satuan

Intelkam Polres Bogor dalam upayanya mencegah tawuran

antar pelajar.

BAB V : PEMBAHASAN

Pada bab ini dipaparkan mengenai hasil analisis atas

berbagai temuan yang diperoleh di dalam penelitian, dengan

menggunakan teori-teori yang relevan guna menjawab

permasalahan-permasalahan penelitian.
12

BAB VI : Pada BAB VI dipaparkan tentang kesimpulan dari berbagai

temuan penelitian dan saran-saran yang relevan dengan

substansi yang sudah disimpulkan.


13

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kepustakaan Penelitian

Kepustakaan penelitian adalah suatu penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh orang lain yang ada relevansinya dengan masalah aktual

yang akan diteliti. Tujuan kepustakaan penelitian adalah agar peneliti

memahami posisi penelitiannya, apakah sebagai penelitian lanjutan,

penelitian yang bersifat memantapkan penelitian sebelumnya atau

penelitian baru yang sama sekali berbeda fokus kajiannya (H.B. Sutopo,

2006 dalam Nunuk setyowati, 2010: 11). Kepustakaan penelitian

memberikan deskripsi mengenai fenomena sejenis sehingga

memungkinkan peneliti lain dapat membuat perbandingan, memperbaiki

kekurangan atau bahkan mengembangkan hasil penelitian tersebut pada

tempat, lokasi dan waktu yang berbeda.

Penelitian ini mengacu pada penelitian mahasiswa PTIK atas nama

Nunuk Setyowati, No. Mhs: 6854 yang berjudul “Kinerja Unit PPA

Satreskrim Polwiltabes Bandung Dalam penyidikan Anak Korban

Kekerasan”. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan kualitatif,

metode penelitian studi kasus. Data penelitian adalah data primer yang

diperoleh dari wawancara dan dianalisis dengan teknik reduksi data dan

triangulasi. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Nunuk Setyowati

adalah dalam aspek Kinerja Unit PPA Polres dan faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja Unit PPA Polres. Sedangkan perbedaannya adalah

bahwa penelitian ini memiliki lingkup permasalahan yang lebih luas yaitu:

(1) kekerasan yang diteliti tidak hanya pada anak tetapi juga pada
14

perempuan dewasa; (2) lingkup tugas, fungsi dan peran yang diteliti pada

Unit PPA Polres lebih luas yaitu penanganan perkara yang mencakup

penyelidikan, penyidikan, penanganan dan penyelesaian perkara; (3) jalur

penangan perkara yang diteliti juga berbeda. Penelitian ini mengkaji

penggunaan jalur non litigasi yaitu Alternative Dispute Resolution (ADR)

sedangkan penelitian Nunuk Setyowati mengkaji tentang proses penyidikan

korban pada jalur peradilan pidana (litigasi). Dengan demikian posisi

penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Nunuk Setyowati di

bidang penanganan perkara KDRT dengan mengambil lokasi penelitian di

Unit PPA Polres Semarang.

2.2 Kepustakaan Konseptual

2.2.1 Pengertian Rumah Tangga dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

a. Pengertian Rumah Tangga

Rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam

masyarakat yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan.

Biasanya rumah tangga terdiri atas keluarga inti (nuclear family) yaitu

ayah, ibu, dan anak-anak. Namun, di Indonesia seringkali dalam

rumah tangga juga ada sanak saudara yang ikut bertempat tinggal,

misalnya orang tua, baik dari pihak suami atau istri, saudara

kandung/tiri dari kedua belah pihak, kemenakan dan keluarga yang

lain, yang mempunyai hubungan darah (extended family). Di samping

itu, juga terdapat pembantu rumah tangga yang bekerja dan tinggal

bersama-sama di dalam sebuah rumah (tinggal satu atap).

Pengertian rumah tangga dapat dirujuk pada pengertian keluarga

yang tercantum dalam Pasal I Undang-undang Nomor 8 Tahun


15

1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana angka 30

sebagai berikut:

"Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah


sampai derajad tertentu atau hubungan perkawinan".

Makna rumah tangga dalam KDRT dimaksudkan untuk

memberikan konteks yang membatasi ruang lingkup di mana tindakan

kekerasan tersebut dilakukan.3 Tujuan membentuk suatu rumah tangga

melalui perkawinan adalah untuk membentuk dan membina keluarga

yang bahagia lahir dan batin, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal

1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai

berikut:

"Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria


dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa".

Perkawinan merupakan ikatan yang sakral dan harus selalu

dihormati oleh suami dan istri,sehingga harus diupayakan agar selalu

tetap harmonis. Suami istri harus saling membantu dan melengkapi,

agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk

mencapai kesejahteraan sprituil dan materiil. Makna rumah tangga

mencakup pengertian dan gambaran tentang adanya kehangatan,

rasa aman, cinta kasih dan tanpa adanya unsur kekerasan di

dalamnya. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak

dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga,

maupun dalam pergaulan masyarakat. Dengan demikian, segala

sesuatu dalam rumah tangga (keluarga) dapat dirundingkan dan

3 C. W. Supriadi., Perempuan dan Kekerasan dalam Perkawinan, Mandar Maju,

Bandung, 2001: hlm. 14.


16

diputuskan bersama oleh suami dan istri (T. O. Ihromi, Sulistyawati,

dan L. Archie , 2000 dalam Grace Y. Bawole, 2004: 7).

Hak yang sama dan kedudukan yang seimbang antara suami dan

isteri dinyatakan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan menyebutkan sebagai berikut:

1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan


kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat.
2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

Ketentuan Pasal 31 ayat (3) yang menyebutkan bahwa suami

adalah “kepala keluarga” dan isteri adalah “ibu rumah tangga” adalah

ketentuan yang memgabsahkan dominasi kewenangan dan kekuasaan

suami sebagai kepala keluarga terhadap isteri sebagai subordinat

melalui pemisahan dikotomis peran suami dan isteri di dalam rumah

tangga. Hal inilah yang menjadi penyebab timbulnya pemahaman yang

keliru bahwa suami berkuasa atas isterinya dan sebaliknya isteri harus

tunduk dan pasrah terhadap suaminya. Sebagai akibatnya, jika suami

melakukan kekerasan terhadap isterinya maka hal itu dianggap sebagai

hal yang wajar dalam rangka mendidik isteri, dan sebaliknya isteri

beranggapan bahwa hal itu memang merupakan konsekuensi yang

harus diterima di dalam perkawinan, yaitu tunduk dan pasrah terhadap

setiap tindakan suami terhadap dirinya.

2.2.2 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pasal 1 ayat (1) UU KDRT menyatakan bahwa kekerasan dalam

rumah tangga didefinisikan sebagai berikut:


17

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan


terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan
atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga”.

2.3 Alternative Dispute Resolution (ADR)

Alternative Dispute Resolution (ADR) yang juga disebut sebagai

mediasi penal merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar

sistem peradilan. Merujuk pada Bab I Ketentuan UmumPasal 1 ayat (10)

dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, maka ADR didefinisikan sebagai berikut:

“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian


sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.

ADR biasanya digunakan dalam kasus-kasus perdata dan tidak

lazim diterapkan dalam perkara pidana. Menurut Undang -Undang No. 8

Tahun 1981, tidak dikenal adanya penyelesaian perkara pidana melalui

jalur non litigasi (di luar sistem peradilan pidana), meskipun dalam hal-

hal tertentu dimungkinkan untuk menyelesaikan perkara di luar

pengadilan, misalnya perkara lalu lintas. Realitas yang terjadi di

masyarakat menunjukkan bahwa seringkali dijumpai perkara pidana

dapat diselesaikan melalui kompromi atau kesepakatan di antara

tersangka dan korban atau keluarganya dengan melibatkan polisi atau

advokat atau perangkat desa bahkan pemuka masyarakat sebagai

mediator.

Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan

berbagai istilah, antara lain: “mediation in criminal cases” atau


18

mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut

strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut ”Der Außergerichtliche

Tataus-gleich” (disingkat ATA) dan dalam istilah Perancis disebut ”de

mediation pénale”. Mediasi penal terutama mempertemukan antara

pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering

juga dikenal dengan istilah ”Victim Offender Mediation (VOM)”, Täter-

Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender- victim Arrangement (OVA) (Barda

Nawawi Arief, 2010: 1-2).

Perkembangan wacana teoritik maupun pembaharuan hukum

pidana yang terjadi di berbagai negara, menunjukkan bahwa terdapat

kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi penal sebagai salah

satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.4 Dalam

pemecahan masalah, penemuan kebenaran dan keadilan serta sarana

kontrol aktivitas masyarakat, hukum bukanlah satu-satunya alat dan

itupun bukan yang terampuh. Masyarakat berhak untuk mendapatkan dan

memperoleh kebenaran dan keadilan, pemecahan masalah yang tidak

menimbulkan masalah lagi di kemudian hari. Sistem peradilan pidana

adalah sarana formal sebagai hasil perkembangan hukum modern ,

tetapi di luar tetapi di luar sistem peradilan pidana masih terdapat sarana

lain yang dapat memberikan keadilan yang lebih memuaskan atau

yang disebut sebagai primary rules of obligation, yaitu kaidah-kaidah

dalam masyarakat yang dibentuk sepenuhnya secara spontan oleh

4 Sebagai contohnya adalah meningkatnya penggunaan restitusi dan/atau ganti rugi


dalam proses pidana merupakan bukti bahwa dalam batas tertentu, perbedaan antara hukum
perdata dan hukum pidana menjadi tidak tegas dan perbedaan itu menjadi kehilangan
maknanya. Lihat Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of
Bielefeld, Germany), “Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law:
Development and Theoretical Implications”, http://wings.buffalo .edu/law/ bclc/bclr.htm
19

para anggota masyarakat (H.L.A. Hart, 1972 dalam Agus Rahardjo,

2008: 100-101).

Terdapat banyak cara dan tempat untuk mendapatkan keadilan,

peradilan pidana hanya salah satu cara dan tempat yang dapat ditempuh.

Keadilan dapat ditemukan di mana saja, di ruang mana saja. Manakala

sistem peradilan pidana tidak dapat memberikan keadilan yang

diharapkan dan tidak dapat menimbulkan efek jera yang signifikan

sehingga dapat menurunkan angka KDRT, maka para pihak yang

bersengketa dapat mencari keadilan menurut nilai-nilai kearifan lokal yang

tumbuh di masyarakat. Hukum pidana di masa yang akan datang

hendaklah memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi

manusia, alam dan tradisi yang sudah mengakar dalam budaya

bangsa Indonesia (Muladi, 1990 dalam Rahardjo, 2008: 101).

Praktik mediasi penal atau ADR muncul sebagai salah satu

pemikiran alternatif pemecahan masalah dalam sistem peradilan

pidana. Hal ini barawal dari wacana keadilan restoratif (restorative

justice) yang berupaya untuk mengakomodir kepentingan korban dan

pelaku tindak pidana, serta mencari solusi yang lebih baik untuk

kedua belah pihak, mengatasi berbagai persoalan sistem peradilan

pidana yang lain. ADR yang merupakan bagian dari konsep keadilan

restoratif menempatkan peradilan pada posisi mediator. Melalui mediasi

yang berbasis kesepakatan antara korban dan pelaku, maka hasil

penyelesaian akan diterima karena masing-masing pihak terlibat aktif

dalam setiap pengambilan keputusan. Korban akan lebih terlindungi dan

lebih merasa aman serta risiko rusaknya hubungan dan keutuhan rumah
20

tangga secara permanan apabila menggunakan sistem peradilan pidana

bisa dihindari.

Pasal 5 UU KDRT menetapkan bahwa bentuk kekerasan dalam

rumah tangga meliputi: fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan

penelantaran rumah tangga. Namun bentuk kekerasan dalam rumah

tangga yang dilakukan oleh suami terhadap isteri yang dapat dimediasi

melalui mekanisme ADR dibatasi hanya kekerasan yang merupakan delik

aduan (Pasal 51, Pasal 52 dan Pasal 53 UU KDRT), serta dampak

kekerasan yang dialami istri tergolong ringan (Pasal 44 ayat (4)) UU

UUKDRT).

Delik aduan adalah suatu penanganan kasus oleh pihak yang

berwajib berdasarkan pada pengaduan korban (Yuarsi Susu Eja, 2002:

87). Delik aduan bisa ditarik kembali apabila pelapor menarik

laporannya, misalnya karena ada perdamaian atau perjanjian damai

yang diketahui oleh penyidik bila telah masuk tingkat penyidikan.

Penarikan aduan atau laporan yang terjadi dalam kasus KDRT

didasarkan pada keadaan korban yang merasa ingin menyelamatkan

rumah tangganya dari perceraian.

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 tahun 2002 Tentang

Kepolisian RI disebutkan bahwa untuk kepentingan umum pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas

dan wewenang dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa Pelaksanaan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam

keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan


21

perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14

Desember 2009 Tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute

Resolusion (ADR), menegaskan bahwa salah satu bentuk

penyelesaian masalah dalam penerapan Polmas adalah penerapan

konsep Alternatif Dispute Resolution (ADR), yakni pola penyelesaian

masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses hukum atau non

litigasi antara lain melalui upaya perdamaian yang pada prinsipnya: (1)

Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian

materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR; (2)

Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati

oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat

kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang

berlaku secara profesional dan proporsional; (3) Penyelesaian kasus

pidana yang menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah

mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan

menyertakan RT-RW setempat; (4) Penyelesaian kasus pidana dengan

menggunakan ADR harus menghormati norma hukum sosial/adat serta

memenuhi azas keadilan; (5) Memberdayakan anggota Polmas dan

memerankan FKPM yang ada di wilayah masing-masing untuk

mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai

kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui

konsep ADR; (6) Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui
22

konsep ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang

kontra produktif dengan tujuan Polmas.

2.4 Kepustakaan Konseptual

Definisi konseptual mengenai implementasi Alternative Dispute

Resolution (ADR) dalam penangan perkara KDRT oleh Unit PPA Polres

Semarang dapat dikonsepsikan sebagai berikut:

a. Kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan terhadap

seseorang, terutama perempuan yang berakibat timbulnya penderitaan

atau kesengsaraan secara fisik, psikologis, seksual dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan

perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara

melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

b. Kekerasan fisik adalah perbutan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh

sakit atau luka berat.

c. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,

rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada

seseorang.

d. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa

pemaksan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual

dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan

hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau

tujuan tertentu.

e. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan

orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menuru hukum yang


23

berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib

memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada

orang tersebut.

f. Alternative Dispute resolution (ADR) adalah Alternatif Penyelesaian

Sengketa di luar pengadilan melalui prosedur yang disepakati para

pihak (pelaku dan korban), dengan menggunakan cara-cara konsultasi,

negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

2.5 Teori Sistem Hukum

Teori yang digunakan untuk menganalisis tentang praktik

penanganan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan cara

Alternative Dispute resolution (ADR) adalah oleh Unit PPA Polres

Semarang adalah Teori Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman.

Menurut Friedman (2009: 15-18), sistem hukum terdiri atas tiga unsur

yang membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh, serta saling

berhubungan membentuk suatu sistem. Ketiga unsur tersebut adalah:

a. Substansi Hukum

Substansi hukum adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan norma-

norma hukum, kaidah-kaidah dan asas-asas hukum baik yang tidak

tertulis maupun yang tertulis. Norma-norma hukum yang dipositifkan

secara tertulis mencakup semua peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Sedangkan norma-norma hukum yang tidak tertulis terdapat di

dalam hukum adat yang juga diakui keberadaan dan keberlakuannya di

dalam UUD NRI 1945.


24

b. Struktur Hukum

Struktur hukum adalah konstruksi atau bangunan hukum yang

diperlukan agar hukum dapat dioperasikan di dalam masyarakat suatu

negara. Struktur hukum meliputi: (1) Kelembagaan hukum yang meliputi

badan peradilan (Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan

Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dan

Pengadilan Militer), Kejaksaan dan Kepolisisan; (2) Aparat Penegak

Hukum yang meliputi: hakim, jaksa, polisi, pengacara/advokat; (3)

sarana dan prasarana; dan (4) masyarakat di mana hukum itu bekerja.

c. Kultur Hukum

Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem

hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur atau

budaya hukum berupa sikap tindak masyarakat beserta nilai-nilai yang

dianutnya. Atau dapat juga dikatakan, bahwa budaya hukum adalah

keseluruhan jalinan nilai sosial yang berkaitan dengan hukum beserta

sikap tindak yang mempengaruhi hukum, seperti adanya rasa malu,

rasa bersalah apabila melanggar hukum dan sebagainya.

Sistem hukum mempunyai peran dan fungsi yang amat penting

dalam penerapan dan penegakan hukum, sehingga baik buruknya atau

efektif tidaknya penerapan dan penegakan hukum sangat ditentukan oleh

baik buruknya sistem hukum yang terdapat di dalam masyarakat suatu

negara. Kepolisian bersama-sama dengan badan peradilan dan kejaksaan

adalah bagian dari struktur hukum yang mengemban fungsi dan tugas

penting di bidang penegakan hukum. Efektif tidaknya pelaksanaan

penerapan dan penegakan hukum salah satunya ditentukan oleh baik


25

buruknya kinerja kepolisian. Dengan demikian, efektif tidaknya

penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di wilayah hukum Polres

Semarang melalui mekanisme Alternative Dispute resolution (ADR),

ditentukan oleh kinerja Unit PPA Polres Semarang.

2.6 Kerangka Berpikir

Menurut ketentuan Pasal 51, 52 dan 53 UU KDRT, perkara KDRT

termasuk dalam kategori delik aduan. Artinya, perkara KDRT baru

dianggap ada apabila telah dilaporkan ke unit PPA Polres Semarang.

Apabila tidak dilaporkan, maka dianggap tidak ada perkara meskipun

sebenarnya ada, dan penyelesaiannya berada di tangan para pihak

sepenuhnya.

Perkara KDRT yang dilaporkan ke unit PPA Polres Semarang akan

ditangani berdasarkan UU KDRT dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisisan Republik Indonesia serta Surat Kapolri No Pol:

B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009 Tentang

Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR) sebagai

dasar hukumnya. Perkara KDRT ditangani melalui dua jalur, yaitu jalur

sistem peradilan pidana (litigasi) dan jalur Alternativie Dispute resolution

(ADR) yang termasuk jalur penyelesaian di luar sistem peradilan (non

litigasi), sesuai dengan karakteristik dan derajat ringan beratnya kasus

sebagaimana yang digambarkan pada ragaan berikut ini:


26

Ragaan Model Penanganan Perkara KDRT oleh Unit PPA Polres Semarang

KDRT
Delik aduan
(Pasal 51, 52, 53 UU KDRT

Pengaduan ke
Unit PPA Polres Semarang

Penanganan Perkara

 Delik aduan (Pasal 51, 52, 53 UU KDRT


 Luka ringan
 Dikehendaki para pihak (pelaku & korban)

Tidak Ya

Sistem Peradilan ADR (Non Litigasi


Pidana (Litigasi)

Asas Praduga Tak Bersalah Asas Praduga Bersalah

Mengutamakan Mengutamakan perlindungan


pemidanaan pelaku dan pemulihan korban

Keadilan formal/prosedural Keadilan Restoratif dan/atau


Keadilan restitutif

Risiko Perceraian
Pemulihan hubungan
rumah tangga
27

BAB III

RANCANGAN PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian

a. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif5, yaitu suatu

penelitian yang mengkaji suatu fenomena secara mendalam tanpa

menggunakan rumus-rumus dan perhitungan statistik, melainkan

penelusuran fakta-fakta empiris secara mendalam dan terarah terhadap

berbagai faktor yang dianggap penting. Dalam penelitian kualitatif

penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif,

yaitu dari hal-hal yang bersifat umum menuju ke hal-hal yang bersifat

khusus. Oleh karena itu, hasil temuan penelitian kualitatif tidak dapat

digeneralisasikan, tetapi merupakan kesimpulan subyektif yang hanya

berlaku untuk suatu kasus tertentu.

Peneliti melakukan studi empiris tentang Implementasi

Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam penanganan perkara

KDRT bertujuan untuk: (1) Memahami tentang implementasi ADR

dalam penanganan perkara KDRT di unit PPA Polres Semarang; (2)

Mengetahui efektifitas mekanisme ADR dalam penanganan perkara

5 Menurut Strauss dan Corbin (2003) penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian

yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan
pengalaman penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks
tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. Supaya dapat menghasilkan
temuan yang benar-benar bermanfaat, maka penelitian kualitatif memerlukan perhatian yang
serius terhadap berbagai hal yang dipandang perlu. Dalam memperbincangkan proses
penelitian kualitatif paling tidak tiga hal. yang perlu diperhatikan, yaitu kedudukan teori,
metodologi penelitian dan desain penelitian kualitatif. (Lihat Lexy J. Moleong. 1989. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya).
28

KDRT; (3) Mampu menganalisis penerapan hukum di dalam

masyarakat.

b. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah serangkaian prinsip-prinsip, kaidah-

kaidah atau norma menuntun peneliti dalam melaksanakan

penelitiannya. Studi ini merupakan penelitian kualitatif yang hasilnya

disajikan secara deskriptif analitis, yaitu suatu pemaparan hasil temuan

penelitian secara rinci dan apa adanya guna mendeskripsikan masalah

hukum tertentu yang terjadi di masyarakat berdasarkan teori-teori ilmu

hukum yang mencakup aspek normatif hukum (peraturan perundang-

undangannya), aspek bekerjanya hukum di massyarakat dan aspek

interaksi dan respon masyarakat terhadap hukum yang berlaku. Hasil

kajian diharapkan dapat melahirkan konsep pemikiran yang dapat

memperbaiki apa yang sudah ada.

3.2 Sumber dan jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari

berbagai sumber antara lain: Unit PPA Polres Semarang, Perpustakaan,

informan atau narasumber terpilih, pemberitaan media baik media cetak

maupun media elektronik dan internet.

Data penelitian terdiri dari dua jenis yaitu:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh peneliti langsung dari

sumbernya dan/atau narasumber berupa hasil wawancara mendalam

(in depth interview) dengan informan atau narasumber terpilih.

Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara


29

yang berisi daftar pertanyaan terbuka dan terarah tentang substansi

permasalahan yang sedang diteliti.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti tidak secara langsung

dari sumbernya yang meliputi:

1) Bahan Hukum Primer

a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga;

b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisn

Republik Indonesia;

c) Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS Tentang

Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR).

2) Bahan Hukum Sekunder

Buku-buku Hukum, Jurnal, Artikel dan Majalah Hukum, pendapat

ahli, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan subjek dan objek

yang diteliti, misalnya dokumen tentang pengaduan perkara KDRT,

identitas pelaku, korban dan saksi, serta internet.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian dikumpulkan melalui dua cara yaitu: (1) data

primer dikumpulkan melalui wawancara dengan informan atau

narasumber terpilih; (2) data sekunder yang meliputi bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber seperti

perpustakaan, dokumen atau catatan tentang perkara KDRT di unit PPA

Polres Semarang yang tidak bersifat rahasia dan internet.

Informan atau narasumber terpilih yang diwawancarai untuk

memperoleh data primer antara lain:


30

a. Kanit PPA Polres Semarang

b. Penyidik di Unit PPA Polres Semarang

c. Kanit Bina Mitra Polres Semarang

d. Pelaku KDRT dan keluarganya

e. Korban KDRT dan keluarganya

3.4 Teknik Analisa Data

Proses analisis data dilaksanakan melalui beberapa langkah

sebagai berikut: (1) data hasil wawancara ditranskipsikan, jawaban

narasumber yang tidak relevan dengan penelitian dipilah dan disisihkan

(direduksi); (2) data yang relevan kemudian disusun secara sistematis dan

ditampilkan dalam bentuk tulisan (data display); (3) data kemudian

dianalisis dan dinterpretasikan khususnya mengenai hubungan dari

berbagai faktor menjadi penyebab terjadinya fenomena yang diteliti.

Hasil interpretasi kemudian dikaitkan dengan teori yang ada

sehingga interpretasi tidak bersifat bias tetapi dapat dijelaskan oleh teori

tersebut. Dalam melakukan interpretasi, peneliti tidak boleh lepas dari

kejadian yang ada pada tatanan penelitian. Disamping itu, peneliti harus

mampu mengkaitkan temuan penelitian dengan berbagai teori yang

relevan karena penelitian kualitatif berpegang pada konsep triangulasi.

Triangulasi adalah suatu teknik pengujian keabsahan data

dengan cara melakukan pemeriksaan silang (cross check) atas informasi

yang diperoleh dari suatu sumber dengan informasi yang diperoleh dari

sumber lain. Terdapat dua teknik triangulasi yaitu; (1) triangulasi sumber,

yaitu pemeriksaan silang informasi yang diperoleh dari seorang

narasumber dengan informasi yang diperoleh dari narasumber lain yang


31

tidak saling mengenal; (2) triangulasi peneliti, yaitu pemeriksaan silang

informasi yang diperoleh dengan informasi dari peneliti lain.

3.5 Jadwal Penelitian

Minggu Minggu Minggu Minggu


No Nama Kegiatan
I II III IV
1.  Penyusunan Proposal
 Seminar Proposal

2.  Penelitian lapangan
 Penuyusunan Hasil Penelitian
3.  Seminar Hasil penelitian
 Penyusunan Skripsi
4. Sidang Ujian Skripsi
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku Hukum

Supriadi C. W. Perempuan dan Kekerasan dalam Perkawinan, Mandar


Maju, Bandung, 2001.

Moleong J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remadja Karya Bandung:


1989.

ND Fadjar Mukti. & Achmad Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif &
Empiris, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta : 2010

Prayudi, Guse, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah


Tangga, Merkid Press, Yogyakarta: 2008.

A Syukur, Fatahillah, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah


Tangga) Teori dan praktek Di Pengadilan Indonesia, Mandar Maju,
Bandung: 2011.

Arief, Barda Nawawi, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan,


Pustaka Magister, Semarang: 2010.

Soeroso Moerti Hadiati, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif


Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta: 2010.

Mansyur Ridwan, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT (kekerasan dalam


Rumah Tangga),Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta: 2010.

Susi Eja Yuarsi, Menggagas Tempat Yang Aman Bagi Perempuan Cet1, Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta: 2002.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan


Dalam Tumah Tangga

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisisn Republik Indonesia

Surat Edaran Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tentang


Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR)

C. Jurnal, makalah dan Artikel

Tedjosaputro, Liliana dan Krismiyarsi, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan


Melalui Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana
KDRT. Jurmal lriminologi Vol. 8 No. 1, Mei 2012.
2

Fakhruzy Agung, Ruba’i Masruchin dan Djatmika Prija, Mediasi Penal Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang
Dilakukan Suami Terhadap Istri, Universitas Brawijaya, Malang: 2010.

Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,


Yogyakarta: 2003.

Y. Bawole Grace, Upaya Penanganan Kasus KDRT Berdasarkan KUHP Pasca


Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Jane Alputila Marlyn , Akub Syukri, Sampurno Soewondo Slamet, Peran


Kepolisian Dalam Proses Penyidikan Kasus Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Di Polres Ambon, 2010

D. Internet

http://archive.kaskus.co.id/thread/13741386/0/penanganan-kasus-kdrt-oleh
kepolisian

http://catatan-tahun-2005.com

http://wings.buffalo .edu/law/ bclc/bclr.htm

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen16 halaman
    Bab Ii
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Proposal Lengkap 240712aa
    Proposal Lengkap 240712aa
    Dokumen86 halaman
    Proposal Lengkap 240712aa
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen18 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Proposal Lengkap 240712aa
    Proposal Lengkap 240712aa
    Dokumen86 halaman
    Proposal Lengkap 240712aa
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • BAB I New
    BAB I New
    Dokumen20 halaman
    BAB I New
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab 123 Usulan Penelitian
    Bab 123 Usulan Penelitian
    Dokumen54 halaman
    Bab 123 Usulan Penelitian
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen18 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    Dokumen62 halaman
    BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    Dokumen62 halaman
    BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Proposal
    Proposal
    Dokumen49 halaman
    Proposal
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Proposal Pinus
    Proposal Pinus
    Dokumen35 halaman
    Proposal Pinus
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • BAB IV-New
    BAB IV-New
    Dokumen16 halaman
    BAB IV-New
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I-Vi
    Bab I-Vi
    Dokumen13 halaman
    Bab I-Vi
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I-Vi
    Bab I-Vi
    Dokumen33 halaman
    Bab I-Vi
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Skripsi Shienny
    Skripsi Shienny
    Dokumen102 halaman
    Skripsi Shienny
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 2 3
    Bab 1 2 3
    Dokumen46 halaman
    Bab 1 2 3
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat