Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam upaya mencapai tujuan pembangunan, tentunya kapasitas

finansial turut menjadi pertimbangan, artinya faktor pembiayaan juga sebagai

penentu penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan, pelaksanaan

pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah. Oleh sebab itu,

berbagai sektor yang berpotensi digerakkan sebagai sumber pendapatan negara,

salah satunya sektor perpajakan.


Berdasarkan data Departemen Keuangan Republik Indonesia, persentase

penerimaan pajak dalam APBN setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Hal

ini terbukti pada 2009, penerimaan pajak dalam APBN sebesar 725,84 triliun

rupiah. Dengan demikian pajak berperan 74% dari keseluruhan penerimaan APBN

yang sebesar 985,73 triliun rupiah. Sedangkan pada 2010 dengan penerimaan

APBN sebesar 949,66 triliun rupiah, kontribusi pajak mengalami peningkatan

menjadi 78%, yakni sebesar 742,74 triliun rupiah.


Terkait dengan penerimaan pajak, tidak dapat dipungkiri bahwa Wajib

Pajak (WP) badan maupun perseorangan cenderung untuk selalu membayar pajak

seminimal mungkin. Hal tersebut dikarenakan WP selalu menganggap bahwa

membayar pajak merupakan suatu beban. Kondisi tersebut tentunya menjadi

persoalan bagi pemerintah dan segenap jajaran Direktorat Jenderal Pajak.


Berbagai upaya pun akhirnya ditempuh oleh pemerintah. Langkah

pemerintah dimulai dengan melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh

pada tahun 1983, dan sejak saat itulah Indonesia menganut sistem self assesment,

1
yaitu suatu sistem yang memberikan kepercayaan kepada WP untuk menentukan

sendiri besarnya pajak terutang. Sistem tersebut secara tidak langsung tentunya

memberikan peluang kepada WP untuk melakukan manajemen pajak agar dapat

ditekan serendah mungkin tanpa melakukan kegiatan yang sifatnya melanggar

hukum.
Disamping itu, dalam rangka meningkatkan kepatuhan wajib pajak

sebagai bagian dari upaya pengamanan penerimaan pajak, mengacu kepada

Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan mengoptimalkan

penerimaan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang disampaikan wajib pajak. Hal

ini dikarenakan penyampaian SPT merupakan salah satu indikator untuk

mengukur kepatuhan wajib pajak


Berdasarkan data Ditjen Pajak, pada 2010, SPT PPh yang diterima Ditjen

Pajak sebanyak 8.202.309, dengan jumlah WP yang terdaftar sebanyak 15.911.576

dan wajib pajak yang wajib melaporkan SPT sebanyak 14.101.933 sehingga rasio

kepatuhan sebesar 58,16%. Pencapaian rasio kepatuhan pada 2010 tersebut sudah

melebihi target di 2010 yang sebesar 57,5%. Pada tahun 2009 SPT PPh yang

diterima Ditjen Pajak mencapai 5.413.114 dari WP terdaftar yang wajib

melaporkan SPT sebanyak 9.996.620 WP dari WP terdaftar sebanyak 10.682.099

sehingga rasio kepatuhan di 2009 sebesar 54,15%. Sedangkan di 2009, terdapat

2.097.849 SPT yang diterima Ditjen Pajak. Dengan WP terdaftar sebanyak

7.137.023 dan WP terdaftar yang wajib melaporkan SPT sebanyak 6.341.828

sehingga rasio kepatuhan sebesar 33,08%.


Namun demikian, meski setiap tahun terjadi peningkatan penyampaian

SPT Tahunan, hal tersebut belum dapat menunjukkan kepatuhan wajib pajak

secara keseluruhan. Idealnya, peningkatan jumlah basis Wajib Pajak Orang

2
Pribadi akan berbanding lurus dengan besarnya penerimaan pajak berdasar SPT

yang telah dilaporkan.


Pemungutan pajak menuntut peran serta aktif dari pihak-pihak yang

terkait. Disamping peran serta aktif dari petugas perpajakan, juga dituntut

kesadaran dari para wajib pajak itu sendiri. Salah satu pemicunya adalah asas

perpajakan, yaitu bahwa hasil pemungutan pajak tersebut tidak langsung

dinikmati oleh para wajib pajak. Hal ini disebabkan masyarakat tidak memahami

kontraprestasi dari uang yang dikeluarkan untuk membayar pajak tersebut

diwujudkan dalam bentuk fasilitas-fasilitas publik.


Upaya-upaya untuk membangun kesadaran wajib pajak dalam

melaksanakan kewajiban perpajakannya telah dilakukan oleh instansi yang

berwenang, misalnya dengan melakukan penyuluhan. Hal ini dilakukan

mengingat masyarakat masih belum menyadari manfaat dari kepatuhannya

membayar pajak. Sementara kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak

merupakan hal penting yang menentukan keberhasilan dalam menghimpun dana

untuk pembiayaan negara.


Oleh karenanya, sangat relevan jika menempatkan kepatuhan dalam

pemenuhan kewajiban perpajakan dari para wajib pajak bukan hanya sekedar

sebagai wacana. Lebih dari itu, sudah seharusnya juga memandang kepatuhan

dalam melapor dan membayar pajak sebagai objek sorotan secara objektif.

Perlakuan tersebut memang tidak berarti akan menempatkan wajib pajak dipihak

yang lebih baik, tetapi perlu menjadi analisa lebih lanjut karena ketidakpatuhan

masyarakat dalam melapor dan membayar Pajak Penghasilannya tentunya ada

faktor-faktor penyebabnya.

3
Kepatuhan perpajakan pada prinsipnya adalah tindakan wajib pajak

dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam

suatu negara (Maruf, 2009). Namun, sampai sekarang masih banyak warga

masyarakat yang beranggapan bahwa pajak merupakan pungutan bersifat paksaan

yang merupakan hak istimewa pemerintah dengan tidak memberikan

kontraprestasi langsung kepada pembayar pajak (Judissono, 1997:12). Adanya

kondisi seperti ini tidak mendukung upaya menumbuhkembangkan kesadaran

masyarakat untuk menjadi wajib pajak yang patuh membayar pajak, tetapi akan

menjadikan adanya kecenderungan untuk berusaha menghindar dari kewajiban

pajak.
Persepsi keliru tentang pajak ini, dapat mempengaruhi kepatuhan wajib

pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, pemerintah

kemudian melakukan reformasi pajak (tax reform) yang bertujuan agar sistem

perpajakan dapat mengalami penyederhanaan baik yang mencakup jenis pajak,

tarif pajak dan cara pembayaran kepada aparat pajak. Dengan demikian

diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak.


Salah satu produknya, Undang-undang PPh No. 36 Tahun 2008 yang

berlaku efektif mulai tanggal 01 Januari 2009. Dimana poin penting yang

tercantum dalam undang-undang tersebut adalah penurunan tarif Pajak

Penghasilan (tarif PPh). Sebagaimana diketahui tarif PPh Badan menjadi 28% dan

pada 2010 turun lagi menjadi 25% dari sebelumnya tarif progresif 10%-30%.

Sedangkan untuk tarif PPh Orang Pribadi mengalami penurunan 35% tertinggi

4
menjadi 30% dan semakin diuntungkan dengan perubahan lapisan penghasilan

penghasilan kena pajak.


Beberapa penelitian mengenai kepatuhan wajib pajak telah dilakukan

oleh para peneliti, seperti penelitian yang dilakukan oleh Mas’ut (2004). Mas’ut

(2004) melakukan studi empiris tentang kepatuhan wajib pajak orang pribadi

sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Pajak Tahun 2000. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan setelah

perubahan undang-undang pajak penghasilan tahun 2000 (perubahan tarif pajak

penghasilan tahun 2000 dan perubahan penghasilan tidak kena pajak), dapat

meningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi.


Kemudian Komalasari dan Nashih (2005) melakukan studi ekperimental

mengenai tingkat kepatuhan wajib pajak yang diukur dengan menggunakan jenis

income (endowed income vs earned income) dan perubahan tarif pajak. Hasil

penelitian tersebut mengimplikasikan bahwa wajib pajak memperlakukan

pendapatannya secara berbeda tergantung pada bagaimana ia memperoleh

pendapatan tersebut. Ketika wajib pajak menerima pendapatan tanpa perlu

melakukan kerja keras ia cenderung patuh terhadap peraturan perpajakan.

Sebaliknya ketika wajib pajak menerima pendapatan dengan kerja keras maka

cenderung berupaya untuk memaksimalkan utilitas (payoff)nya. Namun manakala

tarif pajak yang dikenakan meningkat, penerima earned income akan

mempertimbangkan peningkatan resiko yang mungkin timbul akibat penggelapan

pajak. Oleh karenanya, pemeriksaan pajak menjadi salah satu instrumen untuk

meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun material dari

peraturan perpajakan, yang tujuan utamanya untuk menguji dan meningkatkan

5
kepatuhan perpajakan seorang wajib pajak. Kepatuhan ini akan berdampak baik

secara langsung maupun tak langsung pada penerimaan pajak.


Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Suryadi (2006) tentang

model hubungan kausal kesadaran, pelayanan, kepatuhan wajib pajak dan

pengaruhnya terhadap kinerja penerimaan pajak. Hasil penelitiannya adalah

kepatuhan wajib pajak yang diukur dengan: pemeriksaan pajak, penegakan

hukum, dan kompensasi pajak berpengaruh signifikan terhadap kinerja

penerimaan pajak.
Penelitian ini adalah replikasi dari penelitian dari John Hutagaol, Wing

Wahyu Winarno dan Arya Pradipta yang berjudul “Strategi Meningkatkan

Kepatuhan Wajib Pajak”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kepatuhan

wajib pajak dipengaruhi oleh jenis pendapatan, penegakan hukum perpajakan,

pemeriksaan, transparansi dan akuntabilitas, dan kompensasi pajak. Penelitian ini

menambahkan variabel lain yang dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak,

yakni perubahan tarif pajak (Mas’ut, 2004).


Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, bahwa berhasil atau

tidaknya pemerintah menghimpun dana dari sektor pajak sangat tergantung pada

kepatuhan dari wajib pajak, maka perlu secara intensif dikaji tentang faktor-faktor

yang mempengaruhi kepatuhan pajak dalam membayar pajak penghasilan,

khususnya pada wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan uraian tersebut penelitian

ini mengambil judul: “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Membayar Pajak Penghasilan

(Studi Empiris pada Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha di Kota

Jepara)”.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

6
Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :


1. Apakah perubahan tarif pajak penghasilan berpengaruh terhadap

kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam membayar pajak penghasilan?


2. Apakah jenis pendapatan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak

orang pribadi dalam membayar pajak penghasilan?


3. Apakah akuntabilitas berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang

pribadi dalam membayar pajak penghasilan?


4. Apakah transparansi berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang

pribadi dalam membayar pajak penghasilan?


5. Apakah pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak

orang pribadi dalam membayar pajak penghasilan?


6. Apakah penegakan hukum pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib

pajak orang pribadi dalam membayar pajak penghasilan?


7. Apakah kompensasi pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak

orang pribadi daalam membayar pajak penghasilan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian dan penulisan skripsi ini

untuk mengetahui :
1. Untuk menganalisis pengaruh perubahan tarif pajak terhadap kepatuhan

wajib pajak dalam membayar pajak penghasilan.


2. Untuk menganalisis pengaruh jenis pendapatan terhadap kepatuhan

wajib pajak dalam membayar pajak penghasilan.


3. Untuk menganalisis pengaruh akuntabilitas terhadap kepatuhan wajib

pajak dalam membayar pajak penghasilan


4. Untuk menganalisis pengaruh transparansi terhadap kepatuhan wajib

pajak dalam membayar pajak penghasilan


5. Untuk menganalisis pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan

wajib pajak dalam membayar pajak penghasilan.

7
6. Untuk menganalisis pengaruh penegakan hukum pajak terhadap

kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak penghasilan.


7. Untuk menganalisis pengaruh kompensasi pajak terhadap kepatuhan

wajib pajak dalam membayar pajak penghasilan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris dan

memberikan sumbangan dalam pengembangan teori perpajakan.

b. Manfaat Praktik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai

tindakan yang dapat diambil oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara

guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi yang

dilayaninya.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Theory of Planned Behavior (TPB)

Teori yang menjadi melandasi penelitian ini adalah Theory of Planned

Behavior. Theory of Planned Behavior menjelaskan bahwa adanya niat untuk

berperilaku dapat menimbulkan perilaku yang ditampilkan oleh individu.

Sedangkan niat untuk berperilaku itu muncul karena ditentukan oleh 3 faktor

penentu yaitu: (1) behavioral beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari

suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut (beliefs strength and outcome

evaluation), (2) normatif beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang

lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs and

motivation to comply), dan (3) control beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan

hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan

(control beliefs) dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung

dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power). Hal-hal yang mungkin

menghambat pada saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari dalam diri sendiri

maupun lingkungan. Secara berurutan, behavioral beliefs menghasilkan sikap

positif atau negatif terhadap suatu objek, normative beliefs menghasilkan tekanan

sosial yang dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subyektif

(subyektif norm) dan control beliefs menimbulkan perceived behavioral control

atau kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (Ajzen, 2002: 2).


TPB tidak secara langsung berhubungan dengan jumlah atas kontrol yang

sebenarnya dimiliki oleh seseorang. Namun, teori ini lebih menekankan pengaruh-

9
pengaruh yang mungkin dari kontrol perilaku yang dipersepsikan dalam

pencapaian tujuan-tujuan atas sebuah perilaku. Jika niat-niat menunjukkan

keinginan seseorang untuk mencoba melakukan perilaku tertentu, kontrol yang

dipersepsikan lebih kepada mempertimbangkan hal-hal realistik yang mungkin

terjadi.
Alasan dipilihnya model kerangka Theory of Planned Behavior ini adalah

karena model Theory of Planned Behavior merupakan suatu model teori perilaku

yang telah terbukti memberikan penjelasan signifikan bahwa sikap, norma

subyektif dan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan berpengaruh terhadap

perilaku tidak patuh wajib pajak orang pribadi.

2.1.2 Kepatuhan Wajib Pajak

2.1.2.1 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut Gunadi (2005:4) pengertian kepatuhan wajib pajak (Tax

Complience) adalah bahwa wajib pajaknya sesuai dengan aturan-aturan yang

berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan

ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.

Sedangkan menurut Zain (2003:31) kepatuhan wajib pajak adalah suatu iklim

kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin dalam

situasi dimana wajib pajak paham dan berusaha untuk memahami semua

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir pajak

dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar

dan membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.


Ada dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan

material:

10
a. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi

kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan.


b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif

atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai

isi undang-undang perpajakan.


Menurut Nurmantu (2003), kepatuhan perpajakan didefinisikan sebagai

“suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan

melaksanakan hak perpajakannya.” Terdapat dua macam kepatuhan menurut Safri

Nurmantu, yakni:
“Kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah
suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalnya ketentuan
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh)
Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat
Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan sebelum atau pada tanggal
31 Maret maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, akan tetapi isinya
belumtentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan dimana wajib
pajak secara substantive memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni
sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi
kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib
pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT)
sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir”
.
Menurut Nasucha (2004), kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari

kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan

kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan dan

pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Erard

dan Feinstin (1994) seperti dikutip Chaizi Nasucha, menggunakan teori psikologi

dalam kepatuhan wajib pajak, yaitu rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib

pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan

pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.

11
Isu kepatuhan dan hal-hal yang menyebabkan ketidakpatuhan serta upaya

untuk meningkatkan kepatuhan menjadi agenda penting di negara-negara maju,

apalagi di negara negara berkembang. Isu kepatuhan menjadi penting karena

ketidakpatuhan secara bersamaan menimbulkan upaya menghindarkan pajak, baik

dengan fraud dan illegal yang disebut tax evasion, maupun penghindaran pajak

tidak dengan fraud dan dilakukan secara legal yang disebut tax avoidance. Pada

akhirnya tax evasion dan tax avoidance mempunyai akibat yang sama, yaitu

berkurangnya penyetoran pajak ke kas Negara.


Menurut Djoko Slamet Surjoputro dan Junaedi Eko Widodo yang dikutip

oleh Sofyan (2005), pada hakekatnya kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh

kondisi sistem administrasi perpajakan yang meliputi tax service dan tax

enforcement. Langkah-langkah perbaikan administrasi diharapkan dapat

mendorong kepatuhan wajib pajak melalui dua cara yaitu pertama, wajib pajak

patuh karena mendapatkan pelayanan yang baik, cepat, dan menyenangkan serta

pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Kedua,

wajib pajak akan patuh karena mereka berpikir bahwa mereka akan mendapat

sanksi berat akibat pajak yang tidak mereka laporkan terdeteksi sistem informasi

dan administrasi perpajakan serta kemampuan crosschecking informasi dengan

instansi lain.

2.1.2.2 Kriteria Wajib Pajak Patuh

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

192/PMK.03/2007 tentang tata cara penetapan wajib pajak dengan kriteria tertentu

dalam rangka pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam

pasal 1 disebutkan bahwa wajib pajak dengan kriteria tertentu yang selanjutnya

12
disebut sebagai wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang memenuhi persyaratan

sebagai berikut:
a. Tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan;
b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan

pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pajak;


c. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan

keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3

(tiga) tahun berturut-turut; dan


d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.


Sehubungan dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria

Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak,

Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak

Nomor SE-2/PJ./2008 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria

Tertentu. Dalam surat edaran tersebut tertera definisi wajib pajak patuh dan juga

kriteria wajib pajak patuh yang tertuang dalam bagian I nomor 1 dan 2 sebagai

berikut:
a. Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal

Pajak sebagai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana

dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007

tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam

Rangka Pengemnbalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.


b. Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan

13
Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan

Pembayaran Pajak adalah:


1) Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan, meliputi:
a) Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tepat waktu dalam 3 (tiga)

tahun terakhir;
b) Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun

terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3

(tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan
c) Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada

butir 2 telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian

Surat Pemberitahuan Masa pajak berikutnya;


2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali

tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda

pembayaran pajak, meliputi keadaan pada tanggal 31 Desember tahun

sebelum penetapan sebagai wajib pajak patuh dan tidak termasuk utang

pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan.


3) Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan

keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3

(tiga) tahun berturut-turut, dengan ketentuan:


a) Laporan keuangan yang diaudit harus disusun dalam bentuk panjang

(long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan

fiskal bagi wajib pajak yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan

Tahunan; dan
b) Pendapat Akuntan atas Laporan Keuangan yang diaudit ditandatangani

oleh Akuntan Publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga

pemerintah pengawas Akuntan Publik; dan

14
4) Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang

perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

2.1.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan Wajib

Pajak

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak

orang pribadi dalam membayar pajak penghasilan adalah :


a. Tarif Pajak (Tax Rate)
Tarif pajak menurut Judisusseno (2002) didefinisikan sebagai persen

tertentu yang mengurangi jumlah pendapatan tertentu wajib pajak, atau tarif

yang digunakan untuk menghitung pajak terutang. Tarif pajak sebagai dasar

perhitungan dan pengenaan pajak. Pada lapisan penghasilan yang sama, tinggi

atau rendahnya tarif pajak akan berpengaruh terhadap besar atau kecilnya

beban pajak. Besarnya beban pajak ini akan menghasilkan sisa penghasilan

yang dapat dinikmati oleh wajib pajak menjadi lebih kecil dan sebaliknya.
b. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah batas hidup minimum yang

wajib dipenuhi oleh seseorang untuk dapat hidup layak sehingga tidak dapat

diganggu gugat oleh siapapun. PTKP merupakan salah satu fasilitas dalam

pelaksanaan kewajiban pajak penghasilan. PTKP bersifat variatif disesuaikan

dengan kondisi wajib pajak yang bersangkutan.


c. Jenis Penghasilan
Jenis penghasilan menurut Boylan dan Sprinkle (2001) dalam Puput dan

Nashih (2005), penghasilan atau income dibedakan menjadi dua, yaitu

penghasilan yang diterima tanpa perlu melakukan kerja keras (endowed

15
income), dan penghasilan yang diterima setelah melakukan kerja keras (earned

income).
d. Pemeriksaan Pajak
Definisi pemeriksaan menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983

tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah

dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000, Pasal 1 angka 24, adalah :
“Serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau

keterangan lain untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan

dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan

perundang-undangan”.
e. Penegakan Hukum
Definisi hukum pada dasarnya adalah himpunan peraturan larangan dan

karena itu harus ditaati oleh masyarakat. Dalam kamus Bahasa Indonesia,

penegakan diartikan sebagai pelurusan, dari kata tegak yang artinya lurus.

Sedangkan dalam kamus Bahasa Inggris disebut enforce yang artinya

melaksanakan, memaksa, mendesak dan efforcement artinya pelaksanaan,

pemaksaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum yakni

melaksanakan hukum baik dengan cara memaksakan maupun mendesak agar

hukum itu dapat dijalankan secara lurus.


Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya-upaya agar

norma-norma hukum berfungsi secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam

hubungan masyarakat dan negara. Penegakan hukum secara umum bertujuan

untuk melakukan tindakan korektif terhadap penyimpangan norma-norma

hukum yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat

dan bernegara. Upaya penegakan hukum berperan dalam meningkatkan

16
kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan peraturan perpajakan, mengingat

di Indonesia menganut Self Assesment System.


f. Kompensasi Pajak
Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak

Nomor PER-7/PJ/2011 tentang Tata Cata Pengembalian Kelebihan

Pembayaran Pajak, kompensasi utang pajak adalah pembayaran Utang Pajak

yang dananya berasal dari kelebihan pembayaran pajak yang telah disetor ke

rekening Kas Negara melalui penerbitan SPMKP dengan SP2D.

2.1.3 Tinjauan Umum tentang Perpajakan

2.1.3.1 Pengertian Perpajakan

Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau

negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang

berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai

pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pajak adalah iuran atau

pungutan wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak)

untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa

yang dapat ditunjuk secara langsung (Suprianto, 2011a:1). Sementara pengertian

pajak menurut Andiani yang telah diterjemahkan oleh Brotodiharjo yaitu iuran

kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib

membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi

kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk

membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang

menyelenggarakan pemerintah (Waluyo, 2003:4).


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada

pajak, yaitu:

17
a. Pajak peralihan kekayaan dari orang atau badan ke pemerintah.
b. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang, dan pelaksanaannya dapat bersifat

dipaksakan.
c. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi

langsung secara individual yang diberikan kepada pemerintah.


d. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah.
e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila

pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai

investasi publik.
f. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari

pemerintah.
g. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.

2.1.3.2 Fungsi Pajak

Berdasar ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, terlihat adanya dua

fungsi pajak (Suprianto, 2011a:6) yaitu:


a. Fungsi Penerimaan (Budgeteir)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi

pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.


b. Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan

di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu pengenaan pajak yang lebih

tinggi atas barang mewah.

2.1.3.3 Wajib Pajak

Wajib pajak merupakan orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan

kewajiban perpajakan, termasuk memungut pajak atau memotong pajak tertentu.

Seseorang atau suatu badan adalah wajib pajak apabila terkena ketentuan

18
mengenai subyek pajak dan obyek pajak dalam perundang-undangan perpajakan

yang bersangkutan (Drs Kustadi Arinta, 1984:6).


Jadi dapat disimpulkan bahwa, Wajib Pajak adalah orang atau badan yang

tidak hanya telah memenuhi syarat-syarat subjektif tapi secara sekaligus

memenuhi syarat-syarat objektif. Orang atau Badan (Subjek Pajak) yang hanya

memenuhi syarat subjektif saja belum dapat dikatakan sebagai Wajib Pajak sebab

untuk menjadi Wajib Pajak, Subjek Pajak juga harus memenuhi syarat objektif,

yaitu menerima atau memperoleh penghasilan kena pajak (Supriyanto, 2011:5).

2.1.3.4 Kewajiban Perpajakan

Kewajiban perpajakan adalah merupakan perwujudan dari pengabdian dan

sarana peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama

melaksanakan perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan

pembangunan nasional dengan tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaannya

dipercayakan sepenuhnya kepada anggota masyarakat (Drs. Kustadi Arianta,

1984:4).

2.1.3.5 Sistem Perpajakan

Sistem perpajakan suatu negara terdiri atas tiga unsur, yakni Tax Policy,

Tax Law dan Tax Administration. Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metoda

atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat
mengalir ke kas Negara. Sistem pemungutan pajak menurut Ilyas dan Burton

(2004) yakni:
a. Official Assesment System yakni sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak

yang harus dibayar (pajak yang terutang) olehseseorang.

19
b. Semi Self Assessment System yakni suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang kepada fiskus dan Wajib Pajak untuk menentukan

besarnya utang pajak.


c. Self Assessment System yakni suatu sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan,

menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak.


d. Witholding System suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan

wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak

terutang.

2.1.3.6 Definisi Tarif Pajak (Tax Rate)

Judisusseno (2002) mengatakan bahwa tax rate bisa jadi didefinisikan

sebagai persen tertentu yang mengurangi jumlah pendapatan tertentu Wajib Pajak.

Atau tarif yang digunakan untuk menghitung pajak terutang (tax liability). Tarif

Pajak sebagai dasar perhitungan dan pengenaan pajak. Misalnya pada Maret 2008

PT. Astragraphia memperoleh penghasilan dari jasa servis mesin photocopy

sebesar Rp 10,000,000. Jumlah penghasilan bersih setelah dipotong PPh Pasal 23

adalah sebesar Rp 9,550,000. PT. Astragraphia menerima bukti potong PPh Pasal

23 sebesar Rp 450,000 yang dihitung berdasarkan tarif efektif 15% x 30% x Rp

10,000,000 atau 4.5% x Rp 10,000,000.


Pada lapisan penghasilan yang sama, tinggi atau rendahnya tax rate akan

berpengaruh terhadap besar atau kecilnya beban pajak. Besarnya beban pajak ini

akan menghasilkan sisa penghasilan yang dapat dinikmati oleh wajib pajak

menjadi lebih kecil dan sebaliknya. Dari contoh diatas, pada tingkat pendapatan

yang sama Rp 10,000,000, di tahun 2009 pendapatan bersih setelah pajak PT.

20
Astragraphia yang diperoleh dari jasa servis mesin photocopy akan meningkat

sebesar Rp 250,000 dibandingkan tahun 2008 atau menjadi sebesar Rp 9,800,000.

Peningkatan pendapatan bersih sebesar Rp 250,000 ini disebabkan oleh penurunan

tax rate PPh Pasal 23 atas jasa servis mesin photocopy menjadi 2% atau 2.5%

lebih rendah dibandingkan tahun 2008.


Menurut Musgrave dalam Miyasto (1992) mendefinisikan tax rate dalam

sistem perpajakan adalah sistem distribusi beban pajak pada berbagai golongan

pendapatan dalam masyarakat. Pada umumnya keadilan dalam sistem pajak selalu

didasarkan pada tolok ukur kemampuan seseorang untuk membayar pajak, atau

dengan kata lain didasarkan pada tingkat pendapatan atau pengeluarannya. Sistem

pajak yang ada harus dapat menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat

pendapatan seseorang, semakin besar proporsi beban pajak yang harus

ditanggungnya.
Pajak Penghasilan (PPh) mempunyai lapisan tarif yang lebih banyak

dibandingkan dengan golongan pajak lainnya, seperti Pajak Pertambahan Nilai &

Pajak Penjualan (PPN & PPn BM), Pajak Bumi & Bangunan (PBB), dan Bea

Meterai (BM). Besarnya tarif PPh ini mengikuti lapisan penghasilan yang

dijadikan Dasar Pengenaan Pajak / DPP (Tax Imposition Base) sebagai tolok ukur

kemampuan seseorang. Atau dengan kata lain, orang dengan jumlah pendapatan

besar akan dikurangi dengan beban/biaya pajak yang lebih besar daripada orang

yang berpendapatan lebih sedikit. Sejalan dengan pajak sebagai fungsi distribusi,

yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam

masyarakat.
Tax rate dalam penelitian ini adalah tarif PPh Pasal 21 menurut Pasal 17

Undang-undang PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku efektif sejak Januari 2009

21
dan Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Beban/biaya PPh menurut Undang-

undang PPh baru (tahun 2009) adalah PKP dikalikan dengan ketentuan tarif Pasal

17 Undang-undang No. 36 Tahun 2008. Sedangkan beban/biaya PPh menurut

Undang-undang PPh lama (tahun 2008) adalah PKP dikalikan dengan ketentuan

tarif Pasal 17 Undang-undang No. 17 Tahun 2000.

2.1.3.7 Pajak Penghasilan

Berdasarkan ketentuan pasal 1 UU No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah

terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 pajak penghasilan adalah pajak yang

dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya

dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam

bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subyektifnya dimulai atau berakhir

dalam tahun pajak. Subjek pajak penghasilan diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan

ayat (2) UU RI No 36 Tahun 2008 tersebut.

2.1.3.8 Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Pajak penghasilan orang pribadi adalah pajak yang dikenakan terhadap

subjek pajak orang pribadi atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya

dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam

bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir

dalam tahun pajak.


Berdasarkan UU, wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau

pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 4.800.000.000,00 dalam

satu tahun boleh menyelenggarakan pencatatan, kecuali wajib pajak yang

bersangkutan memilih untuk melakukan pembukuan. Wajib pajak yang memiliki

peredaran bruto di atas Rp 4.800.000.000,00 dalam satu tahun wajib

22
menyelenggarakan pembukuan. Wajib pajak yang mengadakan pencatatan,

menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan

menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Wajib pajak yang

mengadakan pembukuan menghitung penghasilan kena pajaknya dengan

mengurangkan penghasilan bruto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan biaya

yang dapat dikurangkan dan penghasilan tidak kena pajak.

2.1.4 Tinjauan tentang Reformasi Perpajakan

Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek

perpajakan. Reformasi pajak dilakukan agar sistem perpajakan dapat lebih efektif

dan efisien, sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing

tinggi dengan negara lain (Gunadi 2010). Mason (1993) menyebutkan bahwa

tingkat keberhasilan sebuah program reformasi ekonomi itu sangat tergantung

pada dua hal, yaitu kebijakan pajak mendapat kepercayaan (credibility of policy)

dan kredibilitas pembuat kebijakan (credibility of policy makers).


Indonesia telah mulai melaksanakan reformasi perpajakan sejak tahun

1983. Pajak bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan sosial dan ekonomi

Negara dan masyarakatnya. Peningkatan penerimaan menjadi tuntutan

pemerintah, akan tetapi perbaikan dalam aspek perpajakan menjadi alasan

mengapa reformasi perpajakan dilakukan dari waktu ke waktu, baik itu

penyempurnaan dalam kebijakan maupun dalam administrasinya. Bila dilihat dari

segi anggaran secara umum hasil reformasi perpajakan telah dapat memberikan

kontribusi bagi kecukupan penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN). Karena tuntutan akan kecukupan anggaran di APBN harus

dipenuhi dalam pemahaman good governance, maka sejak tahun 2002 pemerintah

23
melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memulai melaksanakan modernisasi

administrasi perpajakan sebagai bagian dan merupakan salah satu dasar yang

kokoh dari reformasi perpajakan (Gunadi, 2010). Dengan demikian, diharapkan

prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan (equality), kesederhanaan

(simplicity), dan keadilan (fairness) dapat tercapai, sehingga tidak hanya

berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap

perkembangan kondisi ekonomi makro.


Gillis (1989) menggunakan taksonomi untuk mengklasifikasikan

reformasi perpajakan berdasarkan program-program reformasi perpajakan dengan

6 (enam) atribut yang menjadi ciri-ciri dasarnya sehingga dapat diperoleh ratusan

konfigurasi yang berbeda dari reformasi perpajakan. Keenam atribut tersebut

yakni:
a. Breadth of reform; reformasi perpajakan dapat berfokus pada reform of tax

structure, atau berfokus pada tax administration, atau reform of tax systems

(berfokus pada struktural dan administrative reform).


b. Scope of reform; reformasi perpajakan dapat dilakukan secara comprehensive

jika meliputi hampir semua sumber penerimaan yang penting, atau dilakukan

secara partial jika hanya meliputi satu atau dua komponen penting dari sistem

perpajakan.
c. Revenue goals; reformasi perpajakan dilakukan untuk meningkatkan

penerimaan dalam prosentase terhadap PDB (rasio pajak) yang disebut revenue

enhancing, untuk mengganti penerimaan dengan revenue neutral reform, atau

bahkan untuk mengurangi penerimaan (revenue-decreasing reform).


d. Equity goals; reformasi perpajakan untuk menegakkan keadilan disebut

redistributivejika menegakkan keadilan secara vertikal, yaitu orang

berpenghasilan tidak sama, pajaknya diperlakukan tidak sama juga, namun jika

24
reformasi perpajakan tidak dimaksudkan untuk merubah distribusi pendapatan

yang sudah ada maka disebut distributionally neutral reform.


e. Resource allocations goals; reformasi perpajakan yang berusaha mengurangi

pengenaan pajak pada sumber daya agar dapat dialokasikan lebih efisien

disebut euconomically neutral, jika sistem perpajakan untuk mempengaruhi

aliran sumber daya sektor ekonomi atauaktivitas tertentu maka disebut

interventionist reforms.
f. Timing of reform; dilakukan dengan mengubah seluruh kebijakan perpajakan

secara bersamaan disebut econtemporaneous reforms, dengan implementasi

bertahap disebut phased reforms, atau perubahan kebijakan perpajakan yang

tidak berkaitan dilakukan dalam beberapa tahun lebih disebut successive

reforms.
Secara garis besar, reformasi di bidang perpajakan bertujuan untuk: (1)

optimalisasi penerimaan yang berkeadilan, meliputi perluasan tax base dan

stimulus fiskal; (2) meningkatkan kepatuhan perpajakan melalui layanan prima

dan penegakan hukum secara konsisten; (3) efisiensi administrasi berupa

penerapan sistem dan administrasi andal dan pemanfaatan teknologi tepat guna;

(4) terbentuknya citra yang baik dan tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi,

melalui kapasitas SDM yang profesional, budaya organisasi yang kondusif, serta

pelaksanaan good governance (Abimanyu, 2009).


Menurut Nasucha (2004), reformasi perpajakan merupakan langkah

untuk penyehatan ekonomi melalui pendekatan fiskal. Mengutip Williamson

dalam Mas’oed (1994), reformasi perpajakan meliputi perluasan basis perpajakan,

perbaikan administrasi perpajakan, mengurangi terjadinya penghindaran dan

manipulasi pajak, serta mengatur pengenaan aset yang berada di luar negeri.

25
Perubahan struktur pajak (tax base dan tax rate) terkait dengan perubahan dalam

administrasi perpajakannya.
Menurut Pandiangan (2008), reformasi perpajakan, yang meliputi: (1)

formulasi kebijakan dalam bentuk peraturan, dan (2) pelaksanaan dari peraturan,

umumnya diarahkan untuk dapat mencapai beberapa sasaran. Pertama,

menghasilkan penerimaan dalam jumlah yang cukup, stabil, fleksibel dan

berkelanjutan. Kedua, mengurangi beban inefisiensi dan excess burden. Ketiga,

memperingan beban kelompok kurang mampu dengan mendesain struktur pajak

yang lebih adil. Dan keempat, memperkuat administrasi perpajakan dan

meminimalisasi biaya administrasi dan kepatuhan.

2.1.4.1 Reformasi Peraturan Perpajakan

Salah satu reformasi perpajakan jilid pertama yaitu reformasi di bidang

peraturan perpajakan. Hasilnya berupa pengesahan Undang-undang No.28 Tahun

2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ( KUP) dan UU No. 36

Tahun 2008 tentang Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) oleh Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden membawa perubahan pada perpajakan di

Indonesia. Pokok-pokok perubahan yang ada dalam undang-undang pajak ini

tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara

universal, yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi, serta peningkatan dan

optimalisasi penerimaan Negara dengan tetap mempertahankan sistem self

assessment. Amandemen ini merupakan salah satu langkah besar yang

dilaksanakan guna mendukung reformasi perpajakan yang sedang terjadi di

Direktorat Jenderal Pajak, sehingga diharapkan dalam jangka menengah maupun

jangka panjang dapat meningkatkan penerimaan Negara seiring dengan

26
meningkatnya kepatuhan sukarela. Dalam Undang-Undang tersebut terdapat

pokok-pokok perubahan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

antara lain:
a. Ketentuan mengenai pengambilan, pengisian, penandatanganan dan

penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) dapat dilakukan melalui media

elektronik.
b. Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh yang sebelumnya paling lambat

tiga bulan diubah menjadi paling lambat empat bulansetelah akhir tahun pajak.
c. Sanksi administrasi berupa denda bagi WP yang dengan kemauan sendiri

mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya setelah dilakukan pemeriksaan

tetapi belum dilakukan tindak penyidikan, diturunkan dari 200% menjadi

150%.
d. Daluwarsa penetapan pajak dan daluwarsa penagihan dipersingkat dari sepuluh

tahun menjadi lima tahun sejak berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak

atau tahun pajak.


e. Dalam rangka mendorong WP mengungkapkan penghasilan yang belum

dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sebelum tahun 2007, WP diberi

kesempatan untuk menyampaikan pembetulan dengan diberikan pengurangan

atau penghapusan sanksi administrasi, dengan syarat pembetulan tersebut

dilakukan pada tahun pertama berlakunya UU ini.


f. Paling lama satu tahun setelah berlakunya UU ini, WP Orang Pribadi yang

sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP diberikan penghapusan

sanksi administrasi atas pajak, kecualiterdapat data atau keterangan yang

menyatakan bahwa SPT WP tidak benar atau lebih bayar.


Salah satu bentuk reformasi perpajakan di Indonesia adalah dengan

disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang merupakan perubahan

keempat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

27
melalui proses panjang dan melibatkan stake holder termasuk pengusaha yang

mencerminkan keadilan dan kesetaraan kedudukan antara fiskus dan Wajib Pajak.

Penurunan tarif, penekanan cost of compliance, law enforcement yang lebih tegas

kepada Wajib Pajak tidak patuh, kesataraan fiskus dan Wajib Pajak merupakan

poin-poin dalam tax reformUU PPh. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ini

disahkan pada tanggal 23 September 2008 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari

2009. Pokok pikiran yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

tentang Perubahan Keempat Undang-Undang No. 7 Tahun1983 tentang Pajak

Penghasilan antara lain sebagai berikut (Darmin Nasution, 2009) :


a. Penurunan Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Penurunan tarif PPh dimaksudkan

untuk menyesuaikan dengan tarif PPh negara-negara tetangga yang relatif lebih

rendah sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam negeri, mengurangi

beban pajak, dan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).


1) Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi

30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan,

namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak

(income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi

Rp 500 juta.
2) Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%,

15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun2009 dan 25% tahun

2010. Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan

prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP

badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif

normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat.

Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan

28
yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate

governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber

pembiayaan bagi perusahaan.


3) Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan

tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran

bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut

dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada

kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian

di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong

kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.


4) Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal

25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan

tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan

pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian

dan kesederhanaan penghitungan PPh.


5) Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%

dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dariperedaran bruto.

Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman

pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada

penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan

metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan

tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.


6) Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan

tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif

tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan

29
dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di

Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan

kepatuhan WP.

b. Pembebasan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang telah

mempunyai NPWP fiskal sejak 2009 serta penghapusan pemungutan fiskal luar

negeri pada tahun 2011. Pembayaran fiskal luarnegeri adalah pembayaran

pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri.

Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP

yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP

sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat

yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban

pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.


c. Peningkatan nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang

pribadi sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadiRp 15,84 juta, sedangkan untuk

tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta

menjadi Rp 1,32 juta dengan palingbanyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal

ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi

dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri

Keuangan menjadi undang-undang.


d. Penerapan tarif pemotongan/pemungutan PPh yang lebih tinggi bagi WP yang

tidak memiliki NPWP


1) Pengenaan tarif 20% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP

yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 21.


2) Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normaluntuk WP non NPWP

yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 23.

30
3) Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normaluntuk WP non NPWP

yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 22.


e. Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan

bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata

ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya

tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.


1) Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan

infrastruktur sosial
2) Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan

pengembangan yang dilakukan di Indonesia.


3) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang

sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.


f. Pengecualian dari objek PPh

g. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang

bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan

pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4

tahun tidak dikenai pajak.


1) Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerimabeasiswa tidak dikenai

pajak.
2) Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial tidak dikenai pajak.


Selain itu perubahan Reformasi Pajak 2008 yang yangterdapat dalam

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PerubahanKeempat Undang-

Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yaitu dengan mengenakan

tarif berbeda pada wajib pajak perorangan dan wajibpajak badan. Diharapkan

dengan tarif pajak yang baru, maka wajib pajak badan dapat lebih diuntungkan

sehingga penerimaan dari wajib pajak lebih meningkat. Maka sudah selayaknya

31
bila perpajakan harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.

Undang-Undang yang memberatkan dunia usaha, berdampak membuat banyaknya

usaha tidak dapat memperoleh laba secara maksimal dan konsekuensinya akan

mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak. Hal ini sejalan dengan literatur

di bidang akuntansi manajemen yang menjelaskan bahwa pajak dapat

mempengaruhi capital budgeting melalui tax effect dalam penentuan aliran kas,

pajak juga merupakan salah satu faktor utama dalam perencanaan sistem

kompensasi manajemen (Blocher, Chen, dan Lin 1999).


Penghapusan sanksi administrasi bunga bagi Wajib Pajak yang

mengungkapkan ketidakbenaran pelaporan PPh tahun pajak 2007 ke bawah,

paling lambat dilakukan akhir tahun 2008, merupakan fasilitas yang diberikan

pemerintah dalam UU KUP baru. Program ini disebut Sunset Policy yang diatur

dalam pasal 37 A UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP. Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan. Dalam Pasal 37 A Undang-undang tersebut dikatakan :


a. Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan

Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang

masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam

jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat

diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga

keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


b. Dalam program Sunset Policy ini, wajib pajak diberikan fasilitas penghapusan

sanksi administrasi berupa bunga 2% setiap bulan atas pembayaran pajak yang

dibayar berdasarkan SPT Tahunan Pembetulan yang disampaikan. SPT

Tahunan Pembetulan yang disampaikan pada Sunset Policy tidak akan

32
diperiksa, kecuali ditemukan data baru yang dapat menyebabkan timbulnya

pajak yang kurang dibayar oleh wajib pajak.


c. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk

memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah

berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas

pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh

Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali

terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan

yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.
Berdasarkan Sunset Policy ini, diharapkan wajib pajak dapat

menggunakan fasilitas tersebut untuk meningkatkan kesadarannya dalam

melaksanakan kewajiban perpajakannya pada tahun mendatang dan seterusnya.

Dengan kata lain, Sunset Policy ini dapat digunakan sebagai titik awal buat wajib

pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar dan jujur demi

tercapainya penerimaan negara dari sektor pajak.


Aturan perbedaan tarif withholding tax PPh Pasal 21/23 antara subyek

pajak ber-NPWP dan tidak ber-NPWP yang diatur dalamUU PPh baru dan mulai

berlaku pada tahun pajak 2009 pemerintah mengeluarkan kebijakan pembebasan

Fiskal Luar Negeri (FLN) bagi orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri

dengan syarat ber-NPWP. Hal ini terasa dilematis bagi pemerintah mengingat

penerimaan FLN terus meningkat. Harapan kita tentunya kehilangan penerimaan

tersebut dapat tergantikan atau bahkan terlampaui oleh potensi penerimaan pajak

dari kepemilikan NPWP bagi wajib pajak-wajib pajak baru dan multiflier effect

dari pembebasan FLN ini.

33
Selain itu, merupakan fasilitas yang diberikan pemerintah dalam UU

KUP baru melalui Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan

Republik Indonesia Nomor 49/PMK.03/2009 tentang Perubahan Peraturan

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 43/PMK.03/2009 tentang Pajak

Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada

Kategori Usaha Tertentu. Peraturan Menteri Keuangan ini dimaksudkan untuk

memberi insentif dalam mengatasi dampak krisis ekonomi global yang sedang

berkembang di dunia dan untuk menjaga stabilitas perekonomian khususnya

sektor tertentu yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan ini. Dengan adanya

stimulus tersebut, diharapkan prospek penerimaan negara dari ekspor produk-

produk pada usaha tertentu yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan

tersebut dapat ditingkatkan. Sehingga nantinya dapat menjadi faktor penggerak

usaha yang terkait di Indonesia hingga mampu meningkatkan pendapatan nasional

yang nantinya diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak dari sektor

usaha tersebut.

2.1.4.2 Reformasi Struktur Organisasi

Pengimplementasian konsep perpajakan modern berorientasi pada

pelayanan dan pengawasan, maka struktur organisasi DJP perlu diubah, baik di

level kantor pusat sebagai pembuat kebijakan maupun di level kantor operasional

sebagai pelaksana implementasi kebijakan. Sebagai langkah pertama, untuk

memudahkan Wajib Pajak, ke tiga jenis kantor pajak yang ada, yaitu Kantor

Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB),

serta Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa), dilebur menjadi

34
Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dengan demikian Wajib Pajak cukup datang ke

satu kantor saja untuk menyelesaikan seluruh masalah perpajakannya.


Pada tahun 2007 hingga 2008 dibentuk KPP Small Taxpayers Office

(STO) yang kemudian disebut KPP Pratama dengan total 357 KPP Pratama di

seluruh Kanwil. KPP Pratama bertugas melayani WP Badan menengah ke bawah

dan WP Orang Pribadi meliputi jenis pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB.

Pelayanan perpajakanpun sudah mulai satu atap (one stop service) karena semua

jenis pelayanan perpajakan baik jenis pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB

dilakukan di KPP Pratama sedangkan untuk KPP WP Besar dan KPP Madya

hanya jenis pajak PPh dan PPN, sehingga menyebabkan adanya peleburan

KPPBB ke KPP Pratama. Proses penyelesaian keberatan hanya ada di tingkat

Kanwil, mengingat di Kanwil tidak menjalankan fungsi pemeriksaan lagi karena

fungsi pemeriksaan sepenuhnya dilaksanakan oleh KPP Modern yang

menyebabkan pula dileburnya Karikpa ke KPP Modern. Dengan model KPP

Modern seperti diuraikan di atas diharapkan DJP dapat memberikan pelayanan

prima kepada masyarakat dalam masalah perpajakan. Untuk mensukseskan

pelayanan prima tersebut DJP telah menyiapkan pelayanan yang baik pada setiap

KPP Pratama sehingga perbaikan infrastruktur menjadi prioritas dalam

memberikan pelayanan yang baik yang nantinya diharapkan mampu

meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban

perpajakannya sehingga mampu meningkatkan penerimaan negara dari sektor

pajak. Sehingga pada tahun 2008 seluruh kantor di luar Jawa dan Bali akan

dimodernisasi dengan dibentuknya 128 KPP Pratama untuk menggantikan seluruh

kantor pajak yang ada di daerah tersebut.

35
2.1.4.3 Reformasi Pelayanan Kepada Wajib Pajak

Program dan kegiatan reformasi perpajakan 2008 diwujudkan dalam

penerapan administrasi perpajakan modern dengan model KPP Modern seperti

diuraikan di atas diharapkan DJP dapat memberikan pelayanan prima kepada

masyarakat dalam masalah perpajakan. Untuk mensukseskan pelayanan prima

tersebut DJP telah menyiapkan pelayanan ekstra pada setiap KPP Modern yang

memiliki ciri khusus antara lain struktur organisasi berdasarkan fungsi, perbaikan

pelayanan bagi setiap wajib pajak melalui pembentukan Account Representative

(AR) sebagai ujung tombak pelayanan dan perantaran antara DJP dengan WP

yang mengemban tugas melayani setiap Wajib Pajak dalam hal antara lain

pertama membimbing/menghimbau WP dan memberikan konsultasi teknis

perpajakan. Kedua, memonitor penyelesaian pemeriksaan pajak, proses keberatan,

serta mengevaluasi hasil banding. Ketiga,melakukan pemuktahiran data WP dan

menyusun profil WP. Keempat,menginformasikan ketentuan perpajakan terbaru,

Kelima, memonitor kepatuhan WP melalui pemanfaatan data & SAPT (Sistem

Administrasi Perpajakan Terpadu). Keenam, menyelesaian permohonan surat

keterangan yang diperlukan WP. Ketujuh, menganalisis kinerja wajib pajak.


Kedelapan, merekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka intensifikasi.

Dengan demikian setiap WP dapat menanyakan hak dan kewajiban perpajakannya

kepada setiap AR di KPP Pratama yang telah ditunjuk untuk masing-masing WP

sesuai dengan wilayah kelurahan. Pembentukan contact center : complain center,

call center, non filers activation center. Dimana pengaduan yang diterima oleh

complain centerakan dikoordinasikan dengan unit terkait dan akan ditindaklanjuti

36
dalam waktu 3 hari kerja dan jenis-jenis pengaduan termasuk mengenai

pelayanan, konsultasi, pemeriksaan, keberatan dan banding. Adapun media

penyampaian pengaduan dapat melalui e-mail, pos, nomor telpon bebas biaya,

atau langsung.
Melalui sarana, prasarana, dan pendukung lainnya yang lebih modern

meliputi Pertama, Help Desk dengan teknologi knowledge base pada Tempat

Pelayanan Terpadu atau dikenal TPT (service counter), Kedua, pelayanan dengan

menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini yang dikenal

dengan sebutan e-system antara lain e-payment (pembayaran pajak secara online),

e-registrasion (pendaftaran wajib pajak melalui internet), e-filling (pelaporan

pajak melalui internet), e-spt (pengisian SPT dalam media digital), dan e-

counseling (konsultasi secara on line). Ketiga, Built in control system:

pemanfaatan sistem teknologi informasi untuk pengawasan internal termasuk

pengawasan data. Keempat, petugas pajak yang berkualitas tinggi berbasis

kompetensi. Kelima, penerapan Kode Etik Pegawai yang diawasi oleh Komite

Kode Etik Pegawai, Komisi Ombudsman Nasional, Tim Khusus Inspektorat

Jenderal Departemen Keuangan, dan 2 Subdirektorat Kantor Pusat DJP yang

menangani Pengawasan Internal. Keenam, Sistem remunerasi yang lebih baik

dengan adanya TKT (Tunjangan Kegiatan Tambahan). Ketujuh, Layar sentuh

Informasi Perpajakan (Touch Screen). Kedelapan, Sistem antrian dan LCD

Proyektor berikut electric screen layaknya di Bank. Kesembilan, tersedianya

ruang konseling/closing conference serta brosur, leaflet, dan majalah perpajakan.

Kesepuluh, tersedianya Bank/Tempat Pembayaran Pajak (bekerjasama dengan

PEMDA setempat/Kantor Pos). Layanan unggulan tersebut antara lain : Pelayanan

37
Penyelesaian Permohonan Pendaftaran NPWP: 1 (satu) hari kerja sejak

permohonan diterima lengkap; Pelayanan Penyelesaian Permohonan Pengukuhan

Pengusaha Kena Pajak (PKP): 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima

lengkap; Pelayanan Penyelesaian Permohonan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) : 2 (dua) bulan, 4 (empat) bulan, 12 (dua belas) bulan.

2.1.5 Akuntabilitas

Prof Miriam Budiardjo (1998) mendefinisikan akuntabilitas sebagai

“pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka

yang memberi mandat itu.” Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan

menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga

pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan

kondisi saling mengawasi (checks and balances sistem). Lembaga pemerintahan

yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil presiden, dan kabinetnya),

yudikatif (MA dan sistem peradilan) serta legislatif (MPR dan DPR). Peranan pers

yang semakin penting dalam fungsi pengawasan ini menempatkannya sebagai

pilar keempat.
Prinsip akuntabilitas menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan

menjawab (answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen

pertama (istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan

tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-

pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan

wewenang mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah

dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.

38
Guy Peter (2000) menyebutkan adanya 3 tipe akuntabilitas yaitu : (1)

akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas administratif, dan (3) akuntabilitas

kebijakan publik. Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa

setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan

secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan

kebijakan.
Pengambilan keputusan didalam organisasi-organisasi publik melibatkan

banyak pihak. Oleh sebab itu wajar apabila rumusan kebijakan merupakan hasil

kesepakatan antara warga pemilih (constituency) para pemimpin politik,

teknokrat, birokrat atau administrator, serta para pelaksana di lapangan.


Sedangkan dalam bidang politik, yang juga berhubungan dengan

masyarakat secara umum, akuntabilitas didefinisikan sebagai mekanisme

penggantian pejabat atau penguasa, tidak ada usaha untuk membangun

monoloyalitas secara sistematis, serta ada definisi dan penanganan yang jelas

terhadap pelanggaran kekuasaan dibawah rule of law. Sedangkan public

accountability didefinisikan sebagai adanya pembatasan tugas yang jelas dan

efisien (Meuthia Ganie-Rochman: 2000).


Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas berhubungan

dengan kewajiban dari institusi pemerintahan maupun para aparat yang bekerja di

dalamnya untuk membuat kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan

nilai yang berlaku maupun kebutuhan masyarakat. `Akuntabilitas publik menuntut

adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien dari para aparat birokrasi.
Karena pemerintah bertanggung jawab baik dari segi penggunaan

keuangan maupun sumber daya publik dan juga akan hasil, akuntabilitas internal

39
harus dilengkapi dengan akuntabilitas eksternal, melalui umpan balik dari para

pemakai jasa pelayanan maupun dari masyarakat.


Prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan

seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran

nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang

berkepentingan dengan pelayanan tersebut.


Sehingga, berdasarkan tahapan sebuah program, akuntabilitas dari setiap

tahapan adalah :

1) Pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa indikator

untuk menjamin akuntabilitas publik adalah :

a. Pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan tersedia

bagi setiap warga yang membutuhkan.

b. Pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai

yang berlaku, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi

yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di stakeholders

c. Adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah

sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku

d. Adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi,

dengan konsekuensi mekanisme pertanggungjawaban jika standar

tersebut tidak terpenuhi

e. Konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah

ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut.

2) Pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin

akuntabilitas publik adalah :

40
a. penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui media

massa, media nirmassa, maupun media komunikasi personal

b. akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara-

cara mencapai sasaran suatu program

c. akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan

dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat

d. ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang

telah dicapai oleh pemerintah.

2.1.6 Transparansi

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi

setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan,

yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta

hasil-hasil yang dicapai.


Transparansi yakni adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan.

Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap

aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan

informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran,

dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik (Meutiah: 2000).


Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu (1) komunikasi publik oleh

pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan

sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya.

Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari transparansi.


Komunikasi publik menuntut usaha afirmatif dari pemerintah untuk

membuka dan mendiseminasi informasi maupun aktivitasnya yang relevan.

41
Transparansi harus seimbang, juga, dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga

maupun informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Karena

pemerintahan menghasilkan data dalam jumlah besar, maka dibutuhkan petugas

informasi professional, bukan untuk membuat dalih atas keputusan pemerintah,

tetapi untuk menyebarluaskan keputusan-keputusan yang penting kepada

masyarakat serta menjelaskan alasan dari setiap kebijakan tersebut.


Peran media juga sangat penting bagi transparansi pemerintah, baik

sebagai sebuah kesempatan untuk berkomunikasi pada publik maupun

menjelaskan berbagai informasi yang relevan, juga sebagai “watchdog” atas

berbagai aksi pemerintah dan perilaku menyimpang dari para aparat birokrasi.

Jelas, media tidak akan dapat melakukan tugas ini tanpa adanya kebebasan pers,

bebas dari intervensi pemerintah maupun pengaruh kepentingan bisnis.


Keterbukaan membawa konsekuensi adanya kontrol yang berlebih-

lebihan dari masyarakat dan bahkan oleh media massa. Karena itu, kewajiban

akan keterbukaan harus diimbangi dengan nilai pembatasan, yang mencakup

kriteria yang jelas dari para aparat publik tentang jenis informasi apa saja yang

mereka berikan dan pada siapa informasi tersebut diberikan.


Secara ringkas dapat disebutkan bahwa, prinsip transparasi paling tidak

dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti :

1) Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari

semua proses-proses pelayanan publik.

2) Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang

berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam

sektor publik.

42
3) Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran

informasim maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam

kegiatan melayani.

Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik, pada

akhirnya akan membuat pemerintah menjadi bertanggung gugat kepada semua

stakeholders yang berkepentingan dengan proses maupun kegiatan dalam sector

publik.

2.1.7 Pemeriksaan Pajak dan Dasar Hukumnya

Dalam sistem self assessment, wajib pajak menghitung, membayar dan

melaporkan kewajiban perpajakannya. Sebagai konsekuensi logis dari sistem

tersebut, Direktorat Jender al Pajak melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan

kewajiban perpajakan para wajib pajak. Apabila wajib pajak telah patuh

(melakukan kewajiban sesuai dengan ketentuan undang- undang), maka tidak

akan dilakukan tindakan lebih lanjut, yaitu pemeriksaan pajak. Dengan demikian,

tujuan utama pemeriksaan tidak lain adalah upaya untuk menguji dan mendorong

wajib pajak agar memenuhi kewajiban perpajakannya (Compliance).


Pengertian Pemeriksaan di bidang perpajakan menurut Mardiasmo

adalah: ”Serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data

dan atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

pajak.”
Menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

545/KMK/04/2000, tanggal 22 Desember 2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaan

Pajak, Pasal 2, Pemeriksaan adalah : ”Serangkaian kegiatan untuk mencari,

43
mengumpulkan dan mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji

kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain dalam rangka

melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”


Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2000, Pasal 1 angka 24, pemeriksaan adalah :

“Serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau

keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan

dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan”
Kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak sendiri diatur dalam

Pasal 29 Undang- Undang nomor 16 Tahun 20 00, yaitu Direktorat Jenderal Pajak

melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan dan

untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan.
Menurut ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah

diubah dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000, tentang Pemeriksaan,

didalamnya diatur sebagai berikut :


1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk

menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpaj akan dan untuk tujuan

lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peratu ran perundang-

undangan perpajakan.
2) Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus memiliki tanda

pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan

serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.

44
3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
a) Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen

yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan

penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib

Pajak, atau objek yang terutang pajak;


b) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang

dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;


c) Memberikan keterangan yang diperlukan.
4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen

serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban

untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan

oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1).


Di dalam Penjelasan dari ayat (1), pelaksanaan pemeriksaan dalam

rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri

kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan

kewajiban perpajakan lainnya, dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha

sebenarnya dari Wajib Pajak, yang dilakukan dengan:


a. menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan dalam

pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan Pemeriksaan Lengkap;


b. menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman

yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan baik dilakukan

di kantor maupun di lapangan, yang dinamakan Pemeriksaan Sederhana.


Dalam penjelasan ayat (2), Wajib Pajak yang diperiksa dalam rangka

pengujian tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakannya atau untuk

tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperlihatkan dan

meminjamkan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen dan keterangan-

45
keterangan lain yang diperlukan yang berkaitan dengan perolehan penghasilan

atau kegiatan usaha.


Bilamana buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang

diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak dengan dalih untuk

menghindarkan diri, berdasarkan ayat ini petugas pemeriksa di perbolehkan untuk

memasuki tempat atau ruangan yang menurut dugaan petugas digunakan sebagai

tempat penyimpanan buku-buku, catatan- catatan dan dokumen-dokumen tersebut.


Menurut penjelasan ayat (5) ,untuk mencegah adanya dalih terikat pada

kerahasiaan sehingga pembukuan, catata n, dokumen serta keterangan-keterangan

lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini

menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.


Ketentuan tentang pemeriksaan pajak, lebih lanjut diatur dengan

Peraturan Pelaksanaan dalam keputusan Menteri Keuangan, yaitu Surat

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 625/KMK/.04/1994 tanggal 27 Desember

1994. Dalam perkembangan selanjutnya, Keputusan Menteri Keuangan tersebut

diubah dan dinyatakan tidak berlaku dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

545/KMK/2000 tanggal 22 Desember 2000. Dalam SK Menteri Keuangan ini,

tujuan pemeriksaan adalah sebagai berikut :


a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka

memberikan kepastian hukum, keadilan dan pembinaan kepada wajib

pajak;
b. tujuan lain dalam rangka melaksanak an ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan.
c. Menurut Pasal 7 Keputusan Menteri Keuangan Nomor

545/KMK.04/2000, norma pemeriksaan yang berkaitan dengan wajib

pajak apabila dilakukan pemeriksaan pajak adalah sebagai berikut:

46
d. Dalam hal Pemeriksaan Lapangan, wajib pajak berhak meminta kepada

Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan dan

Tanda Pengenal Pemeriksa;


e. Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberi

penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan;


f. Dalam hal Pemeriksaan Kantor, wajib pajak wajib memenuhi panggilan

untuk datang menghadiri pemeriksaan sesu ai dengan waktu yang

ditentukan;
g. Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman buku- buku,

catatan-catatan, dan dokumen- dokumen yang diperlukan untuk

kelancaran pemeriksaan dan memberikan keterangan dalam jangka waktu

paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat permintaan, dan apabila

permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh wajib pajak, maka pajak yang

terutang dapat dihitung secara jabatan;


h. Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak rincian yang

berkenaan dengan hal- hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan

Surat Pemberitahuan;
i. Wajib pajak berhak mengajukan permohonan pembahasan oleh Tim

Pembahas dalam hal terdapat perbedaan antara pendapat wajib pajak

dengan hasil pembahasan atas tanggapan wajib pajak oleh Tim Pemeriksa

Pajak;
j. Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani surat pernyataan

persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujuinya;


k. Dalam hal Pemeriksaan Lengkap, wajib pajak atau kuasanya wajib

menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan apabila hasil

pemeriksaan tersebut tidak atau seluruhnya disetujui.


Adapun tata cara pemeriksaan pa jak, lebih lanjut diatur dalam :

47
a. Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-722/PJ/2001

tanggal 26 Nopember 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pemeriksaan Lapangan;
b. Keputusan Direktorat Jenderal Pa jak Nomor KEP-741/PJ/2001

tanggal 7 Desember 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pemeriksaan Kantor.

2.1.8 Penegakan Hukum Di Bidang Perpajakan.

Definisi hukum pada dasarnya adalah himpunan peraturan larangan dan

karena itu harus ditaati oleh masyarakat. Dalam kamus Bahasa Indonesia,

penegakan diartikan sebagai pelurusan, dari kata tegak yang artinya lurus.

Sedangkan dalam kamus Bahasa Inggris disebut enforce yang artinya

melaksanakan, memaksa, mendesak dan efforcement artinya pelaksanaan,

pemaksaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum adalah

melaksanakan hukum baik dengan cara memaksakan maupun mendesak agar


hukum itu dapat dijalankan secara lurus.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya-upaya agar norma-

norma hukum berfungsi secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan

masyarakat dan negara.


Sistem perpajakan Indonesia adalah self assessment, dimana Wajib Pajak

diberi kepercayaan untuk dapat menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri

pajak yang terutang, dan melapor kannya melalui Surat Pemberitahuan Tahunan/

Masa ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan jenis pajak dan batas waktu

yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Setelah reformasi perpajakan

yang pertama tahun 1983, peranan penerimaan pajak terhadap penerimaan dalam

negeri meningkat pesat.

48
Perkembangan ini menunjukkan bahwa perbaikan dalam sistem

administrasi perpajakan memberikan pengaruh positif bagi peningkatan kepatuhan

wajib pajak yang pada akhi rnya mendorong peningkatan penerimaan pajak. Agar

peningkatan kepatuhan wajib pajak dapat dilaksanakan dengan baik, disamping

dilakukan penyuluhan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, juga perlu dilakukan

tindakan penegakan hukum melalui penagihan, penyidikan dan pemeriksaan

pajak.
Definisi Penagihan menurut Pasal 1 angka 9 Undang- Undang Nomor 19

tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa adalah : ”Serangkaian

tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak

dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan

sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan

penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita”


Sedangkan definisi Penyidikan menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah

diubah dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 1 angka 28 adalah:

“serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik unt uk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di

bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”.


Adapun definisi pemeriksaan menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah

diubah dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000, Pasal 1 angka 24,

adalah : “Serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data

dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban

49
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan”.
Ditinjau dari proses pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan tersebut

merupakan suatu proses yang berkaitan antara satu dengan lainnya, terutama

dalam hubungannya dengan upaya penegakan peraturan perpajakan yang

bertujuan untuk meningkatkan kepat uhan wajib pajak. Penegakan hukum secara

umum bertujuan untuk melakukan tindakan korektif terhadap penyimpangan

norma-norma hukum yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.

2.1.9 Insentif Pajak

Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan fasilitas Pajak Ditanggung

Pemerintah (DTP), sebagai salah satu upaya Pemerintah dalam kebijakan

stabilisasi harga pangan pokok. Hal itu, seperti disebut dalam rilis Departemen

Keuangan, untuk mengantisipasi kecenderungan melambatnya ekonomi global

dan meningkatnya harga komoditas pangan terutama harga beberapa komoditas

pangan strategis di dalam negeri, seperti beras, tepung terigu, gandum, kedelai,

dan minyak goreng.


Adapun pengertian DTP menurut Kepala Biro Humas Depkeu Samsuar

Said adalah:

“DTP adalah pajak terutang suatu perusahaan, baik swasta maupun


BUMN yang ditanggung oleh pemerintah melalui penyediaan pagu
anggaran dalam subsidi pajak. Dengan demikian, dalam perhitungan
anggaran Pemerintah akan bersifat netral (in-out), karena penerimaan
perpajakan akan bertambah sebesar nilai DTP dan pada saat yang sama
subsidi pajak yang tercatat pada pengeluaran juga akan bertambah
sebesar nilai DTP yang dicatat pada penerimaan. Dengan kata lain,
Pemerintah tidak membayar pajak, namun memberikan keringanan beban
pajak kepada masyarakat melalui DTP. Jadi pemberian DTP tersebut
lebih transparan dan dapat dikontrol”.

50
Sehubungan dengan insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP),

dikeluarkan 3 payung hukum yaitu (a) No. 43/PMK.03/2009 Tentang Pajak

Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada

Kategori Usaha Tertentu, 3 Maret 2009, (b) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-

22/PJ/2009 Tentang Pelaksanaan Pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21

Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada Pemberi Kerja Yang

Berusaha Pada Kategori Usaha Tertentu, 4 Maret 2009 dan (c) Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Keuangan RI Nomor 43/PMK.03/2009 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 21

Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu,

18 Maret 2009.
Dalam peraturan tersebut diatas memuat kriteria pekerja yang menjadi

sasaran DTP, yaitu sebagai berikut:


1) PPh 21 ditanggung pemerintah diberikan kepada pekerja yang bekerja

pada bidang usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto di atas

PTKP dan tidak lebih dari Rp 5 Juta rupiah dalam satu bulan.
2) Bidang usaha tertentu secara umum dikategorikan sebagai berikut: (a)

Kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan,

perburuan dan kehutanan, (b) Kategori usaha perikanan, dan (c) Kategori

usaha industri pengolahan.


3) PPh 21 ditanggung pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada saat

pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja, sehingga

menambah take home pay pekerja yang mendapat fasilitas PPh DTP.
4) DTP hanya diberikan kepada pekerja yang mempunyai NPWP untuk

masa pajak februari sampai dengan November 2009

51
5) Sedangkan bagi pekerja yang belum mempunyai NPWP, DTP diberikan

hanya sampai dengan masa pajak Juni 2009.

2.2 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang kepatuhan wajib

pajak antara lain sebagai berikut:


Mas’ut (2004), secara khusus melakukan studi empiris tentang kepatuhan

wajib pajak orang pribadi sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Pajak

Tahun 2000. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

signifikan setelah perubahan undang-undang pajak penghasilan tahun 2000

(perubahan tarif pajak penghasilan tahun 2000 dan perubahan penghasilan tidak

kena pajak), dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi.


Komalasari dan Nashih (2005) melakukan studi ekperimental tentang

kepatuhan wajib pajak dengan melakukan manipulasi terhadap 2 variabel, yaitu

income dan tarif pajak. Manipulasi income dilakukan dengan membuat 2

treatment, yaitu endowed income dan earned income. Manipulasi terhadap tarif

pajak dilakukan dengan mengubah mengubah tarif pajak yang dikenakan (15%

dan 30%).
Hasil penelitian tersebut mengimplikasikan bahwa wajib pajak

memperlakukan pendapatannya secara berbeda tergantung pada bagaimana ia

memperoleh pendapatan tersebut. Ketika wajib pajak menerima pendapatan tanpa

perlu melakukan kerja keras ia cenderung patuh terhadap peraturan perpajakan.

Sebaliknya ketika wajib pajak menerima pendapatan dengan kerja keras maka

cenderung berupaya untuk memaksimalkan utilitas (payoff)nya. Namun manakala

tarif pajak yang dikenakan meningkat, penerima earned income akan

52
mempertimbangkan peningkatan resiko yang mungkin timbul akibat penggelapan

pajak.
Selain penelitian-penelitian diatas, Suryadi (2006) melakukan penelitian

terhadap 800 Wajib Pajak pembayar pajak terbesar yang terdaftar di 8 Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) dalam Lingkungan Kerja Kantor Wilayah Ditjen Pajak

Jawa Timur. Berdasarkan hipotesis dan rancangan penelitiannya, data yang

terkumpul dalam penelitian tersebut akan dianalisis menggunakan beberapa teknik

analisis. Dan teknik-teknik statistik yang dipergunakan adalah Structural

Equation Modelling (SEM) dan Uji Beda Dua Rata-rata (t Test). Hasilnya,

kepatuhan pajak yang diukur dari variabel pemeriksaan pajak, penegakan hukum,

dan kompensasi pajak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penerimaan pajak.

Hal ini tentunya menunjukkan bahwa kepatuhan wajib pajak memiliki pengaruh

besar terhadap kinerja penerimaan pajak.


Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Hasil Penelitian
No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian

1 John Hutagaol, 2007 Strategi kepatuhan wajib pajak dipengaruhi


Wing Wahyu Meningkatkan oleh jenis pendapatan, penegakan
Winarno dan Kepatuhan Wajib hukum perpajakan, pemeriksaan,
Arya Pradipta Pajak transparansi dan akuntabilitas, dan
kompensasi pajak

2 Mas’ut 2004 Kepatuhan Wajib terdapat perbedaan signifikan


Pajak Orang Pribadi setelah perubahan undang-undang
Sebelum dan Sesudah pajak penghasilan tahun 2000
Perubahan Undang- (perubahan tarif pajak penghasilan
Undang Pajak Tahun tahun 2000 dan perubahan
2000 penghasilan tidak kena pajak),
dapat meningkatkan kepatuhan
wajib pajak orang pribadi

3 Komalasari dan 2005 Degree of Tax Payer wajib pajak memperlakukan


Nashih Compoliance and Tax pendapatannya secara berbeda
Tariff the Testing of tergantung pada bagaimana ia

53
Hasil Penelitian
No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian
the Impact of Income memperoleh pendapatan tersebut.
Types

4 Suryadi 2006 Model Hubungan Kepatuhan wajib pajak yang diukur


kausal Kesadaran, dengan: pemeriksaan pajak,
Pelayanan, penegakan hukum, dan kompensasi
Kepatuhan Wajib pajak berpengaruh signifikan
Pajak dan terhadap kinerja penerimaan pajak
Pengaruhnya
terhadap Kinerja
Penerimaan Pajak:
Suatu Survei di
Wilayah Jawa Timur

2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis

Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran

Tarif Pajak

Jenis Pendapatan
(+)
(+)
Akuntabilitas Kepatuhan Pajak
(+)
(+)
Transparansi (+)

Penegakan Hukum (+)


(+)
Pemeriksaan Pajak

Penegakan Hukum

Kompensasi Pajak

54
2.4 Perumusan Hipotesis

2.4.1 Pengaruh Tarif Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang

Pribadi dalam Membayar Pajak Penghasilan

Pemerintah melakukan reformasi pajak bertujuan agar sistem perpajakan

dapat mengalami penyederhanaan baik yang mencangkup jenis pajak, tarif pajak,

dan cara pembayarannya. Salah satunya produknya adalah poin penting dalam

Undang-undang PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku efektif mulai tanggal 1

Januari 2009, adalah penurunan tarif PPh Orang pribadi yang semula tarif

tertingginya 35% menjadi 30%. Diharapkan dengan diturunkannya tarif pajak

tersebut, masyarakat sebagai wajib pajak tak lagi merasakan keberatan untuk

melaksanakan kewajibannya dalam membayar pajak yang berarti tingkat

kepatuhan pajak semakin meningkat. Berdasarkan uraian tersebut tersebut,

hipotesis yang diajukan adalah:


H1 : Tarif pajak berpengaruh negatif terhadap kepatuhan wajib pajak orang

pribadi dalam membayar Pajak Penghasilan.

2.4.2 Pengaruh Jenis Pendapatan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang

Pribadi dalam Membayar Pajak Penghasilan

Dalam Komalasari dan Nashih (2005), mengimplikasikan bahwa wajib

pajak memperlakukan pendapatannya secara berbeda tergantung pada bagaimana

ia memperoleh pendapatan tersebut. Ketika wajib pajak menerima pendapatan

tanpa perlu mengeluarkan tenaga dan kerja keras yang cukup besar, ia cenderung

untuk patuh terhadap peraturan perpajakan dengan tidak melakukan evasion

terhadap pendapatan kena pajak (PKP)nya. Sebaliknya ketika wajib pajak

menerima pendapatan melalui sebuah kerja keras yang memakan waktu dan

55
tenaga yang cukup besar cenderung untuk berupaya memaksimalkan utilitas

(payoff)nya. Berdasarkan perbedaan jenis pendapatan tersebut, hipotesis yang

diajukan adalah:
H2 : Jenis pendapatan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak

Orang Pribadi dalam membayar Pajak Penghasilan.

2.4.3 Pengaruh Akuntabilitas terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang

Pribadi dalam Membayar Pajak Penghasilan

Asas Akuntabilitas menurut pasal 20 Undang – Undang Nomor 28 Tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi,

Korupsi dan Nepotisme adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang

kedaulatan tertinggi negara. Akuntabilitas Pelayanan Publik dari kantor pajak

secara langsung dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap pemerintah,

akuntabilitas pelayanan publik dapat tercapai jika fasilitas fisik, daya tanggap,

pelayanan hubungan komunikasi saling terkait terhadap wajib pajak sehingga

akuntabilitas pelayanan publik memenuhi persepsi dan harapan wajib pajak.

Berdasarkan uraian tersebut diajukan hipotesis:

H3 : Akuntabilitas berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak orang

pribadi dalam membayar Pajak Penghasilan.

56
2.4.4 Pengaruh Transparansi terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang

Pribadi dalam Membayar Pajak Penghasilan

Pengertian transparansi adalah penyajian informasi keuangan yang terbuka

dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat

memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas

pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang

dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan.

Dalam perpajakan, transparansi berhubungan dengan penyiapan informasi yang

akurat, yang tidak melahirkan salah tafsir dan siap untuk dipresentasikan, baik

kepada pihak masyarakat, swasta, legislatif maupun komponen-komponen di

dalam pemerintahan sendiri. Sehingga, apabila masyarakat sebagai wajib pajak

mengetahui dengan betul penggunaan pajak yang mereka bayar, akan mendorong

masyarakat untuk membayar pajak.

Berdasarkan uraian tersebut diajukan hipotesis:

H4 : Transparansi berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak orang

pribadi dalam membayar Pajak Penghasilan.

2.4.5 Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Orang Pribadi dalam Membayar Pajak Penghasilan

Sejak diberlakukannya self assessment system dalam perpajakan di

Indonesia, Wajib Pajak diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, menyetor

dan melaporkan sendiri atas kewajiban pajaknya. Sistem perpajakan ini sangat

memerlukan kejujuran dari Wajib Pajak dalam menghitung pajak terhutang dan

harus dibayar melalui pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

57
Dalam pelaksanaan undang-undang perpajakan fungsi pengawasan

sekaligus pembinaan merupakan konsekuensi dari pemberian kepercayaan kepada

Wajib Pajak tersebut. Sebagai perwujudan bentuk pengawasan dan pembinaan,

kegiatan pemeriksaan pajak dilaksanakan dari waktu ke waktu dan

berkesinambungan.
Adapun hubungan antara pemeriksaan pajak dengan kepatuhan wajib

pajak yang dapat kita lihat dari tujuan pemeriksaan pajak yang dikemukakan oleh

John Hutagaol (2007:73) sebagai berikut:

“Tujuan pemeriksaan adalah melakukan pengujian terhadap kepatuhan


Wajib Pajak atau untuk tujuan lain. Pemeriksaan pajak memberikan
deterrent effect terhadap Wajib Pajak untuk peningkatan kepatuhan
sukarela Wajib Pajak yang secara langsung memberikan pengaruh atas
peningkatan tax coverage ratio dan peningkatan penerimaan negara dari
sektor perpajakan”.
Selain itu Gunadi (2005) menyatakan:

“Analisa mengenai jumlah tambahan penerimaan pajak dari aktivitas


pemeriksaan menunjukan rasio yang semakin meningkat yang merupakan
gambaran keberhasilan pemeriksaan pajak untuk meningkatkan kepatuhan
Wajib Pajak sekaligus meningkatkan penerimaan negara”.
Berdasarkan uraian diatas dapat diajukan hipotesis:
H5 : Pemeriksaan Pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak

pribadi dalam membayar Pajak Penghasilan.

2.4.6 Pengaruh Penegakan Hukum terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Orang Pribadi dalam Membayar Pajak Penghasilan

Reformasi pajak merupakan bentuk perbaikan dalam sistem administrasi

perpajakan, harapannya perbaikan-perbaikan tersebut dapat pengaruh positif bagi

peningkatan kepatuhan wajib pajak yang pada akhirnya mendorong peningkatan

penerimaan pajak. Agar peningkatan kepatuhan wajib pajak dapat dilaksanakan

58
dengan baik, disamping dilakukan penyuluhan dan pelayanan kepada Wajib Pajak,

juga perlu dilakukan tindakan penegakan hukum.


Sistem pemungutan pajak yang berdasarkan atas self assessment system,

Wajib Pajak diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung menyetor dan

melapor sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perundang-

undangan perpajakan. Akan tetapi walaupun telah diberikan kepercayaan, ternyata

masih ada Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai

contoh, wajib pajak tidak membayar pada waktu yang telah ditentukan atau tidak

melaporkan pajak yang terutang pada waktunya.


Atas kepercayaan yang diberikan kepada Wajib Pajak, maka diperlukan

tindakan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan

kewajiban perpajakannya. Tindakan tersebut salah satunya adalah melalui

pemberian sanksi kepada wajib pajak yang tidak patuh. Sehingga Wajib Pajak

yang tidak patuh dan yang kepatuhannya tergolong rendah, diharapkan dengan

diberikannya sanksi, tingkat kepatuhannya akan menjadi lebih baik. Hal serupa

juga dikemukakan oleh Mohammad Zain (2007:35) yaitu :

”Sesungguhnya tidak diperlukan suatu tindakan apapun, apabila dengan


rasa takut dan ancamam hukuman (sanksi dan pidana) saja wajib pajak
sudah akan mematuhi kewajiban perpajakannya. Perasaan takut tersebut
merupakan alat pencegah yang ampuh untuk mengurangi penyelundupan
pajak atau kelalaian pajak. Jika hal ini sudah berkembang dikalangan para
wajib pajak maka akan berdampak pada kepatuhan dan kesadaran untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya.”
Selain itu Richard Burton (2002) menyatakan bahwa:

“Kaidah hukum (hukum pajak) berupa sanksi pidana maupun administrasi


pada dasarnya dimaksudkan agar masyarakat patuh dan mau melunasi
kewajibannya untuk melunasi utang pajaknya dengan baik dan benar”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diajukan hipotesis:

59
H6 : Penegakan hukum berpengaruh positif terhadap kapatuhan wajib pajak

pribadi dalam Membayar Pajak Penghasilan.

2.4.7 Pengaruh Kompensasi Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Orang Pribadi dalam Membayar Pajak Penghasilan

Perhitungan kelebihan pembayaran pajak dengan utang pajak akan

ditindaklanjuti dengan kompensasi utang pajak, dan dalam hal tidak ada utang

pajak, seluruh kelebihan pembayaran pajak dikembalikan kepada wajib pajak

bersangkutan. Berdasarkan kompensasi pajak diajukan hipotesis:


H7 : Kompensasi pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak

orang pribadi dalam membayar Pajak Penghasilan.

60
PENDAHULUAN.................................................................................................................... 1

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH.......................................................................................1


1.2 RUMUSAN MASALAH PENELITIAN................................................................................7
1.3 TUJUAN PENELITIAN.....................................................................................................8
1.4 MANFAAT PENELITIAN..................................................................................................9

TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................... 10

2.1 LANDASAN TEORI.........................................................................................................10


2.1.1 Theory of Planned Behavior (TPB)...........................................................................10
2.1.2 Kepatuhan Wajib Pajak..............................................................................................11
2.1.3 Tinjauan Umum tentang Perpajakan.........................................................................18
2.1.3.1 Pengertian Perpajakan...................................................................................................18
2.1.3.2 Fungsi Pajak..................................................................................................................19
2.1.3.3 Wajib Pajak...................................................................................................................20
2.1.3.4 Kewajiban Perpajakan...................................................................................................20
2.1.3.5 Sistem Perpajakan.........................................................................................................20
2.1.3.6 Definisi Tarif Pajak (Tax Rate)......................................................................................21
2.1.3.7 Pajak Penghasilan..........................................................................................................23
2.1.3.8 Pajak Penghasilan Orang Pribadi...................................................................................23
2.1.4 Tinjauan tentang Reformasi Perpajakan...................................................................24
2.1.5 Reformasi Pajak 2008................................................................................................27
2.1.5.1 Reformasi Peraturan Perpajakan..........................................................................27
2.1.6 Penegakan Hukum Di Bidang Perpajakan................................................................37
2.1.7 Pemeriksaan Pajak dan Dasar Hukumnya................................................................39
2.1.8 Insentif Pajak.............................................................................................................45
2.2 PENELITIAN TERDAHULU..............................................................................................47
2.3 KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS.................................................................................50
2.4 PERUMUSAN HIPOTESIS.................................................................................................50
2.4.1 Pengaruh Perubahan Tarif Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
dalam Membayar Pajak Penghasilan.....................................................................................50
2.4.2 Pengaruh Jenis Pendapatan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
Membayar Pajak Penghasilan................................................................................................51
2.4.3 Pengaruh Akuntabilitas terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
Membayar Pajak Penghasilan................................................................................................51
2.4.4 Pengaruh Transparansi terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
Membayar Pajak Penghasilan................................................................................................52
2.4.5 Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
dalam Membayar Pajak Penghasilan.....................................................................................53
2.4.6 Pengaruh Penegakan Hukum terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
dalam Membayar Pajak Penghasilan.....................................................................................54
2.4.7 Pengaruh Kompensasi Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
Membayar Pajak Penghasilan..................................................................................................55

61
62

Anda mungkin juga menyukai

  • Proposal Lengkap 240712aa
    Proposal Lengkap 240712aa
    Dokumen86 halaman
    Proposal Lengkap 240712aa
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen16 halaman
    Bab Ii
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Proposal Lengkap 240712aa
    Proposal Lengkap 240712aa
    Dokumen86 halaman
    Proposal Lengkap 240712aa
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab 123 Usulan Penelitian
    Bab 123 Usulan Penelitian
    Dokumen54 halaman
    Bab 123 Usulan Penelitian
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen18 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • BAB I New
    BAB I New
    Dokumen20 halaman
    BAB I New
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    Dokumen62 halaman
    BAB I-II - Warmanti - Koreksi 9 Sept
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen18 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Skripsi Shienny
    Skripsi Shienny
    Dokumen102 halaman
    Skripsi Shienny
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Proposal
    Proposal
    Dokumen49 halaman
    Proposal
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Proposal Pinus
    Proposal Pinus
    Dokumen35 halaman
    Proposal Pinus
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • BAB IV-New
    BAB IV-New
    Dokumen16 halaman
    BAB IV-New
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I-Vi
    Bab I-Vi
    Dokumen13 halaman
    Bab I-Vi
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 2 3
    Bab 1 2 3
    Dokumen46 halaman
    Bab 1 2 3
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I-Vi
    Bab I-Vi
    Dokumen33 halaman
    Bab I-Vi
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat
  • Bab I-Vi
    Bab I-Vi
    Dokumen33 halaman
    Bab I-Vi
    Bambang Satwendo
    Belum ada peringkat