Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

OTITIS MEDIA AKUT


Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Kepresidenan
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

Disusun oleh :
Andres Vidianto 112017207 FK UKRIDA
Benita Rosalie 112017249 FK UKRIDA
Fikranaya Salim 112017138 FK UKRIDA
Mazaya Indah Brillian A 1102013165 FK YARSI

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA


HIDUNG TENGGOROK RUMAH SAKIT KEPRESIDENAN RUMAH
SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
PERIODE 06 AGUSTUS – 08 SEPTEMBER 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Otitis Media Akut

Disusun oleh :

Andres Vidianto 112017207 FK UKRIDA


Benita Rosalie 112017249 FK UKRIDA
Fikranaya Salim 112017138 FK UKRIDA
Mazaya Indah Brillian A 1102013165 FK YARSI

Referat ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat
mengikuti ujian kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok di Rumah Sakit Kepresidenan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
Gatot Soebroto Jakarta.

Jakarta, Agustus 2018


Mengetahui,

Pembimbing
dr. Susilaningrum, Sp.THT-KL

2
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN……………………………………………………………..1
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………...2
DAFTAR ISI……………………………………....……………………………...3
DAFTAR GAMBAR...…………………………....……………………………...4
BAB 1 PENDAHULUAN…...…………………………………………………...5
1.1 Latar Belakang....…...........…..……………….……………………………….5
1.2 Tujuan Penulisan.……….……………….........……………………………….6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………7
2.1 Anatomi…...…………………..………………………………………………7
2.2 Fisiologi………………………..…………………………………………….11
2.3 Definisi………………………..……………………………………………...11
2.4 Epidemiologi…………...……..………………………………..…………….12
2.5 Etiologi………………………..…………………………………..………….12
2.6 Patofisiologi…………………..………………………………………..…….13
2.7 Manifestasi Klinis…………………………..………………………………..15
2.8 Penegakkan Diagnosis…………...………………………..…………………18
2.9 Penatalaksanaan…………………………………………..………………….19
2.10 Komplikasi………………………………………………..………………...22
2.11 Prognosis……………………..……………………………………………..23
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...25
DAFTAR GAMBAR

2.1 Telinga dan pembagiannya; Permukaan lateral pinna; Kartilago aurikular......7


2.2 Serat radier, sirkular, dan parabolik dari pars tensa..........................................8
2.3 Penampakan membran timpani kanan......................…………………...…......9
2.4 Pembagian telinga tengah.....................................……………………….......10
2.5 Tulang pendengaran........……..………………………………………..…….10
2.6 Skema pembagian otitis media……………..………………………………..12
2.7 Membran timpani stadium kataralis.…......………………..…………………16
2.8 Membran timpani stadium bombans…......………………..…………………17
2.9 Membran timpani stadium perforasi.…......………………..……………...…17
2.10 Agen antimikroba untuk OMA……………………........................………..20
2.11Pengobatan OMA……………………............................................………...22

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang
berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2015). Telinga tengah adalah
ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan telinga
dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba Eustachius (Tortora dkk,
2012).
OMA merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang umum terjadi di
berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara dengan ekonomi rendah dan
Indonesia, serta memiliki angka kejadian yang cukup bervariasi pada tiap-tiap
negara (Ramakrishnan, 2010).
Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang cukup berkaitan
dengan terjadinya OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anak-
anak dibandingkan kalangan usia lainnya. Kondisi demikian terjadi karena faktor
anatomis, dimana pada fase perkembangan telinga tengah saat usia anak-anak,
tuba Eustachius memang memiliki posisi yang lebih horizontal dengan drainase
yang minimal dibandingkan dengan usia lebih dewasa. Hal inilah yang membuat
kecenderungan terjadinya OMA pada usia anak-anak lebih besar dan lebih
ekstrim dibandingkan usia dewasa (Tortora dkk, 2012).
Berdasarkan realita yang ada, Donaldson menyatakan bahwa anak-anak
berusia 6-11 bulan lebih rentan terkena OMA, dimana frekuensinya akan
berkurang seiring dengan pertambahan usia, yaitu pada rentang usia 18-20 bulan.
Pada usia yang lebih tua, beberapa anak cenderung tetap mengalami OMA dengan
persentase kejadian yang cukup kecil dan terjadi paling sering pada usia empat
tahun dan awal usia lima tahun. Setelah gigi permanen muncul, insidensi OMA
menurun dengan signifikan, walaupun beberapa individu yang memang memiliki
kecenderungan tinggi mengalami otitis tetap sering mengalami episode
eksaserbasi akut hingga memasuki usia dewasa. Kadang-kadang, individu dewasa
yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit telinga sebelumnya, namun

5
mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang disebabkan oleh adanya
infeksi virus juga mengalami OMA (Donaldson, 2015).
Meskipun secara teoritis dinyatakan demikian, pendataan tentang kasus
OMA berdasarkan tingkat usia menunjukkan hasil yang bervariasi pada berbagai
negara. Kaneshiro menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang umum
terjadi pada bayi, balita, dan anak-anak, sedangkan kasus OMA pada orang
dewasa juga pernah dilaporkan terjadi, namun dengan frekuensi yang tidak
setinggi pada anak-anak. Donaldson (2015) bahkan menunjukkan bahwa 70% dari
anak-anak mengalami ≥ 1 kali serangan OMA sebelum usia 2 tahun. Di Kanada,
Dube, dkk (2011) melakukan studi di Quebec dan mendapatkan bahwa pada usia
3 tahun, 60-70% anak telah mengalami minimal 1 kali episode OMA.
Mengingat tingginya angka kejadian bakteri yang resisten terhadap
antimikroba, maka diperlukan perhatian khusus. Hal ini dikarenakan penggunaan
antibiotik merupakan pilihan terapi awal pada OMA. Terapi pembedahan pada
OMA dapat dibagi ke dalam tiga prosedur, yakni: timpanosentesis, miringotomi,
dan miringotomi dengan pemasangan tuba ventilasi (Donaldson, 2015).

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah sebagai bahan belajar bagi dokter muda
ataupun pembaca lainnya mengenai definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, cara penegakkan diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan
prognosis dari otitis media akut serta anatomi dari telinga tengah.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan dalam. Telinga tengah
berbentuk kubus dengan perbatasan (Soepardi, 2012):
 Luar : membran timpani
 Depan : tuba eustachius
 Bawah : vena jugularis
 Belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
 Atas : tegmen timpani (meningen/ otak)
 Dalam : (dari atas ke bawah) kanalis semisirkularis horizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round
window) dan promontorium.

Gambar 2.1. (A) Telinga dan pembagiannya, (B) Permukaan lateral Pinna,
(C) Kartilago aurikular (Dhingra, 2014)
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran

7
propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel
kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel
mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Pada pars flaksida
terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu
lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid (Soepardi,
2012).

Gambar 2.2. Serat radier, sirkular, dan parabolik dari pars tensa (Dhingra,
2014)
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani
disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke
arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk
membran timpani kanan. Refleks cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan
oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkular
dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang
berupa kerucut itu. Secara klinis refleks cahaya ini dinilai, misalnya bila letak
refleks cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius
(Soepardi, 2012).

8
Gambar 2.3. Penampakan membran timpani kanan (Probst, 2011)
Membran timpani dibagi ke dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani (Soepardi, 2012).
Bila melakukan miringotomi atau parasentesis, dibuat insisi di bagian
bawah belakang membran timpani. Di daerah ini tidak terdapat tulang
pendengaran. Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang
tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, stapes (Soepardi, 2012).

9
Gambar 2.4. Pembagian telinga tengah menjadi epi-, meso-, dan
hipotimpanum (Dhingra, 2014)

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus


longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran
merupakan persendian (Soepardi, 2012).

Gambar 2.5. Tulang pendengaran dan bagian-bagiannya (Dhingra, 2014)

10
2.2 Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa
pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner
yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang
mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari
badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke
korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soepardi, 2012).

2.3 Definisi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Banyak ahli
membuat pembagian dan klasifikasi otitis media (Soepardi, 2012). Otitis media
akut merupakan inflamasi pada telinga tengah dalam waktu 3 minggu pertama
(Donaldson, 2015).

11
Otitis Media

Otitis Media
Otitis Media Otitis Media
Kronik
Akut (OMA) Sub Akut
(OMK)

Risiko
Tipe aman,
rendah,
Tipe bahaya
Risiko tinggi

Gambar 2.6. Skema Pembagian Otitis Media (Soepardi, 2012)

2.4 Epidemiologi
Otitis media akut sering terjadi pada anak, hal ini dikarenakan tuba
Eustachius yang lebar dan pendek (Bull, 2010). Di Amerika Serikat, 70% anak
telah mengalami OMA setidaknya satu kali sebelum usia 2 tahun. Puncak
kejadian otitis media akut adalah pada anak berusia 3-18 bulan (Donaldson, 2015).
Anak yang telah mengalami enam kali serangan otitis media atau lebih
disebut dengan istilah "cenderung otitis". Suatu penelitian oleh Howie
menunjukkan bahwa suatu episode infeksi S.pneumoniae dalam tahun pertama
kehidupan telah dihubungkan dengan berlanjutnya insidens episode otitis media
akut berulang. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan anak wanita. Insidens kondisi alergi tidak meningkat pada anak-
anak ini. Delapan serotipe S.pneumoniae bertanggung jawab lebih atas lebih dari
75% episode otitis media akut (Boies, 1997).

2.5 Etiologi
Kuman penyebab utama OMA ialah bakteri piogenik, seperti
Streptococcus hemolyticus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus. Selain itu,
kadang-kadang ditemukan juga Haemophilus influenzae, Escherichia coli, dan
Pseudomonas aurugenosa (Soepardi, 2012). Sejauh ini Streptococcus pneumoniae
merupakan organisme penyebab tersering pada semua kelompok umur (Boies,

12
1997). Haemophilus influenzae sering ditemukan pada anak yang berusia di
bawah 5 tahun, meskipun juga merupakan patogen pada orang dewasa (Soepardi,
2012).
Berikut ini adalah faktor risiko yang mempengaruhi otitis media
(Donaldson, 2015):
 Prematuritas & berat lahir rendah
 Usia muda
 Riwayat keluarga
 Abnormalitas kraniofasial
 Penyakit neuromuskular
 Alergi
 Status sosioekonomi rendah
 Paparan tembakau & polutan
 Posisi tidur telentang
 Tidak mendapatkan ASI
Selain itu, juga terdapat beberapa faktor predisposisi dari terjadinya otitis
media akut. Apapun yang mengganggu fungsi normal dari tuba Eustachius
merupakan predisposisi terjadinya infeksi telinga tengah. Hal-hal tersebut seperti
(Dhingra, 2014):
 Serangan ISPA berulang
 Infeksi tonsil dan adenoid
 Rinitis dan sinusitis kronik
 Alergi
 Tumor nasofaring, mengorek hidung
 Palatoschisis

2.6 Patofisiologi
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring
dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba
ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi.

13
Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu (Soepardi,
2012). Sebagai pelengkap mekanisme pertahanan di permukaan, suatu anyaman
kapiler subepitel yang penting menyediakan pula faktor-faktor humoral, leukosit
PMN dan sel fagosit lainnya (Boies, 1997).
Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis
media. Karena fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke
dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga
tengah dan terjadi peradangan (Soepardi, 2012).
Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran
napas atas. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas, makin
besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi, terjadinya OMA dipermudah
oleh karena tuba Eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal
(Soepardi, 2012).
Terdapat beberapa rute infeksi sehingga terjadi otitis media akut, antara
lain (Dhingra, 2014):
1. Melalui tuba eustachius. Merupakan rute paling sering. Infeksi berpindah
melalui lumen.
2. Melalui telinga luar. Trauma perforasi pada membran timpani akan
membuka jalan terjadinya infeksi telinga tengah.
3. Peredaran darah. Merupakan rute yang sangat jarang.
Seringkali infeksi awalnya disebabkan oleh virus, namun reaksi alergi dan
kondisi inflamasi lain yang melibatkan tuba Eustachius turut berperan. Inflamasi
pada nasofaring meluas ke tepi medial dari tuba Eustachius, menyebabkan stasis
dan inflamasi. Hal tersebut mengakibatkan penurunan tekanan di dalam telinga
tengah. Keadaan stasis mendukung terjadinya kolonisasi bakteri patogen di dalam
ruang telinga tengah. Respons yang terjadi berupa reaksi inflamasi akut seperti
vasodilatasi, eksudat, invasi leukosit, fagositosis, dan reaksi imunologis lokal di
dalam telinga tengah (Donaldson, 2015).
Untuk menjadi patogen di daerah seperti telinga atau sinus, bakteri harus
melekat pada lapisan mukosa. Infeksi virus yang menyerang dan merusak
permukaan mukosa traktus respiratorius mengakibatkan bakteri dapat tumbuh

14
patogen di daerah nasofaring, tuba Eustachius, dan ruang telinga tengah
(Donaldson, 2015).

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, keluhan di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat
batuk pilek sebelumnya.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri
terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat
sampai 39,5 oC (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba
anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak
memegang telinganya yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka
sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh menurun dan anak tertidur tenang
(Soepardi, 2012)
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas
4 stadium: (1) stadium kataralis, (2) stadium supurasi / bombans, (3) stadium
perforasi, (4) stadium resolusi. Keadaan ini berdasarkan pada gambaran membran
timpani yang diamati melalui meatus akustikus eksternus (MAE) (Harmadji,
Soepriyadi, & Wisnubroto, 2010).
1. Stadium Kataralis
Tanda adanya stadium ini adalah adanya retraksi membran timpani akibat
terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, akibat absorpsi udara. Kadang-
kadang membran timpani tampak normal atau berwarna keruh pucat dan berlanjut
hingga tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh
membran timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang terbentuk mungkin
masih bersifat eksudat yang serosa sehingga stadium ini sukar dibedakan dengan
otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi (Soepardi, 2012).

15
Gambar 2.7. Membran timpani stadium kataralis
2. Stadium Supurasi/ Bombans
Edema yang hebat pada telinga tengah dan hancurnya epitel superfisial,
serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani, menyebabkan
membran timpani menonjol / bombans (bulging) ke arah telinga luar. Pada
keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri
di telinga bertambah hebat.
Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi
iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada
vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran
timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di
tempat ini akan terjadi ruptur.
Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium
ini, maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah keluar ke
MAE. Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali,
sedangkan apabila terjadi ruptur, maka lubang tempat ruptur (perforasi) tidak
mudah menutup kembali (Soepardi, 2012).

16
Gambar 2.8. Membran timpani stadium supuratif/ bombans
3. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotik atau
virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan
nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke MAE. Anak yang tadinya gelisah
sekarang menjadi tenang, suhu badan turun dan anak dapat tertidur nyenyak.
Keadaan ini disebut dengan otitis media akut stadium perforasi (Soepardi, 2012).

Gambar 2.9. Membran timpani stadium perforasi

17
4. Stadium Resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani
perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret
akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi
kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. OMA
berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus
menerus atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele)
berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya
perforasi (Soepardi, 2012).

2.8 Penegakkan Diagnosis


Diagnosis OMA cukup ditegakkan secara klinik, yaitu meliputi anamnesis
dan pemeriksaan telinga (otoskop) yang didasarkan pada stadiumnya (Harmadji,
Soepriyadi, & Wisnubroto, p. 2010).
Stadium Anamnesis Otoskopi
1. Kataral Diawali dengan ISPA dan - Membran timpani:
diikuti dengan gejala di Retrkasi, warna mulai
telinga: hiperemia
- Terasa penuh - Kadang-kadang tampak
- Grebeg-grebeg adanya air fluid level
- Gangguan pendengaran
2. Supurasi / Bombans - Otalgia hebat - Membran timpani:
- Gangguan pendengaran Bombans dan hiperemia
- Febris, batuk, pilek - Belum ada sekret di
- Pada bayi dan anak MAE
kadang disertai dengan:
gelisah, rewel, kejang,
gastroenteritis
- Belum terjadi otorea

18
3. Perforasi - Otorea, mukopurulen - Membran timpani:
- Otalgia dan febris Perforasi, sentral, kecil
mereda di kuadran antero-
- Gangguan pendengaran inferior
- Masih ada batuk dan - Sekret: mukopurulen
pilek kadang tampak pulsasi
- Warna membran
timpani hyperemia
4. Resolusi Gejala-gejala pada - Membran timpani:
stadium sebelumnya Sudah pulih menjadi
sudah banyak mereda normal kembali
Kadang masih ada gejala - Masih dijumpai lubang
sisa: perforasi
Tinitus dan gangguan - Tidak dijumpai sekret
pendengaran lagi

2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium
oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius,
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes
hidung. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis (anak < 12 tahun) atau HCl
efedrin 1% dalam alrutan fisiologis untuk yang berumur di atas 12 tahun dan
orang dewasa. Selain itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan
apabila penyebab penyakit adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi (Soepardi,
2012).
Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung, dan
analgetika. Antibiotika yang dianjurkan ialah dari golongan penisilin atau
ampisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar didapatkan
konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.

19
Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi
terhadap penisilin, maka diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan
dengan dosis 50-100 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari (Soepardi,
2012).

Gambar 2.10. Agen antibakterial untuk OMA (Dhingra, 2014)


Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai
dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi
gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari. Miringotomi
ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, agar terjadi drainase sekret
keluar dari telinga tengah ke liang telinga luar (Soepardi, 2012).
Istilah miringotomi sering dikacaukan dengan parasentesis.
Timpanosentesis sebetulnya berarti pungsi pada membran timpani untuk
mendapatkan sekret guna pemeriksaan mikrobiologik (dengan semprit dan jarum
khusus). Miringotomi merupakan tindakan pembedahan kecil yang dilakukan
dengan syarat tindakan ini harus dilakukan secara a-vue (dilihat langsung), anak
harus tenang dan dapat dikuasai, sehingga membran timpani dapat terlihat dengan
baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Untuk tindakan ini
haruslah memakai lampu kepala yang mempunyai sinar cukup terang, memakai
corong telinga yang sesuai dengan besar liang telinga, dan pisau khusus
(miringotom) yang digunakan berukuran kecil dan steril (Soepardi, 2012).
Komplikasi miringotomi yang kemungkinan terjadi ialah perdarahan
akibat trauma pada liang telinga luar, dislokasi tulang pendengaran, trauma pada

20
fenestra rotundum, trauma pada n.fasialis, trauma pada bulbus jugulare (bila ada
anomali letak). Mengingat komplikasi itu, maka dianjurkan untuk melakukan
miringotomi dengan nekrosis umum dan memakai mikroskop. Tindakan
miringotomi dengan memakai mikroskop, selain aman, dapat juga mengisap
sekret dari telinga tengah sebanyak-banyaknya. Hanya dengan cara ini biayanya
lebih mahal (Soepardi, 2012).
Bila terapi sudah adekuat sebetulnya miringotomi tidak perlu dilakukan,
kecuali bila jelas tampak adanya nanah di telinga tengah. Sebagian ahli
berpendapat bahwa miringotomi tidak perlu dilakukan, apabila terapi yang
adekuat sudah dapat diberikan (antibiotika yang tepat & dosis cukup). Komplikasi
timpanosintesis kurang lebih sama dengan komlikasi miringotomi (Soepardi,
2012).
Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang
terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan
adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.
Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-
10 hari (Soepardi, 2012).
Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi
resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui
perforasi di membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya
edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotika dapat
dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih
tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis (Soepardi, 2012).
Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari
3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi
menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan,
maka keadaan ini disebut otitis media supuratif kronis (OMSK) (Soepardi, 2012).

21
Gambar 2.11. Pengobatan OMA (Dhingra, 2014)

2.10 Komplikasi
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga
tengah yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke
struktur di sekitarnya. Pertahanan pertama ini adalah mukosa kavum timpani yang
juga seperti mukosa saluran napas, mampu melokalisasi infeksi. Bila sawar ini
runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel
mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka struktur lunak di sekitarnya akan terkena
(Soepardi, 2012).

22
Pada otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut penyebaran biasanya
melalui osteotromboflebitis atau secara hematogen. Penyebaran melalui
osteotromboflebitis dapat diketahui dengan adanya: (1) komplikasi terjadi pada
awal suatu infeksi atau eksaserbasi akut, dapat terjadi pada hari pertama atau
kedua sampai hari kesepuluh; (2) gejala prodromal tidak jelas seperti didapatkan
pada gejala meningitis lokal; (3) pada operasi, didapatkan dinding tulang telinga
tengah utuh, dan tulang serta lapisan mukoperiosteal meradang dan mudah
berdarah, sehingga disebut juga mastoiditis hemorrhagika (Soepardi, 2012).
1. Mastoiditis Akut
Terjadi empiema di rongga mastoid akibat terjadinya blokade di daerah
epitimpanum. Sering diikuti dengan abses di belakang daun telinga (abses
subperiostel mastoid). Perlu segera di lakukan evakuasi empiema lewat
pendekatan mastoidektomi simpel (Schwartze) (Harmadji, Soepriyadi, &
Wisnubroto, p. 2010).
2. Komplikasi Intrakranial
Mastoiditis akut kalau tidak dapat segera diatasi dapat meluas ke dalam
intrakranial (meningitis dan abses otak) (Harmadji, Soepriyadi, & Wisnubroto, p.
2010).
3. Paresis nervus fasialis
Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis
fasialis. Akumulasi pus di dalam kavum timpani dapat menimbulkan kompresi
pada nervus fasialis. Pada OMA operasi dekompresi kanalis fasialis tidak
diperlukan. Perlu diberikan antibiotik dosis tinggi dan terapi penunjang lainnya,
serta menghilangkan tekanan di dalam kavum timpani dengan drainase. Bila
dalam jangka waktu tertentu ternyata tidak ada perbaikan setelah diukur dengan
elektrodiagnostik (misalnya elektromiografi), barulah dipikirkan untuk melakukan
dekompresi (Soepardi, 2012; Harmadji, Soepriyadi, & Wisnubroto, 2010).

2.11 Prognosis
Kematian yang disebabkan oleh OMA sangat jarang di era modern ini.
Dengan terapi antibiotik yang efektif, tanda sistemik seperti demam dan letargis

23
akan menghilang bersamaan dengan hilangnya nyeri dalam waktu 48 jam. Dan
biasanya tuli pendengaran konduktif juga akan membaik. Efusi telinga tengah dan
tuli pendengaran konduktif dapat menetap selama periode terapi, dengan
perkiraan 70% anak akan mengalami efusi telinga tengah dalam waktu 14 hari,
50% dalam satu bulan, 20% dalam 2 bulan, dan 10% setelah 3 bulan (Donaldson,
2015).

24
DAFTAR PUSTAKA

Boies, Adams, Higler. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. 1997
Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis 6th ed. London: Thieme. 2010
Dhingra PL, Dhingra S, Dhingra D. Disease of Ear Nose and Throat & Head and
Neck Surgery 6th ed. Haryana: Elsevier. 2014
Donaldson JD. Acute Otitis Media. Medscape reference. 2015
Dube E. Burden of acute otitis media on canadian families. Canadian Family
Physician, 57: 60, 62-64. 2011
Harmadji, S., Soepriyadi, & Wisnubroto. (2010). Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag/. In R. d. Soetomo, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan Edisi ke-3 (pp. 10-13).
Surabaya: FK UNAIR.
Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology A Step by Step Learning
Guide. Stuttgart: Thieme. 2011
Ramakrishnan K. Diagnosis and treatment of otitis media.Ann Fann Physician
76(11): 1650-1658. 2010
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2012
Tortora GJ. Principles of Anatomy and Physiology 13th ed. USA: Biological
Science Textbook. 2012

25

Anda mungkin juga menyukai