Anda di halaman 1dari 21

PR

KOLESTEATOMA

Disusun oleh:

Annisa Rahmadhania

1102013038

Pembimbing:

dr. Erlina Julianti, Sp.THT-KL

dr. Jon Prijadi, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU THT

RSUD KABUPATEN BEKASI

PERIODE 10 SEPTEMBER – 13 OKTOBER 2018


1. Definisi Kolesteatoma
Istilah kolesteatom pertama kali dikenalkan oleh Muller pada tahun
1838 sedangkan kausus pertama kolesteatom seperti massa yang
ditemukan oleh Du Verneey pada tahun 1683 mendeskripsikan sebuah
massa di antara cerebellum dengan cerebrum. Kolesteatoma adalah
terperangkapnya epitel skuamosa produksi keratin di dalam ruang telinga
tengah, epitimpanum, mastoid dan apeks petrosus yang menyebabkan
pertumbuhan tidak terkendali, menggantikan mukosa ruang telinga tengah
dan resorbsi tulang (Zarandy, 2010).
Secara histologis, kolesteatoma merupakan kista sel skuamosa
keratin benign yang terdiri dari tiga komponen yaitu:
a. kista, yang tersusun atas keratin skuamosa anukleasi,
b. matriks, yang tersusun atas epithelium skuamosa keratinisasi yang
struktur menyerupai kista
c. Perimatriks atau lamina propia, bagian perifer kolesteatom, yang
terdiri atas jaringan granulasi dimana memproduksi enzim proteolitik
yang mengakibatkan destruksi tulang.
(Quin FB, 2002)

2. Epidemiologi Kolesteatoma
Prevalensi kolesteatoma belum diketahui secara pasti. Kejadian
kolesteatoma berkisar 3-12 kasus per 100.000 populasi. Kejadian tahunan
pada anak-anak sebesar 3 per 100.000 sedangkan pada dewasa 12,6 per
100.000 populasi. Pada tulang temporal manusia dengan otitis media
kronis, didapati kolesteatoma pada 36% telinga dengan perforasi dan 4%
tanpa perforasi membrane timpani. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak
menderita kolesteatoma. Jumlah pasien OMSK dengan kolesteatoma di
Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Janari 2006
– 31 Desember 2010 sebanyak 119 pasien (Novita, 2014).

1
3. Klasifikasi
A. Kongenital
Kolesteatoma kongenital terjadi sebagai konsekuensi dari epitel
skuamosa yang terjebak dalam tulang temporal selama embryogenesis.
Kolesteatoma kongenital biasanya ditemukan di anterior
mesotympanum atau di dalam area periustachian tube. Mereka
diidentifikasi paling sering pada anak-anak usia 6 bulan hingga 5
tahun. Selama kolesteatoma membesar, kolesteatoma dapat
menyumbat tuba eustachius dan memproduksi cairan telinga tengah
kronis dan mengakibatkan tuli konduktif. Kolesteatoma juga dapat
melebar kea rah posterior dan mengelilingi tulang-tulang pendengaran
hingga menyebabkan tuli konduktif. Tidak seperti tipe kolesteatoma
lainnya, kolesteatoma kongenital biasanya diidentifikasi di belakang
membrane timpani yang masih utuh dan terlihat normal. Anak
biasanya tidak memiliki sejarah infeksi telinga berulang, tidak pernah
dioperasi telinga sebelumnya dan tidak memiliki sejarah perforasi
membrane timpani (Roland PS, 2012).

Gambar 1. Congenital Cholesteatoam

B. Akuisital Primer
Kolesteatoama akuisital primer terjadi karena retraksi membran
timpani, retraksi ke dalam medial pars flaccida ke dalam epitympanum
(scutum) secara progresif. Selama proses ini berlangsung, dinding
lateral epitympanum (scutum) secara perlahan mengalami erosi

2
sehingga terjadi kerusakan pada dinding lateral epitympanum yang
perlahan-lahan meluas. Membran timpani terus mengalami retraksi
kearah medial hingga melewati kepala tulang pendengaran dan ke
dalam epitympanum. Sering terjadi kerusakan pada tulang
pendengaran. Bila kolesteatoma mengarah ke posteror ke dalam aditus
ad antrum dan mastoid, erosi dari tegmen mastoideum dengan
eksposur dari dura dan atau erosi dari lateral kanalis semisirkularis
hingga terjadi ketulian dan vertigo dapat terjadi (Roland PS, 2012).
Tipe kedua dari kolesteatoma akuisital primer terjadi saat kuadran
posterior dari membran timpani teretraksi ke dalam telinga tengah
bagian posterior. Membran timpani akan menempel ke bagian panjang
dari incus. Saat retraksi terus terjadi ke arah medial dan posterior,
epitel skuamosa akan menutupi struktur dari stapes dan kemudian
mengalami retraksi ke dalam sinus timpani. Kolesteatoma akuisital
primer terjadi dari membran timpani posterior akan mudah
mengakibtakan eksposur ke nerves fasialis (dapat mengakibatkan
paralisis) dan kerusakan struktur stapedial (Roland PS, 2012).

Gambar 2. Kolesteatoma Akuisital Primer


C. Akuisital Sekunder
Kolesteatoma akuisital sekunder terjadi karena konsekuensi
langsung terjadap injuri pada membran timpani. Kerusakan ini dapat
dalam bentuk perforasi yang terjadi karena otitis media akut atau

3
trauma, atau dapat terjadi karena manipulasi operasi dari membrane
timpani. Prosedur simple seperti tympanostomy dapat mengakibatkan
implantasi epitel skuamosa ke dalam telinga tengah hingga
menyebabkan terbentuknya kolesteatoma. Perforasi posterior marginal
paling sering menyebabkan formasi kolesteatoma. Walaupun perforasi
tipe central jarang mengakibatkan kolesteatoma, perforasi central juga
dapat mengakibatkan kolesteatoma. Kantung retraksi dalam apapun
dapat menyebabkan terjadinya formasi kolesteatoma bila kantung
retraksi menjadi cukup dalam untuk menjebak epitel yang mengalami
deskuamasi (Roland PS, 2012).

Gambar 3. Kolesteatoma Akuisital Sekunder

4. Patofisiologi Kolesteatoma
Kolesteatoma dapat dibagi menjadi kolesteatoma kongenital dan
kolesteatoma akuisital. Beberapa mekanisme pathogen menjelaskan
timbulnya kolesteatoma kongenital seperti:
1) Adanya sisa epidermis ektopik
2) Pertumbuhan epidermis di meatus
3) Metaplasia yang diikuti oleh infeksi atau inflamasi
4) Refluks cairan amnion yang mengandung epitel skuamosa di uterus
masuk ke telinga tengah
(Zavandy MM, 2010)

4
Sedangkan beberapa teori yang menjadi pathogenesis terjadinya
kolesteatoma didapat seperti:
1) Disfungsi tuba eustachius yang menyebabkan timbulnya invaginasi
membrane timpani sehingga menimbulkan kantong retraksi
2) Proliferasi sel basalis
3) Pertumbuhan sel epitel di dalam telinga tengah akibat perforasi
4) Akibat implantasu yang tidak dikehendaki
5) Metaplasia sel epitel skuamosa telinga tengah akibat infeksi atau
inflamasi kronik
(Zavandy MM, 2010)
A. Kolesteatoma Kongenital
Insidensi kolesteatoma kongenital diperkirakan antara 4% sampai
dengan 24% dari seluruh kolesteatoma pada anak-anak.. Kista keratin bisa
terakumulasi karena epitel yang dihasilkan terperangkap. Pada umumnya,
kista akan terbentuk sebagai kelainan pertumbuhan atau karena penyebab
iatrogenik. Kista epidermal akan ditemukan pada daerah medial dengan
membran timpani yang utuh (Novita CE, 2014).
Kolesteatoma kongenital biasanya tidak memiliki riwayat keluar
cairan dari liang telinga, perforasi membrane timpani dan riwayat
pembedahan. Biasanya yang didapatkan adalah penurunan pendengaran
sedangkan membrane timpani normal. Kriteria kolesteatoma kongenital:
 White mass pada telinga tengah, dengan membrane timpani yang
normal
 Normal pars flaccida dan pars tensa
 Tidak ada riwayat otorrhea atau perforasi sebelumnya
 Tidak ada riwayat prosedur otology sebelumnya
Patogenesis kolesteatoma kongenital masih diperdebatkan hingga
saat ini. Ada beberapa teori yang dipakai untuk menjelaskan pathogenesis
dari kolesteatoma kongenital.

5
 Epithelial rest theory
Teori ini dipopulerkan oleh Teed pada tahun 1936 kemudian
penemuan ini dikonfirmasi oleh Michaels pada tahun 1986. Teed
mengemukakan bahwa ia menemukan adanya sisa sel epitelial pada
tulang temporal fetus yang normalya menghilang pada minggu ke-
33 gestasi. Adanya sel epitelial tersebut menjadi pencetus terjadinya
kolesteatoma kongenital. Sisa sel epitelial ini ditemukan pada
dinding lateral tuba eustachius, di bagian proksimal tympanic ring,
di kuadran anterosuperior dari telinga tengah. Dikemukakan bahwa
cedera inflamasi pada membran timpani yang intak akan
mengakibatkan mikroperforasi pada lapisan basalis. Kemudian hal
ini membuat invasi dari epitel skuamosa dengan adanya aktivitas
proliferasi epithelial cones. Epithelial cones ini kemudian terus
berproliferasi, menyebar dan terus berekspansi dan membentuk
kolesteatoma pada telinga tengah (Rothholtz, 2013)

Gambar 4. Epithelial ivasion through posterosuperior


perforation

6
B. Kolesteatoma Akuisital
Kolesteatoma akuisital dibagi menjadi primer dan sekunder.
Kolesteatoma akuisital primer adalah kolesteatoma yang berasal dari
retraksi pars flaksida akibat disfungsi tuba Estachius membentuk pocket
retraction, sedangkan kolesteatoma akuisital sekunder adalah
kolesteatoma yang terjadi akibat perforasi membran timpani, biasanya
pada kuadran posterior superior telinga tengah (Novita, 2014).
Terdapat empat teori utama sebagai etiopatogenesis kolesteatoma
didapat yakni:
a. Teori Invaginasi
Teori invaginasi pembentukan kolesteatoma secara umum diterima
sebagai salah satu mekanisme primer dalam pembentukan atik
kolesteatoma. Retraction pocket dari pars flaksida terjadi karena
tekanan negatif telinga tengah dan kemungkinan disebabkan inflamasi
berulang. Ketika retraction pocket membesar, deskuamasi keratin tidak
dapat dibersihkan kemudian terbentuk kolesteatoma. Asal dari
retraction pocket kolesteatoma dikarenakan disfungsi tuba Eustachius
atau otitis media efusi dengan resultante tekanan telinga tengah (ex
vacuo theory) (Novita CE, 2014).
Pars flaksida, yang kurang fibrous dan kurang tahan terhadap
pergerakan, biasanya sebagai sumber kolesteatoma. Sebagai hasil dari
tipe kolesteatoma ini adalah defek yang terlihat pada kuadran
posterosuperior membran timpani dan erosi dari dinding liang telinga
yang berdekatan. Kegagalan migrasi epitel ini menyebabkan akumulasi
keratin dalam retraction pocket. Bakteri dapat menginfeksi matriks
keratin, membentuk biofilm yang menyebabkan infeksi kronis dan
proliferasi epitel (Novita CE, 2014).
b. Teori Migrasi
Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan
permukaan luar dari membran timpani mempunyai kemampuan
bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi

7
atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel yang
lain, yang disebut dengan contact inhibition jika mukosa telinga tengah
terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi
membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke
kavum timpani. Perforasi marginal dipahami sebagai penyebab
pertumbuhan epidermal daripada perforasi sentral, karena lokasi
perforasi marginal membuka keadaan mukosa telinga tengah dan
struktur dinding tulang liang telinga (Novita CE, 2014).
c. Teori Metaplasia
Infeksi kronis atau otitis media rekuren diketahui dapat mengalami
transformasi metaplasia. Epitel kuboid pada telinga tengah dapat
berubah menjadi epitel skuamosa berkeratin yang sama dengan epitel
daerah lain seperti hidung, sinus, dan bronkus. Epitel skuamosa
berkeratinisasi telah ditemukan pada biopsi telinga tengah pada
penderita otitis media pada anak Novita CE, 20014)
d. Teori Implantasi
Sel epitel skuamosa tertanam di ruang telinga tengah akibat proses
pembedahan, benda asing atau luka bakar (Quin FB, 2002).

8
Gambar 5. Patogenesis Kolesteatoma Primer dan Sekunder

5. Manifestasi Klinisi Kolesteatoma


Pada kasus kolesteatoma kongeniatal, gejala klinis sangat
tergantung dari letak kolesteatoma, ukuran dan komplikasu yang
ditimbulkannya. Kolesteatoma yang terbatas pada kuadran anterosuperior
dari membrane timpani tidak menimbulkan gejala atau asimptomatis.
Gejala dapat muncul jika perluasan atau menyebabkan kerusakan pada
daerah sekitarnya. Gejala klinis yang timbul dapat berupa gangguan
pendengaran, otitis media efusi, gangguan keseimbangan, kelumpuhan

9
saraf fasialis, fistula retroaurikuler, maupun gejala akibat perluasan ke
intracranial (Roland, 2012).
Pasien dengan kolesteatoma akuisital umumnya menunjukkan
gejala otorrhea yang rekuren atau purulen persisten dan gangguan
pendengaran. Gejala tinnitus juga sering dikeluhkan. Pada beberapa kasus,
namun jarang terjadi, dapat dijumpai juga vertigo, yang merupakan akibat
dari proses inflamasi pada telinga tengah atau juga akibat dari erosi
langsung dari labirin oleh kolesteatoma. Facial nerve twitching, palsy,
atau kelumpuhan saraf fasialis dapat juga muncul akibat dari prose
inflamasi atau kompresi mekanik pada saraf (Roland, 2012).
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri,
baik it uterus menerus maupun sering berulang. Apabila kolesteatoma
terinfeksi, maka infeksi tersebut akan sulit dihilagkan. Hal ini dikarenakan
kolesteatoma tidak memiliki suplai darah sehingga antibiotic sistemil tidak
dapat mencapai pusat infeksi.oleh karena itu, untuk kolesteatoma yang
terinfeksi dapat digunakan antibiotik topikal, namun untuk area infeksi
yang kuas, kolesteataoma yang terinfeksi umumnya resisten terhadap
semua jenis antimikroba. Akibatnya, gejala ottorhea akan tetap atau
berulang walaupun sudah diberikan pengobatan agresif (Roland PS, 2012).

6. Diagnosis dan Diagnosis Banding Kolesteatoma


A. Anamnesis
B. Pemeriksaan fisik
 Otoskopi: retraksi membrane timpani dengan perforasi pars flaksida
dan massa keputihan di telinga tengah. Pada kolesteatoma akuisital
primer biasanya retraksi membrane timpani di bagian atik, terdiri
dari debris keratin, sedangkan pada kolesteatoma akuisital sekunder
terlihat perforasi membrane timpani dimana debris sudah bermigrasi
ke dalam cavum timpani.
 Kolesteatoma terinfeksi : keluar secret yang berbau, osteitis dan
jaringan granulasi

10
 Gangguan pendengaran berupa tuli konduktif atau tuli campuran

C. Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos mastoid
Posisi foto polos yang masih dipakai dewasa ini untuk menilai
keadaan telinga tengah dalam tulang temporal adalah posisi
schuller. Posisi schuller menggambarkan penampakan lateral
dari mastoid. Foto dibuat dengan bidang sagital, kepala terletak
sejajar meja pemeriksaan dan film ditujukan dengan
membentuk sudut 30⁰C sefalokaudal. Pada posisi ini terlihat
perluasan pneumatisasi mastoid, lempeng tegmen yang
membatasi sel mastoid dengan jaringan otak, dan lempeng
sinus yang menandai batas sel mastoid dengan sinus lateralis.
Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya
kanalis auditoris eksterna dan hubungannya dengan sinus
lateralis. Kolesteatom ditandai dengan erosi tulang yang
tampak sebagai gambaran radiolusen dibatasi oleh tulang
sklerotik (Rothholv, 2013; Roland, 2012).

Gambar 6. Foto polos dengan posisi Schuller


 CT-Scan mastoid
Perkembangan pemeriksaan CT-Scan saat sekarang ini
mempermudah pemeriksaan pencitraan tulang temporal,
dengan CT-Scan berjenis multidetektor yang berkemampuan
mengambil gambar dengan irisan-irisan berbagai potongan

11
berbeda dan daya rekonstruksi yang baik serta informasi yang
didapat mengenai anatomi tulang temporal, telinga tengah dan
telinga dalam lebih rinci. CT-Scan terdahulu untuk
mendapatkan gambaran potongan aksial dan koronal pasien
harus diposisikan pada posisi tertentu. Namun sekarang pasien
hanya diposisikan satu posisi saja, yaitu posisi supine. Potongan
aksial yang didapat kemudian dilakukan rekonstruksi untuk
mendapatkan potongan koronal (multiplanar). Generasi terbaru
CT-Scan berupa dual source CT, memiliki kemampuan
resolusi spatial yang lebih baik serta dosis radiasi yang semakin
kecil
CT-Scan merupakan modalitas pencitraan pilihan pada pasien yang
dicurigai adanya kolesteatom karena dapat memperlihatkan ada
tidaknya erosi atau destruksi dinding lateral atik (skutum), dinding
aditus ad antrum, displasia dan erosi osikel, fistula labirin, erosi
kanalis fasialis, destruksi sel pneumatisasi mastoid, erosi tegmen
timpani dan lempeng sinus serta erosi dinding liang telinga.
Modalitas ini juga dapat menunjukkan dengan baik abses intra
kranial dan intra temporal. Selain itu CT-Scan juga penting untuk
tampilan anatomi pra-operatif. Namun, CT-Scan sulit untuk
membedakan kolesteatoma dari jaringan granulasi, nanah, dan
cairan pada otitis media kronis tanpa adanya kolesteatom
(Vercruysse, 2009).

12
Gambar 7. Gambar A: terlihat masa lesi di kavum timpani
dengan erosi tulang. Gambar B: terihat masa di lesi
epitympanum tanpa adanya erosi tulang

Gambar 8. Kolesteatoma kongenital

Gambar 9. Kolesteatoma pada Otitis Media Supuratif


Kronis
 MRI
Pemeriksaan MRIcmembantu dalam penegakan diagnosis
karena MRI 3dapat membedakan kolesteatoma dari jaringan
lunak lainnya seperti fibrosis, jaringan granulasi dan
cholesterol granuloma, dapat melihat penyebaran ke labirin
dan ruang intra kranial serta pasca operatif untuk follow up dan
skrining dari sisa penyakit. Namun MRI juga memiliki
keterbatasan dalam memberikan informasi tentang keadaan
tulang temporal dibandingkan dengan CT-Scan (Vercruysse,
2009).

13
Dalam mengevaluasi kasus OMSK MRI digunakan untuk
membedakan kolesteatom dengan granuloma kolesterol,
dimana pada CT- Scan keduanya menunjukkan massa yang
tidak spesifik dan tidak menyangat dengan kontras. MRI dapat
menunjukkan jaringan lunak yang sukar dibedakan dengan
kolesteatom. Kolesteatoma adalah kista epitelial yang berisi
deskuamasi debris (keratin), gambaran kolesteatom pada MRI
akan terlihat hipo atau isointens pada T1-Weighted dan
hiperintens pada T2-Weighted sedangkan pada granuloma
kolesterol terlihat hiperintens pada T1-weighted maupun T2-
weighted (Vercruysse, 2009).

Tabel 1. Diagnosis banding dan karakteristik Imaging


kolesteatoma pada MRI

Gambar 10. Kolesteatoma kongenital pada T2-Weighted

14
Gambar 11. Kolesteatoma akuisital pada pemeriksaan T1-
weighted terlihat sebuah massa jaringan lunak diregio
kanan tegmen timpani

Stadium Kolesteatoma
Pembagian stadium pada kolesteatoma secara berguna untuk
pemilihan prosedur operasi dan ketika membandingkan data hasil operasi
timpanomastoidektomi yang dipublikasikan. Stadium kolesteatoma
berdasarkan atas perluasan lesi, keadaan osikel dan komplikasi pre operasi.
Hal ini menunjukkan hubungan antara stadium penyakit, kerusakan osikel
dan terjadinya komplikasi. Pembagian stadium pada kolesteatoma berguna
untuk pemilihan prosedur operasi dan ketika membandingkan data hasil
operasi timpanomastoidektomi yang dipublikasikan (Novita CE, 2014).
A. Berdasarkan lokasi Kolesteatoma
S1 : Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal
S2 : Bila telah terjadi perluasan local
S3 : Bila mengenai tiga lokasi
S4 : Bila mengenai 4 lokasi
S5 : Bila mengenai lebih dari empat lokasi
B. Berdasarkan komplikasi sebelum dilakukan tindakan operasi
C1 : Bila tidak terdapat komplikasi
C2 : Bila terdapat komplikasi

15
C3 : Bila terdapat dua komplikasi atau lebih
C. Berdasarkan derajat destruksitulang
Mild : erosi dari skutum dan osikel
Moderate : destryksi dari tegmen dan seluruh osikel
Severe : destruksi dari seluruh osikel, labirin tulang, kanalis fasialis
dan liang telinga luar
D. Berdasarkan derajat invasi kolesteatoma
Derajat 1 : melibatkan 1 area (epitimpanum atau mesotimpanum)
Derajat 2 : melibatkan 2 area (epitimpanum atau mesotimpanum dan
antrum)
Derajat 3 : mesotimpanum, epitimpanum dan antrum

Diagnosis Banding
Gambaran kolesteatoma dengan pemeriksaan CT-Scan dapat
menyerupai kelainan massa lainnya sehingga sulit dibedakan. Diagnosis
banding CT-Scan kolesteatoma antara lain jaringan granulasi non
kolesteatoma dan kolesteatoma kongenital dimana keduanya pada
pemeriksaan CT-Scan juga memberikan gambaran massa dengan densitas
yang hampir sama dengan kolestatoma.

7. Pentalaksanaan Kolesteatoma
Terapi Non Bedah
Tujuan awal dari terapi kolesteatoma adalah menurunkan derajat
inflamasi dan aktivitas infeksi pada bagian telinga yang terinfeksi. )rinsip
pengobatan medikasi kolesteatoma adalah membuang debris dari liang
telinga. Irigasi harus dilakukan dengan tepat, air harus dikeluarkan
seluruhnya dari telinga untuk mencegah kelanjutan kontaminasi. Selain
irigasi, diperlukan juga antimikroba topikal untuk menekan infeksi, yang
umumnya disebabkan oleh organisme sebagai berikut: Pseudomonas
aeruginosa, Streptococci, Staphylococci, Proteus, dan Enterobacter.
Antimikroba yang umum dipakai adalah ofloxacin atau neomycin-

16
polymyxin B. Apabila telinga tengah terpapar, dikemukakan bahwa
penggunaan aminoglikosida bersifat ototoksik dan berbahaya. Akan tetapi,
belum ada studi yang adekuat yang mendukung teori tersebut. Namun,
untuk kepentingan pasien, dianjurkan untuk menghindari penggunaan agen
ototoksik dan tetap menggunakan ofloxacin. Selain itu, beberapa klinisi
juga menggunakan steroid topikal untuk menurunkan inflamasi, namun
studi lebih lanjut masih diperlukan untuk menilai efektivitas dari
penggunaan agen ini (Dhingra PL, 2014).
Pada beberapa kasus, infeksi yang berlangsung tidak sepenuhnya
teratasi. Hal ini biasanya terjadi pada kasus adanya kolesteatoma sac
dengan debris keratin yang tidak diobati dengan antimikroba lokal secara
efektif. Namun, setelah tindakan bedah, umumnya keluhan otorrhea akan
teratasi.

Terapi Pembedahan
Tujuan dari terapi pembedahan adalah mengangkat atau
menyingkirkan kolesteatoma. Teknik operatif yang umum dilaksanakan
antara lain canal-wall-up (closed) dan canal-wall-down (open). Apabila
pasien memiliki riwayat episode kekambuhan kolesteatoma, dan berharap
dapat menghindari tindakan operatif di kemudian hari, teknik canal-wall-
down merupakan pilihan yang tepat dan lebih aman.
Tujuan utama terapi kolesteatoma adalah menciptakan kondisi
telinga yang “kering” dan “aman”. Proses - proses yang menyebabkan
erosi tulang, inflamasi kronik dan infeksi harus ditangani secara tuntas.
Oleh karena itu, seluruh matriks kolesteatoma harus disingkirkan
sepenuhnya. Apabila hal ini gagal dilakukan, kemungkinan yang muncul
adalah kekambuhan dari kolesteatoma (Lalwani,2007).
Tabel 2. teknik pembedahan disertai keuntungan dan kerugiannya.

17
Teknik canal-wall-down memiliki probabilitas tertinggi dalam
membersihkan kolesteatoma secara permanen. Canal-wall-up prosedur
memiliki keuntungan mempertahankan penampilan normal, tetapi mereka
memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kolesteatoma persisten atau
berulang. Risiko kekambuhan cukup tinggi sehingga ahli bedah
menyarankan suatu tympanomastoidectomy kedua setelah 6 bulan sampai
1 tahun setelah operasi awal.
Di Amerika Serikat, kebanyakan prosedur bedah kolesteatoma
dilakukan dengan insisi pada belakang telinga dikombinasikan dengan
insisi pada ekternal auditory kanal. Kemudian menyingkirkan “air cell”
dari mastoid secara keseluruhan. Mengelevasi membran timpani dan
evaluasi mastoid. Singkirkan kolesteatoma. Apabila ossiculus juga terlibat,
maka bagian tersebut perlu disingkirkan juga untuk menghindari
kekambuhan dari kolestetoma. Membran timpani pada umumnya juga
direkonstruksi pada prosedur ini. Apabila dilakukan canal-wall-up, tulang
direkonstruksi dengan cartilage graft. Bila menggunakan teknik canal-
wall-down, maka perlu dibuat meatoplasty yang besar agar ada sirkulasi
udara yang adekuat ke cavitas telinga (Roland PS, 2012).

Karakteristik prosedur canal-wall-up:


 Menyingkirkan semua “air cell”
 Functional tuba eustachius
 Ruang telinga tebgah yang dipertahankan dengan baik
 Komunikasi adekuat antara mastoid dengan ruang telinga tengah
melalui additus ad antrum

18
 Eliminasi dari tulang attic dilengkapi dengan cartilage atau bone
graft
Karakteristik prosedur canal-wall-down
 Membersihkan semua “air cell” termasuk yang dalam retrofacial,
retrolabyrinthine, and subacuate air cell tracts
 Pembersihan dinding lateral dan posterior dari epitimpanum
sehingga tegmen mastoideum dan tegmen timpani menjadi lembut
 Biasanya amputasi dari mastoid tip dianjurkan
 Saucerization dari lateral margin kavitas
 Perbesaran meatus

19
DAFTAR PUSTAKA

Lalwani, A.k. 2007. Current Diagnosis &Treatment in


Otolaryngology Head & Neck Surgery: University of California.
Novita CE. 2014. Hubungan ekspresi ki-67 dengan derajat destruksi
tulang akibat Kolesteatoma pada penderita Otitis media supuratif
kronis tipe bahaya. USU Institusional Repository:1-25
Roland PS, Meyers AD. 2012. Cholesteatoma. Current Diagnosis &
Treatment Edisi ke-. Available on http://emedicine Medscape.com/
Rothholtz, Vanessa Cholesteatoma. 2013. Departement of
Otolaryngology Head and Neck Surgery. University of California.
Available from http://www.utmb.edu/otoret/grads/
Quin FB dan Matthew. 2002. Cholesteatoma Grand Rounds
Presentation. UTMB. Departement of Otalaryngology on
September 18th
Semaan MT, Magerian CA. 2011. The pathophysiology of
Choleosteatoma. Available from: University Hospitals of Cleveland
Vercruysse JP, Foer BD et all. 2009. Magnetic Resonance Imaging
of Cholesteatoma. 233-40
Zavandy dan Rutka. 2010. Cholesteatoma and its Complication.
Disease of The Inner Ear

20

Anda mungkin juga menyukai