Anda di halaman 1dari 13

Apakah Anda pernah berpikir seperti apa muslim sejati itu?

Bagaimanakah sosoknya? Seorang muslim sejati bisa diibaratkan


seperti sebuah pohon. Akarnya kuat menghunjam. Batangnya kuat
menjulang, demikian pula dahan dan bahkan ranting-rantingnya.
Daun-daunnya lebat. Dan setiap musim menghasilkan buah yang
banyak dan manis rasanya.
Akar-akar yang kokoh tersebut adalah salimul ‘aqidah (aqidah
yang lurus), shahihul ‘ibadah (ibadah yang benar), dan matinul
khuluq (akhlaq yang mulia). Ibarat akar sebuah pohon, tiga
karakter inilah yang akan menopang karakter-karakter lainnya.
Karakter-karakter baik tidak akan mampu tumbuh dengan baik
jika tiga karakter dasar ini rapuh. Adapun batang, dahan, ranting,
dan daun-daunnya adalah potensi-potensi diri yang tumbuh
dengan baik, yang meliputi karakter qawiyyul jism (fisik yang
kuat), mutsaqqaful fikr (berwawasan luas), mujaahidun linafsihi
(pengendalian diri), harisun ‘ala waqtihi (menjaga waktu),
munazhzhamun fii syu’unihi (tertib dalam setiap urusan), dan
qadirun ‘alal kasbi (mampu mencari nafkah). Sedangkan buah
yang bisa dipetik setiap musim adalah karakternya yang nafi’un
lighairihi (memberi manfaat bagi orang lain). Semua karakter tadi
jika dikumpulkan berjumlah sepuluh. Itulah sepuluh karakter
muslim sejati. Dan berikut ini uraian singkat mengenai masing-
masing karakter tersebut.
Pertama, salimul ‘aqidah (aqidah yang lurus). Seorang muslim
sejati memiliki aqidah yang kokoh, yang tidak bercampur dengan
sedikit pun keraguan dan kesyirikan. Tidak pula bisa diombang-
ambingkan dan dibuat gelap mata oleh sulitnya kehidupan. Ia
ridha Allah sebagai tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan
Muhammad sebagai nabi dan rasulnya. Ia beriman kepada Allah,
para malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab yang diturunkan
kepada para rasul-Nya, Hari Akhir, dan taqdir-Nya. Keimanannya
bukan pula hanya pengakuan di bibir saja, namun terpatri kuat
dalam hati dan termanifestasikan dalam segenap perilakunya.
1
Itulah iman yang sebenarnya, yang tidak hanya sekadar ’percaya’,
namun juga benar-benar mewujud dalam sikap dan perilaku.
Kedua, shahihul ‘ibadah (ibadah yang benar). Diatas aqidah
yang kuat, seorang muslim senantiasa giat beribadah. Ibadahnya
pun benar-benar ditunaikan sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
Untuk ibadah-ibadah yang bersifat ritual (mahdhah), ia hanya
mengikuti contoh tauqifi (apa adanya) dari Rasulullah, tidak
menambah-nambahi dan tidak pula mengurangi. Sedangkan untuk
ibadah-ibadah yang bersifat muamalah (ghayr mahdhah), ia
senantiasa berkreasi dan berinovasi dengan menyandarkannya
pada bingkai (manhaj) yang telah dituntunkan oleh Rasulullah.
Ketiga, matinul khuluq (akhlaq yang mulia). Dengan aqidah
yang kokoh dan ibadah yang giat, muncullah akhlaq yang mulia
pada diri seorang muslim, ibarat mutiara yang indah dan berkilau.
Akhlaq meliputi keadaan hati seseorang dan juga suluknya
(moralitas, perilaku, dan adabnya). Hati seorang muslim adalah
hati yang bening, yang bersih dari segala bentuk penyakit hati, dan
bahkan dipenuhi dengan sifat-sifat yang mulia seperti ikhlas,
tawakkal, sabar, ridha, cinta kasih, dan sebagainya. Adapun suluk
seorang muslim adalah suluk yang terpuji dan menawan, yang
muncul dari dirinya secara spontan karena telah menjadi kebiasaan
yang tak terpisahkan dari kepribadiannya.
Keempat, qawiyyul jism (fisik yang kuat). Seorang muslim
sejati tidak akan menelantarkan keadaan tubuhnya. Ia senantiasa
menjaga agarnya tubuhnya sehat dan bugar. Ia selalu berusaha
mengkonsumsi makanan dan minuman yang baik untuk kesehatan,
dan membiasakan pola hidup sehat. Bahkan, ia juga melatih
tubuhnya agar memiliki stamina yang kuat, dengan cara rajin
berolahraga. Ia sadar, dengan tubuh yang sehat, bugar, dan kuat, ia
akan mampu menjalankan ibadah dengan lebih baik.
Kelima, mutsaqqaful fikr (berwawasan luas). Seorang muslim
sejati juga senantiasa memperhatikan akal pikirannya. Ia benar-
2
benar mensyukuri nikmat akal pikiran dengan cara terus mengasah
kecerdasannya dan memberinya ilmu dan wawasan baru. Tidak
hanya ilmu mengenai agamanya, tetapi juga wawasan umum yang
perlu diketahui. Ia tidak pernah berhenti belajar, karena ia tahu
bahwa menuntut ilmu itu minal mahdi ilal lahdi ’dari lahir sampai
mati’.
Keenam, mujaahidun linafsihi (pengendalian diri). Pada diri
manusia terdapat nafsu yang senantiasa condong pada kemewahan
dan kesenangan dunia, dan senantiasa mendorong manusia untuk
melakukan berbagai macam keburukan. Seorang muslim sejati
adalah seseorang yang bisa mengendalikan segala dorongan
tersebut dan mengendalikan dirinya. Allah Ta’ala berfirman,
”Adapun barangsiapa yang takut akan kebesaran Tuhannya dan
sanggup menahan dirinya dari ajakan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat kembalinya.” (QS An-Nazi’at: 40-
41)

         

    

40. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya,

41. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).

Ketujuh, harisun ‘ala waqtihi (menjaga waktu). Waktu adalah


kehidupan itu sendiri. Jika waktu telah bergerak, ia tidak akan
mampu dimundurkan meski hanya satu detik saja. Untuk itu,
seorang muslim sejati benar-benar perhatian dengan waktu. Ia
tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak
bermanfaat, apalagi hal-hal yang buruk. Ia tahu bahwa kewajiban
yang mesti ia tunaikan lebih banyak daripada waktu yang ia

3
miliki. Untuk itulah, ia benar-benar cermat dalam mengatur waktu
yang ia miliki.
Kedelapan, munazhzhamun fii syu’unihi (tertib dalam setiap
urusan). Seorang muslim sejati bukanlah orang yang suka
melakukan segala sesuatu dengan asal-asalan. Ia senantiasa
menunaikan urusan dan pekerjaannya dengan baik. Prinsip yang
senantiasa ia pegang adalah ihsan dan itqan dalam beramal
’melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya’. Dengan
begitu iapun akan menjadi muslim yang berprestasi, beretos kerja
tinggi, dan berkinerja jempolan.
Kesembilan, qadirun ’alal kasbi (mampu mencari nafkah).
Seorang muslim sejati bukanlah seorang pengemis dan peminta-
minta. Ia senantiasa berusaha untuk bisa mandiri. Ia pun tahu
bahwa tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah. Untuk
itu iapun giat bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan ekonominya
dan bisa berinfaq di jalan Allah.
Kesepuluh, nafi’un lighairihi (memberi manfaat bagi orang
lain). Dengan segala potensi dan kapasitas yang dimiliki, seorang
muslim sejati pasti bermanfaat bagi masyarakat. Ia pasti bisa
berkontribusi untuk umat dengan segala kelebihan yang ia miliki.
Ia bukanlah orang yang ’adanya sama dengan tidak adanya’, atau
orang yang ’adanya tidak menambah dan tidak adanya tidak
mengurangi’, apalagi orang yang ’adanya tidak diinginkan dan
tidak adanya senantiasa diharapkan’. Rasulullah saw bersabda,
”Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi
manusia lainnya.”
Demikianlah sekilas mengenai sepuluh karakter muslim sejati.
Mari kita senantiasa berusaha untuk meningkatkan kualitas dan
kapasitas diri kita, sehingga bisa memenuhi kesepuluh kriteria ini.
Dengan menjadi muslim sejati, kita akan lebih siap untuk
berkontribusi dalam memperjuangkan agama Allah. Insyaallah.

4
10 ciri-ciri Muslim Sejati

1. Salimul Aqidah

Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada
pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan
memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat
itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya.
Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan
menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya
yang artinya: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua
bagi Allah Tuhan semesta alam (QS al-an’am 6:162).

         

162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku


hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Karena memiliki aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat


penting, maka dalam da’wahnya kepada para sahabat di Makkah,
Rasulullah Saw mengutamakan pembinaan aqidah, iman atau tauhid.

2. Shahihul Ibadah.

Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul
Saw yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: “shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”. Dari ungkapan ini maka
dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan
haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada
unsur penambahan atau pengurangan.

3. Matinul Khuluq.

Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan
sikap dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam
hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk makhluk-Nya.
5
Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di
dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia
bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw ditutus untuk memperbaiki
akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang
agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman
yang artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang
agung (QS al-qalam 68:4).

    

4. Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

4. Qowiyyul Jismi.

Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi


muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim
memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam
secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji
merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik
yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk-bentuk
perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat
perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih
utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap
sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan
sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga
termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah (HR.
Muslim).

5. Mutsaqqoful Fikri

Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi


pribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah
fatonah (cerdas) dan Al-Qur’an banyak mengungkap ayat ayat yang
6
merangsang manusia untuk berpikir, misalnya firman Allah yang artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: “pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosakeduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari
keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
supaya kamu berpikir (QS al-baqarah 2:219).

          

         

         

219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,

[136] segala minuman yang memabukkan.

Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan,
kecuali harus dimulai dengan aktivitas berpikir. Karenanya seorang
muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa
kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan
pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena itu
Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas
seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah
orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”,
sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran (QS azzumar 39:9).
7
          

            

  

9. (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran.

6. Mujahadatul Linafsihi.

Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatul linafsihi) merupakan salah


satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap
manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk.
Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang
buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan
ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Oleh
karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus
diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang
artinya: Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa
nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).

Pada diri manusia terdapat nafsu yang senantiasa condong pada


kemewahan dan kesenangan dunia, dan senantiasa mendorong
manusia untuk melakukan berbagai macam keburukan. Seorang
muslim sejati adalah seseorang yang bisa mengendalikan segala
dorongan tersebut dan mengendalikan dirinya. Allah Ta’ala
berfirman, ”Adapun barangsiapa yang takut akan kebesaran
Tuhannya dan sanggup menahan dirinya dari ajakan hawa

8
nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat kembalinya.” (QS
An-Nazi’at: 40-41)

         

    

40. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya,

41. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).

7. Harishun Ala Waqtihi.

Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting


bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang
begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di
dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad
dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah Swt memberikan waktu
kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, yakni 24 jam sehari
semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan
tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang
menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”.
Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah
kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj
waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan
yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh
Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum
datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum
sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum
miskin.

9
8. Munazhzhamun fi Syuunihi.

Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk


kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun
sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan
masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan
dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-
sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi
cinta kepadanya. Dengan kata lain, suatu urusan dikerjakan secara
profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu
mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan
berkorban, adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahuan
merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam
menunaikan tugas-tugasnya.

9. Qodirun Alal Kasbi.

Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan


mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada
seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan.
Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa
dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari
segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah
dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena
itu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya
raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan
umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang
baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-
Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat
dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya
itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena rizki yang
telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill
atau ketrampilan.
10
10. Nafi’un Lighoirihi.

Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah


tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja
manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya
merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka jangan
sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya
tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir,
mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat
dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak
bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan
inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik manusia adalah
yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir)

Emas adalah logam istimewa. Dialah mata uang pertama dan mata
uang yang sesungguhnya. Karena, dia bisa menjadi standar nilai suatu
barang ataupun jasa secara konstan.
Emas juga memiliki keistimewaan tak bisa berubah dan tak bisa
berkarat. Itulah maka emas disebut sebagai logam mulia. Nabi SAW
bersabda, “Perumpamaan orang mukmin (sejati) adalah seperti emas.
Emas itu bila dibakar tak akan berkurang dan tak akan berubah.” (HR
Baihaqi).
Dalam kehidupan ini banyak tantangan, ujian, dan cobaan. Orang
bisa saja jatuh bangun diempas badai godaan dunia. Banyak orang yang
pagi tampil sangat baik, sorenya bergelimang dosa dan kemaksiatan.
Sepanjang siang tampil sebagai sosok pemimpin yang berpidato berapi-
api, malamnya bisa tenggelam dalam dekapan maut minuman keras, dansa,
dan gelora syahwat.
Dulu dikenal sangat alim, ternyata kini menjadi zalim. Dulu dikenal
sangat pemurah, sekarang berubah menjadi pemarah. Dulu dikenal rajin ke
tempat ibadah, sekarang rajin ke tempat pesta wanita. Dulu dikenal
pemalu, tapi kini berubah menjadi tak ada rasa malu.
Manusia mudah sekali berubah-ubah sesuai dengan tempat dan
kondisi di mana dia berada. Saat berkumpul dengan orang-orang baik, dia
bisa menjadi tiba-tiba baik. Saat berkumpul dengan orang-orang yang
buruk, juga bisa tiba-tiba menjadi buruk.
11
Kondisi pun sering kali memengaruhi manusia. Ada orang yang
ketika kaya rajin beribadah dan pandai bersyukur kepada Allah, ternyata
suatu ketika diuji dengan kebangkrutan harta lalu jatuh menjadi papa, tak
bisa bersabar hingga akhirnya tak mau lagi ibadah. Dan, ada yang
sebaliknya. Ketika masih miskin sangat khusyuk berdoa dan rajin ke
masjid, tapi tatkala kaya tak lagi bisa berdoa dan tak mau lagi ke masjid
beralasan karena sibuk.
Manusia-manusia yang suka berubah-ubah seperti itu adalah
manusia-manusia buruk, SDM yang berkualitas rendah. Orang yang bisa
baik ketika kaya saja adalah buruk. Orang yang bisa baik hanya di saat
miskin juga buruk. Orang yang bisa baik hanya di saat berkumpul dengan
orang-orang baik adalah buruk.
Manusia yang unggul adalah manusia yang kepribadiannya laksana
emas, di kala sulit baik dan di kala mudah juga baik. Berkumpul dengan
orang-orang yang baik dia baik dan berkumpul dengan orang-orang yang
buruk dia tetap baik.
Seperti emas, tak pernah berkarat, tak pernah berubah meski dibakar,
dan tak bisa menjadi kurang. Emas tetap emas, sekalipun jatuh di
comberan atau tempat sampah. Itulah orang beriman sejati. Bukan hanya
beriman di mulut. Bukan beriman semata karena keturunan. Bukan juga
beriman karena orang-orang semua mengaku beriman.
Orang yang benar-benar beriman adalah memiliki kepribadian yang
kokoh. Ujian apa pun yang datang kepadanya tak pernah membuat ia
berubah. Dicaci atau dipuji tetap takkan menyurutkan langkahnya
menegakkan kebenaran. Datang ujian jabatan atau kekayaan tak
membuatnya lupa kepada Allah.
Bergumul di lingkungan para penyamun, ia pun tak ikut menjadi
penyamun. Di manapun dan dalam kondisi apa pun dia tetap tegak berdiri,
berbicara, bertindak dan berakhlak sebagai orang yang beriman. Yaitu,
berbuat dan menebar kebaikan.
Tak peduli, kebaikan itu tumbuh dan diterima oleh orang banyak atau
kering dan ditolak. “Sesungguhnya, kami memberi makanan kepadamu
hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki
balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (al-Insan: 9).

12
13

Anda mungkin juga menyukai