Anda di halaman 1dari 32

SMF Bagian Kebidanan dan Kandungan Referat

RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang Maret 2019


Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospholipid Syndrome


(APS) pada Kehamilan

Disusun Oleh
Jean Riani Pandie, S. Ked
(1408010066)

Pembimbing:
dr. A. A. Heru Tjahyono, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
KUPANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Lupus eritematosus merupakan gangguan inflamasi kronis jaringan ikat yang

muncul dalam dua bentuk yaitu lupus eritematosus diskoid yang hanya menyerang

kulit saja dan systemic lupus erythematosus (SLE) yang menyerang sistemik .(1)

Penyakit SLE adalah suatu penyakit multisistem yang disebabkan oleh kerusakan

jaringan sebagai akibat dari terbentuknya antibodi dan komplemen dari reaksi imun

kompleks.(2) Etiologi SLE masih belum jelas namun berhubungan dengan faktor

genetik, hormonal, radiasi ultra violet, virus maupun obat-obatan.(3)

Penyakit SLE dapat menyerang pria dan wanita di semua usia, namun

memiliki predominansi yang lebih menonjol pada wanita di usia reproduktif.(4)

Sekitar 90% dari orang yang terdiagnosis adalah wanita dengan rentangan usia antara

15-44 tahun.(4) Prevalensi SLE menurut data World Health Organization (WHO) pada

tahun 2016 adalah sebanyak 5 juta orang yang sebagian besar adalah wanita usia

produktif serta setiap tahunnya ditemukan penigkatan 100 ribu penderita baru.(5)

Dari berbagai laporan SLE di dunia, jumlah penderita tertinggi didapatkan

pada negara Cina dan diikuti oleh Asia Tenggara.(6) Prevalensi SLE di Indonesia
secara tepat belum diketahui. Namun data dari sebanyak 858 rumah sakit di

Indonesia, pasien yang dirawat dengan Lupus di rumah sakit berjumlah 2.166 pasien.

Dari jumlah yang terdiagnosa Lupus tersebut, 550 diantaranya meninggal dunia.(5)

Penyakit autoimun lainnya adalah Antiphospholipid Syndrome (APS) atau

sindrom antifosfolipid atau Hughes Syndrome. Penyakit APS adalah suatu kumpulan

gejala berupa thrombosis yang dapat terjadi dalam kehamilan yang ditandai dengan

munculnya antibodi yang bereaksi dengan fosfolipid bermuatan negatif yang

mengakibatkan terjadinya keguguran berulang pada ibu hamil.(7) APS terdapat pada

15% pasien wanita dengan keguguran berulang, dan jika tidak diobati, mempunyai

angka kelahiran hidup bayi hanya 10%.(8) Peningkatan jumlah kasus Lupus atau SLE

perlu diwaspadai oleh masyarakat dengan memberi perhatian khusus. Penyakit SLE

sering didiagnosis terlambat karena gejala yang beragam sedangkan APS biasanya

mulai dicurigai setelah sudah mengakibatkan keguguran berulang.(5,8) Sehubungan

dengan hal-hal tersebut, perlu adanya pembahasan lebih mendalam tentang kedua

penyakit autoimun ini.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

2.1.1. Definisi dan Epidemiologi

Systemic Lupus Erythematosus atau disingkat SLE merupakan suatu penyakit

inflamasi autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi dan kompleks imun,

bersifat kronis dengan keterlibatan multisistem serta belum jelas penyebabnya.

Sistemik merujuk pada multiorgan, eritematosus merujuk pada kemerahan pada kulit,

sedangkan istilah lupus memiliki arti dari bahasi Latin yaitu anjing hutan atau

serigala. Istilah Lupus dipakai karena pada jaman dulu muncul bintik kemerahan pada

bagian wajah tepatnya di hidung dan pipi karena gigitan anjing hutan atau serigala.

Lupus memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit

yang beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka

kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta

lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.(6,9)

The Lupus Foundation of America, memperkirakan sekitar 1,5 juta kasus

terjadi di Amerika dan setidaknya terjadi 5 juta kasus di dunia. Setiap tahun

diperkirakan terjadi sekitar 16 ribu kasus baru Lupus. Data di Indonesia secara tepat
tentang Lupus belum diketahui. Prevalensi SLE di masyarakat berdasarkan survei

yang dilakukan di Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5% terhadap total

populasi. data dari sebanyak 858 rumah sakit di Indonesia, pasien yang dirawat

dengan Lupus di rumah sakit berjumlah 2.166 pasien. Dari jumlah yang terdiagnosa

Lupus tersebut, 550 diantaranya meninggal dunia.(5)

2.1.2. Etiologi

Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Namun terdapat teori yang

menyatakan penyebab SLE merupakan suatu interaksi antara faktor lingkungan,

genetik, dan hormonal yang saling terkait dan akan menimbulkan abnormalitas

respons imun pada tubuh penderita SLE.(9)

2.1.3. Faktor Risiko

Faktor risiko penyakit SLE adalah:

 Faktor Genetik: diketahui bahwa sekitar 7% pasien SLE memiliki keluarga dekat

(orang tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosis SLE.(5) Saudara

kandung penderita SLE 30 kali lebih rentan untuk menderita SLE.(6)


 Faktor Lingkungan: Infeksi, stress, makanan, antibiotika (khususnya kelompok

sulfa dan penisilin), cahaya ultraviolet (matahari), dan penggunaan obat-obatan

tertentu dan merokok merupakan faktor pemicu timbulnya SLE.(9)

 Faktor hormonal: Wanita lebih sering terkena penyakit SLE dibandingkan

dengan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit SLE sebelum

periode menstruasi atau selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon,

khususnya estrogen menjadi pencetus penyakit SLE. Estrogen diketahui dapat

menyebabkan fenotip autoimun dengan peningkatan sel B dewasa autoreaktif

berafinitas tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, kehamilan dapat

menyebabkan lupus flare dalam beberapa kasus, namun bukan karena

peningkatan kadar estrogen atau progesteron, sebab kadar hormon ini lebih

rendah pada trimester kedua dan ketiga dibandingkan dengan hamil normal.(9)

2.1.4. Patofisiologi

Biasanya sistem kekebalan tubuh akan melindungi jaringan tubuh dari benda

asing, namun lupus adalah penyakit autoimun, yang berarti sel imun menyerang

jaringan yang seharusnya mereka lindungi. Lupus pada dasarnya menjadikan

beberapa jaringan atau organ sebagai target. Sama seperti penyakit autoimun lainnya

tidak sepenuhnya jelas mengapa berkembang, dan seperti kebanyakan penyakit yang

dapat terjadi akibat dari genetik maupun lingkungan.(10)


Secara spesifik, penderita SLE memiliki gen yang rentan. Pada orang normal

saat terpapar sinar ultraviolet (UV) sel-selnya tidak mati, namun karena penderita

SLE memiliki gen yang rentan, sehingga paparan UV mengakibatkan reaksi seperti

terbakar sehingga terjadi apoptosis sel. Apoptosis sel ini akan megekspresikan bagian

dalam sel seperti nukleus, DNA, histon dan protein lainnya ke seleruh tubuh. Hal ini

megakibatkan sel imun menyangka sel yang telah mati dan bagian dari sel tersebut

sebagai benda asing atau antigen. Antigen ini berasal dari nuklear, sehingga disebut

antigen nuklear. Sel imun akan mencoba menyerang antigen tersebut. Tidak hanya

itu, gen yang rentan juga menyebabkan pembersihan sel apoptosis kurang efektif,

sehingga makin banyak antigen nuklear yang tersebar.(10)

Sel B akan menghampiri antigen tersebut dan memproduksi antibodi yang

disebut antibodi antinuklear. Antibodi antinuklear akan berikatan dengan antigen

nuklear dan membentuk antigen-antibodi kompleks. Antigen-antibodi kompleks ini

kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan berjalan mengikuti alur pembuluh

darah, mengendap atau menempel pada pembuluh darah di semua jenis organ dan

jaringan yang berbeda, seperti ginjal, kulit, sendi, dan jantung. Penumpukan antigen-

antibodi kompleks ini kemudian akan mulai menyebabkan reaksi peradangan lokal,

yang menyebabkan kerusakan melalu sistem aktivasi komplemen setelah aktivasi

enzim yang cukup banyak, meninggalkan membran sel dengan saluran yang

memungkinkan cairan dan molekul masuk dan keluar sehingga dapat menyebabkan
selnya pecah dan mati. Ketika jaringan menjadi rusak sebagai akibat dari kompleks

imun, hal ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas tipe 3.(10)

Namun radiasi UV bukan satu-satunya cara untuk merusak sel. Pemicu lainnya

adalah merokok, infeksi virus atau bakteri, penggunaan zat atau obat tertentu seperti

procainamide, hydralazine, dan isoniazid, serta hormon seks khususnya estrogen,

yang mungkin sebagian mengapa lupus terjadi pada wanita dengan usia produktif

dibandingkan dengan pria.(10)

2.1.5. Gejala Klinis

Manifestasi SLE sangat luas. Pasien dengan SLE umumnya akan

mengeluhkan berbagai gejala sehingga sulit untuk didagnosis, Gejalanya bisa ringan

bahkan mengancam jiwa. Gejala yang paling sering muncul adalah keletihan atau

kelelahan, demam, arthritis, myalgia, penurunan berat badan dan muncul kemerahan

pada wajah. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan-bulan sampai tahunan

barulah menunjukkan manifestasi klinik yang lebih spesifik dan lengkap dan

cenderung melibatkan multiorgan.(6)


Sistem Organ Manifestasi Klinis %

Sistemik Lemah, demam, anoreksia, penurunan berat badan 95

Muskuloskeletal Artralgia, mialgia, poliartritis, miopati 95

Hematologik Anemia, hemolisis, leucopenia, trombositopenia,


85
antikoagulan lupus

Kulit Rash kupu-kupu, ruam kulit, fotosensitivitas, ulkus mulut,


80
alopesia, rash kulit

Neurologik Disfungsi kognitif, gangguan berpikir, sakit kepala, kejang 60

Kardiopulmonar Pleuritis, perikarditis, miokarditis, endokarditis Libman-


60
Sacks

Ginjal Proteinuria, sindroma nefrotik, gagal ginjal 60

Gastrointestinal Anoreksia, mual, nyeri, diare 45

Trombosit Vena (10%), arteri (5%) 15

Mata Infeksi konjungtiva 15

Kehamilan Abortus berulang, preeklampsia, kematian janin 30

Tabel 2.1. Persentase Spektrum klinik SLE(6)


2.1.6. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis SLE hendaknya dilakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik serta penunjang diagnostis. Diagnosis SLE dapat ditegakkan

berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology

(ACR) mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Bila didapatkan 4 atau lebih

dari 11 kriteria maka dapat didiagnosa SLE. Berikut 11 kriteria SLE(6):

1. Ruam malar: eritema menetap datar atau menonjol, pada malar eminence dan

lipat nasolabial.

2. Ruam diskoid: bercak eritema menonjol dengan gambaran SLE keratotik dan

sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.

3. Fotosensitivitas: Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar

matahari, baik dari anamnesis maupun pemeriksaan pasien.

4. Ulserasi di mulut atau nasofaring : ulkus mulut atau orofaring, tidak nyeri dan

terlihat oleh pemeriksa.

5. Arthritis: Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer, ditandai dengan rasa nyeri,

bengkk dan efusi.

6. Pleuritis atau perikarditis: pleuritis-riwayat nyeri pleuritis atau pleuritic

friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura.

Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pleuritic friction rub yang didengar oleh

dokter pemeriksa atau bukti efusi pericardial.

7. Kelainan ginjal: proteinuria persisten > 0,5 gram/hari.


8. Kelainan neurologi: yaitu kejang-kejang atau psikosis tanpa disebabkan oleh

obat-obatan ataupun penyakit metabolik.

9. Kelainan hematologi: yaitu anemia hemolitik, leukopenia (<4000/mm3 pada 2

kali pemeriksaan), limfopenia (<1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan), atau

trombositopenia (<100.000/mm3 tanpa disebabkan obat-obatan).

10. Kelainan imunologi: yaitu sel LE positif atau anti-DNA positif atau tes

serologi untuk sifilis yang positif palsu. Temuan positif terhadap antibodi

antifosfolipid yang didasarkan atas; 1. Kadar serum antibodi antikardiolipin

abnormal (IgG ataupun IgM), 2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan

metode standar, atau 3. Hasil tes dengan tes imobilisasi Treponema pallidum

atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.

11. Antibodi antinukleus (ANA, anti nuclear antibody) positif.

2.1.7. SLE dan Kehamilan

Pengaruh kehamilan terhadap SLE masih belum dapat dipastikan dan menjadi

perdebatan hingga saat ini, tetapi mayoritas hasil penelitian melaporkan adanya

peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan. Eksaserbasi SLE pada kehamilan

bergantung pada lamanya masa remisi SLE dan keterlibatan organ-organ vital seperti

ginjal. Penderita SLE yang sudah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil

mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilan baik.
Bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan, risiko eksaserbasi SLE

pada saat hamil menjadi 50% dengan luaran kehamilan yang buruk. Apabila

kehamilan terjadi pada saat SLE sedang aktif, risiko kematian janin 50-75% dengan

angka kematian ibu menjadi 10%. Dengan meningkatnya umur kehamilan, risiko

eksaserbasi juga meningkat, yaitu 13% pada trimester I, 14% pada trimester II, 53%

pada trimester III, serta 23% pada masa nifas.(6)

Pengaruh SLE terhadap kehamilan dapat mencetuskan beberapa komplikasi.

Komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilan adalah kematian janin meningkat 2-3

kali dibandingkan wanita hamil normal. Bila didapatkan hipertensi dan kelainan

ginjal, maka mortalitas dari janin mencapai 50%. Bayi lahir prematur juga dapat

meningkat risikonya 30-50% yang sebagian besar karena preeklampsia berat dan

gawat janin. SLE pada kehamilan juga dapat mengakibatkan infark plasenta yang

dapat mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat dan terjadi risiko preeklampsia.

Pada penderita yang disertai dengan lupus nefritis, kejadian preeklampsia menjadi 2

kali lipat.(6)
2.1.8. Tatalaksana dan Penanganan SLE pada kehamilan

Secara umum tatalaksana SLE perlu dilakukan. Pasien yang kelelahan

disamping pemberian obat ialah cukup istirahat, harus dibatasi aktivitas yang

berlebihan dan mampu merubah gaya hidup yang jelek. Bila pasien merokok, maka

hentikan kebiasaan rokok. Bila sering terkena sinar matahari, maka dianjurkan untuk

menghindari paparan sinar matahari terlebih pada pagi hari sekitar jam 10 pagi

hingga jam 3 sore dengan menggunakan pakaian yang tertutup seperti baju berlengan

panjang dan atau memakai kopi atau lotion. Diet juga harus disesuaikan bila organ

terkena.(5,6)

Penanganan kehamilan dengan SLE dapat dibagi menjadi sebelum kehamilan,

persiapan kehamilan, dan selama kehamilan serta pengobatan bila disertai APS.

Sebelum kehamilan penderita SLE harus mendiskusikan tentang keinginan hamil

dengan spesialis reumatologi dan obstetri. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah

asupan suplemen nutrisi yang mengandung setidaknya 400 mcg asam folat untuk

mereduksi risiko kelahiran bayi dengan kecacatan. Asam folat harus dikonsumsi sejak

sebelum kehamilan hingga setidaknya akhir trimester pertama. Penderita harus

berhenti melakukan kebiasan merokok dan minum minuman beralkohol. Jika sedang

dalam pengobatan tertentu, hal-hal tersebut harus dilakukan terlebih dahulu. Asupan

kafein dibatasi hingga <200 mg/hari sebelum dan selama kehamilan.(9)


Pada saat persiapan hamil, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah penundaan

kehamilan hingga penyakit non-aktif selama setidaknya 6 bulan. Luaran kehamilan

pada ibu dengan SLE tampak lebih baik pada mereka yang melanjutkan konsumsi

hydroxychloroquine selama kehamilan. Penggunaan glukokortikoid bersamaan

dengan obat-obatan imunosupresif seperti Azathioprin (AZT) dan siklosporin dapat

meningkatkan risiko bayi berat lahir rendah atau ruptur membran prematur.(9)

Penanganan selama kehamilan yang perlu dilakukan adalah pemantauan

terhadap janin secara konsisten. Pemeriksaan ANC secara berkala dengan mendengar

detak jantung janin dan pemeriksaan dengan USG untuk menilai pergerakan janin,

pergerakan nafas janin, fetal tone (fleksi dan ekstensi tangan kaki atau punggung) dan

kadar amnion. Selama kehamilan penderita SLE harus tetap ditangani oleh ahli

reumatologi dan obstetri.(9)

Pasien dengan lupus pada kehamilan sebaiknya dipantau secara klinis dan

laboratorium untuk menilai aktivitas penyakit. Beberapa tes laboratorium yang

sebaiknya dilakukan pemantauan adalah darah perifer lengkap, ureum, kreatinin, gula

darah sewaktu, urinalisa, Coomb’s test (atas indikasi), aPTT, ACA, anti Ds-DNA,

anti-Ro/SSA, anti LA/SSB, anti U1RNP, C3, C4, dan protein urine/24 jam beserta

CCT (Creatinine Clearance Test) bila ada nefritis.(5)

Modalitas utama pengobatan SLE pada ibu hamil adalah pemberian

kortikosteroid agar terhindar dari eksaserbasi. Lainnya terdapat antiinflamasi


nonsteroid, aspirin, antimalaria, dan imunosupresan. Pemberian kortikosteroid

diberikan untuk jangka panjang seperti prednison dan prednisolon serta hidrokortison

pada kehamilan umumnya aman, karena glukokortikoid itu segera akan mengalami

inaktivasi oleh enzim 11-beta-hidroksidehidronase menjadi metabolik 11-keto yang

inaktif, sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. Pada

manifestasi SLE yang ringan dapat diberikan dosis rendah 0,5 mg/kgBB/hari,

sedangkan pada manifestasi klinik berat diberikan prednison dosis 1 mg – 1,5

mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon diberikan IV 1 gram atau 15

mg/kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan untuk mengganti glukokortikoid

oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak dapat memberikan respon terapi oral.

Setelah pemberian glukokortikoid selama 6 minggu, dosis mulai diturunkan perlahan

secara bertahap, 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul

eksaserbasi akut dosis harus dikembalikan seperti dosis sebelumnya.(6)

Efek dari penggunaan glukokortikoid yang lama akan menyebabkan efek pada

janin seperti pertumbuhan terhambat, ketuban pecah dini, diabetes gestasional,

hipertensi dan osteoporosis. Imunosupresan diberikan bila penderita tidak responsive

terhadap terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofosfamid bolus iv 0,5 g/m2

body surface dalam 150 cc NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti pemberian cairan 2-3

liter/24 jam.(6)

Indikasi dalam pemberian siklofosfamid adalah pada pasien SLE yang

membutuhkan steroid dosis tinggi, pasien SLE yang dikontraindikasikan terhadap


steroid dosis tinggi, pasien SLE yang kambuh setelah terapi steroid jangka

panjang/berulang, glomerulonefritis difus awal, dan pada pasien SLE dengan

manifestasi susunan saraf pusat. Pemberian siklosfosfamid pada ibu hamil tidak

dianjurkan untuk rutin karena dapat mengaibatkan kegagalan ovarium prematur dan

kelainan bawaan pada janin. Imunosupresan lain yang aman terhadap ibu hamil

adalah Azathioprin (AZT) dan siklosporin.(6) Pada saat persalinan berlangsung,

kemungkinan eksaserbasi dapat mungkin terjadi sehingga dapat diberikan

metilprednisolon dosis tinggi sampai 48 jam pasca persalinan, setelah itu dosis obat

diturunkan.(6)

Setelah melahirkan, hampir semua obat untuk ibu penderita SLE

diekskresikan bersama air susu ibu dalam jumlah yang bervariasi sekitar 0,1-2% dosis

obat, kecuali imunosupresan yang dikontraindikasikan untuk ibu menyusui.

Pemberian aspirin dalam dosis besar (>3 gram/hari) berhubungan dengan kehamilan

postterm dan perdarahan selama persalinan. Dosis tinggi salisilat juga dilaporkan

dapat menyebabkan oligohidramnion, penutupan prematur duktus arteriosus, dan

hipertensi pulmonal pada neonatus.(6)

Kehamilan yang direncanakan merupakan pilihan terbaik untuk penderita SLE

yang masih menginginkan kehamilan. Kehamilan yang direkomendasikan setelah 6

bulan remisi. Selain itu dilakukan pemeriksaan laboratorium ACA, anti Ds-DNA,

anti-Ro/SSA, anti LA/SSB C3, C4, SGOT/PT, Ureum dan Kreatinin, urinalisis dan

antibodi anti DNA.(8,9,11)


2.1.9. Komplikasi SLE dalam Kehamilan(10)

a. Preeklampsia dan Bayi Berat Lahir Rendah

Penyebabnya belum diketahui secara jelas. Namun didapatkan

penyakit ginjal, hipertensi, dan sindrom antifosfolipid meningkatkan risiko

pasien terhadap preeklampsia. Selain itu, ibu hamil dengam SLE berisiko

melahirkan bayi dengan berat lahir rendah, khususnya apabila ibu tersebut

mengkonsumsi glukokortikoid dan mempunyai komplikasi seperti tekanan

darah tinggi, antibodi antifosfolipid, ketuban pecah dini, atau preeklampsia.

b. Abortus

Beberapa faktor yang berkaitan dengan abortus antara lain: sindrom

APS, penyakit ginjal khususnya glomerulonefritis kelas III-IV, SLE aktif

selama kehamilan, riwayat abortus, dan etnis atau ras tertentu seperti Ras

Afro-Amerika dan Hispanik.

c. Persalinan Prematur

Insiden persalinan prematur lebih tinggi pada ibu hamil penderita SLE.

Risiko meningkat pada penderita SLE berat yang membutuhkan pengobatan

glukokortikoid berdosis tinggi, dan beberapa pengobatan seperti azathioprin

dan siklosporin.
d. Neonatal Lupus Erythematosus (NLE)

Penyakit ini ditandai dengan penghambatan jantung janin ataupun

neonatal, lesi kulit, anemia, trombositopenia, dan hepatitis. Penyakit ini

diperantarai imun oleh aliran transplasenta dari autoantibodi ibu. Lesi kulit

pada NLE adalah eritema dan plak bersisik pada wajah atau kepala bayi. Lesi

muncul dalam beberapa minggu sampai hilang dalam beberapa bulan setelah

persalinan.

e. Nefritis Lupus

Penderita nefritis lupus mengalami insufisiensi ginjal. Oleh karena itu,

diberikan glukokortikoid dengan baik. Pasien yang tidak merespon dengan

terapi medis serta terdapat kenaikan serum kreatinin > 3.5 mg/dl harus

dipertimbangkan untuk dilakukan dialisis.

f. SLE dan Sindrom Antifosfolipid

Sekitar 30% pasien SLE mempunyai antibodi antifosfolipid. Pasien

SLE dengan APS dapat terkena trombosis arteri dan vena, rekuren abortus,

dan trmobositopenia autoimun. Untuk pengobatan SLE dengan APS dapat

diberikan prednison dosis tinggi (40 mg/hari atau lebih) dalam kombinasi

dengan aspirin dosis rendah. Lainnya dapat digunakan heparin karena adanya

peningkatan risiko trombosis. Penderita tanpa riwayat trombosis tetap

diberikan atikoagulan hingga minggu ke 6 pasca bersalin.


2.2. Antiphospholipid Syndrome (APS)

2.2.1. Definisi

Sindrom Antifosfolipid atau Antiphospholipid Syndrome (APS) atau

Hughes’s disease merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya

produksi antibodi antifosfolipid (aPL) yang dapat menyebabkan trombosis vaskular

dan pada akhirnya akan menyebabkan keguguran pada kehamilan.(12)

2.2.2. Etiologi dan Klasifikasi

Penyebab penyakit APS secara pasti belum diketahui. Namun ada kaitannya

dengan antibodi antidofosfolipid. Antibodi Antifosfolipid merupakan kelompok

antibodi yang memiliki spesifitas dan afinitas target yang luas, yaitu mengenali

berbagai ikatan fosfolipid, protein pengikat fosfolipid, atau keduanya. Terdapat 3

famili antibodi antifosfolipid yaitu antibodi lupus antikoagulan (LA), antibodi

antikardiolipin (ACA), dan antibodi anti B2-glikoprotein. Pembagian subgroup atau

famili ini dibedakan atas metode deteksinya.(12) Meskipun demikian tidak ada

hubungan definitif antara menifestasi klinis tertentu dengan antibodi antifosfolipid

subgroup tertentu. Oleh karena itu, tes beragam perlu dilakukan, karena pasien dapat

memberikan hasil negatif untuk tes yang satu tetapi positif untuk tes yang lain.
Antibodi antifosfolipid lebih mengarah ke tromboembolik dibandingkan

perdarahan. Antibodi antifosfolipid dapat mempengaruhi jalur antikoagulan dan

prokoagulan yang artinya memiliki 2 efek yang saling berlawanan pada proses

koagulasi namun efek prokoagulan lebih banyak dibandingkan efek antikoagulan

yang mengakibatkan efek trombosis lebih terlihat. Dua faktor yang mempengaruhi

keseimbangan antara efek prokoagulan dan antikoagulan dari antibodi antifosfolipid

adalah permukaan fosfolipid tempat reaksi berlangsung dan spesifitas antigenik dari

antibodi.(12)

.2.3. Patogenesis APS

Penyebab APS ada pada kelainan genetik pada antibodinya yaitu antibody

antifosfolipid (aPL) namun belum dapat dipastikan hingga saat ini apa yang

mengakibatkan perubahan atau mutasi tersebut terjadi. Ada hipotesis yang

mengatakan adanya kelainan genetik tidak langsung memunculkan gejala keguguran

berulang pada ibu hamil, tetapi harus disertai pula dengan bantuan lingkungan yang

dapat memunculkan sindrom ini. Bantuan lingkungan yang dimaksud adalah seperti

infeksi sifilis, malaria dan hepatitis.(12)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, antibodi ini diduga memiliki efek

yang berlawanan pada proses koagluasi, yaitu efek prokoagulasi dan antikoagulasi.

Efek prokoagulan lebih dominan sehingga klinisnya berupa gejala trombosis. Efek
prokoagulan yang telah ditemukan antara lain inhibisi jalur protein C yang terativasi,

peningkatan regulasi dari jalur faktor jaringan, inhibisi aktivitas antitrombin III,

inhibisi proses fibrinolisis, aktivasi sel endotel, dan lain-lain. Sedangkan efek

antikoagulannya dapat berupa penghambatan faktor IX, X dan juga menghambat

aktivasi protrombin menjadi trombin.(12)

Setelah pengikatan antibodi antifosfolipid teori pertama menjelaskan

terjadinya aktivasi sel endotel yang dapat dilihat dengan peningkatan ekspresi

molekul adhesi, sekresi sitokin, dan metabolisme prostasiklin. Antibodi antifosfolipid

mengenali B2-glikoprotein-1 yang menempel pada sel endotel walaupun mekanisme

dasar dari interaksi B2-glikoprotein-1 dengan sel endotel masih belum jelas.(12)

Teori kedua menjelaskan adanya kerusakan pada endotel vaskular yang

disebabkan oleh oksidan. Low density lipoprotein (LDL) yang teroksidasi, yang

merupakan kontributor utama proses sklerosis, ditangkap oleh makrofag,

menyebabkan aktivasi makrofag sehingga terjadi kerusakan sel-sel endotel. Teori lain

menyebutkan bahwa antibodi antifosfolipid mempengaruhi fungsi protein pengikat

fosfolipid yang berperan dalam regulasi koagulasi. Fungsi B2-glikoprotein pun belum

dapat diketahui dengan jelas dan diduga sebagai antikoagulan natural.(12)


2.2.4. Diagnosis

Berdasarkan konsensus internasional, diagnosis APS berdasarkan manifestasi

dan laboratorium. Bila terdapat paling tidak satu kriteria klinis dan satu kriteria

laboratorium.(6,12)

a. Kriteria Klinis

- Trombosis vaskular: satu kali atau lebih pada arteri, vena atau pembuluh

darah kecil di bagian organ manapun dan telah dikonfirmasi dengan

pemeriksaan pencitraan, Doppler atau histopatologi, dan atau;

- Morbiditas kehamilan: satu atau lebih kematian janin usia lebih dari 10

minggu dengan anatomi janin normal baik secara USG maupun

pemeriksaan langsung pada janin, yang tidak dapat dijelaskan

penyebabnya. Satu atau lebih kelahiran prematur kurang dari 34 minggu

dengan anatomi janin normal yang disebabkan preeklampsia berat,

eklampsia, atau inufisiensi plasenta (misalnya abnormal pada pemeriksaan

Doppler, hasil tes fetal yang abnormal dengan AFI < 5, KMK). Tiga atau

lebih abortus spontan usia kehamilan kurang dari 10 minggu berturut-turut

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, diluar kelainan anatomik

maternal atau kelainan hormonal.(12)

Trombosis dapat terjadi pada semua organ dengan manifestasi klinis beragam

sehingga temuan pada pemeriksaan fisik tidaklah khas. Namun ada beberapa tanda
yang berhubungan dengan iskemik atau infark dapat ditemukan seperti livedo

retikolaris, trombosis vena profunda atau superfisialis, stroke, emboli pulmonal, atau

kematian fetus.(8)

b. Kriteria Laboratorium

- Lupus antikoagulan (LA) terdeteksi dalam plasma pada dua atau lebih

pemeriksaan dengan interval minimal 12 minggu, dan atau;

- IgG/IgM Antibodi Anticardiolipin (ACA) dalam plasma pada dua atau

lebih pemeriksaan, dengan interval minimal 12 minggu dan diukur

dengan Enzim beta2 GPI berhubungan dengan imunosorbent assay.

Dianggap positif, jika titernya mencapai lebih dari kadar medium (>40

MPL/GPL), atau lebih dari 3 kali nilai kontrol dan persisten selama 12

minggu dan atau;

- Anti IgG dan/atau IgM B2-glikoprotein 1 terdeteksi dalam serum atau

plasma, positif 2 kali atau lebih pemeriksaan dengan interval minimal 12

minggu. Dianggap positif apabila titernya mencapai lebih dari 3 kali nilai

kontrol dan persisten selama 12 minggu.(7,12)


2.2.5. Manajemen APS

Pada penyakit APS, yang perlu dilakukan adalah edukasi terhadap penderita

yang sedang hamil tentang penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi di masa

depan. Penyakit APS merupakan penyakit yang dapat mengakibatkan keguguran

berulang, preeklampsia, serta akibat lainnya dari trombosis pada vena atau arteri

secara sistemik.

Manajemen APS berdasarkan terapi medikamentosa dibagi menjadi dua yaitu

antikoagulan dan anti agregasi trombosit serta glukokortikoid. Manajemen dengan

medikamentosa didapatkan kombinasi unfractionated heparin (UFH) dengan low-

dose aspirin pada penderita APS dengan riwayat abortus berulang trimester pertama

yang menurunkan kejadian abortus berulang secara bermakna dibandingkan dengan

low-dose aspirin tanpa kombinasi. Selain UFH adapula yang dikenal sebagai low

molecular weight heparin (LMWH), pada hasil penelitian LMHW tidak bermakna

ketika dikombinasikan dengan aspirin. Sedangkan kombinasi low-dose aspirin baik

dengan UFH atau LMWH pada pasien dengan late pregnancy loss tidak mengurangi

risiko kejadian keguguran secara bermakna.(12)


2.2.6. Tatalaksana APS

Terapi APS dibedakan menjadi terapi APS tanpa riwayat trombosis dan

keguguran berulang (<10 minggu) dan dengan riwayat VTE (venous

tromboembolism). Pada APS tanpa riwayat trombosis dan keguguran berulang (<10

minggu) diberikan low-dose aspirin dengan heparin profilaksis:

a. UFH 5000-7500 U pada trimester pertama; 7500-10000 U pada trimester

kedua; 10000 U pada trimester ketiga diulang setiap 12 jam.

b. LMWH, misalnya enoxaparin (Lovenox) 30-40 mg diulang setiap 12 jam atau

dalteparin (Fragmin) 5000 U setiap 12 jam.

Terapi dimulai saat viabilitas fetal dapat diidentifikasi, tetapi tidak cukup data

untuk menyimpulkan waktu yang paling tepat untuk pemberian terapi. Low-dose

aspirin diberikan 75-100 mg/hari, dan pada kasus yang berat disarankan untuk

memulai terapi prekonsepsi.(12)

Pada penderita APS dengan riwayat VTE (venous tromboembolism) dapat

diberikan low-dose aspirin dengan heparin profilaksis antepartum dan postpartum (6

minggu):

a. UFH 5000-7500 U pada trimester pertama; 7500-10000 U pada trimester

kedua; 10000 U pada trimester ketiga diulang setiap 12 jam.

b. LMWH, misalnya enoxaparin (Lovenox) 30-40 mg diulang setiap 12 jam

atau dalteparin (Fragmin) 5000 U setiap 12 jam.


Low molecular weight heparin atau LMWH dapat mengenali domain V

dari B2-glikoprotein I yang juga merupakan tempat yang sama untuk ikatan dengan

PL. Fungsi heparin sebagai inhibitor kompetitif dengan PL dan kemungkinan

mekanisme ini memengaruhi ikatan dengan aPL pad sel target. LMWH juga

mengurangi ikatan aPL pada sel trofoblas dan mempertahankan kemampuan invasi

dan diferensiasi in vitro. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa heparin dapat

mencegah deposisi antibodi anti B2GP I pada jaringan untuk melindungi PL trofoblas

dari efek aPL pad awal kehamilan.(12)


BAB III

Pembahasan

Penyakit SLE dan APS adalah suatu kelompok penyakit autoimun yang dapat

memegaruhi kehamilan. SLE pada kehamilan dapat meningkatkan risiko kematian

janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil normal. Bila didapatkan

penyakit lain yang memperberat, tentunya mortalitas janin menjadi meningkat, bayi

dapat lahir prematur yang sebagian besar karena preeklampsia berat dan gawat janin.

Selain pada janin pada ibu dengan SLE juga dapat memperburuk kondisinya

tergantung organ yang terkena. Contohnya pada ginjal yang dapat mengakibatkan

lupus nefritis, sehingga perlu adanya pengenalan dengan cepat terhadap SLE

mengingat gejala-gelaja yang dikeluhkan tidak spesifik. Untuk diagnosis SLE dapat

ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium sesuai dengan 11 kriteria

American College of Rheumatology (ACR) untuk klasifikasi SLE. Bila didapatkan 4

kriteria saja, dapat didiagnosa SLE. Penanganan pada SLE tergantung pada

waktunya, yaitu sebelum kehamilan, persiapan kehamilan, dan selama kehamilan.

Tatalaksana SLE pada kehamilan pada umumnya menggunakan glukokortikoid atau

imunosupresan untuk menekan efek dari SLE pada ibu. Bila disertai dengan APS

maka dapati dikombinasikan prednisone dengan aspirin dosis rendah.


APS pada kehamilan berisiko untuk mengakibatkan keguguran berulang

akibat trombosis secara sistemik. Penyakit APS lebih berperan pada proses

prokoagulan dibanding antikoagulan, sehingga gejala yang ditimbulkan lebih kepada

trombosis bukan penrdarahan. Diagnosa APS diambil berdasarkan kriteria klinis dan

laboratorium. Bila didapatkan 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorium sudah dapat

dipastikan penderita APS. Penatalaksanaannya menggunakan heparin dan aspirin

dosis rendah untuk mencegah trombosis dan menghentikan aliran darah ke janin

sehingga tidak terjadi keguguran spontan.


BAB VI

Penutup

4.1. Kesimpulan

SLE dan APS merupakan penyakit autoimun yang masih belum jelas

penyebabnya. Dampak negatif terhadap kehamilan karena SLE adalah meliputi

nefritis SLE, preeklampsia, berat badan lahir rendah, abortus, persalinan prematur

dan NLE. Sedangkan dampak pada kehamilan dengan ibu APS adalah kegagalan

kehamilan pada penderita APS. Kegagalan kehamilan dapat meliputi adanya

kematian fetus yang tidak diketahui penyebabnya, atau persalinan prematur dengan

morfologi fetusnya normal, atau adanya abortus spontan tiga kali atau lebih berutrut-

turut sebelum 10 minggu. Dampak pada ibu nifas dan bayi baru lahir adalah pada

SLE dapat terjadi penghambatan jantung janin ataupun neonatal, atau lesi kulit,

anemia, trombositopenia, dan hepatitis. Penyakit ini diperantarai imun oleh aliran

transplasenta dari autoantibodi ibu. Lesi kulit pada NLE adalah eritema dan plak

bersisik pada wajah atau kepala bayi. Lesi muncul dalam beberapa minggu sampai

beberapa bulan kemudian menghilang setelah persalinan. Penatalaksanaan yang

diberikan berdasarkan gejala dan masa kehamilan penderita.


4.2. Saran

Kedua penyakit ini memiliki kriteria-kriteria tertentu yang dapat dipakai untuk

mendiagnosis, maka perlu dengan cepat ditangani bila sudah gejala atau keluhan

pasien sudah masuk kedalam kriteria-kriteria tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kowalak, Welsh, Mayer. Buku Ajar Patofisiologi. EGC; 2017.

2. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Gilstrap III L, Hauth J, Wenstrom K.

Connective Tissue Disorders. In: Williams obstetrics 25th edition. New York:

McGraw-Hill Medical Publishing; 2017. p. 1209–28.

3. Bratawidjaya K. Autoimunitas. In: Imunologi Dasar edisi VII. 25th ed. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI; 2006. p. 202–4.

4. Kasjmir YI, Handono K, Wijaya LK, Hamijoyo L, Albar Z, Kalim H, et al.

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan

Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. 2011. 1-54 p.

5. Kementerian Kesehatan Indonesia. Sistemik Lupus Eritematosus. Pus data dan

Inf Kementeri Kesehat Indones. 2017;

6. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Saifuddin AB, editor. Jakarta: BP-

SP; 2014.

7. RSCM. Best practices on IMPERAL. Sagung Seto; 2012. 159-1 p.

8. Departemen Obstetri dan Ginekologi FK Universitas Padjajajaran Bandung.

Step by Step Penanganan Kelainan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas


Dalam Praktik Sehari-hari. 1st ed. Djuwantono T, Bayuaji H, Permadi W,

editors. 2012. 386-2 p.

9. Sabarudin U, Deborah AA, Mose JC. Penatalaksanaan Intensif Obstetri.

Sagung Seto; 2015. 253-268 p.

10. Laksmi P, Mansjoer A, Setiati S, Rantya R. Penyakit-Penyakit pada

Kehamilan: Peran Seorang Internis. Jakarta: Interna Publishing; 2008.

11. Fitria. Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik pada Kehamilan. Fak

Kedokt Unsyiah. 2014;

12. Departemen Obstetri dan Ginekologi FK Universitas Padjajajaran Bandung.

Bandung Controversies and Consensus in Obstetrics & Gynecology. Jakarta:

Sagung Seto; 2013. 243-252 p.

Anda mungkin juga menyukai