Disusun Oleh
Jean Riani Pandie, S. Ked
(1408010066)
Pembimbing:
dr. A. A. Heru Tjahyono, Sp.OG
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
muncul dalam dua bentuk yaitu lupus eritematosus diskoid yang hanya menyerang
kulit saja dan systemic lupus erythematosus (SLE) yang menyerang sistemik .(1)
Penyakit SLE adalah suatu penyakit multisistem yang disebabkan oleh kerusakan
jaringan sebagai akibat dari terbentuknya antibodi dan komplemen dari reaksi imun
kompleks.(2) Etiologi SLE masih belum jelas namun berhubungan dengan faktor
Penyakit SLE dapat menyerang pria dan wanita di semua usia, namun
Sekitar 90% dari orang yang terdiagnosis adalah wanita dengan rentangan usia antara
15-44 tahun.(4) Prevalensi SLE menurut data World Health Organization (WHO) pada
tahun 2016 adalah sebanyak 5 juta orang yang sebagian besar adalah wanita usia
produktif serta setiap tahunnya ditemukan penigkatan 100 ribu penderita baru.(5)
pada negara Cina dan diikuti oleh Asia Tenggara.(6) Prevalensi SLE di Indonesia
secara tepat belum diketahui. Namun data dari sebanyak 858 rumah sakit di
Indonesia, pasien yang dirawat dengan Lupus di rumah sakit berjumlah 2.166 pasien.
Dari jumlah yang terdiagnosa Lupus tersebut, 550 diantaranya meninggal dunia.(5)
sindrom antifosfolipid atau Hughes Syndrome. Penyakit APS adalah suatu kumpulan
gejala berupa thrombosis yang dapat terjadi dalam kehamilan yang ditandai dengan
mengakibatkan terjadinya keguguran berulang pada ibu hamil.(7) APS terdapat pada
15% pasien wanita dengan keguguran berulang, dan jika tidak diobati, mempunyai
angka kelahiran hidup bayi hanya 10%.(8) Peningkatan jumlah kasus Lupus atau SLE
perlu diwaspadai oleh masyarakat dengan memberi perhatian khusus. Penyakit SLE
sering didiagnosis terlambat karena gejala yang beragam sedangkan APS biasanya
dengan hal-hal tersebut, perlu adanya pembahasan lebih mendalam tentang kedua
TINJAUAN PUSTAKA
inflamasi autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi dan kompleks imun,
Sistemik merujuk pada multiorgan, eritematosus merujuk pada kemerahan pada kulit,
sedangkan istilah lupus memiliki arti dari bahasi Latin yaitu anjing hutan atau
serigala. Istilah Lupus dipakai karena pada jaman dulu muncul bintik kemerahan pada
bagian wajah tepatnya di hidung dan pipi karena gigitan anjing hutan atau serigala.
Lupus memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit
yang beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
terjadi di Amerika dan setidaknya terjadi 5 juta kasus di dunia. Setiap tahun
diperkirakan terjadi sekitar 16 ribu kasus baru Lupus. Data di Indonesia secara tepat
tentang Lupus belum diketahui. Prevalensi SLE di masyarakat berdasarkan survei
populasi. data dari sebanyak 858 rumah sakit di Indonesia, pasien yang dirawat
dengan Lupus di rumah sakit berjumlah 2.166 pasien. Dari jumlah yang terdiagnosa
2.1.2. Etiologi
genetik, dan hormonal yang saling terkait dan akan menimbulkan abnormalitas
Faktor Genetik: diketahui bahwa sekitar 7% pasien SLE memiliki keluarga dekat
(orang tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosis SLE.(5) Saudara
peningkatan kadar estrogen atau progesteron, sebab kadar hormon ini lebih
rendah pada trimester kedua dan ketiga dibandingkan dengan hamil normal.(9)
2.1.4. Patofisiologi
Biasanya sistem kekebalan tubuh akan melindungi jaringan tubuh dari benda
asing, namun lupus adalah penyakit autoimun, yang berarti sel imun menyerang
beberapa jaringan atau organ sebagai target. Sama seperti penyakit autoimun lainnya
tidak sepenuhnya jelas mengapa berkembang, dan seperti kebanyakan penyakit yang
saat terpapar sinar ultraviolet (UV) sel-selnya tidak mati, namun karena penderita
SLE memiliki gen yang rentan, sehingga paparan UV mengakibatkan reaksi seperti
terbakar sehingga terjadi apoptosis sel. Apoptosis sel ini akan megekspresikan bagian
dalam sel seperti nukleus, DNA, histon dan protein lainnya ke seleruh tubuh. Hal ini
megakibatkan sel imun menyangka sel yang telah mati dan bagian dari sel tersebut
sebagai benda asing atau antigen. Antigen ini berasal dari nuklear, sehingga disebut
antigen nuklear. Sel imun akan mencoba menyerang antigen tersebut. Tidak hanya
itu, gen yang rentan juga menyebabkan pembersihan sel apoptosis kurang efektif,
kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan berjalan mengikuti alur pembuluh
darah, mengendap atau menempel pada pembuluh darah di semua jenis organ dan
jaringan yang berbeda, seperti ginjal, kulit, sendi, dan jantung. Penumpukan antigen-
antibodi kompleks ini kemudian akan mulai menyebabkan reaksi peradangan lokal,
enzim yang cukup banyak, meninggalkan membran sel dengan saluran yang
memungkinkan cairan dan molekul masuk dan keluar sehingga dapat menyebabkan
selnya pecah dan mati. Ketika jaringan menjadi rusak sebagai akibat dari kompleks
Namun radiasi UV bukan satu-satunya cara untuk merusak sel. Pemicu lainnya
adalah merokok, infeksi virus atau bakteri, penggunaan zat atau obat tertentu seperti
yang mungkin sebagian mengapa lupus terjadi pada wanita dengan usia produktif
mengeluhkan berbagai gejala sehingga sulit untuk didagnosis, Gejalanya bisa ringan
bahkan mengancam jiwa. Gejala yang paling sering muncul adalah keletihan atau
kelelahan, demam, arthritis, myalgia, penurunan berat badan dan muncul kemerahan
pada wajah. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan-bulan sampai tahunan
barulah menunjukkan manifestasi klinik yang lebih spesifik dan lengkap dan
(ACR) mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Bila didapatkan 4 atau lebih
1. Ruam malar: eritema menetap datar atau menonjol, pada malar eminence dan
lipat nasolabial.
2. Ruam diskoid: bercak eritema menonjol dengan gambaran SLE keratotik dan
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring : ulkus mulut atau orofaring, tidak nyeri dan
5. Arthritis: Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer, ditandai dengan rasa nyeri,
friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura.
Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pleuritic friction rub yang didengar oleh
10. Kelainan imunologi: yaitu sel LE positif atau anti-DNA positif atau tes
serologi untuk sifilis yang positif palsu. Temuan positif terhadap antibodi
metode standar, atau 3. Hasil tes dengan tes imobilisasi Treponema pallidum
Pengaruh kehamilan terhadap SLE masih belum dapat dipastikan dan menjadi
perdebatan hingga saat ini, tetapi mayoritas hasil penelitian melaporkan adanya
bergantung pada lamanya masa remisi SLE dan keterlibatan organ-organ vital seperti
ginjal. Penderita SLE yang sudah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil
mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilan baik.
Bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan, risiko eksaserbasi SLE
pada saat hamil menjadi 50% dengan luaran kehamilan yang buruk. Apabila
kehamilan terjadi pada saat SLE sedang aktif, risiko kematian janin 50-75% dengan
angka kematian ibu menjadi 10%. Dengan meningkatnya umur kehamilan, risiko
eksaserbasi juga meningkat, yaitu 13% pada trimester I, 14% pada trimester II, 53%
Komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilan adalah kematian janin meningkat 2-3
kali dibandingkan wanita hamil normal. Bila didapatkan hipertensi dan kelainan
ginjal, maka mortalitas dari janin mencapai 50%. Bayi lahir prematur juga dapat
meningkat risikonya 30-50% yang sebagian besar karena preeklampsia berat dan
gawat janin. SLE pada kehamilan juga dapat mengakibatkan infark plasenta yang
Pada penderita yang disertai dengan lupus nefritis, kejadian preeklampsia menjadi 2
kali lipat.(6)
2.1.8. Tatalaksana dan Penanganan SLE pada kehamilan
disamping pemberian obat ialah cukup istirahat, harus dibatasi aktivitas yang
berlebihan dan mampu merubah gaya hidup yang jelek. Bila pasien merokok, maka
hentikan kebiasaan rokok. Bila sering terkena sinar matahari, maka dianjurkan untuk
menghindari paparan sinar matahari terlebih pada pagi hari sekitar jam 10 pagi
hingga jam 3 sore dengan menggunakan pakaian yang tertutup seperti baju berlengan
panjang dan atau memakai kopi atau lotion. Diet juga harus disesuaikan bila organ
terkena.(5,6)
persiapan kehamilan, dan selama kehamilan serta pengobatan bila disertai APS.
dengan spesialis reumatologi dan obstetri. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah
asupan suplemen nutrisi yang mengandung setidaknya 400 mcg asam folat untuk
mereduksi risiko kelahiran bayi dengan kecacatan. Asam folat harus dikonsumsi sejak
berhenti melakukan kebiasan merokok dan minum minuman beralkohol. Jika sedang
dalam pengobatan tertentu, hal-hal tersebut harus dilakukan terlebih dahulu. Asupan
pada ibu dengan SLE tampak lebih baik pada mereka yang melanjutkan konsumsi
meningkatkan risiko bayi berat lahir rendah atau ruptur membran prematur.(9)
terhadap janin secara konsisten. Pemeriksaan ANC secara berkala dengan mendengar
detak jantung janin dan pemeriksaan dengan USG untuk menilai pergerakan janin,
pergerakan nafas janin, fetal tone (fleksi dan ekstensi tangan kaki atau punggung) dan
kadar amnion. Selama kehamilan penderita SLE harus tetap ditangani oleh ahli
Pasien dengan lupus pada kehamilan sebaiknya dipantau secara klinis dan
sebaiknya dilakukan pemantauan adalah darah perifer lengkap, ureum, kreatinin, gula
darah sewaktu, urinalisa, Coomb’s test (atas indikasi), aPTT, ACA, anti Ds-DNA,
anti-Ro/SSA, anti LA/SSB, anti U1RNP, C3, C4, dan protein urine/24 jam beserta
diberikan untuk jangka panjang seperti prednison dan prednisolon serta hidrokortison
pada kehamilan umumnya aman, karena glukokortikoid itu segera akan mengalami
inaktif, sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. Pada
manifestasi SLE yang ringan dapat diberikan dosis rendah 0,5 mg/kgBB/hari,
oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak dapat memberikan respon terapi oral.
secara bertahap, 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul
Efek dari penggunaan glukokortikoid yang lama akan menyebabkan efek pada
body surface dalam 150 cc NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti pemberian cairan 2-3
liter/24 jam.(6)
manifestasi susunan saraf pusat. Pemberian siklosfosfamid pada ibu hamil tidak
dianjurkan untuk rutin karena dapat mengaibatkan kegagalan ovarium prematur dan
kelainan bawaan pada janin. Imunosupresan lain yang aman terhadap ibu hamil
metilprednisolon dosis tinggi sampai 48 jam pasca persalinan, setelah itu dosis obat
diturunkan.(6)
diekskresikan bersama air susu ibu dalam jumlah yang bervariasi sekitar 0,1-2% dosis
Pemberian aspirin dalam dosis besar (>3 gram/hari) berhubungan dengan kehamilan
postterm dan perdarahan selama persalinan. Dosis tinggi salisilat juga dilaporkan
bulan remisi. Selain itu dilakukan pemeriksaan laboratorium ACA, anti Ds-DNA,
anti-Ro/SSA, anti LA/SSB C3, C4, SGOT/PT, Ureum dan Kreatinin, urinalisis dan
pasien terhadap preeklampsia. Selain itu, ibu hamil dengam SLE berisiko
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah, khususnya apabila ibu tersebut
b. Abortus
selama kehamilan, riwayat abortus, dan etnis atau ras tertentu seperti Ras
c. Persalinan Prematur
Insiden persalinan prematur lebih tinggi pada ibu hamil penderita SLE.
dan siklosporin.
d. Neonatal Lupus Erythematosus (NLE)
diperantarai imun oleh aliran transplasenta dari autoantibodi ibu. Lesi kulit
pada NLE adalah eritema dan plak bersisik pada wajah atau kepala bayi. Lesi
muncul dalam beberapa minggu sampai hilang dalam beberapa bulan setelah
persalinan.
e. Nefritis Lupus
terapi medis serta terdapat kenaikan serum kreatinin > 3.5 mg/dl harus
SLE dengan APS dapat terkena trombosis arteri dan vena, rekuren abortus,
diberikan prednison dosis tinggi (40 mg/hari atau lebih) dalam kombinasi
dengan aspirin dosis rendah. Lainnya dapat digunakan heparin karena adanya
2.2.1. Definisi
Hughes’s disease merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya
Penyebab penyakit APS secara pasti belum diketahui. Namun ada kaitannya
antibodi yang memiliki spesifitas dan afinitas target yang luas, yaitu mengenali
famili ini dibedakan atas metode deteksinya.(12) Meskipun demikian tidak ada
subgroup tertentu. Oleh karena itu, tes beragam perlu dilakukan, karena pasien dapat
memberikan hasil negatif untuk tes yang satu tetapi positif untuk tes yang lain.
Antibodi antifosfolipid lebih mengarah ke tromboembolik dibandingkan
prokoagulan yang artinya memiliki 2 efek yang saling berlawanan pada proses
yang mengakibatkan efek trombosis lebih terlihat. Dua faktor yang mempengaruhi
adalah permukaan fosfolipid tempat reaksi berlangsung dan spesifitas antigenik dari
antibodi.(12)
Penyebab APS ada pada kelainan genetik pada antibodinya yaitu antibody
antifosfolipid (aPL) namun belum dapat dipastikan hingga saat ini apa yang
berulang pada ibu hamil, tetapi harus disertai pula dengan bantuan lingkungan yang
dapat memunculkan sindrom ini. Bantuan lingkungan yang dimaksud adalah seperti
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, antibodi ini diduga memiliki efek
yang berlawanan pada proses koagluasi, yaitu efek prokoagulasi dan antikoagulasi.
Efek prokoagulan lebih dominan sehingga klinisnya berupa gejala trombosis. Efek
prokoagulan yang telah ditemukan antara lain inhibisi jalur protein C yang terativasi,
peningkatan regulasi dari jalur faktor jaringan, inhibisi aktivitas antitrombin III,
inhibisi proses fibrinolisis, aktivasi sel endotel, dan lain-lain. Sedangkan efek
terjadinya aktivasi sel endotel yang dapat dilihat dengan peningkatan ekspresi
dasar dari interaksi B2-glikoprotein-1 dengan sel endotel masih belum jelas.(12)
disebabkan oleh oksidan. Low density lipoprotein (LDL) yang teroksidasi, yang
menyebabkan aktivasi makrofag sehingga terjadi kerusakan sel-sel endotel. Teori lain
fosfolipid yang berperan dalam regulasi koagulasi. Fungsi B2-glikoprotein pun belum
dan laboratorium. Bila terdapat paling tidak satu kriteria klinis dan satu kriteria
laboratorium.(6,12)
a. Kriteria Klinis
- Trombosis vaskular: satu kali atau lebih pada arteri, vena atau pembuluh
- Morbiditas kehamilan: satu atau lebih kematian janin usia lebih dari 10
Doppler, hasil tes fetal yang abnormal dengan AFI < 5, KMK). Tiga atau
Trombosis dapat terjadi pada semua organ dengan manifestasi klinis beragam
sehingga temuan pada pemeriksaan fisik tidaklah khas. Namun ada beberapa tanda
yang berhubungan dengan iskemik atau infark dapat ditemukan seperti livedo
retikolaris, trombosis vena profunda atau superfisialis, stroke, emboli pulmonal, atau
kematian fetus.(8)
b. Kriteria Laboratorium
- Lupus antikoagulan (LA) terdeteksi dalam plasma pada dua atau lebih
Dianggap positif, jika titernya mencapai lebih dari kadar medium (>40
MPL/GPL), atau lebih dari 3 kali nilai kontrol dan persisten selama 12
minggu. Dianggap positif apabila titernya mencapai lebih dari 3 kali nilai
Pada penyakit APS, yang perlu dilakukan adalah edukasi terhadap penderita
yang sedang hamil tentang penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi di masa
berulang, preeklampsia, serta akibat lainnya dari trombosis pada vena atau arteri
secara sistemik.
dose aspirin pada penderita APS dengan riwayat abortus berulang trimester pertama
low-dose aspirin tanpa kombinasi. Selain UFH adapula yang dikenal sebagai low
molecular weight heparin (LMWH), pada hasil penelitian LMHW tidak bermakna
dengan UFH atau LMWH pada pasien dengan late pregnancy loss tidak mengurangi
Terapi APS dibedakan menjadi terapi APS tanpa riwayat trombosis dan
tromboembolism). Pada APS tanpa riwayat trombosis dan keguguran berulang (<10
Terapi dimulai saat viabilitas fetal dapat diidentifikasi, tetapi tidak cukup data
untuk menyimpulkan waktu yang paling tepat untuk pemberian terapi. Low-dose
aspirin diberikan 75-100 mg/hari, dan pada kasus yang berat disarankan untuk
minggu):
dari B2-glikoprotein I yang juga merupakan tempat yang sama untuk ikatan dengan
mekanisme ini memengaruhi ikatan dengan aPL pad sel target. LMWH juga
mengurangi ikatan aPL pada sel trofoblas dan mempertahankan kemampuan invasi
dan diferensiasi in vitro. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa heparin dapat
mencegah deposisi antibodi anti B2GP I pada jaringan untuk melindungi PL trofoblas
Pembahasan
Penyakit SLE dan APS adalah suatu kelompok penyakit autoimun yang dapat
janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil normal. Bila didapatkan
penyakit lain yang memperberat, tentunya mortalitas janin menjadi meningkat, bayi
dapat lahir prematur yang sebagian besar karena preeklampsia berat dan gawat janin.
Selain pada janin pada ibu dengan SLE juga dapat memperburuk kondisinya
tergantung organ yang terkena. Contohnya pada ginjal yang dapat mengakibatkan
lupus nefritis, sehingga perlu adanya pengenalan dengan cepat terhadap SLE
mengingat gejala-gelaja yang dikeluhkan tidak spesifik. Untuk diagnosis SLE dapat
kriteria saja, dapat didiagnosa SLE. Penanganan pada SLE tergantung pada
imunosupresan untuk menekan efek dari SLE pada ibu. Bila disertai dengan APS
akibat trombosis secara sistemik. Penyakit APS lebih berperan pada proses
trombosis bukan penrdarahan. Diagnosa APS diambil berdasarkan kriteria klinis dan
laboratorium. Bila didapatkan 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorium sudah dapat
dosis rendah untuk mencegah trombosis dan menghentikan aliran darah ke janin
Penutup
4.1. Kesimpulan
SLE dan APS merupakan penyakit autoimun yang masih belum jelas
nefritis SLE, preeklampsia, berat badan lahir rendah, abortus, persalinan prematur
dan NLE. Sedangkan dampak pada kehamilan dengan ibu APS adalah kegagalan
kematian fetus yang tidak diketahui penyebabnya, atau persalinan prematur dengan
morfologi fetusnya normal, atau adanya abortus spontan tiga kali atau lebih berutrut-
turut sebelum 10 minggu. Dampak pada ibu nifas dan bayi baru lahir adalah pada
SLE dapat terjadi penghambatan jantung janin ataupun neonatal, atau lesi kulit,
anemia, trombositopenia, dan hepatitis. Penyakit ini diperantarai imun oleh aliran
transplasenta dari autoantibodi ibu. Lesi kulit pada NLE adalah eritema dan plak
bersisik pada wajah atau kepala bayi. Lesi muncul dalam beberapa minggu sampai
Kedua penyakit ini memiliki kriteria-kriteria tertentu yang dapat dipakai untuk
mendiagnosis, maka perlu dengan cepat ditangani bila sudah gejala atau keluhan
Connective Tissue Disorders. In: Williams obstetrics 25th edition. New York:
3. Bratawidjaya K. Autoimunitas. In: Imunologi Dasar edisi VII. 25th ed. Jakarta:
6. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Saifuddin AB, editor. Jakarta: BP-
SP; 2014.