Anda di halaman 1dari 23

I.

Melakukan Koreksi Fiskal dan Menyusun Laporan Keuangan Fiskal


I.1 Koreksi Fiskal
A. Definisi dan Ruang Lingkup
Koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya
perbedaan pengakuan metode, manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara
komersial atau dengan secara fiskal. Koreksi fiskal dilakukan karena adanya
perbedaan antara laba atau rugi menurut perhitungan akuntansi komersial dengan
akuntansi fiskal ( berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 ), maka sebelum menghitung Pajak Penghasilan yang
terutang, terlebih dahulu laba/rugi komersial tersebut harus dilakukan koreksi-koreksi
fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Dengan demikian, untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat
pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih
dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal. Koreksi fiskal tersebut dilakukan baik
terhadap penghasilan maupun terhadap biaya-biaya (pengurang penghasilan bruto).

B. Jenis-jenis Koreksi Fiskal


Jenis koreksi fiskal di sini merupakan jenis – jenis perbedaan antara akuntansi
komersial dengan ketentuan fiskal (UU Nomor 10 TAHUN 1994 dan UU Nomor 17
Tahun 2000). Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan
maupun biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang
menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu:
1. Beda Tetap
Beda tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya
antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya
permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan
laba kena pajak tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena :

a) Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut


Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau
bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha
Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan

1
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari
cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)

b) Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut


Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:

1) Bunga Deposito dan Tabungan lainnya


2) Penghasilan berupa hadiah undian
3) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau
bangunan,
4) Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan
5) Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
6) dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena
menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-
undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto,
misalnya:
a) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
1) yang bukan objek pajak
2) yang pengenaan pajaknya bersifat final
3) yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan
b) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan

c) Pajak Penghasilan
d) sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
e) biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat

2
dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh)
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif
atau koreksi positif. Koreksi negatif artinya penghasilan yang diakui oleh
akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan
merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, menyebabkan
laba kena pajak berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang lebih
kecil. Sedangkan koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif
artinya biaya yang diakui oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus
dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak bertambah yang akhirnya akan
menyebabkan PPh terutang menjadi lebih besar.
2. Beda Waktu
Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya
antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya
sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba
kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena :
Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara
akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa
perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan
menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada
saat diterima.

Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :
a. Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh
metode
penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo
menurun
b. Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang
PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-
rata dan FIFO

3
c. Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang
Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-
usaha tertentu dan sebagainya
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif
pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada
tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak
akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan
menyebabkan laba kena pajak akan berkurang.
Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun
koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.
1) Koreksi Positif
Koreksi positif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya pengurangan
biaya yang telah diakuai dalam laporan laba rugi secara komersial menjadi
semakin kecil apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya
penambahan Penghasilan Kena Pajak. koreksi fiskal positif diantaranya:
a) Biaya yg dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham
b) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
c) Pengeluaran dalam bentuk natura
d) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kpd pemegang saham
e) Sumbangan atau bantuan
f) Pajak Penghasilan
g) Sanksi administrasi (Pajak)
h) Penyusutan/amortisasi
i) Dan lain – lain

2) Koreksi Negatif
Koreksi negatif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya penambahan
biaya yang telah diakui dalam laporan laba rugi secara komersial sehingga
semakin besar apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya
pengurangan Penghasilan Kena Pajak. Koreksi fiskal negatif diantaranya:

4
a. Penyusutan/amortisasi
b. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya
c. Dan lain - lain
Penyustan bisa menimbulkan koreksi negatif atau positif tergantung hasil
perhitungan apa lebih besar atau malah lebih kecil.
Untuk lebih mendalami koreksi fiskal kita dapat juga membaca laporan audit
akuntan publik atas laporan keuangan suatu perusahaan. Setiap perusahaan akan
mempunyai pos yang berbeda atas koreksi fiskalnya.

C. Teknik Rekonsiliasi Fiskal


Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut
fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan
tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba
menurut akuntansi.
2. Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut
fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan
tersebut pada penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah laba
menurut akuntansi.
3. Jika suatu biaya/ pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui sebagai
pengurang penghasilan bruto menturt fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan
mengurangkan sejumlah biaya/ pengeluaran tersebut dari biaya menurut
akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.
4. Jika suatu biaya/ pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui sebagai
pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan
menambahkan sejumlah biaya/ pengeluaran teersebut pada biaya menurut
akuntansi yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.

D. Format Rekonsiliasi Fiskal


Contoh format Rekonsiliasi Fiskal.

Laba menurut Laporan Keuangan komersial …………….. Rp xxx

Koreksi Positif (Ditambah)

Pengeluaran yg tidak dapat dikurangkan……………….. Rp xxx

5
Pengeluaran berkaitan penghasilan yang bukan objek pajak Rp xxx

Pengel. berkaitan pengh. yg telah dikenakan pjk brsfat final Rp xxx.

Beda penghitungan antara PSAK dan PPh …………. Rp xxx.

Total koreksi positif Rp xxx

Koreksi Negatif (Dikurangi)

Penghasilan yang bukan objek pajak …………………… Rp xxx

Penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final…. Rp xxx

Beda penghitungan antara PSAK dan PPh………...……… Rp xxx

Total koreksi negatif Rp. xxx

Penghasilan Kena Pajak menurut fiskal………………………. Rp xxx

PPh terutang…………………………………………………… Rp xxx

Laba setelah PPh……………………………………….……. Rp. Xxx

Perbedaan dimasukkan sebagai koreksi positif apabila:

1. Pendapatan menurut fiskal lebih besar dari pada menurut akuntansi atau suatu
penghasilan diakui menurut fiskal tetapi tidak diakui menurut akuntansi.
2. Biaya/ pengeluaran menurut fiskal lebih kecil dari pada menurut akuntansi
atau suatu biaya/ pengeluaran tidak diakui menurut fiskal tetapi diakui
menurut akuntansi

Perbedaan diakui sebagai koreksi negatif apabila:


1. Pendapatan menurut fiskal lebih kecil dari pada menurut akuntansi atau suatu
penghasilan tidak diakui menurut fiskal (bukan objek pajak) tetapi diakui
menurut akuntansi.
2. Biaya atau pengeluaran menurut fiskal lebih besar dari pada menurut
akuntansi atau suatu biaya/ pengeluaran diakui menuruttt fiskal tetapi tidak
diakui menurut akuntansi.

3. Suatu pendapatan telah dikenakan pajak penghasilan bersifat final.

6
I.2 Laporan Keuangan Fiskal
A. Pengertian Laporan Keuangan Fiskal
Laporan Keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan
untuk keperluan perhitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib
Pajak karena terdapat perbedaan perhitungan, khususnya laba menurut akuntansi
(komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan
komersial atau bisnis ditujukan untuk menilai hasil usaha (Income statement) dan
keadaan keuangan (Balance Sheet) dari satu entitas, sedangkan laporan keuangan
fiskal ditujukan untuk menghitung penghasilan kena pajak dan beban pajak yang
harus dibayar ke Negara. Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai
solusi antara ketentuan akuntansi dan pajak yaitu :

1. Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam


pendekatan ini laporan keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan.
Dengan demikian dalam melakukan pembukuan perusahaan menyusun
laporan harus menurut ketentuan perpajakan dan menurut praktek pembukuan.
2. Ketentuan pajakuntuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan
standar indepensi dari prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan
bebas untuk menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsif dan metode
akuntansi.
3. Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini
laporan keuangan atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan
kepada ketentuan pajak apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar
akuntansi.

B. Perbedaan Orientasi Pelaporan


Dalam system perpajakan, Negara mempunyai instrument untuk mencapai dua
tujuan utama yaitu menutup kebutuhan financial dan memepengaruhi kehidupan
social ekonomi nasional. Secara budgetair pajak merupakan alat untuk
mentransfer sumberdaya dari masyarakat kepada Negara. Negara lebih
memperhatikan laporan keuangan dilampirkan dalam SPT yang meliputi unsur:
1. Laba tahun berjalan

7
2. Distribusi laba
3. Peredaran
4. Pengeluaran untuk karyawan dan pembelian jasa yang lain.

C. Prinsip Akuntansi Sebagai Subjek Perbedaan Orientasi


Kemampuan pajak untuk mempengaruhi perilaku pengusaha umumnya dianggap
suatu alasan pendukung penyimpangan dari prinsip dan praktek akuntansi
komersial. Prinsip-prinsip akuntansi yang sering menjadi focus perbedaan
orientasi antara pelaporan keuangan fiscal dan pelaporan keuangan komersial
seperti dibawah ini :
1. Prinsip pemadanan (matching) biaya dan manfaat
Untuk keperluan komersial, prinsip ini menghendaki pengakuan pendapatan
pada saat realisasi transaksi pertukaran dan pembebanan biaya atau beban
dalam masa yang sama dengan pengakuan penghasilan. Meskipun dalam
prinsip perpajakan (fiscal) menggaris bawahi prinsip tersebut, sering kali
kebijakan tersebut dihiraukan dan terjadi penyimpangan seperti:
a. Perlakuan pembayaran kenikmatan karyawan sebagai beban pengurang
penghasilan meskipun secara ekonomis pengeluaran tersebut
merupakan unsure biaya yang dapat menghasilkan profit bagi
perusahaan.
b. Penyusutan asset mulai tahun pengeluaran walaupun harta itu belum
dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan.
c. Imputansi penghasilan bentuk usaha tetap (BUT) atas dasar force of
attraction walaupun secara legal penghasilan itu tidak diperolehnya
dan secara nyata tidak dicatat dalam pembukuan.
2. Konsistensi
Metode ini digunakan untuk menilai kinerja bisnis dari tahun ke tahun. Maka
dari itu metode ini penerapan nya secara tata asas, kecuali apabila terdapat
bukti dan alasan yang kuat untuk melakukan penggantian metode. Missal
terhadap berbagai kelompok kelompok dipakai metode penilaian dan
pembukuan yang berbeda. Pada dasarnya laporan fiscal juga menganut system

8
ini. Tapi, dalam konsepsional ketentuan perpajakan dapat menentukan lain,
misalnya pengakuan hasil bisnis mancanegara.

3. Konservatisme
Yang dimaksud dengan laporan keuangan fiscal yang konservatisme yaitu
laporan keuangan dalam suatu transaksi yang belum menjadi fakta harus
diteliti kebenarannya. Dalam akuntansi perusahaan memiliki anggaran untuk
pembentukan poenyisihan atau resiko kerugian yang mungkin diderita seperti
cadangan kerugian piutang dan penghapusan piutang. Dalam kasus ini
administrasi pajak kurang tertarik dengan perhitungan- perhitungan yang
belum terjadi secara nyata. Perhitungan pajak lebih cenderung kepada keadaan
nyata atau sedang berlangsung dan sudah terjadinya transaksi dengan meneliti
elemen yang dikenakan pajak.

4. Substansi mengesampingkan bentuk formal


Dalam konsep ini laporan keuangan fiscal menitikberatkan kepada substansi
ekonomi daripada bentuk formal tiap transaksi atau fakta bisnis. Kadangkala
ketentuan tersebut dikesampingkan dan lebih mengutamakan benrtuk formal
dalam kasus tertentu seperti leasing.

D. Penyusunan Laporan Keuangan


Susunan laporan keuangan fiscal :
1. Input berupa dokumen dasar
2. Dicatat dalam buku harian jurnal
3. Diklasifikasikan dengan pencatatan posting pada buku besar
4. Untuk pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku tambahan,
seperti piutang, hutang dll
5. Akhir periode akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan terhadap
fakta pada akhir tahun dan catatan penutup.
6. Dari neraca percobaan tersebut dibuat laporan keuangan komersial

9
7. Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam
ketentuan perpajakan
8. Setelah laporan keuangan diatur dalam kketentuan perpajakan akan
menghasilkan laporan keuangan fiskal.

II. Menjelaskan Kompensasi Kerugian Fiskal


Kompensasi kerugian dalam Pajak Penghasilan diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-
undang Pajak Penghasilan. Adapun beberapa point penting yang perlu diperhatikan
dalam hal kompensasi kerugian ini adalah sebagai berikut :

1. Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial.


Kerugian atau keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biaya-
biaya yang telah memperhitungkan ketentuan Pajak Penghasilan.
2. Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara
berturut-turut. Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang
tersisa maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan.

3. Kompensai kerugian hanya untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang pribadi,
yang melakukan kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan PPh Final
dan perhitungan Pajak Penghasilannnya tidak menggunakan norma penghitungan.

4. Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan


dari dalam negeri.

Sebagai contoh, misalnya wajib pajak PT A mengalami kerugian fiskal tahun pajak
2007, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau
laba fiskal tahun 2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012. Jika setelah kerugian tersebut
dikompensasikan sampai dengan tahun 2012 masih tersisa kerugian yang belum
dikompensasikan, maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan
dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2013 atau sesudahnya.

10
Sebagai ilustrasi misalkan PT A dalam tahun 2007 mengalami kerugian fiskal
Rp1.200.000.000,00. Dalam lima tahun berikutnya rugi laba fiskal PT A sebagai
berikut :

2008 : laba fiskal Rp200.000.000,00

2009 : rugi fiskal Rp300.000.000,00

2010 : laba fiskal NIHIL

2011 : laba fiskal Rp100.000.000,00

2012 : laba fiskal Rp800.000.000,00

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :


Tahun 2008 :
Kompensasi kerugian Rp200.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal
Rp1.000.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga
nihil.
Tahun 2009 :
Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2009 juga mengalami
kerugian. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2010 :
Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2010 laba fiskal nihil.
Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2011 :
Kompensasi kerugian Rp100.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal
Rp900.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga
nihil.
Tahun 2012 :
Kompensasi kerugian Rp800.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal
Rp100.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga

11
nihil. Sisa kerugian Rp100.000.000,00 ini tidak dapat lagi dikompensasikan ke
tahun 2013 atau setelahnya.

Pengertian dan ketentuan Kompensasi Kerugian Fiskal dalam Undang-Undang No.36


Tahun 2008 tetang Pajak Penghasilan diatur sebagai berikut :
a. Kompensasi kerugian fiskal timbul apabila untuk tahun pajak sebelumnya
terdapat kerugian fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil/Lebih Bayar tetapi ada
kerugian) .
b. Kerugian Fiskal timbul apabila penghasilan bruto yang dikurangi oleh
pengurangan yang diperbolehkan mengalami kerugian,
c. Kerugian Fiskal tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto fiskal atau
laba neto fiskal dimulai tahun pajak berikutnya sesudah tahun didapatnya
kerugian tersebut berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
d. Ketentuan jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal berlaku untuk
tahun pajak mulai tahun 2009, untuk tahun pajak sebelumnya berlaku ketentuan
Undang-undang no.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.

III. Menghitung dan Menjelaskan Penghasilan Kena Pajak


Menghitung besarnya penghasilan netto bagi WP dalam negeri dan BUT dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu :

- Menggunakan pembukuan
- Menggunakan norma perhitungan penghasilan netto
Menghitung penghasilan kena pajak dengan menggunakan pembukuan :
Pembukan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau
jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.
Perhitungan dengan menggunakan pembukuan dapat dirumuskan sebagai berikut :

Penghasilan Kena Pajak (WP Orang Pribadi) = penghasilan netto – PTKP

Penghasilan Kena Pajak (WP badan) = Penghasilan netto

12
Menghitung penghasilan kena pajak dengan menggunakan norma perhitungan
penghasilan netto

Menghitung penghasilan kena pajak dengan menggunakan norma perhitungan


penghasilan netto besarnya penghasilan netto adalah sama besarnya dengan
(persentase) norma perhitungan penghasilan netto dikalikan dengan jumlah peredaran
usaha atau penerimaan bruto pekerja bebas setahun.

WP yang boleh menggunakan norma perhitungan netto adalah WP orang


pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut :

- Peredaran bruto kurang dari 4.800.000.000/th

- Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun buku.

- Menyelenggarakan pencatatan.

IV. Menghitung Penghasilan Neto Karyawan yang Tidak Punya Usaha

Untuk WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas, penghasilan


neto dihitung sesuai dengan selisih antara penghasilan bruto dengan biaya yang
diperkenankan secara fiskal untuk menjadi pengurang. Contohnya, untuk WP OP
yang berstatus sebagai karyawan tetap (tidak melakukan pekerjaan bebas), maka
penghasilan netonya dihitung dengan cara Penghasilan Bruto (1 tahun) dikurangi
dengan biaya jabatan (besarnya 5% x Penghasilan bruto, maximal Rp 6 juta
pertahun), dikurangi lagi dengan iuran pensiun atau jaminan hari tua (JHT) atau yang
sejenis yang dibayarkan oleh karyawan tetap tersebut kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Contoh lainnya, seseorang yang
menjual aktiva tetapnya (bukan barang dagangan), misalkan sebuah lukisan untuk
hiasan di rumah, pada saat dia beli harga lukisannya sebesar Rp 1 juta, kemudian dia
jual seharga Rp 7 juta, maka penghasilan netonya adalah sebesar Rp 6 juta ( Rp 7 juta
– Rp 1 Juta).

Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai karyawan, berhak atas
penghasilannya yaitu gaji berupa biaya jabatan / biaya pensiun yang diberikan kepada
pegawai tetap atau pensiunan, untuk dijadikan sebagai pengurang dari penghasilan

13
bruto berupa gaji, tunjangan, uang lembur, premi asuransi JPK, JKK, JKM, bonus dan
lain-lain, yang diterima pegawai tetap. Jika karyawan membayar premi Jaminan Hari
Tua (JHT) juga dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto baik untuk
penghitungan PPh Pasal 21 maupun perhitungan PPh Orang Pribadi.
- Penghasilan bruto – biaya jabatan/biaya pensiun = penghasilan netto

Kepada Orang Pribadi sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri diberikan pengurangan
berupa PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) yang besarnya PTKP ditentukan
keadaan pada awal tahun takwim. Untuk penghasilan istri digabung, tambahan
seorang istri (hanya seorang istri) dilakukan dalam hal istri :
1. Bukan karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha / pekerjaan bebas yang
tidak ada hubungannya dengan usaha / pekerjaan bebas suami, anak / anak angkat
yang belum dewasa.
2. Bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai pemotong pajak
walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha / pekerjaan bebas.
3. Bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja.
4. Warisan yang belum terbagi sebagai Wajib Pajak menggantikan yang berhak, tidak
memperoleh pengurangan PTKP.
5. Bagi masing-masing suami istri yang telah hidup berpisah untuk diri masing-
masing, maka PTKP bagi Wajib Pajak OP diperlakukan seperti PTKP Wajib
Pajak tidak kawin, sedangkan tanggungan sesuai dengan kenyataan sebenarnya
yang diperkenankan.
6. PTKP untuk Wajib Pajak yang melakukan pisah harta adalah sebesar PTKP
masing-masing. Namun status kawin dan tanggungan disertakan pada suami
sebagai kepala keluarga.

Besaran Nilai Pendapatan Tidak Kena Pajak per Januari 2013


- Untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi = IDR 2.025.000,-
- Tambahan untuk WP yang sudah menikah = IDR 2.025.000,-
- Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan suami
=IDR 24.300.000,-

14
- Untuk setiap tambahan pada anggota keluarga sedarah atau hubungan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
dengan jumlah paling banyak adalah 3 (tiga) orang untuk setiap anggota keluarga
= IDR 2.025.000,

V. Menghitung Pajak Terutang, Kredit Pajak Pasal 21, 23,24, 25


V.1 Pasal 21
Saat terhutang PPh Pasal 21 dibagi menjadi dua yaitu bagi penerima penghasilan dan
pemotong penghasilan. Bagi penerima penghasilan adalah pada saat dilakukan
pembayaran atau pada saat terutangny penghasilan yang bersangkutan. Sedangkan
bagi pemotong PPh Pasal 21 adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada
akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
Contoh Soal :
Ikhsan Alisyahbani adalah pegawai tetap di PT Tiurmas Lampung Indah. Ia
memperoleh gaji bulan Desember sebesar Rp. 2.500.000,00 menerima THR sebesar
Rp. 1.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 50.000,00 sebulan. Ikhsan
Alisyahbani menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0). PPh Pasal 21 atas
gaji dan THR:Penghasilan Bruto setahun = 12 x 2.500.000 = Rp. 30.000.000THR =
Rp. 1.000.000Jumlah Penghasilan Bruto = Rp. 31.000.000Pengurangan:

 Biaya Jabatan = 5% x 31.000.000 = Rp. 1.550.000


 Iuran pensiun = 12 x 50.000 = Rp. 600.000

 Total Pengurangan = Rp. 2.150.000

Penghasilan netto setahun = Rp. 28.850.000, PTKP (K/0) setahun = Rp. 17.160.000,
PKP setahun = Rp. 11.690.000, PPh Ps. 21 terutang = 5% x 11.690.000 Rp. 584.500,
PPh Pasal 21 atas gajiPenghasilan Bruto setahun = 12 x 2.500.000 = Rp.30.000.000
Pengurangan :
 Biaya Jabatan = 5% x 30.000.000 = Rp. 1.500.000
 Iuran pensiun = 12 x 50.000 = Rp. 600.000

 Total Pengurangan = Rp. 2.100.000

15
Penghasilan netto setahun Rp. 27.900.000PTKP (K/0) setahun = Rp. 17.160.000PKP
setahun = Rp. 10.740.000PPh Ps. 21 terutang = 5% x 10.740.000 Rp. 537.000PPh
Pasal 21atas gaji dan THR – PPh Pasal 21 atas gaji:= Rp. 584.500– Rp.537.000= Rp.
47.500

V.2 Pasal 22
Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22

1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk.
2. Atas pembelian barang terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
3. Atas penjualan hasil produksi terutang dan dipungut pada saat penjualan.
4. Atas penjualan hasil produksi dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah
Pengeluaran Barang (Delivery Order).
5. Atas pembelian bahan-bahan terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Contoh soal :
PT. AYAM CRISPY, memiliki nomor API, melakukan impor Bahan Baku
Makanan dari Amerika Serikat dengan perincian sebagai berikut :
Harga Bahan Makanan US$ 15,000.00
Asuransi US$ 1,000.00
Biaya Angkut US$ 4,000.00
Harga Pabean US$ 20,000.00
Pengutan :
 Bea Masuk 20% US$ 4,000.00
 Bea Masuk Tambahan 10% US$ 2,000.00
NILAI IMPOR US$ 26,000.00
Apabila pada tanggal impor (sesuai dokumen impor : (Pemberitahuan Impor
Barang) nilai kurs US$ 1.00 = Rp 10.000,00 maka :
 Dasar pengenaan PPh Pasal 22 : US$ 26,000.00 x Rp 10.000,00 = Rp
260.000.000,00
PPh Pasal 22 yang harus dipungut : Rp 260.000.000,00 x 2,5% = Rp 6.500.000,00

V.3 Pasal 23

16
Saat terutangnya PPh Pasal 23 adalah saat yang terjadi lebih dahulu antara
pembayaran atau terutangnya penghasilan. Saat pembayaran adalah saat dilakukannya
pemindahbukuan dana suatu pihak kepada pihak lain, sedangkan saat pengakuan
terutangnya penghasilan adalah saat dilakukannya pemindahbukuan dana dari akun harta
ke akun hutang.
Saat terutangnya penghasilan antara lain :

1. Pada saat jatuh tempo, seperti : bunga dan sewa;

2. Saat tersedia untuk dibayarkan, seperti : gaji dan dividen;

3. Saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur, seperti : royalti,


imbalan jasa teknik/jasa manajemen/jasa lainnya;

4. Saat tertentu lainnya.

Contoh soal :

Pada tanggal 20 juni 2010, PT. AYAM CRISPY membayar bunga atas pinjaman
membayarkan bunga kepada PT. SAMBAL COLEK sebesar Rp 80.000.000,-

PPh pasal 23 yang harus dipotong oleh PT AYAM CRISPY adalah :

15% x Rp 80.000.000 = Rp 12.000.000,-

Saat terutang : akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Agustus 2010

Saat Penyetoran : paling lambat 10 Juli 2010

Saat Pelaporan : paling lambat 20 Juli 2010

V.4 Pasal 24
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP

Contoh soal :

PT Kartika berkedudukan di Jakarta pada tahun pajak 2006 memperoleh


penghasilan bersih sebagai berikut:

17
- di negara A memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp200.000.000
(tarif pajak yang berlaku 25%)

- di negara B memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000


(tarif pajak yang berlaku 30%)

- di negara C memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp400.000.000


(tarif pajak yang berlaku 40%)

- di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp100.000.000

1. menghitung total penghasilan kena pajak:

penghasilan dari negara A Rp 200.000.000

penghasilan dari negara B Rp 300.000.000

penghasilan dari negara C Rp 400.000.000

penghasilan dari dalam negeri Rp 100.000.000

total penghasilan kena pajak Rp1.000.000.000

1. menghitung total PPh terutang

10% x Rp50.000.000 = Rp 5.000.000

15% x Rp50.000.000 = Rp 7.500.000

30% x Rp900.000.000 = Rp270.000.000

Total pajak terutang Rp282.500.000

1. menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan

dari negara A = (Rp200.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 =


Rp56.500.000

dari negara B = (Rp300.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 =


Rp84.750.000*

dari negara C = (Rp400.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 =


Rp113.000.000*

1. menghitung PPh yang dibayar atau terutang di LN

18
PPh terutang di negara A = 20% x Rp200.000.000 = Rp 40.000.000*

PPh terutang di negara B = 30% x Rp300.000.000 = Rp 90.000.000

PPh terutang di negara C = 40% x Rp400.000.000 = Rp160.000.000

Dari perhitungan di atas kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah

Dari negara A Rp 40.000.000

Dari negara B Rp 84.750.000

Dari negara C Rp113.000.000

Total kredit pajak LN Rp237.750.000

V.5 Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada
umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun
sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan
penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi
sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar
sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan
PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan
restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah
dilakukan.Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak untuk setiap bulan (PPh Pasal 25 ayat 1) adalah sebesar PPh yang terutang
menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan pasal 23 serta
b. PPh yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 22; dan
c. PPh yang dibayar/terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam PPh Pasal 24, dibagi dua belas atau banyaknya bulan dalam bagian
tahun pajak
Contoh penghitungan angsuran PPh Pasal 25 ayat 1 bagi Wajib Pajak orang
pribadi:

19
Pajak Penghasilan yang terutang untuk tuan Ali berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun
2009 sebesar Rp 50.000.000,00. Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta
yang terutang atau dibayar di luar negeri dalam tahun 2009 adalah sebagai berikut:
 Pemotongan PPh Pasal 21 melalui pemberi kerja sebesar Rp 15.000.000,00
 Pemotongan PPh Pasal 22 oleh pihak lain sebesar Rp 10.000.000,00
 Pemotongan PPh Pasal 23 oleh penyelenggara kegiatan sebesar Rp 2.500.000,00
 Pembayaran pajak di luar begeri sebesar Rp 7.500.000,00 seluruhnya dapat dikreditkan
(sebagai PPh Pasal 24)
Angsuran PPh Pasal 25 ayat 1 untuk tahun 2010 adalah:
PPh terutang berdasar SPT tahunan PPh tahun 2009 Rp 50.000.000,00
Kredit pajak:
PPh Pasal 21 Rp 15.000.000,00
PPh Pasal 22 Rp 10.000.000,00
PPh Pasal 23 Rp 2.500.000,00
PPh Pasal 24 Rp 7.500.000,00
Total kredit pajak Rp 35.000.000,00 –
Dasar penghitungan angsuran Rp 15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan (PPh
Pasal 25 ayat 1) dalam tahun 2010 adalah:
Rp 15.000.000,00 : 12 = Rp 1.250.000,00

VI. Menghitung PPh yang Masih Harus Dibayar Pasal 29/28A dan Angsuran PPh
Pasal 25 tahun Berjalan
VI.1 PPh Pasal 29
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun tahun pajak ternyata lebih besar dari
pada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran
pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan
disampaikan.
Pasal 28 ayat (1) berbunyi :
Bagi WP dalam negeri dan BUT, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak
untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa :
a. Pemotongan pajak atas penghasilan dari kegiatan dibidang impor atau kegiatan
usaha di dalam Pasal 21.

20
b. Pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan dibidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
c. Pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, sewa,
hadiah, dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal
23.
d. Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.
e. Pembayaran yang dilakukan oleh WP sendiri sebagaimana dimaksud dalam
pasal 25.
f. Pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26
ayat (5).

 PPh 29 akan dicatat pada saat pembuatan jurnal penyesuaian pada akhir
periode.

 PPh 29 akan dicatat sebagai utang PPh 29 sebesar kas yang masih harus
dibayar

atau dicatat sebagai pajak dibayar dimuka jika ada kelebihan pembayaran pajak

(pph pasal 28).

 Pajak dibayar dimuka yang telah dicatat ditutup direlasifikasikan ke dalam beban

pajak kini.

 Beban pajak tangguhan dihitung berdasarkan beda temporer yang muncul

 Pajak terutang dalam satu tahun (dalam akuntansi disebut beban pajak kini)
dihitung dari Penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif.

 Pajak terutang dalam satu tahun pajak ini dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar dimuka akan menghasilkan pajak kurang bayar PPh 29.

21
 PPh 29 merupakan utang pajak penghasilan yang akan muncul di neraca
perusahaan pada akhir tahun pelaporan.

 Jurnal yang dibutuhkan adalah

Beban pajak (hasil perhit fiskal) xxx

Pajak dibayar dimuka (22.23,25) xxx

Utang pajak penghasilan (29) xxx

Angsuran PPh pasal 25 tahun berjalan

6.2 Pasal 28A


Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun ternyata lebih kecil dari jumlah
kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan
pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan
utang pajak berikut sanksi-sanksinya.
Sesuai pasal 25 ayat (7) UU PPh, penghitungan PPh pasal 25 bagi WP baru,
BUMN,BUMD, dan WP tertentu ditetapkan oleh mentri keuangan.

a. Angsuran PPh pasal 25 bagi WP baru


WP baru adalah WP orang pribadi atau badan yang baru pertama kali memperoleh
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Besarnya
angsuran PPh pasal 25 setiap bulan untuk WP baru dihitung berdasarkan
penerapan tariff umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi
12.
b. besarnya angsuran pph pasal 25 setiap bulan bagi WP bank atau sewa guna usaha
dengan hak opsi adalah sebesar jumlah pajak penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiscal menurut laporan keuangan
triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi pajak penghasilan pasal 24 yang
dibayar atau terutang diluar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.
c. Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk WP BUMN,BUMD dengan nama dalam
bentuk apapun adalah sebesar pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan tariff
umum atas laba-rugi fiscal menurut rencana kerja dan anggaran pendapatan

22
(RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan rapat umum
pemegang saham dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan pph pasal 22 dan
pasal 23 serta pph pasal 24 yang dibayar atau terutang diluar negeri tahun pajak
yang lalu, dibagi 12.
d. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk WP masuk bursa dan WP lainnya yang
berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah
sebesar pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
laba-rugi fiscal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan
dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta
PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang diluar negeri untuk tahun pajak yang lalu,
dibagi 12.
e. Besarnya angsuran pajak penghasilan pasal 25 untuk WP orang pribadi pengusaha
tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruti setiap bulan dari,
asing-masing tempat usaha.

23

Anda mungkin juga menyukai