Anda di halaman 1dari 69

1

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Sampling Kerja1


Berbagai cara dikemukakan untuk menetapkan waktu baku dimana
terdapat diantaranya sampling pekerjaan. Cara ini, bersama-sama dengan
pengukuran waktu jam henti, merupakan cara langsung karena dilakukan dengan
melakukan pengukuran secara langsung di tempat berjalannya pekerjaan. Bedanya
dengan cara jam henti adalah bahwa pada cara sampling pekerjaan, pengamat
tidak terus menerus berada di tempat pekerjaan melainkan mengamati (di tempat
pekerjaan) hanya pada sesaat-sesaat pada waktu-waktu yang ditentukan secara
acak.
Sampling pekerjaan dilakukan secara sesaat-sesaat pada waktu-waktu
yang ditentukan secara acak. Sebenarnya pengamatan sesaat-sesaat pada waktu
yang acak tidak berbeda dengan seorang mahasiswa yang mengunjungi temannya
di rumah. Kunjungan ini biasanya dilakukan pada waktu-waktu yang tidak tentu,
kadang-kadang setiap hari sekali, dua kali sehari atau tiga kali sehari, atau
mungkin juga seminggu sekali atau kurang dari itu. Jika mahasiswa tersebut
mengunjungi mengunjungi temannya pada waktu yang tidak tentu seperti
demikian dapat dikatakan dia melakukan kunjungan pada waktu-waktu yang acak.
Karena cara bekerjanya seperti yang telah dikemukakan di atas, sampling
pekerjaan mempunyai beberapa kegunaan lain di bidang produksi selain untuk
menghitung waktu penyelesaian. Kegunaan-kegunaan tersebut ialah:
1. Untuk mengetahui distribusi pemakaian waktu sepanjang waktu kerja oleh
pekerja atau kelompok kerja.
2. Untuk mengetahui tingkat pemanfaatan mesin-mesin atau alat-alat di pabrik.
3. Untuk menentukan waktu baku bagi pekerja-pekerja tidak langsung.
4. Untuk memperkirakan kelonggaran bagi suatu pekerjaan.

1
Iftikar Z. Sutalaksana dkk, Teknik Perancangan Sistem Kerja, (Bandung: ITB, 2006), hlm.
173-175.
2

Pada dasarnya langkah-langkah dalam melakukan sampling pekerjaan


tidak berbeda dengan yang diketengahkan pada cara jam henti. Begitu pula
langkah-langkah yang dijalankan sebelum sampling dilakukan yaitu:
1. Menetapkan tujuan pengukuran, yaitu untuk apa sampling dilakukan, yang
akan menentukan besarnya tingkat ketelitian dan keyakinan.
2. Jika sampling dilakukan untuk mendapatkan waktu baku, lakukanlah
penelitian pendahuluan untuk mengetahui ada tidaknya suatu sistem kerja
yang baik, jika belum perbaikan-perbaikansistem kerja harus didahulukan
dahulu.
3. Memilih operator atau operator-operator yang baik.
4. Bila perlu, mengadakan latihan bagi para operator yang dipillih agar bisa dan
terbiasa dengan sistem kerja yang dilakukan.
5. Melakukan pemisahan kegiatan sesuai yang ingin didapatkan. Secara
terperinci.
6. Menyiapkan peralatan yang diperlukan berupa papan pengamatan, lembaran-
lembaran pengamatan, pena atau pensil. Papan pengamatan di sini tidak
berbeda dengan yang digunakan untuk pengukuran dengan waktu jam henti.

2.1.1. Sampling Pendahuluan


2
Pada sampling pendahuluan dilakukan sejumlah kunjungan yang
banyaknya ditentukan oleh pengukur, biasanya tidak kurang dari 30. Untuk
mudahnya maka diikuti contoh sampling pekerjaan untuk menghitung waktu baku
penyelesaian suatu pekerjaan. Katakanlah semua kegiatan yang dilakukan pekerja
untuk menyelesaikan pekerjaan disebut sebagai kegiatan produktif, lainnya non
produktif. Selanjutya dilakukan pengamatan-pengamatan sesaat pada waktu-
waktu yang acak sebanyak 144 kali dan hasilnya sebagai berikut.

2
Ibid., hlm. 177.
3

Tabel 2.1. Contoh Sampling Pekerjaan


Frekuensi Teramati pada Hari Ke-
Kegiatan Jumlah
1 2 3 4
Produktif 24 29 30 26 109
Non produktif 12 7 6 10 35
Jumlah 36 36 36 36 144
% produktif 67 81 83 72
Sumber: Iftikar Z. Sutalaksana, dkk (2006)

2.1.2. Pengujian Keseragaman dan Kecukupan Data3


Tentukan batas-batas kontrolnya yaitu Batas Kontrol Atas (BKA) dan
Batas Kontrol Bawah (BKB) sebagai berikut:

p̅ ( 1 – p̅)
BKA = p̅ + 3√

p̅( 1 – p̅ )
BKB = ̅p - 3√

dimana:
∑ 𝑝𝑖
̅p =
𝑘
Dengan pi adalah persentase produktif di hari ke-1 dan k adalah jumlah hari
pengamatan.

n
 ni
k
dengan ni adalah jumlah pengamatan yang dilakukan pada hari ke-i.
4
Jumlah pengamatan yang seharusnya dilakukan dapat dicari berdasarkan
rumus yang telah ditetapkan, yaitu:
k2 p (1- p)
N=
(Sp)2

3
Ibid., hlm. 177-178.
4
Sritomo Wignjosoebroto, Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu, (Surabaya: Guna Widya, 2008),
hlm. 212.
4

2.1.3. Perhitungan Jumlah Pengamatan yang Diperlukan5


Banyaknya pengamatan yang harus dilakukan dalam sampling kerja akan
dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu:
1. Tingkat ketelitian (degree of accuracy) dari hasil pengamatan, dan
2. Tingkat kepercayaan (level of convidence) dari hasil pengamatan.
Dengan asumsi bahwa terjadinya kejadian seorang operator akan bekerja
atau menganggur mengikuti pola distribusi normal, maka untuk mendapatkan
jumlah sampel pengamatan yang harus dilaksanakan dapat dicari berdasarkan
rumus berikut.

P(1-p)
Sp=k√
N

Dimana:
Sp = tingkat ketelitian yang dikehendaki dan dinyatakan dalam decimal.
P = persentase terjadinya kejadian yang diamati dan juga dinyatakan dalam
bentuk decimal.
N = jumlah pengamatan yang harus dilakukan untuk sampling kerja.
k = harga indeks yang besarnya tergantung dari tingkat kepercayaan yang
diambil.

2.1.4. Rating Factor dan Allowance6


Setelah pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kerja yang
ditunjukkan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya bekerja tanpa
kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu waktu, atau karena menjumpai
kesulitan-kesulitan seperti karena kondisi ruangan yang buruk. Sebab-sebab
seperti ini mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu singkat atau
terlalu panjangnya waktu penyelesaian. Hal ini jelas tidak diinginkan karena
waktu baku yang dicari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja
yang baku yang diselesaikan secara wajar.

5
Ibid., hlm. 210.
6
Iftikar Z. Sutalaksana, op.cit., hlm. 157-158.
5

Andai kata ada ketidakwajaran maka pengukur harus mengetahuinya dan


menilai seberapa jauh hal itu terjadi. Penilaian perlu diadakan karena berdasarkan
inilah penyesuaian dilakukan. Jadi jika pengukur mendapatkan harga rata-rata
siklus atau elemen yang diketahui diselesaikan dengan kecepatan tidak wajar oleh
operator, maka agar harga rata-rata tersebut menjadi wajar, pengukur harus
menormalkannya dengan melakukan penyesuaian.
Biasanya penyesuaian dilakukan dengan mengalikan waktu siklus rata-
rata atau waktu elemen rata-rata dengan suatu harga p yang disebut faktor
penyesuaian. Besarnya harga p tentunya sedemikian rupa sehingga hasil perkalian
yang diperoleh mencerminkan waktu yang sewajarnya atau yang normal. Bila
pengukur berpendapat bahwa operapor bekerja di atas normal (terlalu cepat) maka
harga p lebih besar dari satu (p>1), sebaliknya jika operator dipandang bekerja di
bawah normal maka harga p akan lebih kecil dari satu (p<1). Seandainya
pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan wajar maka harga p-nya
sama dengan satu (p=1).
7
Keterampilan atau skill didefinisikan sebagai kemampuan mengikuti
cara kerja yang ditetapkan. Latihan dapat meningkatkan keterampilan, tetapi
hanya sampai ke tingkat tertentu saja, tingkat yang merupakan kemampuan
maksimal yang dapat diberikan pekerja yang bersangkutan. Keterampilan juga
dapat menurun, yaitu bila terlampau lama tidak menangani pekerjaan tersenut.
Atau karena sebab-sebab lain seperti karena kesehatan yang terganggu, rasa
fatigue yang berlebihan, pengaruh lingkungan sosial dan sebagainya.
Untuk keperluan penyesuaian keterampilan dibagi menjadi enam kelas
dengan ciri-ciri dari setiap kelas seperti yang dikemukakan berikut:
1. Super skill
a. Secara bawaan cocok sekali dengan pekerjaannya.
b. Bekerja dengan sempurna.
c. Tampak seperti telah terlatih dengan sangat baik.
d. Gerakan-gerakannya halus tetapi sangat cepat sehingga sulit untuk diikuti.
e. kadang-kadang terkesan tidak berbeda dengan gerakan-gerakan mesin.

7
Ibid., hlm. 160-165.
6

f. Perpindahan dari satu elemen pekerjaan ke elemen lainnya tidak terlampau


terlihat karena lancarnya.
g. Tidak terkesan adanya gerakan-gerakan berpikir dan merencana tentang
apa yang dikerjakan (sudah sangat otomatis).
h. Secara umum dapat dikatakan bahwa pekerja yang bersangkutan adalah
pekerja yang baik.
2. Excellent skill
a. Percaya pada diri sendiri.
b. Tampak cocok dengan pekerjaannya.
c. Terlihat telah terlatih baik.
d. Bekerjanya teliti dengan tidak banyak melakukan pengukuran-pengukuran
atau pemeriksaan-pemeriksaan.
e. Gerakan-gerakan kerjanya beserta urutan-urutan dijalankan tanpa
kesalahan.
f. Menggunakan peralatan dengan baik.
g. Bekerjanya cepat tanpa mengorbankan mutu.
h. Bekerjanya cepat tapi halus.
i. Bekerjanya berirama dan terkoordinasi.
3. Good skill
a. Kualitas hasil baik.
b. Bekerjanya tampak lebih dari pada kebanyakan pekerjaan pada umumnya.
c. Dapat memberi petunjuk-petunjuk pada pekerja lain yang keterampilannya
lebih rendah.
d. Tampak jelas sebagai pekerja yang cakap.
e. Tidak memerlukan banyak pengawasan.
f. Tiada keragu-raguan.
g. Bekerjanya stabil.
h. Gerakan-gerakannya terkoordinasi dengan baik.
i. Gerakan-gerakannya cepat.
7

4. Average skill
a. Tampak adanya kepercayaan pada diri sendiri.
b. Gerakannya cepat tapi tidak lambat.
c. Terlihat adanya pekerjaan-pekerjaan yang perencanaan.
d. Tampak sebagai pekerja yang cakap.
e. Gerakan-gerakannya cukup menunjukkan tiada keragu-raguan.
f. Mengkoordinasi tangan dan pikiran dengan cukup baik.
g. Tanpak cukup terlatih dan karenanya mengetahui seluk beluk
pekerjaannya.
h. Bekerjanya cukup teliti.
i. Secara keseluruhan cukup memuaskan.
5. Fair skill
a. Tampak terlatih tapi belum cukup baik.
b. Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya.
c. Terlihat adanya perencanaan-perencanaan sebelum melakukan gerakan.
d. Tidak mempunyai kepercayaan diri yang cukup.
e. Tampaknya seperti tidak cocok dengan pekerjaannya tetapi telah
ditempatkan dipekerjaan itu sejak lama.
f. Mengetahui apa yang dilakukan dan harus dilakukan tetapi tampak selalu
yakin.
g. Sebagian waktu terbuang karena kesalahan-kesalahan sendiri.
h. Jika tidak bekerja sungguh-sungguh output nya akan sangat rendah.
i. Biasanya tidak ragu-ragu dalam menjalankan gerakan-gerakannya.
6. Poor skill
a. Tidak bias mengkoordinasi tangan dan pikiran.
b. Gerakan-gerakannya kaku.
c. Kelihatan ketidak yakinannya pada urut-urutan gerakan.
d. Sepertinya yang tidak terlatih untuk pekerjaan yang bersangkutan.
e. Tidak terlihat adanya kecocokan dengan pekerjaannya.
f. Ragu-ragu dalam menjalankan gerakan-gerakan kerja.
g. Sering melakukan kesalahan-kesalahan.
8

h. Tidak adanya kepercayaan pada diri sendiri.


i. Tidak bisa mengambil inisiatif sendiri.
Untuk usaha atau effort cara Westinghouse membagi juga kelas-kelas
dengan ciri-ciri tersendiri. Yang dimaksud usaha disini adalah kesungguhan yang
ditunjukkanatau diberikan operator ketika melakukan pekerjaannya. Berikut ini
ada enam kelas usaha dengan ciri-cirinya, yaitu:
1. Excessive effort
a. Kecepatan sangat berlebihan.
b. Usahanya sangat bersungguh-sungguh tetapi dapat membahayakan
kesehatannya.
c. Kecepatan yang ditimbulkan tidak dapat dipertahankan sepanjang hari
kerja.
2. Exellent effort
a. Jelas terlihat kecepatan kerjanya tinggi.
b. Gerakan-gerakan lebih ekonomis daripada operator-operator biasa.
c. Penuh perhatian pada pekerjaannya.
d. Banyak memberi saran-saran.
e. Menerima saran-saran dan petunjuk dengan senang.
f. Percaya kepada kebaikan maksud pengukuran waktu.
g. Tidak dapat bertahan lebih dari beberapa hari.
h. Bangga atas kelebihannya.
i. Gerakan-gerakan yang salah terjadi sangat jarang sekali.
j. Bekerjanya sistematis.
k. Karena lancarnya, perpindahan dari suatu elemen ke elemen lain tidak
terlihat.
3. Good effort
a. Bekerja berirama.
b. Saat-saat menganggur sangat sedikit, bahkan kadang-kadang tidak ada.
c. Penuh perhatian pada pekerjaannya.
d. Senang pada pekerjaannya.
e. Kecepatan baik dan dapat dipertahankan sepanjang hari.
9

f. Percaya kepada kebaikan maksud pengukuran waktu.


g. Menerima saran-saran dan petunjuk dengan senang.
h. Dapat member saran untuk perbaikan kerja.
i. Tempat kerjanya diatur baik dan rapih.
j. Menggunakan alat-alat yang tepat dengan baik.
k. Memelihara dengan baik kondisi peralatan.
4. Average effort
a. Tidak sebaik good tapi lebih baik dari poor.
b. Bekerjanya dengan stabil.
c. Menerima saran tapi tidak melaksanakannya.
d. Set up dilaksanakan dengan baik.
e. Melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan.
5. Fair effort
a. Saran-saran perbaikan diterima dengan kesal.
b. Kadang-kadang perhatian tidak ditunjukkan pada pekerjaannya.
c. Kurang sungguh-sungguh.
d. Tidak mengeluarkan tenaga dengan secukupnya.
e. Terjadi sedikit penyimpangan dari cara kerja baku.
f. Alat-alat yang dipakainya tidak selalu yang terbaik.
g. Terlihat adanya kecenderungan kurang perhatian pada pekerjaannya.
h. Terlampaui hati-hati.
i. Sistematika kerjanya sedang-sedang saja.
j. Gerakan-gerakannya tidak terencana.
6. Poor effort
a. Banyak membuang-buang waktu.
b. Tidak memperhatikan adanya minat bekerja.
c. Tidak mau menerima saran-saran.
d. Tampak malas dan lambat kerja.
e. Melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu untuk mengambil alat-alat
dan bahan-bahan.
f. Tempat kerjanya tidak teratur rapi.
10

g. Tidak peduli pada cocok/baik tidaknya peralatan yang dipakai.


h. Mengubah-ubah tata letak tempat kerja yang telah diatur.
i. Set up kerjanya terlihat tidak baik.
Angka-angka yang diberikan bagi setiap kelas dari faktor-faktor di atas
diperlihatkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Penyesuaian Menurut Westinghouse
Faktor Kelas Lambang Penyesuaian
Superskill A1 + 0,15
A2 + 0,13
Excellent B1 + 0,11
B2 + 0,08
Good C1 + 0,06
Keterampilan C2 + 0,03
Average D + 0,00
Fair E1 − 0,05
E2 − 0,10
Poor F1 − 0,16
F2 − 0,22
Excessive A1 + 0,13
A2 + 0,12
Excellent B1 + 0,10
B2 + 0,08
Good C1 + 0,05
Usaha C2 + 0,02
Average D + 0,00
Fair E1 − 0,04
E2 − 0,08
Poor F1 − 0,12
F2 −0,17
11

Tabel 2.2. Penyesuaian Menurut Westinghouse (Lanjutan)


Faktor Kelas Lambang Penyesuaian
Ideal A + 0,06
Excellent B + 0,04
Good C + 0,02
Kondisi Kerja
Average D + 0,00
Fair E − 0,03
Poor F − 0,07
Perfect A + 0,04
Excellent B + 0,03
Good C + 0,01
Konsistensi
Average D + 0,00
Fair E − 0,02
Poor F − 0,04
Sumber: Iftikar Z. Sutalaksana, dkk (2006)

8
Kelonggaran diberikan untuk tiga hal yaitu untuk kebutuhan pribadi
menghilangkan rasa fatique, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat
dihindarkan. Ketiganya ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh
pekerja, dan yang selama pengukuran tidak diamati, diukur, dicatat ataupun
dihitung. Karenanya sesuai pengukuran dan setelah mendapatkan waktu normal,
kelonggaran perlu ditambahkan.
Tabel 2.3 menunjukkan besarnya kelonggaran berdasarkan faktor-faktor
yang berpengaruh.

8
Ibid., hlm. 167-171.
12

Tabel 2.3. Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-faktor yang


Berpengaruh
Faktor Contoh pekerjaan Kelonggaran (%)
A. Tempat yang Ekivalen
dikeluarkan beban Pria Wanita
1. Dapat diabaikan Bekerja dimeja, duduk tanpa beban 0,00 – 6,0 0,00 – 6,0
2. Sangat ringan Bekerja dimeja, berdiri 0,02 – 2,25 kg 6,0 – 7,5 6,0 – 7,5
3. Ringan Menyekop, ringan 2,25 – 9,00 7,5 – 12,0 7,5 – 16,0
4. Sedang Mencangkul 9,00 – 18,00 12,0 – 19,0 16,0 – 30,0
5. Berat Mengayun palu yang berat 19,00 – 27,00 19,0 – 30,0
6. Sangat berat Memanggul beban 27,00 – 50,00 30,0 – 50,0
7. Luar biasa berat Memanggul kalung berat diatas 50 kg
B. Sikap kerja
1. Duduk Bekerja duduk, ringan 0,00 – 1,0
2. Berdiri diatas dua kaki Badan tegak, ditumpu dua kaki 1,0 – 2,5
3. Berdiri diatas satu kaki Satu kaki mengerjakan alat control 2,5 – 4,0
4. Berbaring Pada bagian sisi, belakang atau depan badan 2,5 – 4,0
5. Membungkuk Badan dibungkukkan bertumpu pada kedua kaki 4,0 – 10
C. Gerakan kerja
1. Normal Ayunan bebas dari palu 0
2. Agak terbatas Ayunan terbatas dari palu 0–5
3. Sulit Membawa beban berat dengan satu tangan
4. Pada anggota-anggota Bekerja dengan tangan diatas kepala 5 – 10
badan terbatas
5. Seluruh anggota badan Bekerja dilorong pertambangan yang sempit 10 – 15
terbatas

D. Kelelahan mata *) Pencahayaan baik Buruk


1. Pandangan yang terputus-putus Membawa alat ukur 0,0 – 6,0 0,0 – 6,0
2. Pandangan yang hampir terus menerus Pekerjaan-pekerjaan yang teliti 6,0 – 7,5 6,0 – 7,5
3. Pandangan terus menerus dengan fokus Memeriksa cacat-cacat pada kain 7,5 – 12,0 7,5 – 16,0
berubah-ubah Pemeriksaan yang sangat teliti 12,0 – 19,0 16,0 – 30,0
4. Pandangan terus menerus dengan fokus tetap 30,0 – 50,0
E. Keadaan temperatur tempat kerja **) Temperatur (°C) Kelemahan normal Berlebihan
1. Beku Dibawah 0 Diatas 10 Diatas 12
2. Randah 0 – 13 10 – 0 12 – 5
3. Sedang 13 – 22 5–0 8–0
4. Normal 22 – 28 0–5 0–8
5. Tinggi 28 – 38 5 – 40 8 – 100
6. Sangat tinggi Diatas 38 Diatas 40 Diatas 100
13

Tabel 2.3. Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-faktor yang


Berpengaruh (Lanjutan)
F. Keadaan atmosfer ***)
1. Baik Ruang yang berventilasi baik, udara segar 0
2. Cukup Ventilasi kurang baik, ada bau-bauan (tidak berbahaya) 0–5
3. Kurang baik Adanya debu-debu beracun, atau tidak beracun tetapi banyak 5 – 10
4. Buruk Adanya bau-bauan berbahaya yang mengharuskan menggunakan alat-alat pernapasan 10 – 20
G. Keadaan lingkungan yang baik
1. Bersih, sehat, cerah dengan kebisingan rendah 0
2. Siklus kerja berulang-ulang antara 5 - 10 detik 0–1
3. Siklus kerja berulanh-ulang antara 0 - 5 detik 1–3
4. Sangat bising 0–5
5. Jika faktor-faktor yang berpengaruh dapat menurunkan kwalitas 0–5
6. Terasa adanya getaran lantai 5 – 10
7. Keadaan-keadaan yang luar biasa (bunyi, kebersihan, dll.) 5 – 15
Keterangan:
*) Kontras antara warna hendaknya diperhatikan.
**) Tergantung juga pada keadaan ventilasi.
***) Dipengaruhi juga oleh ketinggian tempat kerja dari permukaan laut dan keadaan iklim.
Sumber: Iftikar Z. Sutalaksana, dkk (2006)

2.2. Metode Penarikan Sampel9


Sampling ialah proses penarikan sampel dari populasi melalui
mekanisme tertentu melalui makna karakteristik populasi dapat diketahui. Kata
mekanisme tertentu mengandung makna bahwa baik jumlah elemen yang ditarik
maupun cara penarikan harus mengikuti atau memenuhi aturan tertentu agar
sampel yang diperoleh mampu merepresentasikan karakteristik populasi dari
mana sampel tersebut diambil atau ditarik.
Secara garis besar metode penarikan sampel dapat diklasifikasi atas dua
bagian yaitu probability sampling (penarikan sampel yang terkait dengan faktor
probabilitas) dan non-probability sampling (penarikan sampel yang tidak terkait
dengan faktor probabilitas). Perbedaan prinsipil dari dua tipe sampling ini selain
dalam hal teknis/mekanisme pelaksanaan, juga dari sasaran pokok yaitu
probability sampling lebih melihat kemungkinan area baru untuk diteliti

9
Sukaria Sinulingga, Metode Penelitian, (Medan: USU Press, 2011), hlm. 191-202.
14

sedangkan non-probablility sampling lebih ditekankan pada eksplorasi dan


kelayakan penerapan suatu ide.
1. Probability Sampling
Dalam probability sampling, setiap elemen dari populasi diberi kesempatan
untuk ditarik menjadi anggota dari sampel. Rancangan atau metode
probability sampling ini digunakan apabila faktor keterwakilan
(representiveness) oleh sampel terhadap populasi sangat dibutuhkan dalam
penelitian antara lain agar hasil penelitian dapat digeneralisasi secara lebih
luas. Probability sampling terdiri dari:
a. Simple Random Sampling
Dalam simple random sampling yang sering juga disebut unrestricted
probability sampling, setiap elemen dari populasi mempunyai kesempatan
atau peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota sampel. Dikatakan
tidak terbatas (unrestricted) karena semua elemen diperlakukan sama
dalam arti semuanya mempunyai kesempatan terpilih yang sama walaupun
karakteristik masing-masing mungkin tidak sama.
b. Systematic Sampling
Systematic sampling adalah suatu metode pengambilan sampel dari
populasi dengan cara menarik elemen setiap kelipatan ke n dari populasi
tersebut mulai dari urutan yang dipilih secara random diantara nomor 1
hingga n. Seperti halnya simple random sampling, systematic sampling
juga mempunyai keterbatasan jika digunakan secara luas karena metode
ini tetap mensyaratkan homogenitas elemen populasi walaupun tidak
sekeras yang dipersyaratkan metode simple random sampling. Oleh karena
itu, penggunaan metode sampling ini haruslah sesuai dengan konteksnya.
c. Stratified Random Sampling
Pada metode stratified random sampling, strata elemen dalam populasi
mendapat perhatian sehingga populasi dibagi sesuai dengan strata yang
ada. Strata dalam populasi pada dasarnya adalah tingkatan yang relevan
dengan sasaran penelitian. Beberapa contoh strata yang dimaksud antara
15

lain ialah strata dalam pendapatan, pendidikan, jabatan, usia, status, dan
lain-lain.
d. Cluster Sampling
Prosedur penarikan sampel dengan metode cluster sampling terdiri dari
dua tahap. Pemilihan cluster dilakukan secara random (tahap 1). Terhadap
setiap cluster yang terpilih dilakukan penarikan elemen untuk menjadi
anggota sampel (tahap 2). Metode cluster sampling ini sangat efisien dari
segi waktu dan pembiayaan tetapi mengandung bias yang lebih besar
dibandingkan dengan metode lain dan hasilnya juga sangat sulit
digeneralisasi.
e. Area Sampling
Area sampling sangat mirip bahkan sering digabung dalam cluster
sampling. Dalam area sampling, cluster dari populasi adalah perbedaan
lokasi geografis (geographycal areas) dari populasi. Seperti halnya
dengan cluster sampling, area sampling juga dilakukan dengan cara
memilih secara random area investigasi dan pada area terpilih dilakukan
pengambilan sampel dengan menggunakan salah satu metode simple
random sampling, systematic sampling, atau stratified random sampling,
sesuai dengan kondisinya.
2. Non-probability Sampling
Berbeda halnya dengan probability sampling, pada non-probability sampling,
setiap elemen populasi yang akan ditarik menjadi anggota sampel tidak
berdasarkan probabilitas yang melekat pada setiap elemen tetapi berdasarkan
karakteristik khusus masing-masing elemen. Beberapa model dari metode
sampling yang non-probabilistik ini adalah convenience sampling dan
purposive sampling.
a. Convenience Sampling
Seperti disebutkan oleh namanya, convenience sampling adalah suatu
metode sampling dimana para respondennya adalah orang-orang yang
secara suka rela menawarkan diri (conveniencely available) dengan alasan
masing-masing. Convenience sampling sering digunakan selama fase
16

eksploratory dari sebuah proyek penelitian dan telah dianggap sebagai


metode paling baik untuk mendapatkan informasi awal secara cepat
dengan biaya yang murah.
b. Purposive Sampling
Purposive sampling adalah metode sampling non-probability yang
menggunakan orang-orang tertentu sebagai sumber data/informasi. Orang-
orang tertentu yang dimaksud di sini adalah individu atau kelompok yang
karena pengetahuan, pengalaman, jabatan, dan lain-lain yang dimilikinya
menjadikan individu atau kelompok tersebut perlu dijadikan sumber
informasi. Individu atau kelompok khusus ini langsung dicatat namanya
sebagai responden tanpa melalui proses seleksi secara random.
10
Adapun penelitian ini menggunakan rumus Slovin karena dalam
penarikan sampel, jumlahnya harus representative agar hasil penelitian dapat
digeneralisasikan dan perhitungannya pun tidak memerlukan tabel jumlah sampel,
namun dapat dilakukan dengan rumus dan perhitungan sederhana.
Rumus Slovin untuk menentukan sampel adalah sebagai berikut :
N
n=
1+N (e)2

Keterangan:
n = Ukuran sampel/jumlah responden
N = Ukuran populasi
E = Presentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel yang
masih bisa ditolerir; e=0,1
11
Dapat diketahui beberapa keterangan mengenai rumus Slovin yaitu:
1. Rumus Slovin dapat dipakai untuk menentukan ukuran sampel, hanya jika
penelitian bertujuan untuk yang menduga proporsi populasi.
2. Asumsi tingkat keandalan 95%, karena menggunakan a=0,05, sehingga
diperoleh nilai Z=1,96 yang kemudian dibulatkan menjadi Z=2.

10
Anonim, BAB III Metode Penelitian, hlm. 43-44.
11
Nugraha, Setiawan, Penentuan Ukuran Sample MemakainRumus Slovin dan Tabel Krejcie-
Morgan: Telaah Konsep dan Aplikasinya, (Bandung: Universitas Padjajaran) hlm.7-8
17

3. Asumsi keragaman populasi yang dimasukan dalam perhitungan adalah


P(1-P), dimana P=0,5.
4. Nilai galat pendugaan (d) didasarkan atas pertimbangan peneliti.

2.3. Faktor-faktor Lingkungan Kerja12


Manusia sebagai makhluk ”sempurna” tetap tidak luput dari kekurangan,
dalam arti kata segala kemampuannya masih dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut bisa datang dari dirinya sendiri (intern) atau mungkin dari
pengaruh luar (extern). Salah satu faktor yang berasal dari luar adalah kondisi
lingkungan kerja, yaitu semua keadaan yang terdapat di sekitar tempat kerja
seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan,
getaran mekanis, bau-bauan, warna, yang dalam hal ini akan berpengaruh secara
signifikan terhadap hasil kerja manusia tersebut. Faktor-faktor fisik yang
mempengaruhi tersebut adalah temperatur, kelembaban, sirkulasi udara,
pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis,bau-bauan.

2.3.1. Temperatur
Tubuh manusia akan selalu berusaha mempertahankan keadaan normal
dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan-perubahan yang terjadi di luar tubuh tersebut. Tetapi,
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan temperatur luar adalah jika
perubahan temperatur luar tubuh tersebut tidak melebihi 20% untuk kondisi
panas dan 35% untuk kondisi dingin. Anggota tubuh manusia dalam keadaan
normal mempunyai temperatur berbeda-beda, seperti bagian mulut sekitar 37ºC,
dada sekitar 35ºC, dan kaki sekitar 28ºC. Tubuh manusia dapat menyesuaikan diri
karena memiliki kemampuannya untuk melakukan proses konveksi, radiasi, dan
penguapan jika terjadi kekurangan atau kelebihan panas yang membebaninya.
Penyelidikan untuk berbagai tingkat temperatur akan memberikan pengaruh yang
berbeda-beda seperti berikut:

12
Sritomo Wignjosoebroto, Ergonomi Studi Gerak dan Waktu (Surabaya: Institut Teknologi
Sepuluh November, 1995) hlm. 83-87.
18

a. ± 49ºC : Temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam, tetapi jauh di atas
tingkat kemampuan fisik dan mental.
b. ± 30ºC : Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan cenderung
untuk dalam pekerjaan, serta menimbulkan kelelahan fisik.
c. ± 24ºC : Kondisi optimum.
d. ± 10ºC : Kelakuan fisik yang ekstrim mulai muncul.
Suatu penyelidikan memperoleh hasil bahwa produktivitas kerja manusia
akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24°C - 27°C.

2.3.2. Kelembaban
Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara
(dinyatakan dalam persen). Kelembaban ini sangat berhubungan atau
dipengaruhi oleh temperatur udaranya. Suatu keadaan dimana temperatur udara
sangat panas dan kelembabannya tinggi, akan menimbulkan pengurangan panas
dari tubuh secara besar-besaran (karena sistem penguapan). Pengaruh lainnya
ialah makin cepatnya denyut jantung karena makin aktifnya peredaran darah
untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen.

2.3.3. Sirkulasi Udara


Udara di sekitar kita mengandung sekitar 21% oksigen, 78% Nitrogen,
0,03% karbondioksida dan 0,97% gas lainnya (campuran). Oksigen merupakan
gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup terutama untuk menjaga kelangsungan
hidupnya (untuk proses metabolisme). Udara di sekitar kita dikatakan kotor bila
kadar oksigen di udara telah berkurang dan terus bercampur dengan gas-gas atau
bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Kotornya udara di sekitar kita
dapat dirasakan dengan sesaknya pernafasan kita dan ini tidak boleh dibiarkan
berlangsung terlalu lama, karena dapat mempengaruhi kesehatan tubuh dan
mempercepat proses kelelahan. Sirkulasi udara dengan memberikan ventilasi yang
cukup akan menggantikan udara yang kotor dengan udara yang bersih.
19

2.3.4. Kebisingan
Kemajuan teknologi ternyata banyak menimbulkan masalah-masalah
seperti diantarnya yang dikatakan sebagai polusi. Salah satu bentuk dari polusi di
sini ialah kebisingan (noise) bunyi-bunyian yang tidak dikehendaki oleh telinga
kita. Tidak dikehendaki karena terutama dalam jangka panjang bunyi-bunyian
tersebut dapat menggangu ketenangan kerja. Kebisingan adalah bunyi-bunyian
yang tidak dikehendaki oleh telinga kita, karena dalam waktu panjang bunyi-
bunyian tersebut dapat mengganggu ketenangan kerja, merusak pendengaran dan
dapat menimbulkan kesalahan komunikasi. Ada tiga aspek yang menentukan
kualitas bunyi yang bisa menentukan kualitas bunyi yang bisa menentukan tingkat
gangguan pada manusia yaitu:
a. Lama waktu bunyi tersebut terdengar. Semakin lama telinga kita mendengar
kebisingan akan semakin buruk akibatnya bagi pendengaran atau tuli.
b. Intentitas biasanya diukur dalam satuan desibel (dB) yang menunjukan
besarnya arus energi per satuan luas.
c. Frekuensi suara yang menunjukan jumlah dari gelombang-gelombang suara
yang sampai ke telinga kita setiap detik dinyatakan dalam jumlah getaran
per detik (Hz).

2.3.5. Getaran Mekanis


Gerakan mekanis dapat diartikan sebagai getaran-getaran yang
ditimbulkan oleh alat-alat mekanis yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh
dan dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan pada tubuh kita.
Besarnya getaran ini ditentukan oleh intensitas, frekuensi, getaran dan lamanya
getaran itu berlangsung. Anggota tubuh manusia juga memiliki frekuensi
alami dimana apabila frekuensi ini beresonansi dengan frekuensi getaran
akan menimbulkan gangguan-gangguan antara lain:
a. Mempengaruhi konsentrasi kerja.
b. Mempercepat datangnya kelelahan.
c. Gangguan-gangguan pada anggota tubuh seperti mata, syaraf, otot-otot dan
lain-lain.
20

2.3.6. Bau-bauan
Bau-bauan yang dalam hal ini dipertimbangkan sebagai polusi akan dapat
mengganggu konsentrasi orang bekerja. Temperatur dan kelembaban merupakan
dua faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kepekaan penciuman.
Pemakaian air conditioning yang tepat merupakan salah satu cara yang bisa
digunakan untuk menghilangkan bau-bauan yang mengganggu sekitar tempat
kerja.

2.3.7. Warna
Warna yang berpengaruh adalah warna tembok ruangan dan interior yang
ada di tempat kerja. Warna ini selain berpengaruh terhadap kemampuan
mata untuk melihat objek, juga memberikan pengaruh yang lain seperti:
a. Warna merah bersifat merangsang.
b. Warna kuning memberikan kesan luas terang dan leluasa.
c. Warna hijau atau biru memberikan kesan sejuk, aman dan menyegarkan.
d. Warna gelap memberikan kesan leluasa dan lain-lain.
Sifat-sifat itu menyebabkan pengaturan warna ruangan tempat kerja perlu
diperhatikan dalam arti harus disesuaikan dengan kegiatan kerjanya. Pada keadaan
dimana ruangan terasa sempit maka pemilihan warna yang sesuai dapat
menghilangkan kesan tersebut. Hal ini secara psikologis akan menguntungkan
(dengan memberikan warna terang akan memberikan kesan leluasa) karena kesan
sempit cenderung menimbulkan ketegangan (stress).

2.3.8. Pencahayaan13
Pencahayaan sangat mempengaruhi kemampuan manusia untuk melihat
objek secara jelas, cepat, tanpa menimbulkan kelelahan. Kebutuhan akan
pencahayaan yang baik akan makin diperlukan apabila kita mengerjakan suatu
pekerjaan yang memerlukan ketelitian penglihatan. Pencahayaan yang terlalu
suram mengakibatkan mata pekerja makin cepat lelah karena mata akan berusaha
untuk bisa melihat, dimana lelahnya mata dapat mengakibatkan kelelahan mental,

13
Iftikar Sutalaksana. Z, op.cit., hlm. 84.
21

lebih jauh lagi keadaan tersebut bisa menimbulkan rusaknya mata karena
menyilaukan.
Kemampuan mata untuk bisa melihat objek dengan jelas ditentukan oleh
ukuran objek, derajat kontras antara objek dan sekelilingnya, luminensi
(brightness) dan lamanya melihat. Derajat kontras adalah perbedaan derajat terang
relatif antara objek dengan sekelilingnya, sedangkan luminensi berarti arus cahaya
yang dipantulkan oleh objek.

2.4. Pencahayaan pada Lingkungan Kerja


2.4.1. Sumber Pencahayaan14
Secara umum jenis penerangan atau pencahayaan dibedakan menjadi dua
yaitu penerangan buatan (penerangan artifisial) dan penerangan alamiah (dari
sinar matahari).
Sumber penerangan umum pada siang hari terutama berasal dari cahaya
matahari. Berapa banyak cahaya sinar matahari yang dapat mencapai di dalam
ruangan tempat kerja tergantung pada jumlah dan arah sinar matahari, keadaan
mendung yang dapat menutup sinar matahari, letak lokasi gedung lainnya,
lingkungan sekitarnya.
Sumber penerangan buatan atau artifisial yang utama adalah bersumber
dari energi listrik. Jumlah cahaya, warna cahaya itu sendiri dan warna objek kerja
berbeda-beda tergantung dari jenis sumber cahaya listrik yang digunakan. Pada
prinsipnya, penerangan buatan atau artifisial terdiri dari tiga jenis penerangan
yaitu penerangan umum, penerangan kombinasi lokal-umum dan penerangan
lokal atau penerangan untuk pekerjaan tertentu. Berikut adalah penjelasan
penerangan buatan:
1. Penerangan Umum
Penerangan umum merupakan jenis penerangan yang di desain untuk
keperluan pencahayaan bagi seluruh area tempat kerja. Pada umumnya
penerangan umum di desain untuk ditempatkan pada plafon secara permanen
dan untuk menerangi area yang cukup luas.

14
Tarwaka, Ergonomi Industri, hlm.523-526.
22

2. Penerangan Kombinasi
Penerangan kombinasi diperlukan manakala penerangan umum tidak
memberikan kecukupan intensitas terhadap pekerjaan tertentu. Penerangan
kombinasi lokal dan penerangan umum dipasang diatas kepala secara
permanen untuk meningkatkan intensitas cahaya sesuai dengan jenis
pekerjaan yang dilakukan.
3. Penerangan Lokal
Penerangan lokal atau penerangan untuk pekerjaan tertentu sangat diperlukan
untuk meningkatkan intensitas penerangan pada pekerjaan tertentu yang
memerlukan ketelitian. Penerangan lokal harus memungkinkan pemakai
dapat dengan mudah mengatur dan mengendalikan pencahayaan sesuai
dengan keperluannya.

2.4.2. Standar Penerangan15


Intensitas penerangan yang dibutuhkan di masing-masing tempat kerja
ditentukan dari jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat
ketelitian suatu pekerjaan, maka akan semakin beasr kebutuhan intensitas
penerangan yang diperlukan, demikian pula sebaliknya. Standar Penerangan di
Indonesia telah ditetapkan dan secara ringkas sebagai berikut
1. Penerangan untuk halaman dan jalan-jalan di lingkungan perusahaan harus
mempunyai intensitas penerangan 20 lux.
2. Penerangan untuk pekerjaan-pekerjaan yang hanya membedakan barang kasar
dan besar mempunyai penerangan 50 lux.
3. Penerangan yang cukup untuk membedakan barang-barang kecil secara
sepintas mempunyai penerangan 100 lux.
4. Penerangan untuk pekerjaaan membedakan barang-barang kecil secara agak
teliti mempunyai penerangan 200 lux.
5. Penerangan untuk pekerjaan membedakan dengan teliti dari barang-barang
yang kecil dan halus mempunyai penerangan 300 lux.

15
Iftikar Sutalaksana. Z, op.cit., hlm. 48.
23

6. Penerangan untuk pekerjaan membedakan barang halus dengan kontras yang


sedang dan dalam waktu yang lama mempunyai penerangan 500-1000 lux.
7. Penerangan untuk pekerjaan membedakan barang yang sangat halus dengan
kontras yang kurang dan dalam waktu lama mempunyai penerangan 2000 lux.

2.4.3. Pengaruh Pencahayaan pada Lingkungan Kerja16


Penerangan atau pencahayaan dibedakan menjadi dua yaitu penerangan
buatan (artifisial) dan penerangan alamiah (dari sinar matahari). Untuk
mengurangi pemborosan energi disarankan untuk menggunakan penerangan
alamiah, akan tetapi setiap tempat kerja harus pula disediakan penerangan buatan
yang memadai. Hal ini untuk menanggulangi jika dalam keadaan mendung atau
kerja di malam hari. Penggunaan penerangan buatan harus selalu dilakukan
perawatan yang baik karena lampu yang kotor akan menurunkan intensitas
penerangan sampai dengan 30%. Tingkat penerangan pada tiap pekerjaan berbeda
tergantung sifat dan jenis pekerjaannya. Sebagai contoh gudang memerlukan
intensitas penerangan yang lebih rendah dari tempat kerja administrasi, dimana
diperlukan ketelitian yang lebih tinggi.
Penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan
gangguan atau kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh dari penerangan
yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan:
1. Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan efisiensi kerja
2. Kelelahan mental
3. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata
4. Kerusakan indera mata, dan sebagainya.
Pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan
performansi kerja, termasuk:
1. Kehilangan produktivitas
2. Kualitas kerja rendah
3. Banyak terjadi kesalahan kerja.
4. Kecelakaan kerja meningkat

16
Sohichul Tarwaka H.A. Bakri dan Lilik Sudiajeng, op.cit., hlm. 523.
24

2.4.4. Pengukuran Pencahayaan Lingkungan Kerja


17
Pada prinsipnya penerangan yang baik dan sesuai akan membuat
seluruh tugas-tugas atau pekerjaan menjadi lebih mudah. Seseorang menerima
sekitar 85% informasi melalui indera penglihatan. Pencahayaan yang sesuai, tanpa
kesilauan dan bayangan, akan dapat mengurangi kelelahan mata dan sebagainya.
Reflektan (Reflectance) adalah rasio antara cahaya yang jatuh pada
permukaan kerja dengan cahaya yang dipantulkan dari permukaan kerja yang
dinyatakan dalam persentase (%). Alat yang digunakan untuk mengukur reflektan
adalah juga menggunakan luks meter atau light meter. Reflektan juga dapat diukur
dengan menggunakan suatu alat yang disebut dengan reflektometer atau dengan
membandingkan antara permukaan kerja dengan “colour chip” yang selanjutnya
dapat diketahui nilai reflektannya. Untuk menentukan nilai reflektan, maka dapat
diukur dengan luks meter. Pada saat pengukuran “probe” pada luks meter
diletakkan pada permukaan kerja. Selanjutnya, letakkan “probe” antara 5-7 cm
membalik menghadap permukaan kerja untuk mengukur jumlah cahaya yang
dipantulkan dari permukaan kerja. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai
reflektan adalah sebagai berikut :
Luminasi
𝑅eflektan (%) = x 100
Iluminasi

2.4.5. Hubungan Tingkat Pencahayaan Dengan Angka Reflektansi18


Nilai CU (coefficient of utilization) paling dominan bergantung pada
reflektansi permukaan. Dengan demikian, reflektansi permukaan yang lebih
tinggi berarti nilai CU (coefficient of utilization) yang lebih tinggi. Jadi, bila
angka reflektansi permukaan ditingkatkan, nilai CU (coefficient of utilization)
juga lebih tinggi, sehingga tingkat pencahayaan juga meningkat.
Adanya depresiasi atau penurunan kinerja akibat debu pada
armature, lampu dan ruangan mengakibatkan kualitas tingkat pencahayaan

17
Tarwaka, Ergonomi Industri, hlm.538-547
18
Anonim, Bab II Dasar Teknik Penerangan, (Jakarta: Universitas Mercu Buana )
25

dalam ruangan juga menurun. Koefisien depresiasi dalam ruang biasa


dikenal dengan sebutan Loss Light Factor (LLF).
Light-Loss Factor (LLF) adalah penurunan kualitas penyinaran
lampu karena berbagai sebab. Baik karena pengaruh debu maupun masa
kerja lampu yang sudah lama. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan proses
pemeliharaan, atau maintenance. Loss Light Factor nilai maksimumnya
100% yaitu keadaan dimana lampu, armature dan ruang dalam keadaan
sangat bersih. Adapun yang tergolong Light-Loss Factor (LLF) adalah :
1. Lamp Lumen Depreciation (LLD).
Penurunan kualitas kuat cahaya yang dipancarkan oleh lampu. Ini
bisa diakibatkan karena masa kerja lampu tersebut sudah lama.
Bisa juga
karena penurunan teggangan saluran input dari PLN.
2. Luminaire Dirt Depreciation (LDD)
Menurunnya kualitas tingkat pencahayaan akibat pengotoran pada
armatur lampu. Pengotoran ini menimbulkan penurunan kualitas
tingkat pencahayaan pada lampu karena armaturnya banyak
menyerap cahaya akibat debu yang menempel pada permukaan bagian
dalam armatur. Menurut Paschal (1998), depresiasi dari armatur
lampu akan menurun sekitar 10% dalam 1 tahun untuk ruangan yang
bersih (clean), 20% untuk daerah industri (medium), dan sekitar 30%
untuk daerah yang sangat kotor (very dirty).
3. Room Surface Dirt Depreciation (RSDD)
Menurunya kualiat tingkat pencahayaan akibat pengotoran ruangan
tempat kerja, baik itu disebabkan oleh debu maupun benda-benda
atau perabot kecil yang ada dalam ruangan. Pengolongan ruangan
berdasarkan tingkat penurunan kualitas cahaya sebagai berikut (Paschal,
1998) :
a. Ruangan yang sangat bersih (very clean) sebesar 0% - 12%
b. Ruangan yang bersih (clean) sebesar 13% - 24%
26

c. Ruangan yang sedang (medium) sebesar 25% - 36%


d. Ruangan yang kotor (dirty) sebesar 37% - 48%
e. Ruang yang sangat kotor (very dirty) sebesar 49% - 60%
Klasifikasi ruangan dapat dilihat pada lampira 3.
Jadi koofisien Loss Light Factor (LLF) secara
keseluruhan dapat dituliskan sesuai dengan rumus :
LLF = koofisien LLD x koofisien LDD x koofisien RSDD
Faktor Φ menunjukkan besarnya tingkat pencahayaan dari sumber
cahaya yang berkaitan dengan :
a. Jumlah lampu
b. Besarnya inisial lumen dari masing-masing lampu pada satu armatur
lampu jumlah lampu pada armatur.
Jadi untuk armature lampu yang lebih dari satu, rumus diatas menjadi :
𝑁 𝑥 𝑛 𝑥 𝐿𝐿 𝑥 𝐶𝑈 𝑥𝐿𝐿𝐹
𝐸=
𝐴
N = jumlah armature
N = jumlah lampu tiap armature
LL = lumen yang dihasilkan tiap lampu

Dari persamaan-persamaan tersebut, maka diketahui nilai E atau


tingkat pencahayaan bergantung pada faktor-faktor jumlah fluks cahaya,
coefficient of utilization (CU), light-loss factor (LLF) dan luas bidang (A)
RCR (Room Cavity Ratio) dapat digunakan untuk menentukan
Coefficient of Utilization dalam suatu design pencahayaan dalam ruang. Hal
ini perlu karena kebanyakan standar buku katalog tentang referensi lampu,
Koofisien Utilitis, dan LLF berhubungan dengan RCR.
Rumus :
RCR = 5 x Hm (P + L) / Luas Area Pencahayaan
Dimana : Hm = tinggi armature lampu dari working plane.
27

P = Panjang.
L = lebar.
Semua satuan dalam feet (1 feet = 0,3 m)

2.4.6. Lampu sebagai Sumber Penerangan19


Pencahayaan memiliki peranan penting dalam kesehatan dan
keselamatan, dan kebutuhan pencahayaan kian meningkat termasuk peraturan dan
standardnya. Walaupun peraturan utamanya cenderung mengatakan bahwa
pencahayaan harus cukup dan sesuai. Peraturan tentang pencahayaan didalamnya
mengatur tentang tempat kerja, alat kerja, kaitan, kegunaan elektronik dan
peralatan tampilan. Kualitas dari instalasi pencahayaan akan memiliki efek yang
besar terhadap kesehatan, produktivitas, dan keselamatan kerja. Beberapa defenisi
ini sering digunakan saat membahas iluminasi:
1. Candela (cd), adalah satuan unit dari intensitas ilumina, pengukurannya
menjelaskan besarnya sumber cahaya.
2. Lumen (lm), unit dari fluks lumina, digunakan untuk menjelaskan kuantitas
cahaya yang jatuh kedalam suatu area.
3. Illuminance (Simbol E, Satuan Lux) adalah massa jenid fluks lumina
permukaan. 1 lux = 1lm/m2.
4. Maintained Illuminance, adalah rata-rata iluminan dalam satu area per waktu
5. Luminance (Simbol L, Satuan cd/m2), adalah pengukuran fisik terhadap
kecerahan.
6. Brightness, adalah respon subjektif untuk luminan di lapangan tergantung
kepada adaptasi dari mata.
7. Incandescent Lamp, adalah dimana bagian dari arus di filamen meningkat dan
temperaturnya menjadid putih dan memendarkan cahaya.
8. Electic Discharge Lamp, adalah lampu dimana sebuah busur dibentuk
diantara dua elektroda yang disegel dengan tabung biru.

19
John Ridley dan John Channing, Safety at Work, hlm.581-588
28

9. Induction Lamp, adalah lampu yang secara sederhana berupa tabung kaca
yang berisikan gas inert dan dilapisi didalamnya dengan posfor utuk
mengubah radiasi ultraviolet menjadi cahaya yang tampak.
10. Luminaire, adalah panas yang umum dari semua apparatus karena efek atau
dampak dari pencahayaan.
Pemilihan sumber cahaya yang tepat dapat dipengaruhi oleh bebrapa
faktor. Sangat penting untuk memperhatikan efisiensi, kemudahan instalasi, harga
instalasi dan saat dijalankan, perawatan, karakterisitik lampu, ukuran, panas, dan
warna yang keluar. Efisiensi dari setiap lampu bisa dijabarkan sebagai cahaya
yang keluar per unit elektronik yang terpakai (lumens per watt). Pada umumnya,
lampu pijar kurang efisien dibandingkan sumber lainnya.
Tabel 2.4. Lumen per Watt dari Jenis-jenis Lampu
Jenis lampu Lumen per watt
Lampu pijar s/d 15
Tungsten halogen s/d 22
Sodium bertekanan tinggi s/d 140
Halida logam s/d 100
Lampu pendar s/d 100
Lampu pendar padat s/d 85
Induksi s/d 65
Sodium bertekanan rendah s/d 200

Dengan catatan bahwa rating terendah biasanya lebih tidak efisien


daripada yang rating-nya tinggi seperti dalam tabel diatas.

2.5. Antropometri
2.5.1. Definisi Antropometri
20
Secara definitif, antropometri dapat dinyatakan sebagai suatu studi
yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia. Manusia pada
dasarnya akan memiliki bentuk, ukuran (tinggi, lebar, dansebagainya) berat dan
lain-lain yang berbeda satu dengan yang lainnya.

20
Iridiastadi, Hardianto, Ergonomi Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya ,(2014)
hlm.27 .
29

2.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengukuran Antropometri


21
Faktor-faktor yang mempengaruhi dimensi tubuh manusia antara lain:
1. Usia
Tinggi tubuh manusia terus bertambah mulai dari lahir hingga usia sekitar 20-
25 tahun. Usia saat berhentinya pertumbuhan pada perempuan lebih dini
daripada laki-laki. Berbeda dengan tinggi tubuh, dimensi tubuh yang lain,
seperti bobot badan dan lingkar perut mungkin tetap bertambah hingga usia
60 tahun. Pada tahap usia lanjut, dapat terjadi perubahan bentuk tulang seperti
bungkuk pada tulang punggung, terutama pada perempuan.
2. Jenis Kelamin
Pengamatan kita sehari-hari menunjukkan adanya perbedaan antropometri
antara laki-laki dan perempuan. Di usia dewasa, laki-laki pada umumnya
lebih tinggi daripada perempuan, dengan perbedaan sekitar 10%. Namun
perbedaan ini tidak terlihat saat usia pertumbuhan. Tingkat pertumbuhan
maksimum perempuan terjadi pada usia sekitar 10-12 tahun.
3. Ras dan Etnis
Ukuran dan proporsi tubuh sangat beragam antar ras dan etnis yang berbeda,
misalnya antara Negroid (Afrika), Kaukasoid (Amerika Utara dan Eropa),
Mongoloid atau Asia, dan Hispanik (Amerika Selatan).
4. Pekerjaan dan Aktivitas
Perbedaan dalam ukuran dan dimensi fisik dapat dengan mudah kita temukan
pada kumpulan orang yang mempunyai aktivitas kerja berbeda. Sebagai
contoh, petani di desa yang terbiasa melakukan kerja fisik berat memiliki
antoropometri yang berbeda dnegan orang-orang yang tinggal di kota dengan
jenis pekerjaan kantoran yang hanya duduk di depan komputer. Orang yang
berolahraga secara rutin juga mempunyai postur tubuh yang berbeda dengan
mereka yang jarang berolahraga.
5. Kondisi Sosio-Ekonomi
Faktor kondisi sosio-ekonomi berdampak pada pemberian nutrisi dan
berpengaruh pada tingkat pertumbuhan badan. Selain itu, faktor ini juga

21
Iridiastadi , Hardianto, Op.cit. hlm.27-28
30

berhubungan dengan kemampuan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih


tinggi.

2.5.3. Antropometri Statis


22
Antropometri sering disebut juga dengan pengukuran dimensi struktur
tubuh. Dimensi tubuh yang diukur dengan posisi tetap antara lain meliputi berat
badan, tinggi tubuh dalam posisi berdiri maupun duduk, ukuran kepala, tinggi
atau panjang lutut pada saat berdiri/duduk, panjang lengan dan sebagainya.

2.5.4. Antropometri Dinamis


Antropometri dinamis disebut juga dengan dimensi fungsional tubuh.
Disini pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat berfungsi melakukan
gerakan-gerakan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan yang harus diselesaikan.

2.5.5. Prinsip-Prinsip Penggunaan Data Antropometri


23
Prinsip-prinsip penggunaan data antropometri, yaitu:
1. Prinsip Perancangan Produk Bagi Individu dengan Ukuran yang Ekstrim
Disini rancangan produk dibuat agar bisa memenuhi 2 (dua) sasaran produk,
yaitu bisa sesuai untuk ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi
ekstrim dalam arti terlalu besar atau kecil bila dibandingkan dengan rata-
ratanya dan tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain
(mayoritas dari populasi yang ada). Secara umum aplikasi data antropometri
untuk perancangan produk ataupun fasilitas kerja akan menetapkan nilai 5-th
percentile untuk dimensi maksimum dan 95-th untuk dimensi minimumnya.
2. Prinsip Perancang Produk yang Bisa Dioperasikan Diantara Rentang Ukuran
Tertentu
Disini rancangan bisa dirubah-rubah ukurannya sehingga cukup flexible
dioperasikan oleh setiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh.
Contoh yang paling umum dijumpai adalah perancangan kursi mobil yang

22
Sritomo, Op.cit., hlm. 62-63
23
Ibid.,hlm. 68-69
31

mana dalam hal ini letaknya bisa digeser maju/mundur dan sudut sandarannya
pun bisa berubah-ubah sesuai dengan yang diinginkan.
3. Prinsip Perancang Produk dengan Ukuran Rata-Rata
Dalam hal ini rancangan produk didasarkan terhadap rata-rata ukuran
manusia. Problem pokok yang dihadapi dalam hal ini justru sedikit sekali
mereka yang berbeda dalam ukuran rata-rata. Disini produk dirancang dan
dibuat untuk mereka yang berukuran sekitar rata-rata, sedangkan bagi mereka
yang memiliki ukuran ekstrim akan dibuatkan rancangan tersendiri.

2.5.6. Dimensi Tubuh Pengukuran Data Antropometri


Dimensi tubuh yang diukur pada data antropometri antara lain:
24

Sumber: Sritomo Wignjoesobroto. 2008. Ergonomi Studi Gerak dan Waktu


Gambar 2.1. Antropometri Tubuh Manusia yang Diukur Dimensinya

Keterangan :
1. Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai s/d ujung kepala)
2. Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak
3. Tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak
4. Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus)
5. Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak (dalam
gambar tidak ditunjukan)
6. Tinggi tubuh dalam posisi duduk (dukur dari atas tempat duduk/pantat sampai
dengan kepala)
7. Tinggi mata dalam posisi duduk
8. Tinggi bahu dalam posisi duduk
24
Ibid., hlm. 70-71
32

9. Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus)


10. Tebal atau lebar paha
11. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan ujung lutut
12. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari
lutut/betis
13. Tinggi lutut yang bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk
14. Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai sampai dengan paha
15. Lebar dari bahu (bisa diukur dalam posisi berdiri ataupun duduk)
16. Lebar pinggul/pantat
17. Lebar dari dada dalam keadaan membusung (tidak tampak ditunjukan pada
gambar)
18. Lebar perut
19. Panjang siku yang diukur dari siku smpai dengan ujung jari – jari dalam posisi
siku tegak lurus
20. Lebar kepala
21. Panjang tangan diukur dari pergelangan tangan sampai dengan ujung jari
22. Lebar telapak tangan
23. Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar-lebar kesamping kiri-kanan
(tidak ditunjukan dalam gambar)
24. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak, diukur dari lantai sampai
dengan telapak tangan yang terjangkau lurus keatas (vertikal)
25. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur seperti halnya no
24 tetapi dalam posisi duduk (tidakditunjukan dalam gambar)
26. Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan diukur dari bahu sampai ujung
jari tangan

Sumber: Eko Nurmianto. 2004. Ergonomi Dasar dan Aplikasinya


Gambar 2.2. Data Antropometri Tangan
33

25
Keterangan:
1. Panjang tangan yang diukur dari pergelangan tangan sampai ujung jari
2. Panjang telapak tangan yang diukur dari pergelangan tangan sampai batas
telapak tangan
3. Panjang ibu jari
4. Panjang jari telunjuk
5. Panjang jari tengah
6. Panjang jari manis
7. Panjang jari kelingking
8. Lebar ibu jari
9. Tebal ibu jari
10. Lebar jari telunjuk
11. Tebal jari telunjuk
12. Lebar telapak tangan dalam keadaan tertutup rapat,
13. Lebar telapak tangan yang diukur sampai ibu jari dalam keadaan tertutup rapat
14. Lebar telapak tangan (minimum)
15. Tebal telapak tangan
16. Tebal telapak tangan yang diukur sampai dengan ibu jari
17. Diameter pegangan (maksimum)
18. Lebar tangan maksimum yang diukur dari ujung ibu jari sampai dengan ujung
jari kelingking dalam keadaan terlentang
19. Lebar fungsional maksimum yang diukur dari ibu jari kejari lain
20. Segi empat minimum yang dapat dilewati telapak tangan

Sumber: Eko Nurmianto. 2004. Ergonomi Dasar dan Aplikasinya


Gambar 2.3. Data Antropometri Kepala

25
Eko Nurmianto, Ergonomi Dasar dan Aplikasinya, (Surabaya: Institut Sepuluh Nopember,
1979), hlm. 67-69.
34

Keterangan :
1. Panjang Kepala
2. Lebar kepala
3. Diameter maksimum dari dagu
4. Dagu kepuncak kepala
5. Telinga kepuncak kepala
6. Telinga kebelakang kepala
7. Antara dua telinga
8. Mata kepuncak kepala
9. Mata kebelakang kepala
10. Antara dua pupil kepala
11. Hidung kepuncak kepala
12. Hidung kebelakang kepala
13. Mulut kepuncak kepala
14. Lebar mulut

Sumber: Eko Nurmianto. 2004. Ergonomi Dasar dan Aplikasinya. hlm. 69


Gambar 2.4. Data Antropometri Kaki

Keterangan :
1. Panjang telapak kaki yang diukur dari ujung kaki sampai ujung ibu jari kaki
2. Panjang telapak lengan kaki
3. Panjang kaki sampai jari kelingking
4. Lebar kaki
5. Lebar tangkai kaki
6. Tinggi mata kaki
7. Tinggi bagian tengah telapak kaki
8. Jarak horizontal tangkai mata kaki
35

2.5.7. Flowchart dan Langkah-langkah Penilaian Data Antropometri


Penggunaan data antropometri, penilaian dilakukan dalam beberapa
langkah. Tahapannya adalah sebagai berikut:
1. Menentukan kebutuhan perancangan dan kebutuhannya (establish
requirement).
2. Mendefinisikan dan mendeskripsikan populasi pemakai.
3. Pemilihan sampel yang akan diambil datanya.
4. Penentuan kebutuhan data (dimensi tubuh yang akan diambil) dan pemilihan
persentil yang akan dipakai.
5. Penentuan sumber data (dimensi tubuh yang akan diambil) dan pemilihan
persentil yang akan dipakai.
6. Penyiapan alat ukur yang dipakai.
7. Pengambilan data.
8. Pengolahan data
a. Uji kenormalan data
b. Uji keseragaman data
c. Uji kecukupan data
d. Perhitungan persentil data
9. Visualisasi rancangan dengan memperhatikan
a. Posisi tubuh secara normal
b. Kelonggaran (pakaian dan ruang)
c. Variasi gerak
10. Analisis hasil rancangan.
Diagram alir (flowchart) dari proses ini dapat dilihat pada Gambar 2.5.
36

Start

Input
Data
Antropometri

Pengolahan Data

`
Uji
Tidak
Keseragaman
Data

Ya

Uji Kecukupan Tidak


Data

Ya

Penetapan Prinsip
Perancangan Produk

Perhitungan Persentil

Output
Persentil Data

Stop

Sumber: Eko Nurmianto. 2004. Ergonomi Dasar dan Aplikasinya. hlm. 69


Gambar 2.5. Flowchart Proses Perancangan Produk dengan Data
Antropometri

2.5.8. Aplikasi Distribusi Normal dalam Penetapan Data Antropometri


26
Data antropometri jelas diperlukan agar rancangan suatu produk dapat
sesuai dengan orang yang akan mengoperasikannya. Ukuran tubuh yang
diperlukan pada hakikatnya tidak sulit diperoleh dari pengukuran secara
individual, seperti halnya yang dijumpai untuk produk yang dibuat berdasarkan
pesanan. Kondisinya berubah saat lebih banyak lagi produk standar yang harus
dibuat untuk dioperasikan oleh lebih banyak orang. Masalah adanya variasi
ukuran sebenarnya akan lebih mudah diatasi bila dapat dirancang produk yang
memiliki sifat fleksibel dan adjustable dengan suatu rentang ukuran tertentu.

26
Sritomo, Op.cit., hlm. 65-67
37

Sumber: Sritomo Wignjoesobroto. 2008. Ergonomi Studi Gerak dan Waktu


Gambar 2.6. Distribusi Normal dengan Data Antropometri 95-th Persentil

Pemakaian distribusi normal sangat umum digunakan dalam penetapan


data antropometri dalam statistik, distribusi normal dapat diformulasikan
berdasarkan harga rata-rata (mean) dan simpangan bakunya (standar deviasi) dari
data yang ada. 27Pemakaian nilai-nilai persentil yang umum diaplikasikan dalam
perhitungan data antropometri dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Faktor Pengali dalam Perhitungan Persentil
Persentil P1 P5 P10 P25 P50 P75 P90 P95

K -2,326 -1,645 -1,282 -0,647 0 +0,647 +1,282 +1,645

Sumber: Hardianto Iridiastadi. 2014. Ergonomi Suatu Pengantar

2.5.9. Aplikasi Antropometri dalam Perancangan Produk


28
Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam perancangan,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Perancangan Berdasarkan Individu Besar/Kecil
Dalam konsep ini, mereka mempunyai tubuh besar atau tubuh kecil dijadikan
sebagai pembatas besarnya populasi pengguna yang akan diakomodasi oleh
rancangan. Biasanya, yang dijadikan acuan adalah persentil besar (P95) atau
persentil kecil (P5).
2. Perancangan yang Dapat Disesuaikan
Konsep ini digunakan untuk berbagai produk atau alat yung dapat diatur atau
disesuaikan panjang, lebar, dan lingkarnya sesuai dengan kebutuhan

27
Hardianto Iridiastadi, Ergonomi Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarta), hlm 38.
28
Ibid., hlm. 44-45
38

pengguna. Kisaran kemampu-suaian ini biasanya mulai dari perempuan


dengan persentil 5 hingga laki-laki dengan persentil 95.
3. Perancangan Berdasarkan Individu Rata-Rata
Pendekatan ini digunakan jika kedua konsep sebelumnya, perancangan
berdasarkan individu ekstrem dan perancangan yang dapat disesuaikan, tidak
relevan atatu tidak mungkin dilaksanakan.

2.6. Uji Normal dengan Kolmogorov-Smirnov Test


2.6.1. Perhitungan dengan Cara Manual
29
Prinsip dari uji Kolmogorov-Smirnov ialah menghitung selisih absolute
antara frekuensi kumulatif sampel [Fa(x)] dan fungsi distribusi frekuensi
kumulatif teoritis [Fe(x)] pada masing-masing interval kelas. Hipotesa yang diuji
dinyatakan sebagai berikut (dua sisi).
Ho : F(x)=Fe(x) untuk semua x dari -∞ sampai +∞
Hi : F(x) ≠ Fe(x) untuk paling sedikit sebuah x

2.6.2. Perhitungan dengan Menggunakan Software SPSS


30
Pengujian normalitas dengan menggunakan program SPSS dilakukan
dengan menu analyze, kemudian klik pada nonparametric test, lalu klik pada 1-
Sample K-S. K-S itu singkatan dari Kolmogorov-Smirnov. Maka akan muncul
kotak One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Data yang akan diuji terletak di kiri
dan pindahkan ke kanan dengan tanda panah. Lalu tekan OK saja. Pada output,
lihat pada baris paling bawah dan paling kanan yang berisi Asymp.Sig.(2-tailed).
Lalu intepretasinya adalah bahwa jika nilainya di atas 0,05 maka distribusi data
dinyatakan memenuhi asumsi normalitas, dan jika nilainya di bawah 0,05 maka
diinterpretasikan sebagai tidak normal. Langkah-langkah sebagai berikut:
1. Buka data yang ingin diuji, sebagai contoh digunakan data dari sebuah skala
optimisme hidup.
2. Klik [Graphs]>[Histogram] akan muncul kotak dialog histogram.

29
Edi Kurniyawan, Op. Cit.
30
Bhina Patria, Uji Normalitas, diakses di https://labkomfmipa.files.wordpress.com/
2008/08/uji_normalitas.pdf, pada tanggal 08 Mei 2017 pukul 21.56.
39

3. Input variabel yang ingin diketahui histogramnya dalam formvariable dengan

cara meng-klik variabel tersebut pada jendela kiri kemudian klik


4. Klik pada pilihan displaynormalcurve kemudian klik ok.
Hasilnya akan terlihat pada Gambar 2.7. Cara ini merupakan cara yang
subyektif. Tentu saja sulit menentukan apakah data tersebut berdistribusi
normal atau tidak, hanya dengan mengamati histogramnya.

Sumber: Bhina Patria. Uji Normalitas


Gambar 2.7. Histogram Data Optimisme Hidup

Mengatasi subjektivitas yang tinggi tersebut, maka diciptakanlah metode


analisis untuk mengetahui kenormalan distribusi suatu data yaitu tes Kolmogorov-
Smirnov. Langkah-langkah pengujiannya adalah sebagai berikut:
1. Buka data kemudian klik [Analyze]>[DescriptiveStatistics]>[Explorers], akan
muncul kotak dialog explorer.
2. Masukkan variabel yang akan dianalisis (sebagai contoh, data optimisme
hidup) pada form dependent list dengan cara klik variabel Optimisme Hidup
pada jendela kiri kemudian klik tombol yang ada di sebelah kiri form
dependent list.
3. Klik tombol [Plots] maka akan muncul kotak dialog explore: plots.
4. Klik pada pilihan normality plots with test. Sedangkan pada pilihan lainnya
biarkan dalam keadaan default SPSS. Selanjutnya klik [Continue] kemudian
[Ok].
40

Hasil analisis terdiri dari beberapa bagian tetapi yang terpenting adalah pada tabel
Test of Normality seperti terlihat pada Gambar 2.8.

Sumber: Bhina Patria. Uji Normalitas


Gambar 2.8. Tabel Test of Normality

Ada juga peneliti yang menggunakan menu analisis nonparametrictest


untuk melakukan tes Kolmogorov-Smirnov. Pertimbangannya adalah karena
belum mengetahui apakah data yang dianalisis tersebut data parametrik atau
bukan maka diasumsikan bahwa data tersebut merupakan data nonparametrik.
Karena diasumsikan berupa data nonparametrik, maka analisis yang dilakukan
adalah analisis nonparametrik. Langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Buka data kemudian klik [Analyze] >[Non Parametric Test]>[1-Sample K-S]
sehingga muncul kotak dialog One-Sample Kolmogorov-Smirnov.

Sumber: Bhina Patria. Uji Normalitas


Gambar 2.9. Kotak Dialog One-Sample Kolmogorov-Smirnov

2. Masukkan variabel yang akan dites ke jendela test variable list.


3. Klik pada pilihan Normal pada field Table Distribution kemudian klik ok.
Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 2.10.
41

Sumber: Bhina Patria. Uji Normalitas


Gambar 2.10. Hasil Uji Kenormalan dengan Kolmogorov-Smirnov Test
Menggunakan software SPSS

2.7. Standard Nordic Questionnaire


Nordic Body Map merupakan salah satu metode pengukuran subyektif
untuk mengukur rasa sakit otot para pekerja. Standard Nordic Questionnaire
merupakan salah satu bentuk kuesioner checklist ergonomi.
Standard Nordic Questionnaire adalah kuesioner yang paling sering
digunakan untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja karena sudah
terstandarisasi dan tersusun rapi.
Pengisian Standard Nordic Questionnaire ini bertujuan untuk mengetahui
bagian tubuh dari pekerja yang terasa sakit sebelum dan sesudah melakukan
pekerjaan pada stasiun kerja. Kuesioner ini menggunakan gambar tubuh manusia
yang sudah dibagi menjadi 9 bagian utama, yaitu :
1. Leher
2. Bahu
3. Punggung bagian atas
4. Siku
5. Punggung bagian bawah
6. Pergelangan tangan/tangan
7. Pinggang/pantat
8. Lutut
42

9. Tumit/kaki
Responden yang mengisi kuesioner diminta untuk menunjukkan ada atau
tidaknya gangguan pada bagian-bagian tubuh tersebut. Standard Nordic
Questionnaire ini diberikan kepada seluruh pekerja yang terdapat pada stasiun
kerja. Setiap responden harus mengisi ada atau tidaknya keluhan yang diderita.

Sumber: Santoso
Gambar 2.11. Standard Nordic Questionnaire
43

2.8. Perancangan Interior/Ruang Belajar yang Ergonomis untuk Sekolah


Luar Biasa (SLB)31
2.8.1. Pendahuluan
Berdasarkan Direktorat Pengembangan Sekolah Luar Biasa, Anak
tunagrahita memiliki keterbatasan intelektual seumur hidup. Fungsi intelektual
tidak statis. Khususnya bagi anak dengan perkembangan kemampuan yang ringan
dan sedang, perintah atau tugas yang terus menerus dapat membuat perubahan
yang besar untuk dikemudian hari dan Anak tunagrahita hanya dapat mempelajari
hal-hal tertentu saja.Apabila anak Tunagrahita dalam melaksanakan perintah atau
tugas tidak difasilitasi dengan benar maka dapat mengganggu perkembangan
kemampuan salah satunya pada Sekolah Luar Biasa Bagian C Lawang merupakan
salah satu substansi sekolah dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kota
Malang yang khusus menerima anak-anak yang menderita cacat (Tuna Grahita
dan Tuna Rungu). Disekolah ini menerima siswa untuk jenjang pendidikan TK,
SD, SMP dan SMA.
Dari hasil penelitian terdapat permasalahan di SLB Lawang yaitu untuk
fasilitas interior/ ruang belajar khusus untuk siswa SLB Tunagrahita jenjang
pendidikan SD yang dirancang dengan ukuran yang sama untuk kelas 1 sampai
kelas 6 dengan ukuran anak normal yang cenderung konvensional dengan pola
rancangan ruang kelas tradisional. padahal secara antropometri khusus anak tuna
grahita memiliki ukuran tubuh tidak seperti anak normal yaitu untuk beberapa
kelompok seperti orang ras Mongoloid (cenderung pendek gemuk) selain interior
ruang kelas tersebut dirancang tidak secara ideal dan sesuai dengan perancangan
interior yang mana perancangan terdapat faktor-faktor yang menjadi
pertimbangan dalam proses perancangan desain interior sekolah dasar, berkaitan
dengan lingkungan alam dan sosial budaya, estetis, ekonomi, fungsi maupun
teknik. Apabila hal ini berlangsung dalam jangka waktu tertentu dapat
mengganggu kenyamanan siswa, sehingga pada waktu melakukan proses belajar
mengajar selama beberapa jam siswa akan merasa cepat bosan dengan suasana

31
Hutabarat, Julianus, dkk. Perancangan Interior/Ruang Belajar yang Ergonomis untuk Sekolah
Luar Biasa (SLB).
44

ruangan kelas yang monoton. Dan mereka akan melakukan hal-hal yang tidak bisa
diprediksi. Inilah yang membuat peneliti tergerak untuk memperbaiki desain
interior ruangan kelas yang ideal bagi siswa SD Tunagrahita agar tercipta
kenyamanan pada saat proses belajar mengajar serta membantu meningkatkan
mobilitas dan kreatifitas intelektual siswa di kelas.

2.8.2. Metode Penelitian


Tahap-tahap penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pengumpulan Data
Adapun cara pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti untuk
memperoleh data yang diperlukan adalah sebagai berikut :
a. Data pengamatan kepada responden serta data mengenai aspek-aspek yang
berperan terhadap perancangan interior ruang kelas SLB tuna grahita usia SD.
b. Data anthropometri yang berhubungan dengan perancangan dari display
interior.
c. Data wawancara terhadap guru pengajar siswa SLB tuna grahita selaku
pengguna ruang kelas.
2. Pengolahan Data
Dalam pengolahan data peneliti mengolah data tentang anthropometri
yang disesuaikan dengan fasilitas kelas, dalam hal ini fasilitas kelas yang
dominan dan diteliti adalah papan tulis dalam proses belajar mengajar, yang
disesuaiakan dengan letak meja kursi. Serta analisa mengenai aspek lingkungan
yang termasuk pencahayaan, suhu dan temperature, kelembaban, kebisingan,
serta warna. Yang kemudian terdapat output yang berupa gambar 3 dimensi.
3. Rancangan
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian deskriptif. Dalam hal ini untuk mengevaluasi desain dari ruang interior
yang telah ada dari aspek fasilitas dan aspek lingkungan.
45

2.8.3. Pembahasan
1. Perbaikan lingkungan interior dengan pendekatan ergonomi.
1) Pencahayaan
Pada waktu ada matahari maka penerangan memakai cahaya alam,
namun pada saat cahaya matahari kurang, memakai cahaya lampu
dengan intensitas cahaya 500 lux. Ini karena lampu yang
sebelumnya bila dinyalakan akan menyilaukan. Dan intensitas
cahaya yang bisa diterima siswa waktu membaca sekitar 299 lux.
Hal ini sesuai standarisasi SNI.
2) Suhu dan temperatur
Pada pagi hari udara bisa sangat dingin, itu bisa ditanggulangi
dengan penambahan pemanas ruangan, akan tetapi bila siang hari
lumayan panas, bisa ditambah dengan beberapa tanaman yang bisa
membuat lebih sejuk.
3) Kelembaban
Kelembaban yang tinggi bisa menyebabkan ketidaknyamanan pada
saat proses belajar mengajar berlangsung. Pada kelembaban bisa
ditambah ventilasi dan penambahan tanaman hijau.
4) Kebisingan
Pada hal ini melampaui ambang batas sering pada saat tertentu saja,
tapi hal itu mengganggu proses belajar mengajar. untuk kebisingan
sebagai peredam suara bisa dipasang kertas dinding dengan bahan
yang agak tebal yang bisa sedikit meredam suara.
5) Warna
Warna adalah kekuatan yang berpengaruh terhadap manusia. Untuk
warna yang dipilih untuk ruang interior kelas adalah kuning agak
kehijauan, karena warna kuning bisa memacu semangat, sedangkan
hijau bisa menenangkan saraf.
46

2. Data Antropometri
Berikut data lingkungan anthropometri peneliti menggunakan 24,5 – 25
0
C, Kelembaban 60-69%.Pencahayaan 299-340 lux.
Untuk pengolahan data anthropometri peneliti menggunakan
tingkat kepercayaan 95% (k=2) dan tingkat ketelitian 5%. Hasil
pengolahan data anthropometri dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.6. Data Antropometri Kelas Kecil dan Sedang
No. Jenis Pengukuran N X SD BKA BKB
1 Tinggi mata 25 123,13 0,15 123,5 122,92
2 Tinggi mata 25 56,30 0,21 56,52 55,65
posisi duduk
3 Tinggi pegangan 25 168,07 0,22 168,5 167,62
tangan pada posisi
tangan vertikal ke
atas dan berdiri
Tegak
Sumber : Hutabarat, Julianus, dkk. Perancangan Interior/Ruang Belajar yang Ergonomis untuk
Sekolah Luar Biasa (SLB).

Nilai tersebut diambil rata- rata , karena dalam satu ruangan ada
lebih dari satu kelas, yaitu kelas 2, 3, 4. Dan ukuran data yang diambil
tidak ada yang melebihi batas yang ada.
Tabel 2.7. Data Antropometri untuk Siswa Kelas 5
No. Jenis Pengukuran N X SD BKA BKB
1 Tinggi mata 25 127,1 0,48 138,0 126,14
2 Tinggi mata 25 57,94 0,29 58,54 57,352
posisi duduk
3 Tinggi pegangan 25 175,2 0,11 175,46 175,004
tangan pada posisi
tangan vertikal ke
atas dan berdiri
Tegak
Sumber : Hutabarat, Julianus, dkk. Perancangan Interior/Ruang Belajar yang Ergonomis untuk
Sekolah Luar Biasa (SLB).
47

Sumber : Hutabarat, Julianus, dkk. Perancangan Interior/Ruang Belajar yang Ergonomis untuk
Sekolah Luar Biasa (SLB).
Gambar 2.12. Posisi Duduk- Berdiri dengan Garis Pandang.

Untuk ukuran tata letak papan tulis adalah, 70% lebih banyak dalam posisi
duduk, dan 30% untuk posisi berdiri, maka toleransi ukuran tata letak papan tulis
yaitu untuk kelas 2,3, dan 4 : lebar 1,5m, panjang 3m, tinggi dari permukaan
lantai adalah 70cm.Untuk kelas 5 : lebar 1,5m, panjang 3m, tinggi dari permukaan
lantai 82cm.
Serta berikut ukuran meja kursi yang telah ada perbaikan desain :
1. Tinggi alas duduk
Tinggi permukaan alas duduk = tinggi popliteal duduk (P5) = 37 cm
2. Lebar alas duduk
Lebar alas duduk = lebar popliteal duduk (P95) + ditambah kelonggaran 10%
pada masing-masing sisi = 34 cm.
3. Panjang alas duduk
Panjang alas duduk = jarak pantat ke popliteal dengan (P5) = 36 cm.
4. Tinggi sandaran punggung
Tinggi sandaran dirancang tinggi bahu duduk (P95) = 45 cm.
5. Lebar sandaran punggung
Lebar sandaran punggung = tinggi bahu duduk - tinggi pinggang = 28 cm.
6. Panjang sandaran punggung
Panjang sandaran punggung = lebar bahu duduk (P95) = 36 cm.
48

7. Tinggi alas meja


Tinggi popliteal duduk (P95) = 53 cm
8. Lebar alas meja
Panjang jangkauan tangan (P95) = 57 cm.
9. Panjang alas meja
Panjang meja = lebar bahu duduk (P95) + ½ hasil panjang jangkauan tangan
(P95) = 64 cm.
10. Lebar Pijakan kaki
Lebar pijakan kaki oleh jarak siku ke ujung jari (P95) = 21 cm.
11. Sandaran Tangan
Panjang sandaran tangan = jarak siku ke ujung jari (P95) = 40 cm.
12. Tinggi Sandaran
Tinggi sandaran tangan = jarak siku ke ujung jari (P50) 15 cm.
Berikut gambar hasil dari perbaikan rancangan interior kelas :

Sumber : Hutabarat, Julianus, dkk. Perancangan Interior/Ruang Belajar yang Ergonomis untuk
Sekolah Luar Biasa (SLB).
Gambar 2.13. Desain Interior Ruang Kelas
49

Sumber : Hutabarat, Julianus, dkk. Perancangan Interior/Ruang Belajar yang Ergonomis untuk
Sekolah Luar Biasa (SLB).
Gambar 2.14. Penataan Meja Kursi Siswa

Sumber : Hutabarat, Julianus, dkk. Perancangan Interior/Ruang Belajar yang Ergonomis untuk
Sekolah Luar Biasa (SLB).
Gambar 2.15. Pencahayaan yang Ideal
50

2.8.4. Kesimpulan
Berdasarkan perbaikan interior maka sebagai berikut:
1) Faktor lingkungan
Temperatur 24,5 – 25 0
C
Kelembaban 60 – 69 %
Pencahayaan 299 – 300 lux
Warna : kuning agak kehijauan (pastel)
2) Papan tulis Lebar 1,5 m Panjang 3 m
Kelas 2,3,4 letak ketinggian dari pemukaan lantai 70 cm.
Untuk kelas 5 letak ketinggian dari permukaan lantai 82 cm.
Ukuran tersebut sudah diberi kelonggaran dari ukuran yang seharusnya.

2.9. Production Cycle Time Reduction In Low And Medium-Low- Tech


Companies: A Case Study For Serbia 32
2.9.1. Pendahuluan
Serbia adalah negara berkembang berbasis industri terbelakang. Sebuah
fakta bahwa lebih dari dua pertiga dari industri Serbia mencakup perusahaan
teknologi rendah dan menengah-rendah. Perusahaan-perusahaan ini harus
menerapkan alat dan metode yang sederhana dan berbiaya rendah, namun efektif
dan bermanfaat dengan cara yang akan meningkatkan produktivitas dan kualitas
produknya. Makalah ini menyarankan metode untuk mendapatkan komponen
waktu siklus produksi, dan memverifikasinya melalui studi kasus yang dilakukan
selama tiga tahun di satu perusahaan Serbia. Hasil praktis dari penelitian ini
adalah penerapan metode yang diusulkan menyebabkan berkurangnya waktu
siklus produksi, meningkatnya waktu produksi, peningkatan produksi dan
peningkatan kepuasan dan keterlibatan pelaksana secara keseluruhan.

32
Klarin, Milijov, dkk. 2016. Production Cycle Time Reduction In Low And Medium-Low- Tech
Companies: A Case Study For Serbia.
51

2.9.2. Metodelogi Penelitian


Pada makalah ini penulis menggunakan metode sampling kerja yang
dimodifikasi bukan untuk analisis pemanfaatan kapasitas tetapi untuk analisis
siklus produksi. Penerapan metode ini diverifikasi seperti yang dilakukan selama
tahun 2011, 2012 dan 2013 di perusahaan tersebut di Serbia. Pemantauan elemen
waktu dilakukan selama tiga tahun di perusahaan Serbia. Pemantauan berlangsung
pada kuartal terakhir setiap tahunnya dan berlangsung dari 10 sampai 20 hari,
tergantung pada durasi siklus produksi. Jumlah siklus yang tercatat bervariasi
setiap tahun, yaitu 46 pada 2011, 30 di tahun 2012 dan 39 di tahun 2013, dan
mereka memiliki berbagai nomor produk dalam setiap siklus.Setelah semua data
diperoleh dengan menggunakan metode baru, mereka harus dianalisis untuk
menentukan di mana masalah utamanya, yaitu komponen mana yang paling
banyak berkontribusi pada waktu siklus produksi. Ketika perbaikan
diperkenalkan, kompenser waktu harus dicatat di tahun-tahun berikutnya dengan
cara dan hasil yang sama dibandingkan. Untuk hasil data yang sebanding harus
sedikit berubah. Karena komponen waktu diperoleh untuk jumlah siklus yang
berbeda dan jumlah komponen produk yang berbeda, perlu untuk
mengekspresikannya dalam bentuk komponen waktu per satu bagian sehingga
perbandingan antara tahun akan memadai.

2.9.3. Hasil
Hasil dari dua tahun pertama penelitian di perusahaan mobil menunjukkan
bahwa persentase total waktu dengan siklus bertepatan dengan persentase total
menurut frekuensi, yang berarti tidak perlu mengukur durasi komponen setiap
waktu dalam setiap siklus. Durasi komponen waktu yang diukur dalam hitungan
menit berbeda karena durasi siklus produksi yang berbeda mengenai persentase
frekuensi, karena beberapa siklus lebih pendek dan beberapa lagi.
Pada tahun 2012 untuk 30 siklus, yang dipantau dan dinyatakan dengan
persentase total durasi semua siklus atau dalam jumlah tertentu dalam hitungan
menit untuk setiap elemen waktu (yang juga dibagi dengan total durasi semua
siklus produksi), persentase identik diperoleh atau dinyatakan Dalam hitungan
52

menit, nilai yang hampir sama per elemen waktu diperoleh. Oleh karena itu tidak
perlu untuk merekam setiap komponen waktu secara terpisah dalam hitungan
menit. Perbedaan antara rekaman individu, untuk frekuensi dan persentase
frekuensi elemen waktu tertentu, untuk tahun 2012, ditunjukkan pada tabel 1
untuk waktu persiapan dan waktu pembuatan. Oleh karena itu, untuk jumlah
rekaman yang sama , frekuensi yang sama dan persentase yang sama (18,8%)
untuk siklus 4 dan 22 terdapat durasi waktu penyiapan yang berbeda (32,4 mnt
Untuk siklus 4 dan 45,3 menit untuk siklus 22).
Perbedaan yang lebih signifikan lagi dapat dilihat pada waktu
pembuatan dimana frekuensi 6 dan persentase 27,27% durasi waktu adalah 48,5
menit I 67,9 menit. Selama pemantauan tahun 2013 dilakukan sedemikian rupa
sehingga hanya frekuensi tampilan komponen waktu yang dicatat dan hasilnya
ditunjukkan pada tabel 2 bersama dengan persentase dan durasi yang dihitung dari
elemen waktu tertentu.

Sumber : Klarin, Milijov, dkk. 2016. Production Cycle Time Reduction In Low And Medium-
Low- Tech Companies: A Case Study For Serbia.
Gambar 2.16. Diagram Persentase Kecenderungan Komponen Waktu
53

Table 2.8. Manufaktur dan Waktu Persiapan tahun 2012


Number of ttc Tpt tm Tpt tm
Cycle
Observations min f/% f/% Min Min
1 17 216 17,65 23,53 38,10 50,80
2 17 216 11,76 29,41 25,40 63,50
3 20 178 15,00 30,00 26,70 53,40
4 22 178 18,18 27,27 32,40 48,50
5 25 284 28,00 20,00 22,70 56,80
6 26 240 41,54 19,23 27,70 46,20
7 15 194 13,33 20,00 25,90 38,80
...
22 22 249 18,8 27,27 45,30 67,90
23 23 304 21,74 30,43 66,10 92,50
Σ 6978 1124 1737
x͡ 233 16,82 25,29 37 58
SD 33 6,51 6,52 15 13
Sumber : Klarin, Milijov, dkk. 2016. Production Cycle Time Reduction In Low And Medium-
Low- Tech Companies: A Case Study For Serbia.
Tabel 2.8 menunjukkan bahwa ada 39 siklus yang tercatat pada tahun
2013, dan jumlah pengamatan bervariasi antara 17 dan 28 dengan rata-rata 20,87.
Durasi rata-rata siklus produksi yang tercatat secara analitis adalah 248 menit.
Dalam waktu produksi manufaktur memiliki persentase paling signifikan,
23,76%. Selanjutnya adalah waktu penyiapan dengan 16,15%, yang bersamaan
dengan waktu pembuatannya membuat waktu teknologi sebesar 39,91%. Waktu
produksi rata-rata pada tahun 2013 adalah p = 193 menit (79,77%) dan waktu non
produksi tnp = 54,8 (20,36%). Tren persentase komponen waktu dari 39 siklus
diberikan melalui poligon pada diagram yang ditunjukkan pada Gambar 2.17 Area
antara dua garis menyajikan ukuran komponen waktu. Dapat dilihat bahwa tidak
ada osilasi besar di antara siklus yang mengindikasikan bahwa prosesnya
terkendali.
54
55

Table 2.9. Waktu Siklus Komponen tahun 2013


Cycle 1 2 3 4 ,,, 37 38 39 % min
Date 15.10.2013. 15.10.2013 16.10.2013 16.10.2013. .... 18.11.2013 19.11.2013. 20.11.2013
Time 8:08 -10:50 8:36 -12:00 7:43-11:20 6:27-11:10 7:00 -10:40 7:40 -10:40 7:50 -11:40

tpc / min 162 204 217 283 ,,, 220 180 230
t % 21,7 16 12 14,3 ,,, 13,6 15,8 17,4 16,15 1560,4
p
tptt
f 5 4 3 3 ,, 3 3 4
t % 17,4 20 32 23,8 ,,, 27,2 26,3 21,7 23,76 2295,7
t
tmn
f 4 5 8 5 ,, 6 5 5
t % 8,7 16 16 9,5 ,,,, 13,6 10,2 17,4 13,37 1291,8
tc c
f 2 4 4 2 ,,, 3 2 4
t % 17,4 16 16 9,5 ,,,, 23,6 10,2 13 12,25 1183,6
t
ttrr
f 4 4 4 2 ,,, 3 2 3
t
p
k % 21,7 12 12 14,3 ,,,, 13,6 15,8 8,7 14,1 1362,3
56

Table 2.9. Waktu Siklus Komponen Tahun 2013 (Lanjutan)


Cycle 1 2 3 4 ,,, 37 38 39 % min
F 20 20 22 15 ,,, 18 15 18
tpk % 80 80 88 71,4 ,,, 81,8 78,9 78,3 tp = 79,77 tp = 7694
Min 129,6 163,2 191 202,1 ,,, 180 142 180,1 0,99 95,7
tmr
F 0 0 0 0 , 0 0 0 0 0
0 4 4 0 , 0 0 0 0,68 65,7
ttl
to F 0 1 1 0 , 0 0 0
% 8 4 0 4,8 , 0 0 0 0,36 34,8
tb
F 2 1 0 1 , 0 0 0
tot % 12 12 8 19 ,, 18,2 21 21,7 18,33 1771
F 3 3 2 4 , 4 4 5
57

Table 2.9. Waktu Siklus Komponen tahun 2013 (Lanjutan)


Cycle 1 2 3 4 37 38 39 % min
f 5 5 3 6 ,, 4 4 5
Tnp % 20 20 12 28,6 ,,, 18,2 21,1 21,7
Min 32,4 40,8 26 80,9 ,,, 40 38 49,9
Tpc F 25 25 25 21 ,,, 22 19 23 n =20,87
tpc/n (min) 23,1 34 24,1 47,2 ,,, 36,7 25,7 23
Number of parts 7 6 9 6 ,, 6 7 10
Sumber : Klarin, Milijov, dkk. 2016. Production Cycle Time Reduction In Low And Medium- Low- Tech Companies: A Case Study For Serbia.
58

Tabel 2.10 menunjukkan hasil ringkasan tentang komponen waktu siklus


produksi mulai 2011 dan 2013. Tabel 4 menunjukkan, pada contoh waktu
produksi mulai 2013, bagaimana waktu produksi per satu bagian produk
diperoleh. Siklus dengan jumlah bagian produk yang sama dipisahkan oleh
kelompok seiring dengan waktu produksi mereka, dan untuk masing-masing
kelompok rata-rata waktu produksi dihitung. Kemudian jumlah waktu produksi
yang dihitung dibagi dengan jumlah kelompok yang menghasilkan waktu
produksi per satu bagian produk. Tabel 2.10 menunjukkan komponen waktu
siklus produksi per satu bagian produk. Tabel ini digunakan untuk
membandingkan hasil dari tahun 2011 dan 2013.
Table 2.10. Ringkasan Hasil Waktu Siklus Komponen
Year 2011 2013
No. of cycles 46 39
Units % Min % Min
Tpt 10,88 1632 16,1 1538
tm 24,66 3698 23,68 2277
tt 35,54 5330 39,78 3815
tp tc 12,9 1935 13,55 1302
Ttr 16,09 2413 13,17 1252
Tpk 11,4 1709 13,65 1331
Tnt 40,39 6057 40,37 3885
Tmr 2,63 394 0,99 99
Ttl 0,27 40 0 0
tnp to 2,51 376 0,68 63
tb 1,81 271 0,46 41
Tot 16,86 2529 17,91 1777
tp 75,93 11387 80,15 7700
Tnp 24,08 3610 20,04 1980
Tpc 100 14997 100 9680
Sumber : Klarin, Milijov, dkk. 2016. Production Cycle Time Reduction In Low And Medium-
Low- Tech Companies: A Case Study For Serbia.

2.9.4. Kesimpulan
Hasil yang paling signifikan dari penelitian dua tahun pertama di
perusahaan mobil Serbia adalah tidak perlu mengukur komponen waktu siklus
produksi dalam hitungan menit, sehingga tidak perlu mencatat durasi setiap
komponen secara terpisah, namun sebaliknya Cukup untuk mencatat frekuensi
59

penampilan mereka. Hasil yang disajikan pada tabel 5 dengan jelas menunjukkan
bahwa semua komponen waktu berkurang pada tahun 2013 sebagai akibat
penerapan metode yang diusulkan. Metode biaya sederhana dan murah untuk
mendapatkan komponen waktu siklus produksi memberikan tinjauan rinci
terhadap siklus produksi yang memungkinkan langkah-langkah yang tepat
dilakukan untuk mengurangi setiap komponen waktu dan menghasilkan
pengurangan waktu siklus produksi per satu bagian produk sepertiga, yaitu Hasil
yang sangat memuaskan
Oleh karena itu, hasil praktis dari penelitian ini adalah bahwa penerapan
metode yang disederhanakan untuk mendapatkan komponen waktu siklus
produksi setelah menganalisa hasil mengarah pada:
a. Mengurangi waktu siklus produksi
b. Meningkatnya persentase waktu produksi
c. Meningkatnya produksi
d. Meningkatnya kepuasan dan keterlibatan pelaksana secara keseluruhan.
Seperti disebutkan sebelumnya, Serbia sedang berjuang menuju
pembangunan industri, dan dengan cara itu akan sulit dan lamban. Hal ini
terutama terjadi pada perusahaan kecil dan non-otomatis yang membuat sebagian
besar industri di Serbia. Perusahaan semacam itu bisa mendapatkan keuntungan
dari metode yang diusulkan dalam makalah ini karena dapat diterima baik dari
sudut pandang ekonomi maupun kompleksitas dan memberikan cara sederhana
untuk memperbaiki proses produksi, yang mengarah ke perbaikan lainnya.

2.10. Evaluasi Tingkat Kebisingan di Bandara Sultan Syarif Kasim II


Pekanbaru33
2.10.1. Pendahuluan
Menurut KepMenLH no 48 tahun 1996, Kebisingan adalah bunyi yang
tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.

33
Aryo Sasmita, dkk. 2017. Evaluasi Tingkat Kebisingan di Bandara Sultan Syarif Kasim II
Pekanbaru.
60

Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam


satuan decible disingkat dB. Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal
tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau
kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan.
Dampak kebisingan menurut Doelle (1993), tingkat kebisingan sebesar 65
dBA kontinyu akan berdampak penyakit jantung, kebisingan sebesar 70 dBA akan
mengakibatkan kelelahan mental dan fisik, gangguan psikomatis, serta kebisingan
sebesar 80 dBA akan mengakibatkan kerusakan dan penurunan daya pendengaran.
Tingginya mobilisasi dan pertumbuhan di Pekanbaru menuju kota
metropolitan beberapa tahun belakangan ini berlangsung sangat cepat. Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Pekanbaru mencatat
perkembangan jumlah penduduk Pekanbaru sangat tinggi. Kota Pekanbaru
merupakan kota besar dengan jumlah penduduk 1.011.467 jiwa pada tahun 2014,
dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,24% / tahun. (BPS, 2015).
Bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk di Pekanbaru,
berpengaruh pada kebutuhan transportasi, terutama transportasi udara.
Peningkatan status Bandara Sultan Syarif Kasim II menjadi bandara internasional
mengakibatkan aktivitas bandara yang semakin tinggi. Tercatat jumlah pesawat
yang datang dan berangkat di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II pada
tahun 2014 sebanyak 24 – 25 pesawat per harinya dengan jumlah penumpang
rata-rata 3351 orang (Dirjen Perhubungan Udara, 2015).
Diketahui aktivitas Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru
berpengaruh terhadap peningkatan kebisingan, sehingga diperlukan penelitian
lebih lanjut tentang kebisingan akibat aktivitas pesawat terbang. Penelitian ini
dilakukan untuk mendapatkan nilai tingkat kebisingan dan membandingkannya
dengan baku mutu lingkungan sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang baku tingkat kebisingan.
61

2.10.2. Metode Penelitian


Adapun metode dan tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini
yaitu :
1. Studi Pendahuluan
Tahapan studi pendahuluan ini bertujuan dalam penentuan waktu dan
titik sampling. Penentuan hari ditetapkan berdasarkan jumlah
penerbangan perhari. Jumlah penerbangan di Bandara Internasional
Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru setiap hari nya mencapai 78 jadwal
penerbangan dan ditetapkan pada hari sabtu 10 September 2016 untuk
melakukan pengukuran tingkat kebisingan. Penentuan titik sampling
sebanyak 5 titik sampling di area Bandara Internasional Sultan Syarif
Kasim II Pekanbaru
2. Pengumpulan Data
a. Pengumpulan Data Sekunder
Setelah perumusan masalah dan latar belakang dilakukan
pengumpulan data sekunder untuk mendapatkan gambaran kondisi
eksisting Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru
dan pemukiman disekitarnya.
b. Pengumpulan Data Primer Pengukuran Tingkat Kebisingan
Pengukuran tingkat kebisingan di area bandara dilakukan selama jam
operasional bandara yaitu dari pukul 06.00 WIB – 24.00 WIB,
Tahap pengumpulan data ini mencakup :
a). Tingkat tekanan suara (Lp)
b). Data meteorologi yang meliputi kecepatan angin dan arahnya,
suhu, dan kelembaban udara.

2.10.3. Pengolahan Data


Adapun dalam melakukan penelitian ini, tahap-tahap dalam pengolahan
data adalah sebagai berikut :
62

1. Pengolahan dan perhitungan data


Langkah pengolahan dan perhitungan data adalah Perhitungan tingkat
kebisingan sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48
tahun 1996 yang dikeluarkan pada tanggal 25 november 1996 berisi
tentang metode pengukuran, perhitungan, dan evaluasi tingkat kebisingan
lingkungan.
2. Analisis data dan pembahasan Evaluasi kebisingan
Dari hasil pengolahan data dapat ditarik kesimpulan mengenai kondisi
kebisingan di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru dan
pemukiman sekitarnya. Tingkat kebisingan yang dievaluasi berdasarkan
pada :
a. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1996 yang
dikeluarkan pada tanggal 25 november 1996 berisi tentang metode
pengukuran, perhitungan, dan evaluasi tingkat kebisingan lingkungan.
b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 tahun 1999 tentang nilai
ambang batas faktor fisika ditempat kerja lampiran II nilai ambang
batas kebisingan.
3. Lokasi Penelitian
Pada setiap titik lokasi, pengukuran kebisingan dilakukan dengan
menggunakan alat Sound Level Meter (SLM). Untuk dapat
membandingkan tingkat kebisingan pada empat lokasi tersebut maka
pengukuran harus dilakukan dengan jarak dan ketinggian yang sama.
Ukuran ketinggian ditetapkan masing-masing ± 1,5 meter. Sumber bising
utama adalah suara pesawat yang akan take off, landing dan aktivitas yang
sedang berlangsung.Titik pengukuran kebisingan di kawasan Bandara
Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru terbagi menjadi 5 titik.
Titik pengukuran kebisingan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.11
dibawah ini.
63

Tabel 2.11. Lokasi Titik Pengukuran Kebisingan


No. Titik Pengukuran Kebisingan Keterangan
1 Landasan Pacu Utara 20 meter dari landasan pacu pesawat terbang
2 Landasan Pacu Selatan 20 meter dari landasan pacu pesawat terbang
Area apron bandara, 250 m dari landasan pacu
3 Apron Timur pesawat terbang
Area apron bandara, 250 m dari landasan pacu
4 Apron Selatan pesawat terbang
5 Area Parkir Area parkir kendaraan motor, 500 m dari landasan
pacu pesawat terbang
Sumber : Aryo Sasmita, dkk. 2017. Evaluasi Tingkat Kebisingan di Bandara Sultan Syarif
Kasim II Pekanbaru.

4. Alat Penelitian
Adapun peralatan yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai
berikut :
a. Penelitian ini menggunakan Sound Level Meter (SLM)untuk mengukur
tingkat kebisingan. SLM yang digunakan pada penelitian ini juga dapat
digunakan untuk mengetahui data meteorologi seperti kecepatan angin,
suhu, dan kelembaban udara.
b. Stopwatch yang digunakan untuk menghitung waktu pengukuran
tingkat tekanan suara.
c. Alat tulis dan form survey untuk mencatat data sampling.
d. Perangkat komputer untuk mengolah data dan pemetaan kebisingan

2.10.4. Hasil dan Pembahasan


Pengambilan data dilakukan pada kondisi dan cuaca normal sehingga tidak
mempengaruhi tingkat kebisingan yang sebenarnya.
Kondisi meteorologi merupakan faktor pendukung yang meliputi
temperatur, kelembapan, arah dan kecepatan angin. Untuk lebih jelasnya, nilai
kondisi meteorologi terukur dapat dilihat pada Tabel 2.12
64

Tabel 2. 12. Nilai Kondisi Meteorologi Terukur


Kondisi Meteorologi
Temperatur (0C) 25,1 – 38,1
Kelembaban (%) 48,7 – 89,6
Kecepatan angin (m/s) 0,0 – 2,6
Arah angin dominan Tenggara
Sumber : Aryo Sasmita, dkk. 2017. Evaluasi Tingkat Kebisingan di Bandara Sultan Syarif
Kasim II Pekanbaru.

Data tingkat tekanan suara (LP) diukur setiap 5 detik selama 10 menit pada
rentang waktu yang telah ditentukan sehingga data yang dihasilkan untuk satu
titik pengukuran adalah 120 data. Dari hasil pengukuran diketahui tingkat tekanan
suara di kawasan bandara berada pada rentang 33,9 – 114,2 awaktu. Nilai Leq
yang diperoleh pada waktu pengukuran di kawasan Bandara adalah (65,29 - 96,61)
dBA. Rekapitulasi hasil Perhitungan nilai Leq, pada masing-masing waktu
pengukuran dapat dilihat pada Tabel 2.13 dibawah ini.
Tabel 2.13. Rekapitulasi Tingkat Kebisingan di Area Bandara
Perhitungan Leq (dBa)
Titik Pengukuran
Leq 1 Leq 2 Leq 3 Leq 4 Leq 5
Landasan Pacu Utara 81,79 80,24 79,17 89,00 69,59
Landasan Pacu Selatan 92,12 86,86 92,46 75,08 77,54
Apron Timur 78,32 77,30 79,77 75,48 73,14
Apron Selatan 76,00 77,47 94,66 72,55 72,18
Area Parkir Kendaraan 90,93 96,61 66,01 81,86 65,29
Sumber : Aryo Sasmita, dkk. 2017. Evaluasi Tingkat Kebisingan di Bandara Sultan Syarif
Kasim II Pekanbaru.

Dari Leq nilai dilakukan pengolahan data untuk mendapatkan nilai LS, LM,
dan LSM. Rekapitulasi hasil perhitungan nilai LS,
LM, dan LSM pada masing-masing waktu pengukuran dapat dilihat pada Tabel 2.14
dibawah ini.
65

Tabel 2.14. Rekapitulasi Nilai LS,LM,LSM


Titik Pengukuran LS(dBA) LM(dBA) LSM(dBA)
Landasan Pacu Utara 85,12 69,59 84,66
Landasan Pacu Selatan 89,02 77,54 88,63
Apron Timur 77,66 73,14 77,72
Apron Selatan 87,63 72,18 87,17
Area Parkir Kendaraan 92,33 65,29 91,82
Sumber : Aryo Sasmita, dkk. 2017. Evaluasi Tingkat Kebisingan di Bandara Sultan Syarif
Kasim II Pekanbaru.

Dari Tabel 2.14 di tingkat kebisingan tertinggi di kawasan Bandara


Internasional Sultan Syarif Kasim II berada di landasan pacu selatan yaitu 88,63
dBA. Sedangkan tingkat kebisingan terendah berada pada titik apron timur yaitu
77,72 dBA. NIOSH (1998) dan Departemen Tenaga kerja RI menetapkan 85 dBA
sebagai nilai ambang batas maksimum yang diperbolehkan selama 8 jam bekerja.
Jika dibandingkan tingkat kebisingan Lsm dengan nilai ambang batas, sehingga
titik pengukuran landasan pacu utara dan apron timur yang masih berada dibawah
nilai ambang batas yang diperbolehkan.
Untuk kawasan bandara mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.
KEP-51/MEN/1999 tentang nilai ambang batas kebisingan ditempat kerja,
maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan adalah 85 dBA selama 8 jam
sehari.
Berikut hasil perhitungan lama paparan kebisingan yang diperbolehkan
selama 8 jam perharinya.
Tabel 2.15. Durasi Paparan Kebisingan yang Diperbolehkan
Titik Pengukuran Kebisingan Rata-rat a(dBA) T (Jam)
Landasan Pacu Utara 84,66 8,65
Landasan Pacu Selatan 88,63 3,46
Apron Timur 77,72 43,05
Apron Selatan 87,17 4,81
Sumber : Aryo Sasmita, dkk. 2017. Evaluasi Tingkat Kebisingan di Bandara Sultan Syarif
Kasim II Pekanbaru.

Dari Tabel 2.15 diatas diketahui bahwa lama bekerja paling sebentar untuk
landasan pacu pelatan, maksimal bekerja yang diperbolehkan pada daerah tersebut
66

hanya 3,46 jam., dan terlama di apron timur 43,05 jam. Oleh karena itu pekerja
yang berada ditempat tersebut harus menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
untuk mengurangi dampak kebisingan yang dihasilkan dari aktivitas Bandara.
Dengan jam kerja rata-rata 8 jam sehari, Menurut NIOSH (1998), ambang
batas maksimum untuk waktu yang diperkenankan untuk bekerja sebesar 8 jam
adalah sebesar 85 dBA. Berdasarkan tabel 5, diketahui pada apron timur yang
memiliki tingkat kebisingan rata-rata paling rendah, pekerja dapat bekerja lebih
lama dari pada 3 titik pengukuran lain. Kebisingan di tempat kerja merupakan
masalah utama dalam kesehatan kerja di berbagai negara. Hasil penelitan ini
sejalan dengan hasil penelitian Tana (2002), yang mneyatkan Dengan terpapar
kebisingan > 85 dBA secara terus-menerus dapat meningkatkan resiko noise
induced hearing loss. Kurang pendengaran akibat bising terjadi secara perlahan,
dalam waktu hitungan bulan sampai tahun. Hal ini sering tidak disadari oleh
penderitanya, sehingga pada saat penderita mulai mengeluh kurang pendengaran,
biasanya sudah dalam stadium yang tidak dapat disembuhkan (Sukar, 2003).
Pembatasan jam bekerja pada lokasi yang memiliki tingkat kebisingan
yang tinggi sangat diperlukan. nilai bising yang bersifat menetap lebih merusak
dibandingkan bising terus menerus. Akibat dari intensitas, sifat bising, waktu
kerja, melebihi batas yang diperbolehkan, maka bising dapat menimbulkan
gangguan pendengaran bagi tenaga kerja dan masyarakat sekitar Bandara,
penelitian Hartono (2006) menyebutkan Kebisingan dari aktivitas pesawat udara
dengan Taraf Intensitas 92,29 dB, dengan lama paparan lebih dari 1 tahun dapat
menyebabkan kondisi stress Alarm stage pada masyarakat di sekitar Bandara Adi
Sumarmo Boyolali.

2.10.5. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu :
1. Tingkat kebisingan tertinggi di kawasan Bandara Internasional Sultan
Syarif Kasim II berada di landasan pacu selatan yaitu 88,63 dBA.
Sedangkan tingkat kebisingan terendah berada pada titik apron timur yaitu
77,72 dBA
67

2. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa lama bekerja paling sebentar


untuk landasan pacu pelatan, maksimal bekerja yang diperbolehkan pada
daerah tersebut hanya 3, 46 jam., dan terlama di apron timur 43,05 jam
sehingga pekerja harus menggunakan APD untuk mengurangi dampak
kebisingan yang dihasilkan dari kegiatan Bandara.
68
69

Anda mungkin juga menyukai